kaidah antropometri dalam rumah adat

advertisement
KAIDAH ANTROPOMETRI
DALAM RUMAH ADAT KARAMPUANG
SINJAI – PROVINSI SULAWESI SELATAN
THE ANTHROPOMETRIC NORMS IN THE KARAMPUANG
TRADITIONAL HOUSES IN SINJAI- SOUTH SULAWESI PROVINCE
Rahmiani Rahim, Shirly Wunas, Abdul Mufti Radja
Program Studi Teknik Arsitektur, Konsentrasi Teknik Arsitektur,
Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Makassar
Alamat Korespondensi :
Rahmiani Rahim
Program Studi Teknik Arsitektur
Konsentrasi Teknik Arsitektur
Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin Makassar
HP. 081 393 635 288
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatar belakangi oleh tingkat kepercayaan terhadap kaidah dalam penerapan antropometri pada
bangunan rumah adat Karampuang masih sangat tinggi serta tidak siapnya generasi penerus dalam memelihara
unsur budaya lokal secara utuh. Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis ukuran antropometri yang
telah diaplikasikan pada rumah adat Karampuang, (2) Menganalisis kaidah yang terkandung dalam penerapan
ukuran antropometri pada rumah di kawasan adat Karampuang, dan (3) menganalisis keberlanjutan penggunaan
sistem ukuran antropometri dan kaidahnya yang masih diterapkan dalam perumahan dalam kawasan adat
Karampuang. Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Karampuang Desa Tompo Bulu Kecamatan Bulupoddo
Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Metode yang digunakanadalah metode etnografi dan teknik pengumpulan
data dengan cara observasi, wawancara dan pengukuran di lapangan. Hasil penelitian ditemukan bahwa ukuran
antropometri yang digunakan pada rumah adat karampuang adalah ukuran reppa, sikku’, lapposusu, jakka’, jarak
lingkar antara mata kanan ke mata kiri/ telinga kanan ke telinga kiri, dan kekkeng tuo. Kaidah yang diyakini oleh
masyarakat, di antaranya harapan akan jangkauan rejeki yang luas, keberuntungan, dan kewaspadaan, serta
harapan segala sesuatu pemasalahan dalam hidup dapat diatasi dengan mudah. Penggunaan ukuran antropometri
pada rumah adat masih dilestarikan hingga saat ini sedangkan rumah masyarakat di kawasan adat sudah
mengalami pergeseran ke ukuran meter meski demikian unsur ukuran antropometri sikekkeng tuo tetap selalu
ditambahkan dalam penentuan ukuran rumah. Sangat disayangkan sebagian besar dari mereka sudah tidak
mengetahui kaidah penggunaan antorpometri tersebut.
Kata kunci: antropometri, rumah adat, karampuang
Abstract
This research is motivated by the level of trust in the rules in the norm contained of application the
anthropometric measurement in Karampuang traditional houses and unprepared in nurturing the next
generation of local culturals elements intact. This research aimed (1) to analyze the anthropometric
measurement applied in Karampuang traditioanal houses; (2) to analyze the norm contained in th application of
the anthropometric measurement of traditional in Karampuang traditional region; (3) to analyze the
sustainability of the use of the anthropometric measurement and its norm wich still implemented in the houses in
Karampuang traditionalregion. The research was conducted in Karampuang kampong, Tompo Bulu Village,
Bulopoddo Sub-District, Sinjai Regency, South Sulawesi Province. The method used was the ethnographical
method, and the techniques of collecting the data were observation, interviews, and the field measurement. The
research result indicated tha the anthropometric measurement wich used in Karampuang traditional houses
were rappa, lapposusu, jakka, circle distance between the right and left eyes/betwee the right ear and the left
ear, and kekkeng tuo. The norms wich were believed by the community were among others, the expectation of the
wide livehood rang, fortune, and the alertness, as well as the hope that all the life problems could be solved
easily. The use o the anthropometric measurement of the houses was still preserved until now, though some
houses of the community in the traditional region had experienced a change to the metrical measurement, but
the anthropometric measurement of sikekkeng tuo is still added in determining the house measurement. It is
unfortunate that the majority of the community members have no more knowledge about the norms of the
anthropometric use.
Keywords: anthropometric, traditional houses, Karampuang.
