BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.5.1 Interaksi Sosial

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.5.1 Interaksi Sosial
Salah satu sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama dengan
manusia lainnya. Dalam hidup bersama antara manusia dan manusia atau manusia dan
kelompok tersebut terjadi “hubungan” dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengertian interaksi sosial sangat berguna didalam memperhatikan dan mempelajari
berbagai masalah masyarakat terutama dalam hal bentuk interaksi sosial yang
berlangsung antar pelbagai suku bangsa, agama. Menurut Kimball Young dalam
Soerjono soekanto (2007) interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan
sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang-perorangan
secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu
kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang
perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan
seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian,
dan lain sebagainya. Maka, dapat dikatakan bahwa interaksi sosial merupakan dasar
proses sosial, yang menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara
lain, yaitu :
a. Faktor Imitasi dalam penelitian ini lebih mendorong siswa untuk mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku pada lingkungan sekolah. Setiap siswa
yang telah menjadi anggota dari SMA Sutomo 2 harus mengikuti segenap
10
Universitas Sumatera Utara
peraturan yang ada, sebagai contohnya penekanan penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
b. Faktor Sugesti dalam penelitian ini dilakukan oleh pihak guru maupun staff
pengajar yang memiliki sifat yang otoriter dalam penegasan terhadap siswa di
SMA Sutomo 2, Medan. Guru memiliki kewenangan untuk memberikan
hukuman atuapun sangsi terhadap siswa yang yang melanggar peraturan dan
tentunya sebagai siswa harus menerima aturan yang berlaku demi tercapainya
ketentraman di sekolah.
c.
Identifikasi dalam penelitian ini lebih pada pembentukan karakter dan
kepribadian siswa karena proses identifikasi berlangsung secara tidak sadar.
Setiap siswa yang berasal dari budaya yang berbeda ketika di tempatkan pada
satu ruang lingkup yang sama secara tidak langsung akan menghasilkan interaksi,
dan tentunya akan memiliki perasaan untuk bisa berteman satu sama lainnya, dan
memiliki tujuan dan cita-cita untuk bisa belajar dan mendapatkan ilmu di sekolah
yang sama. Hal tersebut secara nyata yang ingin dilihat oleh peneliti.
d. Simpati yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ketika siswa yang saling
berinteraksi, mengenal satu sama lain maka secara tidak langsung akan tercipta
perasaan saling memiliki. Misalnya pada saat mengerjakan tugas kelompok, atau
pada saat teman di hukum,maka akan terbentuk rasa simpatik dan merasa kasihan
itu semua didasari atas ketidaksadaran (Soekanto,2007: 57-58).
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat, yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak dalam pengertian
sosiologis memiliki makna tanpa harus melakukan sentuhan fisik misalnya dari
ekspresi, mimik wajah, melalui mediator penghubung seperti handphone. Kontak
sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu
11
Universitas Sumatera Utara
1. Antara orang perorangan, kontak sosial pada penelitian ini terjadi pada
masa ketika setiap siswa menerima nilai dan norma yang diperoleh melalui
keluarga pada tahapan sosialisasi primer.
2. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia lainnya, kontak
sosial pada penelitian ini dimana setiap siswa telah memasuki lingkungan
luar dan merasakan perbedaan antara nilai dan norma yang ia terima pada
saat di lingkungan keluarga dan ternyata sangsi yang berat diberikan oleh
masyarakat jika terjadi pelanggaran norma di lingkungan sosial.
3. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok, interaksi yang terjadi
dalam lingkup yang lebih besar, ketika setiap siswa berinteraksi satu sama
lain khususnya dilingkungan sekolah.
Syarat yang kedua berupa komunikasi dimana seseorang memberikan
tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak badaniah,
atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.
Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang
ingin disampaikan. Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap dan perasaan
suatu kelompok manusia atau orang perseorangan dapat diketahui oleh
kelompok-kelompok
lain
atau
orang-orang
lainnya.
