PENDEKATAN SOSIOLOGI PADA PERANCANGAN ARSITEKTUR

advertisement
PENDEKATAN SOSIOLOGI PADA PERANCANGAN ARSITEKTUR
Marcus Gartiwa1, Alfred Wijaya2
Abstract
Nowadays, Architecture is known as physic creation that based on the engineering aspect and
aesthetic visualization. The fact, the architecture will be used by human and the activities. Finally, the goal
of architectural design will be used for human needs, especially the value of humanity an social interactions.
Social problem will correlate to the sociology as a science that study the social interaction. That
will help the architect to make the architectural design as the problem solver of social problem by solving
the social humanity problem in order to design the built environment in harmony.
Keywords : sociology, architecture, social problems
Abstrak
Arsitektur sering dianggap oleh masyarakat luas sebagai karya fisik, yang semata-mata dihasilkan
dari pendekatan fisik, yang mengacu pada pertimbangan-pertimbangan teknis dan keindahan visual. Namun
pada kenyataannya arsitektur sebagai lingkungan fisik buatan digunakan oleh manusia dan masyarakat, serta
aktifitasnya. Dengan demikian keberhasilan karya arsitektur tergantung pada pemenuhan kebutuhan manusia.
Dalam hal ini yang paling utama adalah sistem nilai yang dianut manusia, perilaku serta interaksi sosial
masyarakat.
Permasalahan masyarakat berarti berkaitan erat dengan sosiologi, suatu ilmu yang mempelajari
interaksi sosial dalam masyarakat. Berbagai pendekatan sosiologi yang dikenal dengan paradigma sosiologi
dapat membantu para arsitek untuk menghasilkan karya-karya arsitektur agar tidak semata-mata sebagai
karya fisik lingkungan buatan semata, namun juga sebagai problem solver permasalahan sosial, yang artinya
arsitektur mampu mengatasi permasalahan sosial masyarakatnya melalui penataan lingkungan fisik buatan.
Kata kunci: pendekatan sosiologi, arsitektur, permasalahan sosial
PENDAHULUAN
Masyarakat khususnya kalangan praktisi umumnya beranggapan bahwa arsitektur
adalah karya cipta fisik yang semata-mata berkaitan erat dengan persoalan-persoalan
teknis membangun serta keindahan, baik dalam skala kecil yaitu bangunan, maupun skala
yang lebih luas berupa kawasan, kota atau wilayah. Namun YB Mangunwijaya
menyatakan bahwa lingkup permasalahan arsitektur sebenarnya 80% menyangkut masalah
sosial kemasyarakatan, hanya 20% yang menyangkut aspek teknis atau teknologi
(Herlianto,1986). Pendapat tersebut mengandung kebenaran, karena sejarah pekembangan
pemukiman manusia, baik pada awal sejarah manusia hingga kota-kota modern pada masa
sekarang menunjukkan bahwa hunian atau pemukiman manusia merupakan cerminan
sistem nilai yang dianut manusia: norma, budaya, ekonomi serta aspek-aspek non fisik
lainnya. Arsitektur sebagai bagian dari wujud fisik kebudayaan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari dua wujud kebudayaan lainnya yaitu wujud sistem ide (nilai) dan
wujud sistem sosial (aktifitas) (Kuntjaraningrat,1980), karena bentuk fisik yang diciptakan
1
2
8
Dosen Tetap Jurusan Arsitektur Universitas Langlangbuana
Dosen Tetap Jurusan Arsitektur Universitas Langlangbuana
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 2, No. 1, 2005 : 8 - 23
arsitektur digunakan oleh masyarakat serta kegiatannya. Dengan demikian proses
penciptaan dalam arsitektur harus melihat kebutuhan dan kesesuaian dengan
masyarakatnya, sehingga kebutuhan masyarakatnya menjadi pertimbangan dan analisa
perancangan.
Hal ini berarti arsitektur merupakan satu kesatuan dengan masyarakatnya, maka
perancangan arsitektur dapat didekati dengan pendekatan sosiologi, karena sosiologi
adalah ilmu sosial yang obyeknya masyarakat, yang mengkaji interaksi manusia didalam
masyarakat, masyarakat, gejala-gejala kemasyarakatan dan fenomena kemayarakatan.
PENGERTIAN SOSIOLOGI
Secara etimologi, sosiologi berasal dari bahasa latin: Socios dan logos, Socios
berarti teman, logos berarti ilmu. Secara etimologi sosiologi berarti ilmu berteman. Dalam
pengertian yang lebih luas sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi
manusia di dalam masyarakatnya. Istilah sosiologi pertama kali digunakan oleh August
Comte (1798-1817) (Taufik Rohman.D, 2004). Sifat dan hakekat sosiologi mencakup:
1)
Bagian dari rumpun ilmu-ilmu sosial yang berkaitan dengan gejala-gejala
kemasyarakatan
2)
Ilmu pengetahuan yang katagoris yaitu membatasi diri dengan apa yang terjadi,
bukan apa yang seharusnya terjadi
3)
Ilmu pengetahuan murni yang bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan
ilmu pengetahuan secara abstrak, bukan ilmu terapan. Namun dapat diaplikasikan
oleh ilmu terapan lainnya
4)
Ilmu pengetahuan yang abstrak, artinya yang diperhatikan adalah pola dan
peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
5)
Bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum,
sosiologi menilai dan meneliti apa yang menjadi prinsip dan hukum-hukum umum
dari interaksi antar manusia dan perihal sifat, hakekat, isi, dan struktur masyarakat
manusia
6)
Ilmu pengetahuan yang rasional, terkait dengan metoda yang dipergunakannya
7)
Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan yang umum dan bukan merupakan ilmu
pengetahuan yang khusus, artinya sosiologi mengamati dan mempelajari gejalagejala umum yang ada pada setiap interaksi dalam masyarakat secara empiris
Sebagai ilmu sosial yang obyeknya masyarakat, sosiologi mempunyai ciri-ciri
utama yaitu memiliki sifat-sifat:
1)
Empiris karena didasarkan pada pengamatan terhadap keanyataan-kenyatan sosial
dan hasilnya tidak bersifat spekulatif
2)
Teoritis, artinya sosiologi selalu berupaya untuk menyusun kesimpulan dari hasilhasil observasi untuk menghasilkan teori keilmuan
3)
Kumulatif artinya teori-teori dalam sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang
sudah ada sebelumnya yang diperbaiki, diperluas serta diperdalam
4)
Non-etis, artinya sosiologi tidak mempersoalkan baik buruknya fakta tetapi yang
lebih penting adalah menjelaskan fakta tersebut secara analitis dan apa adanya
Pendekatan Sosiologi Pada Perancangan Arsitektur (Marcus, Alfred)
9
Obyek studi sosiologi adalah masyarakat, yang menyoroti hubungan antar manusia
dan proses sebab-akibat yang timbul dari hubungan antar manusia tersebut, unsur-unsur
yang terkandung dalam istilah masyarakat:
1)
Sejumlah manusia yang hidup bersama dan berinteraksi sosial secara
berkesinambungan, mempunyai perasaan identitas bersama, tujuan bersama sistem
norma
2)
Merupakan satu kesatuan
3)
Merupakan suatu sistem hidup bersama yang berkebudayaan dan ada ikatan
kelompok dan lokalitas tertentu
1)
2)
3)
Manfaat sosiologi mencakup:
Memberikan pengetahuan tentang bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi
dalam masyarakat, baik interaksi sosial individu dengan individu, individu dengan
kelompok, kelompok dengan kelompok
Memberikan kemampuan untuk mengontrol setiap tindakan dan perilaku sosial
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan beragama
Memberikan pemahaman nilai, norma, tradisi, keyakinan yang dianut oleh
masyarakat lain serta memahami perbedaan-perbedaan yang ada tanpa
menimbulkan konflik antar sesama warga masyarakat
Manusia dalam melakukan interaksi sosial memiliki berbagai keinginan yang
menghasilkan sikap-sikap tertentu. keinginan dan sikap tersebut dipengaruhi oleh nilainilai dan norma-norma yang terbentuk dalam masyarakat, struktur sosial, pola perilaku,
serta tindakan. Dengan demikian, untuk memahaminya diperlukan pendekatanpendekatan, yang disebut sebagai paradigma.
