Indikator - Pemerintah Provinsi Jawa Barat

advertisement
BAB III.
STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA
IPM sudah sangat populer di hampir semua daerah di Provinsi Jawa Barat.
Seperti dijelaskan dimuka ini tidak terlepas dari sosialisasi yang gencar dan tiada henti
tentang IPM. Setiap daerah berusaha dengan segenap kemampuan merencanakan
program yang dampaknya bisa berkontribusi menaikkan angka dari komponen IPM.
Semua SKPD memusatkan program yang dapat meningkatkan angka IPM. Namun
perlu disadari bahwa investasi pembangunan dalam rangka pembangunan manusia
yang dalam hal ini dipotret dalam suatu angka IPM hasilnya tidak instant langsung
berdampak di tahun berikutnya. Contoh usaha untuk meningkatkan rata-rata lama
sekolah seperti dimanifestasikan dalam program wajar dikdas 9 tahun dimana anakanak usia sekolah diwajibkan minimal mengenyam pendidikan sampai jenjang tingkat
SMP. Hasilnya akan terasa pada beberapa tahun kemudian. Investasi pembangunan
manusia memang merupakan pembangunan jangka panjang. Ada kerancuan antara
konsep pembangunan manusia dan Indeks Pembangunan Manusia. Pemahaman yang
berkembang tentang IPM, IPM dilihat sebagai indeks, bukan sebagai alat ukur untuk
mengukur kinerja komprehensif dari pembangunan manusia.
Angka Harapan Hidup yang merupakan salah satu indikator IPM sering
diterjemahkan secara tidak tepat. Angka harapan hidup sesungguhnya hanya fungsi
matematis dari Angka Kematian Bayi (AKB). Program pembangunan seyogyanya
diarahkan pada penurunan AKB dengan fokus pada determinan yang ada
dibelakangnya, bukan pada AKB nya sendiri. Begitu juga pada upaya peningkatan
indeks pengetahuan, seyogyanya penanganannya di daerah jauh lebih holistik dari
pada sekadar program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Akibat
pemahaman yang periferal terhadap makna pembangunan manusia, dan tekanan
terlalu kuat pada peningkatan indeks, maka yang muncul adalah program intervensi
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
17
langsung pada komponen-komponen IPM, bukan pada determinan yang membangun
komponen tersebut.
Kembali pada persoalan awal bahwa pembangunan manusia dalam
perencanaan pembangunan sudah menjadi fokus utama. Pembangunan manusia
(human development) menurut UNDP, 1990, dirumuskan sebagai perluasan pilihan
bagi penduduk (enlarging the choice of people), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke
arah “perluasan pilihan” dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut.
Di antara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah berumur panjang
dan sehat, memiliki ilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber
daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak.
Setelah berjalan hampir setengah dekade, sebagian kalangan tampaknya
merasa kurang optimis, keinginan mencapai IPM 80 bisa terwujud dalam kurun tiga
tahun ke depan. Angka IPM 80 pada tahun 2010 dianggap tidak wajar dan tidak
rasional, karena hingga 2007 IPM Jawa Barat baru mencapai 70,76 (angka sangat
sementara) atau hanya naik 1,41 dari kondisi tahun 2005 yang mencapai 69,35.
Kekhawatiran tersebut sangat wajar mengingat apabila dicermati laju perkembangan
IPM Jawa Barat yang relatif belum begitu menggembirakan selama beberapa tahun
terakhir, akan tetapi patut pula menjadi renungan bersama bagaimana konsistennya
negara jiran, Malaysia, mendukung tujuan “Wawasan 2020” untuk menjadikan
Malaysia sebagai negara maju menjelang tahun 2020.
Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi Perdana Menteri Malaysia menyatakan
bahwa tidak ada alasan baginya untuk merubah program yang ada semata-mata hanya
karena ingin menonjolkan namanya (Republika, 5 April 2006). Hal ini
mencerminkan begitu teguhnya Pemimpin Malaysia tersebut menjalankan komitmen
yang digagas pendahulunya, Dr Mahathir Mohamad. Badawi merumuskan Rancangan
Malaysia Kesembilan (RMK-9) untuk mewujudkan komitmen bangsanya dengan
mengalokasikan dana untuk pembangunan 200 miliar ringgit (sekitar Rp. 4,6 triliun)
untuk tempo 2006 hingga 2010. Secara jelas Badawi memaparkan bahwa RMK-9
bukan sekedar sebuah rencana, tetapi merupakan salah satu Misi Nasional, misi yang
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
18
melibatkan semua rakyat dan dapat melahirkan satu semangat dan kekuatan untuk
menggapai cita-cita tersebut.
Belajar dari semangat pemimpin negeri Malaysia untuk tetap konsisten
dengan cita-cita pendahulunya, maka konsep pembangunan manusia yang sudah
menjadi semangat pembangunan di Jawa Barat harus tetap diwujudkan walaupun
terjadi pergantian pimpinan daerah. Langkah Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk
mewujudkan visi menjadi provinsi termaju dan mitra terdepan ibukota negara hampir
serupa dengan yang digagas Malaysia walaupun dalam skala yang berbeda. Komitmen
ini harus senantiasa terpelihara dihati para para pemimpin daerah dan SKPD serta
dukungan masyarakat luas dengan upaya membangkitkan lagi modal sosial yang dulu
pernah dimiliki bangsa ini. Sifat saling percaya (trust) antara pemimpin dan yang
dipimpin, saling peduli terhadap sesama, saling memberi dan mampu menerima halhal positif yang datang dari luar lingkungannya, proaktif dan nilai-nilai positif yang
menjadi modal kolektif untuk menuju kebaikan dan kemajuan bersama. Dalam
beberapa tahun terakhir setidaknya terbangun komitmen kuat kabupaten/kota dan
terjalin sinergitas yang tinggi antar berbagai stakeholders untuk menggiatkan kembali
gairah pembangunan yang sempat terpuruk ketika krisis ekonomi melanda Indonesia.
Pencapaian IPM bukanlah sesuatu yang mutlak, tetapi yang lebih penting adalah
terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang sejahtera dan makmur (gemah ripah), serta
cageur, bageur, pinter, bener tur singer.
Robby
Djohan
(Let
to
Togetherness,
2007)
menyebutkan
bahwa
pembangunan sesungguhnya ditujukan untuk manusia dan oleh manusia. Modal
sosial akan mempercepat proses pembangunan manusia. Dengan modal sosial yang
tinggi, masyarakat akan lebih mudah menyelesaikan berbagai problem kolektif yang
mereka hadapi. Modal sosial akan memberikan energi kolektif untuk dapat
mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat. Modal sosial yang tinggi
akan memfasilitasi upaya memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan yang
bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki kesejahteraan dan
mutu kehidupan secara bersama-sama. Suatu masyarakat dengan modal sosial yang
tinggi akan membawa kehidupan yang lebih efisien dalam berbagai urusan. Problem
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
19
individu dapat diselesaikan oleh kelompok, biaya-biaya untuk membangun kerja sama
dapat lebih ditekan karena terbangunnya trust dan semangat tolong-menolong.
Masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi akan terbiasa hidup dalam suasana
gotong-royong dan saling bertanggung jawab atas kenyamanan, kebersihan, dan
keamanan lingkungan tempat tinggalnya. Mereka akan memiliki daya tangkal yang
tinggi terhadap berbagai gangguan dan dampaknya akan lebih aman dari berbagai
tindak kriminalitas.
Pada bahasan berikut dipaparkan tentang bagaimana status pembangunan
manusia di Provinsi Jawa Barat secara sederhana tetapi mencakup berbagai bidang
pembangunan. Diharapkan akan muncul pemahaman dan harapan-harapan baru bagi
kemajuan pembangunan manusia di Provinsi Jawa Barat, sehingga akan terdapat
upaya yang lebih kuat dari berbagai komponen masyarakat Provinsi Jawa Barat untuk
melakukan perbaikan ke depan terhadap berbagai indikator pembangunan dasar,
seperti kesehatan dan pendidikan.
3.1.
