PENGENALAN PRODUK IMUNISASI PROTEIN 116 kDa

advertisement
PENGENALAN PRODUK IMUNISASI PROTEIN 116 kDa
MEMBRAN SPERMATOZOA MANUSIA PADA
MENCIT (Mus musculus) JANTAN STRAIN BALB/C
Elizabeth Marlynda Shierly Sai, Nursasi Handayani, Umie Lestari
Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang No.5, Malang, Indonesia
[email protected]
ABSTRACT : The density of population is a problem encountered in developing countries, one of
Indonesia. Government through BKKBN has a variety of programs to control the population
density. There is a lack of male participation constraints directly in support of family planning
programs because the majority of the program is aimed at women. Molecular biology approaches
are widely used as a basic research in male immunocontraception. Immunocontraception is a
method that uses the principle of induction of immune response that has a target inhibiting
fertilization. Male immunocontraception research has been developed by utilizing the potential of
sperm membrane proteins or directly connect with zona pellucida in fertilization process. This
study is a descriptive exploratory study with the purpose to investigate the introduction of
immunization products 116 kDa protein from human sperm membrane. Parameters observed in
this study is the absorbance scale immunization products 116 kDa membrane protein of human
spermatozoa through ELISA test is clarified with a purple stain that forms on Dot Blot test. The
ELISA result shows that there is a significance absorbantion scale between normal condition, after
immunization and without immunization. It is also confirmed by the results of the ELISA and Dot
Blot test. The data showed that the 116 kDa protein immunization products identified in mice (Mus
musculus) strain male BALB / C both on the state and after immunization prior to immunization or
in normal condition.
Keyword: Immunization Product, Protein 116 kDa, Male Mice
Kepadatan jumlah penduduk merupakan masalah yang sering dihadapi
oleh negara berkembang, seperti Indonesia. Berbagai program yang dilaksanakan
oleh BKKBN untuk mengatasi masalah kependudukan tersebut, antara lain
melalui program pelayanan kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana dan
pembangunan keluarga sejahtera (BKKBN, 2009). Program Keluarga Berencana
(KB) dipandang perlu untuk mengatasi hal ini sebagai salah satu usaha untuk
merencanakan jumlah dan memberi jarak kehamilan dengan memakai kontrasepsi.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, serta
mewujudkan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera, yang menjadi dasar
bagi terwujudnya masyarakat sejahtera dengan pengendalian kelahiran dan
pertumbuhan penduduk. (BKKBN, 2009). Paradigma baru program KB adalah
mewujudkan keluarga berkualitas di tahun 2015 dan bertujuan memberdayakan
masyarakat membangun keluarga kecil berkualitas, menggalang kemitraan dalam
peningkatan kesejahteraan, kemandirian dan ketahanan keluarga serta
meningkatkan kualitas pelayanan keluarga berencana (Saifuddin dkk, 2006).
Kendala yang muncul dari adanya program KB adalah kurangnya partisipasi pria
secara langsung dalam mendukung program KB. Peran pemerintah yang belum
maksimal dalam menggalakkan program KB untuk pria, mengakibatkan
tingginya pertambahan penduduk yang akan menyebabkan meningkatnya
kebutuhan pelayanan kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan pelayanan
1
2
lainnya. Beberapa produk KB yang membutuhkan partisipasi pria secara
langsung, seperti : vasektomi, penggunaan kondom, pengaturan hormonal,
metode senggama terputus, dan metode pantang, kurang mendapat tanggapan
positif dari masyarakat (BKKBN, 2009).
Pendekatan yang menggunakan biologi molekuler sebagai dasar
penelitian, sangat penting digunakan untuk mencari protein spesifik yang mampu
menjadi bahan untuk kontrasepsi yang bersifat antispermatozoa. Penelitian banyak
diarahkan pada usaha untuk menemukan kontrasepsi secara imunologis dengan
memanfaatkan potensi protein membran sperma yang bersifat imunogenik.
