KARYA ILMIAH ASPEK HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KOMISI MENURUT KUH PERDATA Oleh : Eko Yudhistira, SH, MKn FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 1 Universitas Sumatera Utara 2 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya bagi penulis, hingga selesainya penulisan karya ilmiah dengan judul “Aspek Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Komisi Menurut KUH Perdata”. Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu tulisan ini juga jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan ilmu dan kemampuan yang ada. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik yang membangun dari semua pihak demi perbaikannya dikemudian hari. Dan semoga tulisan ini dapat menambah cakrawala bagi kita sekalian. Medan, Maret 2016 Eko Yudhistira, SH, MKn Universitas Sumatera Utara 3 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................. 1 B. Perumusan Masalah......................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 5 A. Pengertian Wanprestasi ................................................... 5 B. Sebab-sebab Terjadinya Wanprestasi............................. 8 C. Bentuk-bentuk Wanprestasi ............................................. 14 D. Akibat Hukum Wanprestasi ............................................. 17 E. Pengertian Komisioner ..................................................... 20 F. Tugas dan Tanggungjawab Komisioner ......................... 21 G. Berakhirnya Perjanjian Komisi ......................................... 23 : BAB II : BAB III : AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KOMISI ................................................................................... A. Hal-hal yang Diperjanjikan Dalam 30 Perjanjian Komisi ............................................................................... 30 Universitas Sumatera Utara 4 B. Tinjauan Hukum Tentang Wanprestasi Pada Perjanjian Komisi ............................................................. 36 C. Akibat Hukum Bagi Para Pihak yang Melakukan Wanprestasi dan Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan ........................................................................... 38 KESIMPULAN ........................................................................ 47 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 49 BAB IV : Universitas Sumatera Utara 5 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendistribusian atau pemasaran barang dan jasa hasil produksi merupakan suatu proses yang penting (urgent) dalam dunia perdagangan. Urgensi pendistribusian atau pemasaran disini, tidak hanya sebagai upaya sebuah perusahaan produksi barang atau jasa di dalam memperkenalkan hasil produksinya kepada masyarakat. Lebih dari itu, tujuannya adalah agar masyarakat (selaku konsumen) dapat memanfaatkan dan mempergunakan barang dan jasa hasil produksi tersebut. Dalam proses pendistribusian barang dan jasa kepada pihak konsumen, terdapat perusahaan produksi barang dan jasa yang tidak secara langsung melakukan pendistribusian dan atau pemasaran, melainkan hal ini dilakukan perusahaan tersebut dengan mempergunakan jasa dari pihak lain. Begitu juga sebaliknya, bahwa pihak konsumen tidak dapat secara langsung untuk membeli barang dan jasa yang dibutuhkan, sehingga harus mempergunakan pihak lain. Dalam prakteknya tergambar, bahwa perusahaan-perusahaan yang mempergunakan jasa pihak lain untuk mendistribusikan atau memasarkan barang dan jasa yang diproduksikan tersebut, adalah perusahaan- Universitas Sumatera Utara 6 perusahaan yang tergolong besar dan mempunyai ruang lingkup daerah pemasaran yang relatif luas, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Baik produsen maupun konsumen yang mempergunakan pihak lain atau memberikan kuasa kepada pihak lain dalam melakukan transaksi jual beli, dalam perjanjian komisi dikenal dengan sebutan komiten. Pemakaian ataupun pemanfaatan pihak lain (komisioner) ini dirasakan perusaah produksi dan jasa sebagai sesuatu hal yang penting yaitu di samping sebagai prestise perusahaan juga sebagai upaya untuk mempermudah mengkordinir dan mempercepat sampainya barang dan jasa ke tangan konsumen. Di samping latar belakang di atas, terjadinya pemanfaatan komisioner di dalam pendistribusian dan pemasaran barang dan jasa, juga disebabkan oleh perbedaan tempat yang relatif jauh antara si pembeli dengan si penjual sementara perdagangan itu harus juga terjadi, maka untuk melaksanakan transaksi perdagangan seorang penjual atau pembeli bertindak sebagai komiten menggunakan jasa komisioner dengan cara memberikan kuasa kepada komisioner untuk menjual atau membeli barang yang diingini oleh komiten. Namun harus diperhatikan, bahwa implementasi pemakaian komisioner oleh perusahaan di dalam mendistribusikan barang dan jasa yang diproduksinya atau oleh konsumen di dalam membeli barang dan jasa tersebut akan menimbulkan “beban dan atau kewajiban” dari perusahaan Universitas Sumatera Utara 7 atau konsumen yang mempergunakan jasa komisioner, yaitu beban dan atau kewajiban untuk membayar jasa yang telah diberikan oleh komisioner, dan biasanya hal ini terjadi dengan adanya perjanjian yang disepakati bersama antara pihak komiten dengan pihak komisioner. Secara yuridis, berdasarkan hukum perdata dan hukum dagang, diatur bentuk perjanjian yang dilakukan oleh komiten dengan komisioner, yang sering disebut dengan “perjanjian komisi”. Walaupun di atas diungkapkan bahwa terdapat pengaturan secara yuridis dari perjanjian komisi tersebut, namun di dalam prakteknya tidak jarang ditemui munculnya persoalan-persoalan hukum diantara para pihak. Persoalan hukum ini muncul dikarenakan para pihak ataupun salah satu pihak “ingkar” terhadap akibat hukum dari perjanjian yang telah disepakati. Keingkaran terhadap akibat hukum yang lahir dari perjanjian tersebut tidak hanya datang dari pihak komiten, tetapi juga keingkaran tersebut datang dari pihak komisioner. Persoalan hukum yang terjadi tersebut, tidak jarang pula penyelesaiannya terpaksa harus dilakukan melalui jalur peradilan. B. Perumusan Masalah Adapun perumusan masalah yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tinjauan hukum tentang wanprestasi yang terjadi di dalam perjanjian komisi. Universitas Sumatera Utara 8 2. Bagaimana akibat hukum jika salah satu pihak melakukan wanprestasi dan bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan wanprestasi dalam perjanjian komisi tersebut. Universitas Sumatera Utara 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yakni wanprastatie yang artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yag timbul karena undang-undang. Tujuan dari tiap-tiap orang mengikatkan diri terhadap orang lain, salah satu tujuannya adalah pemenuhan terhadap prestasi yang diinginkan oleh para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi tidaklah selamanya prestasi yang diinginkan oleh para pihak dalam suatu perjanjian dapat dipenuhi dengan baik. Tidak terpenuhinya prestasi tersebut dimungkinkan karena adanya tindakan salah satu pihak yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang mereka buat, yang akhirnya menempatkan pihak yang tidak memenuhi prestasi yang diperjanjikan tersebut pada posisi pihak yang ingkar janji. Kelalaian atau tidak melaksanakan prestasi seperti yang telah diperjanjikan sebagaimana dikemukakan di atas dalam ilmu hukum disebut dengan istilah wanprestasi. Universitas Sumatera Utara 10 Sehubungan dengan wanprestasi tersebut, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan, bahwa “Perkataan wanprestasi berarti ketiadaan suatu prestasi, dan prestasi dalam suatu hukum perjanjian berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian”. 