Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 IMPLIKASI PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI KABUPATEN BATANG Oleh : Suryani, SH MHum Abstrak : Tanah merupakan tempat berlangsungnya berbagai aktivitas kehidupan. Tanah merupakan sumberdaya utama untuk usaha pertanian. Dewasa ini meningkatnya pembangunan menyebabkan sumberdaya tanah yang sesuai, baik untuk pertanian maupun kegiatan-kegiatan lainnya menjadi sangat terbatas. Hal ini akan menimbulkan berbagai konflik keperluan atas tanah yang menyebabkan upaya peningkatan produktivitas tanah pertanian dan upaya-upaya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung menyebabkan terjadinya kerusakan tanah dan lingkungan yang membahayakan kehidupan . A. Pendahuluan Penggunaan tanah dengan segala Implikasinya ,telah di atur secara konstitusional dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian menjadi dasar pembentukan hukum nasional yaitu Undangundang No. 5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, hal ini dengan jelas dikonstatir dalam konsideran UU No. 5 tahun 1960 dalam Bab “mengingat” yaitu : pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum materiil bagi pengaturannya. Pasal 33 UUD 1945 ini secara tegas dikutip kembali menjadi rumusan pasal 2 ayat 1 UUPA yaitu : pada tingkatamn tertinggi bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara sebagai kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Menurut Boedi Harsono 1 pasal 2 ayat 1 UUPA ini telah memberikan tafsiran resmi/outentik mengenai arti kata “dikuasasi“ yang digunakan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.Adapun yang dimaksud dengan hak menguasai oleh Negara ini oleh UUPA tidak 1 Boedi Harsoni, dalam Wargakusumah, Hasan ,Hukum Agraia , PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , 1992, hal 52. 8 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 diberikan difenisi , UUPA hanya memberikan rincian tentang kewenangan dari negara sebagai pemegang hak , yaitu : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan ,persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa ; 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa ; 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan rung angkasa. (pasal 2 ayat 2 UUPA). Berbagai peraturan yang secara implisit maupun eksplisit mengatur kemungkinan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian hanya bersifat penafsiran dari ketentuan undang-undang, diantaranya undang-undang no. 24 tahun 1992 Tentang tata ruang, namun demikian, realitasnya perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian berjalan sangat cepat dan dalam areal yang luas. Cepat dan luasnya perubahan pemanfaatan tanah pertanian ke 9 non pertanian ini menurut Nasution dan Rustandi disebabkan karena : 1. Besarnya tingkat urbanisasi akibat lambannya proses pembangunan di wilayah pedesaan; 2. Meningkatnya jumlah anggota kelompok golongan pendapatan golongan menengah dan atas di wilayah perkotaan, peningkatan tersebut mengakibatkan bertambah besarnya permintaan terhadap sarana pemukiman; 3. terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian Indonesia yang terutama dicirikan oleh cepatnya pertumbuhan sektor industri, yang pada gilirannya akan “mendepak” kegiatan pertanian dari lahan sawah.2 Salindo,3 menyatakan : sering kita dengar sekian banyak pihak membutuhkan tanah untuk sekian banyak kepentingan . 2 .Nasution dan Rustandi dalam Sumarjono, Maria , Perubahan Lahan Pertanian Menjadi Lahan Non Pertanian di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1983-1987, Makalah Seminar di Fakultas Hukum UNISRI Solo, tanggal 27 Januari 1992. 3 . Salindeho, John; Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, Jakarta Sinar Grafika , 1994 cet pertama hal 15. Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 Pemerintahpun membutuhkan untuk kepentingan pasar, bangunan sekolah, perumahan, perkantoran, jalan umum, dan sebagainya. Lebih lanjut Salindo menyatakan, mungkin atas suatu areal yang sama bertumpu sekian banyak kepentingan dan keinginan. Tidak berarti kita bersitegang atau berkonflik karena sama-sama membutuhkan tanah. Tetapi begitu banyak kebutuhan tertumpu pada satu titik untuk mendapatkan tanah di dalam ruang tertentu. Fenomena perubahan penggunaan tanah pertanian ke penggunanan non pertanian secara teoritis dapat dijelaskan dalam konteks ekonomika lahan yang menempatkan sumber daya lahan sebagai faktor produksi. Karena faktor-faktor itu memiliki karakteristik tertentu , maka secara alamiah akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktivitas . Dalam kondisi inilah akan terjadi perubahan dalam penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas yang mempunyai land rent yang paling tinggi. Dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa persediaan lahan bersifat tetap sedangkan permintaannya terus tumbuh dengan cepat terutama di kawasan perkotaan . Pertumbuhan kebutuhan lahan ini didorong oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial -ekonomi yang menyertainya. Interaksi antara permintaan dan penawaran lahan ini akan mengahsilkan pola penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas yang menguntungkan . Dalam konteks inilah fenomena perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian terjadi. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut : 1. Apa saja Implikasi dari perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian di Kabupaten Batang ? 2. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Batang dalam rangka penanggulangan implikasi negatif terhadap perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian ? 