BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul: E-mail Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata, mengingat alasan sebagaimana dikemukakan di bawah ini; Hukum mendikte (the law dictates) Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibentuk untuk mengatasi kendala tidak dikenalnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik serta hasil cetakannya sebagai alat bukti dalam sengketa transaksi elektronik agar tidak terjadi kekosongan sarana menindak perbuatan melawan hukum di bidang teknologi informasi dan dalam prespektif asas konvergensi, menindak pula perbuatan melawan hukum dalam bidang Telekomunikasi.1 Sehingga perbuatan melawan hukum di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik dapat diselesaikan melalui antara lain penyelesaian gugatan perdata di pengadilan. E-mail sama berharganya dengan surat tertulis yang dibuat seseorang.2 Teknologi informasi menimbulkan dampak yang positif maupun negatif di dalam masyarakat. Dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi tersebut adalah adanya peningkatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi tersebut. Ada semacam keyakinan disementera kalangan bahwa saat ini PMH menggunakan teknologi informasi sudah tidak 1 Mengenai asas konvergensi, lihat Penjelasan Umum UU ITE dan Penjelasan Umum UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. 2 Lihat Pasal 5 Ayat (1) UU ITE, “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah”. 1 lagi sulit dalam menuntut ganti rugi oleh pihak yang dirugikan dari penggunaan teknologi informasi. Setelah diundangkannya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 21 April 2008, empat bulan kemudian, yaitu pada Agustus 2008 telah terjadi dugaan PMH terhadap Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut. Seorang warga Jakarta bernama Prita Mulyasari3, diduga telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 45 Ayat (1) jo. Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dan juga diduga telah melakukan PMH sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tindakan Prita membuat dan mengirim email ke alamat e-mail [email protected] dengan judul “Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang” menyebarluaskan ke berbagai alamat email lain, isi e-mail yang diduga melanggar hak-hak pribadi (kehormatan dan nama baik) dokter yang menangani Prita dan Rumah Sakit OMNI Internasional Hospital Alam Sutera4. Perkara tersebut telah diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Putusan No. 300 K/Pdt/2010. Dalam rangka mendalami aspek hukum tentang pembuktian yaitu e-mail sebagai alat bukti maka Penulis mengangkat persoalan yuridis, Putusan No. 300 K/Pdt/2010 dengan judul E-mail Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata. Alasan kedua mengapa Penulis menulis judul di atas adalah, topik yang dipilih Penulis ini sebelumnya belum pernah dibahas sebagai suatu karya tulis kesarjanaan di Fakultas Hukum UKSW Salatiga, walaupun ada penulis lain yang meneliti tentang 3 Untuk selanjutnya pihak itu hanya disebut Prita. 4 Untuk selanjutnya pihak itu hanya disebut OMNI. 2 hukum pembuktian kejahatan dunia maya (cyber crime). Penulisan tentang hukum pembuktian kejahatan dunia maya tersebut ditulis oleh Aryo Fajar Hendrawan dengan judul Pengaturan Alat Bukti Elektronik dalam Pembuktian Kejahatan Dunia Maya (Cyber crime). Sedangkan dalam penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan ini Penulis meneliti tentang bagaimana alat bukti elektronik dalam pembuktian dugaan PMH dunia maya (cyber delict)5 dan juga problematika dan jalan untuk mengatasi hal itu di dalam penggunaan alat bukti elektronik. Selain itu penulisan hukum pembuktian kejahatan dunia maya juga pernah ditulis oleh Henry Nugraha dengan judul Pembuktian Tindak Pidana Siber dalam Prespektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam penulisan itu penulis tersebut meneliti tentang bagaimanakah sistem pembuktian tindak pidana siber (cybercrime) dalam prespektif UU ITE, serta siapakah pihak yang berwenang (yang memiliki kapasitas dan kekuasaan) untuk melakukan penyidikan terhadap dugaan adanya tindakan pidana siber. Sedangkan dalam Skripsi Penulis, diteliti bagaimana e-mail sebagai alat bukti dalam perkara PMH. Kedua skripsi di atas meneliti hukum pembuktian pada perkara pidana, sedangkan dalam penulisan skripsi ini, Penulis meneliti hukum pembuktian menurut prespektif hukum acara perdata dengan menggunakan e-mail sebagai alat bukti, baik dari sudut pandang pembuktian menurut acara perdata pada umumnya dan pembuktian menurut asas-asas dan kaidah, baik yang diatur dalam UU ITE maupun UU Telekomunikasi. 