PARADIGMA SOSIOLOGI
Ritzer (1980) berpendapat terdapat beberapa paradigma dalam sosiologi:
1)
Paradigma fakta sosial
2)
Paradigma definisi sosial
3)
Paradigma perilaku sosial
4)
Paradigma terpadu.
Pencetus paradigma sosial adalah Durkheim, yang menyatakan bahwa fakta sosial
merupakan sesuatu yang terjadi dalam persoalan sosiologi, sesuatu yang berbeda dengan
dunia ide. Penyusunan data riil/nyata di luar dunia ide/pikiran manusia diperlukan dalam
memahami masyarakat. Paradigma fakta sosial terdiri atas dua bentuk:
1)
Bentuk material yang dapat diobservasi, misalnya norma hukum
2)
Bentuk non-material, yaitu kenyataan yang bersifat internal manusia yang hanya
muncul dalam kesadaran manusia, misalnya egoisme dan opini.
Garis besar dari fakta sosial sebagai paradigma pertama adalah struktur sosial dan
pranata sosial. Secara rinci fakta sosial terdiri dari kelompok, kesatuan masyarakat
tertentu, sistem sosial, posisi, peran, nilai-nilai, keluarga dan pemerintahan. Menurut Peter
M.Blau ada dua tipe dasar fakta sosial:
1)
Nilai-nilai umum yang bersifat universal
2)
Norma yang terwujud dalam suatu kebudayaan.
r
' T,~-h
Arsitpkhir UPH, Vol. 2, No. 1, 2005 : 8 - 23
Paradigma fakta sosial mencakup: teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori
sistem dan teori sosiologi makro.
Paradigma kedua adalah paradigma definisi sosial, yang menyatakan struktur sosial
dan pranata sosial hanya membantu membentuk tindakan manusia yang penuh arti, yang
sangat subyektif bagi dirinya. Tokoh paradigma ini adalah Max Weber, yang
menganjurkan bahwa metoda yang digunakan pada paradigma ini adalah pemahaman
(verstehen). Beberapa teori yang termasuk paradigma ini: teori aksi, teori interaksionisme
simbolis dan teori fenomenologi.
Paradigma ketiga adalah paradigma perilaku sosial, pelopor paradigma perilaku
sosial adalah Skinner. Skinner mencoba menjabarkan prinsip-prinsip psikologi aliran
Behavouirisme ke dalam sosiologi. Menurutnya, Obyek sosiologi yang konkrit-realistis
adalah perilaku manusia yang tampak dan kemungkinan perulangannya. Kebudayaan
masyarakat tersusun dari tingkah laku yang berpola. Paradigma ini berpendapat bahwa
Pokok persoalan sosiologi adalah tingkah laku individu yang berlangsung berkaitan
dengan faktor lingkungan sosial maupun non-sosial yang menghasilkan akibat-akibat pada
faktor lingkungan dan tingkah laku. Pada akhirnya terdapat hubungan fungsional an tar
tingkah laku dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan aktor. Esensi dari paradigma
ini adalah individu berperilaku atas stimulus tertentu, yang dapat terjadi di luar kontrol
subyektifnya. Stimulus yang berbeda akan menghasilkan perilaku yang berbeda, bahkan
kadang-kadang perilaku sebagai respon dari stimulus sering berada diluar kontrol dirinya.
Teori yang termasuk dalam paradigma ini: behavioural sosiologi dan exchange theory.
Paradigma keempat adalah paradigma terpadu yang menyatukan berbagai tingkat
realitas sosial yaitu:
1)
Makro obyektif: norma hukum, bahasa dan birokrasi
2)
Makro subyektif: norma,nilai dan kultur
3)
Mikro obyektif: berbagai bentuk interaksi sosial seperti konflik, kerjasama dan
pertukaran
4)
Mikro subyektif: proses berpikir dan konstruksi realitas sosial.
Paradigma terpadu didasarkan pada asumsi bahwa didalam alam nyata, segala sesuatu
saling berkaitan dalam suatu sistem sehingga tidak pemisahan yang tegas antara berbagai
fenomena sosial.
PENDEKATAN SOSIOLOGI PADA PERANCANGAN ARSITEKTUR
Perancangan arsitektur dapat didekati dengan pendekatan sosiologi tersebut diatas,
melalui berbagai pendekatan pradigma yaitu fakta sosial, definisi sosial, perilaku sosial,
serta paradigma terpadu.