1 Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi dalam setiap perikatan, sedangkan yang dimaksud dengan perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Abdulkadir Muhammad mengemukakan sedikit banyaknya tentang sifat-sifat prestasi adalah sebagai berikut : Prestasi adalah suatu esensi dari pada perikatan. Apabila esensi itu tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir, untuk itu perlu diketahui sifat-sifat prestasi yaitu : a. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. b. Harus mungkin c. Harus diperbolehkan d. Harus ada manfaatnya bagi kita e. Bisa terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika salah stu atau semua sifat itu tidak dipenuhi pada prestasi, maka perikatan out dapat menjadi tidak berarti, perikatan itu dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan. 2 Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa : a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. b. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. c. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat. 1 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Cetakan VI, Sumur, Bandung, 1974, 2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet. II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 17. hal. 34. Universitas Sumatera Utara 11 d. Melakukan sesuatu dilakukannya.3 yang menurut perjanjian tidak boleh Akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi suatu perikatan atau wanprestasi. Hal ini disebabkan seringkali para pihak pada waktu mengadakan suatu perjanjian tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Karena penentuan waktu ini sangat diperlukan di dalam suatu perikatan, dimana waktu untuk melaksanakan prestasi dapat menentukan kapan sebenarnya wanprestasi itu terjadi. Dalam suatu perjanjian untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah : “apabila seseorang itu melakukan perbuatan yang dilarang tersebut maka ia tidak memenuhi perikatan”. 4 Terhadap pihak yang melakukan wanprestasi paa umumnya diberikan peringatan (sommatie) oleh seorang juru sita dari pengadilan, yang memuat proses verbal tentang pekerjaan itu. Dalam hal peringatan tersebut cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan dipungkiri oleh si berutang. Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan : “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ia menetapkan 3 Djanius Djamin & Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas, Medan, 1991, hal. 189. 4 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. IX, PT. Intermasa, Jakarta, 1984, hal. 20. Universitas Sumatera Utara 12 bahwa si berutang akan harus dianggap dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan”. Suatu perikatan tidak perlu dilakukan jika dengan sendirinya si berutang pada suatu ketika sudah dapat dianggap lalai. Misalnya dalam hal suatu perjanjian untuk membuat pakaian mempelai, tetapi pada hari perkawinan, pakaian itu ternyata belum selesai. Jika prestasi tersebut berupa tidak melakukan suatu perbuatan, maka dengan melakukan perbuatan ini si berutang juga dengan sendirinya sudah lalai. Adakalanya juga bahwa dalam kontraknya sendiri sudah ditetapkan, kapan atau dalam hal-hal yang bagaimana si debitur dapat dianggap lalai, juga disini tidak diperlukan suatu peringatan (sommatie). Wanprestasi dalam suatu perjanjian akan hapus apabila telah dipenuhinya prestasi yang dikehendaki oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Artinya pemenuhan perjanjian akan menghapus wanprestasi. B. Sebab-sebab Terjadinya Wanprestasi Dalam uraian di atas dikatakan bahwa tidak dipenuhinya kewajiban yang merupakan wanprestasi itu, ada 2 (dua) kemungkinan yang menjadi alasan, yaitu : a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan, maupun karena kelalaian. Universitas Sumatera Utara 13 b. Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan debitur tidak bersalah. 5 Sejak kapan seorang debitur ini dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, sangat penting dipersoalkan, karena wanprestasi mempunyai akibat hukum-hukum tertentu bagi debitur yang bersangkutan. Dalam praktek hukum di masyarakat, untuk memenuhi sejak kapan debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah, oleh karena kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk berbuat (melakukan) sesuatu, kadang-kadang pihak-pihak tidak menentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan. Dipandang perlu untuk memperingatkan atau memberikan tegoran (sommitie/ingebrek estelling) kepada debitur agar ia memenuhi kewajibannya. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan, maka menurut ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Lain halnya dengan menetapkan kapan debitur wanprestasi pada perjanjian yang prestasinya bertujuan untuk tidak berbuat atau melakukan 5 Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 27. Universitas Sumatera Utara 14 sesuatu perbuatan. Apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar perjanjian dan sejak itu ia dalam keadaan melanggar wanprestasi. Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur, agar jika ia tidak memenuhi tegoran itu dapat dikatakan lalai, diberi petunjuk oleh Pasal 1238 KUH Perdata yang berbunyi : “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Selanjutnya Subekti mengemukakan yang dimaksud dengan surat perintah dalam Pasal 1238 KUH Perdata tersebut adalah : “Peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan, sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa (bukan resmi) yang tujuanya sama, yakni untuk memberi peringatan kepada debitur agar memenuhi prestasi dalam seketika. Dalam perkembangan selanjutnya perkataan akta sejenis itu sudah lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau tegoran yang boleh dilakukan secara lisan, agar cukup tegas menyatakan desakan kreditur terhadap debitur agar supaya memenuhi prestasi dengan seketika atau dalam waktu yang tertentu. Kemudian Mahkamah Agung dengan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 antara lain menyatakan bahwa Pasal 1238 KUH Perdata itu tidak berlaku lagi. Dalam Surat Edaran tanggal 5 September 1963 itu menyatakan bahwa Universitas Sumatera Utara 15 pengiriman