Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA NOVEL DUA IBU KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO: SUATU TINJAUAN SASTRA Wahidah Nasution1 Abstrak Sastra dalam jenis apapun merupakan karya cipta yang hadir karena kedudukan manusia sebagai makhluk pencerita. Segala yang ditulis dan dingkapkan pengarang adalah masalah hidup dan kehidupan manusia. Kisah yang dihasilkan merupakan gambaran kehidupan hasil rekaan seseorang. Kehidupan itu diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang. Data diperoleh dari novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto dengan tebal 300 halaman. Novel tersebut dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra. Berdasarkan pendekatan tersebut, ditemukan bahwa: (1) pandangan dunia pengarang; (2) latar belakang sosial budaya yang mencakup pendidikan, pekerjaan, bahasa, tempat tinggal, adat kebiasaan, dan agama; (3) pandangan pengarang terhadap tokoh wanita; serta (4) karakter tokoh dan hubungan antar tokoh. Kehidupan sosial yang digambarkan pengarang didominasi oleh adat budaya jawa yaitu Solo. Kata Kunci: Novel, Sosiologi Sastra, Kajian Pustaka 1 Wahidah Nasution, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, STKIP Bina Bangsa Getsempena, Email: [email protected] ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 14 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… kenyataan hidup sehari-hari yang ada di PENDAHULUAN Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil masyarakat. Persoalan atau peristiwa itu sangat pekerjaan seni yang objeknya adalah manusia mempengaruhi dan menggu-nakan pencipta karya sastra sehingga memungkinkan Karya sastra munculnya kon-flik atau ketegangan batin berbentuk kreativitas dalam bahasa yang indah yang mendorong pencipta untuk mewujudkan berisi konflik dalam bentuk karya sastra. kehidupannya bahasa sebagai dengan medianya. sederetan pengalaman batin dan imajinasi yang berasal dari penghayatan realitas sosial pengarang. melalui penggam-baran. berupa titian pengarang, bahasa dengan Penggambaran terhadap wawasan cara yang seorang Sebuah karya sastra tidak akan lepas dari sastra keberadaan selalu dalam pengarangnya. samping mengekspresikan kenyataan hidup persoalan hidup yang terjadi, pengarang juga terhadap berkaitan dengan mengajak dan Di pengaruh dapat pengarang tidak Karya ini kenyataan hidup, dapat pula imajinasi murni pengarang kejiwaan pola pikir, ide dan prinsip pengarangnya. Karya sastra merupakan ungkapan batin seseorang bentuk pembaca mengemukakan untuk berpikir memecahkan persoalan kehidupan. Seorang pengarang mempunyai banayak kenyataan hidup (rekam), atau dambaan intuisi kemungkinan pengarang, dan dapat pula sebagai campuran diciptakannya. Pemahaman isi karya sastra keduanya. yang ditulis pengarang bergantung pada Sebuah cipta sastra dibalik karya yang mengung-kapkan ketajaman interpretasi pemba-canya. Untuk masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, dapat menginter-pretasi karya sastra dengan tentang makna hidup dan kehidupan. Ia baik, pembaca harus memahami dengan melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, sungguh-sungguh maksud pengarang dalam perju-angannya, karya yang dihasilkannya itu. kasih sayang, kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia Sastra dalam jenis apapun merupakan karya (Mursal Esten, 1990:8). Bentuk pengungkapan cipta yang hadir karena kedudukan manusia inilah yang merupakan olahan pengarang sebagai makhluk pencerita. Segala yang ditulis dalam aspek dan dingkapkan pengarang adalah masalah kehidupan manusia lewat ekspresi pengarang. hidup dan kehidupan manusia. Karya sastra Dengan demikian, karya sastra diciptakan merupakan gambaran kehidupan hasil rekaan pengarang untuk dinikmati, dihayati dan seseorang. Kehidupan itu diwarnai oleh sikap, dimanfaatkan bagi khalayak (pembaca). latar belakang, dan keyakinan pengarang. Oleh menggambarkan segala Karya sastra lahir karena adanya sesuatu karenanya, kebenaran atau kenyataan dalam yang menjadikan jiwa seseorang pengarang karya sastra tidak mungkin sama dengan atau pencipta mempunyai rasa tertentu pada kenyataan yang ada di sekitar pembaca. persoalan atau peristiwa di dunia ini., baik Kenyataan atau kebenaran dalam karya sastra yang langsug ISSN 2338-0306 dialaminya maupun dari Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 15 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… adalah kebenaran indrawi seperti yang dilihat dengan watak beragam dan gaya hidup tokoh sehari-hari. dapat memberikan wawasan berpikir yang