Pendekatan paradigma fakta sosial memandu pada pengetahuan tentang fenomenafenomena dalam Arsitektur. Arsitektur dalam berkarya akan memperhatikan norma-norma,
nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang bersifat makro maupun universal, struktur sosial yang
terdapat dalam masyarakat. Dalam hal ini, fenomena arsitektur berkaitan dengan
"Kerangka Ideal" (Ideal Schemata) (Sneyder,1970). Semua lingkungan buatan manusia
merupakan pilihan yang terbaik (spesifik) yang diambil dari berbagai alternatif. Pilihan
yang spesifik tersebut mencerminkan budaya manusianya. Budaya adalah pilihan yang
Pendekatan Sosiologi Pada Perancangan Arsitektur (Marcus, Alfred)
11
terbaik yang diambil oleh manusianya, yang mencakup cara bicara, berpakaian,
berinteraksi, menata ruang dan waktu, cara membuat bangunan, tempat-tempat. Nilai-nilai,
norma, kriteria, asumsi-asumsi digunakan dalam membuat pilihan-pilihan tersebut,
membentuk suatu Kerangka Ideal. Lingkungan buatan mencerminkan Kerangka Ideal
tersebut,sekaligus tempat (setting) bagi masyarakat untuk dijadikan representasi norma,
atau cara pandang hidup suatu kelompok masyarakat untuk membedakan dengan
masyarakat lainnya, contoh: Arsitektur Tradisional Kampung Baduy di Banten Selatan,
Kampung Naga di Garut, Arsitektur Bali, dsb.
Pada kenyataannya yang disebut budaya adalah cara pandang hidup {way of life),
sistem symbol {meaning & cognitive schemata), serta seperangkat strategi adaptasi untuk
kelangsungan hidup. Budaya berkaitan erat dengan kelompok masyarakat yang memiliki
seperangkat nilai-nilai, kepercayaan dan pandangan hidup yang membentuk " Kerangka
Ideal", menjadi sistematis serta dianut masyarakatnya. Kerangka ideal berkaitan erat
dengan cara bekerja fikiran manusia, produk proses berfikir manusia, memanusiawikan
lingkungan alam melalui pemberian nama, klasifikasi, menjadikan dunia bermakna.
Pandangan 'Kerangka Ideal' berpendapat bahwa dunia ini tidak teratur {chaos), maka
manusia menatanya. Proses berpikir merupakan aktifitas yang dilakukan sebelum
penataan tersebut, kemudian dibangun wujud fisiknya. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan
khusus masyarakat purba terhadap gua-gua yang memiliki lukisan sebagtai daerah yang
lebih utama daripada gua-gua yang tidak memiliki lukisan, serta pembuatan simbol-simbol
pengamatan bulan. Manusia memikirkan lingkungan sebelum menatanya. Pikiran manusia
menata ruang, aktifitas, status, waktu dan perilaku, mendorong keberadaan ide-ide, ide
membantu manusia dalam berbuat serta bersikap. Seluruh aktifitas penciptaan lingkungan
buatan: bangunan, pemukiman, taman, dsb adalah cara menata dunia dengan membuat
tata atur yang kasat mata. Prinsip dasarnya adalah mengorganisasikan lingkungan : ruang,
arti, komunikasi dan waktu. Hal ini menempatkan lingkungan sebagai seperangkat
hubungan antar benda, benda dengan manusia, manusia dengan manusia. Hubungan
tersebut ditata, sehingga membentuk pola dan struktur, sehingga lingkungan tidak kacau,
dimanifestasikan dalam bentuk ruang {spatial).
Pada kenyataanya perencanaan baik pada skala wilayah hingga skala perabot
interior bangunan, dapat dilihat sebagai organisasi ruang untuk berbagai tujuan,
berdasarkan aturan-aturan, misal: kebutuhan, nilai-nilai keinginan dari kelompok/individu.
Aturan-aturan tersebut membentuk citra ideal yang menunjukkan tingkat keterkaitan antara
organisasi ruang {spatial) dengan sosial. Implementasinya adalah memberi makna pada
ruang, baik berupa bahan, warna, bentuk, ukuran, taman, dsb. yang membantu proses
komunikasi sosial diantara anggota masyarakatnya. Bentuk keterkaitan yang lain adalah
antara waktu dengan ruang, hal ini berkaitan erat dengan penggunaan ruang untuk aktifitas
-aktifitas yang berkaitan erat dengan kalender waktu. Dengan demikian pendekatan fakta
sosial dalam arsitektur menunjukkan bahwa norma-norma, nilai, struktur sosial masyarakat
merupakan suatu ikatan dengan lingkungan buatan sebagai suatu sistem. Lingkungan
buatan sebagai suatu yang terukur {tangible) mencerminkan aspek yang tak terukur
{intangible),sexto, saling mengikat dalam suatu model yang disebut Kerangka Ideal {Ideal
Schemata), Kerangka Ideal ini menunjukkan keterkaitan Sosial-ruang {socio-spatial).
Paradigma definisi sosial dalam arsitektur adalah pemahaman akan makna atau
simbol yang sengaja dicipta pada suatu karya arsitektur. Dalam arsitektur paradigma ini
dapat disebut sebagai paradigma interpretatif yang menterjemahkan karya-karya arsitektur
dalam bentuk makna dan simbol. Snyder menyatakan simbol dan makna {meaning)
12
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 2, No. 1, 2005 : 8 - 23
merupakan aspek yang muncul dari bangunan yang tampak pada pengamat. Semua jenis
bangunan memiliki makna yang tertentu bergantung pada berbagai kelompok
pengguna/masyarakat. Lingkungan adalah seperangkat komunikasi antar manusia dan
pembawa makna, komunikasi antar manusia dipengaruhi oleh organisasi fisik ruang.
Bangunan memiliki makna pesan tertentu/'non-verbal yang ditunjukkan pada tata letak,
organisasi dan karakter bangunan.