turunan surat gugatan dapat dianggap sebagai penagihan karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya memenuhi kewajibannya sebelum sidang di pengadilan. gugatan dengan 6 Asalkan tenggang waktu antara diterimanya turunan surat gugatan oleh debitur selaku tergugat sampai pada hari sidang pengadilan dapat dipandang sebagai waktu yang pantas bagi debitur untuk memenuhi kewajibannya. Alasan kedua dari wanprestasi ialah keadaan memaksa (overmacht force majeur). Wanprestasi karena keadaan memaksa bila terjadi karena benda yang menjadi objek perikatan itu binasa atau lenyap, dapat juga terjadi karena perbuatan debitur untuk berprestasi itu terlarang. Pengaturan overmacht secara umum termuat dalam Bagian Umum III KUH Perdata yang dituangkan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Pasal 1244 Jika ada untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga pun tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya. 6 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Cetakan II, Alumni, Bandung, 1989, hal. 230. Universitas Sumatera Utara 16 Pasal 1245 Tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan terlarang”. Dari kedua pasal di atas, ternyata penanaman atau penyebutan keadaan memaksa berbeda-beda, meskipun menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata tersebut mempergunakan istilah berbeda-beda, dalam menyebutkan keadaan memaksa, namun tidaklah berbeda maksudnya. Tentang apa yagn dimaksud dengan keadaan memaksa, undangundang tidak merumuskannya. Pasal-pasal yang telah dikutip di atas hanyalah menerangkan, bahwa apabila seseorang tidak dapat memenuhi suatu perikatan atau melakukan pelanggaran hukum oleh keadaan memaksa (overmacht), maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Walaupun pengertian overmacht tidak dirumuskan dalam pasal undang-undang, tetapi dengan memahami makna yang terkandung dalam pasal-pasal KUHPerdata yang mengatur overmacht tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa overmach adalah suatu keadaan sedemikian rupa, karena keadaan mana suatu perikatan terpaksa tidak dapat dipenuhi sebagaimana mestinya dan peraturan hukum terpaksa tidak diindahkan sebagaimana mestinya. Abdul Kadir Muhammad, dalam bukunya merumuskan tentang pengertian overmacht sebagai suatu keadaan tidak dapat dipenuhinya Universitas Sumatera Utara 17 prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadinya pada waktu membuat perikatan”. 7 Para sarjana biasanya membedakan keadaan memaksa overmacht atas 2 (dua) macam, yaitu : a. Overmacht yang bersifat mutlak (absolut) b. Overmacht yang bersifat nisbi (relatif). Overmacht yang bersifat mutlak (absolut) adalah keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya apat dilaksanakan oleh debitur dengan pengorbanan-pengorbanan yang begitu besar, sehingga tidak lagi sepantasnya pihak kreditur menuntut pelaksanaan perikatan tersebut. 8 Overmacht dalam hubungannya dengan pelaksanaan perjanjian antara overmacht yang lengkap dan overmacht sebahagian, overmacht yang tetap dan overmacht sementara. Overmacht yang lengkap adalah overmacht yang menyebabkan suatu perjanjian seluruhnya tidak dapat dilaksanakan sama sekali. Sedangkan overmacht yang sebahagian adalah overmacht yang mengakibatkan dari perjanjian tidak dapat dilaksanakan. 7 8 Abdul Kadir Muhammad, Loc.Cit, hal. 27. Subekti, Op.Cit, hal. 56. Universitas Sumatera Utara 18 Selanjutnya yang disebut overmacht yang tetap adalah overmacht yang mengakibatkan suatu perjanjian terus-menerus atau selamanya tidak mungkin dilaksanakan. Sedangkan yang disebut overmacht yang sementara adalah overmacht yang mengakibatkan pelaksanaan suatu perjanjian ditunda dari pada waktu yang telah ditentukan semula dalam perjanjian. C. Bentuk-bentuk Wanprestasi Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan, maka ia wanprestasi. Wanprestasi sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, berasal dari bahasa “wanprastatie” yang artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yag timbul karena undang-undang. Menurut Subekti, wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam (bentuk) yaitu : a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian, atau tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan oleh undang-undang dalam hal perikatan itu timbul karena undang-undang. b. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. Disini debitur melaksanakan atau memenuhi upaya yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian. Universitas Sumatera Utara 19 c. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat. Disini debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.9 Berdasarkan bentuk-bentuk wanprestasi tersebut, maka bila disederhanakan bentuk-bentuk wanprestasi itu dapat berbentuk : a. Debitur sama sekali tidak berprestasi. b. Debitur keliru berprestasi. c. Debitur terlambat berprestasi. Ad.a. Debitur sama sekali tidak berprestasi Dalam hal ini, debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal ini dapat disebabka karena debitur memang tidak mau berprestasi atau dapat juga disebabkan karena kreditur objektif tidak mungkin berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi. Pada peristiwa yang pertama memang kreditur tidak dapat bertindak lagi berprestasi, sekalipun ia mau. Contohnya adalah kalau orang memesan gaun pengantin untuk pernikahannya tanggal 1 Agustus 2004, maka penyerahan gaun tersebut sesudah tanggal itu maka gaun itu sudah tidak ada gunanya lagi. Atas dasar itu debitur tidak dapat mengusulkan prestasinya. 9 Ibid, hal. 20. Universitas Sumatera Utara 20 Dalam kasus seperti yang disebutkan itu, orang mungkin bertanya, kalau debitur mengusulkan prestasinya, bukankah di sana ada prestasi yang terlambat. Memang harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk membedakan antara tidak berprestasi dengan terlambat berprestasi. Namun dalam hal ini perlu dihubungkan dengan Pasal 1243 KUH Perdata yang menyatakan tentang hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya dan Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan “… bahwa si berutang akan harus dinyatakan lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Ad.b. Debitur terlambat berprestasi Di dalam debitur berprestasi, disini debitur memang merasa telah memberikan prestasinya, yang diterima kreditur pada hal lain dari pada yang diperjanjikan. Misalnya seorang kreditur memesan atau membeli bawang putih, ternyata yang dikirim debitur adalah bawang merah. Dalam hal yang demikian dianggap bahwa debitur tidak berprestasi. Jadi dalam hal yang demikian (tidak berprestasi) termasuk penyerahan yang tidak sebagaimana mestinya, dalam arti tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pada perikatan untuk memberikan barang tertentu, kalau debitur telah menyerahkan prestasinya dan kreditur telah menerimanya tanpa suatu protes, maka debitur telah berprestasi, kalau ternyata barang yang diserahkan ternyata barang tersebut Universitas Sumatera Utara 21 tidak sesuai dengan permintaan si kreditur sesuai dengan perjanjian maka debitur dianggap wanprestasi. Jadi disini berlaku prinsip, bahwa debitur tidak perlu harus menanggung (menggaransi) cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui oleh kreditur sendiri. Sedangkan jika kreditur berpendapat, bahwa barang yang diserahkan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan maka ia harus segera (dalam waktu singkat) menyampaikan protes kepada debiturnya. Kalau tidak ia palingpaling dikemudian hari hanya dapat mengemukakan adanya cacat tersembunyi, hal ini karena kalau mengenai cacat tersembunyi itu tidak segera diketahui dan tampak dari luar. Ad.c. Debitur keliru berprestasi Di sini debitur menyerahkan objek prestasinya sudah benar tetapi tidak sebagaimana waktu yang telah diperjanjikan, sebagaimana sudah disebut di atas, debitur digolongkan dalam kelompok “terlambat berprestasi” kalau objek prestasinya masih berguna bagi kreditur. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai atau mora. D. Akibat Hukum Wanprestasi Apabila salah satu pihak telah dinyatakan wanprestasi atau tidak memenuhi perikatan, maka akan mempunyai akibat-akibat sebagai berikut : 1. Pemenuhan perikatan, atau Universitas Sumatera Utara 22 2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, atau 3. Ganti rugi, atau 4. Pembatalan perjanjian dalam perjanjian timbal balik (perjanjian dua pihak) atau 5. Pembatalan perjanjian dengan ganti rugi atau pengakhan perjanjian. Selain itu menurut Pasal 1240 KUH Perdata para pihak berhak dapat menuntut : a. Penghapusan hak-hak yang telah dilakukan oleh pihak wajib atas biayanya. b. Mengerjakan sendiri hal-hal yang harus dilakukan oleh pihak wajib atas biayanya. Mengenai ganti rugi Pasal 1245 menyatakan bahwa : ”Apabila pihak wajib karena overmacht atau toepal tidak berkesempatan melakukan kewajibannya (menyerahkan, melakukan sesuatu atau tidak berkesempatan melakukan sesuatu), maka ganti rugi ditiadakan. 10 Jadi adanya alasan untuk bebas dari pemberian ganti rugi adalah adanya overmacht bagi pihak debitur. Mengenai macam-macam istilah istilah ini dalam seperti perundang-undangan alasan dari luar yang dipergunakan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada (menurut Pasal 1244 KUH Perdata), hal-hal 10 Achmad Ichsan, Hukum Dagang : Lembaga Perserikatan Surat-surat Berharga, Aturanaturan Angkutan, Cet. IV. Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 41. Universitas Sumatera Utara 23 yang kebutulan terjadi yang sebelumnya tidak dikira-kirakan, (menurut Pasal 144 KUH Perdata). Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu overmacht ini ada mutlak dan ada yang tidak mutlak. Yang mutlak adalah apabila prestasi sama sekali tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun juga. Sebaliknya yang tak mutlak pelaksanaannya masih dimungkinkan hanya memerlukan pengorbanan dari pihak wajib. Karena itu sampai dimanakah ukuran pengorbanan ini sehingga dapt dipergunakan sebagai alasan pembebasan dari pihak wajib untuk memberikan ganti rugi terdapat 2 macam ukuran : 1. Ukuran objektif 2. Ukuran subjektif Ukuran yang objektif didasarkan kepada ukuran orang yang normal dalam keadaan demikian, apakah orang itu dapat melakukan kewajibannya atau tidak ; Sedangkan ukuran didasarkan kepada situasi keadaan debitur dengan menghubungkan pengorbanan (harta benda) yang harus diberikan olehnya apabila harus melakukan prestasi. Apabila yang dianut teori overmacht objektif, maka alasan-alasan ini sajalah yang membebaskan pihak wajib dari tuntutan ganti rugi. Universitas Sumatera Utara 24 E. Pengertian Komisioner Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, disebutkan komisi adalah : “imbalan (uang) atau persentase tertentu yang dibayar karena jasa yang diberikan dalam jual beli atau barang dagangan yang dititipkan untuk dijualkan kepada orang lain”. 11 Sedangkan pengertian komisioner adalah orang yang menjalankan perusahaan dengan membuat perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri, mendapat provisi atas perintah dan atas pembiayaan orang lain. 12 Dari pengertian yang demikian nampak bahwa seorang komisioner tersebut adalah melakukan pekerjaan untuk orang lain sementara dalam melakukan tindakan itu ia sendiri yang bertanggungjawab. Dengan akibat hukum dalam perhubungan hukum dengan pihak ketiga komisioner dapat saja tidak menyebutkan nama orang atas nama ia melakukan tindakan atau perbuatan hukum tersebut dan komisioner dapat berbuat seolah-olah ia sendiri yang berkepentingan. Apabila suatu hubungan hukum telah diserahkan kepada komisioner untuk dilaksanakan maka pihak yang menyuruh melaksanakan pekerjaan itu tidak dapat berhubungan langsung dengan akibat hukum pihak ketiga sebagai lawan dari komisioner melaksanakan hubungan hukum dimaksud. 11 Kamus Besar Bahasa Indonsia, Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. 12 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (1) Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Cet. IX, Djambatan, Jakarta, 1991, hal. 54. Universitas Sumatera Utara 25 Demikian juga sebaliknya bahwa pihak ketiga tidak dapat menuntut kepada pemberi amanat (pekerjaan) kepada komisioner apabila memang komisioner melakukan pekerjaan diluar kewenangan yang diberikan atau melakukan wanprestasi. Kalau dalam perhubungan hukum yang dibuat atau dilaksanakan tersebut ternyata komisioner bertindak atas nama pemberi amanat maka dengan sendirinya akan berlaku ketentuan yang mengatur tentang hal tersebut, yang didalam KUH Perdata perhubungan tersebut disebutkan dengan pemberian kuasa (lastgeving) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata. F. Tugas dan Tanggungjawab Komisioner Dalam perjanjian yang dibuat antara komisioner dengan komiten, maka kedudukan komisioner adalah party atau pihak yang mengadakan persetujuan. Konsekwensinya pihak lain tidak perlu mengetahui bahwa yang bersangkutan itu tidak bertindak untuk kepentingannya sendiri. Komisioner juga dilarang, apabila ia sendiri yang melakukan perdagangan asal tidak merugikan kepentingan dari komitennya. Adapun tugas dan tanggungjawab komisioner dapat dilakukan dengan cara bertindak sebagai penjual atau juga bertindak sebagai pembeli. Kalau tugas dan tanggungjawab komisioner sebagai penjual dapat disebutkan ia akan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 26 a. Menerima, menyimpan dan mengasuransikan barang-barang milik principalnya. b. Membayar ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk kepentingan barangbarang tersebut. c. Menjual barang-barang tersebut dengan harga setinggi-tigginya. Pada umumnya tindakan yang demikian komisioner akan menerima suatu order yang memuat limit harga terendah yang diizinkan oleh principalnya. d. Menagih pendapatan penjualan dan mengirimkan perhitungannya kepada principal. e. Membayar kepada principal apa yang disebutkan netto provenu (net proceeds) yaitu berupa pendapatan kotor setelah dipotong ongkos