Makalah Bedside Teaching ASMA Disusun oleh: Jeane Andini Jody Felizio Lutfie Mario Markus Nugraha Mellisya Ramadhany Michael Christian Muncieto Andreas Reiva Wisdharilla MD Samuel Raymond Rumantir Wahyu Permatasari Yohanes Edwin Budiman STASE PULMONOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT PERSAHABATAN JAKARTA NOVEMBER 2012 BAB 1 PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi dan elemennya yang berhubungan dengan hipereaktivitas bronkus, sehingga dapat muncul serangan episodik berulang berupa mengi, sesak napas, rasa berat di dada, dan batuk terutama malam atau dini hari. Perburukan terkait dengan luasnya peradangan, variabilitas, dan beratnya obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Epidemiologi Asma merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Diperkirakan 300 juta orang di dunia menyandang asma. Menurut laporan berbagai studi prevalensi asma dan mengi pada anak dan dewasa, prevalensi asma berkisar antara 1-18% pada populasi dari berbagai negara. Diperkirakan 15 juta usia produktif hilang setiap tahunnya karena asma.1 Jika angka tersebut dikalikan dengan nilai produktivitas usia produktif, maka kerugian yang terjadi amatlah besar setiap tahunnya. Prevalensi asma terus meningkat dalam 30 tahun terakhir akan tetapi sekarang angkanya cenderung menetap.2 Pada negara berkembang dimana angka kejadian asma lebih rendah, terdapat insidensi yang meningkat yang diduga terkait dengan urbanisasi. Di Indonesia sendiri, berbagai penelitian menunjukkan bahwa prevalensi asma bervariasi bergantung kepada kondisi wilayah, populasi target, dan metodologi yang digunakan. Pada tahun 2008 di lima wilayah Jakarta dan kepulauan seribu pada anak SLTP usia 13-14 tahun dilakukan penilaian asma dengan kuesioner ISAAC. Dari 2075 responden didapatkan 7,1% recent asthma dan 12,2% memiliki riwayat asma. Umumnya, pandangan masyarakat adalah bahwa untuk mendapatkan penanganan asma dibutuhkan biaya yang relatif mahal. Walaupun demikian, harus dipahami bahwa jauh lebih mahal beban sosial dan beban ekonomi jika asma tidak ditatalaksana dengan tepat. Etiologi dan Faktor Risiko Asma merupakan penyakit heterogen yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Beberapa faktor risiko telah diketahui dan dipelajari dalam hal tercetusnya asma. Faktor risiko asma dapat dibagi menjadi faktor yang mempengaruhi berkembangnya asma dan faktor yang mempengaruhi gejala asma. Faktor yang mempengaruhi berkembangnya asma adalah faktor pejamu, khususnya genetik, sedangkan faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala asma disebut sebagai faktor pencetus. Berbagai faktor pencetus antara lain adalah alergen, infeksi virus pernapasan, polutan, dan obat- obatan. Interaksi antara faktor pejamu dan faktor lingkungan mempengaruhi berkembangnya atau terjadinya asma. Meskipun demikian, mekanisme bagaimana pengaruhnya sangatlah rumit dan saling terkait antara gen, faktor lingkungan, dan dipengaruhi pula oleh berbagai aspek seperti respon imun, waktu pertama kali terpajan infeksi, serta ras, etnis, keadaan sosial-ekonomi, dll. Tabel 1. Faktor yang Berperan pada Kejadian Asma Faktor Pejamu Predisposisi genetik, atopi, hiperreaktivitas saluran napas, jenis kelamin, ras Faktor Pencetus Alergen, ISPA viral, olahraga, hiperventilasi, udara dingin, beta blocker, aspirin, stress, iritan Faktor Lingkungan Lingkungan indoor dan alergen, passive smoking outdoor dengan Klasifikasi Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai faktor, antara lain etiologi, fenotip inflamasi, berat penyakit, dan kondisi terkontrol. Klasifikasi asma berdasarkan etiologi berhubungan dengan faktor lingkungan yang mensensitisasitimbulnya asma seperti asma alergi dan asma kerja. Klasifikasi ini memiliki keterbatasan, yaitu banyak asma yang tidak dapat diidentifikasikan faktor lingkungan sebagai penyebab atau pencetus asma. Klasifikasi berdasarkan fenotip inflamasi yang terjadi menggambarkan interaksi antara genetik pasien dengan lingkungan serta dikaitkan dengan pengobatan. Termasuk di dalamnya adalah asma akibat aspirin, asma eosinofilik, asma non-eosinofilik, dll. Identifikasi fenotip bermanfaat terutama bagi pasien dengan asma berat untuk pendekatan penanganannya dan kegiatan riset. Sejak tahun 1992 dengan berbagai revisi hingga tahun 2004, GINA telah mengklasifikasikan beratnya asma berdasarkan gambaran klinis dikaitkan dengan pengobatan dan perencanaan jangka panjang tatalaksana asma. Pada penilaian awal sebelum pasien mendapatkan pengobatan, beratnya asma dinilai berdasarkan gambaran klinis yang termasuk di dalamnya adalah gejala, eksaserbasi asma, kebutuhan reliever dan nilai faal paru. Tetapi jika pasien sudah dalam pengobatan, maka beratnya asma dinilai berdasarkan gambaran klinis asma dan pengobatan. Tabel 2. Klasifikasi Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Intermiten Gejala Gejala malam PEF atau FEV1 prediksi PEF < 1 per minggu </= 2 kali per bulan >/= 80% < 20% > 2 kali per bulan >/= 80% 20-30% > 1 kali per minggu 60%-80% > 30% sering </= 60% > 30% Asimptomatik dan PEF normal di luar serangan > 1 per minggu tapi < 1 per hari Persisten