Dengan
demikian,
komunikasi memungkinkan terjadinya kerjasama antara orang perorangan atau
antara kelompok-kelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah
satu syarat terjadinya interaksi. Kedua syarat tersebut saling ketergantungan
dalam interaksi sosial, kontak tanpa komunikasi tidak mempunyai arti apa-apa.
Salah satu bentuk Interaksi Sosial, yaitu Proses Assosiatif merupakan
sebuah proses yang terjadi saling pengertian serta kerjasama secara timbal balik
12
Universitas Sumatera Utara
antar orang per orang atau dengan kelompok lainnya. Proses assosiatif ini terbagi
yaitu :
1. Kerjasama (cooperation) pada penelitian ini kerjasama yang dimaksudkan
antar siswa SMA Sutomo 2, Medan. Kerjasama yang dibangun untuk bisa
saling bekerja sama baik secara pribadi dan kelompok untuk mencapai
tujuan bersama. Kebiasaan dan sikap mau bekerja sama di mulai sejak
kanak-kanak dan kemudian akan terlihat ketika individu tersebut di
lingkungna sosial.
2. Akomodasi (accomodation) pada penelitian ini merupakan suatu proses
penyesuaian diri setiap siswa maupun guru ketika terjadi pertentangan
untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di sekolah. Tujuan dari
akomodasi adalah terciptanya keseimbangan interaksi sosial antar siswa
mengenai norma dan nilai yang ada di SMA Sutomo 2, Medan.
Bentuk-bentuk akomodasi antara lain :
1. Koersi dalam penelitian ini ketika terjadi permasalahan yang
menyangkut siswa, maka pihak guru ataupun guru BP berwenang
mengambil alih permasalahan tersebut.
2. Kompromi merupakan bentuk akomodasi ketika setiap siswa yang
terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agar tercapai suatu
penyelesaian, siswa tersebut bersedia untuk merasakan dan memahami
keadaan pihak lainnya.
3. Arbitrasi merupakan bentuk akomodasi apabila siswa yang berselisih
tidak sanggup mencapai kompromi sendiri. Untuk itu, akan diundang
pihak ketiga yang tidak memihak (netral) untuk mengusahakan
13
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian pertentangan tersebut. Dalam penelitian ini guru merupakan
pihak ketiga yang berwenang menyelesaikan permasalahan.
4. Mediasi merupakan bentuk penyelesaian masalah yang hampir sama
dengan arbitrasi. Namun, dalam hal ini pihak ketiga bukanlah guru tetapi
siswa juga yang menengahi permasalahan dan menjadi pihak yang netral.
5. Konsiliasi dalam penelitian ini, siswa yang mengemukakan pendapat
masing-masing agar tercapai kesepakatan, misalnya saat diskusi
kelompok.
6. Toleransi dalam penelitian ini bagaimana siswa saling memberikan
pengertian terhadap sesuatu perbedaan misalnya terkait hal mayoritas dan
minoritas yang terdapat di SMA Sutomo 2 tersebut. Tindakan toleransi ini
yang ingin digali peneliti lebih dalam untuk mengetahui seberapa jauh
rasa tenggang rasa antar siswa menyikapi perbedaan.
7. Stalemate pada penelitian ini melihat setiap siswa yang memiliki
masalah baik antar siswa akan memiliki keinginan untuk berhenti dan
menyelesaikan permasalahan dengan jalan “ win solution”serta menahan
diri.
8. Ajudikasi pada penelitian dimana setiap siswa yang tidak mampu
menyelesaikan permasalahan baik di selesaikan oleh sesama siswa
maupun guru maka pihak BP mengambil alih masalah ini dan memanggil
orang tua untuk penyelesaian masalah.