Beberapa penelitian menunjukkan orang menyadari makna yang disampaikan oleh
karya-karya arsitektur, baik rumah, kantor atau tempat-tempat publik lainnya, berupa
pemberian warna tertentu, dekorasi tertentu, bentuk tertentu pada jendela, pintu, atau
elemen bangunan lainnya untuk menunjukkan keinginan-keinginan tertentu pemiliknya,
misalnya: status sosial, tingkatan usia, asal lembaga, dsb. Simbol-simbol tersebut sangat
nampak sekali terutama pada arsitektur tradisional di Indonesia, yang menyangkut bentuk
bangunan, bentuk ornamen bangunan, bahan bangunan, maupun tata letak bangunan dalam
suatu site-kampung, misal: Toraja, Minangkabau, Bali, Sunda. Arsitektur Timur (Oriental
Achitecture) khususnya arsitektur Cina kental dengan simbol-simbol yang diekspresikan
pada warna-warna dan ornamen binatang, serta tata letak perabot dan bukaan-bukaan pada
rumah, yang mencerminkan cara pandang/fasafah hidup pemiliknya. Cara pandang hidup
tersebut dikenal sebagai Feng-shui yang bersumber pada kepercayaan pada dua kekuatan
hidup yaitu Ying dan Yang, yang dimplementasikan dalam arsitektur Cina sebagai Hongshui. Hong Shui memandu arsitektur Cina dalam hal tata letak lingkungan buatan
khususnya rumah, yang berkaitan erat dengan nasib baik, keberuntungan, serta hal
supernatural lainnya yang berkaitan dengan hidup pemiliknya. Arsitektur kota peninggalan
kerajaan Jawa (Mataram Islam), khususnya daerah keraton memperlihatkan simbolisme
pada kotanya dengan tata letak keraton, alun-alun, pintu gerbang serta elemen kota lainnya
sebagai perwujudan kosmologi dan filsafat Sinkretisme Jawa-Islam. Simbolisme pada
Arsitektur Islam lebih abstrak, karena Islam tidak mengenal Paganisme (berhala), maka
simbolisme arsitektur Islam diekspresikan pada ornamen segi banyak, kubah bangunan,
ornamen kaligrafi, ornamen bulan-bintang, sebagai perenungan kepada konsep tauhid
Islam, penciptaan alam semesta, serta ayat Al Qur'an. Simbolisme pada Arsitektur Hindu
lebih kental baik warna, ornamen maupun paganisme(berhala),terutama pada bangunanbangunan peribadatan yaitu candi-candi. Secara umum simbolisme arsitektur Hindu
diwujudkan dalam konsep Mandala Kosala-Kosali Hindu yang memandu tata letak
bangunan dalam suatu tapak (site). Simbolisme pada agama Kristiani lebih ditonjolkan
pada simbol-simbol salib, ornamen patung dan lukisan para Santo, serta warna-warna
gerejani, yang mencerminkan pandangan hidup dan kepercayaan agama Krsiten,
khususnya katolik. Simbolisme dan pemaknaan dalam arsitektur modern lebih diwujudkan
pada penggunaan teknologi dan bahan bangunan yang spektakuler dan canggih, serta
eksperimen bentuk bangunan, sebagai simbolisme kemajuan peradaban manusia ; sistem
hukum, peraturan kota, kekuatan ekonomi, kebijakan Pemerintah, contoh: bangunan
skyscraper (bangunan pencakar langit), bangunan bentang lebar, serta bangunan-bangunan
prefabrikasi. Dengan demikian, pendekatan definisi sosial pada arsitektur menunjukkan
bahwa pemahaman (verstehen) karya arsitektur harus melihat lingkungan fisik buatan
manusia sebagai seperangkat simbol-simbol dan makna sosial masyarakatnya, yang
berkembang sesuai dengan perkembangan jaman.
Paradigma selanjutnya adalah paradigma perilaku sosial, memandu karya arsitetur
untuk memiliki tingkat kemampuan tertentu, sehingga terbentuk suatu karya yang
memiliki keteraturan tertentu yang cenderung berulang, yang merupakan pencerminan
perilaku manusia yang menggunakannya. Hal ini didukung oleh teori sistem Behaviour-
Pendekatan Sosiologi Pada Perancangan Arsitektur (Marcus, Alfred)
13
environment (Gary.T.Moore,1979), yang menyatakan perilaku manusia merupakan fungsi
dari aspek internal-eksternal manusia, artinya perilaku manusia merupakan produk dari
simultan faktor-faktor internal dan eksternal dirinya. Hal ini ditunjukkan dari gambar 1 di
bawah ini:
••
•*•*•••
•
•
•
t
•
_^. Lingkungan eksternal (E)
•
• 5
-•Lingkungan internal (P)
Gambar 1
Perilaku Sebagai Fungsi Internal dan Eksternal Manusia
(Sumber: Gary T Moore, J.C. Snyder,"Introduction to Architecture", 1979)
Perilaku (behaviour) merupakan fungsi dari kebutuhan internal manusia dan lingkungan
ekternal sosio-fisik manusia, yang ditunjukkan dengan notasi B = f(PnE), yang mana B =
perilaku, P = Lingkungan internal, E = Lingkungan eksternal.
Pengembangan lanjut dari model tersebut diatas adalah model informasi sistem
perilaku-lingkungan (Enviroment-behavior) yang diajukan Irwin Altman (1979), seorang
psiko-arsitek. Sistem perilaku-lingkungan terdiri dari tiga komponen: fenomena perilaku,
kelompok pengguna, serta setting (tempat). Hal ini ditunjukkan pada diagram di bawah
ini:
TEMPAT(S£rr/NG)
— Dunia,Negara
Wilayah,Kota,Daerah
Pemukiman,Kompleks
Bangunan—
Bangunan,Ruang
Perabot
Antropometri
Proxemics
Anak-Anak
Dewasa
-Kelompok Sosio-Ekonomi
Kelompok Masyarakat Yang
Berbeda Cara Pandang Hidup
KELOMPOK PENGGUNA
Ruang Personal
Teritorial, Privasi
Persepsi
Cognisi, Makna
FENOMENA PERILAKU-LINGKUNGAN
Gambar 2
Sistem Informasi Perilaku-Lingkungan
(Sumber: I.Altman, J.CSnyder, '•'•Introduction to Architecture", 1979)
n
Tnrnal Tlmiah Arsitektur UPH, Vol. 2, No. 1, 2005 : 8 - 23
Fenomena perilaku-lingkungan mencakup: antropometri, proksemiks, ruang
personal, teritotial, privacy, persepsi, cognisi, makna. Proxcemics adalah jarak antara
orang yang memungkinkan nyaman untuk berinteraksi. Privasi adalah mekanisme kontrol
yang mengatur interaksi antar individu. Kelompok pengguna yang berbeda memiliki
kebutuhan yang berbeda dan menggunakan pola yang berbeda dalam menata lingkungan
fisiknya,yang mencakup: anak-anak, dewasa, kelompok sosio-ekonomi, kelompok
masyarakat yang berbeda cara pandang hidup.Tempat (setting) mempengaruhi skala
perancangan dari kota hingga interior sehingga menuntut spesifikasi perancang, apakah
perancang kota hingga perancang interior bangunan,yang mencakup: dunia, negara,
wialayah, kota, daerah, pemukiman, komplek bangunan, bangunan, ruang, perabot.
Peran informasi perilaku lingkungan sangat dibutuhkan dalam proses perancangan,
Peran informasi perilaku lingkungan dalam proses perancangan dapat dilihat sebagai
diagram siklus, yang pertamakali diusulkan oleh sosiolog-arsitek John Zeisel (1975).