Kependudukan
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah
penduduk yang cukup besar, bahkan terbesar di Indonesia. Menurut data Suseda
2007, jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat sebesar 41,48 juta jiwa. Jumlah tersebut
mendiami wilayah seluas 34.588,89 km2 sehingga secara rata-rata kepadatan
penduduk di Provinsi Jawa Barat adalah 1.199,3 jiwa per km2. Dalam negara
berkembang, jumlah penduduk yang besar dengan mutu yang rendah belum bisa
dijadikan sebagai modal pembangunan bahkan sebaliknya seringkali menjadi beban
dalam
proses
pembangunan.
Karena
itu,
untuk
menunjang
keberhasilan
pembangunan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan
upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan menciptakan tatanan keluarga kecil
yang sehat dan berkualitas sebagai upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) ke depan. Berkualitas bukan hanya dari sisi intelektualnya tetapi juga
dari sisi moral, emosi, dan spiritualnya. Tidak cukup badannya yang sehat tetapi
jiwanya juga harus sehat.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
20
Gambar 3.1. Jumlah Penduduk
dan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP)
Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2007
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2005
2006
2007
Penduduk (juta)
LPP
Sumber: Suseda 2005-2007
Persoalan kependudukan seperti pertumbuhan penduduk dan tingkat
fertilitas yang masih tinggi akan berdampak dalam penyediaan infrastruktur yang
besar dan memadai serta lapangan pekerjaan yang cukup di masa mendatang.
Menurut data Suseda, laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Provinsi Jawa Barat dari
tahun ke tahun relatif terus menurun. Pada periode 2004-2005, LPP Provinsi Jawa
Barat mencapai 2,09 persen turun menjadi hanya 1,94 persen pada periode
berikutnya (tahun 2005-2006), tetapi terus mengalami penurunan pada periode tahun
2006-2007 menjadi hanya sekitar 1,84 persen. Kondisi tersebut menunjukkan upaya
penanganan pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat relatif cukup baik.
Pada Tahun 2007 terjadi pemekaran wilayah di Kabupaten Bandung menjadi
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Jumlah kabupaten/kota di Jawa
Barat
yang
semula
sebanyak
25
kabupaten/kota
bertambah
menjadi
26
kabupaten/kota. Komposisi penduduk Jawa Barat tahun 2007 (hasil Suseda 2007)
menurut jenis kelamin adalah sebagai berikut: Jumlah penduduk laki-laki sebesar
20.919.807 orang dan penduduk perempuan sebesar 20.563.922 orang dengan sex
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
21
ratio sebesar 101,7 yang berarti setiap 1.000 perempuan berbanding dengan 1.017
laki-laki. Adanya kelahiran dan adanya migrasi masuk dari daerah lain merupakan
faktor penambah penduduk. Peningkatan penduduk harus ditangani dengan baik dan
komprehensif. Pemerintah daerah melalui SKPD/dinas/intansi terkait perlu
melakukan
upaya
pengendalian
jumlah
penduduk
secara
terpadu
dan
berkesinambungan dan diiringi oleh peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar dibandingkan
dengan provinsi lain di Indonesia.
Menurut data Suseda 2007, terdapat 10 (sepuluh) kabupaten/kota di Jawa
Barat yang mempunyai penduduk di atas 2 juta jiwa. Menarik dicermati,
kabupaten/kota yang memiliki penduduk cukup besar tersebut tersebar secara merata
di beberapa wilayah Jawa Barat. Di wilayah Bandung Raya misalnya, penduduk paling
besar terdapat di Kabupaten Bandung yang mencapai sebanyak 3.038.038 jiwa dan
Kota Bandung sebanyak 2.364.312 jiwa. Bila dibandingkan dengan kondisi tahun
2006, penduduk Kabupaten Bandung mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini
disebabkan adanya pemekaran wilayah di kabupaten tersebut. Di wilayah Priangan,
penduduk paling banyak terdapat di Kabupaten Garut. Penduduk paling banyak di
wilayah pantura terdapat di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Cirebon. Sementara
di wilayah Bodebek, penduduk paling banyak terdapat di Kota Bekasi dan Kabupaten
Bogor dan sisanya berada di wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur.
Kabupaten Bekasi pada tahun 2006 masih berpenduduk di bawah 2 juta jiwa pada
tahun 2007 sudah berpenduduk lebih dari 2 juta jiwa.
Daerah
yang
tingkat
kepadatan
tertinggi
akan
dihadapkan
pada
permasalahan kebutuhan akan perumahan, kesehatan, dan keamanan. Selain itu juga
harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan sarana pendidikan
yang
terjangkau bagi penduduknya. Salah satu faktor penyebab tingginya penduduk di satu
wilayah disamping tingkat kelahiran adalah perpindahan penduduk (migrasi).
Perpindahan penduduk mengalir dari daerah perdesaan ke perkotaan, dari daerah
yang miskin ke daerah yang kaya yang pembangunannya berkembang pesat. Karena
itu perlu upaya menciptakan pembangunan merata di setiap daerah disertai
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
22
penciptaan lapangan kerja, dengan tidak melupakan potensi yang dimiliki oleh
masing-masing daerah.
Menarik dicermati, Provinsi Jawa Barat yang secara geografis letaknya sangat
strategis, yaitu berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta dan disertai berbagai
fasilitas/infrastruktur yang cukup lengkap merupakan salah satu tujuan utama
migrasi. Dengan berbagai macam alasan, para migran tersebut masuk ke Provinsi Jawa
Barat, utamanya ke daerah sekitar BODEBEK (Bogor, Depok dan Bekasi) dan
Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi) (Bapeda dan
BPS provinsi Jawa Barat, Analisis Volume Kecenderungan dan Karakteristik Migrasi Masuk
Ke Jawa Barat Tahun 2000; 2002).
Banyaknya migran yang masuk ke Provinsi Jawa Barat tentunya akan
menimbulkan permasalahan dan menjadi beban jika migran yang masuk tersebut
memiliki kualitas rendah. Sehingga dalam beberapa diskusi, fenomena migran masuk
dari luar Provinsi Jawa Barat seringkali dianggap sebagai salah satu penyebab besarnya
hambatan kemajuan pembangunan manusia di provinsi ini. Namun perlu dicermati
juga bahwa teori migran menyebutkan bahwa orang yang berpendidikan lebih
migratori dibanding orang yang kurang berpendidikan.
Adanya kekhawatiran sebagian kalangan bahwa para migran yang masuk ke
Jawa Barat berpeluang menjadi beban dalam proses pembangunan saat ini karena
dianggap banyak yang berkualitas rendah tampaknya akan semakin terreduksi. Fakta
menunjukkan bahwa mereka yang melakukan migrasi ke Jawa Barat pada umumnya
adalah penduduk yang berusia produktif dan memiliki tingkat pendidikan yang relatif
lebih baik dibandingkan penduduk lokal.
Dampak negatif yang mungkin timbul dengan kondisi tersebut adalah kalah
bersaingnya penduduk non migran/lokal dalam mendapatkan pekerjaan. Kesempatan
kerja jelas akan lebih terbuka bagi penduduk migran, karena mereka memiliki
pendidikan
lebih
tinggi.
Sedangkan
dampak
positifnya
dalam
perspektif
pembangunan manusia, akan meningkatnya rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa
Barat. Oleh karena itu, adanya migran yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
23
diharapkan dapat merangsang penduduk non migran/lokal untuk meningkatkan
tingkat pendidikannya.
Mungkin salah satu kekhawatiran terbesar pemerintah setempat terhadap
fenomena arus migran masuk ke Provinsi Jawa Barat adalah semakin kecilnya peluang
penduduk non migran/lokal untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Menurut
data hasil SP2000, persentase penganggur dari penduduk non migran/lokal relatif
lebih besar dibandingkan penduduk migran. Kondisi tersebut mengindikasikan
bahwa penduduk asli Jawa Barat banyak yang kalah bersaing dengan kaum pendatang
(migran).
Kaum
pendatang
nampaknya
lebih
gesit
dalam
mengangkap
peluang/kesempatan kerja yang ada.