Penelitian mengenai interaksi sosial juga pernah dilakukan oleh Otto
(2011) mengenai pola interaksi sosial siswa/i berbeda agama di SMA Raksana,
Medan yang menyatakan bahwa sekolah tersebut bersifat umum dan bersifat
heterogen yang terdiri dari perbedaan dalam segi multi etnis, agama yang dianut
14
Universitas Sumatera Utara
melalui pola interaksi dalam bentuk kerjasama, persaingan, kontak sosial,
komunikasi, pergaulan, solodaritas, dan konflik. Kesimpulan hasil penelitian
bahwa pola interaksi yang terjadi antar siswa/i berbeda agama di SMA Swasta
Raksana sama sekali tidak ditemukannya konflik dan pertentangan yang
berhubungan dengan agama, melainkan adanya sikap yang baik dalam hormat
menghormati, dan menghargai satu sama lain, sehingga terciptanya persaingan
yang sehat antar siswa/i di SMA Swasta Raksana , guna mencerdaskan
kehidupan bangsa dan negara.
Berbeda dengan penelitian diatas, penelitian ini juga mengkaji mengenai
interaksi sosial antar siswa dan lokasi penelitian di SMA Sutomo 2, Medan
tetapi peneliti berfokus pada interaksi siswa yang mayoritas dan minoritas yang
di dalamnya mencakup etnis dan agama pada siswa di SMA Sutomo 2, Medan.
1.5.1.1 Asimilasi ( Assimilation)
Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan
adanya usaha–usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang
perorangan atau kelompok–kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha
untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan
memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama. Dalam penelitian ini asimilasi
yang di maksudkan peneliti bagaimana siswa SMA Sutomo 2 medan melakukan
interaksi satu sama lain dengan cara tidak ada lagi perbedaan yang membedakan
diri setiap siswa tanpa melihat kelompok mayoritas dan minoritas, tujuannya
agar siswa saling mengetahui bahwa melalui pendidikan yang diberikan di
sekolah, proses asimilasi sangat berguna untuk mempererat hubungan antar
budaya apalagi dengan kemajemukan negara Indonesia. Dengan adanya proses
15
Universitas Sumatera Utara
asimilasi, setiap siswa baik yang berasal dari kelompok minoritas maupun
mayoritas tentu akan menghilangkan batas-batas perbedaan tersebut sehingga
hal tersebut juga akan berdampak pada lingkungan sosialnya diluar dari
lingkungan sekolah.
Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto (2006 : 74) menyatakan proses
asimilasi akan timbul apabila ada beberapa hal berikut ini:
1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaan,
2. Orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan
intensif untuk waktu yang lama sehingga
3. Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing
berubah dan saling menyesuaikan diri.
Selain itu ada juga beberapa faktor yang dapat mempermudah terjadinya
proses asimilasi terkait dengan penelitian ini yaitu
1.
Toleransi
2.
Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi
3.
Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya
4.
Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
5.
Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan
6.
Perkawinan campuran (amalgamation)
7.
Adanya musuh bersama diluar
Proses yang menghambat terjadinya keberhasilan asimilasi di tandai dengan
adanya faktor-faktor penghambat terkait dengan penelitian ini yaitu :
1. Terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat (biasanya
golongan minoritas)
16
Universitas Sumatera Utara
2. Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi dan sehubung dengan
itu sering kali menimbulkan faktor ketiga.
3. Perasaan takut terhadap kekuatan atau kebudayaan yang dihadapi
4. Perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi
daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya
5. Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kuliat atau perbedaan ciri-ciri badaniah
dapat pula menjadi salah satu penghalang terjadinya asimilasi
6. In-group feeling, in- group feeling yang kuat dapat pula menjadi
penghalang
berlangsunganya asimilasi
7. Gangguan dari golongan yang berkuasa terhadap golongan minoritas lain yang dapat
menggaggu kelancaran terjadinya proses asimilasi
8. Kendala faktor pembedaan
kepentingan yang kemudian ditambah dengan
pertentangan-pertentangan pribadi juga dapat menyebabkan terhalangnya proses
asimilasi.
Faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain
adalah toleransi terhadap kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan sendiri
hanya mungki
tercapai dalam suatu akomodasi. Apabila toleransi tersebut
terjadinya komunikasi, faktor tersebut dapat mempercepat asimilasi. Sikap
saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukung oleh masyarakat lain di
mana
masing-masing
mengakui
kelemahan
dan
kelebihannya
akan
mempercepat proses asimilasi. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa
terhadap kelompok minoritas dapat mendorong terjadinya asimilasi. Selain itu
pengetahuan akan persamaan kebudayaan yang berlainan akan menambah
wawasan masyarakat dan menganggap suatu perbedaan bukan dijadikan suatu
halangan untuk bersatu. Dengan adanya asimilasi menyebabkan perubahan17
Universitas Sumatera Utara
perubahan dalam hubungan sosial dan dalam pola adat istiadat serta interaksi
sosial (Soerjono, 2007: 73).
