BAB III. STATUS PEMBANGUNAN MANUSIA IPM sudah sangat populer di hampir semua daerah di Provinsi Jawa Barat. Seperti dijelaskan dimuka ini tidak terlepas dari sosialisasi yang gencar dan tiada henti tentang IPM. Setiap daerah berusaha dengan segenap kemampuan merencanakan program yang dampaknya bisa berkontribusi menaikkan angka dari komponen IPM. Semua SKPD memusatkan program yang dapat meningkatkan angka IPM. Namun perlu disadari bahwa investasi pembangunan dalam rangka pembangunan manusia yang dalam hal ini dipotret dalam suatu angka IPM hasilnya tidak instant langsung berdampak di tahun berikutnya. Contoh usaha untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah seperti dimanifestasikan dalam program wajar dikdas 9 tahun dimana anakanak usia sekolah diwajibkan minimal mengenyam pendidikan sampai jenjang tingkat SMP. Hasilnya akan terasa pada beberapa tahun kemudian. Investasi pembangunan manusia memang merupakan pembangunan jangka panjang. Ada kerancuan antara konsep pembangunan manusia dan Indeks Pembangunan Manusia. Pemahaman yang berkembang tentang IPM, IPM dilihat sebagai indeks, bukan sebagai alat ukur untuk mengukur kinerja komprehensif dari pembangunan manusia. Angka Harapan Hidup yang merupakan salah satu indikator IPM sering diterjemahkan secara tidak tepat. Angka harapan hidup sesungguhnya hanya fungsi matematis dari Angka Kematian Bayi (AKB). Program pembangunan seyogyanya diarahkan pada penurunan AKB dengan fokus pada determinan yang ada dibelakangnya, bukan pada AKB nya sendiri. Begitu juga pada upaya peningkatan indeks pengetahuan, seyogyanya penanganannya di daerah jauh lebih holistik dari pada sekadar program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Akibat pemahaman yang periferal terhadap makna pembangunan manusia, dan tekanan terlalu kuat pada peningkatan indeks, maka yang muncul adalah program intervensi Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 17 langsung pada komponen-komponen IPM, bukan pada determinan yang membangun komponen tersebut. Kembali pada persoalan awal bahwa pembangunan manusia dalam perencanaan pembangunan sudah menjadi fokus utama. Pembangunan manusia (human development) menurut UNDP, 1990, dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice of people), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah “perluasan pilihan” dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut. Di antara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah berumur panjang dan sehat, memiliki ilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Setelah berjalan hampir setengah dekade, sebagian kalangan tampaknya merasa kurang optimis, keinginan mencapai IPM 80 bisa terwujud dalam kurun tiga tahun ke depan. Angka IPM 80 pada tahun 2010 dianggap tidak wajar dan tidak rasional, karena hingga 2007 IPM Jawa Barat baru mencapai 70,76 (angka sangat sementara) atau hanya naik 1,41 dari kondisi tahun 2005 yang mencapai 69,35. Kekhawatiran tersebut sangat wajar mengingat apabila dicermati laju perkembangan IPM Jawa Barat yang relatif belum begitu menggembirakan selama beberapa tahun terakhir, akan tetapi patut pula menjadi renungan bersama bagaimana konsistennya negara jiran, Malaysia, mendukung tujuan “Wawasan 2020” untuk menjadikan Malaysia sebagai negara maju menjelang tahun 2020. Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi Perdana Menteri Malaysia menyatakan bahwa tidak ada alasan baginya untuk merubah program yang ada semata-mata hanya karena ingin menonjolkan namanya (Republika, 5 April 2006). Hal ini mencerminkan begitu teguhnya Pemimpin Malaysia tersebut menjalankan komitmen yang digagas pendahulunya, Dr Mahathir Mohamad. Badawi merumuskan Rancangan Malaysia Kesembilan (RMK-9) untuk mewujudkan komitmen bangsanya dengan mengalokasikan dana untuk pembangunan 200 miliar ringgit (sekitar Rp. 4,6 triliun) untuk tempo 2006 hingga 2010. Secara jelas Badawi memaparkan bahwa RMK-9 bukan sekedar sebuah rencana, tetapi merupakan salah satu Misi Nasional, misi yang Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 18 melibatkan semua rakyat dan dapat melahirkan satu semangat dan kekuatan untuk menggapai cita-cita tersebut. Belajar dari semangat pemimpin negeri Malaysia untuk tetap konsisten dengan cita-cita pendahulunya, maka konsep pembangunan manusia yang sudah menjadi semangat pembangunan di Jawa Barat harus tetap diwujudkan walaupun terjadi pergantian pimpinan daerah. Langkah Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mewujudkan visi menjadi provinsi termaju dan mitra terdepan ibukota negara hampir serupa dengan yang digagas Malaysia walaupun dalam skala yang berbeda. Komitmen ini harus senantiasa terpelihara dihati para para pemimpin daerah dan SKPD serta dukungan masyarakat luas dengan upaya membangkitkan lagi modal sosial yang dulu pernah dimiliki bangsa ini. Sifat saling percaya (trust) antara pemimpin dan yang dipimpin, saling peduli terhadap sesama, saling memberi dan mampu menerima halhal positif yang datang dari luar lingkungannya, proaktif dan nilai-nilai positif yang menjadi modal kolektif untuk menuju kebaikan dan kemajuan bersama. Dalam beberapa tahun terakhir setidaknya terbangun komitmen kuat kabupaten/kota dan terjalin sinergitas yang tinggi antar berbagai stakeholders untuk menggiatkan kembali gairah pembangunan yang sempat terpuruk ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Pencapaian IPM bukanlah sesuatu yang mutlak, tetapi yang lebih penting adalah terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang sejahtera dan makmur (gemah ripah), serta cageur, bageur, pinter, bener tur singer. Robby Djohan (Let to Togetherness, 2007) menyebutkan bahwa pembangunan sesungguhnya ditujukan untuk manusia dan oleh manusia. Modal sosial akan mempercepat proses pembangunan manusia. Dengan modal sosial yang tinggi, masyarakat akan lebih mudah menyelesaikan berbagai problem kolektif yang mereka hadapi. Modal sosial akan memberikan energi kolektif untuk dapat mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat. Modal sosial yang tinggi akan memfasilitasi upaya memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan yang bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki kesejahteraan dan mutu kehidupan secara bersama-sama. Suatu masyarakat dengan modal sosial yang tinggi akan membawa kehidupan yang lebih efisien dalam berbagai urusan. Problem Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 19 individu dapat diselesaikan oleh kelompok, biaya-biaya untuk membangun kerja sama dapat lebih ditekan karena terbangunnya trust dan semangat tolong-menolong. Masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi akan terbiasa hidup dalam suasana gotong-royong dan saling bertanggung jawab atas kenyamanan, kebersihan, dan keamanan lingkungan tempat tinggalnya. Mereka akan memiliki daya tangkal yang tinggi terhadap berbagai gangguan dan dampaknya akan lebih aman dari berbagai tindak kriminalitas. Pada bahasan berikut dipaparkan tentang bagaimana status pembangunan manusia di Provinsi Jawa Barat secara sederhana tetapi mencakup berbagai bidang pembangunan. Diharapkan akan muncul pemahaman dan harapan-harapan baru bagi kemajuan pembangunan manusia di Provinsi Jawa Barat, sehingga akan terdapat upaya yang lebih kuat dari berbagai komponen masyarakat Provinsi Jawa Barat untuk melakukan perbaikan ke depan terhadap berbagai indikator pembangunan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan. 3.1. Kependudukan Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, bahkan terbesar di Indonesia. Menurut data Suseda 2007, jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat sebesar 41,48 juta jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 34.588,89 km2 sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Barat adalah 1.199,3 jiwa per km2. Dalam negara berkembang, jumlah penduduk yang besar dengan mutu yang rendah belum bisa dijadikan sebagai modal pembangunan bahkan sebaliknya seringkali menjadi beban dalam proses pembangunan. Karena itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan menciptakan tatanan keluarga kecil yang sehat dan berkualitas sebagai upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ke depan. Berkualitas bukan hanya dari sisi intelektualnya tetapi juga dari sisi moral, emosi, dan spiritualnya. Tidak cukup badannya yang sehat tetapi jiwanya juga harus sehat. