Bab I

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-undang kesehatan RI No. 23 Tahun 1992, sehat
adalah keadaan sejahtera tubuh, jiwa, sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Asmadi, 2008).
Pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 diharapkan
masyarakat memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu dan juga memperoleh jaminan kesehatan, yaitu masyarakat
mendapatkan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya
(Depkes RI, 2009).
Empat faktor yang mempengaruhi kesehatan yakni faktor
keturunan, dan factor pelayanan kesehatan yang meliputi ketersediaan klinik
kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya. Faktor yang lain adalah perilaku
antara lain perilaku mencari pengobatan dan perilaku hidup bersih dan
sehat, dan faktor lingkungan antara lain kondisi lingkungan yang sehat dan
memenuhi persyaratan (Bloom dalam Notoatmodjo, 2005).
Sejalan dengan adanya perubahan pola hidup masyarakat modern,
polusi baik dari lingkungan maupun zat-zat yang ada dimakanan memicu
terjadinya peningkatan kejadian penyakit alergi yang salah satunya adalah
asma (Prasetyo, 2010). Selain itu berdasarkan hasil observasi penelitian di
beberapa Negara berkembang, diketahui peningkatan prevalensi asma
2
terjadi karena perubahan gaya hidup. Berkurangnya aktivitas fisik
merupakan penyebab meningkatnya prevalensi kejadian asma tersebut
(Rasmussen F, Lambrechtsen J, Siersted HC, Hansen, 2000). Faktor risiko
terjadinya
asma
dibagi
menjadi
dua,
yaitu
yang
menyebabkan
berkembangnya asma pada individu berasal dari faktor pasien, yang
meliputi unsur genetik, obesitas, dan jenis kelamin. Dan yang memicu
terjadinya gejala asma berupa faktor lingkungan diantaranya adalah alergen,
infeksi, obat/bahan sensitizer, asap rokok, makanan dan polusi udara, baik
di dalam maupun di luar ruangan (Global Initiative Nation for Asthma,
2011)
Asma merupakan problem kesehatan di seluruh dunia, yang
mempengaruhi kurang lebih 300 juta jiwa. Angka kematian di dunia akibat
asma diperkirakan mencapai 250.000 orang pertahun yang menyebabkan
pasien memerlukan perawatan, baik di rumah sakit ataupun di rumah
(Ikawati, 2011). Hasil penelitian International Study on Asthma and
Alergies in Childhood pada tahun 2005 menunjukkan, prevalensi gejala
penyakit asma di Indonesia melonjak dari sebesar 4,2 % menjadi 5,4 %.
Selama 20 tahun terakhir, penyakit asma cenderung meningkat dengan
kasus kematian yang diprediksi akan meningkat sebesar 20 % hingga 10
tahun mendatang (Faisal, 2008).
Menurut data badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2006, sebanyak
300 juta orang menderita asma dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlah
penderita asma mencapai 400 juta orang. Selain itu sebanyak 255.000 jiwa
3
diperkirakan meninggal dunia karena asma diseluruh dunia (Sundaru, 2007).
Penyakit asma termasuk dalam lima besar penyebab kematian di dunia yang
bervariasi sekitar 5-30% (berkisar 17,4%). Di Indonesia asma termasuk
dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Rumah Sakit,
dimana diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk Indonesia menderita asma,
prevalensi kejadian asma pada tahun 2010 sebesar 3,32% (Oemiati,
Sihombing & Qomariah, 2010). Peningkatan jumlah penderita penyakit
asma tersebut dikarenakan oleh kontrol penyakit asma yang buruk serta
sikap penderita penyakit asma yang sering meremehkan tingkat keparahan
(Siswono, 2007).
Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran
pernafasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran
udara yang reversible dan gejala pernafasan yang meliputi bunyi nafas
wheezing, dyspnoe, batuk, dada merasa sesak, tachypnoe dan tachycardia
(Sudoyo, 2006). Istilah asma berasal dari kata yunani yang artinya terengahengah dan berarti serangan nafas pendek, yang menunjukkan respon
abnormal saluran nafas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas yang meluas, yang disebabkan oleh bronkospasme,
edema mukosa, dan hipersekresi mukus yang kental bersifat kambuh,
berulang dan reversible (Price & Wilson, 2005).