10 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 C. Metode Penelitian Penelitian adalah kegiatan Ilmiah yang mempergunakan pengetahuan baru dari sumber sumber primer dengan tujuan untuk menemukan prinsip umum serta mengadakan ramalan generalisasi di luar sample yang diteliti.4 Penelitian juga menggunakan teknik-teknik yang teliti dan sistimatis, karena penelitian memerlukan data secara obyektif. Setelah data tersebut dikumpulkan, diolah dan dianalisa dengan prosedur yang jelas dan dapat dicek secara empiris, kemudian dilaporkan dalam bentuk yang lebih logis. Adapun metode penelitian yang penulis pergunakan dalam tesis ini adalah sebagai berikut : Metode Pendekatan yuridis normatif, dan Empiris 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah berbagai macam produk hukum agraria , dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah pertanahan . Sedangkan populasi lainnya yang berupa 4 Kamarudin , Metode Penelitian Skripsi dan Tesis, Bandung, 1974, hal 27 11 data-data atau catatan-catatan , pendapat dari pakar hukum pertanahan . 2. Metode Sampling Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non random sampling dengan jenis purposive sampling , yaitu dalam memilih subyek sample dengan mengambil anggotaanggota sample yang memiliki ciri-ciri atau sifat tertentu sedemikian rupa sehingga sample tersebut benar-benar mencerminkan pupolasi. 3. Responden Responden penelitian ini adalah : a. Instansi yang terkait dengan perizinan perubahan tanah pertanian ke non pertanian antara lain : Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Batang, dan anggota lain dari Instansi terkait; b. Masyarakat Kabupaten Batang yang melakukan perubahan tanah pertanian ke non pertanian baik yang dengan izin maupun tanpa izin masing -masing sejumlah 15 orang Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 c. Para Pakar hukum agraria 4. Metode Pengumpulan Data a. Studi pustaka , adapun alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah memperlajari buku, dan referensi , dan dokomen yang yang terkait dengan masalah hukum pertanahan pada umumnya dan masalah pertanian pada khususnya . Adapun bahan pustaka tersebut terperinci sebagai berikut : 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu peraturan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain penjelasan undang-undang, hasilhasil penelitian, karya ilmiah bidang hukum pertanahan. 3) Bahan hukum tersier, atau bahan hukum penunjang meliputi : a) bahan yang dapat memberi petujuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum sekunder , misalnya : kamus hukum, inseklopedia dan ekonomi pertanian, dan lain-lainnya guna mendukung dan melengkapi data penelitian .5 b) bahan primer dan sekunder diluar bidang hukum , misalnya : sosiologi, filsafat, ekologi, yang berupa fisik yaitu tanah pertanian dan bangunan yang ada . b. Penelitian Lapangan 1) Observasi langsung : yaitu penelitian dengan melakukan pengamatan langsung ke obyek penelitian, 5 . Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pres , Jakarta , Hal 41. 12 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 yaitu melihat obyek penelitian 2) Wawancara langsung dengan para pejabat terkait dengan masalah perizinan perubahan tanah pertanian ke non pertanian; dan wawancara langsung dengan anggota masyarakat yang melakukan perubahan tanah pertanian ke non pertanian dan para ahli hukum pertanahan . 3) Mempelajari berkasberkas atau berita acara rapat dalam rangka perizinan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, yaitu berkaitan dengan dasar hukum dan pertimbangan panitia. 5. Metode Analisa Data Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data hakekatnya kegiatan untuk mengadakan sistimatisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis . Sistemisasi ini berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, 13 Hal ini untuk memudahkan pekerjaan analisis dan 6 konstruksi. adapun analisa data dilakukan dengan analisa Induktif kualitatif. D. Tinjauan Pustaka Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam bidang agraria, negara sebagai pemegang hak menguasai perlu mengatur mengenai peruntukan, penggunaan, dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara ; yang kemudian disebut dengan “rencana umum“ (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (‘regional planning”) dari tiap-tiap daerah (baca pasal 14 UUPA) dengan rencana umum maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terperinci dan teratur sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat. (baca penjelasan umum II.8UUPA). Rencana umum penggunaan tanah (tata guna 6 . Periksa, Surjono Soekanto , Op cit Hal 251-252. Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 tanah) hingga sekarang belum ada, belum adanya rencana umum ini maka dalam realitas penggunaan tanah seringkali terjadi tumpang tindih yaitu disuatu kawasan lahan tertentu penggunaannya terdiri dari berbagai macam penggunaan, sehingga dilihat dari aspek lingkungan jelas penggunaan itu tidak saling mendukung, justru yang terjadi kerusakan atau ketidak serasian penggunaan itu terjadi. Belum adanya rencana umum penggunaan tanah secara nasional ini, berlawanan dengan pemenuhan kebutuhan tanah dalam rangka pembangunan yang demikian meningkat, karena adanya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk sarana kegiatan pembangunan; kondisi yang demikian ini mau tidak mau akan mendorong perubahan struktur pemilikan tanah dan penggunaan tanah secara terus menerus dan cenderung tidak terkendali, apabila hal ini terus menerus dibiarkan dan tanpa dikendalikan melalui rencana umum penggunaan tanah akan mengakibatkan rendahnya daya dukung tanah terhadap pembangunan yang berwawasan lingkungan dan pada akhirnya akan menimbulkan bencana sosial yang tidak diinginkan bersama. Adi Sasono7 menyatakan bahwa, perkembangan struktur industri yang cukup pesat berakibat terkonversinya tanah pertanian secara besar-besaran. Kecenderungan ini tentunya dapat memperlemah kemampuan kita untuk mempertahankan swasembada pangan seperti yang pernah kita capai beberapa tahun belakangan ini. Di samping itu akan pula melahirkan tingkat pengangguran yang cukup tinggi, karena sektor industri dan sektor jasa lainnya tidak akan mampu menampung seluruh angkatan kerja yang terus meningkat pesat setiap tahun. Terjadinya perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, misalnya