Pengembangan antibodi yang menggunakan protein yang bersifat imunogenik
dari spermatozoa merupakan penelitian yang sangat menjanjikan untuk regulasi
fertilitas. Hal ini disebabkan karena antibodi yang berasal dari protein membran
sperma dapat menghalangi fertilisasi (Naz, 1996). Antibodi yang dibuat sebagai
anti- protein Acidic Epididymal Glycoprotein (AEG) yang memiliki berat
molekul 37 kDa dan berada pada bagian dorsal kepala sperma pada saat fertilisasi
telah dibuktikan mampu menghambat penetrasi sperma ke ovum melalui
pengujian secara in vitro (Suri, 2004). Efek anti fertilitas yang menggunakan
protein membran sperma juga terbukti pada penelitian menggunakan protein 80
kDa yang berasal dari membran spermatozoa manusia pada tikus jantan strain
Holtzman. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa spermatozoa tikus jantan
strain Holtzman mengalami aglutinasi atau non motil sehingga gagall membuahi
ovum tikus betina strain Holtzman saat dilakukan pengujian lebih lanjut
(Bandivdekar et al., 2005).
Protein dengan konsentrasi tertentu dapat mempengaruhi fertilisasi.
Protein 116 kDa membran spermatozoa manusia yang terletak di kepala
spermatozoa manusia dan di daerah akrosomal berpeluang menjadi kandidat
bahan imunokontrasepsi pria, karena protein 116 kDa adalah protein non kinase
yang berada di daerah akrosomal spermatozoa yang akan melakukan kontak
langsung dengan zona pelusida dari ovum dan bersifat imunogenik(Lestari et
al.,2013). Adanya keterbatasan pengenalan protein yang hanya dapat dilakukan
oleh beberapa reseptor protein spesifik pada sel membuat perlu ditelitinya suatu
protein spesifik yang bekerja dalam lingkup yang luas yaitu dapat dikenali oleh
spesies lain yaitu mencit.
METODE
Mencit jantan berusia dua belas minggu sejumlah tiga ekor diimunisasi
protein 116 kDa yang dicampur dengan adjuvan yang diinjeksi secara
intraperitoneal dengan volume injeksi 0,5 ml per ekor (Suckow et al,
2001).Pengambilan data dilakukan pada keadaan pre imun, 7 hari setelah
imunisasi, dan 14 hari setelah imunisasi berupa darah yang diambil dengan cara
memotong ujung ekor. Selanjutnya darah akan disentrifugasi untuk mengambil
serum darah. Serum darah akan dipurifikasi lalu diuji menggunakan ELISA dan
Dot Blot untuk mengetahui produk imunisasi protein 116 kDa.
HASIL
Data skala absorbansi produk imunisasi protein 116 kDa dapat dilihat pada
gambar 1. Data disajikan dalam bentuk grafik.
3
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
Mencit 1
Mencit 2
Mencit 3
0.2
0
PRE IMUN
B1
B2
B3
B4
B5
B6
Gambar 1 Skala absorbansi produk imunisasi protein 116 kDa.
Keterangan :
Pre Imun = Darah yang diambil sebelum imunisasi protein 116 kDa
B1 = Serum hasil bleeding pertama (setelah imunisasi CFA + protein 116 kDa)
B2 = Serum hasil bleeding kedua (14 hari setelah imunisasi IFA + protein 116 kDa)
B3 = Serum hasil bleeding ketiga (7 hari setelah imunisasi IFA + protein 116 kDa)
B4 = Serum hasil bleeding keempat (14 hari setelah imunisasi IFA + protein 116 kDa)
B5 = Serum hasil bleeding kelima (7 hari setelah booster IFA + protein 116 kDa)
B6 = Serum hasil bleeding keenam (14 hari setelah booster IFA + protein 116 kDa)
Grafik di atas menunjukkan bahwa, skala absorbansi tertinggi dari ketiga
hewan coba berada pada bleeding kedua (7 hari setelah imunisasi IFA + protein
116 kDa) dan kelima (14 hari setelah booster IFA + protein 116 kDa). Secara
umum, titik tertinggi skala absorbansi pada mencit 1 mencapai 1,658, sedangkan
pada mencit 2 adalah 1,574 dan 1,593 pada mencit 3. Pada keadaan B1 (setelah
imunisasi CFA + protein 116 kDa) skala absorbansi mengalami penurunan pada
mencit pertama, namun mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada mencit
kedua dan ketiga, yaitu masing-masing sebesar 0,439 dan 0,190. Penurunan skala
absorbansi juga terjadi di B3 (14 hari setelah imunisasi IFA + protein 116 kDa).