Volume udara akan lebih lambat dikeluarkan pada penyakit
obstruksi sehingga pada orang asma akan mudah untuk melakukan inhalasi
akan tetapi sulit untuk melakukan ekshalasi karena terjadinya edema pada
4
jalan nafas (Tortora & Derricson, 2009). Salah satu indikasi adanya
obstruksi pada saluran pernafasan adalah rendahnya nilai PEF atau disebut
juga PEFR (Peak Expiratory Flow Rate) yaitu kecepatan hembusan
maksimum yang diukur pada 10 milidetik pertama ekspirasi (Proverawati &
Widianti, 2010). Peningkatan nilai PEF pada pasien asma menunjukkan
penurunan derajat obstruksi pada saluran nafas yang berarti terjadinya
perbaikan pada saluran nafas, dimana
perbaikan saluran nafas dapat
mencegah terjadinya kekambuhan yang ditandai dengan berbagai gejala
asma, peningkatan nilai PEF dan rendahnya jumlah frekuensi kekambuhan
merupakan indikasi ringan atau beratnya derajat asma seseorang.
Serangan asma yang sering kambuh membatasi aktivitas fisik
penderita, mempengaruhi kehadiran di sekolah, pilihan pekerjaan, dan
banyak aspek kehidupan lainnya, dan berakibat fatal (Smeltzer, 2004).
Serangan asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang lazim
dijumpai di ruang gawat darurat. Meskipun demikian perlu ditekankan
bahwa serangan asma berat dapat dicegah atau setidaknya dapat dikurangi,
dengan melakukan identifikasi dini dan terapi intensif (Makmuri &
Supriyanto, 2008).
Tujuan dari terapi asma seperti ditetapkan oleh panduan National
Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) tahun 2007 adalah
memungkinkan pasien menjalani hidup yang normal dengan hanya sedikit
gangguan atau tanpa gejala. Menurut Yunus (2006) adapun penatalaksanaan
asma yang dilakukan adalah pemberian edukasi pada penderita asma dan
5
keluarganya, dan menentukan klasifikasi asma untuk menentukan jenis dan
obatnya. Selain itu juga disarankan untuk menghindari faktor pencetus,
pemberian obat yang optimal, mencegah peningkatan kejadian serangan,
mengontrol secara berkala dan meningkatkan kebugaran dengan olahraga
yang dianjurkan seperti renang, bersepeda, dan senam asma.
Senam asma merupakan salah satu pilihan olahraga yang tepat bagi
penderita asma, oleh karena senam asma ini bermanfaat untuk
meningkatkan kesegaran jasmani dan juga meningkatkan kemampuan
bernafas. Senam asma bertujuan untuk melatih cara bernafas yang benar,
melenturkan dan memperkuat otot pernafasan, melatih ekspektorasi yang
efektif, meningkatkan sirkulasi darah, mempercepat asma yang terkontrol,
mempertahankan asma yang terkontrol, dan kualitas hidup menjadi lebih
baik (Proverawati, 2010). Senam asma juga dapat meningkatkan
kemampuan otot yang berkaitan dengan mekanisme pernafasan dan
meningkatkan kapasitas serta efisiensi dalam pernafasan (Supriyantoro,
2004). Senam asma yang dilakukan secara teratur sangat bermanfaat bagi
pasien
asma.
Selain
senam
asma,
ada
beberapa
olahraga
yang
direkomendasikan untuk pasien asma yaitu renang, dan bersepeda.
Bersepeda merupakan salah satu olahraga yang paling efektif dan
murah yang bisa menjadi alternatif pilihan bagi penderita asma. Bersepeda
secara teratur dapat menstimulasi dan meningkatkan kinerja paru-paru,
melatih bernafas lebih panjang (NN, 2011). Bersepeda juga meningkatkan
level energi sebanyak 20% dan mengurangi kelelahan hingga 65%. Hal ini
6
disebabkan
karena
bersepeda
memicu
otak
untuk
mengeluarkan
neurotransmitter dopamin yang berhubungan dengan energi dimana efeknya
peredaran darah menjadi lancar sehingga tubuh menjadi lebih segar (Risa,
2011). Dengan mengayuh pedal, vaskularisasi dan oksigenasi meningkat
dimana jantung dan paru juga menjadi lebih aktif. Bersepeda juga termasuk
latihan aerobik yang relatif mudah dikendalikan yang artinya intensitas
latihan bisa diatur sesuai kebutuhan (Cahyani, 2012). Seperti sepeda, latihan
sepeda statis merupakan satu bentuk aktivitas fisik yang tergolong latihan
aerobik terutama bagi otot-otot ekstremitas bawah yang membutuhkan
peningkatan kebutuhan energi yang akan dipenuhi dengan meningkatnya
kerja kardiorespirasi berupa peningkatan frekuensi denyut jantung dan isi
sekuncupnya. Latihan sepeda statis dan pernafasan diafragma dengan
intensitas bertahap dapat meningkatkan VO2 max dan kebugaran penderita
asma (Alamsyah, 2005).