Jadi yang diperlukan adalah bukan membatasi kaum pendatang untuk
masuk ke Jawa Barat, karena mereka memiliki kontribusi besar dalam menggerakkan
roda perekonomian Jawa Barat, melainkan Tapi seharusnya dilakukan adalah
bagaimana meningkatkan daya juang dan daya saing penduduk lokal Jawa Barat agar
memiliki kompetensi dan berdiri sejajar dengan kaum pendatang. Untuk itu, mereka
harus diberi kesempatan seluas-luasnya meraih pendidikan yang tinggi dan diciptakan
peluang agar mereka mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan keinginan dan
tingkat pendidikannya.
3.2
Pembangunan Bidang Kesehatan
Departemen Kesehatan, 2003, mencanangan visi pembangunan kesehatan
yaitu tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta
memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik
Indonesia. Visi pembangunan ini merupakan cita-cita reformasi bidang kesehatan
yang diangkat sebagai bagian dari pembangunan manusia secara keseluruhan selain
pembangunan bidang ekonomi dan pendidikan.
Dalam lingkup lebih kecil, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat mempunyai
visi sebagai penggerak dan pemberdaya potensi sumber daya kesehatan guna
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
24
mendukung pencapaian IPM 80 Tahun 2008. Misinya adalah meningkatkan
pengaturan dan fasilitas penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan; meningkatkan
jejaraing kerja dan kemitraan dengan stakeholders dalam rangka pemebrdayaan potensi
sumber daya kesehatan; meningkatkan profesionalitas dan pendayagunaan aparatur
kesehatan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; meningkatkan kualitas
penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan skala provinsi.
Sebagai bukti keseriusan bagi pencapaian visi tersebut program strategis yang
dilakukan
adalah
meningkatkan
akses
dan
kualitas
pelayanan
kesehatan,
meningkatkan sumber daya kesehatan, dan memberdayakan masyarakat, serta
pengembangan biaya kesehatan. Faktor kesehatan menjadi satu dari tiga indikator
penting penunjang pembangunan manusia karena bila daya tahan tubuhnya maka
tingkat produktivitas manusia secara langsung bisa tergali dengan optimal. Pada saat
sehat orang dapat menjalankan aktivitas seperti bekerja, bersekolah, mengurus
rumahtangga, berolah raga, maupun menjalankan aktivitas lainnya lebih baik
dibandingkan saat kondisi tubuhnya sedang sakit.
Kondisi kesehatan penduduk Jawa Barat dari Data statistik kesehatan tahun
2004 memperlihatkan 70,48 persen penduduk berumur 15 tahun ke atas memiliki
kondisi kesehatan baik fisik maupun mental dengan kategori cukup dan baik, dengan
26,53 persen diantaranya bahkan memiliki tingkat kesehatan yang sangat baik.
Sisanya sebanyak 2.99 persen mengalami kondisi kesehatan yang buruk.
Gambar 3.2. Kondisi Kesehatan Penduduk
Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004
sangat baik
(26,53%)
baik (56,24%)
cukup baik
(14,24%)
buruk (2,85%)
sangat buruk
(0,14%)
Catatan: Data kesehatan penduduk 15 tahun ke atas baik fisik maupun
mental (persen).
Sumber: BPS, Statistik Kesehatan 2004
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
25
Sesuai dengan konsep, seseorang dikatakan “sehat” jika dapat melakukan
aktivitas seperti dapat berjalan/bergerak dengan bebas, dapat merawat diri tanpa
kesulitan, tidak ada rasa sakit di badan, dapat mengingat/konsentrasi, dapat bergaul
tanpa hambatan, dapat tidur tanpa gangguan, tidak merasa sedih secara berlebihan,
dan dapat melihat dengan baik. Artinya, 97,01 persen penduduk Jawa Barat memiliki
kondisi tubuh dan jiwa yang dapat dikategorikan “sehat”.
3.2.1.
Derajat Kesehatan Masyarakat
Menurut Henrik L Blum, peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang
dapat diukur dari tingkat mortalitas dan morbiditas penduduk yang dipengaruhi oleh
empat faktor penentu, yaitu : faktor-faktor lingkungan (45 persen), perilaku kesehatan
(30 persen), pelayanan kesehatan (20 persen) dan kependudukan/keturunan (5
persen). Hubungan derajat kesehatan dengan keempat faktornya digambarkan Henrik
L Blum dalam bagan berikut:
Gambar. 3.3 Bagan Analisis Derajat Kesehatan
LINGKUNGAN
(45%)
•
•
•
PERILAKU
(30%)
Derajat Kesehatan
Morbiditas
YANKES
•
•
20%
AKSES & KUALITAS YANKES
•
•
•
•
•
•
IMMUNISASI
P2M
PENATAAN SDM KESEHATAN
PENINGKATAN FUNGSI
SARKES
PEMBERDAAYAN MASYARAKAT 
KEMITRAAN & KEMANDIRIAN
•
KETURUNAN (5%)
PERBAIKAN GIZI
MASYARAKAT
PENINGKATAN SDK (KUANTITAS &
KUALITAS )
•
•
Mortalitas
YANKES DASAR & RUJUKAN
•
PROMOSI KESEHATAN 
PHBS
PENYEHATAN LINGKUNGAN
PEMBIAYAAN KESEHATAN  OUT
SOURCING
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
26
Ukuran mortalitas sebagai acuan untuk mengukur kemajuan pembangunan
manusia adalah infant mortality rate (IMR) atau angka kematian bayi (AKB) dan
expectation of life at birth (e0) atau angka harapan hidup (AHH). Berikut adalah tren
AKB dan AHH Jawa Barat.
Gambar 3.4. Perkembangan AHH dan Target Variabel
Bidang Kesehatan Jawa Barat Tahun 2003 – 2007
68
67.5
67
66.5
66
Capaian
65.5
Target
65
64.5
64
Th
.2
00
7
Th
.2
00
6
Th
.2
00
5
Th
.2
00
4
Th
20
03
63.5
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
Angka harapan hidup Jawa Barat meningkat dari 64,94 tahun pada tahun
2003 menjadi 67,62 tahun pada tahun 2007. Jika diperhatikan pada tahun 2006
target Angka Harapan Hidup yang ditetapkan Dinas Kesehatan dapat dilampaui.
Angka Harapan Hidup merupakan fungsi matematis dari Angka Kematian Bayi.
Panjangnya usia hidup secara negatif berhubungan dengan rendahnya angka kematian
(bayi lahir mati, kematian bayi bawah 1 tahun, kematian anak di bawah lima tahun
dan kematian ibu) dan tingginya angka kesehatan. Makin tinggi angka kesehatan
menyebabkan makin rendahnya angka kematian sehingga memperbesar harapan
untuk hidup.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
27
Angka kematian bayi pada tahun 2003 sebesar 42,50 per 1.000 kelahiran
hidup. Pada tahun 2006 AKB Jawa Barat berhasil mencapai 40,26 per 1.000 kelahiran
hidup. Dalam rentang waktu 3 tahun angka kematian bayi mengalami penurunan
yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan di segala bidang,
termasuk intervensi program kesehatan yang sangat intensif dilaksanakan di seluruh
pelosok tanah air. Namun terjadinya berbagai wabah penyakit seperti flu burung,
demam berdarah, dan kasus mengenai prevelensi balita kekurangan energi dan
protein, terutama berkaitan dengan masalah busung lapar dapat
menyebabkan
kenaikan angka kematian bayi. Memang yang harus menjadi fokus kita adalah
mengintervensi determinan yang mempengaruhi AKB karena sesungguhnya AHH
yang merupakan salah satu indikator dari IPM merupakan fungsi matematis dari
AKB. Beberapa hal yang berkaitan dengan faktor determinan AKB adalah lamanya
disusui, penolong kelahiran, pendidikan kaum perempuan, perilaku hidup sehat, dan
kemudahan dan keterjangkauan sarana kesehatan.
Angka kematian bayi pada tahun 2003 sebesar 42,50 per 1.000 kelahiran
hidup. Pada tahun 2006 AKB Jawa Barat berhasil mencapai 40,26 per 1.000 kelahiran
hidup. Dalam rentang waktu 3 tahun angka kematian bayi mengalami penurunan
yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan di segala bidang,
termasuk intervensi program kesehatan yang sangat intensif dilaksanakan di seluruh
pelosok tanah air. Namun terjadinya berbagai wabah penyakit seperti flu burung,
demam berdarah, dan kasus mengenai prevelensi balita kekurangan energi dan
protein, terutama berkaitan dengan masalah busung lapar dapat menyebabkan
kenaikan angka kematian bayi. Memang yang harus menjadi fokus kita adalah
mengintervensi determinan yang mempengaruhi AKB karena sesungguhnya AHH
yang merupakan salah satu indikator dari IPM merupakan fungsi matematis dari
AKB. Beberapa hal yang berkaitan dengan faktor determinan AKB adalah lamanya
disusui, penolong kelahiran, pendidikan kaum perempuan, perilaku hidup sehat, dan
kemudahan dan keterjangkauan sarana kesehatan.