Siklus tersebut menunjukkan bahwa proses perancangan arsitektur merupakan siklus
kegiatan-kegiatan penelitian, pengambilan keputusan, programming, pra-rencana,
pemilihan, perencanaan, manajemen lingkungan, evaluasi paska-kepemilikan, umpan
balik. Proses perancangan arsitektur merupakan proses yang bersifat siklus, yang
mencakup: kebijakan, programming, sintesa keseluruhan perancangan, keputusankeputusan dan perancangan-perancangan dievaluasi terhadap kriteria perilaku sosial dalam
tahap evaluasi paska-kepemilikan.
Programming
Evaluasi paska-pakai (Post-occupancy)
Gambar 3
Siklus Perancangan Arsitektur
(Sumber: J.Ziesel, J.C.Snyder, "Introduction to Architecture", 1975)
Informasi perilaku-lingkungan mencakup antropometrik hingga semiotic. beberapa
fenomena seperti antropometri mengacu kepada kondisi manusia yang merupakan bagian
utama yang nyata dan dapat diamati, sedangkan yang lain seperti semiotic yang mengacu
pada efek-efek lingkungan fisik yang utama. Hal ini memberikan indikasi faktor-faktor
lingkungan, sehingga arsitek perlu mengetahui masalah ini agar memiliki kepekaan dalam
perancangan. Informasi perilaku-lingkungan mencakup:
1)
Keserasian antara Setting- Perilaku
I-':
Proksem
3)
Ekologi Kelompok Kecil
Privacy, Kepadatan
5)
Kerumunan dan Stress
6)
Persepsi Lingkungan
7}
Kognisi Lingkungan
Pendekatan Sosiologi Pada Perancangan Arsitektur (Marcus, Alfred)
15
8)
9)
Pemetaan Urban Cognitif
Ketetanggaan dan komunitas.
Kunci utama analisa perilaku manusia dalam arsitektur adalah keserasian tempat
(setting) perilaku: Dunia, negara, wilayah, kota, daerah, pemukiman, kompleks bangunan,
bangunan, ruang, perabot. Hal ini didasarkan pada pendapat psikolog-lingkungan Roger
Barker, tempat perilaku dapat didefinisikan sebagai unit fisik untuk analisa interaksi
perilaku-lingkungan, yang mencakup:
1)
Pola perilaku yang mapan/perilaku yang sudah menjadi kebiasaan
2)
Aturan-aturan sosial yang memandu perilaku: norma
3)
Penampilan fisik yang kritis dari tempat (setting) berkaitan dengan perilaku berupa
ukuran dan bentuk ruang untuk interaksi sosial
4)
Rutinitas waktu : bulanan, mingguan, musiman
Tempat perilaku mencakup aspek-aspek fisik yang kritis untuk perilaku,sehingga
sebaiknya aspek bangunan yang merupakan bagian yang kritis untuk pengamatan perilaku
direkam, terutama tempat dimana pola-pola perilaku sudah menjadi kesatuan dengan
tempatnya. Dengan demikian pemeran perilaku boleh jadi berbeda, namun hakekatnya
pola perilaku dan hubungan dengan tempaf tetap sama. Obyek utama perancangan
arsitektur diciptakan dalam upaya membentuk perilaku-perilaku yang diinginkan.
Kebenaran bentuk-rancangan tergantung pada tingkat keserasian (fit) tempat (setting)
dengan perilaku, sosial serta konteks budaya. Apabila keserasian terjadi antara komponen
tempat dengan perilaku, aturan-aturannya serta tujuannya, maka kondisi ini disebut
synomorphic. Apabilaterjadi ketidakharmonisan antara setting bertentangan dengan
perilaku, maka keduanya tidak symorphic. Proses pencapaian keserasian yang baik antara
bentuk dan konteksnya adalah upaya mengurangi faktor penyebab ketidakserasian
(Christopher Alexander, 1979). Hal ini merupakan basis untuk analisa hubungan perilakubentuk, evaluasi bangunan dalam penggunaannya, serta pengembangan perancangan
arsitektur yang berbasis perilaku, sehihgga terbuka bagi evaluasi paska-penggunaan dan
perancangan ulang.
Antropometrik adalah proporsi, dimensi tubuh manusia dan karakterisitik fisiologi
lainnya, serta kemampuan relatifnya terhadap aktifitas manusia dan lingkungan mikro,
termasuk faktor manusia adalah ergonomic: yang berkaitan dengan masalah-masalah
ketinggian permukaan kerja untuk berbagai aktifitas, rentang ketinggian yang cocok
(paling pendek - paling tinggi), dimensi yang kritis yang mempengaruhi desain elemen
mikro ruang: untuk anak-anak, dewasa, laki-laki, perempuan. Proksemik didefinisikan
sebagai teori yang berkaitan dengan faktor spatial dalam komunikasi tatap muka. Manusia
memiliki kebutuhan-kebutuhan biologis, pribadi, sosial, budaya yang dicerminkan pada
lingkungan. Ruang bicara untuk memenuhi kebutuhan manusia merupakan dimensi yang
tersembunyi dari perilaku. Hal-hal tersebut dipelajari oleh Robert Sommer (1950) terutama
berbagai tipe interaksi tatap muka yang berkaitan dengan fenomena proksemik. Penelitian
menunjukkan jarak yang paling nyaman untuk bicara adalah 5-6 inch , serta berbagai jarak
yang ideal untuk berbagai sifat aktifitas bercakap-cakap: paling nyaman, kooperatif ,
perilaku yang independen, sikap kompetitif (berdebat) . Penelitian lainnya menunjukkan
bahwa proksemik memilik empat tipologi jarak (Antropolog Edward Hall) yaitu : intim,
personal, konsultatif, publik. Karakter perilaku terjadi pada interaksi antar individu pada
jarak-jarak tersebut. Hal ini merupakan dasar perancangan untuk penentuan ukuran
maksimum dan minimum ruangan.