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 20 Gambar 3.1. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2007 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2005 2006 2007 Penduduk (juta) LPP Sumber: Suseda 2005-2007 Persoalan kependudukan seperti pertumbuhan penduduk dan tingkat fertilitas yang masih tinggi akan berdampak dalam penyediaan infrastruktur yang besar dan memadai serta lapangan pekerjaan yang cukup di masa mendatang. Menurut data Suseda, laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun relatif terus menurun. Pada periode 2004-2005, LPP Provinsi Jawa Barat mencapai 2,09 persen turun menjadi hanya 1,94 persen pada periode berikutnya (tahun 2005-2006), tetapi terus mengalami penurunan pada periode tahun 2006-2007 menjadi hanya sekitar 1,84 persen. Kondisi tersebut menunjukkan upaya penanganan pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat relatif cukup baik. Pada Tahun 2007 terjadi pemekaran wilayah di Kabupaten Bandung menjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Jumlah kabupaten/kota di Jawa Barat yang semula sebanyak 25 kabupaten/kota bertambah menjadi 26 kabupaten/kota. Komposisi penduduk Jawa Barat tahun 2007 (hasil Suseda 2007) menurut jenis kelamin adalah sebagai berikut: Jumlah penduduk laki-laki sebesar 20.919.807 orang dan penduduk perempuan sebesar 20.563.922 orang dengan sex Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 21 ratio sebesar 101,7 yang berarti setiap 1.000 perempuan berbanding dengan 1.017 laki-laki. Adanya kelahiran dan adanya migrasi masuk dari daerah lain merupakan faktor penambah penduduk. Peningkatan penduduk harus ditangani dengan baik dan komprehensif. Pemerintah daerah melalui SKPD/dinas/intansi terkait perlu melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk secara terpadu dan berkesinambungan dan diiringi oleh peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Menurut data Suseda 2007, terdapat 10 (sepuluh) kabupaten/kota di Jawa Barat yang mempunyai penduduk di atas 2 juta jiwa. Menarik dicermati, kabupaten/kota yang memiliki penduduk cukup besar tersebut tersebar secara merata di beberapa wilayah Jawa Barat. Di wilayah Bandung Raya misalnya, penduduk paling besar terdapat di Kabupaten Bandung yang mencapai sebanyak 3.038.038 jiwa dan Kota Bandung sebanyak 2.364.312 jiwa. Bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2006, penduduk Kabupaten Bandung mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini disebabkan adanya pemekaran wilayah di kabupaten tersebut. Di wilayah Priangan, penduduk paling banyak terdapat di Kabupaten Garut. Penduduk paling banyak di wilayah pantura terdapat di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Cirebon. Sementara di wilayah Bodebek, penduduk paling banyak terdapat di Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor dan sisanya berada di wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bekasi pada tahun 2006 masih berpenduduk di bawah 2 juta jiwa pada tahun 2007 sudah berpenduduk lebih dari 2 juta jiwa. Daerah yang tingkat kepadatan tertinggi akan dihadapkan pada permasalahan kebutuhan akan perumahan, kesehatan, dan keamanan. Selain itu juga harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan sarana pendidikan yang terjangkau bagi penduduknya. Salah satu faktor penyebab tingginya penduduk di satu wilayah disamping tingkat kelahiran adalah perpindahan penduduk (migrasi). Perpindahan penduduk mengalir dari daerah perdesaan ke perkotaan, dari daerah yang miskin ke daerah yang kaya yang pembangunannya berkembang pesat. Karena itu perlu upaya menciptakan pembangunan merata di setiap daerah disertai Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 22 penciptaan lapangan kerja, dengan tidak melupakan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Menarik dicermati, Provinsi Jawa Barat yang secara geografis letaknya sangat strategis, yaitu berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta dan disertai berbagai fasilitas/infrastruktur yang cukup lengkap merupakan salah satu tujuan utama migrasi. Dengan berbagai macam alasan, para migran tersebut masuk ke Provinsi Jawa Barat, utamanya ke daerah sekitar BODEBEK (Bogor, Depok dan Bekasi) dan Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi) (Bapeda dan BPS provinsi Jawa Barat, Analisis Volume Kecenderungan dan Karakteristik Migrasi Masuk Ke Jawa Barat Tahun 2000; 2002). Banyaknya migran yang masuk ke Provinsi Jawa Barat tentunya akan menimbulkan permasalahan dan menjadi beban jika migran yang masuk tersebut memiliki kualitas rendah. Sehingga dalam beberapa diskusi, fenomena migran masuk dari luar Provinsi Jawa Barat seringkali dianggap sebagai salah satu penyebab besarnya hambatan kemajuan pembangunan manusia di provinsi ini. Namun perlu dicermati juga bahwa teori migran menyebutkan bahwa orang yang berpendidikan lebih migratori dibanding orang yang kurang berpendidikan. Adanya kekhawatiran sebagian kalangan bahwa para migran yang masuk ke Jawa Barat berpeluang menjadi beban dalam proses pembangunan saat ini karena dianggap banyak yang berkualitas rendah tampaknya akan semakin terreduksi. Fakta menunjukkan bahwa mereka yang melakukan migrasi ke Jawa Barat pada umumnya adalah penduduk yang berusia produktif dan memiliki tingkat pendidikan yang relatif lebih baik dibandingkan penduduk lokal. Dampak negatif yang mungkin timbul dengan kondisi tersebut adalah kalah bersaingnya penduduk non migran/lokal dalam mendapatkan pekerjaan. Kesempatan kerja jelas akan lebih terbuka bagi penduduk migran, karena mereka memiliki pendidikan lebih tinggi. Sedangkan dampak positifnya dalam perspektif pembangunan manusia, akan meningkatnya rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu, adanya migran yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 23 diharapkan dapat merangsang penduduk non migran/lokal untuk meningkatkan tingkat pendidikannya. Mungkin salah satu kekhawatiran terbesar pemerintah setempat terhadap fenomena arus migran masuk ke Provinsi Jawa Barat adalah semakin kecilnya peluang penduduk non migran/lokal untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Menurut data hasil SP2000, persentase penganggur dari penduduk non migran/lokal relatif lebih besar dibandingkan penduduk migran. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa penduduk asli Jawa Barat banyak yang kalah bersaing dengan kaum pendatang (migran). Kaum pendatang nampaknya lebih gesit dalam mengangkap peluang/kesempatan kerja yang ada. Jadi yang diperlukan adalah bukan membatasi kaum pendatang untuk masuk ke Jawa Barat, karena mereka memiliki kontribusi besar dalam menggerakkan roda perekonomian Jawa Barat, melainkan Tapi seharusnya dilakukan adalah bagaimana meningkatkan daya juang dan daya saing penduduk lokal Jawa Barat agar memiliki kompetensi dan berdiri sejajar dengan kaum pendatang. Untuk itu, mereka harus diberi kesempatan seluas-luasnya meraih pendidikan yang tinggi dan diciptakan peluang agar mereka mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan keinginan dan tingkat pendidikannya. 3.2 Pembangunan Bidang Kesehatan Departemen Kesehatan, 2003, mencanangan visi pembangunan kesehatan yaitu tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Visi pembangunan ini merupakan cita-cita reformasi bidang kesehatan yang diangkat sebagai bagian dari pembangunan manusia secara keseluruhan selain pembangunan bidang ekonomi dan pendidikan. Dalam lingkup lebih kecil, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat mempunyai visi sebagai penggerak dan pemberdaya potensi sumber daya kesehatan guna Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 24 mendukung pencapaian IPM 80 Tahun 2008. Misinya adalah meningkatkan pengaturan dan fasilitas penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan; meningkatkan jejaraing kerja dan kemitraan dengan stakeholders dalam rangka pemebrdayaan potensi sumber daya kesehatan; meningkatkan profesionalitas dan pendayagunaan aparatur kesehatan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; meningkatkan kualitas penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan skala provinsi. Sebagai bukti keseriusan bagi pencapaian visi tersebut program strategis yang dilakukan adalah meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, meningkatkan sumber daya kesehatan, dan memberdayakan masyarakat, serta pengembangan biaya kesehatan. Faktor kesehatan menjadi satu dari tiga indikator penting penunjang pembangunan manusia karena bila daya tahan tubuhnya maka tingkat produktivitas manusia secara langsung bisa tergali dengan optimal. Pada saat sehat orang dapat menjalankan aktivitas seperti bekerja, bersekolah, mengurus rumahtangga, berolah raga, maupun menjalankan aktivitas lainnya lebih baik dibandingkan saat kondisi tubuhnya sedang sakit. Kondisi kesehatan penduduk Jawa Barat dari Data statistik kesehatan tahun 2004 memperlihatkan 70,48 persen penduduk berumur 15 tahun ke atas memiliki kondisi kesehatan baik fisik maupun mental dengan kategori cukup dan baik, dengan 26,53 persen diantaranya bahkan memiliki tingkat kesehatan yang sangat baik. Sisanya sebanyak 2.99 persen mengalami kondisi kesehatan yang buruk. Gambar 3.2. Kondisi Kesehatan Penduduk Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004 sangat baik (26,53%) baik (56,24%) cukup baik (14,24%) buruk (2,85%) sangat buruk (0,14%) Catatan: Data kesehatan penduduk 15 tahun ke atas baik fisik maupun mental (persen). Sumber: BPS, Statistik Kesehatan 2004 Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 25 Sesuai dengan konsep, seseorang dikatakan “sehat” jika dapat melakukan aktivitas seperti dapat berjalan/bergerak dengan bebas, dapat merawat diri tanpa kesulitan, tidak ada rasa sakit di badan, dapat mengingat/konsentrasi, dapat bergaul tanpa hambatan, dapat tidur tanpa gangguan, tidak merasa sedih secara berlebihan, dan dapat melihat dengan baik. Artinya, 97,01 persen penduduk Jawa Barat memiliki kondisi tubuh dan jiwa yang dapat dikategorikan “sehat”. 3.2.1. Derajat Kesehatan Masyarakat Menurut Henrik L Blum, peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang dapat diukur dari tingkat mortalitas dan morbiditas penduduk yang dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu : faktor-faktor lingkungan (45 persen), perilaku kesehatan (30 persen), pelayanan kesehatan (20 persen) dan kependudukan/keturunan (5 persen). Hubungan derajat kesehatan dengan keempat faktornya digambarkan Henrik L Blum dalam bagan berikut: Gambar. 3.3 Bagan Analisis Derajat Kesehatan LINGKUNGAN (45%) • • • PERILAKU (30%) Derajat Kesehatan Morbiditas YANKES • • 20% AKSES & KUALITAS YANKES • • • • • • IMMUNISASI P2M PENATAAN SDM KESEHATAN PENINGKATAN FUNGSI SARKES PEMBERDAAYAN MASYARAKAT KEMITRAAN & KEMANDIRIAN • KETURUNAN (5%) PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT PENINGKATAN SDK (KUANTITAS & KUALITAS ) • • Mortalitas YANKES DASAR & RUJUKAN • PROMOSI KESEHATAN PHBS PENYEHATAN LINGKUNGAN PEMBIAYAAN KESEHATAN OUT SOURCING Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 26 Ukuran mortalitas sebagai acuan untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah infant mortality rate (IMR) atau angka kematian bayi (AKB) dan expectation of life at birth (e0) atau angka harapan hidup (AHH). Berikut adalah tren AKB dan AHH Jawa Barat. Gambar 3.4. Perkembangan AHH dan Target Variabel Bidang Kesehatan Jawa Barat Tahun 2003 – 2007 68 67.5 67 66.5 66 Capaian 65.5 Target 65 64.5 64 Th .2 00 7 Th .2 00 6 Th .2 00 5 Th .2 00 4 Th 20 03 63.5 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Angka harapan hidup Jawa Barat meningkat dari 64,94 tahun pada tahun 2003 menjadi 67,62 tahun pada tahun 2007. Jika diperhatikan pada tahun 2006 target Angka Harapan Hidup yang ditetapkan Dinas Kesehatan dapat dilampaui. Angka Harapan Hidup merupakan fungsi matematis dari Angka Kematian Bayi. Panjangnya usia hidup secara negatif berhubungan dengan rendahnya angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi bawah 1 tahun, kematian anak di bawah lima tahun dan kematian ibu) dan tingginya angka kesehatan. Makin tinggi angka kesehatan menyebabkan makin rendahnya angka kematian sehingga memperbesar harapan untuk hidup. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 27 Angka kematian bayi pada tahun 2003 sebesar 42,50 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2006 AKB Jawa Barat berhasil mencapai 40,26 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam rentang waktu 3 tahun angka kematian bayi mengalami penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan di segala bidang, termasuk intervensi program kesehatan yang sangat intensif dilaksanakan di seluruh pelosok tanah air. Namun terjadinya berbagai wabah penyakit seperti flu burung, demam berdarah, dan kasus mengenai prevelensi balita kekurangan energi dan protein, terutama berkaitan dengan masalah busung lapar dapat menyebabkan kenaikan angka kematian bayi. Memang yang harus menjadi fokus kita adalah mengintervensi determinan yang mempengaruhi AKB karena sesungguhnya AHH yang merupakan salah satu indikator dari IPM merupakan fungsi matematis dari AKB. Beberapa hal yang berkaitan dengan faktor determinan AKB adalah lamanya disusui, penolong kelahiran, pendidikan kaum perempuan, perilaku hidup sehat, dan kemudahan dan keterjangkauan sarana kesehatan. Angka kematian bayi pada tahun 2003 sebesar 42,50 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2006 AKB Jawa Barat berhasil mencapai 40,26 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam rentang waktu 3 tahun angka kematian bayi mengalami penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan di segala bidang, termasuk intervensi program kesehatan yang sangat intensif dilaksanakan di seluruh pelosok tanah air. Namun terjadinya berbagai wabah penyakit seperti flu burung, demam berdarah, dan kasus mengenai prevelensi balita kekurangan energi dan protein, terutama berkaitan dengan masalah busung lapar dapat menyebabkan kenaikan angka kematian bayi. Memang yang harus menjadi fokus kita adalah mengintervensi determinan yang mempengaruhi AKB karena sesungguhnya AHH yang merupakan salah satu indikator dari IPM merupakan fungsi matematis dari AKB. Beberapa hal yang berkaitan dengan faktor determinan AKB adalah lamanya disusui, penolong kelahiran, pendidikan kaum perempuan, perilaku hidup sehat, dan kemudahan dan keterjangkauan sarana kesehatan. Angka kematian bayi baru lahir terutama disebabkan oleh antara lain infeksi dan berat bayi lahir rendah. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan kondisi Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 28 kehamilan, pertolongan persalinan yang aman, dan perawatan bayi baru lahir (Kompas, 7 April 2005). Menurut data Suseda tahun 2005, masih terdapat 38,73 persen balita yang lahir hanya mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga non paramedis seperti dukun, dan keluarga, bahkan kondisi pada tahun 2006 sempat meningkat menjadi 43,6 persen. Ini perlu dikaji, apakah karena ketiadaan biaya, faktor budaya atau mencari mudahnya. Penolong kelahiran oleh dukun biasanya dukun yang datang ke rumah. Namun di tahun 2007 penolong kelahiran menjadi 38,77 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hampir dua per lima balita di Jawa Barat memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi atau perawatan pasca persalinan yang kurang baik dibandingkan dengan yang ditolong oleh tenaga medis seperti dokter, bidan, maupun tenaga paramedis lain saat kelahirannya. Tabel 3.1. Persentase Penolong Kelahiran Terakhir di Jawa Barat Tahun 2005-2007 Indikator 2005 2006 2007 Penolong Kelahiran (terakhir) 1. Dokter 7,13 8,87 11,31 2. Bidan 53,66 47,13 49,40 0,48 0,64 0,51 36,65 41,84 38,24 2,08 1,52 0,53 3. Paramedis Lain 4. Dukun 5. Famili/Lainnya Sumber: Suseda 2005-2007 Pengetahuan yang minim tentang cara persalinan dan perawatan pasca persalinan yang sehat dan aman misalnya mengenai perawatan tali pusar, perlakuan saat membersihkan bayi yang baru lahir, serta sangat minimnya alat-alat bantu penolong persalinan yang ada dapat mengancam keselamatan bayi. Dapat dibayangkan bagaimana situasi genting ketika sebuah keluarga yang berada di daerah terpencil terhalang oleh ketidaktersediaan sarana transportasi yang memadai untuk membawa ibu dan bayi ke tempat-tempat persalinan medis, ditambah dengan minimnya anggaran memaksa mereka bergantung kepada penolong kelahiran non medis. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 29 Situasi tersebut tidak saja membawa kerawanan terhadap bayi yang baru dilahirkan, tapi juga keselamatan dari ibu yang melahirkan. Data AKI sangat sulit diperoleh karena sifatnya yang rare cases. Data tahun 2003 Angka Kematian Ibu (AKI) di Jawa Barat masih sebesar 321,15 per 100.000 angka kelahiran hidup. AKI di Jawa Barat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan AKI Nasional yang sebesar 307 per 100.000 angka kelahiran hidup (data yang dikumpulkan secara nasional dari SDKI 2002). Kondisi AKI sendiri telah mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan dengan 1990 yaitu 450 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab langsung berkaitan dengan kematian ibu adalah komplikasi pada kehamilan, persalinan, dan nifas yang tidak tertangani dengan baik dan tepat waktu. Dari hasil survei (SKRT 2001) diketahui bahwa komplikasi penyebab kematian ibu yang terbanyak adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (eklampsia), infeksi, partus lama, dan komplikasi keguguran (Kompas, 7 April 2005). Untuk mencegah AKB maupun AKI, kegiatan imunisasi pada bayi harus dipertahankan atau ditingkatkan cakupannya sehingga mencapai Universal Child Immunization (UCI) sampai di tingkat desa. Peningkatan pelaksanaan ASI eksklusif dan peningkatan status gizi serta peningkatan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang jadi modal awal untuk sehat. Pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi terutama infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, dan malaria terutama di daerah endemik perlu ditingkatkan melalui Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM). Kejadian komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir sebagian besar terjadi pada masa sekitar persalinan sehingga pemeriksaan kesehatan pada saat hamil dan kehadiran serta pertolongan tenaga kesehatan yang terampil pada masa persalinan menjadi sangat penting 3.2.2. Status Gizi Balita Gizi berperan besar terutama di masa-masa pembentukan janin pada periode kehamilan dan berlanjut pada masa-masa pertumbuhan seorang anak. Otak sebagai salah satu organ paling penting dalam tubuh, tumbuh secara dramatis selama periode kehamilan, Indonesia Nutrition Network menjelaskan otak bayi terbentuk segera setelah Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 30 pembuahan, di mana otak seorang bayi yang baru lahir mencapai pertumbuhan 25 persen dari otak orang dewasa, dan mengandung 100 miliar sel otak (neuron). Pada usia setahun, pertumbuhannya mencapai 70 persen dari otak dewasa, dan 70 – 85 persen neuron yang ada sudah terbentuk secara lengkap. Dan pada usia tiga tahun, perkembangan otaknya sudah mencapai 90 persen otak dewasa totalnya yang secara signifikan akan menentukan kualitas SDM hingga masa dewasa. Hingga kurun waktu tersebut frekuensi tubuh dalam membangun sistem kekebalan sangat besar. Masa ini juga merupakan masa kritis bagi tumbuh kembang fisik, kecerdasan (intelligence quation), mental (emotional quation), dan sosial (socio quation). Dengan berbagai potensi tersebut, kekurangan gizi pada masa ”golden age” ini akan berdampak besar bagi kelangsungan kehidupan seorang anak. Seorang anak yang memiliki gizi buruk berpeluang mengalami penurunan tingkat kecerdasan hingga 30 poin. Akibat jangka pendek yang dirasakan adalah mudah terkena penyakit atau bahkan kematian. Akibat jangka panjangnya, kalaupun anak dengan gizi buruk ini dapat bertahan, biasanya akan mempunyai kualitas hidup yang sangat rendah yang tidak mungkin dapat diperbaiki sepanjang rentang kehidupannya. Resiko pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal pada akhirnya akan melahirkan ”lost generation”. Kondisi tersebut sangat menghawatirkan, karena sebagian dari generasi penerus kita tidak mampu bertumbuh kembang dengan baik dan memiliki kualitas yang rendah. Seperti umumnya di negara-negara berkembang, kecukupan gizi yang relatif rendah (atau lebih sederhana di sebut kurang gizi) pada balita merupakan masalah utama yang cukup menghambat kemajuan pembangunan (Kodyat, 1992). Status gizi anak balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan yaitu melalui pemeriksaan antropometri (Muhamad Thohar Arifin, M.D, 2005). Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang, dan apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Selain melalui pengujian antropometri, diagnosis kurang gizi juga dapat melalui temuan Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 31 klinis, di mana keadaan klinis gizi buruk dapat dibagi menjadi kondisi marasmus seperti anak kurus, kulitnya kering, dan didapati pengurusan otot (atrophy); kondisi kwasiorkor seperti didapati pembengkakan terutama pada punggung kaki yang tidak kembali setelah dilakukan pemijitan; serta kondisi marasmik kwasiorkor yang merupakan bentuk klinis campuran keduanya. Hasil Survei Garam Yodium (SGY) Tahun 2005 menginformasikan bahwa ada 6 persen balita dengan gizi buruk dan 16 persen dengan gizi kurang, 75 persen balita dengan gizi cukup dan 3 persen balita dengan gizi lebih. Penyebab kekurangan gizi pada anak biasanya disebabkan oleh kuantitas dan kualitas asupan makanan yang dikonsumsi dan tingkat kesehatan anak tersebut. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi gizi buruk adalah saat bayi hingga usia 2 tahun anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang seperti Air Susu Ibu (ASI). Gizi lebih juga harus diwaspadai karena akan berpengaruh terhadap kesehatan balita tersebut. Masalah akan timbul jika asupan energi lewat makanan jauh lebih besar dari pada energi yang diperlukan untuk beraktivitas, atau peningkatan gizi yang terjadi tidak disertai peningkatan aktifitas/bergerak. Gambar 3.5. Persentase Balita Berdasar Status Gizi Balita Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 80 70 60 50 40 30 20 10 0 gizi buruk (6%) gizi kurang (16%) gizi normal (75%) gizi lebih (3%) Sumber : Diolah dari Survei Garam Yodium 2005 Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 32 Ketahanan tubuh bayi sangat dipengaruhi oleh masukan gizi dan imunisasi yang diberikan. Masukan gizi yang baik untuk bayi berasal dari ASI. Air susu ibu disamping memenuhi kebutuhan akan gizi juga mengandung zat antibodi terhadap penyakit. ASI merupakan sumber zat gizi utama dan paling berperan pada masa-masa pertama anak yang baru lahir hingga usia 2 tahun. Obat pencegah gangguan gizi pada bayi ini mengandung beberapa nutrien khusus bagi pertumbuhan otak bayi, seperti taurin, laktosa, omega-3 asam linoleat alfa, dan asam lemak ikatan panjang antara lain DHA (Docosahexanoic Acid) dan AA (Arachidonic Acid) yang ke semua nutrien tersebut tidak bisa didapat dari susu sapi atau fomula. Kalaupun ada itupun hanya dengan komposisi yang sangat sedikit. Berbagai fakta ilimiah membuktikan bayi dapat tumbuh lebih sehat dan cerdas jika diberi ASI secara ekslusif pada 4 – 6 bulan pertama kehidupannya. Ekslusif artinya adalah pada kurun waktu tersebut bayi hanya mengkonsumsi ASI saja dan tidak diberi tambahan makanan cairan apapun seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, maupun tambahan makanan seperti pisang, bubur susu, biskuit, maupun nasi tim. Tabel 3.2. Lama Balita Menyusui di Jawa Barat Tahun 2005-2007 Indikator 2005 2006 2007 Balita 1. Jumlah Balita 3.517.149 3.538.588 3.831.703 2. Balita yang Disusui 3.353.734 3.389.525 3.617.313 3. % disusui > 24 bulan 34,39 33,98 36,46 4. % disusui 12-23 bulan 44,34 40,52 37,20 5. % disusui < 12 bulan 21,7 25,50 26,34 Sumber: Suseda 2005-2007 Bayi yang diberi ASI secara khusus terlindung dari serangan penyakit sistem pernapasan dan pencernaan. Hal itu disebabkan zat-zat kekebalan tubuh di dalam ASI memberikan perlindungan langsung melawan serangan penyakit. Sifat lain dari ASI yang juga memberikan perlindungan terhadap penyakit adalah penyediaan lingkungan yang ramah bagi bakteri ”menguntungkan” yang disebut ”flora normal”. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 33 Keberadaan bakteri ini menghambat perkembangan bakteri, virus dan parasit berbahaya. Tambahan lagi, telah dibuktikan pula bahwa terdapat unsur-unsur di dalam ASI yang dapat membentuk sistem kekebalan melawan penyakit-penyakit menular dan membantunya agar bekerja dengan benar Menurut Harun Yahya (2006) dalam artikelnya menyebutkan bahwa kelebihan yang diberikan ASI kepada bayi di antaranya adalah kandungan minyak omega-3 asam linoleat alfa dalam ASI yang merupakan zat penting bagi otak dan retina manusia. Dari data Suseda 2007 diketahui 36,46 persen balita tersebut disusui lebih dari 2 tahun, sedangkan 37,20 persen disusui selama 1-2 tahun dan sisanya sebanyak 26,34 persen balita hanya mendapatkan asupan ASI dari ibunya kurang dari 12 bulan. Situasi ini sangat menggembirakan karena tingkat kesadaran orang tua terutama ibu untuk memberikan asupan gizi terbaik bagi si kecil makin baik. Dengan kata lain semakin panjang usia pemberian ASI terutama ASI ekslusif 4 – 6 bulan pertama akan menjamin tercapainya pertumbuhan otak secara optmal, sehingga diharapkan pengembangan potensi anak dapat berjalan baik dan semakin optimal pula. Namun demikian pemberian ASI kadang terpaksa tidak dilakukan dengan optimal. Hal ini terjadi karena meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar ataupun jika keluar tapi tidak memenuhi kebutuhan bayi dan anak, atau karena alasan pekerjaan dan penampilan. Asupan gizi lain bisa didapat tidak hanya dari ASI. Seiring dengan perkembangan usia, semakin besar, anak butuh asupan gizi lain yang bisa didapat dari sayur-sayuran, buah-buahan, susu dan makanan lain yang notabene mengandung zatzat yang dibutuhkan tubuh seperti karbohidrat, protein hewani dan nabati, vitamin, kalsium, serta berbagai mineral penting lainnya. Di lingkungan kita, di lingkungan sekolah anak-anak kita banyak ditawarkan aneka jajanan pada anak-anak. Anak-anak sering mengkonsumsi jajan di luar dan cenderung enggan menyantap masakan yang ada di rumah. Makanan jajanan tersebut terkadang tidak memenuhi standar kebersihan maupun mutu asupan gizinya. Contohnya jajanan yang banyak dikonsumsi anak adalah jajanan dengan kandungan monosodium glutamat (MSG) yang cukup tinggi. Menurut penelitian MSG dapat Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 34 mengkontaminasi pelindung darah otak yang dapat mengakibatkan kelainan hati, trauma, hipertensi, stres, demam tinggi dan proses penuaan. MSG juga memicu reaksi gatal, bintik merah di kulit, mual, dan muntah sakit kepala, migren, asma, gangguan hati, ketidakmampuan belajar dan depresi. Gambar 3.6. Peresentase Rumahtangga Pengguna Garam Menurut Kecukupan Kandungan Yodium Tahun 2005 cukup (66,39%) kurang (21,97%) tidak ada (11,64%) Sumber : Diolah dari Survei Garam Yodium Tahun 2005 Masalah zat gizi utama lainnya adalah kurang zat gizi mikro seperti kurang vitamin A, kurang zat besi, maupun kurang yodium. Data Survei Garam Yodium 2005 memperlihatkan terdapat sekitar 11,64 persen rumahtangga yang tidak mengkonsumsi garam beryodium di Jawa Barat dan 21,97 persen rumah tangga mengkonsumsi garam dengan kandungan yodium kurang. Kondisi ini cukup menghawatirkan karena orang yang kekurangan yodium menurut Departemen Kesehatan berpotensi kehilangan IQ sebesar 50 poin, bahkan dapat berakibat kepada kerusakan mental. Ibu yang kekurangan yodium dapat menyebabkan bayi lahir mati, cacat fisik maupun kerusakan berat pada otak. 3.2.3. Perilaku Hidup Sehat Masyarakat Faktor perilaku turut berperan dalam penentuan derajat kesehatan masing- masing sebesar 30 persen (Teori dari Henrik L Blum) Faktor perilaku berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan. Indonesia dan negara-negara berkembang lain saat ini sedang menghadapi transisi epidemiologi. Pada bidang gizi terjadi perubahan Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 35 pola makan seperti rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi garam, dan meningkatnya konsumsi makanan yang tinggi lemak serta berkurangnya aktivitas olah raga (Departemen Kesehatan, 2006). Perilaku dan kondisi lingkungan yang kurang sehat ini meningkatkan resiko penduduk terkena penyakit degeneratif (tidak menular) dan kematian. Dalam satu sendok teh garam dapur berisi 2.000 mg sodium demikian diungkap oleh Dr. Hendrawan N (2006). Sodium yang terkandung dalam setiap menu modern rata-rata sekitar 500 mg. Pada takaran ini ginjal sudah perlu kerja keras untuk tetap mempertahankan keseimbangan cairan dan asam-basa agar mesin tubuh tak kacau dari penyakit akibat kelebihan sodium. Konsumsi sodium tubuh yang lebih dari jumlah standar yang mampu diolah ginjal akan berdampak pada gangguan kesehatan. Darah tinggi, jantung, keracunan kehamilan, kelainan hati, hingga penyakit gagal ginjal adalah beberapa penyakit akaibat kelebihan mengkonsumsi garam. Budaya senang garam tanpa disadari telah merongrong ginjal manusia untuk bekerja lebih keras membuang kelebihan natrium (sodium) dari garam yang ditelan setiap hari. Tubuh tidak memerlukan garam sebanyak kebiasaan budaya makan kita. Kita rata-rata menelan lima-enam kali lipat kebutuhan garam tubuh dari menu harian. Gambar 3.7. Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Yang Merokok Menurut Jenis Kelamin dan Jumlah Batang Yang di Hisap Seminggu Terakhir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2006 70 61.99 60 53.33 50 40 laki-laki 31.12 30 perempuan 22.79 20 15.54 10.22 10 0 < 13 13-25 >25 Sumber: Suseda 2006 Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 36 Jumlah penduduk 10 tahun ke atas yang pernah merokok sebanyak 10.124.117 orang atau sekitar 30,74 persen (Suseda 2006). Penduduk laki-laki yang merokok sebanyak 9.873.381 orang dan perempuan sebanyak 250.736 orang. Walaupun pada bungkus rokok tercantum peringatan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin namun persentase laki-laki yang merokok lebih dari 25 batang seminggu terakhir mencapai 61,99 persen dan perempuan mencapai 53,33 persen. Peringatan tersebut sepertinya belum effektif untuk menghentikan kebiasaan merokok. Akibat yang ditimbulkan nikotin bukan hanya bagi para perokok aktif melainkan bagi para perokok pasif, yaitu orang-orang yang berada di lingkungan para perokok karena mereka berpeluang menghirup asap rokok yang ada di sekitarnya. Kebiasaan merokok ketika bersama anggota rumah tangga mencapai 91,14 persen. Peran media mutlak diperlukan dalam mengkampanyekan bahayanya merokok. Tidak hanya merugikan bagi si perokok tapi juga bagi orang-orang di sekitarnya yang secara tidak langsung ikut juga menyerap asap rokok. Iklan layanan masyarakat yang terus menerus akan memberi pengetahuan pada masyarakat. Untuk itu media diharapkan dapat memberikan ruang untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, melakukan fungsi sosial dengan cara bekerja sama dengan pemerintah untuk memunculkan iklan layanan masyarakat dengan biaya murah. Kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan merupakan salah satu perilaku hidup sehat. Mencuci tangan memakai sabun banyak manfaatnya. Hasil studi Curtis V dari Departemen of Intectious and Tropical Diseases London Scholl of Hygiene and Tropical Medicine (Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006) pada tahun 2003 membuktikan bahwa mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi resiko terkena penyakit diare yang merupakan penyebab terbesar kematian terutama bagi balita di banyak negara. Kerentanan tersebut disebabkan oleh rendahnya tingkat kekebalan tubuh balita dibandingkan dengan tubuh orang dewasa. Di Jawa Barat sendiri pada tahun 2005 paling tidak terdapat 1,18 persen penduduk yang mengeluhkan terkena diare dalam sebulan terakhir. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 37 Perilaku lain yang baik bagi peningkatan status kesehatan penduduk adalah mengurangi minuman yang beralkohol, frekuensi mandi, berpakaian bersih, menggunting kuku, menggosok gigi, membuang sampah pada tempatnya, hingga kebiasaan berolah raga penduduk. Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Tindakan preventif jauh lebih murah, lebih efektif, dan efisien daripada tindakan kuratif. Permasalahannya bagaimana menggalakkan perilaku hidup sehat menjadi perilaku rutin setiap penduduk khususnya di Jawa Barat. 3.2.4. Perumahan dan Lingkungan Upaya penanggulangan penyakit seharusnya tidak hanya melibatkan agent (penyebab sakit) dan host (manusia) semata, melainkan juga faktor lingkungan yang ternyata berperan sangat besar. Pendidikan dokter di Indonesia sedikit sekali menyentuh lingkungan tersebut sebagai salah satu faktor penting yang berperan dalam menimbulkan penyakit pada manusia. Bahkan masih sedikit penelitian jangka panjang tentang penyakit lingkungan yang dilakukan. Karena itu, sering timbul perdebatan tentang penyebab yang sebenarnya dari sesuatu penyakit lingkungan tersebut (Anies, Kompas 4 April 2003). Telah lama disinyalir bahwa peran lingkungan dalam meningkatkan derajat kesehatan sangat besar. Sebagaimana dikemukakan Blum (1974) dalam Planning for Health, Development and Application of Social Change Theory, bahwa faktor lingkungan berperan sangat besar di samping perilaku daripada faktor pelayanan kesehatan dan keturunan. Memang tidak selalu lingkungan sebagai penyebab, melainkan juga sebagai penunjang, media transmisi, maupun memperberat penyakit yang telah ada. Selama ini orang lebih mewaspadai mikroorganisme sebagai penyebab penyakit yang berasal dari lingkungan yang masa inkubasinya relatif pendek. Jarang disadari bahwa pada 20 sampai 30 tahun mendatang berbagai penyakit keganasan dan yang dapat menimbulkan kecacatan akan menjadi problem serius bagi kita, di antaranya adalah radiasi elektromagnetik di sekitar kita. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 38 Sumber daya alam sebagai lingkungan fisik yang ada selama ini dipergunakan bagi kelangsungan hidup manusia memiliki sifat irrevertible (tidak mungkin berkembang), sedangkan jumlah penduduk semakin lama semakin meningkat. Laju pertumbuhan yang cukup cepat, hingga kini selalu memunculkan masalah, tidak saja pada masalah ekonomi, sosial, budaya, namun juga berdampak pada permasalahan lingkungan seperti ketersediaan air yang sehat dan bersih dan peningkatan kadar polusi udara, laut, maupun darat berupa sampah. Setiap tahunnya, tak kurang dari 2,2 juta orang di negara berkembang (middle development country) utamanya anak-anak, meninggal dunia dikarenakan kurangnya air minum yang aman, sanitasi dan higiene yang buruk (Departemen Kesehatan, 2006). Untuk melihat rendahnya tingkat sanitasi lingkungan sebagai standar utamanya dapat diperhatikan dari berbagai sarana penunjang kesehatan yang berada di lingkungan rumahtangga, baik dilihat dari kondisi perumahan, sumber air bersih, fasilitas buang air besar, termasuk fasilitas buang sampah. Tabel 3.3. Persentase Rumahtangga Menurut Jenis Lantai, Fasilitas Air Minum, dan Fasilitas Buang Air Besar, di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005- 2007 Indikator (1) 2005 (2) 2006 (3) 2007 (4) persen rmt dg lantai tanah persen rmt tanpa akses sumber air minum bersih persen rmt dg jarak sumber air ke penampungan tinja <=10m persen rmt tanpa akses tempat buang air besar 7,47 14,85 7,91 14,37 6,75 16,84 36,90 37,32 34,14 14,66 14,77 17,05 Sumber : Suseda 2005-2007 Air minum yang bersih merupakan syarat yang penting bagi kesehatan manusia. Rendahnya kualitas air yang diminum menyebabkan bakteri penyakit Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 39 mudah masuk ke dalam tubuh. Kualitas air minum sendiri dapat diketahui dari bentuk dan rasa air, di mana terdapat lima tingkatan kualitas air yang sering dijadikan tolok ukur yaitu jernih, berwarna, berasa, berbusa, dan berbau. Data Suseda 2007 menyebutkan bahwa sebanyak 16,84 persen rumah tangga mengkonsumsi air yang tidak bersih, 6, 75 persen rumah