ringan Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur Setiap hari Persisten sedang Serangan mengganggu aktivitas dan tidur Terus- menerus Persisten berat Aktivitas fisik terbatas Berdasarkan EBM, didapatkan bahwa sebagian besar pasien asma dapat dikontrol walau asma berat sekalipun jika diberikan pengobatan yang tepat. Hal itu penting tidak hanya sekedar untuk informasi ilmiah, tetapi juga untuk implementasi di lapangan dalam penanganan asma. Maka itu, sejak tahun 2006, pedoman penatalaksanaan asma dengan teagas menyatakan tujuan pengobatan untuk mencapai asma terkontrol, dengan klasifikasi asma berdasarkan pada kondisi terkontrolnya asma. Tabel 3. Klasifikasi Asma Berdasarkan Terkontrolnya Asma Karakteristik Terkontrol total Gejala harian Tidak ada atau <= 2 per minggu Terkontrol sebagian Tidak terkontrol >2x per minggu Terdapat >= 3 kriteria dari Keterbatasan Tidak ada aktivitas Ada asma terkontrol sebagian dalam setiap minggu Asma malam Tidak ada Ada Kebutuhan pelega Tidak ada atau <= 2 per minggu >2x per minggu APE atau VEP1 Normal <80% prediksi/nilai terbaik Pada praktiknya, berbagai instrumen dikembangkan untuk menilai status terkontrolnya asma secara klinis, salah satunya adalah Asthma Control Test(ACT). Instrumen ACT merupakan salah satu instrumen yang valid dan dapat dipercaya, direkomendasikan secara internasional, dapat dilakukan oleh pasien sendiri, sudah tersedia dalam berbagai bahasia dan terdistribusi dalam internet dan dalam bentuk formulir penilaian yang dapat dilingkapi sebelum atau selama konsultasi dengan dokter. Terdapat 5 pertanyaan yang harus dijawab pasien, dan dari jawaban pasien, diberikan skor untuk menilai kondisi dan skor dijumlah untuk menentukan derjat asma pasien. Tabel 4. Interpretasi Hasil ACT Nilai Arti Yang harus dilakukan <= 19 Tidak terkontrol Tingkatkan pengobatan terkontrol Strategi penatalaksanaan tahapan Cari faktor penyebab: hingga - Pengobatan yang digunakan - Cara menggunakan - Kepatuhan - Kendala - Komorbid Upayakan mencapai terkontrol dengan mengatasi masalah Tingkatkan pengobatan 20-24 Terkontrol sebagian Pertimbangkan tingkatkan tahapan Sama dengan strategi 25 Terkontrol total pengobatan sampai terkontrol total, dengan memperhatikan kepuasan pasien, efek samping obat, kemungkinan laksana di atas Pertahankan kondisi, turunkan pengobatan, tetap pertahankan terkontrol dan minimalkan efek samping Pertahankan dengan pengobatan yang sama bila stabil Jika stabil 3-6 bulan, turunkan pengobatan bertahap dengan mempertahankan kondisi terkontrol Monitoring kondisi asma dan respon terhadap pengobatan, identifikasi bila ada perburukan BAB II PATOFISIOLOGI dan GEJALA KLINIS Fisiologi Paru Fungsi utama sistem respirasi adalah menjamin ketersediaan O2 untuk kelangsungan metabolisme sel tubuh serta mengeluarkan CO2 hasil metabolisme sel secara terus-menerus. 1. 2. a. b. c. d. Respirasi mencakup Respirasi internal – proses metabolik intraseluler di mitokondria (konsumsi O2 - produksi CO2) Respirasi eksternal – pertukaran gas antara lingkungan luar dengan sel-sel tubuh Ventilasi pertukaran udara antara udara luar-udara dalam alveoli Difusi pertukaran gas antara udara alveoli-darah kapiler paru Transpor gas oleh sistem sirkulasi Perfusi pertukaran gas antara kapiler jaringan-sel jaringan melalui difusi Peran sistem respirasi terbatas pada proses ventilasi dan difusi, proses selanjutnya dilakukan oleh sistem sirkulasi. Mekanika Pernafasan Inpirasi Inspirasi merupakan proses aktif yang memerlukan kontraksi otot-otot inspirasi. Pada inspirasi tenang, pembesaran rongga dada disebabkan oleh kontraksi diafragma (otot inspirasi utama) serta m. interkostalis eksternus. Pada pernapasan kuat, otot-otot inspirasi tambahan ikut mengangkat iga: m. sternokleidomastoideus, m. pektoralis mayor dan minor, m.skalenus, m. seratus postikus posterior. Ekspirasi Pada pernapasan tenang (eupnea), ekspirasi merupakan proses pasif, bukan oleh kontraksi otot melainkan oleh relaksasi otot inspirasi. Jaringan paru yang teregang pada inspirasi kembali ke posisi semula karena daya recoil paru dan dinding dada. Pada awal ekpirasi, masih terdapat kontraksi ringan otot inspirasi yang menimbulkan hambatan pada daya recoil sehingga ekspirasi berlangsung lambat. Pada pernapasan kuat, relaksasi otot inspirasi lebih diperlambat, sehingga peralihan fase inspirasi-ekspirasi dapat berlangsung mulus. Otot Inspirasi Tabel 5. Otot – otot Pernapasan Kontraksi saat perangsangan Diafragma Interkostalis eksternus Skalenus, sternokleidomastoideus Ekspirasi Abdominal Interkostalis internus Bergerak ke bawah, meningkatkan dimensi vertical rongga dada Menarik iga ke atas-luar, meningkatkan dimensi antero-posterior dan lateral rongga dada Menarik sternum dan dua iga teratas, memperbesar bagian atas rongga dada Setiap inspirasi, otot inspirasi utama Setiap inspirasi, otot inspirasi kedua Inspirasi kuat , otot inspirasi tambahan Meningkatkan tekanan abdomen, Ekspirasi aktif mendorong diafragma, mengurangi dimensi vertical rongga dada Menarik iga ke bawah-dalam, mengurangi Ekspirasi aktif dimensi tranversal rongga dada Terdapat tiga tekanan berbeda yang penting pada ventilasi: 1. Tekanan atmosfer (barometrik) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer terhadap benda-benda di permukaan bumi. Pada ketinggian permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760 mmHg. Tekanan ini berkurang seiring dengan penambahan ketinggian di atas permukaan laut. 2. Tekanan intra-alveolus (tekanan intrapulmonalis), adalah tekanan di dalam alveolus. 