16
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 2, No. 1, 2005 : 8 - 23
Ruang personal adalah konsep perilaku lingkungan spesifik (Robert Sommer) yang
didefinisikan sebagai kecil, tidak kentara, lingkungan protektif yang berada dalam posisi
saya-orang lain. Zone penyangga ruang personal adalah berupa ruang, dinamis, berubah
dalam dimensi, serta rasa stress /takut muncul apabila ada gangguan. Karakterisitik
individual (personalitas, usia, jenis kelamin) norma-norma sosial dan budaya, serta konteks
lingkungan fisik mempengaruhi ruang personal, sedangkan Teritorialitas mengacu kepada
kelompok tempat perilaku yang orang tandai, miliki dan pertahankan. Teritorialitas
bersifat tertentu dan tidak bergerak, memiliki 5 karakteristik:
1)
Memiliki area spatial
2)
Dimiliki/dikendalikan oleh kelompok individu
3)
Memuaskan beberapa kebutuhan/motivasi
4)
Di tandai secara nyata
5)
Akan mempertahankannya apabila ada gangguan
Teritorialitas sebagai konsep berawal dari dunia binatang, aplikasinya pada
manusia adalah: rumah, kantor, daerah tempat kerja dan sekitarnya, halaman/daerah
didepan ruang tamu, gang, benteng anak-anak, lingkungan pemukiman. Teritorialitas
tersebut dilindungi, kadang-kadang dengan perkelahian serta berupa tanda-tanda fisik
(patok). Dalam arsitektur, dengan cara simbolik perilaku teritorialitas telah diuji pada
berbagai lokasi bangunan. Ruang defensif merupakan pengembangan lanjut dari konsep
teritorialitas, yang diciptakan oleh perancang arsitektur-peneliti Oscar Newman, yang
mengindentifikasi 4 karakter ruang yang membuat lebih defensif terhadap berbagai
gangguan dan kejahatan:
1)
Pengamatan dijalanan yang terjadi di perumahan : penghuni perumahan, ruang
terbuka, jalan
2)
Teritorial yang kasat mata, misal: persepsi publik vs zona pribadi
3)
Citra lingkungan yang menyangkut orang-orang tertentu mencakup citra
menyeluruh tentang keamanan/kebanggaan lingkungan
4)
Zona aman atau pemisahan ruang aman yang diinginkan untuk aktifitas
intensif/berbahaya, perlindungan untuk keamanan dan daerah defensable.
Studi-studi ini menunjukkan bagaimana kritisnya faktor spatial dalam interaksi
kelompok., dan bagaimana ekologi keseluruhan perilaku dan tempatnya harus
dipertimbangkan dalam perancangan ruang, serta diterjemahkan kedalam desain arsitektur
berbasis perilaku.
Beberapa hal yang mencakup keinginan-keinginan individu/kelompok yang
berbeda vs interaksi sosial merupakan hal-hal yang harus diperhatikan seorang arsitek
dalam merancang lingkungan fisik. Privacy didefinisikan sebagai klaim individual,
kelompok lembaga untuk mengontrol akses pada mereka dan menentukan kapan mereka
berkomunikasi. Privacy diaplikasikan kepada berbagai unit sosial. Interaksi sosial dan
komunikasi adalah lawan dari privacy. Chermayeff dan Alexander mengembangkan 6
realitas komunitas dan privacy:
1)
Daerah-daerah privat individu berkaitan dengan orang
2)
Area keluarga /kelompok kecil yang berkaitan dengan kelompok
3)
Area private kelompok besar berkaitan dengan kelompok
4)
Area publik kelompok besar,melibatkan interaksi kelompok besar dan publik
5)
Area semi publik urban yang dikontrol pemerintah/lembaga dengan akses publik,
6)
Area publik urban.
Pendekatan Sosiologi Pada Perancangan Arsitektur (Marcus, Alfred)
17
Ruang publik kota dan desain rumah/kantor yang baik mampu mengakomodasi
semua kenyataan ini dalam hirarki ruang komunitas dan ruang privat. Desain mencakup
privacy, kepadatan dan kerumunan. Altman (1979) mengajukan model hubungan privacy,
ruang personal, territorial, dan kerumunan, yang ditunjukkan pada diagram 4, Kerumunan
terjadi sebagai hasil dari kegagalan dalam mencapai tingkat privacy yang diinginkan.
Upaya-upaya untuk mempertahankan ruang personal dengan menunjukkan perilaku
territorial adalah cara-cara yang digunakan untuk mencapai tingkat privacy dalam situasi
kerumunan, untuk menghindari terjadinya ketegangan (stress). Dalam hal ini desain ruang
diharapkan mengakomodasi hal-hal tersebut.
ISOLASISOSIAL
YG DICAPAI > YG DIINGINKAN
PRIVACY
YANG
DIINGINKAN
(IDEAL)
MEKANISME KONTROL
INTERPERSONAL
(RUANG PERSONAL,
TERITORIAL,
PERILAKU VERBAL-NON
VERBAL)
PRIVACY YANG
DICAPAI
(OUTCOME)
OPTIMUM
(YG DICAPAI
= YG
DIINGINKAN)
a
KERUMUNAN
YG DICAPAI < YG DUNGINKAN
Gambar 4
Model Hubungan Privacy, Ruang Personal, Teritorialitas, Kerumunan
(Sumber: LAItman, J.C.Snyder, "Introduction to Architecture", 1979)
Beberapa studi menunjukkan bahwa cara arsitek mengamati bangunan berbeda
jauh dengan pengguna bangunan tersebut. Prinsip-prinsip persepsi visual arsitektur yang
disebut sebagai teori gestalt digunakan oleh teoritikus dan peneliti arsitektur sebagai
landasan untuk memperkirakan persepsi orang terhadap bangunan. Namun pertanyaan
penting tentang persepsi lingkungan adalah bagaimana pengguna arsitektur (user)
mengenal kaidah-kaidah arsitektur tersebut. Kenyataan menunjukkan bahwa:
1)
Mayoritas konsumen (pengguna) tidak mengenal konfigurasi bentuk, kaidahkaidah arsitektur yang diperoleh lewat pendidikan profesi
2)
Keingintahuan, permainan bentuk, perilaku yang menyelidik, pengembangan
manusia terhadap arsitektur diperoleh oleh variasi dan kompleksitas aktifitas.
Arsitek elektik dari abad terakhir (Violet Le Due) memiliki tingkat sensistifitas
mengenai kompleksitas yang lebih dari generasi sebelumnya sebagai respons
terhadap persepsi pengguna arsitektur terhadap monotonisme arsitektur modern.
Semua ini berkaitan erat dengan sikap persepsi pengguna arsitketur.
Manusia mempunyai citra ingatan lingkungan dan perilaku mereka dipengaruhi
oleh citra ini. Citra manusia tentang bangunan dan kota meiiputi tiga fungsi:
1)
Menyederhanakan dunia kedalam sekumpuian ingatan yang teratur
2)
Memberi makna kepada dunia dengan mempersonalxsasl bangunan
18
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 2, No. 1, 2005 : 8 - 23
3)
Memberi kerangka untuk komunikasi kelompok berdasarkan pengalaman dan
sentimen tentang Iingkungan.
