1 PENDAHULUAN Latar Belakang Akuakultur adalah suatu kegiatan memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit) dengan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Pada spesies ikan tertentu ditemukan perbedaan laju pertumbuhan, tingkah laku, warna, bentuk, atau ukuran tubuh antara jantan dengan betina. Sebagai contoh, laju pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat daripada betina, atau sebaliknya ikan mas betina mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat daripada jantan. Pada beberapa jenis ikan hias air tawar (seperti kongo, rainbow, alestes, dan guppy), karakteristik fenotip jantannya lebih menarik dibandingkan dengan betina. Adanya perbedaan karakter ini dapat menyebabkan potensi ekonomi antara ikan jantan dengan betina berbeda, sehingga dalam budidayanya yang ingin diproduksi biasanya adalah jenis kelamin yang dianggap mempunyai nilai lebih, dalam hal ini adalah ikan dengan jenis kelamin jantan. Pemenuhan akan permintaan ikan dengan jenis kelamin tertentu dapat dilakukan dengan sistem monoseks, yaitu memproduksi ikan yang berjenis kelamin jantan atau betina saja. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memproduksi monoseks secara komersial adalah dengan metode sex reversal atau pengarahan kelamin. Untuk memproduksi benih monoseks jantan dapat digunakan hormon methyl testosterone (MT), pada umumnya adalah 17α-methyltestosterone (17α-MT). Sex reversal dapat dilakukan dengan perendaman induk atau perendaman larva dalam larutan hormon, melalui pemberian pakan yang mengandung hormon. Walaupun penggunaan hormon dalam produksi benih ikan monoseks telah digunakan secara komersial, namun demikian ada kekhawatiran tentang dampak negatif terhadap hormon yang mempengaruhi keamanan pangan dan kelestarian lingkungan. Pada saat ini umumnya konsumen ikan menghendaki agar ikan yang dikonsumsinya diperoleh dari hasil produksi yang terbebas dari bahan-bahan yang berbahaya. Sehingga apabila usaha budidaya ikan dalam proses produksinya 2 menggunakan bahan hormon (hormone based aquaculture), maka produk budidaya tersebut akan sangat rawan terhadap propaganda negatif pasar. Disamping itu, berdasarkan penelitian telah ada bukti bahwa penggunaan hormon dapat mengakibatkan hasil yang paradoxial menjadi betina, terutama bila pemakaian dosis yang berlebihan atau waktu pemberian yang terlalu lama (Hanif et. al, 2006). Selain itu, penggunaan hormon mempunyai beberapa kelemahan, antara lain dapat menyebabkan ikan stres, harga relatif mahal, dan tidak ramah lingkungan. Mengingat permasalahan penggunaan hormon sintetik tersebut, diperlukan adanya bahan lain dalam sex reversal. Salah satu cara yang dianggap aman yaitu dengan penggunaan bahan alami yang aman dan ramah lingkungan, antara lain adalah dengan madu lebah hutan (Djaelani, 2007; Utomo, 2008; Sukmara, 2007). Madu dipilih karena mengandung kalium yang dapat merubah lemak menjadi prenegnelon, dimana prenegnelon inilah yang akan merubah estrogen menjadi progesteron. Dengan berubahnya estrogen menjadi progesteron, maka ikan yang tadinya akan menjadi betina akan diarahkan menjadi ikan jantan. Perlakuan madu dalam sex reversal dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan perendaman induk atau larva dalam larutan madu, dengan pemberian pakan yang telah dicampur madu, atau melalui pakan alami yang diperkaya dengan madu. Dengan demikian, penggunaan madu diharapkan mampu mengatasi masalah penggunaan hormon sintetik untuk kegiatan sex reversal dalam akuakultur, yang berdasarkan pada keamanan pangan dengan mengedepankan konsep back to nature. Tujuan Tujuan penulisan proposal ini adalah untuk mengkaji potensi madu sebagai bahan pengganti hormon sintetik dalam akuakultur. 3 TELAAH PUSTAKA Sex Reversal Secara harfiah, sex reversal dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Dengan penerapan teknologi ini, ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina dan sebaliknya. Cara ini mungkin dilakukan karena pada waktu menetas gonad ikan belum berdiferensiasi secara jelas menjadi jantan atau betina. Dengan teknik sex reversal, fenotip ikan dapat berubah, tetapi genotipnya tidak dapat berubah (Junior, 2002). Tujuan utama dari penerapan teknik sex reversal adalah menghasilkan populasi monoseks (tunggal kelamin). Dengan membudidayakan ikan monoseks akan didapatkan berbagai manfaat antara lain mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat, mencegah pemijahan