PENDAHULUAN
Keragaman budaya yang ada di Indonesia menjadikan Indonesia lebih unggul
dibandingkan dengan negara lain. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan
bervariasi. Kelalaian masyarakat dalam menyikapi, sekaligus mengelola kekayaan itu menjadi
faktor hilangnya khazanah budaya bangsa. Kurangnya kesadaran masyarakat, minimnya
komunikasi budaya dan kurangnya pembelajaran tentang budaya menjadi kelemahan yang
kemudian mudah dimanfaatkan oleh Negara tetangga untuk mengklaimnya sebagai warisan
budaya mereka. Rumah adat yang ada di Indonesia sebagai produk budaya, sebagian besar
menggunakan metode antorpometri dalam pengukuran ruang dan bangunannya, termasuk di
dalamnya rumah adat Bali, rumah adat Jawa, rumah adat Ternate, dan rumah adat yang ada di
Sulawesi yaitu rumah adat Mandar dan Kajang. Akan tetapi kaidah/ makna yang terkandung
dalam penggunaan metode pengukuran tersebut tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas
terutama oleh masyarakat di era modern.
Pemaknaan suatu objek budaya sangatlah penting, baik secara subjektif maupun dalam
lingkup yang lebih besar. Tanpa upaya memberi makna pada objek-objek budaya oleh
generasi sebelumnya, maka karya-karya yang dihasilkan akan lenyap tak berbekas dari
peradaban karena generasi berikutnya tidak mampu memberi pemaknaan (Sachari, 2005).
Adat istiadat dan kepercayaan adalah warisan nenek moyang yang mengisi inti kebudayaan.
Hal tersebut dipercaya sebagai warisan yang diterima langsung dari sang pengatur tata tertib
kosmos untuk menjadi pengarah jalannya lembaga-lembaga sosial. Oleh sebab itu berbagai
upacara, pesta dan upacara kemasyarakatan yang berdasarkan pada adat istiadat, tetap
diadakan untuk menjaga kesinambungan dan pelestarian prosesi budaya bangsa termasuk tata
cara atau prosesi pembuatan rumah (Tato, 2009).
Antropometri termasuk salah satu teori proporsi karena merujuk pada pengukuran
proporsi dan besaran tubuh manusia. Metode antropometri tidak mencari perbandingan
simbolis ataupun abstrak, melainkan fungsional. Mereka dilekatkan dengan teori yang
menyatakan bahwa bentuk dan ruang didalam arsitektur dapat menjadi penampung atau
perpanjangan tubuh manusia dan oleh karenanya ditentukan melalui ukuran- ukurannya.
Antropometri termasuk dalam ilmu ergonomis yang mempelajari tentang efisiensi dan
kenyamanan suatu bangunan (Ching, 2009).
Antropometri dibagi menjadi dua bagian, yaitu antropometri statis (pengukuran dilakukan
pada saat tubuh dalam keadaan diam / tidak bergerak ) dan antropometri dinamis (pengukuran
dalam berbagai posisi tubuh yang sedang bergerak). Terdapat dua kelas pengukuran dinamis,
yaitu: a) Pengukuran tingkat keterampilan sebagai pendekatan untuk dapat memahami
keadaan mekanis dari suatu aktifitas b) pengukuran jangkauan ruangan yang dibutuhkan saat
kerja (Purnomo, 2013).
Arsitektur tradisional adalah bangunan yang bentuk, struktur, ragam hias, fungsi dan
cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta dapat dipakai untuk melakukan
aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya (Nunung, 2012).
Rumah adat Karampuang merupakan salah satu diantara keragaman ragam arsitektur
vernakuler yang terdapat di Sulawesi Selatan yang terletak di Kabupaten Sinjai Provinsi
Sulawesi Selatan. Beberapa hal unik yang menarik dari rumah adat Karampuang adalah
tempat di mana rumah adat tersebut berada merupakan kawasan adat. Luas wilayah kawasan
ini hanya 4,2Km² dengan panjang jalan keseluruhan 5,8 Km dan terdapat 93 buah rumah
termasuk di dalamnya rumah adat Puang To Matoa (rumah raja) dan rumah Puang Gella
(rumah perdana menteri) (Muhannis, 2013).