Angka kematian bayi baru lahir terutama disebabkan oleh antara lain infeksi
dan berat bayi lahir rendah. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan kondisi
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
28
kehamilan, pertolongan persalinan yang aman, dan perawatan bayi baru lahir
(Kompas, 7 April 2005). Menurut data Suseda tahun 2005, masih terdapat 38,73
persen balita yang lahir hanya mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga non
paramedis seperti dukun, dan keluarga, bahkan kondisi pada tahun 2006 sempat
meningkat menjadi 43,6 persen. Ini perlu dikaji, apakah karena ketiadaan biaya,
faktor budaya atau mencari mudahnya. Penolong kelahiran oleh dukun biasanya
dukun yang datang ke rumah. Namun di tahun 2007 penolong kelahiran menjadi
38,77 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hampir dua per lima balita di
Jawa Barat memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi atau perawatan
pasca persalinan yang kurang baik dibandingkan dengan yang ditolong oleh tenaga
medis seperti dokter, bidan, maupun tenaga paramedis lain saat kelahirannya.
Tabel 3.1. Persentase Penolong Kelahiran Terakhir
di Jawa Barat Tahun 2005-2007
Indikator
2005
2006
2007
Penolong Kelahiran (terakhir)
1. Dokter
7,13
8,87
11,31
2. Bidan
53,66
47,13
49,40
0,48
0,64
0,51
36,65
41,84
38,24
2,08
1,52
0,53
3. Paramedis Lain
4. Dukun
5. Famili/Lainnya
Sumber: Suseda 2005-2007
Pengetahuan yang minim tentang cara persalinan dan perawatan pasca
persalinan yang sehat dan aman misalnya mengenai perawatan tali pusar, perlakuan
saat membersihkan bayi yang baru lahir, serta sangat minimnya alat-alat bantu
penolong persalinan yang ada dapat mengancam keselamatan bayi. Dapat
dibayangkan bagaimana situasi genting ketika sebuah keluarga yang berada di daerah
terpencil terhalang oleh ketidaktersediaan sarana transportasi yang memadai untuk
membawa ibu dan bayi ke tempat-tempat persalinan medis, ditambah dengan
minimnya anggaran memaksa mereka bergantung kepada penolong kelahiran non
medis.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
29
Situasi tersebut tidak saja membawa kerawanan terhadap bayi yang baru
dilahirkan, tapi juga keselamatan dari ibu yang melahirkan. Data AKI sangat sulit
diperoleh karena sifatnya yang rare cases. Data tahun 2003 Angka Kematian Ibu (AKI)
di Jawa Barat masih sebesar 321,15 per 100.000 angka kelahiran hidup. AKI di Jawa
Barat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan AKI Nasional yang sebesar 307 per
100.000 angka kelahiran hidup (data yang dikumpulkan secara nasional dari SDKI
2002). Kondisi AKI sendiri telah mengalami penurunan yang cukup besar
dibandingkan dengan 1990 yaitu 450 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab
langsung berkaitan dengan kematian ibu adalah komplikasi pada kehamilan,
persalinan, dan nifas yang tidak tertangani dengan baik dan tepat waktu. Dari hasil
survei (SKRT 2001) diketahui bahwa komplikasi penyebab kematian ibu yang
terbanyak adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (eklampsia), infeksi, partus
lama, dan komplikasi keguguran (Kompas, 7 April 2005).
Untuk mencegah AKB maupun AKI, kegiatan imunisasi pada bayi harus
dipertahankan atau ditingkatkan cakupannya sehingga mencapai Universal Child
Immunization (UCI) sampai di tingkat desa. Peningkatan pelaksanaan ASI eksklusif
dan peningkatan status gizi serta peningkatan deteksi dan stimulasi dini tumbuh
kembang jadi modal awal untuk sehat. Pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi
terutama infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, dan malaria terutama di
daerah endemik perlu ditingkatkan melalui Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
dan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM). Kejadian komplikasi pada ibu dan
bayi baru lahir sebagian besar terjadi pada masa sekitar persalinan sehingga
pemeriksaan kesehatan pada saat hamil dan kehadiran serta pertolongan tenaga
kesehatan yang terampil pada masa persalinan menjadi sangat penting
3.2.2.
Status Gizi Balita
Gizi berperan besar terutama di masa-masa pembentukan janin pada periode
kehamilan dan berlanjut pada masa-masa pertumbuhan seorang anak. Otak sebagai
salah satu organ paling penting dalam tubuh, tumbuh secara dramatis selama periode
kehamilan, Indonesia Nutrition Network menjelaskan otak bayi terbentuk segera setelah
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
30
pembuahan, di mana otak seorang bayi yang baru lahir mencapai pertumbuhan 25
persen dari otak orang dewasa, dan mengandung 100 miliar sel otak (neuron). Pada
usia setahun, pertumbuhannya mencapai 70 persen dari otak dewasa, dan 70 – 85
persen neuron yang ada sudah terbentuk secara lengkap. Dan pada usia tiga tahun,
perkembangan otaknya sudah mencapai 90 persen otak dewasa totalnya yang secara
signifikan akan menentukan kualitas SDM hingga masa dewasa.
Hingga kurun waktu tersebut frekuensi tubuh dalam membangun sistem
kekebalan sangat besar. Masa ini juga merupakan masa kritis bagi tumbuh kembang
fisik, kecerdasan (intelligence quation), mental (emotional quation), dan sosial (socio
quation). Dengan berbagai potensi tersebut, kekurangan gizi pada masa ”golden age” ini
akan berdampak besar bagi kelangsungan kehidupan seorang anak.
Seorang anak yang memiliki gizi buruk berpeluang mengalami penurunan
tingkat kecerdasan hingga 30 poin. Akibat jangka pendek yang dirasakan adalah
mudah terkena penyakit atau bahkan kematian. Akibat jangka panjangnya, kalaupun
anak dengan gizi buruk ini dapat bertahan, biasanya akan mempunyai kualitas hidup
yang sangat rendah yang tidak mungkin dapat diperbaiki sepanjang rentang
kehidupannya. Resiko pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal pada
akhirnya akan melahirkan ”lost generation”. Kondisi tersebut sangat menghawatirkan,
karena sebagian dari generasi penerus kita tidak mampu bertumbuh kembang dengan
baik dan memiliki kualitas yang rendah. Seperti umumnya di negara-negara
berkembang, kecukupan gizi yang relatif rendah (atau lebih sederhana di sebut kurang
gizi) pada balita merupakan masalah utama yang cukup menghambat kemajuan
pembangunan (Kodyat, 1992).
Status gizi anak balita secara sederhana dapat diketahui dengan
membandingkan antara berat badan menurut umur maupun menurut panjang
badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan yaitu melalui pemeriksaan
antropometri (Muhamad Thohar Arifin, M.D, 2005). Apabila berat badan menurut
umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar
disebut gizi kurang, dan apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Selain
melalui pengujian antropometri, diagnosis kurang gizi juga dapat melalui temuan
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
31
klinis, di mana keadaan klinis gizi buruk dapat dibagi menjadi kondisi marasmus
seperti anak kurus, kulitnya kering, dan didapati pengurusan otot (atrophy); kondisi
kwasiorkor seperti didapati pembengkakan terutama pada punggung kaki yang tidak
kembali setelah dilakukan pemijitan; serta kondisi marasmik kwasiorkor yang
merupakan bentuk klinis campuran keduanya.