Penurunan skala ini, tidak hanya mencit 2 dan mencit 3 saja yang mengalami
penurunan skala, tetapi juga pada mencit 1. Mencit 1 mengalami penurunan skala
sebesar 0,559, sedangkan mencit 2 mengalami penurunan skala sebesar 0,886 dan
mencit 3 sebesar 0,630. Absorbansi pada keadaan B5 (14 hari setelah booster IFA
+ protein 116 kDa), kembali mengalami kenaikan. Pada mencit 1 skala absorbansi
mengalami kenaikan 0,280 dari skala 0,926 menjadi skala 1,206. Skala absorbansi
mencit 2 juga mengalami kenaikan yaitu sebesar 0,601 menjadi 1,305 sedangkan
mencit 3 mengalami kenaikan skala absorbansi sebesar 0,930. Pada B6 (14 hari
setelah booster IFA + protein 116 kDa) skala absorbansi pada ketiga mencit
mengalami penurunan.
Berdasarkan data ELISA tersebut, rata-rata produk imunisasi protein 116
kDa dapat dihitung dan ditentukan besar kenaikan maupun penurunan skala yang
terjadi mulai keadaan Pre Imun hingga B6. Data rata-rata produk imunisasi
protein 116 kDa dapat dilihat pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Rata-Rata Produk Imunisasi Protein 116 kDa
Pre Imun
B1
B2
B3
B4
B5
B6
1,110
1,266
1,481
0,79
0,765
1,368
1,164
Keterangan :
Pre Imun = Darah yang diambil sebelum imunisasi protein 116 kDa
B1 = Serum hasil bleeding pertama (setelah imunisasi CFA + protein 116 kDa)
B2 = Serum hasil bleeding kedua (14 hari setelah imunisasi IFA + protein 116 kDa)
B3 = Serum hasil bleeding ketiga (7 hari setelah imunisasi IFA + protein 116 kDa)
B4 = Serum hasil bleeding keempat (14 hari setelah imunisasi IFA + protein 116 kDa)
B5 = Serum hasil bleeding kelima (7 hari setelah booster IFA + protein 116 kDa)
B6 = Serum hasil bleeding keenam (14 hari setelah booster IFA + protein 116 kDa)
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata skala absorbansi pada
keadaan Pre Imun adalah sebesar 1,110. Keadaan Pre Imun adalah keadaan di
mana darah mencit diambil pada saat hari ketujuh di sini merpakan data keadaan
normal mencit (Gambar 1). Skala ini mengalami kenaikan sebesar 0,156 yaitu
menjadi 1,266 pada keadaan B1. B1 adalah keadaan di mana darah mencit diambil
setelah diberi CFA dan antigen berupa protein 116 kDa pada tujuh hari
sebelumnya. Skala Pre imun masih mengalami kenaikan sebesar 0,371 pada
keadaan B2 sehingga skala menjadi 1,481 sedangkan bila dilihat dari posisi skala
B1, skala ini mengalami kenaikan sebesar 0,215. Setelah pengambilan darah B2,
mencit diinjeksi IFA dan antigen berupa protein 116 kDa secara intraperitoneal.