Namun ada 4 tipe citra yang merupakan bagian dari kognisi Iingkungan:
1)
Pemetaan kognitif kota (Urban cognitive mapping)
2)
Pengetahuan subyektif tentang tata ruang kota dan tampak bangunan
3)
Impresi karakter (image keseluruhan ) dari berbagai kota dan bangunan
4)
Sistem bahasa /domain kognitif (cara dasar tentang pemikiran tentang Iingkungan
dan orang pada tanah: makna, sentimen, simbolisme Iingkungan)
Persepsi merupakan respon terhadap stimulus fisik, sedangkan kognisi mengacu
pada berbagai media kesadaran/pengetahuan yang mencakup keseluruhan respons perilaku
serta berbagai bentuk kesadaran Iingkungan. Dua aspek kognisi Iingkungan berkaitan
dengan arsitek: citra bangunan dan kognitif kota. Namun kognisi Iingkungan berbeda-beda
bagi berbagai kelompok sosial/etnik. Penelitian menunjukkan bahwa persepsi arsitektur
bersifat relatif untuk berbagai kelompok sosial yang berbeda, sehingga tidak ada satu gaya
arsitektur yang dinyatakan sebagai kebenaran mutlak.
Studi Pemetaan Studi urban cognitive dilakukan oleh peneliti Kevin Lynch (1960)
yang identik dengan citra kota. la mengusulkan bahwa citra kota memiliki 3 aspek:
1)
Identitas pada elemen-elemen kota yang membentuk kota
2)
Makna elemen-elemen kota kaitannya dengan pengamat,
3)
Hubungan spatial antar elemen kota.
Penelitiannya juga menghasilkan usulan 5 tipe elemen kota yang merupakan
Iingkungan kritis untuk citra suatu kota:
1)
Jalan setapak
2)
£<ige.s/penghalang
3)
Node (simpul)
4)
Landmark
5)
Distrik
Namun penelitian menunjukkan citra kota berbeda-beda, pada siswa taman kanakkanak memperlihatkan bahwa citra kota identik dengan jalan setapak dan landmark
(rumah, sekolah, tempat-tempat yang penting yang berkesan). Sementara itu citra anakanak remaja lebih stabil dan hampir sama dengan orang tua yaitu berdasarkan sistem yang
lebih abstrak serta acuan yang rasional.
Aspek yang lebih jauh tentang kognisi Iingkungan adalah makna dan simbolisme.
Orang bereaksi kepada Iingkungan melalui pemaknaan. Pada masa awal Arsitektur
Modern, makna arsitektur didominasi pemaknaan sang arsitek, bukan penggunanya (user).
Penelitian terbaru dalam studi perilaku- Iingkungan telah menunjukkan keutamaan
perancangan arsitektur yang berorientasi pada pengguna. Semua bangunan memiliki
makna yang berbeda untuk kelompok pengguna yang berbeda, yang terbentuk oleh tata
letak, organisasi, dan karakter bangunan.
Lingkungan ketetanggaan (neighborhood) dan konsep interaksi sosial dan jaringan
sosial kurang dipahami oleh perencanaan kota dan para arsitek. Dioxiadis menghimbau
agar dimensi manusia diperhatikan dalam perencanaan kota, yang menempatkan
lingkungan ketetanggaan sebagai komunitas alami yang memberikan satu ukuran standar
Pendekatan Sosiologi Pada Perancangan Arsitektur (Marcus, Alfred)
19
kemanusiaan. Keutamaan lingkungan tempat tinggal (neighborhood) terlihat pada
penelitian Bauer sampai Dioxiadis, yang menyimpulkan bahwa terdapat tiga hal yang
membedakan arsitektural dan non-arsitektural yang mempengaruhi interaksi sosial:
1)
Homogenitas
2)
Heterogenitas
3)
Populasi
Masalah lain adalah pengaruh usia manusia terhadap desain lingkungan fisik
buatan baik anak-anak,remaja maupun orang tua, terutama pertambahan populasi orang tua
dan anak-anak pengaruhnya terhadap desain. Kondisi ini berpengaruh pada penciptaan
lingkungan buatan pada masa yang akan datang, berupa pemikiran bagi pertambahan
jumlah fasilitas rekreasi untuk orang tua, serta fasilitas pembantu bagi orang tua (handrail, ramp, dsb), dan penciptaan lingkungan fisik buatan untuk pemenuhan kebutuhan
khusus anak-anak berupa sifat petualangan jiwa anak-anak.
Dengan demikian pada pendekatan paradigma perilaku sosial, permasalahan
perilaku-sosial yang mencakup hal-hal tersebut di atas merupakan aspek utama dalam
perancangan arsitektur, karena keberhasilan perancangan arsitektur berkaitan erat dengan
penciptaan lingkungan fisik yang memenuhi perilaku yang dikehendaki. Perilaku berkaitan
erat dengan tempat (setting) dan pengguna (user). Ketiga hal ini membentuk sistem
informasi lingkungan-perilaku yang mencerminkan subyek-sifat /perilaku subyek-tempat.
Paradigma terakhir menunjukkan bahwa pendekatan sosiologi terpadu perlu
dilakukan pada arsitektur, menyangkut: sisi hukum, norma, nilai, kultur, kebudayaan,
kesadaran obyektif dan subyektif baik pada tingkat makro maupun mikro. Pendekatan
sosiologi terpadu dengan perancangan arsitektur menghasilkan karya yang memuaskan
bagi masyarakat. Karena pada akhirnya karya fisik arsitektur digunakan, dinilai oleh
masyarakatnya. Pendekatan sosiologi terpadu tidak bisa dilepaskan dari masyarakatnya.
Masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang memiliki tiga wujud kebudayaan,
yaitu: wujud sistem ide, wujud sistem sosial (aktifitas), serta wujud fisik (Kuntjaraningrat,
1979), dan masing-masing wujud kebudayaan saling berkaitan satu sama lain. Hal tersebut
digambarkan dalam gambar 4 di bawah ini. Arsitektur merupakan bagian dari wujud
sistem fisik kebudayaan,yang tidak terpisahkan dari wujud sistem ide, maupun wujud
sistem sosial masyarakatnya.
WUJUD
SISTEM DDE
WUJUD FISIK
WUJUD SISTEM
SOSIAL(AKTIFITAS)
Gambar 4
Wujud Kebudayaan
(Sumber: Kuntjaraningrat, "Pengantar Antropologi")
Pengembangan lanjut pendekatan Perancangan Arsitektur, yang sejalan dengan
pendekatan sosiologi Kuntjaraninngrat adalah teori Benyamin Handler. Benyamin Handler
20
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 2, No. 1, 2005 : 8 - 23
mengajukan teori System Approach to Architecture, yang menyatakan bahwa arsitektur
merupakan suatu sistem yang mencakup sistem input-proses-output. Sistem arsitektur
terdiri dari empat subsistem: perancangan arsitektur, konstruksi, operasi fasilitas, proses
bionomik. Subsistem perancangan merupakan segala hal yang berkaitan dengan
perancangan, dimana inputnya adalah segala aspek yang perlu dipertimbangkan sebagai
masukan pada perancangan. Subsistem konstruksi adalah subsistem yang berkaitan dengan
aspek pelaksanaan. Subsistem operasi fasilitas adalah segala hal yang berkaitan dengan
operasi fasilitas. Subsistem proses bionomik adalah segala hal yang berkaitan dengan pola
perilaku manusia akibat bangunan/lingkungan fisik yang dirancang. Input utama sistem
arsitektur adalah segala aspek yang perlu dipertimbangkan dalam proses perancangan
sedangkan output sistem arsitektur adalah berupa perilaku manusia baik yang fisik
maupun non-fisik. Output suatu subsistem arsitektur merupakan input subsistem yang lain.