Hasil Survei Garam Yodium (SGY) Tahun 2005 menginformasikan bahwa
ada 6 persen balita dengan gizi buruk dan 16 persen dengan gizi kurang, 75 persen
balita dengan gizi cukup dan 3 persen balita dengan gizi lebih. Penyebab kekurangan
gizi pada anak biasanya disebabkan oleh kuantitas dan kualitas asupan makanan yang
dikonsumsi dan tingkat kesehatan anak tersebut. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi gizi buruk adalah saat bayi hingga usia 2 tahun anak tidak cukup
mendapat makanan bergizi seimbang seperti Air Susu Ibu (ASI). Gizi lebih juga harus
diwaspadai karena akan berpengaruh terhadap kesehatan balita tersebut. Masalah
akan timbul jika asupan energi lewat makanan jauh lebih besar dari pada energi yang
diperlukan untuk beraktivitas, atau peningkatan gizi yang terjadi tidak disertai
peningkatan aktifitas/bergerak.
Gambar 3.5. Persentase Balita Berdasar Status Gizi Balita
Provinsi Jawa Barat Tahun 2005
80
70
60
50
40
30
20
10
0
gizi buruk
(6%)
gizi kurang
(16%)
gizi normal
(75%)
gizi lebih
(3%)
Sumber : Diolah dari Survei Garam Yodium 2005
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
32
Ketahanan tubuh bayi sangat dipengaruhi oleh masukan gizi dan imunisasi
yang diberikan. Masukan gizi yang baik untuk bayi berasal dari ASI. Air susu ibu
disamping memenuhi kebutuhan akan gizi juga mengandung zat antibodi terhadap
penyakit. ASI merupakan sumber zat gizi utama dan paling berperan pada masa-masa
pertama anak yang baru lahir hingga usia 2 tahun. Obat pencegah gangguan gizi pada
bayi ini mengandung beberapa nutrien khusus bagi pertumbuhan otak bayi, seperti
taurin, laktosa, omega-3 asam linoleat alfa, dan asam lemak ikatan panjang antara lain
DHA (Docosahexanoic Acid) dan AA (Arachidonic Acid) yang ke semua nutrien tersebut
tidak bisa didapat dari susu sapi atau fomula. Kalaupun ada itupun hanya dengan
komposisi yang sangat sedikit. Berbagai fakta ilimiah membuktikan bayi dapat
tumbuh lebih sehat dan cerdas jika diberi ASI secara ekslusif pada 4 – 6 bulan
pertama kehidupannya. Ekslusif artinya adalah pada kurun waktu tersebut bayi hanya
mengkonsumsi ASI saja dan tidak diberi tambahan makanan cairan apapun seperti
susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, maupun tambahan makanan seperti
pisang, bubur susu, biskuit, maupun nasi tim.
Tabel 3.2. Lama Balita Menyusui di Jawa Barat Tahun 2005-2007
Indikator
2005
2006
2007
Balita
1. Jumlah Balita
3.517.149
3.538.588
3.831.703
2. Balita yang Disusui
3.353.734
3.389.525
3.617.313
3. % disusui > 24 bulan
34,39
33,98
36,46
4. % disusui 12-23 bulan
44,34
40,52
37,20
5. % disusui < 12 bulan
21,7
25,50
26,34
Sumber: Suseda 2005-2007
Bayi yang diberi ASI secara khusus terlindung dari serangan penyakit sistem
pernapasan dan pencernaan. Hal itu disebabkan zat-zat kekebalan tubuh di dalam ASI
memberikan perlindungan langsung melawan serangan penyakit. Sifat lain dari ASI
yang juga memberikan perlindungan terhadap penyakit adalah penyediaan
lingkungan yang ramah bagi bakteri ”menguntungkan” yang disebut ”flora normal”.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
33
Keberadaan bakteri ini menghambat perkembangan bakteri, virus dan parasit
berbahaya. Tambahan lagi, telah dibuktikan pula bahwa terdapat unsur-unsur di
dalam ASI yang dapat membentuk sistem kekebalan melawan penyakit-penyakit
menular dan membantunya agar bekerja dengan benar Menurut Harun Yahya (2006)
dalam artikelnya menyebutkan bahwa kelebihan yang diberikan ASI kepada bayi di
antaranya adalah kandungan minyak omega-3 asam linoleat alfa dalam ASI yang
merupakan zat penting bagi otak dan retina manusia.
Dari data Suseda 2007 diketahui 36,46 persen balita tersebut disusui lebih
dari 2 tahun, sedangkan 37,20 persen disusui selama 1-2 tahun dan sisanya sebanyak
26,34 persen balita hanya mendapatkan asupan ASI dari ibunya kurang dari 12
bulan. Situasi ini sangat menggembirakan karena tingkat kesadaran orang tua
terutama ibu untuk memberikan asupan gizi terbaik bagi si kecil makin baik. Dengan
kata lain semakin panjang usia pemberian ASI terutama ASI ekslusif 4 – 6 bulan
pertama akan menjamin tercapainya pertumbuhan otak secara optmal, sehingga
diharapkan pengembangan potensi anak dapat berjalan baik dan semakin optimal
pula. Namun demikian pemberian ASI kadang terpaksa tidak dilakukan dengan
optimal. Hal ini terjadi karena meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak
keluar ataupun jika keluar tapi tidak memenuhi kebutuhan bayi dan anak, atau
karena alasan pekerjaan dan penampilan.
Asupan gizi lain bisa didapat tidak hanya dari ASI. Seiring dengan
perkembangan usia, semakin besar, anak butuh asupan gizi lain yang bisa didapat dari
sayur-sayuran, buah-buahan, susu dan makanan lain yang notabene mengandung zatzat yang dibutuhkan tubuh seperti karbohidrat, protein hewani dan nabati, vitamin,
kalsium, serta berbagai mineral penting lainnya.
Di lingkungan kita, di lingkungan sekolah anak-anak kita banyak ditawarkan
aneka jajanan pada anak-anak. Anak-anak sering mengkonsumsi jajan di luar dan
cenderung enggan menyantap masakan yang ada di rumah. Makanan jajanan tersebut
terkadang tidak memenuhi standar kebersihan maupun mutu asupan gizinya.
Contohnya jajanan yang banyak dikonsumsi anak adalah jajanan dengan kandungan
monosodium glutamat (MSG) yang cukup tinggi. Menurut penelitian MSG dapat
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
34
mengkontaminasi pelindung darah otak yang dapat mengakibatkan kelainan hati,
trauma, hipertensi, stres, demam tinggi dan proses penuaan. MSG juga memicu reaksi
gatal, bintik merah di kulit, mual, dan muntah sakit kepala, migren, asma, gangguan
hati, ketidakmampuan belajar dan depresi.
Gambar 3.6. Peresentase Rumahtangga Pengguna Garam Menurut
Kecukupan Kandungan Yodium Tahun 2005
cukup (66,39%)
kurang (21,97%)
tidak ada (11,64%)
Sumber : Diolah dari Survei Garam Yodium Tahun 2005
Masalah zat gizi utama lainnya adalah kurang zat gizi mikro seperti kurang
vitamin A, kurang zat besi, maupun kurang yodium. Data Survei Garam Yodium
2005 memperlihatkan terdapat sekitar 11,64 persen rumahtangga yang tidak
mengkonsumsi garam beryodium di Jawa Barat dan 21,97 persen rumah tangga
mengkonsumsi garam dengan kandungan yodium kurang. Kondisi ini cukup
menghawatirkan karena orang yang kekurangan yodium menurut Departemen
Kesehatan berpotensi kehilangan IQ sebesar 50 poin, bahkan dapat berakibat kepada
kerusakan mental. Ibu yang kekurangan yodium dapat menyebabkan bayi lahir mati,
cacat fisik maupun kerusakan berat pada otak.
3.2.3.
Perilaku Hidup Sehat Masyarakat
Faktor perilaku turut berperan dalam penentuan derajat kesehatan masing-
masing sebesar 30 persen (Teori dari Henrik L Blum) Faktor perilaku berkaitan
dengan pengetahuan dan pendidikan. Indonesia dan negara-negara berkembang lain
saat ini sedang menghadapi transisi epidemiologi. Pada bidang gizi terjadi perubahan
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
35
pola makan seperti rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi garam,
dan meningkatnya konsumsi makanan yang tinggi lemak serta berkurangnya aktivitas
olah raga (Departemen Kesehatan, 2006). Perilaku dan kondisi lingkungan yang
kurang sehat ini meningkatkan resiko penduduk terkena penyakit degeneratif (tidak
menular) dan kematian.