1.5.2 Nilai dan Norma
Nilai sosial (social value) adalah suatu ide yang telah turun temurun
dianggap
benar
dan
penting
oleh
anggota
kelompok
masyarakat
(Hasbullah,2006). Setiap kehidupan sosial senantiasa ditandai dengan adanya
aturan-aturan pokok yang mengatur perilaku anggota anggota masyarakat yang
terdapat di dalam lingkungan sosial tersebut. Nilai menjadi dasar tujuan
kehidupan sosial yang menjadi patokan di dalam kehidupan bersama yang di
dalamnya terdapat seperangkat perintah dan larangan berikut sanksinya yang
dinamakan sistem norma.
Nilai biasanya diukur berdasarkan kesadaran terhadap apa yang pernah
diketahui dan dialami, yaitu pada waktu seseorang terlibat dalam suatu kejadian
yang dianggap baik atau buruk, bnar atau salah, baik oleh dirinya maupun
anggapan masyarakat. Menurut Koentjaraningrat dalam Busrowi (2005), nilai
terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebagian besar
warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem
nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam
bertindak.
Oleh
karena
itu,
nilai
budaya
yang
dimiliki
seseorang
mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan
pedoman dalam bertindak.
Nilai merupakan sesuatu yang berharga yang
dipelajari melalui proses belajar dan pencapaian nilai-nilai itu dimulai sejak
masa kanak-kanak dalam keluarga melalui sosialisasi.
18
Universitas Sumatera Utara
Dalam kajian sosiologis, nilai-nilai sosial seseorang atau kelompok
secara langsung dapat mempengaruhi segala aktivitasnya, terutama dalam
rangka menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Norma-norma sosial (social norms) akan sangat berperan dalam mengontrol
bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Aturan-aturan tersebut
biasanya tidak tertulis, akan tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya
dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam berinteraksi pada
hubungan sosial.
Nilai dan norma saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, norma
mengandung sanksi yang tegas memaksa seseorang untuk bertindak sesuai
dengan aturan yang berlaku. Norma inilah yang mendorong seseorang untuk
mencapai nilai-nilai sosial yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat.
Menurut Basrowi (2005) secara sosiologis ada empat bagian norma sosial untuk
membedakan kekuatan masing-masing norma yaitu cara (usage), kebiasaan
(folkways), tata kelakuan (mores), adat istiadat (custom).
1.5.2.1 Nilai-Nilai Multikultural dalam Lembaga Pendidikan
Nilai budaya merupakan pedoman penilaian dalam bertindak yang
benar dan pantas dalam setiap kehidupan. Nilai-nilai tersebut terserap dalam
semua bidang, secara sadar atau tidak sadar, nilai budaya itu digunakan
sebagai acuan bagi penjelasan yang masuk akal dan pembenaran atas suatu
tindakan yang dilakukan baik tindakan sosial,individual maupun kolektif.
Negara Indonesia yang terdiri lebih dari 1340 suku bangsa yang menjadikan
keberagaman suku bangsa tersebutlah maka harus ada institusi yang
mengemas nilai multikultural di dalam sebuah wadah yang mengintegrasikan
nilai-nilai tersebut menjadi satu kesatuan. Pendidikan di jadikan sebagai
19
Universitas Sumatera Utara
institusi penting didalam menjaga nilai-nilai multikultural yang menjadi
landasan masyarakat. Hal ini di karenakan masyarakat tidak bisa hidup sendiri
dalam melakukan pemenuhan kebutuhan tanpa ada kontak langsung dengan
kebudayaan lain, sehingga dengan mempelajari bahasa, adat istiadat, nilai nilai kolektif tersebut akan menjadikan masyarakat tetap survive dalam tatanan
sosial masyarakat (Suparlan, 2005: 101).