5 Bahasa inggris hukum siberdelict Penulis ambil dari delict dalam sistem hukum Skotlandia yang sama dengan perbuatan melawan hukum di Indonesia. Istilah lain, menurut Penulis, dapat juga dipakai sibertort yang diambil dari kata tort yang sama artinya dengan perbuatan melawan hukum. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Buku Jeferson Kameo, S.H., LLM, Ph.D., Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. 3 1.2. Latar Belakang Masalah Dalam hal pelanggaran hak-hak perdata tersedia berbagai macam sarana penyelesaian sengketa, baik litigasi yaitu penguasa dapat mengambil tindakan,6 kepada setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin mempertahankan atau membelanya maupun melalui sarana non-litigasi secara konsensual di luar pengadilan oleh para pihak. Menurut undang-undang yang berlaku, pengadilan berwenang untuk bertindak setelah ada gugatan dari Penggugat.7 Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang dianggap merugikan dirinya melalui pengadilan. Dengan beberapa pengecualian, yaitu, orang yang belum cukup umur atau belum dewasa, orang yang berada di bawah pengampuan, serta orang yang pemboros dan pemabuk. Selain itu, badan hukum juga dapat menjadi pihak dalam suatu perkara perdata dimana yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum tersebut adalah direkturnya.8 Dalam peradilan perdata, tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Dengan demikian menjadi tugas pokok hakim dalam perkara perdata adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. 9 Artinya dalam perkara perdata hanya akan ada putusan hakim bila ada gugatan dari penggugat. Putusan perkara perdata berisi pemenuhan tuntutan penggugat apabila tuntutannya tersebut 6 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, PT. Intermasa, Jakarta, 1978, hlm. 9. 7 R. Soeroso, S.H., Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidagan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 11. 8 M. Nur Rasaid, S.H., Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 9. 9 Ibid, hlm. 15. 4 dikabulkan oleh hakim dengan tidak menambah atau menguranginya, atau sebaliknya segala tuntutan dari penggugat tidak dipenuhi oleh hakim.10 Keadaan tersebut di atas sesuai pula dengan isi dari Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) R.Bg yang bunyinya antara lain sebagai berikut:11 “Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut”, atau ultra petita. Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara perdata yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya juga hukumnya. Peraturan hukum bersifat menentukan, juga peristiwanya.12 Artinya untuk dapat menyelesaikan suatu perkara perdata hakim harus mengetahui alur peristiwa yang sebenarnya terjadi dari sengketa yang diajukan kepadanya sebagai pertimbangan dalam memberikan putusan. Peristiwa yang sebenarnya terjadi akan diketahui oleh hakim melalui pembuktian, dengan alat bukti. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan apa yang menjadi dasar tuntutannya. Hakim yang memeriksa perkara itu akan menentukan pihak-pihak mana yang berperkara yang harus membuktikan, baik penggugat maupun tergugat.13 Sementara itu, membuktikan dalam arti yuridis tidak lain memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi 10 A. Pitlo, Op. Cit., hlm 9. 11 M. Nur Rasaid, S.H., Op. Cit., hlm. 17. 12 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979, hlm. 146. 13 Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 116. 5 kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.14 Artinya pihak-pihak yang berperkara harus meyakinkan hakim mengenai kebenaran-kebenaran yang menjadi dasar tuntutan atau kebenaran-kebenaran yang digunakan untuk menyanggah tentang kebenaran yang menjadi dasar tuntutan yang disampaikan dalam suatu perkara perdata di pengadilan. Pembuktian dalam acara perdata konvensional menggunakan alat-alat bukti yang sah sesuai peraturan perundang-undangan Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Pasal 284 Rechtsreglement Buitengewestn (R.Bg), Pasal 1866 Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie (BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu: bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Alat bukti tertulis atau surat yang menuntun pembuktian dalam acara perdata konvensional15 adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang dipergunakan sebagai pembuktian.16 Bukti tulisan seperti dimaksud merupakan bukti yang utama dalam perkara perdata. Ada dua macam surat sebagai alat bukti, yaitu: akta otentik, akta di bawah tangan. Akta sengaja dibuat untuk dijadikan bukti. Suatu akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. 