3. Tekanan intrapleura, adalah tekanan di dalam kantung pleura. Tekanan ini juga dikenal sebagai tekanan intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar paru di dalam rongga toraks. Biasanya lebih kecil dari tekanan atmosfer, rata-rata 756 mmHg saat istirahat. Volume Paru Dalam keadaan normal, paru mengandung sekitar 2 sampai 2,5 liter udara selama siklus respirasi, tetapi dapat diisi sampai 5,5 liter atau dikosongkan sampai tersisa 1 liter. Pada orang dewasa sehat, rata-rata, jumlah maksimum udara yang dapat dikandung oleh kedua paru adalah sekitar 5,7 liter pada pria dan 4,2 liter pada wanita. Bentuk anatomis, usia, distentibilitas paru, dan ada atau tidaknya penyakit pernapasan mempengaruhi kapasitas paru total ini. Secara normal, selama proses bernapas biasa, paru tidak pernah mengalami pengembangan maksimum atau penciutan yang mendekati volume minimumnya. Dengan demikian, secara normal paru mengalami pengembangan tingkat sedang selama siklus pernapasan. Pada akhir ekspirasi tenang (biasa), paru masih mengandung sekitar 2.200 ml udara. Selama satu kali bernapas biasa dalam keadaan istirahat, sekitar 500 ml udara dihirup dan udara dalam jumlah yang sama dihembuskan, sehingga selama bernapas tenang volume paru bervariasi antara 2.200 ml pada akhir ekspirasi dan 2.700 ml pada akhir inspirasi. Selama ekspirasi maksimum, volum paru dapat menurun sampai 1.200 ml pada pria dan 1.000 ml pada wanita, tetapi paru tidak akan pernah dapat dikosongkan secara total karena saluran pernapasan kecil akan kolaps selama ekspirasi paksa pada volume paru yang rendah, sehingga aliran keluar udara lebih lanjut dicegah. Konsekuensi penting dari ketidakmampuan mengosongkan paaru secara total tersebut adalah bahwa pertukaran gas antara darah yang mengalir ke paru dan udara alveolus yang tersisa dapat tetap berlangsung, bahkan selama ekspirasi maksimum. Terlebih lagi, tidak terjadi fluktuasi yang lebar dalam penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 oleh darah karena paru tidak mengalami pengosongan atau pengisian maksimum dalam setiap proses bernapas. Hal ini menyebabkan kandungan gas dalam darah yang keluar dari paru untu disalurkan ke jaringan tetap konstan sepanjang siklus pernapasan. Selain itu, perlu diingat bahwa usaha yang diperlukan untuk mengembangkan alveolus yang sudah mengembang sebagian lebih mudah daripada alveolus yang kolaps total.1 Jenis Volume dan Kapasitas Statis Paru Volume Tidal (Tidal volume = TV/ isi alun nafas) adalah volume udara yang masuk dan keluar selama satu kali proses pernafasan tenang. Besar volume tidal selama pernafasan yang tenang sekitar 500ml. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV) adalah volume udara ekstra yang masih dapat masuk ke paru setelah inspirasi biasa. Volume ini dapat dicapai dengan kontraksi maksimal diafragma, m. intercostal internus dan otot-otot inspirasi tambahan. Nilai normalnya sekitar 3000ml. Kapasitas Inpirasi (Inspiratory Capacity = IC) adalah volume udara maksimal yang dapat masuk ke dalam paru pada akhir ekspirasi normal. (IC = TV + IRV) nilai normalnya sekitar 3500ml. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume = ERV) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara aktif dari paru melalui kontraksi otot-otot ekspirasi setelah ekspirasi biasa. Normalnya sekitar 1000ml. Volume Residu (Residual Volume = RV) adalah volume udara yang masih tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. Volume ini tidak dapat diukur dengan spirometer karena tidak bergerak masuk atau keluar dari paru. Pengukurannya secara tidak langsung dengan dilusi gas. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capacity =FRC) adalah volume udara pada paru setelah ekspirasi pasif biasa. (FRC = ERV + RV). Besar kapasitas ini normalnya 2200ml. Kapasitas Vital (Vital Capaity = VC) adalah volume udara maksimal yang dapat masuk atau keluar paru selama satu siklus pernafasan dengan inspirasi maksimal dan ekspirasi maksimal. Kapasitas vital menggambarkan kemampuan pengembangan paru dan dada. Nilai normalnya kira-kira 4500ml. (VC = IRV + TV + ERV). Kapasitas Paru Total (Total Lung Capacity = TLC) adalah jumlah udara maksimal yang dapt dikandung paru (TLC = VC + RV). Normalnya sekitar 6000ml pada paria dan 4200 ml pada wanita. Jenis Volume Dinamis Paru Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity/ FVC) Volume udara maksimum yang dapat dihembuskan secara paksa. Nilai rata-rata normalnya = 4 L dicapai dalam 3 detik. Forced Expired Volume in One Second (FEV) Volume udara yang dapat dihembuskan paksa pada satu detik pertama. Nilai rata-rata normalnya = 3.200 ml. Spirometri dan Flow-Volume Loop Spirometri, yang juga dikenal sebagai Tes Fungsi Paru (TFP), adalah suatu bentuk pengukuran fungsi paru, khususnya dengan mengukur volume