Penelitian yang mengkaji tentang keberadaan Kawasan Adat Karampuang di Sinjai
masih sangat kurang, hanya terbatas pada bidang-bidang antropologi (Manda,2012), hukum
dan sosial budaya (Pratomo, 2012). Khusus bidang arsitektur, rumah adat tersebut sampai
sejauh ini belum banyak dilakukan penelitian. Sehingga rujukan penelitian dari bidang lain
masih sangat perlu untuk dijadikan tambahan referensi dalam penelitian ini.
Rumah adat ini berdiri dengan segala cerita dan keyakinan yang mendasarinya,
informasi tentang dasar keyakinan dalam berbagai macam kebudayaan sudah hampir hilang
dan belum banyak diketahui oleh masyarakat setempat, termasuk keyakinan dalam hal
menentukan ukuran bangunan dan ruang rumah adatnya secara keseluruhan menggunakan
antropometri. Menentukan ukuran bangunan, ruang, dan lain-lain pada rumah adat
Karampuang menggunakan ukuran anggota tubuh (antropometri) yang diambil berdasarkan
antropometri penghuni laki-laki/wanita.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis ukuran antropometri yang telah
diaplikasikan pada rumah adat Karampuang.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini
dilaksanakan
pada bulan Juni - Oktober tahun 2014 di Dusun
Karampuang Desa Tompobulu Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. Dusun Karampuang
terletak di wilayah -5° 6’ 9.26” LS, +120° 6’ 2.75”BT. Khusus kondisi geografis kampung
Karampuang terletak di atas pegunungan dengan ketinggian sekitar 618 meter di atas
permukaan laut dengan curah hujan 75 mm dan suhu udara rata-rata 23° C. Jarak dari pusat
Kota Sinjai sekitar 35 km. Kabupaten Sinjai adalah salah satu dari 23 Kabupaten dalam
Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di pantai Timur bagian selatan jazirah Sulawesi
Selatan. Jaraknya sekitar 223 km dari Kota Makassar (lihat Gambar 1).
Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu menggunakan metode observasi
lapangan, wawancara, pengukuran lapangan serta metode rekam dan catat untuk menghidari
kesalahan data. Fokus dalam penelitian ini adalah ukuran dan penggunaan antropometri di
rumah adat (Puang To Matoa dan Puang Gella’).
Teknik analisis data
Teknik analisis data dalam penelitian ini untuk menjawab tujuan penelitian tentang
ukuran antropometri yang telah diaplikasikan pada rumah adat, menggunakan cara analisis
perbandingan antar standart ukuran yang ada dengan hasil pengukuran lapangan.
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang di gunakan adalah metode etnografi (Spradley, 2006)
dengan analisis deskriptif untuk memperoleh gambaran secara umum tentang tujuan
penelitian. Dalam metode etnografi, Informan diminta untuk berbicara dalam bahasa atau
dialeknya sendiri. Informan yang baik adalah orang yang betul-betul mengetahui paham akan
budaya mereka tanpa harus memikirkannya. Pada penelitian ini “uragi” (ahli dalam
membangun rumah adat di kawasan Karampuang) menjadi informan utama dan informan
berikutnya adalah pemangku adat, tokoh masyarakat serta masyarakat setempat .
HASIL PENELITIAN
Bangunan utama pada kawasan adat Karampuang hanya terdiri dari dua unit rumah
adat (lihat Gambar 2), dengan fungsi yang berbeda. Satu sebagai tempat tinggal Raja (arung
atau To Matoa) yang juga sebagai tempat menyimpan benda-benda kerajaan (Arajang).
Sementara satu unit lainnya sebagai tempat tinggal perdana menteri (Gella).
Antropometri yang digunakan dalam aplikasi pengukuran rumah adat adalah antropometri dari
pemangku adat yang pertama kali menjabat saat rumah adat didirikan, antropometri Puang To Matoa
(untuk rumah adat Puang To Matoa) dan antropometri Puang Gella (untuk rumah adat Puang
Gella). Bagian antropometri yang digunakan adalah Reppa, Sikku, Jakka, Kekkeng tuo, Lapposusu,
setinggi mata orang berdiri, setinggi telinga orang duduk, lingkar mata dan lingkar telinga. Informasi
tentang siapa yang menjabat jabatan Puang To Matoa dan Puang Gella pada masa itu sudah
tidak dapat diketahui lagi karena dari sejarah yang ada, rumah adat dengan bentuk yang
sekarang mulai ada sekitar tahun 1760-an (sejak ajaran Islam masuk ke kawasan adat
Karampuang).