dirubah penggunaan untuk pembangunan industri atau perumahan, hal ini jelas akan menimbulkan pencemaran lingkungan pada umumnya dan tanah pertanian disekitarnya. Kenyataan tersebut dalam realitasnya telah banyak terjadi, hal ini disebabkan karena 10. Ali Sofwan Husein , Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal 11 14 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 kebutuhan akan tanah baik untuk perumahan atau untuk pembangunan industri maupun untuk sarana prasarana lainnya mengalami peningkatan yang luar biasa. Menurut hukum Agraria, perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan proses yang diatur oleh hukum, artinya perubahan penggunaan tanah itu adalah suatu yang di perbolehkan sepanjang perubahan itu dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku . Untuk mengendalikan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, telah banyak peraturan perundangundangan yang mengatur yang antara lain : 1. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria; 2. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tantang KetentuanKetentuan mengenai Penyediaan, Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan; 3. Undang-Undang No 24 tahun 1993 Tentang Penataan Ruang 4. dan Peraturan perundangundangan lainya. 15 Walaupun telah banyak peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai pengendalian perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, namun dalam kenyataannya peraturan perundang-undangan tersebut masih sering diabaikan atau dilaksankan secara manipulatif dengan alasan demi tercapainya target pertumbuhan ekonomi yang telah ditentukan oleh pemerintah. Bagi pemerintah dalam rangka perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian seharusnya tetap perpegangan pada prinsip keadilan dan kepastian hukum, hal ini sebagaimana pendapat Sunaryati Hartono,8 ........dan tanpa menyampingkan syarat-syarat keadilan dan kepastian hukum, negara tetap berhak untuk menentukan penggunaan tanah milik tersebut, sesuai dengan pola pembangunan dan ketentuan hukum mengenai tata guna tanah secara nasional, maupun regional . Selain dari pada itu , bagi pemerintah dalam rangka pembuatan tata guna tanah nasional maupun regional juga 8 . Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah, Alumni, Bandung 1978, hal 51. Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 harus memperhatikan ketentuan asas dan tujuan Penataan Ruang , sebagaiman di atur di dalam pasal 2 UU No. 24 tahun 1993 tentang Penataan Ruang, yang menentukan: 1. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan; 2. Keterbukaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Berkaitan dengan pemanfaatan ruang ini, maka pemanfaatan tanah pertanian ke non pertanian sedapat mungkin memperhatikan asas sebagaimana tersebut di atas. Peraturan perundangundangan yang mengatur tentang perubahan tanah pertanian ke non pertanian sebagai salah satu alat guna mendukung tercapainya pemanfaatan/penggunaan tanah yang selaras dan berdaya guna, adil dan memberikan perlindungan hukum sangatlah diperlukan. Guna maksud tersebut, maka pendapat Robert B Seidman yang menyatakan bahwa penguasa sebagai pembuat kebijaksanaan hanya mempunyai satu alat yang dapat dipakai untuk mempengaruhi aktivitas pemegang peran, yaitu peraturan yang dibuatnya9 . Untuk membuat peraturan perundang-undangan mengenai Penggunaan Tanah Pertanian Ke Non Pertanian, perlu berorientasi pada asas-asas hukum, karena dengan asas ini memberikan pengarahan terhadap perilaku manusia di dalam masyarakat. Sebagaimana pendapat Van Apeldoorn bahwa asas-asas hukum positif yang khusus atau yang melandasi pranata-pranata hukum tertentu, atau melandasi suatu bidang hukum tertentu .10 Dengan demikian asas hukum adalah merupakan “jantungnya” perturan hukum, sebab : 1. Asas Hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum; 2. Sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio logis dari peraturan hukum11 9 . Periksa Robert B Seidman, “Law and Devolopment, A General Model “, Law and Society Review, Tahun VI,1972, hal 311-319. 10 . Dikutip dari Sunarjati Hartono, 1988, Asas-asas Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan , Hukum Nasional, No. 2 tahun 1988, BPHN, Jakarta, hal 68. 11 Satjipto Rahardjo, Loc cit 16 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 Oleh karena itu ,Ilmu Hukum dengan mencari asas-asas hukum (baru) dapat membantu usaha pengembangan hukum positif (dan usaha pembentukan hukum baru).12 Asas Hukum yang diperlukan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibedakan ke dalam : 1. Asas hukum yang menentukan politik hukum; 2. Asas hukum yang menyangkut proses pembentukan perundang-undangan (proses legislasi); 3. asas hukum yang menyangkut aspek-aspek formal/struktural/organisatoris dari tata hukum nasional; 4. Asas hukum yang menentukan ciri dan jiwa tata hukum nasional; 5. Asas hukum yang menyangkut subtansi peraturan perundangundangan 13 E. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Implikasi Perubahan Penggunaan Tanah 12 Satjipto Rahaedjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal 85. 