Dalam satu sendok teh garam dapur berisi 2.000 mg sodium demikian
diungkap oleh Dr. Hendrawan N (2006). Sodium yang terkandung dalam setiap
menu modern rata-rata sekitar 500 mg. Pada takaran ini ginjal sudah perlu kerja keras
untuk tetap mempertahankan keseimbangan cairan dan asam-basa agar mesin tubuh
tak kacau dari penyakit akibat kelebihan sodium. Konsumsi sodium tubuh yang lebih
dari jumlah standar yang mampu diolah ginjal akan berdampak pada gangguan
kesehatan.
Darah tinggi, jantung, keracunan kehamilan, kelainan hati, hingga
penyakit gagal ginjal adalah beberapa penyakit akaibat kelebihan mengkonsumsi
garam. Budaya senang garam tanpa disadari telah merongrong ginjal manusia untuk
bekerja lebih keras membuang kelebihan natrium (sodium) dari garam yang ditelan
setiap hari. Tubuh tidak memerlukan garam sebanyak kebiasaan budaya makan kita.
Kita rata-rata menelan lima-enam kali lipat kebutuhan garam tubuh dari menu harian.
Gambar 3.7. Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Yang Merokok Menurut
Jenis Kelamin dan Jumlah Batang Yang di Hisap Seminggu Terakhir
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2006
70
61.99
60
53.33
50
40
laki-laki
31.12
30
perempuan
22.79
20
15.54
10.22
10
0
< 13
13-25
>25
Sumber: Suseda 2006
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
36
Jumlah penduduk 10 tahun ke atas yang pernah merokok sebanyak
10.124.117 orang atau sekitar 30,74 persen (Suseda 2006). Penduduk laki-laki yang
merokok sebanyak 9.873.381 orang dan perempuan sebanyak 250.736 orang.
Walaupun pada bungkus rokok tercantum peringatan bahwa merokok dapat
menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan
janin namun persentase laki-laki yang merokok lebih dari 25 batang seminggu
terakhir mencapai 61,99 persen dan perempuan mencapai 53,33 persen. Peringatan
tersebut sepertinya belum effektif untuk menghentikan kebiasaan merokok. Akibat
yang ditimbulkan nikotin bukan hanya bagi para perokok aktif melainkan bagi para
perokok pasif, yaitu orang-orang yang berada di lingkungan para perokok karena
mereka berpeluang menghirup asap rokok yang ada di sekitarnya. Kebiasaan merokok
ketika bersama anggota rumah tangga mencapai 91,14 persen.
Peran media mutlak diperlukan dalam mengkampanyekan bahayanya
merokok. Tidak hanya merugikan bagi si perokok tapi juga bagi orang-orang di
sekitarnya yang secara tidak langsung ikut juga menyerap asap rokok. Iklan layanan
masyarakat yang terus menerus akan memberi pengetahuan pada masyarakat. Untuk
itu media diharapkan dapat memberikan ruang untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat, melakukan fungsi sosial dengan cara bekerja sama dengan pemerintah
untuk memunculkan iklan layanan masyarakat dengan biaya murah.
Kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan merupakan salah
satu perilaku hidup sehat. Mencuci tangan memakai sabun banyak manfaatnya. Hasil
studi Curtis V dari Departemen of Intectious and Tropical Diseases London Scholl of Hygiene
and Tropical Medicine (Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006) pada tahun 2003
membuktikan bahwa mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi resiko terkena
penyakit diare yang merupakan penyebab terbesar kematian terutama bagi balita di
banyak negara. Kerentanan tersebut disebabkan oleh rendahnya tingkat kekebalan
tubuh balita dibandingkan dengan tubuh orang dewasa. Di Jawa Barat sendiri pada
tahun 2005 paling tidak terdapat 1,18 persen penduduk yang mengeluhkan terkena
diare dalam sebulan terakhir.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
37
Perilaku lain yang baik bagi peningkatan status kesehatan penduduk adalah
mengurangi minuman yang beralkohol, frekuensi mandi, berpakaian bersih,
menggunting kuku, menggosok gigi, membuang sampah pada tempatnya, hingga
kebiasaan berolah raga penduduk.
Mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Tindakan preventif jauh lebih murah, lebih efektif, dan efisien daripada tindakan
kuratif. Permasalahannya bagaimana menggalakkan perilaku hidup sehat menjadi
perilaku rutin setiap penduduk khususnya di Jawa Barat.
3.2.4.
Perumahan dan Lingkungan
Upaya penanggulangan penyakit seharusnya tidak hanya melibatkan agent
(penyebab sakit) dan host (manusia) semata, melainkan juga faktor lingkungan yang
ternyata berperan sangat besar. Pendidikan dokter di Indonesia sedikit sekali
menyentuh lingkungan tersebut sebagai salah satu faktor penting yang berperan dalam
menimbulkan penyakit pada manusia. Bahkan masih sedikit penelitian jangka
panjang tentang penyakit lingkungan yang dilakukan. Karena itu, sering timbul
perdebatan tentang penyebab yang sebenarnya dari sesuatu penyakit lingkungan
tersebut (Anies, Kompas 4 April 2003).
Telah lama disinyalir bahwa peran lingkungan dalam meningkatkan derajat
kesehatan sangat besar. Sebagaimana dikemukakan Blum (1974) dalam Planning for
Health, Development and Application of Social Change Theory, bahwa faktor lingkungan
berperan sangat besar di samping perilaku daripada faktor pelayanan kesehatan dan
keturunan. Memang tidak selalu lingkungan sebagai penyebab, melainkan juga
sebagai penunjang, media transmisi, maupun memperberat penyakit yang telah ada.
Selama ini orang lebih mewaspadai mikroorganisme sebagai penyebab penyakit yang
berasal dari lingkungan yang masa inkubasinya relatif pendek. Jarang disadari bahwa
pada 20 sampai 30 tahun mendatang berbagai penyakit keganasan dan yang dapat
menimbulkan kecacatan akan menjadi problem serius bagi kita, di antaranya adalah
radiasi elektromagnetik di sekitar kita.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
38
Sumber daya alam sebagai lingkungan fisik yang ada selama ini
dipergunakan bagi kelangsungan hidup manusia memiliki sifat irrevertible (tidak
mungkin berkembang), sedangkan jumlah penduduk semakin lama semakin
meningkat. Laju pertumbuhan yang cukup cepat, hingga kini selalu memunculkan
masalah, tidak saja pada masalah ekonomi, sosial, budaya, namun juga berdampak
pada permasalahan lingkungan seperti ketersediaan air yang sehat dan bersih dan
peningkatan kadar polusi udara, laut, maupun darat berupa sampah. Setiap tahunnya,
tak kurang dari 2,2 juta orang di negara berkembang (middle development country)
utamanya anak-anak, meninggal dunia dikarenakan kurangnya air minum yang aman,
sanitasi dan higiene yang buruk (Departemen Kesehatan, 2006). Untuk melihat
rendahnya tingkat sanitasi lingkungan sebagai standar utamanya dapat diperhatikan
dari berbagai sarana penunjang kesehatan yang berada di lingkungan rumahtangga,
baik dilihat dari kondisi perumahan, sumber air bersih, fasilitas buang air besar,
termasuk fasilitas buang sampah.
Tabel 3.3. Persentase Rumahtangga
Menurut Jenis Lantai, Fasilitas Air Minum, dan
Fasilitas Buang Air Besar, di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2005- 2007
Indikator
(1)
2005
(2)
2006
(3)
2007
(4)
persen rmt dg lantai tanah
persen rmt tanpa akses sumber
air minum bersih
persen rmt dg jarak sumber air ke
penampungan tinja <=10m
persen rmt tanpa akses tempat
buang air besar
7,47
14,85
7,91
14,37
6,75
16,84
36,90
37,32
34,14
14,66
14,77
17,05
Sumber : Suseda 2005-2007
Air minum yang bersih merupakan syarat yang penting bagi kesehatan
manusia. Rendahnya kualitas air yang diminum menyebabkan bakteri penyakit
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
39
mudah masuk ke dalam tubuh. Kualitas air minum sendiri dapat diketahui dari
bentuk dan rasa air, di mana terdapat lima tingkatan kualitas air yang sering dijadikan
tolok ukur yaitu jernih, berwarna, berasa, berbusa, dan berbau. Data Suseda 2007
menyebutkan bahwa sebanyak 16,84 persen rumah tangga mengkonsumsi air yang
tidak bersih, 6, 75 persen rumah tangga menghuni rumah dengan lantai tanah dan
sebanyak 17,05 persen rumah tangga tidak mempunyai fasilitas tempat buang air
besar di rumahnya.