dan kecepatan udara yang dihirup maupun yang dihembuskan. Spirometri merupakan suatu alat yang penting untuk menguji penyakit pada paru seperti asma, kistik fibrosa, dan PPOK. Hasilnya biasa disajikan dalam bentuk data mentah (liter, liter per detik) dan bentuk prediksi yang dinyatakan dalam persen. Spirometri juga menghasilkan suatu bentuk grafik yang disebut dengan Flow-Volume Loop, yang secara grafis menggambarkan total volume yang dihirup maupun yang dihembuskan. Aliran ditunjukkan sepanjang sumbu-X dan volume ditunjukkan sepanjang sumbu-Y. Perubahan-perubahan volume paru yang terjadi selama bernapas dapat diukur dengan menggunakan spirometer. Pada dasarnya, spirometer terdiri atas sebuah tong berisi udara yang mengapung dalam wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara ke dalam tong tersebut melalui sebuah selang yang menghubungkan mulut ke wadah udara, tong akan naik dan turun di wadah air. Naik dan turunnya tong tersebut dapat dicatat sebagai spirogram yang dikalibrasikan ke perubahan volume. Sebuah pencatat akan mencatat inspirasi sebagai defleksi ke atas dan ekspirasi sebagai defleksi ke bawah. Spirometri dapat memonitor pernapasan dan mengukur volume tidal, dan juga dapat memberikan gambaran informasi mengenai kapasitas vital. Spirometri juga dapat digunakan untuk mengukur kekuatan dan volume ekspirasi dan untuk menghitung rasio FEV/FVC. Namun, alat ini tidak bisa mengukur secara pasti total volume dalam paru, karena spirometer hanya dapat mengukur udara yang masuk dan keluar paru. Oleh, karena itu, penghitungan volume residual dan kapasitas fungsional residual tidak bisa menggunakan alat ini. Nilai positif menunjukkan ekspirasi, nilai negatif menunjukkan inspirasi. Tes spirometri sendiri pada dasarnya adalah tes yang sederhana, tergantung sepenuhnya kepada alat yang digunakan. Dengan alat ini, seseorang diminta untuk menghirup napas sedalam-dalamnya yang ia bisa lakukan, lalu kemudian udara dihembuskan ke dalam mesin sekeras yang ia mampu dan selama yang ia sanggup lakukan. Dengan alat yang terbaru saat ini, pasien diminta untuk bernapas secara normal melalui mouthpiece, kemudian dilanjutkan dengan cara yang sama. Untuk tes ini, filter mouthpiece digunakan untuk mencegah penyebaran kuman, serta juga digunakan soft clips untuk mencegah keluarnya udara melalui hidung. Tes ini dilakukan tiga sampai empat kali atau lebih untuk meyakinkan bahwa hasil yang didapatkan lebih akurat dan dapat dipercaya. Oleh karena tes ini sangat tergantung kepada si pasien, tes fungsi paru standar hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah cukup umur karena sudah dianggap cukup bisa mengerti dan mengikuti instruksi yang diberikan. TFP terhadap bayi yang baru lahir adalah mungkin, namun hal tersebut sepenuhnya merupakan proses yang terpisah yang memerlukan sedasi. Resistensi Paru dan Jalan Napas Aliran udara pada proses pernapasan tidak hanya tergantung pada gradien tekanan, tetapi juga pada resistensi. 𝐹= ∆𝑃 𝑅 F= laju aliran udara (airflow rate) ∆P= perbedaan antara tekanan atmosfer dan intra-alveolus R= resistensi saluran pernapasan, yang ditentukan oleh jari-jari Penentu utama resistensi terhadap aliran udara adalah jari-jari saluran pernapasan. Pada pembahasan sebelumnya kita mengabaikan resistensi saluran pernapasan karena pada sistem pernapasan yang sehat, jari-jari saluran pernapasan cukup besar, sehingga resistensi sangat rendah. Dengan demikian dalam keadaan normal gradien tekanan antara alveolus dan atmosfer merupakan faktor utama penentul laju aliran udara. Pada orang sehat, diameter sistem saluran udara cukup besar sehingga tahanan relatif rendah. Oleh karena itu, perbedaan tekanan atmosfer-intra-alveoli merupakan faktor utama yang menentukan kecepatan aliran udara. Beberapa faktor fisiologis dan patologis dapat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen saluran udara, sehingga tahanan jalan napas meningkat. Pada penyakit paru obstruktif terdapat peningkatan tahanan jalan napas, dibutuhkan perbedaan tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan aliran udara normal melalui peningkatan kerja otot-otot pernapasan. PPOK mencakup asma bronkialis, bronchitis kronis dan emfisema. Pada asma, hambatan saluran napas disebabkan oleh: konstriksi bronkiolus akibat spasme otot polos saluran napas, sumbatan oleh mucus kental, edema dinding saluran udara oleh histamine. Tabel 6. Perbedaan Bronkonkstriksi dan Bronkodilatasi Status jalan udara Tahanan jalan Penyebab udara Bronkokonstriksi lumen mengecil Faktor patologik: tahanan meningkat - Spasme jalan napas akibat alergi terhadap materi anafilaktik histamin - Sumbatan fisik jalan napas akibat mucus berlebih edema dinding bronkus kolaps saluran udara Bronkodilatasi lumen besar tahanan rendah Faktor fisiologik: - Rangsang parasimpatis - Kadar CO2 lokal rendah Faktor patologik: Faktor fisiologik: - Rangsang simpatis - Epinefrin - Kadar CO2 lokal rendah Patogenesis Patogenesis secara umum adalah hipersensitivitas tipe I. Faktor lingkungan, infeksi dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermitten ataupun asma persisten. Jenis Inflamasi Inflamasi Akut a. Reaksi asma tipe