Setelah 7 hari dari injeksi tersebut, darah mencit kembali diambil (B3). Skala B3
sebesar 0,790 adalah skala yg mengalami penurunan dari B2 sebesar 0,691 dan
kembali mengalami penurunan sebesar 0,025 dari B3 menjadi 0,765 pada keadaan
B4. Tujuh hari setelah pengambilan darah B4, mencit kembali diimunisasi
menggunakan IFA dan antigen protein 116 kDa yang diiberikan melalui injeksi
intraperitoneal. Pada keadaan B5 (tujuh hari setelah imunisasi) skala absorbansi
produk imunisasi meningkat sebanyak 0,603 dari posisi B4 menjadi 1,368. Jika
dilihat dari posisi Pre Imun, skala absorbansi produk imunisasi pada posisi B5
mengalami kenaikan sebesar 0,258. Skala absorbansi B6 atau empat belas hari
setelah imunisasi mengalami penurunan kembali sebanyak 0,204 menjadi 1,164.
Berdasarkan hasil pengujian ELISA tersebut, diperoleh enam data
absorbansi yang tertinggi, yaitu tiga data dari serum mencit yang diambil 14 hari
setelah imunisasi IFA + protein 116 kDa (B2) dan 3 data lainnya yaitu dari serum
mencit yang diambil 14 hari setelah booster IFA + protein 116 kDa (B5). Keenam
data tersebut diuji menggunakan Dot Blot dan dibandingkan dengan serum hasil
Pre Imun. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengenalan produk
imunisasi protein 116 kDa pada masing-masing sampel yang akan diuji dengan
protein 116kDa melalui Dot Blot. Data hasil pengujian Dot Blot dapat dilihat
pada Tabel 2.
5
Tabel 2 Hasil Pengujian Serum Darah Mencit Menggunakan Metode Dot Blot.
Keterangan :
Pre Imun Mencit 1= Darah yang diambil sebelum imunisasi protein 116 kDa pada mencit 1
Pre Imun Mencit 2= Darah yang diambil sebelum imunisasi protein 116 kDa pada mencit 2
Pre Imun Mencit 3= Darah yang diambil sebelum imunisasi protein 116 kDa pada mencit 3
B2 Mencit 1 = Serum mencit 1 hasil bleeding kedua (14 hari setelah imunisasi IFA + protein
116 kDa)
B2 Mencit 2 = Serum mencit 2 hasil bleeding kedua (14 hari setelah imunisasi IFA + protein
116 kDa)
B2 Mencit 3 = Serum mencit 3 hasil bleeding kedua (14 hari setelah imunisasi IFA + protein
116 kDa)
B5 Mencit 1 = Serum mencit 1 hasil bleeding kelima (7 hari setelah booster IFA + protein 116
kDa)
B5 Mencit 2 = Serum mencit 2 hasil bleeding kelima (7 hari setelah booster IFA + protein 116
kDa)
B5 Mencit 3 = Serum mencit 3 hasil bleeding kelima (7 hari setelah booster IFA + protein 116
kDa)
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa sampel yang mengandung
produk imunisasi protein 116 kDa yaitu B1-B6 dikenali oleh protein 116 kDa
ditunjukkan dengan warna biru, namun pada preimun juga berwarna biru yang
menunjukkan ada pengenalan dengan protein 116kDa.
PEMBAHASAN
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa
imunogen atau benda asing yang akan masuk dalam tubuh manusia memiliki
kriteria tertentu untuk dapat mempengaruhi sistem imun, yaitu berat molekul dan
dosis suatu imunogen. Imunogen dikatakan sebagai zat imunogenik bila memiliki
ukuran berat molekul kurang dari 10000 Dalton dan dikatan sebagai imunogen
poten bila memiliki ukuran berat molekul lebih besar dari 100000 Dalton
(Subowo, 2009). Jika dilihat dari kriteria ini, protein 116 kDa termasuk pada
kelompok imunogen poten. Selain dari berat molekul, suatu sistem imun juga
dipengaruhi oleh dosis substansi yang akan masuk ke dalam tubuh
hewan/manusia. Dosis protein 116 kDa yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 447µg/ml. Dosis ini diambil dari konsentrasi protein 116 kDa saat diuji
6
menggunakan Nanodrop Spektrofotometer dengan panjang gelombang 260/280,
karena belum adanya dosis standar yang dipublikasikan mengenai protein ini.