dan komisi. Dengan adanya tugas sebagai penjualan barang bagi kepentingan komiten yang disebutkan di atas terlihat bahwa dalam hal ini komisioner melakukan suatu usaha-usaha agar barang-barang semaksimal mungkin untuk menjaga dan menjualnya dengan harga yang tidak akan merugikan kepentingan dari komitennya. Sedangkan seorang komisioner yang bertindak sebagai pembeli bagi kepentingan komiten mempunyai tugas dan tanggungjawab antara lain : a. Membelikan barang-barang untuk principalnya dengan harga yang serendah-rendahnya, dalam surat ordernya biasanya diseut limit harga pembelian yang paling tinggi yang diperbolehkan. Universitas Sumatera Utara 27 b. Menyimpan dan mengasuransikan barang-barang yang dibeli. c. Membayar harga barang-barang itu dan ongkos-ongkos yang diperlukan bagi pembelian itu. d. Mengirimkan barang-barang itu dengan disertai faktor pembeliannya. Laporan ini berupa jumlah harga pembelian ditambah ongkos dan komisi. Biasanya dalam praktek seorang pedagang yang ingin membeli atau menjual barang, ia akan menginginkan suatu perkiraan tentang pendapatan bersih dari transaksi yang akan dilakukannya tersebut baik melalui perantaraan komisioner. Untuk itu maka principal akan meminta kepada komisioner untuk mengirimkan suatu contofinto yaitu suatu perhitungan penjualan atau pembelian yang bersifat imaginair. Dalam hal telah dilakukan transaksi maka pada umumnya oleh pedagang itu diminta apa yang dikenal dengan suatu faktor pro forma (pro forma invoice) dalam hal pembelian dan nota pro forma dalam hal penjualan. 13 G. Berakhirnya Perjanjian Komisi Pembahasan tentang berakhirnya perjanjian komisioner sama dengan berakhirnya perjanjian pemberian kuasa, hal ini terjadi karena penerima kuasa adalah merupakan perjanjian yang sama dengan perjanjian komisioner. Namun karena secara tegas tidak disebutkan tentang kapan 13 Achmad Ichsan, Op.Cit, hal. 39. Universitas Sumatera Utara 28 sebenarnya perjanjian komisioner itu sendiri berakhir maka akan diambil patokan tentang berakhirnya perjanjian kuasa. Suatu perjanjian berakhir bila mana perjanjian tersebut hapus atau dihapuskan para pihak. Masalah hapusnya perjanjian bisa juga diartikan sebagai hapusnya perikatan yang berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah tertuang dalam perikatan semula. Dalam KUH Perdata tidak ditentukan kapan suatu perjanjian berakhir (hapus), namun kaedah-kaedah yang menentukan suatu perjanjian itu hapus dibicarakan, hal itu tertuang sebagaimana di dalam Pasal 1381 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa perikatan-perikatan hapus karena: a. Karena pembayaran b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. c. Karena pembaharuan utang. d. Karena perjumpaan utang atau konpensasi. e. Karena percampuran utang. f. Karena pembebasan utang. g. Karena musnahnya barang yang terutang. h. Pembatalan atau kebatalan. i. Karena berlakunya suatu syarat batal. j. Karena lewatnya waktu. Universitas Sumatera Utara 29 Ad.a. Karena pembayaran Pembayaran mempunyai arti yang luas, dimana tidak saja pembeli disebut membayar harga pembelian, tetapi penjualpun disebut membayar apabila telah menyerahkan barang yang dijualnya, suatu pemenuhan perikatan secara sukarela. Dari pengertian tersebut di atas yang harus membayar itu bukan hanya debitur, tetapi boleh juga orang lain (penanggung utang). Pembayaran yang dilakukan oleh seorang kawan berutang untuk melunasi utang dan bertindak atas nama si berutang adalah diperbolehkan, sepanjang dia bertindak untuk menggantikan hak-hak si berutang. Ad.b. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. Cara ini biasanya dilakukan apabila kreditur menolak menerima pembayaran, ini dimaksudkan untuk menolong si debitur yang ingin membayar tetapi kreditur tidak mau menerimanya. Misalnya tawaran uang yang dibayarkan itu melalui seorang perantara yaitu juru sita atau notaris dengan dihadiri dua orang saksi, juru sita atau notaris pergi ke tempat kreditur dengan memberitakan bahwa tetap ia atas perintah debitur datang untuk membayar utang si debitur. Universitas Sumatera Utara 30 Ad.c. Pembaharuan utang Pembaharuan utang (novasi) adalah suatu perjanjian baru dengan maksud untuk menggantikan atau menghapuskan perjanjian lama. Agar terjadi suatu pembaharuan utang, maka kehendak untuk mengadakan harus dinyatakan dengan tegas dan tidak diperlukan bentuk tertentu, cukup dengan tercapainya kata sepakat. Ad.d. Penyimpanan utang atau konpensasi Perjumpaan utang merupakan suatu cara untuk menghapuskan utang dengan memperhitungkan utang piutang masing-masing pihak sehingga salah satu perikatan menjadi hapus. Misalnya A mempunyai piutang atas B, sebanyak Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) sebaliknya B mempunyai piutang sebanyak Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), maka antara A dan B melakukan perjumpaan utang sehingga piutang B menjadi hapus sedangkan A mempunyai piutang menjadi Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). Ad.e. Percampuran utang Percampuran utang dapat terjadi dikarenakan : a. Bila debitur menjadi ahli waris tunggal kreditur. b. Bila seorang wanita debitur, kemudian kawin dengan kreditur maka terjadi percampuran utang dalam suatu percampuran harta. Universitas Sumatera Utara 31 Ad.f. Pembebasan utang Pembebasan utang terjadi apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan sudah tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan suatu prestasi. Ad.g. Musnahnya barang yang tertuang Jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah maka perjanjian itu menjadi hapus, asal musnahnya barang itu bukan karena kesalahan si berutang dan dalam hal ini si debitur harus dapat membuktikan musnahnya objek dalam perjanjian tersebut. Ad.h. Pembatalan atau kebatalan Perjanjian itu batal demi hukum apabila perjanjian itu tidak memenuhi syarat objektif sedangkan terjadi suatu pembatalan apabila perjanjia itu tidak memenuhi syarat subyektif. Ad.i. Berlakunya suatu syarat batal Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila tidak dipenuhi, maka perjanjian itu menjadi batal atau perjanjian itu seolah-olah tidak pernah ada. Ini biasanya digantungkan pada suatu peristiwa, yang tidak tertentu misalnya saja akan memberikan sepeda motor apabila seseorang lulus menjadi Universitas Sumatera Utara 32 seorang polisi. Berlakunya suatu syarat batal merupakan salah satu cara menghapuskan perikatan, ini dapat diberlakukan pada perjanjian bersyarat. Ad.j. Lewat waktu (daluarsa) Daluarsa adalah salah satu alat untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan. Khusus terhadap perjanjian komisioner maka berakhirnya perjanjian komisioner yang merupakan pemberian kuasa dalam melaksanakan sesuatu dapat berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa atau pemegang kuasa (vide Pasal 1813 ayat (3) KUH Perdata). Jika pemberi kuasa meninggal dunia, sedangkan perjanjian komisi belum selesai dilaksanakan, maka komisioner wajib menyelesaikan