tangga menghuni rumah dengan lantai tanah dan sebanyak 17,05 persen rumah tangga tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar di rumahnya. Besarnya persentase rumahtangga yang mengkonsumsi air minum dengan kualitas bersih paling tidak membuka peluang besar penduduk untuk memperoleh air minum yang sehat dan aman. Air sebelum diminum harus direbus sampai mendidih (suhu 1000 C). Proses perebusan air merupakan cara yang paling efektif untuk membunuh berbagai bakteri patogen yang berbahaya bagi kesehatan. Perlu diwaspadai bahwa untuk mendapatkan air melalui cara filterisasi dan ozonisasi seperti yang kini mulai marak di masyarakat dalam bentuk air minum isi ulang yang belum tentu memberikan jaminan air dengan kualitas yang sehat dan aman. Kompas (23/5) memberitakan, ditemukan bakteri Escherichia coli, coliform, bahkan Salmonella dalam air minum isi ulang yang diambil dari beberapa depo. Dalam proses mendapatkan air bersih, tidak cukup melihat air tersebut jernih atau bening saja, tapi juga harus diperhatikan apakah ada peluang terkena pencemaran dari lingkungan tempat sumber air tersebut berasal. Jka jarak sumber air minum sangat dekat dengan tempat penampungan kotoran atau tinja (< 10 meter) bisa mengakibatkan tercemarnya air minum oleh kotoran manusia. Data Suseda 2007 memperlihatkan masih ada sebanyak 34,14 persen rumah tangga di Jawa Barat yang memiliki jarak tempat pembuangan tinja dengan sumber air minum yang kurang dari 10 meter. Air yang berasal dari sumber tidak terlindung, seperti sumur yang tidak ada dinding penghalang minimal 3 meter ke dalam tanah dapat tercemar oleh bakteri-bakteri yang ada di sekitar sumur tersebut, misalnya bakteri dari limbah manusia (tinja). Belum lagi penduduk yang memanfaatkan sumur tidak terlindung, mata air tidak terlindung, air sungai, bahkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air minum. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 40 Kondisi lingkungan tempat tinggal yang sehat sangat menunjang kehidupan yang sehat. Lingkungan yang bersih, nyaman, asri, bebas dari polusi dan dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Di Jawa Barat memang kebiasaan bekerja bakti warga membersihkan sampah baik di selokan maupun di lingkungan tempat tinggal masih cukup tinggi dilakukan. Hasilnya, 72,07 persen keadaan air got/selokan di sekitar rumah mengalir dengan lancar (statistik perumahan dan lingkungan, 2004). Sebesar 8,94 persen lainnya adalah keadaan air selokan yang mengalir sangat lambat dan tergenang, bahkan 18,99 persen rumahtangga tidak memiliki selokan untuk mengaliri limbah domestiknya. Kondisi ini perlu mendapat perhatian, karena air selokan yang tidak mengalir lancar maupun tergenang, atau air limbah yang berserakan di sekitar lingkungan tempat tinggal bisa menyebabkan bau tidak sedap dan menjadi tempat berkembang biak berbagai sumber penyakit selain lingkungan menjadi tidak sedap dipandang. Perilaku membuang sampah masyarakat cukup mempengaruhi kesehatan lingkungan. Persoalan sampah harus ditangani secara komprehensif. Harus ada regulasi dari pemerintah dan upaya-upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah. Kota Bandung pernah menjadi lautan sampah, dan pada Tahun 2005 pernah terjadi longsor sampah di TPA Leuwigajah yang menelan korban jiwa. Dalam keseharian tidak sedikit orang yang menghidupi rumah tangganya dari mengelola sampah. Mereka memilah-milah sampah yang masih bisa dimanfaatkan. Ini berarti apabila setiap rumah tangga sudah memilah-milah jenis sampah rumah tangga akan lebih memudahkan penanganan pengolahan sampah. Apabila ada rumah tangga yang tidak memilah sampahnya maka sampah tersebut tidak akan diambil oleh petugas pengangkut sampah. Demikian juga apabila sampah tersebut sampai ke TPA sampah tanpa dipilah pengelola TPA berhak menolak sampah tersebut. Bila ini dilakukan secara disiplin oleh berbagai pihak terkait kiranya persoalan sampah bisa ditanggulangi. Peran media juga sangat diperlukan dalam mensosialisasikan penanganan sampah. Iklan layanan masyarakat seperti jangan membuang sampah sembarangan dan berbagai macam akibatnya secara kontinu disampaikan kepada masyarakat. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 41 Masih banyak lagi problematika kesehatan yang muncul dan perlu segera dibenahi akibat perubahan sosial ekonomi dan budaya, antara lain; terjadinya disparitas status kesehatan; beban ganda penyakit; kinerja pelayanan kesehatan yang rendah; perilaku dan pola hidup bersih masyarakat yang kurang mendukung; rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; rendahnya kualitas pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; terbatasnya jumlah tenaga kesehatan dan distribusi yang tidak merata; dan rendahnya kesehatan penduduk miskin. 3.3. Pendidikan Indikator pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah) yang merupakan salah satu komponen dari IPM mengalami peningkatan pada Tahun 2007. Pada Tahun 2005 AMH Jawa Barat sebesar 94,52 persen naik 1,11 persen menjadi 95,63 persen pada Tahun 2007. Sedangkan rata-rata lama sekolah dari 7,46 pada Tahun 2005 menjadi 7, 82 pada Tahun 2007. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa hanya negara yang mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang akan mampu bersaing dengan negara lain dalam era globalisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah khususnya pemerintah daerah perlu lebih mengedepankan upaya peningkatan kualitas SDM melalui program-program pembangunan yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Karena sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan kebutuhan yang tak kalah pentingnya dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Dalam institusi terkecil seperti rumahtangga, pendidikan seyogyanya telah menjadi kebutuhan utama. Kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi hal tersebut, karena bagaimanapun juga SDM yang bermutu merupakan syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang baik. Pendidikan Indonesia memang ibarat kapal karam, terombang-ambing di tengah ombak tanpa nakhoda yang andal. Bergerak tanpa arah yang jelas, keropos karena korupsi. Buku yang bergonta-ganti, murid yang dijadikan obyek bisnis oleh guru atau kepala sekolah, sekolah-sekolah ambruk, kompetensi dan gaji guru yang rendah merupakan persoalan yang dihadapi dari tahun ke tahun. Pendidikan sebagai Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 42 prioritas, anggaran pendidikan 20 persen, dan wajib belajar 12 tahun hanya menjadi sekumpulan kata-kata indah dalam pembicaraan politisi dan pejabat pemerintahan (Kompas, 24 Desember 2004). 