Hal
tersebut
merupakan
satu
kendala
bagi
peneliti
untuk
dapat
mengidentifikasi ukuran antropometri secara detail pada rumah adat tersebut. Selain kendala
di atas, dalam mengidentifikasi ukuran rumah adat peneliti tidak diperbolehkan menggunakan
alat ukur modern (meter laser dan meter roll). Menurut para pemangku adat dan Uragi meski
tidak mengetahui secara pasti ukuran tubuh Puang To Matoa dan Puang Gella (yang
menjabat pada masa itu), ukuran pada rumah adat tersebut tidak pernah dirubah dan tetap
menjaga ukuran awal hingga sekarang jika ada pergantian material. Posisi material yang
digantikan akan menempati posisi semula dan diupayakan tidak bergeser sedikitpun.
Mempertahankan ukuran asli/pertama sejak berdirinya rumah adat merupakan salah satu
usaha masyarakat adat Karampuang dalam menjaga warisan leluhur.
Dari hasil survey lapangan, secara fisik perbedaan dari kedua bangunan utama tersebut
dapat dilihat dari orientasi bangunan, ukuran rumah, atap, dan bentuk ventilasi serta jumlah
kamar tidur. Rumah adat Puang To Matoa menghadap ke barat dan rumah adat Puang Gella
mengahadap ke timur. Ukuran rumah Puang To Matoa (panjang 17 reppa+ sikekkeng tuo,
lebar 7 reppa+ sikekkeng tuo) lebih besar dari ukuran rumah Puang Gella (panjang 11
reppa+ sikekkeng tuo, lebar
5 reppa+ sikekkeng tuo) . Atap rumah Puang To Matoa
memiliki timpa’ laja bersusun tiga dan rumah Puang Gella memiliki timpa’ laja bersusun
dua. Bentuk ventilasi pada rumah Puang To Matoa berbeda dengan rumah Puang Gella.
Kamar tidur pada rumah adat rumah Puang To Matoa berjumlah 4 kamar dan rumah Puang
Gella terdapat 2 kamar. Keunikan rumah adat Karampuang dapat dilihat dari perletakan
tangga utama, pintu utama dan dapurnya. Tidak seperti rumah adat pada umumnya (tangga
utama diletakkan di bagian depan, pintu sebidang dengan dinding dan dapur pada bagian
belakang), tangga utama pada rumah adat ini terletak dibagian tengah rumah, sedangkan
perletakan pintu utamanya sebidang dengan lantai rumah dan yang pertama kali dijumpai
ketika memasuki rumah adat adalah dapur (lihat Gambar 3).
Hasil konversi antropometri ke ukuran metrik didapatkan ukuran reppa = ±158cm,
lapposusu = ±84cm, sikku = ±42cm, Jakka = ±20cm, sikekkeng tuo = ±16cm, setinggi mata
orang berdiri = ±151cm, setinggi telinga orang duduk = ±69cm, lingkar mata = ±47cm,
lingkar telinga = ± 23.5cm. Luas bangunan rumah adat diketahui rumah Puang To Matoa
memiliki luas ±240.18m2 dan rumah Puang Gella = ±166.84m2. Modul untuk jarak antar
tiang diketahui = 3.48mx 2.14m. Terdapat dua jenis pintu pada rumah adat pintu utama dan
pintu kamar, ukuran pintu utama 2.14mx 1m, ukuran pintu kamar tinggi = 1.42m dan lebar =
0.58m. Luas bukaan di atas dinding adalah 32.1 m2 (lihat Tabel 1). Luas bukaan jendela dan
ventilasi pada rumah adat Puang To Matoa adalah 2.27m2, pada rumah Puang Gella adalah
2.23m2. Pada rumah adat karampuang terdapat tiga jenis tangga (lihat Gambar 4) yaitu tangga
utama (T1), tangga menuju rakkeang (T2) dan tangga menuju area di atas rakkeang yang
percaya sebagai tempat To Manurung (T3). Ukuran tangga pada rumah adat setelah
dikonversi ke ukuran metrik diketahui uptrede tangga utama = 20cm dan antrede = 20cm,
tangga T2 ukuran uptrede = 36cm. Pada dapur rumah adat, terdapat area masak, tempat cuci,
ruang makan, dan tempat penyimpanan peralatan dapur. Terdapat 2 furnishing yang dominan
pada dapur yaitu furnishing area masak dan furnishing tempat penyimpanan barang yang
disebut tanra sela. Penentuan ukuran furnishing (area masak) yang terdapat di dapur juga
menggunakan antropometri penggunanya yaitu ukuran tinggi, panjang maupun lebarnya
adalah jarak lingkar antara kedua mata + lingkar antara dua telinga x 2 + segenggam. Tata
cara penentuan ukuran tersebut diyakini oleh masyarakat mempunyai makna agar apabila ada
bahaya mudah untuk dilihat ataupun didengar. Penentuan tata letak dan ukuran dapur pada
rumah adat Karampuang merupakan keunikan dan salah satu ciri khas yang membedakannya
dengan rumah adat yang lain. Ukuran tinggi, panjang dan lebar furnishing, jika dikonversi ke
ukuran metrik adalah (47cm+23.5cm) x 2 + 16cm = 157cm. Pada bagian atas terdapat tempat
penyimpanan kayu bakar dan tempat peralatan dapur.