cepat (immediate reaction) Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi yang terjadi mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan PAF. Mediatormediator tersebut dapat menyebabkan bronkospasme (dominan), dan peningkatan produksi mukus melalui atau tanpa melalui refleks neurologis (vagal). b. Reaksi fase lambat Timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen. Fase ini ditandai dengan tibanya leukosit terutama eosinofil, neutrofil, dan lebih banyak sel T. Proses perekrutan leukosit-leukosit ini dilakukan oleh sel mast, sel T, sel epitel dan sitokin-sitokin. Sitokin-sitokin tersebut dihasilkan oleh sel epitel yang diinduksi oleh obat, gas ataupun agen infeksi. Inflamasi Kronik Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah Limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast, dan otot polos bronkus. 1. Limfosit T Limfosit T CD4+ berperan dengan mengeluaran sitokin antara lain IL-4, IL-3, IL-5, IL13 dan GM-CSF. IL 4 dapat menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5, dan GM-CSF berepran dalam maturasi, aktivasi, dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. 2. Sel Epitel Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endhotelin, nitric oxide synthase, sitokin atau kemokin. Epitel pada asma dapat mengalami sheeding. Mekanisme nya masih diperdebatkan namun dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen-free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel. 3. Eosinofil Eosinofil jaringan (tissue eosinofil) karakteristik untuk asma namun tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sitokin seperti IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa, serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL3, IL5, dan GM CSF meningkatkan maturasi, aktivasi, dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein adalah ECP, MBP, EPO, dan EDN yang toksik terhadap epitel saluran napas. 4. Sel mast Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan "factors" pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediators antar lain prostaglandin D2 dan leukotrien. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antar lain TNfalfa, IL-3, IL-4, IL-5, dan GM-CSF. 5. Makrofag Merupakan sel terbanyak. didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrien, PAF, serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodelling. Peran tersebut melalui sekresi growth promoting factors untuk fibroblast, sitkoin, PDGF, dan TGF-beta. Airway Remodelling Proses inflamasi kronik pada asma kana menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan dan menghasilkan perbaikan dan pergantian sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injury dengan jenis sel parenkim yang sama dan jaringan ikat. Kedua proses tersebut berontribusi dalam proses airway remodelling. Perubahan struktur yang terjadi antara lain: a. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos bronkospasme berat b. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus peningkatan sekresi mukus c. Adanya sel-sel inflamasi yang persisten inflamasi kronik d. Peningkatan fibrogenic growth factor deposisi kolagen pada RBM dan ECM e. Elastolysis penurunan elastisitas saluran napas Gejala Klinis Gejala pasien asma sangat bervariasi, yaitu batuk berulangm sesak napas, rasa berat di dada, napas berbunyi (mengi/wheezing). Mengi pada umumnya bilateral, polifonik, dan lebih terdengar pada fase ekspirasi. Pada beberapa pasien dengan obstruksi jalan napas yang tidak berat, intensitas mengi tidak keras, nada tidak tinggi dan hanya terdengar pada saat ekspirasi. Semakin berat obstruksi jalan napas yang terjadi, intensitas semakin keras, nada semakin tinggi, dan terdengar di kedua fase pernapasan (inspirasi dan ekspirasi). Namun, pada obstruksi jalan napas yang sangat berat, mengi tidak terdengar, dan biasanya pasien menunjukkan gejala gelisah, penurunan kesadaan, dan sianosis. Kondisi ini dikenal dengan istilah silent chest. Gejala-gejala ini juga dialami oleh penyakit pernapasan lain, misalnya bronkitis, PPOK, dan lain-lain. Pola yang dialami oleh penderita asma, yang cukup khas adalah episodik, variabilitas, reversibel. 1. Episodik: Serangan yang berulang, dan diantara serangan terdapat periode bebas serangan. 2. Variabilitas: Bervariasinya kondisi asma pada waktu-waktu tertentu seperti perubahan cuaca dan provokasi faktor pencetus. Variasi dapat terjadi dalam 1 hari misalnya dengan perburukan pada pagi hari atau malam hari. 3. Reversibel: Meredanya gejala asma dengan atau tanpa obat bronkodilator. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dominasi obstruksi disebabkan oleh kontraksi otot polos bronkus. Selain itu, kondisi lain yang juga dapat mendukung diagnosis adalah, 1. 2. 3. 4. Gejala disertai rinitis alergi Gejala atopi (misal konjungtivitis alergi, dermatitis atopi) Riwayat alergi dalam keluarga Batuk pilek yang berlangsung lama dan sering terjadi komplikasi pada saluran napas bawah Secara klinis, gejala yang juga dapat menguatkan diagnosis asma adalah ditemukannya keluhan berikut pada eksaserbasi akut, yaitu peningkatan nadi dan frekuensi napas, penggunaan otot-otot bantu napas, serta pulsus paradoksus. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis asma membutuhkan penunjang standar dan penunjang tambahan. 1. Pemeriksaan penunjang standar a. Spirometri Pemeriksaan spirometri adalah salah satu metode yang direkomendasikan untuk menilai fisiologi paru. Pemeriksaan ini sangat bergantung dari usaha pasien, untuk dapat melakukan manuver yang tepat, serta sangat membutuhkan pemeriksa yang ahli. Pada pemeriksaan ini dinilai 2 hal, yaitu penilaian obstruksi jalan napas dan penilaian reversibilitas. Pemeriksaan obstruksi jalan napas, berdasarkan rasio VEP1 dan KVP, nilai normalnya adalah diatas 75-80%. Sedangkan reversibiltas menilai perubahan cepat dari VEP1 atau APE setelah diberikan bronkodilator. Perubahan sebesar 12% dan 200 ml mengindikasi adanya obstruksi akibat kontraksi otot polos. b. Pengukuran APE (Arus Puncak Ekspirasi) Metode lain yang dapat dilakukan untuk menilai diagnosis asma adalah pengukuran APE. Kelebihan pengukuran ini adalah tidakmahal, portable, dan mudah dipakai. Pengukuran APE tidak sama dengan VEP1, dan tidak cukup baik menggambarkan derajat obstruksi jalan napas. Pengukuran APE digunakan untuk menilai reversibiltas, bila perubahan ≥ 60l/menitn atau 20% setelah penggunaan brnkodilator dan variabilitas, yang diukur pada pagi hari (nilai terendah), dan malam hari (nilai tertinggi). 2. Pemeriksaan penunjang tambahan a. Uji provokasi bronkus untuk menilai hipereaktivitas bronkus. Uji ini dilakukan pada pasien dengan gejala sesuai asma, namun pemeriksaan fisik dan faal paru normal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cari inhalasi metakolin atau histamin sebagai zat provokasi. Penurunan VEP1 20% menunjukan adanya hiperreaktivitas bronkus. Pemeriksaan ini sensitif namun kurang spesifik. b. Uji alergi untuk menilai status alergi. Penyakit asma memiliki hubungan erat dengan rinitis alergi, sehingga kondisi alergi meningkatkan probabilitas asma. Uji ini dilakukan dengan menusukan kulit dengan alergen (skin prick test). c. Pemeriksaan serum IgE spesifik. Pemeriksaan ini relatif mahal, dan mempunyai keterbatasan dalam menilai status alergi. Konfirmasi terhadap pajanan harus dilakukan. Pengukuran IgE total tidak mempunyai nilai sebagai uji diagnostik alergi atau atopi. Diagnosis Banding 1. 2. 3. 4. 5. Sindrom hiperventilasi dan serangan panik Obstruksi saluran napas atas dan benda asing Disfungsi pita suara Bronkitis kronik PPOK 6. Bronkiolitis 7. Diffuse Parenchymal Lung Disease 8. Kondisi lain bukan respirasi (misal gagal ventrikular) BAB III PENATALAKSANAAN ASMA Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas seharihari. Adapun bila dirinci, tujuan asma antara lain sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma Mencegah eksaserbasi akut Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise Menghindari efek samping obat Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel Mencegah kematian karena asma Penatalaksanaan asma ditujukan untuk mengontrol penyakit, dengan kriteria asma dikatakan terkontrol bila: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan) Variasi harian APE kurang dari 20 % Nilai APE normal atau mendekati normal Efek samping obat minimal (tidak ada) Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat Bila asma telah berada pada tahapan terkontrol, maka kondisi ini harus terus diupayakan tetap stabil melalui dilakukannya pemantauan lanjutan dan dipertahankannya pengobatan setidaknya selama beberapa bulan. Umumnya pasien akan diminta melakukan kunjungan setiap 1 – 3 bulan, kemudian dalam waktu 3 – 4 bulan dinilai perbaikan kondisinya. Bila dirasa perlu, maka penderita dapat ditingkatkan tahapannya. Tatalaksana tersebut dapat dilakukan melalui intervensi farmakologis maupun non farmakologis. Terapi Farmakologis Ditinjau dari aspek farmakologis, pengobatan pada asma disesuaikan dengan penilaian pada pasien. Adapun pengobatan dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahapan Pengobatan Asma Tahap 1 didefinisikan sebagai kemunculan gejala asma yang sangat jarang, dimana tidak ada gejala dan ditemukan faal paru normal di antara episodik, dan belum ada riwayat pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi. Pada pasien dalam tahapan ini, diberikan pengobatan pelega (reliever) jika perlu, yaitu inhalasi Short Acting Beta – 2 Agonists (SABA). Contoh SABA yang sering digunakan adalah salbutamol 100 μg/kali, terbutalin 0,5 mg/kali, prokaterol 20 μg/kali, dan fenoterol 100 μg/kali. Di samping itu, dapat pula diberikan SABA oral atau kombinasi dengan teofilin / aminofilin / antioklineergik kerja singkat. Sesuai namanya, obat ini bekerja dengan cara aktivasi reseptor β2 yang menimbulkan efek relaksasi otot polos bronkus. Efek samping yang umumnya dapat ditemukan antara lain tremor, rasa gugup, khawatir, takikardia, palpitasi, nyeri kepala, mual, ataupun muntah, yang umumnya jarang terjadi pada pemberian secara inhalasi. Pemberian obat ini harus dilakukan secara hati – hati pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, hipertiroid, maupun diabetes. Tahap 2 ditujukan bagi penderita asma dengan gejala dan eksaserbasi periodik, sehingga dalam hal ini