3.3.1. Angka Partisipasi Sekolah Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV (Hak Dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat Dan Pemerintah) pasal 6 ayat 1, mengatakan bahwa “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”, dan pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana, guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.” Hal ini berarti bahwa sepatutnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah, atau tingkat partisipasi sekolahnya 100 persen. Sebagai salah satu provinsi yang diharapkan termaju di Indonesia, sesuai dengan visi Jawa Barat 2010, Provinsi Jawa Barat berusaha keras memajukan bidang pendidikan. Pendidikan yang tinggi menjadi modal kuat untuk memperkuat daya saing penduduk. Jika kecenderungan penanganan pendidikan di masyarakat masih berkutat pada bagaimana mempertahankan siswa rawan DO agar tetap bersekolah, tentunya permasalahan yang lebih besar akan banyak muncul di masa mendatang. Gambar 3.8 : Angka Partisipasi Sekolah (APS) Tahun 2005 dan 2006 100 90 80 96.68 96.35 79.38 78.75 70 7-12 60 50 51.53 45.13 13-15 16-18 40 19-24 30 20 10 10.5 9.55 0 Th. 2005 Th. 2006 Sumber: Suseda 2005 dan 2006 Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 43 Dari hasil Suseda 2005 dan 2006 diperoleh bahwa partisipasi sekolah di Jawa Barat masih relatif rendah, khususnya untuk jenjang pendidikan lanjutan dan tinggi. Pada penduduk kelompok umur 7 - 12 tahun terjadi sedikit penurunan namun untuk jenjang SMP (13-15), SMA (16-18 tahun), tinggi (19-24 tahun) mengalami sedikit peningkatan. APS untuk pendidikan dasar (7-12 tahun) mencapai 96,35 persen. Hal ini kemungkinan karena gencarnya kampanye program pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah secara luas dengan disertai oleh bermacam kucuran dana bantuan pendidikan, mulai dari yang hanya terbatas pada kelompok masyarakat miskin hingga yang sifatnya menyeluruh seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pemerintah telah mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun namun demikian pencapaian APS untuk jenjang SMP belum setinggi pada APS SD. Ini kemungkinan disebabkan oleh masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat khususnya di pedesaan untuk menyekolahkan anak ke jenjang lanjutan. Mereka lebih memilih untuk mempersiapkan atau bahkan menerjunkan anak-anaknya ke dalam dunia kerja, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Hal serupa juga terjadi pada penduduk kelompok umur 16 - 18 tahun. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Daerah tahun 2003 (Sakerda 2003), tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) penduduk kelompok umur 10-14 tahun untuk daerah perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 2,79 dan 6,73. Ini memperkuat fakta bahwa kecenderungan penduduk usia dini di pedesaan untuk terjun ke dunia kerja lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Isu adanya perbedaan mencolok untuk memperoleh pendidikan yang layak menurut jenis kelamin dimana kesempatan laki-laki untuk mengakses pendidikan lebih besar dari pada perempuan, sudah mulai terdegradasi secara umum di Jawa Barat. Pada Tahun 2006 sudah tidak nampak lagi adanya perbedaan kesempatan bersekolah yang signifikan antara penduduk laki-laki dan perempuan, khususnya untuk kelompok umur sasaran program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Untuk jenjang pendidikan tinggi tampak laki-laki lebih besar dibanding perempuan. Hal ini bisa dipahami mengingat keberadaan perguruan tinggi umumnya Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 44 ada di perkotaan. Kemungkinan orang tua khawatir melepas anak perempuannya jauh ke negeri orang. Gambar 3.9 : Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Jenis Kelamin Tahun 2006 120 100 80 Laki-Laki 60 Perempuan 40 20 0 7-12 13-15 16-18 19-24 Sumber : Suseda 2006 3.3.2. Budaya Masyarakat Adanya kecenderungan penurunan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan untuk kebutuhan pendidikan. Pada Tahun 2006 alokasi biaya pendidikan sebesar 3,74 persen dari total pengeluaran rumah tangga dan turun menjadi 3.11 persen pada Tahun 2007. Hal ini mungkin disebabkan adanya pembebasan biaya sekolah yang dicanangkan oleh pemerintah. Sehingga sebagian alokasi biaya tersebut dialihkan ke pengeluaran lainnya. Dari sisi nilai, persentase pengeluaran untuk pendidikan masih sangat kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan skala prioritas pengeluaran untuk kebutuhan pendidikan di rumahtangga relatif lebih marginal jika dibandingkan dengan pengeluaran lainnya yang relatif lebih konsumtif. Pengeluaran rumahtangga untuk makanan sebesar 51,66 persen masih lebih besar dari pada untuk non makanan (48,34 persen). Untuk golongan non makanan, pengeluaran paling besar untuk kebutuhan perumahan dan bahan bakar (25,57 persen), sedangkan pengeluaran untuk biaya pendidikan hanya sebesar 3,11 persen. Hal ini Fenomena tersebut kemungkinan disebabkan oleh masih relatif rendahnya pemahaman para orang tua tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 45 Banyak alasan yang mereka kemukakan, salah satunya adalah belum menjanjikannya masa depan putra putri mereka yang berpendidikan tinggi akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan sekolah dan langsung bekerja Gambar 3.10 : Persentase Pengeluaran Rata-Rata Perkapita Sebulan Untuk Makanan dan Non Makanan Tahun 2007 60 50 40 30 20 10 0 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 2 3 4 Makanan Perumahan dan Bahan Bakar Aneka Barang dan Jasa Pendidikan Kesehatan Pakaian dan Barang Tahan Lama Pajak, asuransi, kepeluan pesta 5 6 7 8 51.66 % 25,57 % 9,34 % 3,11 % 2,73 % 5,59 % 2,00 % Sumber : Suseda 2007 3.3.3. Biaya Pendidikan Pandangan masyarakat menyatakan bahwa pendidikan hanya milik orang kaya dan kalangan berduit saja. Sedangkan dari dana kompensasi BBM yang salah satunya disalurkan melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk jenjang pendidikan dasar dan lanjutan pertama, serta BKM (Bantuan Khusus Murid) untuk jenjang lanjutan atas, pada pelaksanaannya masih dikhawatirkan beberapa pihak. Pandangan tersebut tidak salah mengingat biaya sekolah khususnya untuk Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 46 pendidikan menengah dan tinggi semakin tak terjangkau. Pendidikan masih identik dengan biaya yang tinggi dan sulit dijangkau oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah. Tercatat bahwa hingga Tahun 2004 persentase penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 12,10 persen (Susenas 2004). Masih banyaknya masyarakat dengan kemampuan ekonomi rendah, di mana umumnya memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dalam meraih pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, perlu menjadi perhatian dalam melakukan perencanaan pembangunan terutama di bidang pendidikan. Gambar 3.11 : Konsumsi Pendidikan Per Kapita se Bulan Tahun 2005, 2006 dan 2007 4 3.74 3.74 3.11 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Th. 2005 Th. 2006 Th. 2007 Sumber : Suseda 2005-2007 Tampak bahwa terjadi penurunan alokasi pengeluaran di bidang pendidikan dari Tahun 2005 ke 2007. Alokasi dana pendidikan masyarakat Jawa Barat di tingkat rumahtangga masih rendah (di bawah 4 persen). Kita perlu waspada dan prihatin apabila peningkatan persentase pengeluaran untuk pendidikan ternyata lebih disebabkan karena semakin mahalnya akses untuk memperoleh pendidikan. Pemerintah telah berupaya keras menyalurkan dana bantuan untuk pendidikan. Kenyataannya hal tersebut belum dapat menghapuskan berbagai bentuk Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 47 pungutan atau iuran pada lembaga pendidikan. Bila tidak segera diantisipasi dan ditanggulangi dikhawatirkan akan mengancam pelaksanaan pembangunan pendidikan. Bila pendidikan hanya dikonsumsi oleh penduduk dengan tingkat ekonomi tinggi, dampaknya adalah turunnya angka partisipasi sekolah. Penduduk miskin tidak mampu mengenyam pendidikan. Akibatnya mereka menjadi miskin pengetahuan dan pilihan-pilihan hidupnya sangat terbatas. Rumah tangga yang demikian akan menurunkan generasi yang miskin dan terus terpinggirkan. Ini perlu menjadi renungan dan dicarikan solusinya. Penyusunan Data Basis IPM Provinsi Jawa Barat 48