liar, mendapatkan penampilan yang baik, dan menunjang genetika ikan (teknik pemurnian ras ikan). Beberapa jenis ikan, baik ikan konsumsi maupun ikan hias, telah berhasil diproduksi dengan teknologi sex reversal (Junior, 2002). Methyl Testosterone (MT) Hormon androgen yang paling umum yang digunakan dalam aplikasi sex reversal untuk maskulinisasi (pengarahan kelamin menjadi jantan) adalah 17αmethyltestosterone yang diperkirakan efektif digunakan pada lebih dari 25 spesies yang telah diuji. Methyl testosterone merupakan androgen yang paling sering dipakai untuk merubah jenis kelamin dan penggunaan metiltestosteron pada dosis yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula. 17α- methyltestosterone (17α-MT) merupakan hormon sistetik yang molekulnya sudah dimodifikasi agar tahan lama di dalam tubuh. Hal ini dikarenakan pada karbon ke17 telah ditempeli gugus metal agar tahan lama (Junior, 2002). Methyl testosterone dibuat dengan cara menambahkan satu kelompok α-metil pada atom karbon ke-17 di dalam gugus testosteron dengan rumus bangun kimia kimia C20H30O2, berbobot molekul 302,05. 4 Penggunaan 17-methyltestosterone saat ini sudah mulai dikurangi. Hal ini dikarenakan diduga sifat 17-metiltestosteron yang dapat menimbulkan pencemaran karena sulit terdegradasi, dan karena 17-metiltestosteron dapat menyebabkan kanker pada manusia. Contreras – Sanchez et. al (2001) menyatakan bahwa residu anabolik 17-methyltestosterone masih tertinggal pada sedimen kolam setelah tiga bulan penggunaan pada maskulinisasi benih ikan nila. Residu ini dikhawatirkan dapat menimbulkan ekspos yang tidak diharapkan pada pekerja, ikan dan organisme lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon 17-methyltestosterone mampu mempengaruhi perkembangan gonad beberapa ikan. Madu Madu merupakan larutan karbohidrat yang dihasilkan oleh lebah madu (Apis mellifera) dari nektar bunga dan tepung sari. Komponen utama madu adalah dektrosa dan levulosa. Madu mengandung 70 – 80 % gula invert yang terlarut dalam air, sukrosa, maltose, dekstrin, vitamin C, B1, B2 dan B6, asam pantoneat, asam folat, mineral (Na, K, Ca, Mn, Fe, Cu, P, dan S), enzim hormon, zat bakterisida, fungisida, zat aromatic, lilin, protein, minyak atsiri, asam formiat, dan serbuk sari bunga. Madu juga berfungsi sebagai antioksidan, diantaranya adalah chrysin, pinobaksin, vitamin C, katalase, dan pinocebrin. Zat chrysin merupakan salah satu jenis flavonoid yang diakui sebagai salah satu penghambat enzim aromatase atau lebih dikenal sebagai aromatase inhibitor (Dean, 2004). Madu mengandung kalium yang dapat merubah lemak menjadi prenegnelon, dimana prenegnelon inilah yang akan merubah estrogen menjadi progesteron. Dengan berubahnya estrogen menjadi progesteron, maka ikan yang tadinya akan menjadi betina akan diarahkan menjadi ikan jantan. Aromatase merupakan enzim yang mangkatalis konversi testosteron (androgen) menjadi estradiol (estrogen). Sehingga dalam proses stereoidogenesis dalam sel, pembentukan estradiol dari konversi testosterone akibat adanya enzim aromatase akan terhambat karena adanya chrysin yang berperan sebagai aromatase inhibitor dan pada akhirnya proses stereoidogenesis berakhir pada 5 pembentukan testosterone yang akan merangsang pertumbuhan organ kelamin jantan dan menimbulkan sifat-sifat kelamin sekunder jantan (Junior, 2002). METODE PENULISAN Sumber penulisan PKM – GT ini berupa data sekunder yang berasal dari data skripsi, buku, jurnal, maupun data sekunder lainya. Data tersebut kemudian dikumpulkan, dipilih dan diinterpretasikan sesuai dengan bahasan penulisan. Seluruh literatur yang digunakan dalam penulisan dicantumkan dalam daftar pustaka. ANALISIS DAN SINTESIS Analisis Permasalahan Akuakultur adalah suatu kegiatan memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit) dengan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Effendi, 2004). Pada spesies ikan tertentu ditemukan perbedaan laju pertumbuhan, tingkah laku, warna, bentuk, atau ukuran tubuh antara jantan dengan betina. Hal ini mengakibatkan kecendrungan untuk membudidayakan satu jenis kelamin tertentu saja, yang dapat dilakukan dengan metode sex reversal (pengarahan kelamin). Tujuan utama dari penerapan teknik sex reversal adalah menghasilkan populasi monoseks (tunggal kelamin). Dengan membudidayakan ikan monoseks akan didapatkan berbagai manfaat antara lain mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat, mencegah pemijahan liar, mendapatkan penampilan yang baik, dan menunjang genetika ikan (teknik pemurnian ras ikan). Beberapa jenis ikan, baik ikan konsumsi maupun ikan hias, telah berhasil diproduksi dengan teknologi sex reversal (Junior, 2002). 