Besarnya persentase rumahtangga yang mengkonsumsi air minum dengan
kualitas bersih paling tidak membuka peluang besar penduduk untuk memperoleh air
minum yang sehat dan aman. Air sebelum diminum harus direbus sampai mendidih
(suhu 1000 C). Proses perebusan air merupakan cara yang paling efektif untuk
membunuh berbagai bakteri patogen yang berbahaya bagi kesehatan. Perlu diwaspadai
bahwa untuk mendapatkan air melalui cara filterisasi dan ozonisasi seperti yang kini
mulai marak di masyarakat dalam bentuk air minum isi ulang yang belum tentu
memberikan jaminan air dengan kualitas yang sehat dan aman. Kompas (23/5)
memberitakan, ditemukan bakteri Escherichia coli, coliform, bahkan Salmonella
dalam air minum isi ulang yang diambil dari beberapa depo. Dalam proses
mendapatkan air bersih, tidak cukup melihat air tersebut jernih atau bening saja, tapi
juga harus diperhatikan apakah ada peluang terkena pencemaran dari lingkungan
tempat sumber air tersebut berasal.
Jka jarak sumber air minum sangat dekat dengan tempat penampungan
kotoran atau tinja (< 10 meter) bisa mengakibatkan tercemarnya air minum oleh
kotoran manusia. Data Suseda 2007 memperlihatkan masih ada sebanyak 34,14
persen rumah tangga di Jawa Barat yang memiliki jarak tempat pembuangan tinja
dengan sumber air minum yang kurang dari 10 meter. Air yang berasal dari sumber
tidak terlindung, seperti sumur yang tidak ada dinding penghalang minimal 3 meter
ke dalam tanah dapat tercemar oleh bakteri-bakteri yang ada di sekitar sumur tersebut,
misalnya bakteri dari limbah manusia (tinja). Belum lagi penduduk yang
memanfaatkan sumur tidak terlindung, mata air tidak terlindung, air sungai, bahkan
air hujan untuk memenuhi kebutuhan air minum.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
40
Kondisi lingkungan tempat tinggal yang sehat sangat menunjang kehidupan
yang sehat. Lingkungan yang bersih, nyaman, asri, bebas dari polusi dan dapat
memberikan rasa aman dan nyaman. Di Jawa Barat memang kebiasaan bekerja bakti
warga membersihkan sampah baik di selokan maupun di lingkungan tempat tinggal
masih cukup tinggi dilakukan. Hasilnya, 72,07 persen keadaan air got/selokan di
sekitar rumah mengalir dengan lancar (statistik perumahan dan lingkungan, 2004).
Sebesar 8,94 persen lainnya adalah keadaan air selokan yang mengalir sangat lambat
dan tergenang, bahkan 18,99 persen rumahtangga tidak memiliki selokan untuk
mengaliri limbah domestiknya. Kondisi ini perlu mendapat perhatian, karena air
selokan yang tidak mengalir lancar maupun tergenang, atau air limbah yang
berserakan di sekitar lingkungan tempat tinggal bisa menyebabkan bau tidak sedap
dan menjadi tempat berkembang biak berbagai sumber penyakit selain lingkungan
menjadi tidak sedap dipandang.
Perilaku membuang sampah masyarakat cukup mempengaruhi kesehatan
lingkungan. Persoalan sampah harus ditangani secara komprehensif. Harus ada
regulasi dari pemerintah dan upaya-upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat
dalam mengelola sampah. Kota Bandung pernah menjadi lautan sampah, dan pada
Tahun 2005 pernah terjadi longsor sampah di TPA Leuwigajah yang menelan korban
jiwa. Dalam keseharian tidak sedikit orang yang menghidupi rumah tangganya dari
mengelola sampah. Mereka memilah-milah sampah yang masih bisa dimanfaatkan. Ini
berarti apabila setiap rumah tangga sudah memilah-milah jenis sampah rumah tangga
akan lebih memudahkan penanganan pengolahan sampah. Apabila ada rumah tangga
yang tidak memilah sampahnya maka sampah tersebut tidak akan diambil oleh
petugas pengangkut sampah. Demikian juga apabila sampah tersebut sampai ke TPA
sampah tanpa dipilah pengelola TPA berhak menolak sampah tersebut. Bila ini
dilakukan secara disiplin oleh berbagai pihak terkait kiranya persoalan sampah bisa
ditanggulangi. Peran media juga sangat diperlukan dalam mensosialisasikan
penanganan sampah. Iklan layanan masyarakat seperti jangan membuang sampah
sembarangan dan berbagai macam akibatnya secara kontinu disampaikan kepada
masyarakat.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
41
Masih banyak lagi problematika kesehatan yang muncul dan perlu segera
dibenahi akibat perubahan sosial ekonomi dan budaya, antara lain; terjadinya
disparitas status kesehatan; beban ganda penyakit; kinerja pelayanan kesehatan yang
rendah; perilaku dan pola hidup bersih masyarakat yang kurang mendukung;
rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; rendahnya kualitas pemerataan dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan; terbatasnya jumlah tenaga kesehatan dan
distribusi yang tidak merata; dan rendahnya kesehatan penduduk miskin.
3.3.
Pendidikan
Indikator pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah) yang
merupakan salah satu komponen dari IPM mengalami peningkatan pada Tahun
2007. Pada Tahun 2005 AMH Jawa Barat sebesar 94,52 persen naik 1,11 persen
menjadi 95,63 persen pada Tahun 2007. Sedangkan rata-rata lama sekolah dari 7,46
pada Tahun 2005 menjadi 7, 82 pada Tahun 2007.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa hanya negara yang mempunyai
Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang akan mampu bersaing dengan negara
lain dalam era globalisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah khususnya
pemerintah daerah perlu lebih mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM
melalui program-program pembangunan yang lebih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Karena sudah saatnya
masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan kebutuhan yang tak kalah
pentingnya dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Dalam institusi terkecil seperti
rumahtangga, pendidikan seyogyanya telah menjadi kebutuhan utama. Kewajiban
pemerintah untuk memfasilitasi hal tersebut, karena bagaimanapun juga SDM yang
bermutu merupakan syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang baik.
Pendidikan Indonesia memang ibarat kapal karam, terombang-ambing di
tengah ombak tanpa nakhoda yang andal. Bergerak tanpa arah yang jelas, keropos
karena korupsi. Buku yang bergonta-ganti, murid yang dijadikan obyek bisnis oleh
guru atau kepala sekolah, sekolah-sekolah ambruk, kompetensi dan gaji guru yang
rendah merupakan persoalan yang dihadapi dari tahun ke tahun. Pendidikan sebagai
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
42
prioritas, anggaran pendidikan 20 persen, dan wajib belajar 12 tahun hanya menjadi
sekumpulan kata-kata indah dalam pembicaraan politisi dan pejabat pemerintahan
(Kompas, 24 Desember 2004).
3.3.1.
Angka Partisipasi Sekolah
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV
(Hak Dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat Dan Pemerintah) pasal 6
ayat 1, mengatakan bahwa “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”, dan pasal 11 ayat 2 “Pemerintah
dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana, guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas
tahun.” Hal ini berarti bahwa sepatutnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun
yang tidak bersekolah, atau tingkat partisipasi sekolahnya 100 persen.
Sebagai salah satu provinsi yang diharapkan termaju di Indonesia, sesuai
dengan visi Jawa Barat 2010, Provinsi Jawa Barat berusaha keras memajukan bidang
pendidikan. Pendidikan yang tinggi menjadi modal kuat untuk memperkuat daya
saing penduduk. Jika kecenderungan penanganan pendidikan di masyarakat masih
berkutat pada bagaimana mempertahankan siswa rawan DO agar tetap bersekolah,
tentunya permasalahan yang lebih besar akan banyak muncul di masa mendatang.