Nilai antibodi yang didapatkan pada penelitian ini masih berupa skala
absorbansi produk imunisasi protein 116 kDa. Hal ini dapat terjadi karena belum
adanya standar khusus untuk antibodi protein 116 kDa. Suatu skala hanya dapat
dikatakan sebagai titer antibodi jika telah dibandingkan dengan standar suatu
antibodi (Crowter, 2001), sehingga skala absorbansi pada penelitian ini selalu
dibandingkan dengan preimun. Pada penelitian ini, sampel yang diuji berupa
serum darah mencit diambil sebanyak 7 kali dengan periode pengambilan darah 7
hari sebelum diimunisasi protein 116 kDa, 7 hari setelah imunisasi dan 14 hari
setelah imunisasi. Hal ini bertujuan agar peristiwa toleransi imunologik dari
respon imun adaptif mencit dapat teramati dengan baik (Subowo, 2009).
Berdasarkan hasil pengujian menggunakan ELISA, skala absorbansi pada
saat tidak diimunisasi dalam keadaan normal, berbeda dengan setelah terjadi
imunisasi yang menggunakan CFA, IFA dan protein 116kDa. CFA (Complete
Freund Adjuvant) berisi Mycobacterium tuberculosis. CFA (Complete Freund
Adjuvant) berfungsi untuk meningkatkan respon imun dengan merangsang
produksi makrofag yang akan menaikkan produksi antibodi setelah diberi protein
116kDa, sedangkan IFA (Incomplete Freund Adjuvant) mengandung minyak non
metabolit yaitu minyak parafin dan mannide monooleat yang berfungsi sebagai
penyeimbang antibodi. Dalam penelitian, adjuvan digunakan untuk menstimulasi,
meningkatkan dan mempertahankan respon imun (Jackson, et al. 1995).
Mekanisme adjuvan pada tubuh hewan coba diawali dengan adanya respon imun
pada daerah injeksi, yang nantinya akan berlanjut dengan interaksi antara adjuvan
dengan sel B dan sel T sehingga akan menghasilkan antibodi (Awate, et al. 2013).
Diperlihatkan pada data skala absorbansi B2 yang tinggi dapat diasumsikan
sebagai respon imun dari mencit terhadap pemberian CFA (Complete Freund
Adjuvant) +protein 116kDa, sedangkan skala B5 yang tinggi dapat diasumsikan
sebagai titik toleransi imunologik terhadap protein 116kDa + IFA. .
Berdasarkan hasil pengujian Dot Blot diperoleh hasil adanya noda ungu
pada seluruh sampel. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diuji mengenali
protein yang diinjeksikan (Sanger, 2004). Berdasarkan hasil tersebut diketahui
bahwa produk imunisasi protein 116 kDa (sampel) yang diujikan mengenali
protein 116 kDa yang diberikan. Sedangkan pada keadaan pre Imun juga
menunjukkan warna ungu, hal ini dimungkin karena produk imunisasi protein 116
kDa yang dimungkinkan antibodi poliklonal memilki banyak epitop yang
mampu dikenali oleh protein yang terdapat pada hewan coba.
PENUTUP
Kesimpulan
Produk imunisasi protein 116 kDa membran sperma manusia dapat
dikenali oleh mencit (Mus musculus) jantan Strain BALB/C.
Saran
Perlu diadakan penelitian uji pengenalan produk imunisasi protein 116
kDa membran sperma manusia dengan menggunakan Western Blotting dan
Imunohistokimia, sehingga produk imunisasi protein 116 kDa membran sperma
manusia dapat dipastikan mengandung antibodi yang dikenali oleh protein 116
kDa.