dengan baik. Kalau komisioner alpa, sehingga karena kealpaan itu timbul kerugian maka komisioner tersebut dapat dibebani pembayaran ganti kerugian. Bila yang meninggal itu komisioner maka ahli warisnya wajib memberitahukan hal itu kepada pemberi kuasa dan berkewajiban untuk bertindak bagi kepentingan komiten. Bila mereka lalai, mereka dapat dibebani pembayaran biaya, kerugian dan bunga. Universitas Sumatera Utara 33 Karena perjanjian komisi ini termasuk perjanjian timbal balik maka bila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, perjanjian itu dapat dimintakan penyelesaiannya kepada hakim (Pasal 1266 KUH Perdata). Universitas Sumatera Utara 34 BAB III AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KOMISI A. Hal-hal yang diperjanjikan dalam Perjanjian Komisi Melihat begitu besarnya tanggungjawab yang diberikan kepada seorang komisioner dalam melaksanakan hubungan dagang maka dalam hal ini dapat diberikan hak utama. Pemberian hak utama dimaksudkan adalah untuk menjaga agar perbuatan hukum yang dilaksanakannya tersebut diketahui baik itu mendahului, menahan dan menyimpang. Kenyataan yang demikian lebih jelas disebutkan bahwa hak utama komisioner adalah : a. Hak mendahului atas barang-barang yang diserahkan untuk dijual atau atas barang-barang yang telah dibeli (bevoorrecht op de goederen) menurut Pasal 80. b. Hak menahan (ius retentio). Hak ini berdasarkan Pasal 81 KUHD dilakukan atas hasil penjualan barang, termasuk dalam Pasal 80 KUHD Universitas Sumatera Utara 35 untuk membayar pada diri sendiri upah yang menjadi aknya. Hak menahan itu dapat pula dilakukan terhadap barang-barang untuk dijual, untuk mana harus ditempuh jalan yang ditentukan oleh Pasal 82 dan 83 KUHD. c. Ius separatis atau hak menyimpang. Penyimpangan ini berupa tagihan secara langsung pada principalnya yang telah dinyatakan pailit atau dengan perkataan lain tanpa melalui Balai Harta Peninggalan (weeskamer). Pasal 84 KUHD menentukan bahwa dalam hal yang dimaksud di atas, berlakulah Pasal 56, 57 dan 58 UU Kepailitan. Pasalpasal tersebut menentukan “… dapat menjalankan haknya, seolah-olah tidak terdapat kepailitan. 14 Dengan adanya hak utama yang diberikan dalam hal ini kelihatan adalah untuk melindungi pihak komisioner dari tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan yang mungkin dilakukan principal. Disebutkan demikian karena dalam perhubungan hukum komisioner dianya akan mendapatkan sejumlah upah dari hasil kerja atau tindakan yang dibebankan kepadanya. 14 R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Cet. XXV, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 92. Universitas Sumatera Utara 36 Kalau diperhatikan juga tentang adanya untuk menjual dalam hal ini adalah apabila memang hubungan hukum antara principal dengan komisioner tidak dilaksanakan, maka dengan sendirinya barang yang menjadi objek tindakan yang dibebankan kepada komisioner dapat dijualnya untuk pelunasan hak baginya berupa upah. Dengan pengertian lain hasil penjualan barang dapat ditahan oleh komisioner apabila upah yang diperjanjikan akan diberikan kepadanya belum dibayar oleh principal. Berkenaan dengan hak menahan barang ini nampak bahwa dalam kedudukan yang demikian, komisioner akan mempergunakannya apabila juga principal tidak memberikan upah yang diperjanjikan kepadanya. Artinya dengan menahan barang yang menjadi objek yang diperjanjikan maka komisioner akan mempunyai kepastian akan pembayaran upahnya. Hal ini disebutkan oleh Sukardono sebagai hak retensi yang diberikan kepada komisioner oleh Pasal 85 KUHD”15. Sementara kalau yang disebutkan dengan hak yang menyimpang adalah bahwa kelihatan 15 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian Pertama), Cetakan ke VIII, Dian Rakyat, Jakarta, 1983, hal. 92. Universitas Sumatera Utara 37 komisioner mempunyai kedudukan yang lebih baik. Disebutkan demikian karena dalam hal ini komisioner dapat memintakan pembayaran upah pada principal walaupun si principal tersebut berada dalam keadaan pailit. Dengan demikian kepailitan yang terjadi pada principal tidak menghambat hak dari komisioner untuk menuntut pembayaran upah atas hasil tindakan yang dibebankan atau diwajibkan untuk dikerjakannya. Jelasnya dapat disebutkan dari posis ini komisioner mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen. Dengan tegas disebutkan oleh Purwosutjipto, bahwa : komisioner mempunyai hak istimewa pada barang-barang komiten yang ada di tangan komisioner : 1. untuk dijual 2. untuk ditahan bagi kepentingan lain yang akan datang dan 3. yang dibeli dan diterimanya untuk kepentingan komiten. 16 Jelasnya disebutkan dalam hal ini bahwa yang dimaksud dengan komisioner adalah orang yang melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan kepentingan pihak lain yang disebutkan dengan principal atau komiten 16 HMN. Purwosutjipto, Op.Cit, hal. 59. Universitas Sumatera Utara 38 dengan mengadakan hubungan hukum berupa perjanjian pada pihak ketiga sebagai lawan principal. Hubungan hukum yang demikian ini saja terjadi karena kemungkinan besar dalam suatu hubungan hukum yang dibuat tersebut pihak principal (komiten) tidak dapat melaksanakannya atau tidak mempunyai waktu dalam menjalankan perhubungan hukum dimaksud. Dalam hal ini dapatlah dilihat bahwa komisioner adalah orang yang menjalankan suatu pekerjaan dengan menerima komisi yang diikat dalam suatu perjanjian yang disebut perjanjian komisi sebagai perjanjian antara komisioner dengan komiten, yakni perjanjian pemberi kuasa. Dari perjanjian ini timbul hubungan hukum yang bersifat tidak tetap. Perjanjian pemberi kuasa dimaksud 17 dalam kutipan di atas menunjukkan kepada tugas yang diberikan kepada komisioner di dalam melaksanakan suatu tugas yang sebenarnya harus dilaksanakan oleh komiten, dimana dalam pemberian kuasa tersebut terlebih dahulu dibarengi dengan pembuatan perjanjian antara mereka (komisioner dan komiten). 17 HMN. Purwosutjipto, Op.Cit, hal. 59. Universitas Sumatera Utara 39 Perjanjian yang demikian adalah bersifat sebagai perjanjian pemberian kuasa khusus. 18 Dimana kekhususan tersebut terletak pada : a. bahwa komisioner bertindak atas nama diri sendiri b. komisioner mendapat provisi bila pekerjaan selesai. c. akibat hukum perjanjian komisi banyak yang tidak diatur dalam undang-undang. Sementara Molengraaf berpendapat bahwa : “perjanjian komisi itu merupakan perjanjian campuran, yaitu perjanjian pelayanan berkala dan perjanjian pemberian kuasa”. 