Latihan sepeda statis merupakan olahraga yang menyenangkan
karena latihan dapat diatur dengan mudah dan tepat sehingga sangat cocok
untuk pasien dengan gangguan jantung, paru-paru dan sirkulasi darah. Selain
itu latihan dengan sepeda statis bisa dilakukan pada pasien yang mengalami
kesulitan untuk bersepeda di luar karena cuaca buruk yang merupakan salah
satu pemicu terjadinya serangan asma. Latihan sepeda statis ini bisa
dilakukan didalam rumah, dan penderita juga dapat melakukannya sambil
membaca, menonton televisi sehingga tidak merasa bosan dan terasa
menyenangkan (Satmoko,1993).
7
Penelitian-penelitian sebelumnya lebih berfokus pada pengaruh
senam asma atau sepeda statis saja. Hasil pencarian literatur belum
ditemukan penelitian yang mengukur perbandingan efektifitas senam asma
dan sepeda statis. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbandingan
efektifitas keduanya terhadap peningkatan nilai PEF dan frekuensi
kekambuhan pasien asma, sehingga bisa menjadi salah satu acuan dalam
pengobatan alternatif pada pasien asma.
Berdasarkan data dari Dinas kesehatan Kota Jambi tahun 2012 dari
20 puskesmas yang ada di kota Jambi, diketahui bahwa jumlah penderita
asma sebanyak 7169 kasus, Puskesmas Olak Kemang menempati angka
kejadian dengan urutan pertama, yaitu 1165 kasus asma dan, Puskesmas
Paal merah I menempati angka kejadian paling rendah yaitu 46 kasus asma.
Diketahui data di Puskesmas olak kemang, pada bulan Januari –
Februari 2013 didapatkan jumlah pengunjung asma sebanyak 55 orang.
Setelah melakukan wawancara terhadap 5 penderita asma didapatkan hasil 3
orang mengatakan terjadinya frekuensi sesak nafas sebanyak 2 kali dalam
seminggu, satu orang mengatakan asmanya kambuh 1 kali dalam seminggu,
dan satu orang lagi mengalami kambuh 2 kali sehari jika musim hujan
(Puskesmas Olak Kemang, 2013). Adapun penatalaksanaan pasien asma di
Puskesmas Olak Kemang pada saat ini adalah penatalaksanaan secara
farmakoterapi berupa pemberian obat-obatan kepada pasien asma berupa
bronchodilator dan obat asma lainnya. Terapi non farmakologi seperti
olahraga senam asma dan latihan sepeda statis yang merupakan salah satu
8
terapi alternatif yang bisa dilakukan pasien untuk meningkatkan nilai peak
expiratory flow dan mengurangi terjadinya frekuensi kekambuhan asma
belum diterapkan.
Oleh karena itu maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “ Latihan sepeda statis meningkatkan Peak Expiratory Flow (PEF)
dan mengurangi Frekuensi Kekambuhan Pada Penderita Asma di Wilayah
Kerja Puskesmas Olak Kemang Kota Jambi ”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka
peneliti ingin mengkaji peningkatan Peak expiratory flow (PEF) dan
frekuensi kekambuhan setelah latihan sepeda statis dan senam asma pada
penderita asma. Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah latihan sepeda statis dapat meningkatkan Peak Expiratory Flow
(PEF) pada penderita asma?
2. Apakah latihan sepeda statis dapat mengurangi frekuensi kekambuhan
pada penderita asma?
3. Apakah dengan makin lama melakukan latihan sepeda statis lebih
meningkatkan Peak Expiratory Flow (PEF) pada penderita asma?
4. Apakah dengan makin lama melakukan latihan sepeda statis lebih
menurunkan frekuensi kekambuhan pada penderita asma?
5. Apakah latihan sepeda statis dapat meningkatkan Peak Expiratory Flow
(PEF) lebih besar dari senam asma pada penderita asma?
9
6. Apakah latihan sepeda statis dapat mengurangi frekuensi kekambuhan
lebih rendah dibandingkan senam asma pada penderita asma?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengkaji peningkatan Peak Expiratory Flow (PEF) dan frekuensi
kekambuhan dengan latihan sepeda statis dibandingkan senam asma pada
penderita asma di Wilayah Kerja Puskesmas Olak Kemang Kota Jambi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengkaji peningkatan Peak Expiratory Flow (PEF) setelah latihan
sepeda statis pada penderita asma.
b. Mengkaji penurunan frekuensi kekambuhan setelah latihan sepeda
statis pada penderita asma.