Gambar 3.8 : Angka Partisipasi Sekolah (APS)
Tahun 2005 dan 2006
100
90
80
96.68
96.35
79.38
78.75
70
7-12
60
50
51.53
45.13
13-15
16-18
40
19-24
30
20
10
10.5
9.55
0
Th. 2005
Th. 2006
Sumber: Suseda 2005 dan 2006
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
43
Dari hasil Suseda 2005 dan 2006 diperoleh bahwa partisipasi sekolah
di Jawa Barat masih relatif rendah, khususnya untuk jenjang pendidikan lanjutan dan
tinggi. Pada penduduk kelompok umur 7 - 12 tahun terjadi sedikit penurunan namun
untuk jenjang SMP (13-15), SMA (16-18 tahun), tinggi (19-24 tahun) mengalami
sedikit peningkatan. APS untuk pendidikan dasar (7-12 tahun) mencapai 96,35
persen. Hal ini kemungkinan karena gencarnya kampanye program pendidikan dasar
yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah secara luas dengan disertai oleh
bermacam kucuran dana bantuan pendidikan, mulai dari yang hanya terbatas pada
kelompok masyarakat miskin hingga yang sifatnya menyeluruh seperti Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
Pemerintah telah mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun
namun demikian pencapaian APS untuk jenjang SMP belum setinggi pada APS SD.
Ini kemungkinan disebabkan oleh masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat
khususnya di pedesaan untuk menyekolahkan anak ke jenjang lanjutan. Mereka lebih
memilih untuk mempersiapkan atau bahkan menerjunkan anak-anaknya ke dalam
dunia kerja, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Hal serupa juga terjadi pada
penduduk kelompok umur 16 - 18 tahun. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja
Daerah tahun 2003 (Sakerda 2003), tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
penduduk kelompok umur 10-14 tahun untuk daerah perkotaan dan perdesaan
masing-masing sebesar 2,79 dan 6,73. Ini memperkuat fakta bahwa kecenderungan
penduduk usia dini di pedesaan untuk terjun ke dunia kerja lebih tinggi
dibandingkan dengan di perkotaan.
Isu adanya perbedaan mencolok untuk memperoleh pendidikan yang layak
menurut jenis kelamin dimana kesempatan laki-laki untuk mengakses pendidikan
lebih besar dari pada perempuan, sudah mulai terdegradasi secara umum di Jawa
Barat. Pada Tahun 2006 sudah tidak nampak lagi adanya perbedaan kesempatan
bersekolah yang signifikan antara penduduk laki-laki dan perempuan, khususnya
untuk kelompok umur sasaran program wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun. Untuk jenjang pendidikan tinggi tampak laki-laki lebih besar dibanding
perempuan. Hal ini bisa dipahami mengingat keberadaan perguruan tinggi umumnya
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
44
ada di perkotaan. Kemungkinan orang tua khawatir melepas anak perempuannya jauh
ke negeri orang.
Gambar 3.9 : Angka Partisipasi Sekolah (APS)
Menurut Jenis Kelamin Tahun 2006
120
100
80
Laki-Laki
60
Perempuan
40
20
0
7-12
13-15
16-18
19-24
Sumber : Suseda 2006
3.3.2.
Budaya Masyarakat
Adanya kecenderungan penurunan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan
untuk kebutuhan pendidikan. Pada Tahun 2006 alokasi biaya pendidikan sebesar
3,74 persen dari total pengeluaran rumah tangga dan turun menjadi 3.11 persen pada
Tahun 2007. Hal ini mungkin disebabkan adanya pembebasan biaya sekolah yang
dicanangkan oleh pemerintah. Sehingga sebagian alokasi biaya tersebut dialihkan ke
pengeluaran lainnya. Dari sisi nilai, persentase pengeluaran untuk pendidikan masih
sangat kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan skala prioritas
pengeluaran untuk kebutuhan pendidikan di rumahtangga relatif lebih marginal jika
dibandingkan dengan pengeluaran lainnya yang relatif lebih konsumtif.
Pengeluaran rumahtangga untuk makanan sebesar 51,66 persen masih lebih
besar dari pada untuk non makanan (48,34 persen). Untuk golongan non makanan,
pengeluaran paling besar untuk kebutuhan perumahan dan bahan bakar (25,57
persen), sedangkan pengeluaran untuk biaya pendidikan hanya sebesar 3,11 persen.
Hal ini Fenomena tersebut kemungkinan disebabkan oleh masih relatif rendahnya
pemahaman para orang tua tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
45
Banyak alasan yang mereka kemukakan, salah satunya adalah belum menjanjikannya
masa depan putra putri mereka yang berpendidikan tinggi akan mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak
melanjutkan sekolah dan langsung bekerja
Gambar 3.10 : Persentase Pengeluaran Rata-Rata Perkapita Sebulan
Untuk Makanan dan Non Makanan Tahun 2007
60
50
40
30
20
10
0
1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2
3
4
Makanan
Perumahan dan Bahan Bakar
Aneka Barang dan Jasa
Pendidikan
Kesehatan
Pakaian dan Barang Tahan Lama
Pajak, asuransi, kepeluan pesta
5
6
7
8
51.66 %
25,57 %
9,34 %
3,11 %
2,73 %
5,59 %
2,00 %
Sumber : Suseda 2007
3.3.3.
Biaya Pendidikan
Pandangan masyarakat menyatakan bahwa pendidikan hanya milik orang
kaya dan kalangan berduit saja. Sedangkan dari dana kompensasi BBM yang salah
satunya disalurkan melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk
jenjang pendidikan dasar dan lanjutan pertama, serta BKM (Bantuan Khusus Murid)
untuk jenjang lanjutan atas, pada pelaksanaannya masih dikhawatirkan beberapa
pihak. Pandangan tersebut tidak salah mengingat biaya sekolah khususnya untuk
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
46
pendidikan menengah dan tinggi semakin tak terjangkau. Pendidikan masih identik
dengan biaya yang tinggi dan sulit dijangkau oleh masyarakat kalangan menengah ke
bawah. Tercatat bahwa hingga Tahun 2004 persentase penduduk yang masih hidup di
bawah garis kemiskinan sebesar 12,10 persen (Susenas 2004). Masih banyaknya
masyarakat dengan kemampuan ekonomi rendah, di mana umumnya memiliki
keterbatasan untuk berpartisipasi dalam meraih pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, perlu menjadi perhatian dalam melakukan perencanaan pembangunan
terutama di bidang pendidikan.
Gambar 3.11 : Konsumsi Pendidikan Per Kapita se Bulan
Tahun 2005, 2006 dan 2007
4
3.74
3.74
3.11
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Th. 2005
Th. 2006
Th. 2007
Sumber : Suseda 2005-2007
Tampak bahwa terjadi penurunan alokasi pengeluaran di bidang pendidikan
dari Tahun 2005 ke 2007. Alokasi dana pendidikan masyarakat Jawa Barat di tingkat
rumahtangga masih rendah (di bawah 4 persen). Kita perlu waspada dan prihatin
apabila peningkatan persentase pengeluaran untuk pendidikan ternyata lebih
disebabkan karena semakin mahalnya akses untuk memperoleh pendidikan.
Pemerintah telah berupaya keras menyalurkan dana bantuan untuk
pendidikan. Kenyataannya hal tersebut belum dapat menghapuskan berbagai bentuk
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
47
pungutan atau iuran pada lembaga pendidikan. Bila tidak segera diantisipasi dan
ditanggulangi
dikhawatirkan
akan
mengancam
pelaksanaan
pembangunan
pendidikan. Bila pendidikan hanya dikonsumsi oleh penduduk dengan tingkat
ekonomi tinggi, dampaknya adalah turunnya angka partisipasi sekolah. Penduduk
miskin tidak mampu mengenyam pendidikan. Akibatnya mereka menjadi miskin
pengetahuan dan pilihan-pilihan hidupnya sangat terbatas. Rumah tangga yang
demikian akan menurunkan generasi yang miskin dan terus terpinggirkan. Ini perlu
menjadi renungan dan dicarikan solusinya.
Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat
48
Download