Subsistem-subsistem tersebut menjadi kesatuan dalam sistem arsitektur yang mencakup
aspek fisik maupun non fisik. Pada akhirnya keberhasilan karya arsitektur tergantung pada
sejauh mana proses bionomik manusia terpenuhi, proses bionomik tersebut mencakup
psikologi, fisiologi maupn aspek-aspek non-fisik lainnya (norma, dsb). Dengan demikian
menurut Benjamin Handler keberhasilan suatu karya arsitektur tergantung pada
pemenuhan aspek fisik, sosial serta ekonomi manusia, sehingga karya arsitektur membuka
terjadinya perubahan, desain ulang sebagai hasil evaluasi interaksi lingkungan buatan
dengan manusia yang menggunakannya. Titik sentral sistem arsitektur adalah manusia dan
perilakunya sebagai pengguna (user) lingkungan fisik buatan yang dihasilkan arsitektur.
Hubungan tersebut ditunjukkan dalam gambar 5.
BATASAN(RESTRICTION)
SUBSISTEM
^ ^
1 liKAIN L. AINlr ArN
ARSITEKTUR
1r
SUBSISTEM
KONSTRUKSI
•
SUSBSISTEM
OPERASI
FASILITAS
PROSES
BIONOMIK
Gambar 5
Sistem Arsitektur
(Sumber: Benjamin Handler, "System Approach To Architecture")
KESIMPULAN
Pendekatan sosiologi pada perancangan arsitektur pada masa yang akan datang
merupakan hal yang utama. Hal ini disebabkan masyarakat, manusia dengan lingkungan
fisik buatan (built enviroment) merupakan aspek-aspek yang tidak bisa dipisahkan.
Arsitektur sebagai lingkungan buatan merupakan wadah fisik bagi aktifitas manusia dan
masyarakatnya, baik skala bangunan, kota ataupun wilayah. Masyarakat memilki
fenomena sosial, dengan demikian keberhasilan karya arsitektur berkaitan erat dengan
sejauh mana karya arsitektur tersebut memenuhi tuntutan-tuntutan manusia/masyarakat
Pendekatan Sosiologi Pada Perancangan Arsitektur (Marcus, Alfred)
21
dalam melakukan aktifitasnya dan interaksi sosial yang berkembang sepanjang masa.
Tuntutan-tuntutan tersebut berkait erat dengan sistem nilai dan pola perilaku
masyarakatnya. Sedangkan masyarakat merupakan obyek studi sosiologi, yang
menyangkut hubungan antar manusia dan proses sebab-akibat yang timbul dari hubungan
antar manusia tersebut, dengan demikian pendekatan sosiologi diperlukan dalam
perancangan arsitektur.
Pendekatan sosiologi mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan paradigma
fakta sosial yaitu norma-norma, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang bersifat makro
maupun universal, struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat, paradigma definisi
sosial yaitu pemahaman makna atau symbol, paradigma perilaku sosial yaitu perilaku
indidvidu/masyarakat yang berulang, serta paradigma terpadu yaitu pendekatan secara
terpadu tiga pendekatan tersebut. Paradigma-paradigma tersebut menunjukkan bahwa
pendekatan sosiologi dapat memadu para arsitek untuk menciptakan lingkungan buatan
yang memenuhi tuntutan dan kebutuhan sosial masyarakat.
Pada prinsipnya pemahaman tentang masyarakat sebagai suatu sistem yang
terangkum dalam empat pendekatan sosiologi, diharapkan dapat membantu para arsitek
untuk mmeperoleh hasil karyanya (baik bangunan, lingkungan buatan, kota maupun
wilayah) sebagai perwujudan pemecahan masalah sosial {problem solver) masyarakatnya,
bukan semata-mata kreasi-eksperimen bentuk-imajinasi para arsiteknya, dengan demikian
karya arsitektur mampu mencerminkan sistem sosial masyarakatnya, bukan sesuatu yang
terpisah dari masyarakatnya. Pendekatan sosiologi dalam perancangan arsitektur
diharapkan memandu para arsitek agar tidak semata-mata berfungsi sebagai Builder
(pembangun,) yang sehingga memberikan nilai tambah pada penataan lingkungan fisik
buatan, tetapi juga lebih dari itu,yaitu berfungsi sebagai Social-developer yaitu
membangun sistem sosial masyarakat melalui pendekatan tata-ruang (spatial order) baik
bangunan, tapak, kota, kawasan maupun wilayah. Dengan demikian para arsitek dapat
memberi konstribusi sebagai Agent Of Change (agen perubahan) yang positif dalam
pembangunan sosial masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bruce, Cohen. (1983). "Sosiologi Suatu Pengantar", Bina Aksara, Jakarta
Dhohiri.Taufik Rohman. (2004). "Pengenalan sosiologi", Yudhistira. Jakarta
Kuntjaraningrat. (1979). "Pengantar Antropologi", Jakarta
Lawang, MZ.Robert. (1980). "Pengantar Sosiologi", Universitas Indonesia. Jakarta
Lynch.K. (1960). "The Image Of The City. Cambridge", Mass : MIT Press
Moore, GT. (1970). "Emerging Methods In Envioromental Design & Planning", MIT
Press, Cambridge
Haryono, Paulus. "Arsitektur dalam Paradigma Sosiologi. Jurnal Tesa Arsitektur", Unika
Soegijapranata Semarang
22
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 2, No. 1, 2005 : 8 - 23
Rapoport, A. (1969). "House Form & Culture.Englewood Cliffs", N.J: Prentice-Hall
SnyderJames.C & Catanese Anthony.J. (1979). "Introduction to Architecture", McGrawHill Book Company
Sommer.R. (1969). "Personal Space: The Behavioural Basis Of Design", Englewood
Cliffs, N.J : Prentice Hall
Pendekatan Sosiologi Pada Perancangan Arsitektur (Marcus, Alfred)
23
Download