dibutuhkan pengontrol kortikosteroid inhalasi dokter rendah dan pelega (SABA) hanya jika diperlukan. Alternatif yang dapat diberikan adalah leucotrien modifiers / anti – leukotrien, dengan indikasi utama pasien yang mengalami efek samping pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dan rinitis alergika dominan. Pada pasien dengan asma nokturnal, dapat pula diberikan teofilin lepas lambat. Pilihan kortikosteroid yang dapat digunakan beserta dosisnya terangkum pada tabel 7. Tabel 7. Dosis Harian Kortikosteroid untuk Tatalaksana Asma Kortikosteroid Inhalasi Beklometason dipropionat Budesonid Siklesonid Flunisolid Flutikason Mometason Furoate Triamsinolon Dosis Rendah (μg) 200 – 500 200 – 400 80 – 160 500 – 1000 100 – 250 200 – 400 400 – 1000 Dosis Sedang >500 – 1000 400 - 800 160 – 320 1000 – 2000 250 – 500 400 – 800 1000 – 2000 Dosis Tinggi 1000 – 2000 800 – 1600 320 – 1280 > 2000 500 – 1000 800 – 1200 > 2000 Tahap 3 dimulai bila tidak ditemukan masalah pada cara penggunaan obat, kepatuhan, serta faktor lain dari penderita, akan tetapi masih menunjukkan gejala yang belum terkontrol dalam 12 minggu berada pada tahapan 2. Selain itu, tahap 3 juga dapat dimulai segera bila gejala sering muncul. Pada tahapan ini, diberikan kombinasi antara inhalasi kortikosteroid dosis rendah dan Long Acting Beta – 2 Agonists (LABACS). Contoh LABA yang sering digunakan adalah indacaterol dan procaterol. Alternatif yang dapat diberikan adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang, ataupun dosis rendah yang dikombinasikan dengan anti leukotrien maupun teofilin lepas lambat. Bila pasien yang berada pada tahap 3 tidak juga terkontrol, pasien perlu segera dirujuk ke dokter spesialis yang ahli dalam penanganan asma. Tahap 4 adalah fase lanjutan yang pasti didahului oleh tahapan sebelumnya, yaitu pada tahap 3 yang belum terkontrol. Pengobatan yang diberikan adalah kombinasi inhalasi kortikosteroid dosis sedang - tinggi dengan LABA. Apabila kortikosteroid yang diberikan pada kombinasi memiliki dosis tinggi, masa pengobatan pun harus dibatasi hanya untuk 3 – 6 bulan saja. Anti leukotrien dan teofilin lepas lambat dapat dipertimbangkan untuk diberikan bila ternyata memang dibutuhkan. Ketika pengobatan dengan tahap 4 masih belum dapat mengontrol asma, dalam hal ini penderita mengalami keterbatasan beraktivitas disertai eksaserbasi sering, maka tatalaksana dilanjutkan pada tahap 5. Pada tahap 5, dilakukan adisi kombinasi obat dengan kortikosteroid oral dosis terendah, misalnya metilprednisolon, maupun anti IgE dapat dipikirkan. Adapun pada keseluruhan rangkaian terapi ini, pengkajian pada kepatuhan, cara penggunaan obat, komorbiditas, serta pencetus harus selalu menjadi perhatian. Setiap prinsip yang dilakukan juga sebaiknya disesuaikan dengan biaya, kepuasan, serta efek samping yang muncul pada penderita. Setelah dilakukan pengobatan, dilakukan monitor pada kondisi pasien selama beberapa bulan. Pada umumnya, bergantung kepada kondisi pasien, dokter akan memutuskan untuk menurunkan, menghentikan, maupun meningkatkan pengobatan. Terapi untuk Eksaserbasi Akut Eksaserbasi didefinisikan sebagai episodik perburukan yang ditandai dengan meningkatnya gejala disertai penurunan arus ekspirasi melalui pemeriksaan faal paru. Adapun tatalaksana awal yang diberikan terdiri atas pemberian oksigen dengan target saturasi oksigen mencapai 90% pada orang dewasa dan 95% pada anak – anak. Di samping itu, diberikan pula bronkodilator berupa SABA secara nebulisasi sebanyak maksimal 3 kali dalam 1 jam dengan rentang waktu 15 – 20 menit. Bronkodilator diindikasikan karena efek bronkodilatasi yang kuat dan onset kerja yang cepat. Adapun cara pemberian yang dianjurkan adalah inhalasi dengan IDT memakai spacer. Dalam praktiknya, SABA seringkali dikombinasikan dengan antikolinergik, yaitu ipratropium bromide. Bila masih belum menunjukkan hasil yang optimal, dapat diberikan aminofilin secara bolus intravena secara perlahan – lahan dengan dosis 5 – 6 mg/kg BB dilanjutkan dengan drip dosis 0,5 – 0,9 mg/kgBB/jam. Kortikosteroid juga diindikasikan pada kejadian eksaserbasi akut, terutama apabila belum ditemukan respons optimal dengan bronkodilator, eksaserbasi pada terapi kortikosteroid oral, serta kondisi eksaserbasi berat. Efek yang ditimbulkannya bukanlah bronkodilatasi secara langsung, melainkan hambatan produksi kemokin, sitokin, eikosanoid, hambatan pada peningkatan basofil, eosinofil, dan leukosit lain di jaringan paru, serta menurunkan permeabilitas vaskular. Pada umumnya, pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan pun dapat dibenarkan, terutama apabila terdapat kondisi yang mengancam jiwa pasien. Namun, perlu diperhatikan bahwa penghentian tiba – tiba atau penggunaan kortikosteroid berkepanjangan diketahui berhubungan dengan meningkatnya risiko infeksi, hipertensi, ulkus lambung / duodenum, hiperglikemia, dan osteoporosis. Pada praktik sehari – hari, pemberian yang dianjurkan adalah prednison oral 50 mg, metilprednisolon 125 mg intravena, atau hidrokortison 500 mg intravena. Setelah terapi, kembali dilakukan monitor pada kondisi pasien. Dalam 1 – 2 jam berikutnya, kembali dilakukan penilaian untuk melihat apakah diperlukan tindakan selanjutnya. Bila pengobatan berespons baik dan pasienn telah stabil, pasien dapat dipulangkan. Terapi Non Farmakologis Di samping terapi secara farmakologis, dapat pula dilakukan terapi secara non farmakologis, di antaranya: 1. Edukasi pasien Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma. Edukasi yang baik akan menurunkan morbidity dan mortality, menjaga penderita agar tetap masuk sekolah / kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena berkurangnya serangan akut terutama jika membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat / perawatan rumah sakit. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk : meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri) meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma) meningkatkan kepuasan meningkatkan rasa percaya diri meningkatkan kepatuhan (compliance) membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma Bentuk pemberian edukasi dapat beraenka ragam, mulai dari komunikasi / nasehat saat berobat, penyuluhan, latihan / training, supervisi, diskusi, tukar menukar informasi (sharing of information group), film/video presentasi, serta leaflet, brosur, dan buku bacaan. Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, oleh karenanya, upaya meningkatkan kepatuhan pasien perlu untuk dilakukan, yaitu dengan: 1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien 2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin, kaitkan dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru). 3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien. 4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma. 5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien, sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret. 6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan. 7. Mengajak keterlibatan keluarga. 8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma 2. Pengukuran peak flow meter Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada : 1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah. 2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter. 3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa. Pada asma mandiri, pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan seperti : Mengetahui apa yang membuat asma memburuk Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian obat Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD 4. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus 5. Pemberian oksigen 6. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak 7. Kontrol secara teratur 8. Pola hidup sehat, dapat dilakukan dengan : Penghentian merokok Menghindari kegemukan Kegiatan fisik misalnya senam as ma Pencegahan Pencegahan pada asma meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier 1. Pencegahan Primer Mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma 2. Pencegahan Sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma 3. Pencegahan Tersier Mencegah agar tidak terjadi serangan / manifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma Komplikasi 1. Pneumothoraks 2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis 3. Atelektasis 4. Aspergilosis bronkopulmonar alergik 5. Gagal nafas 6. Bronchitis 7. Fraktur iga Prognosis Nilai mortalitas akibat asma termasuk rendah. Dari studi epidemiologi, didapatkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Namun, angka kematian cenderung meningkat di daerah dengan fasilitas kesehatan yang terbatas. Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma dengan usia 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19 persen). Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma tidak progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan fungsi paru yang irreversible, pasien ini seringkali memiliki rangsangan komorbid seperti perokok berat. Bahkan jika tidak diobati, pasien asma tidak akan berubah dari penyakit yang ringan menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa penelitian mengatakan bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen pasien yang menderita penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih diharapkan membaik dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang sewaktu pasien di usia tua. DAFTAR PUSTAKA 1. Sherwood L. Sistem Pernapasan. In: Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Pendit BU, Santoso BI, eds. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.p.430.2. 2. Ganong WF. Fungsi Paru. In: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Widjajakusumah D, Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit BU, eds. 20th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.p.627-9. 3. Guyton AC, Hall JE. Ventilasi Paru. In: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.p.603-4. 4. PDPI. Asma: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2004 5. DAI. Pedoman Tatalaksana Asma. Jakarta: Dewan Asma Indonesia; 2006. 6. Goodman & Gilman’s the Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th edition. New York: McGraw Hill; 2001.p.297-315. 7. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. hal. 66-82, 273-97.