Horace dalam Melani Budianto (1993:25- lebih luas kepada pembacanya. Novel 26) mengungkapkan bahwa fungsi karya sastra memberikan suatu cerita kehidupan secara adalah tuntas dan mendalam dengan gaya bahasa dulce at utile yang artinya menyenangkan dan berguna. Menyenangkan yang memikat. dalam arti tidak menjemukan, membosankan. Dalam berbagai kegiatan ilmiah, novel Berguna dalam arti tidak membuang-bunag kerap menjadi topik yang dikaji secara waktu, iseng mendalam. Di lingkungan Fakultas Pendidikan melainkan sesuatu yang perlu mendapat Bahasa pun novel dijadikan matri perkuliahan, perhatian serius. bahkan dalam Silabus mata pelajaran Bahasa bukan sekedar perbuatan Karya sastra memberi kenikmmatan dan Indonesia di SMP dan SMA novel menjadi kesenangan. Karya sastra yang baik, isinya materi pengajaran sastra. Hal tersebut bermanfaat dan cara pengungkapan bahasanya menunjukkan bahwa novel bukan hanya pun indah. Hal ini ditegaskan Panuti Sudjiman: sebagai bahan bacaan hiburan saja, melainkan Karya sastra diciptakan pengarang tentu bagian dari salah satu karya sastra yang perlu mempunyai maksud-maksud tertentu. Karya dikaji da dikembangkan. sastra tidak hanya untuk menghibur, tetapi Novel Dua Ibu adalah novel yang telah merupakan alat menyampaikan wejangan- diterbitkan sejak tahun 1981 dan telah wejanganatau dan beberapa kali decetak hingga tahun 2009. seorang Novel ini berkisah mengenai Mamid (tokoh menyampaikan aku) yang dihadapkan dua sosok ibu, pertama gagasan-gagasannya, pandangan hidup atas adalah ibu kandungnya dan yang kedua adalah kehidupan sekitar dengan cara yang menarik nenek yang telah menjadi Ibu bagi Mamid. dan menyenangkan pembaca untuk berbuat Novel ini sangat mencolok dengan lokasi yang baik (Panuti Sudjiman, 1998:57) digunakan penulis yaitu Solo. Segala tingkah nasihat, pendidikan sebagainya. Dengan karyanya pengarang bermaksud Sejak tahun dua puluhan, karya sastra yang berbentuk selalu menyertai kesusastraan Indonesia. Rumusan masalah dalam penelitian ini Dibanding karya sastra puisi dan drama, novel yaitu, bagaimanakah analisis sosiologi sastra mempunyai daya tarik tersendiri dengan dalam novel Dua Ibu karya Arswendo bahasanya yang lugas dan mudah dipahami. Atmowiloto? perkembangan novel laku anak perempuannya dikaitkan dengan asal Sebagai bahan bacaan, novel mampu mereka. Tinjauan Pustaka menghibur pembacanya, mampu menyeret Sosiologi sastra merupakan pendekatan pembaca menyelami suatu kehidupan yang yang bertolak dari orientasi kepada semesta, belum atau tidak pernah dialaminya. Novel namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada yang berisi cerita tentang kehidupan manusia pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 16 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… sosiologi sastra, karya sastra dilihat b. Pedesaan dan perkotaan yaitu suatu hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana persekutuan hidup permanen pada suatu karya sastra itu mencerminkan kenyataan. tempat sifat yang khas. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup c. Ekonomi, meliputi kemiskinan adalah luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar kurangnya pendapatan untuk memenuhi karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra berada di garis kemiskinan apabila menaruh perhatian pada aspek dokumenter pendapatan tidak cukup untuk memenuhi sastra, dengan landasan suatu pandangan kebutuhan pokok. bahwa sastra merupakan gambaran atau potret Adapun aspek sosial yang dibahas yang fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sesuai dengan realitas sosial masyarakat yang sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling dikaji dalam cerpen ini adalah mengenai kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan kemiskinan. didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena memfokuskan dalam hal kemiskinan karena itu diangkat kembali menjadi wacana baru faktor kemiskinan dalam cerpen ini begitu dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, dominan interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan konflik sosial dan cerita yang tersaji bermuara sebagainya) dalam bentuk karya sastra. pada kemiskinan tokoh Ibu. Peneliti ditonjolkan memilih lebih pengarang. Konflik- Menurut Djajasudarma (1999: 26) aspek Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa adalah cara memandang struktur temporal seseorang dapat dikatakan di bawah garis intern suatu situasi yang dapat berupa keadaan, kemiskinan jika pendapatannya tidak mampu peristiwa, dan proses. Keadaan bersifat