PEMBAHASAN
Penelitian ini memperlihatkan antropometri pada rumah adat Karampuang diaplikasikan
dalam menentukan ukuran panjang, lebar dan ketinggian bangunan, juga pada penentuan
ukuran dapur, tangga, pintu, jendela ventiasi dan lain-lain. Hasil analisis aplikasi antropometri
setelah dikonversi ke ukuran metrik berdasar pada data antropometri orang Indonesia (lakilaki dan perempuan) dalam centimeter menurut Cuan dalam Purnomo (2013), sebagian besar
ukuran tidak memenuhi standar. Sesuai fungsinya sebagai tempat pelaksanaan acara adat,
rumah adat Puang To Matoa digunakan oleh masyarakat setempat tanpa memperhatikan daya
tampung yang seharusnya. Segala kegiatan baik dari persiapan hingga acara adat berlangsung
terpusat di rumah adat ini, berbagai kalangan berdatangan baik dari kalangan pemerintah,
seluruh masyarakat adat, kerabat dari berbagai daerah dan pengunjung lain yang tertarik untuk
ikut serta dalam acara pesta adat mencapai ± 100 orang sehingga kapasitas daya tampung
ruangan jauh melebihi standar. Rumah Puang Gella yang berfungsi sebagai tempat
musyawarah atau tempat pertemuan antara Puang Gella dengan beberapa tokoh masyarakat
memiliki kapasitas daya tampung tidak melebihi standar yang ada.
Salah satu aspek pencahayaan alami yang baik ke dalam bangunan adalah luas lubang
cahaya (jendela dan ventilasi sebagai sarana pencahayaan) pada suatu bangunan minimum
sepersepuluh dari total luas lantai (syarat ketentuan pencahayaan dari kementerian PU). Luas
bukaan jendela dan ventilasi pada kedua rumah adat belum memenuhi standar karena kurang
dari sepersepuluh total luas lantai.