14 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 93, lihat juga John Z. Loudoe, S.H, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 149. 15 Dalam skripsi ini, berbeda dengan acara perdata konvensional, Penulis menggunakan acara perdata siber sebagaimana diatur dalam UU No. 11 tahun 2008 jo. UU No. 36 tahun 1999 konsekuensi dari asas konvergensi. 16 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 105. 6 Bahwa suatu surat, untuk dapat dinamakan akta, mesti mempunyai tandatangan.17 Artinya akta mempunyai kekuatan bukti yang sempurna apabila isi dan tandatangan dari akta tersebut diakui oleh pihak yang membuat akta tersebut. Jika pihak itu, baik manusia maupun badan hukum masih ada, belum meninggal dunia atau bubar.18 Alat bukti saksi adalah alat bukti dengan kesaksian yaitu dengan memberikan suatu kepastian terhadap suatu peristiwa yang diperkarakan dengan membuktikannya secara lisan oleh orang dalam perkara. Kesaksian ini sangatlah penting karena tidak semua perbuatan dilakuakan secara tertulis melainkan dilakukan dengan dihadiri oleh saksi-saksi. Apabila dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sukar untuk mendapatkan saksi yang melihat, mendengar atau merasakan sendiri maka peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan agar dapat dibuktikannya dengan persangkaan-persangkaan. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti.19 Pengakuan yang dilakuakan di depan sidang (di muka hakim) memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya. Artinya bahwa hakim harus mengangap dali-dalil yang telah dikemukakan dan diakui itu adalah benar dan mengabulkan segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. 17 A. Pitlo, Op. Cit., hlm. 52, lihat juga Prof. Ali Afandi, S.H., Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 196. 18 Orang yang sudah tahu bahwa suatu subyek hukum yang ikut membuat suatu akta telah meninggal dunia atau badan hukum maupun perkumpulan yang sudah bubar namun orang tersebut masih juga bertanya atau meminta konfirmasi dan kesaksian kepada subyek hukum yang telah meninggal dunia atau bubar, mengalami gangguan kejiwaan yang serius. 19 Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 77. 7 Sedangkan pengakuan di luar sidang, perihal penilaian terhadap kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim atau dengan kata lain merupakan bukti bebas.20 Sedangkan sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh Tuhan. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang dipergunakan dalam peradilan.21 Pembuktian merupakan suatu aspek yang memegang peranan penting dalam suatu proses peradilan. Dalam tahap pembuktian ini para pihak diberikan kesempatan untuk menunjukkan kebenaran terhadap fakta atau peristiwa hukum yang merupakan titik sengketa. Para pihak yang mampu menunjukkan alat bukti yang sah seperti yang telah dikemukakan di atas maka akan mendapatkan kemenangan, demikian pula sebaliknya. Pembuktian merupakan suatu tahap yang sangat berpengaruh terhadap putusan hakim. Hakim akan memeriksa dan memutus perkara berdasarkan keyakinan hakim memperhatikan alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Tidak semua alat bukti bisa diterima oleh hakim, kecuali alat bukti tersebut merupakan alat bukti yang sah dalam proses persidangan.22 Sengketa sistem elektronik secara yuridis tidak mudah diselesaikan dengan adil apabila pembuktiannya hanya didasarkan pada alat-alat bukti hukum acara perdata konvensional sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866 20 M. Nur Rasaid, S.H., Op. Cit., hlm. 43. 21 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 136. 22 Bachtiar Effendie, S.H., Masdari Tasmin, S.H., dan A. Chodari, ADP, S.H., Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 49. 