6 Dalam menghasilkan monoseks ikan, umunya digunakan hormon sintetik seperti methyl testosterone. Namun ada kekhawatiran tentang dampak negatif terhadap hormon yang mempengaruhi keamanan pangan dan kelestarian lingkungan. Pada saat ini umumnya konsumen ikan menghendaki agar ikan yang dikonsumsinya diperoleh dari hasil produksi yang terbebas dari bahan-bahan yang berbahaya. Sehingga apabila usaha budidaya ikan dalam proses produksinya menggunakan bahan hormon (hormone based aquaculture), maka produk budidaya tersebut akan sangat rawan terhadap propaganda negatif pasar. Disamping argumen tersebut, berdasarkan penelitian telah ada bukti bahwa penggunaan hormon mempunyai beberapa kelemahan, antara lain dapat menyebabkan ikan stres dan tidak ramah lingkungan. Berikut adalah hasil sex reversal dengan menggunakan hormon sintetik. Tabel 1. Hasil Sex Reversal Berbagai Jenis Ikan Dengan Menggunakan Bahan Hormon Sintetik No. 1. Spesies Ikan Ikan Guppy (Poecilia reticulata) Metode Pemberian Perendaman induk Dosis 1 mg/L 2 mg/L 4 mg/L 8 mg/L 2. Ikan Guppy (Poecilia reticulata) Perendaman induk 500 ppm, selama 10 jam Hasil 93,4 % jantan 100 % jantan 93,8 % jantan 94,6 % jantan 51,97 % jantan Sumber Arfah, 1997 Utomo, 2008 Sintesis Sesuai dengan pernyataan oleh Effendi (2004), yang menyatakan bahwa akuakultur adalah suatu kegiatan memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit) dengan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, maka untuk menghasilkan akuakultur yang optimal salah satunya haruslah berwawasan lingkungan. Penggunaan 7 hormon sintetik seperti methyl testosterone sudah selayaknya ditinggalkan karena telah terbukti dapat merusak organisme maupun lingkungan. Alternatif bahan pengganti hormon tersebut salah satunya adalah madu. Madu, selain aman juga terbukti memiliki kandungan kalium dan zat chrysin yang berefungsi sama dengan methyl testosterone. Kalium dapat merubah lemak menjadi prenegnelon, dimana prenegnelon inilah yang akan merubah estrogen menjadi progesteron. Dengan berubahnya estrogen menjadi progesteron, maka ikan yang tadinya akan menjadi betina akan diarahkan menjadi ikan jantan. Chrysin merupakan salah satu jenis flavonoid yang diakui sebagai salah satu penghambat enzim aromatase atau lebih dikenal sebagai aromatase inhibitor (Dean, 2004). Aromatase merupakan enzim yang mangkatalis konversi testosteron (androgen) menjadi estradiol (estrogen). Sehingga dalam proses stereoidogenesis dalam sel, pembentukan estradiol dari konversi testosterone akibat adanya enzim aromatase akan terhambat karena adanya chrysin yang berperan sebagai aromatase inhibitor dan pada akhirnya proses stereoidogenesis berakhir pada pembentukan testosterone yang akan merangsang pertumbuhan organ kelamin jantan dan menimbulkan sifat-sifat kelamin sekunder jantan (Junior, 2002). Berikut adalah hasil sex reversal dengan menggunakan bahan dasar madu. Tabel 2. Hasil Sex Reversal Berbagai Jenis Ikan Dengan Menggunakan Bahan Dasar Madu No. Spesies Ikan 1. Nila GIFT (Oreochromis niloticus) 2. Ikan Guppy (Poecilia reticulata) 3. Ikan Guppy (Poecilia reticulata) 4. Ikan Guppy (Poecilia reticulata) 5. Ikan Guppy (Poecilia reticulata) Metode Pemberian Melalui pakan, dosis 200 ml/kg pakan Hasil 93,33 % jantan Sumber Syaifudin, 2004 Perendaman induk selama 10 jam, dosis 60 ppm Perendaman larva selama 10 jam, dosis 10 ppm Perendaman larva selama 10 jam, dosis 5 ppm Perendaman induk selama 10 jam, dosis 60 ppm 59,5 % jantan 46,90 % jantan 46,99 % jantan 56,68 % jantan Martati, 2006 Djaelani, 2007 Sukmara, 2007 Utomo, 2008 8 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Madu dapat dapat dijadikan sebagai bahan pengganti hormon sintetik untuk sex reversal dalam akuakultur. Metode perlakuan sex reversal dengan madu dapat dilakukan dengan perendaman induk atau larva dalam larutan madu, dengan pemberian pakan yang telah dicampur madu, atau melalui pakan alami yang diperkaya dengan madu. Saran Sebaiknya dibuat suatu bahan untuk sex reversal dengan berbahan dasar madu sehingga penggunaan hormon sintetik yang merugikan dapat digantikan. Selain itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui metode pemberian madu yang paling tepat dalam sex reversal.