Pengelolaan pendidikan haruslah berasal dari suatu keyakinan bahwa
setiap warga negara masyarakat memiliki identitas budaya yang berbeda.
Menurut Maliki (2008)Pendidikan harus
memiliki keterbukaan
bagi
masyarakat untuk mengekspresikan simbol dan lambang partikularitas budaya.
Institusi Pendidikan menempatkan diri sebagai wadah dalam kelangsungan
sosialisasi nilai-nilai multikultural. Sosialisasi primer dianggap sebagai
pendidikan pertama yang berlangsung di tengah keluarga yang menananamkan
nilai-nilai tersebut pada anak. Selanjutnya perkembangan nilai-nilai tersebut
diberikan kepada sekolah yang berkontribusi dalam menuju perubahan,
memecahkan
egoisme,
mengendalikan
sikap
etnocentrisme
ataupun
primordialisme sehingga membentuk keseimbangan. Pendidikan sebagai
modal dasar manusia yang dikembangkan berdasarkan nilai-nilai kolektif dan
keyakinan yang dianut oleh masyarakat.
Di level sekolah maka pelajar atau siswa diberi ruang untuk
menciptakan struktur pengetahuan dan kontruks tentang identitas budaya
mereka sendiri. Perspektif ini mengimplikasikan keharusan menerima
keberagaman, karena sekolah berasal dari latar belakang nilai yang berbeda,
keyakinan, kultur, etnisitas, ideologi maupun agama. Oleh karena itu institusi
pendidikan memasukkan nilai-nilai multikultural dalam kebijakan pendidikan.
20
Universitas Sumatera Utara
Menurut
Muthoharoh
dalam
Imam
(2012)
bahwa
indikator
keterlaksanaan nilai-nilai multikultural yaitu :
a. Nilai inklusif (terbuka) yaitu nilai ini memandang bahwa kebenaran yang
dianut oleh suatu kelompok, dianut juga oleh kelompok lain. Nilai ini
mengakui terhadap pluralisme dalam suatu komunitas atau kelompok sosial.
b. Nilai mendahulukan dialog (aktif) yaitu melalui dialog, pemahaman yang
berbeda tentang suatu hal yang dimiliki masing-masing kelompok yang
berbeda dapat saling diperdalam tanpa merugikan masing-masing pihak.
Hasil dari mendahulukan dialog adalah hubungan erat, sikap saling
memahami, menghargai, percaya, dan tolong menolong.
c. Nilai kemanusiaan (humanis) pada dasarnya adalah pengakuan akan
pluralitas, heterogenitas, dan keragaman manusia itu sendiri. Keragaman itu
bisa berupa ideologi, agama, paradigma, suku bangsa, pola pikir,
kebutuhan, tingkat ekonomi, dan sebagainya.
d. Nilai toleransi yaitu dalam hidup bermasyarakat toleransi dipahami sebagai
perwujudan mengakui dan menghormati hak-hak asasi manusia. Kebebasan
berkeyakinan dalam arti tidak adanya paksaan dalam hal agama, kebebasan
berpikir atau berpendapat, kebebasan berkumpul, dan lain sebagainya.
e. Nilai tolong menolong, sebagai makhluk sosial manusia tak bisa hidup
sendirian meski segalanya ia miliki. Harta benda berlimpah sehingga setiap
saat apa yang ia mau dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi ia tidak bisa
hidup sendirian tanpa bantuan orang lain dan kebahagiaan pun mungkin tak
akan pernah ia rasakan.
f. Nilai keadilan (demokratis) merupakan sebuah istilah yang menyeluruh
dalam segala bentuk, baik keadilan budaya, politik, maupun sosial.