13 . Sunarjati Hartono, op cit , hal 70 17 Pertanian ke Non Pertanian di Kabupaten Batang Bahwa di Kabupaten Batang perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian selain memberikan implikasi positif juga berimplikasi negatif , atau dengan kata lain bahwa kebijakan apapun yang dibuat oleh pemerintah selalu bergerak dalam dua arah yang berlawanan , tercapainya suatu sasaran kebijakan pemerintah tidak bisa lepas dari adanya sisi negatif dari kebijakan itu. Persoalannya adalah sebandingkah implikasi positif dengan negatifnya ? a. Implikasi Positif Selain itu, Menurut perkiraan Pemerintah Karawang sektor industri bisa menampung lebih banyak tenaga kerja dibanding sektor pertanian, perkiraan Pemerintah daerah Kerawang, setiap dilakukan pengembangan terhadap kedua sektor itu, maka sektor pertanian bisa menampung 10 orang, sedangkan sektor industri bisa menampung 50 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 tenaga kerja untuk setiap hektar lahan.14 Sejalan dengan itu, menurut Siswono Yudo Husodo (Ketua HKTI), baik pembangunan pertanian maupun pembangunan infrastruktur sama-sama penting, sehingga pilihannya sangat sulit. Pembangunan infrastruktur bisa menyerap banyak tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran.15 Implikasi negatif dari suatu kebijakan memang sesuatu yang tidak dihindarkan apapun kebijakan itu, yang paling penting bukan persoalan implikasi negatif atau positifmya suatu kebijaksanaan pemerintah, tetapi yang terpenting adalah persoalan bagaiman kebijakan pemberian izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian diberikan. Berbagai implikasi baik positif maupun negatif, dan uapaya pengendalian dan uapaya penanggulangan dampak negatif yang dilakukan Pemerintah daerah Kabupaten Batang, dalam perspektif hukum menunjukkan bahwa hukum belum berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya. Belum efektifnya hukum dalam bidang pengaturan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian ini akan dilihat dari dinamika hukum itu sendiri. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap efektifitas hukum, meliputi tahap perumusan, implementasi dan tahap evaluasi; ketiga faktor ini merupakan satu kesatuan secara menyeluruh karena ketiganya saling mempengaruhi dan 16 berkaitan. 1) Tahap Perumusan Ketentuan Larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian Pada tahap perumusan ini, yaitu menyangkut faktor hukum dari peraturan perundang-undangan dan atau kebijaksanaan. 16 14 . kompas 15 Agustus 2002 15 . ibid Sodikin, Achmad, Politik Hukum Agraria , materi kuliah : Program Pasca Sarjana Universitas Browijoyo, Malang ,1998 18 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 Pengaturan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dituangkan dalam berbagai peraturan sebagai berikut : a) Ketetapan Majlis Permusyawaratan RI No. II / MPR RI / 1993 jo Ketetapan Majlis Permusyawaran Rakyat No. IV/MPRRI/ 1998; b) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 tahun 1974 tentang Ketentuan –ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan; c) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota diseluruh Indonesia ; d) Keputusan Prisiden RI No. 53 tahun 1989 tentang Kawasan Industri; e) Keputusan Presiden RI No. 33 tahun 1990 Tentang Penggunaan 19 Tanah Kawasan Industri; f) Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi; g) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal, dengan Petunjuk Pelaksanaan yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 22 tahun 1993, Peraturan tersebut sekarang telah diganti dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 tahun 1999; h) Surat Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 410-1850 tanggal Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 15 Juni 1994 tentang Pencegahan Penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan Non Pertanian yang ditujukan kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas selaku ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional; i) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, no. 5334/MK/9 1994 tanggal 29 September 1994 berisi tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Non Pertanian yang diyujukan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala BPN; j) Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, no. 5335/MK/ 9 1994 tanggal 29 September 1994 berisi tentang Penyususnan Rencana Tata Ruang Wilayah ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri; k) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 410-1851 tanggal 15 Juni 1994 tentang Pencegahan Penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan Non Pertanian penyusunan Rencana Tata Ruang yang ditujukan k epada Gubernur KDH Tk I dan Bupati /Walikota diseluruh Indonesia; l) Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994 tentang Pencegahan Penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan Non Pertanian penyusunan Rencana Tata Ruang 20 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 yang ditujukan Kepada Kepala kantor Wilayah BPN Propin si dan kepala kontor BPN Kabupaten/Kotamadya diseluruh Indonesia; Sedangkan untuk Kabupaten Batang, dalam rangka pengendalian perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian selain di dasarkan pada berbagai peraturan diatas didasarkan pula pada : 1) Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tk I Jawa Tengah No. 590/107/1985 tentang Pencegahan Perubahan tanah pertanian ke non pertanian yang tidak terkendali; 2) Instruksi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Batang No. 590/158/1989 tentang Izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian; sehubungan dengan izin mendidirkan bangunan di atas tanah pertanian. 21 Berbagai peraturan tersebut pada umumnya mempunyai kelemahan, adapun kelemahankelemahannya sebagai berikut : a) tidak memiliki keuatan mengikat, karena larangan tentang perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dumuat dalam satu pasal yang kaidahnya menggunakan kalimat : menghindari penggunaan areal tanah pertanian yang subur. (lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 tahun 1974 tentang Ketentuan –ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan; b) Banyak mengandung Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 aturan pengecualian (legal Exception) c) derajad peraturannya berupa norma jabaran yang berbentuk surat edaran dan atau intruksi b. Tahap Implementasi Karena adanya tiga kelamahan sebagai tersebut di atas, maka peraturan berkaitan dengan larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dalam tataran implementasi seringkali menimbulkan benturan dengan paraturan dalam derajad yang sama atau yang lebih tinggi, berbagai kebijakan pemerintah terutama tentang penanaman modal dan kebijakan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini izin perubahan tanah pertanian kewenangan pemberiannya diserahkan