7
DAFTAR RUJUKAN
Abbas, Abul K. Andrew H. Lichtman. 2004. Basic Immunology : Functions and
Disorders of The Immune System. California : Saunders
Awate, Sunita. Lorne A. Babiuk. George Mutwiri. 2013. Review : Mechanisms of
Action of Adjuvants. Frontiers in Immunology
Bandivdekar, Atmaram H. Vandana J. Vernekar. Masaharu Kamada. Vijaya P.
Raghavan. 2005. Anti Fertility Effect of Passive Administration of
Antibodies to 80 kDa Human Sperm Antigen and Its Synthetic Peptides in
Male and Female Rats. American Journal of Reproductive Immunology 54,
332-341
BKKBN. 2009. Pedoman Keluarga Berencana. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI
Crowter, John R. 2001. Methods in Molecular Biology Vol. 149 : The ELISA
Guidebook. New Jersey : Humana Press Inc.
De Jonge, Christopher J. Barrat, Christopher L.R. 2006. The Sperm Cell :
Production, Maturation, Fertilization, Regeneration. Cambridge :
Cambridge University Press
Glone, Mc.. Anderson DL. Norman RL. 2001. Floor Space Needs For Laboratory
Mice : BALB/cJ Males Or Females In Solid Bottom Cages With Beeding.
Journal of The American Association for Laboratory Vol.40 (3). 21-25
Herlianto, D., 2008. Ledakan Pertumbuhan Penduduk: Keluarga Berencana
Tetap Menjadi Kunci.; http//www.media-indonesia.com/ rubrik/arsipaktual.
Diakses 11 Agustus 2013
Hoff, Janet. 2000. Methods of Blood Collection in The Mouse. Journal of
Laboratory Animal Vol.29 (10) : 47-53
IDEXX.2010. Elisa Techical Guide.Netherland : European Headquarters IDEXX
Europe B.V
Jackson, R.L. J.C Fox. 1995. Adjuvants and Antibody Production. ILAR Journal
Vol.37 (3) : 141-152
Johnson, Martin H., B.J. Everitt. 2007. Essential Reproduction 6th Edition.
Victoria : Blackwell Publishing
Kupker, W. K. Diedrich. R.G. Edwards. 1998. Principles of Mammalian
Fertilization. Journal of Human Reproduction Vol.13 (20-32)
Lestari,Umie. Aulanni’am. Basuki B. Purnomo. Sutiman B. Sumitro. 2013.
Human Sperm Protein 116 kDa : A Candidate Antigen For
Immunocontraception Technology. Journal of Biological Researches 18 :
86-90
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW.Biokimia Harper.25th ed.
Jakarta: EGC; 2003. p. 270-87.
Naz, Rajesh K. 1996. Application Of Sperm Antigens In Immunocontraception.
Frontiers in Bioscience 1, 87-95
Prasad, S.V., Skinner, S.M., Carino, C., Wang, N., Cartwright, J. and Dunbar,
B.S., 2000, CellTissue Organs. 166 (2).
Saifudin BA, dkk, 2006, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono prawirohardjo, Jakarta
Sanger Institute, 2004. Dot Blot Protocol.
Schwiebert, Rebecca. Ed. 2007. The Laboratory Mouse. Singapore : Laboratory
Animals Centre National University of Singapore
8
Subowo. 2009. Imunobiologi Edisi 2. Sagung Seto :Jakarta
Suckow, Mark A. Karla A. Stevens, Ronald P. Wilson. 2012. The Laboratory
Rabbit, Guinea Pig, Hamster and Other Rodents 1st Edition. Oxford :
Elsevier
Suri, Anil. 2004. Sperm Specific Protein-Potential Candidate Molecules For
Fertility Control. Reproductive Biology and Endocrinology, 2:10
Wassarman, Paul M. Luca Jovine. Huayu Qi. Zev Williams. Costel Darie. Eveline
S. Litscher. 2004. Recent Aspects of Mammalian Fertilization Research.
Journal of Molecular and Cellular Endocrinology, 234 : 95-103
Download