19 Dengan demikian hukum antara komisioner dan komiten adalah sebagai pemegang kuasa dan pemberi kuasa. Komisioner bertanggungjawab atas pelaksanaan perintah kepada kuasa dan pemberi kuasa bertanggungjawab atas biaya pelaksanaan perintah dan pembayaran provisi. Jadi perjanjian komisi adalah perjanjian pemberian kuasa yang kewajibannya diatur dalam KUH Perdata terutama Buku III Bab XVI, bagian 2 dan 3, tentang Pemberian Kuasa, terutama kewajian si kuasa dan kewajiban 18 19 Ibid. Ibid. Universitas Sumatera Utara 40 si pemberi kuasa dan dalam KUHD Buku I, Bab V, bagian 1 tentang Komisioer. Dimana pada dasarnya disebutkan bahwa perjanjian komisi ini harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata). B. Tinjauan Hukum Tentang Wanprestasi pada Perjanjian Komisi Berbicara masalah wanprestasi, berarti akan ditinjau atau yang menjadi titik berat dalam masalah ini adalah adanya kelalaian dari salah satu pihak yang membuat perjanjian. Atau dengan kata lain bahwa wanprestasi itu terjadi karena tidak dilaksanakannya isi perjanjian yang telah disepakati diantara mereka yang membuat perjanjian tersebut. Dengan kata lain bahwa penentuan wanprestasi berhubungan erat dengan telah dilaksanakannya isi perjanjian atau tidak, kalau memang isi perjanjian tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya terdapatlah unsur wanprestasi di dalamnya, demikian juga selanjutnya kalau telah terjadi wanprestasi dapat dibarengi dengan pengajuan permohonan ganti kerugian. Dalam perjanjian komisi bentuk wanprestasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok yakni : Universitas Sumatera Utara 41 1. Apabila komiten yang memberikan kuasa kepada komisioner tidak membayar komisi sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dikerjakan. 2. Apabila komisioner tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi prestasi yang tertera dalam perjanjian dengan komitennya. Dengan demikian dapatlah disebutkan secara jelas bahwa terjadinya wanprestasi ialah apabila salah satu pihak yang membuat perjanjian tersebut tidak melaksanakan janjinya sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Sedangkan akibat hukum yang terjadi apabila memang telah terbukti wanprestasi ialah dapat berupa pembatalan perjanjian atau permohonan pembayaran ganti kerugian dari pihak yang melakukan wanprestasi. Dapat disimpulkan bahwa penentuan wanprestasi dalam perjanjian komisi adalah berhubungan erat dengan telah dilaksanakannya isi perjanjian atau tidak, jika isi perjanjian itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya terdapat unsur wanprestasi di dalamnya, yang dapat diajukan gugatan melalui Pengadilan untuk memohon ganti kerugian. Universitas Sumatera Utara 42 C. Akibat Hukum Bagi Para Pihak Yang Melakukan Wanprestasi dan Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Bertitik tolak dari sub bab di atas, maka terdapat dua pokok persoalan yang perlu dikemukakan, yaitu akibat hukum dan upaya hukum. 1. Akibat Hukum Bagi Para Pihak Yang Melakukan Wanprestasi Menurut Abdulkadir Muhammad, bahwa akibat-akibat bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah berupa hukuman atau sanksi sebagai berikut : 1. Debitur harus membayar ganti kerugian yang telah diderita kreditur (Pasal 1234 KUH Perdata). 2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata. 3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata). 4. Membayar biaya perkara apabila diperkirakan dimuka hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR/192 ayat (1) RBG). 5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti rugi (Pasal 1267 KUH Perdata). Universitas Sumatera Utara 43 Dari akibat-akibat hukum di atas, maka kreditur dapat memilah diantara beberapa kemungkinan tuntutan terhadap debitur, yaitu : a. Pemenuhan perikatan. b. Pemenuhan perikatan disertai dengan ganti kerugian. c. Ganti kerugian. d. Pembatalan perjanjian oleh hakim. e. Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti kerugian. Yang dimaksud dengan ganti kerugian ini adalah ganti kerugian yang timbul karena adanya para pihak yang melakukan wanprestasi karena lalai. Pada perjanjian komisi kedua belah pihak mempunyai kewajiban memenuhi prestasi. Jika pihak komisioner melakukan wanprestasi dengan tidak melaksanakan pekerjaan yang disuruh oleh komitennya maka segala kerugian akibatnya akan dibebankan kepada komisioner dan komiten dapat memintakan pemenuhan perikatan. Pemenuhan perikatan disertai dengan ganti kerugian. Ganti kerugian, pembatalan perjanjian oleh hakim, pembatalan perjanjian disertai dengan ganti kerugian. Sedangkan jika pihak komiten yang wanprestasi dengan tidak membayar uang komisi dari hasil kerjanya sesuai dengan isi perjanjian komisioner dapat memintakan : a. membayar uang komisi secara sekaligus/tunai (pemenuhan prestasi). b. Membayar ganti rugi atas keterlambatan menyerahkan/membayar hak/bagian komisi membayar lunas seluruhnya ditambah ganti kerugian. Universitas Sumatera Utara 44 c. Membayar uang paksa (dwangsom) apabila komiten melaksanakan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. 2. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Bila Salah Satu Pihak Wanprestasi Adapun tindakan-tindakan atau upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan akibat wanprestasi dari salah satu pihak adalah sebagai berikut : a. Upaya hukum di luar pengadilan Upaya hukum di luar pengadilan sebagai akibat dari wanprestasi tersebut di atas adalah dengan melakukan perdamaian antara para pihak untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara kekeluargaan dengan melibatkan pihak ketiga yang dinilai oleh para pihak adil dan dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak ketiga ini dapat saja merupakan orang perorangan atau lembaga non justisia yang dilakukan dengan cara negosiasi, mediasi dan lain-lain. Kemudian mengenai objek sengketa dapat dikuasai oleh pihak ketiga yang menjadi penengah yang menyelesaikan sengketa tersebut namun bisa juga berada pada salah satu pihak yang bersengketa asal saja mendapat persetujuan dari para pihak dan objek tersebut tetap dibawah pengawasan pihak ketiga tersebut. Universitas Sumatera Utara 45 b. Upaya hukum dengan beracara di pengadilan. Jika upaya perdamaian oleh pihak yang dirugikan akibat wanprestasi dari salah satu pihak tidak dapat menyelesaikan persoalan, maka tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan persoalan tersebut melalui Pengadilan Negeri yang berwenang. Untuk memperbaiki atau memulihkan hak-hak pihak yang dirugikan akibat wanprestasi dari salah satu pihak yang telah menyebabkan kerugian baginya, maka ia dapat menuntut kepada pengadilan agar : 1) Memberikan gugatan kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi. 2) Menghukum supaya pihak yang melakukan wanprestasi memenuhi prestasi. 3) Menyatakan sebagai hukum bahwa pihak yang melakukan wanprestasi benar telah melakukan wanprestasi (cidera janji). 4) Menghukum pihak yang melakukan wanprestasi untuk membayar ganti rugi atas akibat yang timbul karena terjadinya wanprestasi yang terdiri dari : a. Beban biaya pokok yang langsung timbul akibat wanprestasi tersebut serta tunggakan-tunggakan utang lainnya. b. Denda (bunga) dan tunggakan denda (bunga). c. Biaya lain-lain, termasuk biaya perkara dan honor pengacara. Universitas Sumatera Utara 46 5) Menghukum pihak yang melakukan wanprestasi uang paksa (dwangsom) lalai melaksanakan keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. 