kepada Bupati Kepala daerah Kabupaten, sedangkan Izin lokasi dan Iain penanaman modal diberikan kewenangannya pada Gubernur; sehingga Bupati dalam memberrikan izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dengan terpaksa mengabulkan permohonan itu walaupun pemberian izin itu akan melanggar Perda tentang Tata ruang daerah Kabupaten/Kota. Berkaitan dengan Implementasi larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian di Kabupaten Pekalongan, kecenderungan mengabaikan ketentuan larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian karena faktor kelemahan sistim hukumnya ; hal ini sebagaimana dikemukakan Lawrence M. Frieeman membedakan unsur sistem hukum itu ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu: (1) struktur; (2) substansi; (3) kultur. Komponen struktur adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum. Komponen substansi 22 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 merupakan keluaran dari sistem hukum, termasuk di dalamnya norma-norma itu sendiri baik berupa peraturanperaturan, keputusankeputusan yang semuanya digunakan untuk mengatur tingkah laku manusia. Budaya atau kultur adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem itu di tengah-tengah budaya bangsa secara keseluruhan. Dari ketiga komponen sistim hukum itu, ketiganya mempengaruhi pelaksanaan peraturan larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, yaitu faktor faktor itu, adalah terkait dengan faktor kelembagaan, dimana sudah diuraikan di atas, bahwa pengaturan larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian diatur dalam derajad yang rendah sehingga daya ikatnya terhadap pejabat yang berwenang lemah karena tidak ada sanksi yang tegas; sedangkan dari aspek subtansi, berkaitan dengan perumusan 23 norma oeraturan itu, yang menggunakan kalimat tidak tegas berupa harapan : “Hendaknya menghindari tanah pertanian subur” . dan dari aspek budaya, sudah menjadi ciri bangsa Indonesia yang bercorak paternalis. c. Tahap Evaluasi Evaluasi merupakan tahap akhir dari bekerjanya hukum larangan perubahan tanah pertanian ke non pertanian khususnya di Kabupaten Batang, bahwa evaluasi ini akan membahas terhadap implikasi perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian. Bahwa di Kabupaten Batang perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian selain memberikan implikasi positif juga berimplikasi negatif, dalam pembahasan ini akan lebih melihat pada implikasi negatifnya. Implikasi negatif dari suatu kebijakan memang sesuatu yang tidak dihindarkan apapun kebijakan itu, yang paling penting bukan Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 persoalan implikasi negatif atau positifmya suatu kebijaksanaan pemerintah, tetapi yang terpenting adalah persoalan bagaiman kebijakan pemberian izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian diberikan. Menurut Sjachran Basah, Sikap tindakan administrasi negara yang melanggar hukum yaitu pelaksanaan yang salah, pada hal hukumnya benar dan berharga, sedangkan sikap tindak administrasi negara yang menurut hukum, bukanlah pelaksanaan yang salah, melainkan hukum itu sendiri yang secara materiil tidak benar dan tidak 17 berharga. Dalam pembahasan ini, yang akan diuraikan siukap tindak administrasi negara yang berdasarkan hukum, tetapi menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang tindakan pemerintah yang 17 . Basah Sjachran, Hukum Administrasi Negara , dalam tulisan Arifin sutrisno , Sikap Tindak Administrasi Negara Menurut Hukum Yang Menimbulkan Kerugian , Yogjakarta UII Pres, 1997, hal 282. menimbulkan kerugian, terlebih dahulu dibahas pengertian tentang Izin, izin merupakan bentuk campur tangan pemerintah dalam rangka melakukan pelayana umum (public Servis). Izin merupakan salah satu bentuk penetapan (Beschikking) pemerintah, Penetapan pemerintah menurut Kuntjoro harus memenuhi syarat-syarat formal dan material yaitu sebagi berikut : 1) Syarat Material : a) Alat pemerintah yang membuat keputusan harus berwenang; b) Dalam kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis; c) Keputusan harus diberi bentuk yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan prosedur membuat keputusan ; d) Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai (doelmatig) 2) Syarat Formil 24 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 a) syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan itu harus dipenuhi; b) harus diberi bentuk yang ditentukan; c) jangka waktu ditentukan; Izin Perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian Ketetapan yang dibuat pemerintah adalah sah menurut hukum apabila memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Bahwa Izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, menimbulkan beberapa masalah antara lain : 1) Peraturan Izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian belum tersosialisasi dengan baik di kabupaten Batang, sehingga masih terdapat perubahan tanah pertanian ke non pertanian yang dilakukan tanpa izin, 2) izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian tidak menetukan batas waktu ; yang ditentukan hanya batas waktu 12 bulan tanah dimaksud harus sudah digunakan sesai dengan permohonan ; 25 3) Izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian tidak menetapkan pengertian tantang pencemaran lingkungan, kecuali menunjuk pada risalah tata guna tanah ; 4) Dalam peraturan tentang izin perubahan penggunana tanah pertanian ke non pertanian, tidak ditentukan tentang kewajiban mengumumkan kepada publik, sehingga tidak memberi kesempatan pihak lain untuk mengajukan banding atau keberatan; 5) Perizininan yang terkait dengan perubahan tanah pertanian ke non pertanian, terkait pula dengan izin lokasi dan lain-lainnya, yang semuanya bersifat sektoral ; Tindakan pemerintah memberikan izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian adalah merukan tindakan pemerintah yang berdasar hukum, tetapi berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Terhadap implikasi negatif yang ditimbulkan di