Standar ukuran dalam perbandingan ukuran yang ada pada rumah adat merujuk standar
ukuran (Ching dkk 2011), Ukuran pintu utama yang ada pada rumah adat karampuang sudah
sesuai standar normatif sedangkan ukuran pintu kamar tidak memenuhi standar. Ukuran
tangga rumah adat kurang dari ukuran standar tangga. Penghawaan alami pada rumah adat
juga cukup baik dan terasa sejuk karena terdapat lubang penghawaan lebih dari 5% dari total
luas lantai. lain halnya dengan dapur pada rumah adat, jika merujuk pada standar ukuran,
standar pencahayaan dan sirkulasi udara untuk ruang dapur dan furnishing maka ukuran yang
ada pada dapur rumah adat Karampuang tidak sesuai standar. Analisis ukuran merujuk pada
ukuran standar kebutuhan ruang yang mendekati sama dengan aktifitas pengguna pada dapur
rumah adat Karampuang diketahui bahwa ukuran furnishing dapur rumah adat Karampuang
tidak standar. Posisi pengguna dalam proses memasak terlihat sulit dan kurang nyaman akan
tetapi karena dasar penentuan ukuran furnishing dapur pada rumah adat mempunyai aturan
tersendiri serta makna yang terkandung di dalam penentuan ukuran tersebut maka pengguna
hanya menyesuaikan kondisi yang ada. Sistem pencahayaan pada dapur rumah adat
karampuang menggunakan alat penerangan tradisional (yaitu pelita dengan sumbu dan
minyak tanah sebagai bahan bakarnya). Hal tersebut tidak sesuai standar pencahayaan untuk
dapur. Meskipun cahayanya redup, alat penerangan tradisional ini bersifat fleksibel dapat
dengan mudah dipindahkan sesuai kebutuhan dalam menerangi olahan masakan yang sedang
dalam proses sehingga membuat penggunanya merasa terbiasa dan nyaman dalam kegiatan
memasak. Cerobong asap juga tidak ditemukan pada dapur rumah adat Karampuang. Sirkulasi
udara dan asap dapur keluar melalui dinding dan lantai yang terbuat dari bambu, ventilasi,
serta melalui pintu sebelum asap tersebut sampai ke ruangan lainnya.
Hasil wawancara dari berbagai uragi dapat diketahui penggunaan antropometri pada
rumah masyarakat pada kawasan adat Karampuang berbeda dengan rumah adat Puang To
Matoa dan Puang Gella. Ukuran reppa tidak digunakan pada rumah masyarakat, dengan
alasan ukuran reppa hanya digunakan pada rumah adat saja. Selain ukuran reppa, tata cara
pengukuran proporsi ketinggian bangunan pada rumah masyarakat juga berbeda dengan
rumah adat. Hal tersebut agar perbedaan pola pengukuran rumah adat dan rumah masyarakat
terlihat jelas. Selain keempat starata sosial pemangku adat (Puang Matoa, Puang Gella’,
Puang Sanro dan Puang Guru), strata sosial pada kawasan adat Karampuang semua sama.
Pada kawasan adat karampuang tidak mengenal strata sosial “ata” (budak), kerabat para
pemangku adat sekalipun pada kawasan ini berstrata sama dengan masyarakat biasa. Ukuran
yang dijadikan patokan utama saat pembangunan rumah masyarakat juga berbeda dengan
rumah adat. Yang dijadikan acuan adalah ukuran antropometri pemilik rumah yang wanita
(istri).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa aplikasi
antropometri yang digunakan pada rumah adat Karampuang seperti Reppa, Sikku, Jakka,
Kekkeng tuo, Lapposusu, setinggi mata orang berdiri, setinggi telinga orang duduk, lingkar
mata dan lingkar telinga menghasilkan ukuran panjang dan lebar bangunan, ukuran pintu, luas
bukaan serta ukuran tangga sebagian besar tidak memenuhi standar yang ada, meski demikian
masyarakat tetap melestarikan pola pengukuran antropometri, serta masih dijaga eksistensinya
dengan tidak merubah posisi letak dan ukuran material jika terjadi pergantian akibat
kerusakan sebagai bentuk pelestarian budaya.
Peran pemerintah sebaiknya lebih ditingkatkan lagi dan dapat bekerja sama dengan
pemangku adat setempat sehingga kawasan adat Karampuang dapat menjadi salah satu
kawasan yang menarik untuk dikunjungi oleh berbagai kalangan. Peran aktif generasi muda
untuk menggali pengetahuan dan informasi lebih dalam yang berkaitan dengan warisan
budaya sangat diperlukan agar generasi selanjutnya tidak hanya sekedar ikut-ikutan akan
tetapi memahami tujuan dan harapan yang terkandung dalam warisan budaya tersebut.
Pemangku adat dan tokoh masyarakat diharapkan lebih terbuka dalam memberi informasi dan
penjelasan tentang kebudayaan yang sudah dilakoni secara turun temurun.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari bahwa penyusunan penelitian ini banyak mengalami hambatan,
rintangan dan halangan, namun dengan bantuan dari berbagai pihak semua ini dapat
terselesaikan dengan baik, Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Shirly Wunas,
DEA. dan Bapak Abdul Mufti Radja,ST.,MT., Ph.D. selaku pembimbing yang banyak
meluangkan waktunya memberikan petunjuk dan bimbingan sehingga kesulitan penulis dalam
membuat tesis ini dapat terselesaikan. Terima kasih juga yang sebesar-besarnya kepada Bapak
dan Ibu Dosen yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingannya selama penulis
menempuh perkuliahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ching, F.D.K. (2009). Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Tatanan. Erlangga. Jakarta.