6) Mengalihkan segala resiko yang timbul akibat terjadinya wanprestasi. 7) Membatalkan perjanjian dan melakukan sita revindikatoir (revindicatoir beslag) dan mengambil kembali barang-barang yang menjadi objek dari perjanjian komisi yang berada dalam kekuasaan orang pihak yang melakukan wanprestasi tersebut. Dengan mengikutsertakan hakim, yaitu dengan beracara di Pengadilan dalam menyelesaikan persoalan tersebut, akan diharapkan hakim sebagai penegak hukum dapat memberikan penyelesaian yang seadil-adilnya, sehingga kepentingan masingmasing pihak dapat terlindungi. Dalam beracara di pengadilan ini, terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan ataupun tidak menerima penyelesaian yang diberikan oleh hakim dalam putusannya, dapat mengajukan upayaupaya hukum lain yang berlaku dalam hukum acara perdata yaitu upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi maupun upaya hukum luar biasa seperti memohon peninjauan kembali pada perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Universitas Sumatera Utara 47 Perlu juga dijelaskan bahwa dalam hal melakukan sita revindikatoir (revindicatoir beslag) dan mengambil kembali barangbarang yang menjadi objek dari perjanjian komisi yang berada dalam kekuasaan orang pihak yang melakukan wanprestasi tersebut, pemutusan atau pembatalan perjanjian secara sepihak oleh para pihak. Dalam Pasal 1266 KUH Perdata ditentukan : “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakah salah satu pihak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim leluasa untuk menurut keadaan atas permintaan si tergugat memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan. Dengan demikian yang membatalkan perjanjian itu bukanlah wanprestasi, melainkan putusan hakim. Wanprestasi hanya sebagai alasan hakim menjatuhkan putusannya. Dengan kata lain, wanprestasi hanya sebagai syarat terbitnya putusan hakim. Malahan juga syarat dicantumkan dalam perjanjian, pembatalan harus tetap dimintakan kepada hakim. Universitas Sumatera Utara 48 Dalam putusan hakim tidak hanya menyatakan perjanjian itu batal, melainkan secara aktif membatalkan perjanjian. Jadi keputusan hakim disini bersifat konstitutif (membatalkan perjanjian antara penggugat dan tergugat), bukan bersifat deklaratif (menyatakan batal perjanjian antara penggugat dan tergugat). Dalam keputusan hakim yang bersifat konstitutif, hakim mempunyai wewenang “discretionar”, yang artinya kewenangan menilai besar kecilnya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa debitur. Jadi hukum kreditur untuk membatalkan perjanjian dengan debitur tidak selamanya harus dikabulkan hakim, melainkan hakim akan mempertimbangkan lebih dahulu besar kecilnya wanprestasi yang dilakukan debitur. Jika ternyata wanprestasi yang dilakukan debitur hanyalah mengenai hal yang kecil saja, maka tuntutan kreditur untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Akan tetapi jika wanprestasi yang dilakukan debitur ternyata cukup besar sehingga sangat merugikan kreditur untuk membatalkan perjanjian tersebut akan dikabulkan hakim. Dengan demikian jelaslah, bahwa sebenarnya penarikan kembali objek dalam perjanjian komisi tersebut, yang juga berarti pembatalan perjanjian dengan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata. Universitas Sumatera Utara 49 Hakimlah sebenarnya yang berwenang untuk membatalkan perjanjian tersebut, setelah menimbang terlebih dahulu tentang besar kecilnya kerugian ataupun akibat dari tindakan wanprestasi tersebut. Oleh karena itu para pihak dalam perjanjian komisi yang merasa dirugikan dengan tindakan pembatalan perjanjian secara sepihak tersebut, dapat pula mengajukan tuntutan-tuntutan dengan beracara di Pengadilan agar hak-haknya dipulihkan dan kepentingankepentingannya dilindungi, sekalipun didalam perjanjian sebelumnya ada dicantumkan klausula-klausula yang secara tegas memberikan kewenangan-kewenangan kepada para pihak pada perjanjian komisi untuk menarik kembali barang/objek tersebut. Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa tindakan “eksekusi sendiri” seperti apa yang kita lihat dalam kenyataan sehari-hari adalah tidak dapat dibenarkan oleh hukum, karena pada dasarnya mengandung unsur paksaan dan hanya memberikan keuntungan sepihak tanpa memperhatikan asas kepatutan dan keadilan. Bahwa dalam hal tidak dipenuhinya prestasi (wanprestasi) yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian komisi, tindakan yang Universitas Sumatera Utara 50 dilakukan para pihak adalah memenuhi kembali isi perjanjiannya adalah “pihak manapun berhak menuntut ke pengadilan”. Universitas Sumatera Utara 51 BAB IV KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Perjanjian komisi adalah bersifat sebagai perjanjian pemberian kuasa khusus. Oleh karena itu hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian komisi adalah bahwa komisioner bertindak atas nama diri sendiri, komisioner mendapat provisi bila pekerjaan selesai dan juga mengatur tentang akibat hukum perjanjian komisi tersebut. 2. Wanprestasi dalam perjanjian komisi adalah berhubungan erat dengan telah dilaksanakannya isi perjanjian atau tidak, jika isi perjanjian itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya terdapat unsur wanprestasi di dalamnya, yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan untuk memohon tuntutan ganti kerugian. 3. Tindakan dan upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan jika terjadi wanprestasi dari salah satu pihak yang dirugikan akibat adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 52 a. Tindakan yang dilakukan adalah penyelamatan objek perjanjian sehingga dapat meminimalkan resiko akibat wanprestasi. b. Melakukan upaya hukum di luar pengadilan dengan cara kekeluargaan yakni melibatkan pihak ketiga yang dinilai oleh para pihak adil dan dapat menyelesaikan sengketa tersebut. c. Upaya hukum dengan melalui Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian itu dibuat dan disepakati dengan memohon pengajuan ganti kerugian, baik dengan upaya hukum biasa (pemeriksaan tingkat pertama, banding dan kasasi) serta upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali bagi keputusan kasasi. Universitas Sumatera Utara 53 DAFTAR PUSTAKA Buku : Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Achmad Ichsan, Hukum Dagang : Lembaga Perserikatan, Surat-surat Berharga, Aturan-aturan Angkutan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987. Djanius Djamin & Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas, Medan, 1991. Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 1991. Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1989. Sukardono, R., Hukum Dagang Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1983. Subekti, R., Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987. Suryatin, R., Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, 1974. Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta 1985. Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985. Universitas Sumatera Utara