Kabupaten Batang, Sebagaimana diuraikan pada Bab terdahulu ada yang berakibat pencemaran terhadap tanah pertanian di sekitarnya karena pemakaiannya untuk kepentingan industri, terhadap Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 tindakan pemerintah memberikan izin perubahan penggunaan tanah pertyanian ke non pertanian tersebut adalah menurut hukum admnistrasi negara benar dan bisa dihargai, tetapi akibat yang ditimbulkannya tidak dapat dibenarkan. Mengacu pada contoh kasus yang dikemukakan Belefante di negar Belanda tentang tindakan pemerintah yang berdasarkan hukum yang menimbulkan kerugian sebagai berikut : …..di kota praja menyalurkan pembuangan diperairan yang dinamakan de Ley of de Voiorste Stroom, sehingga terjadi suatu pencemaran yang luar biasa di dalam sungaii itu, selain baunyasangat busuk, juga merusak cat rumah yang berdiri ditepi sungai itu, warga disekitar sungai mengajukan protes,…… Hoge Raad mempertimbangkan bahwa tingkah laku kotapraja dari sudutkepentingan kotapraja dibenarkan dan dihargai, pembuangan air kotar memang tidak bisa dihindari………, Tetapi akibat yang ditimbulkan tidak dapat dibenarkan. Berdasarkan contoh kasus tersebut, bagi masyarakat tentunya masyarakat yang terkena pencemaran pabrik akibat perubahan tanah pertanian ke non pertanian dapat mengajukan banding untung meminta ganti rugi melalaui pengadilan tata usaha negara . Bahwa pemberian izin oleh Bupati Batang berkaitan dengan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian adalah memberikan keuntungana kepada individu atau kelompok adalah benar menurut hukum, tetapi dalam pengambilan keputusan pemberian izin tentunya harus diperhatikan kebijaksanaan catur tertib tertib bidang pertanahan ; catur tertib merupakan pedoman bagi penyelenggaraan tugas-tugas pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan, sekaligus merupakan gambaran tentanag kondisi atau sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan bidang pertanahan, yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Dalam buku repelita V Badan Pertanahan Nasional memberikan ga,baran tentang kondisi yang akan dicapai dari catur tertib bidang pertanahan itu sebagai berikut : 1) Tertib Hukum Pertanahan, merupakan keadaaan di mana : a) seluruh perangkat peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan telah 26 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 tersusun secara lengkap dan komprehensif; b) semua peraturan perundangundangan di bidang pertanahan telah diterapkan pelaksanaaannya secara efektif; c) semua pihak yang menguasai dan/atau menggunakan tanah mempunyai hubungan yang sah dengan tanah yang bersangkutan menurut peraturan yang berlaku. 2) Tertib Administrasi Pertanahan, merupakan keadaaan dimana :untuk setiap bidang tanah telah tersedia catatan mengenai aspek – aspek ukuran fisik, penguasaan, penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya yang dikelola dalam sistim informasi pertanahan yang lengkap; a) terdapat mekanisme prosedur/ tata kerja pelayanan di bidang pertanahan yang sederhana, cepat, dan murah, namun tetap menjamin kepastian hukum, yang dilakukan secara tertib dan konsisten; b) penyiapan warkah-warkah yang berkaitan dengan pemberian hak dan pensertifikatan tanah telah dilakukan secara tertib, 27 beratiran, dan terjamin keamnannya. 3) Tertib Penggunaan Tanah, merupakan keadaan dimana : a) tanah telah digunakan secara optimal, serasi dan seimbang sesuai dengan potensinya, guna berbagai kegiatan kehidupan dan penghidupan yang diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional; b) penggunaan tanah di daerah perkotaan telah menciptakan suasana yang aman tertib, lancar dan sehat; c) tidak terdapat benturan kepentingan antara sektor dalam peruntukan penggunaan tanah. 4) Tertib Pemeliharaan tanah dan Lingkungan Hidup, merupakan keadaan di mana : a) penangan bidang pertanahan telah menunjang upaya pengelolaan kelestarian lingkungan hidup; b) pemberian hak atas tanah dan pengarahan penggunaaanya dapat menunjang terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 c) semua pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah telah melaksanakan kewajiban sehubungan dengan pemeliharaan tanahnya. Izin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian untuk melaksanakan sebagaimana ketentuan yang berlaku, tidak efektifnya peraturan tersebut menurut Sutoyo,18 dengan mengutip pendapat James E. Anderson, dipengaruhi oleh: 1) Keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki integritas dan dedikasi dalam menjalankan tugasnya secara maksimal; 2) Kelemahan dalam pengadministrasian dibidang pertanaahan; 3) perumusan kebijakan hanya didasarkan pada satu faktor, dalam konteks perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertaanian, dengan hanya mempertimbangkan karena gubernur/bupati telah memberikan izin lokasi diareal tanah spertaanian; Akibatnya izin yang dibuat hanya berdasaarkan pada sikap melindungi pelanggaran yang telah terjadi; 18 Sutoyo, Laaraangan alih fungsi Lahan Produktif Dalam Rangka Upaya Mempertahankan Swasembada Beras ( Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Derah Tingkat II Malang ), 1999. haal 39 4) adanya konflik kebijakan pemerintah, yaitu antara kebijakan ekononomi, tata ruang dan larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian; 5) tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran laarangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian; Atas dasar berbagai permasalahan tersebut, maka perlunya pengaturan dalam bentuk undangundang atau peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan UU No, 5 tahun 1960 Pasal 7, pasal 9 dan pasal 14 serta pasal 16 . sekaligus pelaksanaan UndangUndang No. 56 /Prp/ 1960 cukup orgen untuk segera diterbitkan mengingat luasnya implikasi perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian. Menarik pendapat Adig Suwandi mengatakan, untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, pemerintah perlu menyusun aturan agar perubahan peruntukan lahan harus melalui pertanggungjawaban publik. Di banyak negara, hal itu sudah dilakukan dengan maksud agar setiap perubahan penggunaan lahan mempertimbangkan banyak kepentingan. 