Ching, F.D.K. dkk. (2011). Desain Interior degan Ilustrasi. Indeks. Jakarta.
Manda,D. (2012). KOMUNITAS ADAT KARAMPUANG DI SINJAI: SUATU ANALISIS
ANTROPOLOGI AGAMA Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial
dan
PPs
Universitas
Negeri
Makassar
(http://www.bpsntmakassar.net/index.php/artikel-bpsnt/sejarah-dan-budaya/84-komunitas-adatkarampuang-di-sinjai-suatu-analisis-antropologi-agama.html
,
diakses
pada
10/08/2014, 16.15 PM wita)
Muhannis. (2013). Karampuang dan Bunga Rampai Sinjai. Ombak. Yogyakarta.
Nunung. (2012). Perkembangan Arsitektur Tradisional di Nusantara.
(Online).
(http://nunungkumbaraandika.blogspot.com/2012/09/pengertian-rumah-adat.html.
diakses 6 Mei 2014).
Pratomo, S. (2012).
Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Adat Pabbatang Di
Karampuang, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai. Skripsi ini tidak diterbitkan.
Makassar. Fakultas Hukum – UNHAS.
Purnomo, H. (2013). Antropometri dan Aplikasinya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Sachari. A. (2005). Pengantar Metode Penelitian Budaya Rupa Desain,Arsitektur dan Kriya.
Erlangga. Jakarta.
Spradley. J. P. (2006). Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Tato, S. (2009). Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Pusaka Warsan Budaya Indonesia.
El Shaddai. Makassar.
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Dusun Karampuang, Desa Tompo Bulu, Kec. Buluppoddo,
Kabupaten Sinjai, Sulsel)
Sumber http://sinjaikab.go.id/v2/images/peta/kecil/KabSinjai.jpg
Gambar 2. Rumah adat Karampuang
Rumah Puang To Matoa (kiri) dan rumah P.Gella (kanan)
(Sumber: Koleksi peneliti)
PINTU
UTAMA
DAPUR
TANGGA
UTAMA
Diakses dari
bawah/kolong
rumah
DENAH RUMAH
ADAT
Gambar 3. Gambaran umum perletakan Tangga, Pintu Utama dan Dapur pada rumah adat
Karampuang
(Sumber: hasil survey lapangan. 2014)
T3
T2
T1
Gambar 4. Standar ukuran uptrede dan antrede (kiri) dan standar ukuran Pintu (kanan)
(Sumber: Chink dkk 2011).
Tabel 1. Analisis konversi ukuran antrpometri ke ukuran standart orang Indonesia
No
Jenis Ukuran
Definisi
Gambar
Ukuran metrik
(cm)
±158
Notasi
1.
Reppa
Ukuran rentang
antara ujung jari
tengah tangan kanan
sampai ujung jari
tengah tangan kiri
2.
Lapposusu
Jarak antara ujung
jari tengah tangan
kanan sampai dada
kiri
±84
Lp
3.
Sikku’
Jarak antara ujung
siku ke ujung jari
tengah
±42
Sk
4.
Jakka’
Ukuran jarak
rentang ujung jari
kelingking ke ujung
ibu jari
±20
Jk
5.
Sikekkeng tuo
Segengam tangan
dengan Ibu jari
tegak ke atas
±16
Skt
6.
Setinggi mata
orang berdiri
Jarak ketinggian
antara mata ke
dasar tanah orang
berdiri
±151
Smb
7.
Setinggi
telinga orang
duduk
Jarak ketinggian
antara telinga
hingga dasar tempat
duduk
±69
Std
R
No
Jenis Ukuran
Definisi
8.
Lingkar mata
Jarak antara mata
kanan melingkari
kepala sampai ke
mata kiri
9.
Lingkar
telinga (soli)
Jarak antara telinga
kanan melingkari
kepala sampai ke
telinga kiri
(Sumber: analisis. 2014).
Gambar
Ukuran metrik
(cm)
±47
Notasi
±23.5
Lt
Lm
Download