21
Universitas Sumatera Utara
Keadilan sendiri merupakan bentuk bahwa setiap insan mendapatkan apa
yang ia butuhkan, bukan apa yang ia inginkan.
g. Nilai persamaan dan persaudaraan, dalam Islam istilah persamaan dan
persaudaraan itu dikenal dengan nama ukhuwah. Ada tiga jenis ukhuwah
dalam kehidupan manusia, yaitu: Ukhuwah Islamiah (persaudaraan
seagama), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa), ukhuwah
bashariyah (persaudaraan sesama manusia). Dari konsep ukhuwah itu,
dapat disimpulkan bahwa setiap manusia baik yang berbeda suku, agama,
bangsa, dan keyakinan adalah saudara. Karena antar manusia adalah
saudara, setiap manusia memiliki hak yang sama.
h. Berbaik sangka, ketika memandang seseorang atau kelompok lain dengan
melihat pada sisi positifnya dan dengan paradigma itu maka tidak akan ada
antar satu kelompok dengan kelompok lain akan saling menyalahkan.
Sehingga kerukunan dan kedamaian pun akan tercipta.
i. Cinta tanah air dalam hal ini tidak bermakna sempit, bukan chauvanisme
yang membangga-banggakan negerinya sendiri dan menghina orang lain,
bukan pula memusuhi negara lain. Akan tetapi rasa kebangsaan yang lapang
dan berperikemanusiaan yang mendorong untuk hidup rukun dan damai
dengan bangsa-bangsa lain.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Amin (2011) beberapa
program yang mampu merespon terhadap keanekaragaman perbedaan latar
belakang etnis dan agama pada siswa, yaitu
a.
Content
integration
(integrasi
isi/materi)
yaitu
Upaya
untuk
mengintegrasikan nilai multikultural di dalam kurikulum pembelajaran
22
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan masalah bagaimana mengurangi berbagai prasangka di
dalam perlakuan dan tingkah laku rasial dari etnis-etnis dan agama.
b. Knowledge construction (kontruksi ilmu pengetahuan), yaitu siswa
diberikan pengetahuan mengenai sejarah perkembangan masyarakat dalam
upaya memberikan pemahaman mengapa negara Indonesia majemuk yang
terdiri dari beragam etnis dan agama.
c. Prejudice reduction (pengurangan prasangka) yaitu melalui pergaulan
antar kelompok yang intensif, prasangka prasangka buruk dapat dihilangkan
dan dapat dibina kerja sama yang erat dan saling menghargai. Peringatan
akan pahlawan - pahlawan, tanpa membedakan warna kulit dan agamanya
merupakan cara-cara untuk menanamkan sikap positif terhadap kelompok
etnis tertentu. Nilai-nilai tersebut dimasukkan di dalam kurikulum tanpa
merubah struktur kurikulum itu sendiri. Akhirnya pengetahuan yang
dimiliki oleh peserta didik ditransformasikan di dalam perbuatan, misalnya
di dalam memperingati hari-hari besar dari masing-masing kelompok etnis
yang ada di dalam sekolah atau masyarakatnya.
d. Empowering school culture and social cultur (pemberdayaan budaya
sekolah dan struktur sosial). Sekolah haruslah merupakan suatu motor
penggerak di dalam perubahan struktur masyarakat yang timpang karena
kemiskinan ataupun tersisih di dalam budaya masyarakat. Dalam konteks
ini dapat dikatakan, tujuan utama dari sekolah dalam memberikan
pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek,
apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda.
Menurut H.A.R Tilaar dalam imam (2012) menjelaskan beberapa nilainilai multikultural yang ada, sekurang-kurangnya terdapat indikator-indikator
23
Universitas Sumatera Utara
sebagai berikut: belajar hidup dalam perbedaan, membangun saling percaya
(mutual trust), memelihara saling pengertian (mutual understanding),
menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), terbuka dalam berpikir.
Sedangkan untuk memahami nilai-nilai multikultural secara umum terdapat
empat nilai inti (core values) antara lain: Pertama, apresiasi terhadap adanya
kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat. Kedua, pengakuan terhadap
harkat manusia dan hak asasi manusia. Ketiga, pengembangan tanggung jawab
masyarakat dunia. Keempat, pengembangan tanggung jawab manusia terhadap
planet bumi.
24
Universitas Sumatera Utara
Download