28 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 "Di Inggris untuk membangun sebuah kota baru, perjalanannya sangat panjang, melalui perdebatan yang lama tetapi produktif. Kita mestinya, setiap kali membangun infrastruktur di luar usaha pertanian, harus ada pertanggungjawaban kepada publik," ujarnya, Bahkan, menurut dia, untuk perubahan fungsi lahan dari satu tanaman ke tanaman lain pun perlu dilakukan perdebatan. Setiap perubahan peruntukan lahan perlu mempertimbangkan pendapat semua pihak yang terkait. "Hanya saja, saya sangsi apakah pertanggungjawaban publik itu bisa dilakukan produktif di sini, karena orientasi birokrasi dan politisi adalah uang dan kedudukan," kata Adig. Pemerintah telah mempunyai tata ruang, namun kenyataannya mereka mudah sekali "dibeli" sehingga peruntukan lahan menjadi menyimpang. Menurut Maria W. Soemardjono,19 tanah tidak pernah dijadikan strategi pembangunan sehingga pelaksanaan UUPA sering terhambat secara politis psikologis. Hingga kini belum ada alokasi penggunaan tanah untuk berbagai 19 . Maria. W. Soemnardjono, Loc.cit 29 keperluan sehingga sering timpang. Rencana tata ruang seringkali dimanipulasi oleh banyak pihak. Pememrintah saat ini perlu memiliki lembaga penyaalur tanah (land banking), untuk mengendalikan pihak swasta yang ingin menguasai tanah secara besar-besaran untuk berbagai keperluan. Selain itu, orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan bertumpu pada industrialisasi tanpa perencanaan penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah pertanian untuk kegunaannya yang lain. Berdasarkan realitas demikian ini, maka dalam menentukan kebijakan pertanahan harus bertumpu pada ekonomi kerakyatan demi pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Dalam pengambilan kebijakan, Pemerintah harus menjamin keadilan untuk mendapatkan akses dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Selain itu harus mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan masyarakat harus dilibatkan dalam pengawasan. Dalam kaitan ini, sangat relevan gagasan untuk menyelenggarakan Pengadilan Agraria yang mandiri, untuk menangani sengketa –sengketa Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 agraria, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal . dan Pengadilan Agraria ini tidak sama dengan pengadilan Landreform yang diatur dalam UU No. 21 tahun 1964; dengan adanya Pengadilan Agraria ini maka masyarakat dan pemerintah akan dapat saling diuntungkan, karena masalah sengketa pertanahan yang sering terjadi bukan saja masalah aturan dan undang-undangnya, tetapi juga menyangkut masalah perangkat pendukung undang-undang dan sistim pemerintahan. F. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian adalah sebagai berikut : 1. a. Perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian di Kabupaten Batang, selain berimplikasi positif berupa mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak, dan retribusi, dan land rent (harga tanah) meningkat; b. sedangkan dari segi negatifnya merosotnya produksi beras, menurunnya kualitas lingkungan hidup, terjadinya konflik budaya, dan memunculkan adanya penyelundupan hukum melalui mekanisme perizinan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian guna mengejar nilai ekonomi tanah (landrent). 2. Berbagai implikasi negatif dari adanya perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian yang meliputi menurunnya produksi beras, mubadirnya air irigasi dan investasi pembangunan irigasi, serta kekacauan administrasi bidang pertanahan, maka Pemerintah Kabupaten Batang melakukan upaya penanggulangan terhadap implikasi negatif melalui tiga pendekatan yaitu, preventif, responsip dan represif . G. Saran-Saran Saran atau rekomendasi yang dapat penulis sampaikan berkaitan dengan hasil penelitian adalah : 30 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 1. Dalam pelaksanaan peraturan larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian yang diatur dalam berbagai peraturan tidak efektif, dikarenakan tidak adanya sanksi ; maka pengaturan larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian perlu diatur dalam undangundang tersendiri . 2. Hendaknya pemerintah segera membuat peta wilayah nasioanal, dan peta proipinsi serta kabupaten yang memeiliki potensi untuk produksi pangan, dan menetapkan adanya pertanian lestari (abadi) bagi daerah yang saat ini telah ada irigasinya atau daerah yang potensial untuk tanah pertanian. 3. Untuk mengendalikan perubahan tanah pertanian ke non pertanian pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional disemua tingkat seharusnya meningkatkan dan memperketat pengawasan terhadap peralihan hak dan penggunaan tanah agar sejalan 31 dengan catur tertib bidang pertanahan . 4. Dalam rancangan Undangundang Agraria, hendaknya memasukkan pengaturan larangan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian dalam satu bab tersendiri . DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman al-Maliki, Politik Ekonomi Ideal, dalam Al Islam edisi 084/tahun VIII hal 3 , dapat di baca di internet, http://www. Alislam.or.id Achmad Chulaimi ,SH, Hukum Agraria ,Perkembangan , Macam-Macam Hak-hak Atas Tanah dan Pemindahannya, Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 1993 Achmad Sodiki, Penataan Pemilikan Hak Tanah Sebagai Strategi Pembangunan Hukum Agraria, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang 1997 Adiwinata, Dede Suganda (1992) “Langkah-langkah Operasional Pengembangan Agroindustri Dalam Pembangunan Ekonomi” Makalah Pada Seminar Sehari Senat Mahasiswa Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 Tehnik Pertanian IPB dan Perhimpunan Mahasiswa Agroindustri Indonesia. Bogor: IPB, 3 Oktober 1992. Bachriadi, Dianto, et.al (Peny) (1997), Reformasi Agraria : Perubahan Politik,Sengketa, Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: KPA & Lembaga Penerbit FE-UI. Boedi Harsono , Hukum Agraria , Sejarah Penyusunan , Jambatan, Jakarta tahun 2000, Bostang Cahyono Radjagukguk, pidato pengukuhan, Fakultas Pertanian UGM tanggal 6 Agustus 2001 CyberNews, Edi, Karesidenan Pekalongan Kurun Cultur Stelsel: Masyarakat Pribumi menyongsong pabrik gula , Fakultas sastra , Universitas Indonesia , 1988, Dindin S. Maolani, HU Pikiran Rakyat 7 Agustus 2000). Endang Suhendar , Pemetaan Polapola Sengketa Tanah di Jawa Barat, Akatiga Bandung, 1990 Fauzi, Noer,(1994) “Politik Agraria Orde Baru : Penindasan dan Perlawanan”, dalam Demokrasi:Antara Represi dan Resistensi. Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, Jakarta:YLBHI. ---------- (Ed) (1997), Tanah dan Pembangunan. Jakarta: Sinar Harapan. Gunawan Sumodiningrat, Pembangunan Ekonomi melalui pengembangan pertanian , PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta 2000, Harris, John, (ed) (1982) Rural Development, London:Hutchinson University Library. Harsono,Budi (1970), Undang – undang Pokok Agraria:Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya Hukum Agraria Indonesia, Jakarta:Djambatan. Harsono, Hart, Soni (1996) Kebijakan Pertahanan Dalam Mendukung Kesejahteraan Petani dan Pelestarian Swasembada Pangan, Makalah Menteri Negara Agraria / Kepala, BPN pada Diskusi Nasional Pertanahan yang diselenggarakan oleh DPP-HKTI tanggal 29 Oktober 1996, di Jakarta. Gillian (1989),”Agrarian Change in The Context of State Patronage, dalam Gillian Hart, dkk. (Eds), Agrarian Transformation:Local Processes and the State in Southeast Asia, Berkeley: 32 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 University of California Press. Huizer, Gerrit (1974), “ Peasant Mobilazation and land Reform in Indonesia”, dalam Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Vol 8, No. 1 (January-June, 1974) Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasioanl , Hubungan Manusia dengan Tanah yang Berdasarkan Pancasila , Jogyakarta, Gajah Mada University, 1982 Johara T. Jayaduinata , Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan wilayah , Penerbit ITB, Bandung , 1992 Kasim, Ifdhal dan Endang Suhendar (1996), Tanah Sebagai Komoditi Strategis:Tinjauan Kritis Terhadap Kebijakan Pertanahan Orde Baru. Jakarta:ELSAM. ------------------ (1997), “Kebijakan Pertanahan Orde Baru :Mengabaikan Keadilan Demi Pertumbuhan Ekonomi”, dalam Tanah dan Pembangunan, Noer Fauzi (Ed), Jakarta: Sinar Harapan. Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo (1991), Sejarah Perkebunan di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media. 33 Maria W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas , Jakarta, 2001 ------------, Perubahan Penggunaan lahan Pertanian menjadi Lahan Non Pertanian di Propinsi Jogyakarta 1983 1987, Makalah Seminar Tata Guna Tanah Dalam kontek masa Kini dan Masa Datang, Unisri , Solo -----------, Implikasi Kebijaksanaan: Reformasi Hukum Pertanahan , pertemuan Ilmiah Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan , Yogjakarta : Pusat Antar Universitas , Studi Sosial UGM , 1990 Nasution, Andi Hakim (1968), “Padi Ajaib dan Rencana Pembangunan Lima Tahun”, dalam Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia:Perkembangan Pemikiran 1965-1981, Jakarta:Gramedia. Noer Fauzi Petani dan Penguasa , Perjalanan Politik Agraria Indonesia , Pustaka Pelajar Ofset, Jakarta 1999, Notonagoro , Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia , Bina Aksara – Jakarta , 1984 , Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 Parlindungan, A. P (1984), Serbaserbi Hukum Agraria, Bandung:Alumni. ---------------- (1990b), Konversi Hakhak Atas Tanah, Bandung:Mandar Madju. ---------------- (1990c), Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria,Bandung:Alumni. ---------------- (1991a), Landreform di Indonesia:Suatu Studi Perbandingan, Bandung:CV.Mandar Madju. Robert B Seidman, “Law and Devolopment, A General Model “, Law and Society Review, Tahun VI,1972, hal 311-319. Salindeho, John; Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, Jakarta Sinar Grafika , 1994 cet pertama . Sandy, I Made, “Catatan Singkat Tentang Hambatanhambatan Pelaksanaan UUPA” dalam Analisa Tahun XX No. 2. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , Bandung Alumni, 1990 Scott, James C. (1976), Moral Ekonomi Patani:Pergolakan Dan Subsistensi di Asia Tenggara, Jakarta:LP3ES. -------------- (1985), Weapon of the Weak “Everyday form of peasant Rasistance, New Haven and London:Yale University Press. Soelaeman B. Adiwidjaja, HU Pikiran Rakyat 1 Agustus 1999). Dalam YULIANTO DIRDJO SUMARTO ,Budaya Hukum yang Bermartabat, Sebuah Proses Sosial hal 5 Soemardjan, Selo (1984), “Land Reform di Indonesia”, dalam Soediono M.P.Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah, Jakarta:PT. Gramedia. Soetiknjo, Iman (1987), Proses Terjadinya UUPA:Peran Serta Seksi Agraria Universitas Gajah Mada, Yogyakarta:Gajah Mada University Press. ------------- (1990), Politik Agraria Nasional:Hubungan Manusia Dengan Tanag yang berdasarkan Pancasila, Yogyakarta:Gajah Mada Universyty Press. Soerjono Sukanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum , Rajawali, Jakarta 1983 --------------, 1990, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pres , Jakarta, 1989. 34 Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007 Sunaryati Sutoyo Hartomo , Beberapa Pemikiran kearah Pembaharuan Hukum Tanah , Alumni, Bandung , Larangan Alih Fungsi Lahan Produktif Dalam Rangka Upaya Mempertahankan Swasembada Beras ( Studi Kasus Di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Malang) , Program Pasca Sarjana , Universitas Brawijaya, 1999 Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. --------------- , dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Radjagrafindo Persada, Jakarta 1994. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Sumardjono, Maria S.W (1995), “Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum”, Pluralisme Hukum Pertanahan, Jakarta:YLBHI. 35