D. Manfaat penelitian
1. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam
melakukan penatalaksanaan asma non farmakologi, senam asma dan
latihan sepeda statis merupakan terapi pilihan yang dapat meningkatkan
nilai Peak Expiratory Flow dan mengurangi frekuensi kekambuhan pada
penderita asma.
2. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil
penelitian
dapat
dijadikan
bahan
pertimbangan
untuk
meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan dengan menyediakan sepeda
statis sebagai sarana olahraga bagi penderita asma baik di Rumah sakit
10
maupun di puskesmas sehingga pasien asma dapat melakukan olahraga
ini sebagai terapi rehabilitatif dalam meningkatkan fungsi paru dan
mengurangi frekuensi kekambuhan.
3. Bagi Petugas Keperawatan
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh profesi keperawatan
dalam mengembangkan asuhan keperawatan yang lebih baik khususnya
pada pasien asma, dengan meningkatkan kualitas perawat sebagai
edukator dan pemberi pelayanan kesehatan dalam meningkatkan nilai
Peak Expiratory Flow (PEF) dan mengurangi
frekuensi terjadinya
serangan asma dengan menerapkan latihan sepeda statis dan senam asma
sebagai salah satu intervensi pada pasien asma. Dan sebagai dasar
pertimbangan (evidence based) untuk melakukan penelitian dan
pengembangan penatalaksanaan asma pada masa yang akan datang.
E. Penelitian terkait
Terdapat beberapa penelitian mengenai asma yang sudah pernah
dilakukan di berbagai tempat, antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh, Anwar, Yunus, dan Fachrurrodju (1998)
tentang Pengaruh Senam Asma Indonesia Terhadap Penderita Asma,
dengan Jumlah subjek penelitian sebanyak 40 orang yang terdiri dari 20
orang kelompok kasus dan 20 orang kelompok kontrol. Setelah
melakukan senam asma Indonesia selama 18 minggu didapatkan hasil
yaitu senam asma yang teratur dapat mengurangi gejala klinik penyakit
11
asma dan pemakaian bronkodilator hisap, menurunkan jumlah eosinofil,
meningkatkan ambilan oksigen maksimal (VO2 max).
2. Handayani (2011) tentang pengaruh latihan renang dan senam asma
terhadap Forced Expiratory Volume In 1 Second (FEV1) dan kadar
hormone kortisol pada penderita asma didapatkan hasil latihan renang
dan senam asma dapat meningkatkan kadar hormone kortisol dan FEV1
pada penderita asma, dan peningkatan FEV1 dan kadar hormone kortisol
lebih tinggi pada latihan renang dibandingkan senam asma
3. Alamsyah (2005) tentang pengaruh latihan pernafasan diafraghma
dengan latihan sepeda statis pada pasien asma persisten sedang
didapatkan hasil yaitu terjadi peningkatan VO2 maks pada pasien asma
yang melakukan latihan pernafasan diafraghma dengan atau tanpa diikuti
latihan sepeda statis, namun peningkatan VO2 maks lebih tinggi pada
pasien yang melakukan latihan pernafasan diafragma diikuti latihan
sepeda statis dibandingkan hanya pada pasien yang hanya melakukan
latihan pernafasan saja.
4. Sahat (2008) dengan judul penelitian pengaruh senam asma terhadap
peningkatan kekuatan otot pernafasan dan fungsi paru pada pasien asma
di perkumpulan senam asma rumah sakit umum Tangerang didapatkan
hasil senam asma selama 8 minggu dapat meningkatkan kekuatan otot
dan fungsi paru pada pasien asma.
5. Zega, Yunus & Wiyono (2010) dengan judul Perbandingan manfaat
klinis senam merpati putih dengan senam asma Indonesia pada
12
penyandang asma. Pada penelitian ini didapatkan bahwa melakukan SAI
dan MP secara teratur selain tidak terjadi EIA juga didapatkan manfaat
lain yaitu mengurangi gejala klinis, pemakaian bronkodilator hisap,
meningkatkan fungsi paru, menurunkan Hb, Ht dan eosinoļ¬l darah.
6. Perbedaan dengan penelitian ini adalah, terjadi peningkatan peak
expiratory flow dan penurunan frekuensi kekambuhan penderita asma
dengan latihan sepeda statis yang dibandingkan dengan senam asma.
Download