8 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas namun, harus pula diimbangi dengan perluasan alat-alat bukti berupa alat bukti elektronik. Hal ini telah diatur dalam Pasal 5 UU ITE dan penjelasannya bahwa: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.23 Selanjutnya, informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud di atas merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.24 Kemudian, informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ITE.25 Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku untuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.26 Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Sistem elektronik ini sangat erat hubungannya dengan komputer dan 23 Lihat Pasal 5 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. 24 Lihat Pasal 5 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, lihat juga Dr. Ermansjah Djaja, S.H., Msi., Penyelesaian Sengketa Hukum Teknologi Informasi dan Transaksi Elektrik, Pustaka Timur, Yogyakarta, 2010, hlm. 59. 25 Lihat Pasal 5 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. 26 Lihat Pasal 5 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Penelitian Jeferson Kameo, S.H., LLM., Ph.D., terhadap hal ini menyebut requirement of writing. Lihat penelitian individuil, Faculty of Law and Financial Studies University of Glasgow 2001-2005. 9 jaringannya (internet). Pada hakekatnya segala sesuatu yang lalu-lalang di internet merupakan pertukaran informasi dari berbagai pihak.27 Pemerintah telah membuat aturan berupa Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai pengakuan terhadap perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan terhadap alat bukti ini adalah dengan diakuinya informasi dan/atau dokumen elektronik beserta hasil cetakannya sebagai alat bukti sah di pengadilan. Beberapa hal yang perlu diketahui dalam Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berkaitan dengan alat bukti adalah yang terdapat pada Pasal 5 di atas yang mengatur Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini, dan juga ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk: surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Sedangkan dalam Pasal 6 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga menyatakan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi 27 Merry Magdalena dan Maswigranoto Roes Setiyadi, Cyberlaw Tidak Perlu Takut, Andi Offset, Yogyakarta, 2007, hlm. 23. 10 yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Dengan adanya Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka timbullah suatu pengakuan terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik beserta hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, sehingga sekarang ini alat bukti di pengadilan bertambah satu yang sebelumnya belum pernah ada. Bagaimanakah hal tentang alat bukti dalam pembuktian perkara perdata dengan menggunakan hukum mayantara (UU No. 11 tahun 2008) dalam proses pengadilan dalam Perkara No. 300/K/Pdt/2010? Hal inilah yang telah menjadi latar belakang Penulis merumuskan masalah sebagaimana dikemukakan dibawah ini; 1.3. Rumusan Masalah Bagaimanakah kedudukan e-mail sebagai alat bukti dalam perkara perdata? 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan memperjelas bagaimana kedudukan e-mail sebagai alat bukti dalam perkara perdata. 1.5. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum, dimaksudkan untuk mencari dan menemukan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip hukum yang mengatur kedudukan e-mail sebagai alat bukti dalam perkara perdata, dan perbandingan E-mail sebagai alat bukti dalam perkara pidana. 11 Satuan amatan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yaitu Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewestn (R.Bg), Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie (BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), UU ITE, Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan peraturanperaturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan putusan perkara perdata yang menggunakan e-mail sebagai alat bukti yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 300/K/Pdt/2010 tentang putusan kasasi kasus gugatan perdata Rumah Sakit OMNI Internasional Hospital Alam Sutera (OMNI) yang dimohonkan oleh Prita Mulyasari (Prita) juga putusan perkara pidana yang menggunakan e-mail sebagai alat bukti yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 822 K/Pid.Sus/2010 tentang putusan kasasi kasus pidana dengan terdakwa Prita. Sedangkan yang menjadi analisis adalah bagaimana kedudukan e-mail atau dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilan perdata. 12