statis, mencukupi kebutuhan dasar atau pokok. sedangkan Kemiskinan peristiwa bersifat dinamis. yang seperti itu dapat Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang dikategorikan menjadi tiga unsur menurut sedang berlangsung (imperaktif). penyebabnya, (1) kemiskinan yang disebabkan Sedangkan sosial adalah kebersamaan yang karena badaniah, (2) kemiskinan karena melekat pada individu (Soelaeman, 2008: bencana alam, (3) kemiskinan karena buatan 123). Berdasarkan pernyataan di atas dapat (Soelaeman, 2008: 228). disimpulkan bahwa aspek sosial adalah cara Sedangkan menurut Suparlan (1993; xi) pandang suatu situasi, keadaan, dan peristiwa kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu kebersamaan dalam masyarakat. standar tingkat hidup yang rendah, yaitu Menurut Soelaeman (2008: 173) aspek adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sosial dapat dibedakan menjadi beberapa sejumlah atau segolongan orang dibandingkan bagian, sebagai berikut: dengan standar kehidupan yang umum berlaku a. Budaya yaitu nilai, simbol, norma, dan dalam masyarakat yang bersangkutan. Tingkat pandangan hidup umumnya dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat. ISSN 2338-0306 hidup yang rendah ini juga memengaruhi kualitas hidup seseorang dalam pemenuhan Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 17 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… kebutuhan lain, seperti kesehatan, pendidikan, moral, dan rasa harga diri. Sapardi Joko Lewat penelitian mengenai lembaga- lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan Damono (1989: 14) keluarga yang secara bersama-sama mengemukakan bahwa segala yang ada di membentuk apa yang disebut sebagai struktur dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga kenyataan tertinggi yang berada di dunia yang secara bersama-sama membentuk apa gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu dikatakan memperoleh gambaran mengenai kenyataan. Pandangan senada dikemukakan cara-cara menyesuaikan dirinya dengan dan oleh Teeuw (1984:220) mengatakan bahwa ditentukan dunia tertentu, empirek tak mewakili dunia oleh masyarakat-masyarakat gambaran mengenai mekanisme sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya sosialitas, proses belajar secara kultural yang lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan dengannya individu-individu dialokasikannya ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan pada dan menerima peranan tertentu dalam kenyataan mengungkapkan makna, hakikat struktur sosial itu. kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik Sosiologi sastra memiliki perkembangan harus truthful berani dan seniman harus yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian bersifat modest, rendah hati. Seniman harus yang menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh mendekati yang ideal. adanya kesadaran bahwa karya sastra harus Endraswara dalam bukunya Metodologi menggunakan difungsikan sama teori strukturalisme dengan aspek-aspek Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan pada masalah manusia karena sastra sering dengan sistem komunikasi secara keseluruhan. mengungkapkan perjuangan umat manusia Menurut Nyoman Kuta Ratna Ratna (2003: dalam menentukan masa depannya, 332) ada beberapa hal yang harus berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi dipertimbangkan mengapa sastra memiliki (2003: 79). Sementara, Faruk (1994: 1) kaitan erat dengan masyarakat dan dengan memberi pngertian bahwa sosiologi sastra demikian sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai dengan masyarakat, sebagai berikut. manusia dalam masyarakat, studi mengenai 1. Karya harus sastra diteliti ditulis dalam oleh kaitannya pengarang, lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab penyalin, pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat masyarakat. dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. ketiganya adalah anggota 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 18 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto yang 3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan Sumber data penelitian adalah teks novel dipinjam melalui diterbitkan gramedia pustaka utama pada tahun kompetensi 2009. Data penelitian adalah teks cerpen masyarakat yang dengan sendirinya telah senyum karyamin dengan fokus penelitian (a) mengandung masalah kemasyarakatan. pandangan dunia pengarang, (b) latar belakang 4. Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama, sosial budaya, (c) pandangan pengarang dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, terhadap tokoh ibu, (d) karakter tokoh dan dalam karya sastra terkandung estetik, hubungan antar tokoh. etika, bahkan juga logika. Masyarakat HASIL ANALISIS DATA jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel aspek tersebut. Dua Ibu 5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat Pandangan dunia pengarang dalam novel intersubjektivitas, Dua Ibu adalah sebuah kehidupan sederhana masyarakat menemukan citra dirinya yang dijalani para tokoh dengan pendidikan dalam suatu karya. dan tingkat sosial lemah serta segala macam Berdasarkan dapat warna, lika-liku, dan permasalahan kehidupan. dapat Beragam persoalan hidup ditampilkan dengan meneliti melalui tiga perspektif, pertama, berlatar kehidupan pelaku utama dan orang- perspektif dikatakan uraian bahwa tersebut sosiologi sastra teks sastra, artinya peneliti orang yang berada di sekitanya. Pengarang menganalisisnya sebagai sebuah refleksi menonjolkan kisah kasih sayang ibu, dengan kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, menyertakan perjuangan hidup, budaya jawa, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dan keyakinan. dari sisi pengarang. Perspektif ini akan Arswendo merupakan penulis yang sudah berhubungan dengan kehidupan pengarang dan makan banyak asam garam. Sejak muda, ia latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, telah melakukan banyak pekerjaan kasar perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis sehingga penulis ini lebih banyak mengangkat penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. cerita kaum marginal. Kisah yang hampir sama METODE PENELITIAN juga muncul dalam novel Dua Ibu. Pengarang Penelitian ini menggunakan metode menggambarkan perjuangan mempertahankan penelitian kualitatif. Data primer adalah novel hidup secara komunikatif, mengalir apa Dua Ibu. Data sekunder diperoleh dari adanya. Cara menulis pengarang membuat pembacaan novel Dua Ibu yang digunakan pembaca tak bisa berhenti membaca. untuk mendukung data primer. Pendekatan Arswendo merupakan seorang pria yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahir di Jawa Tengah. Budaya Jawa tertanam pendekatan sosiologi sastra. jelas di dalam dirinya. Ini terbukti dengan berbagai karya yang dihasilkannnya selalu ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 19 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… mengangkat budaya Jawa. Berbagai tempat di “ Kita sendiri tetap islam. Bibik itu juga tetap sekitar Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta Islam. Kita mah gak mau diganti agama. Biar menjadi digaji sejuta kita nggak mau. Itu namanya domisili yang sering disebut godaan.” pengarang dalam karya ini. Awalnya Arswendo menganut agama Islam “Bibik kan…” namun ketika ia menikah dengan Agnes Sri “ Nggak, Kita nggak makan daging babi, biar Hartini, ia menganut agama yang diyakini istri. kita masak untuk juragan. Kita masak sendiri. Novel ini juga mengangkat perubahan agama Kita juga nggak mau kalau juragan piara yang diyakini tokoh. Awalnya tokoh Mamid anjing. Kita lebih suka keluar.” beragama Islam namun setelah hidup dengan (Dua Ibu:143-144) ibu kandungnya ia mengikuti segala kegiatan yang dianut ibu. Latar Belakang Sosial Budaya “Mid sini,” perintah semacam inilah yang karya sastra dalam novel Dua Ibu membuat aku krang suka. Lagi pula bibikyang-satu ini selalu mengajari Cerita rekaan menampilkan latar belakang supaya sosial budaya masyarakat. Sastra dipandang celanaku jangan kena tanah, tinta, kotoran para ahli sosiolog sebagai dokumen sosial lain, saus, padahal itu selalu terjadi. Bibik- budaya. Latar belakang sosial budaya yang yang-satu ini pula yang menyuruhku mencuci ditampilkan kaus kaki sendiri. Dan itu harus dilakukan pekerjaan, sedikitnya dua hari sekali. Baunya bisa kebiasaan, suku, dan agama. dapat bahasa, berupa tempat pendidikan, tinggal, adat membuat ia pingsan, katanya. “Mid, sini.” Aku mendekat. Masih ada jarak. Pendidikan Tokoh ibu dideskripsiskan sebagai seorang “Kau sekarang Kristen ya?” yang gigih untuk menghidupi anak-anaknya “Ya.” yaitu Solemah, Mujanah, Adam, Ratsih, Jamil, “Kan dulunya Islam?” Herit, Mamid, Priyadi dan Prihatin. Sosok “Ya.” seorang ibu, digambarkan dengan begitu “Nggak boleh ganti agama. Islam melarang.” tangguh. Menghidupi, membe-sarkan delapan “Ya.” anak yang notabene bukan anak kandung-nya “ Itu namanya kafir, Mid. Apalagi dulu kau semua. Harus memasak, bekerja keras menjadi pernah salat. Aku lihat kain sarungmu. Kau buruh masak, serta bagaimana membagi uang harusnya Islam. biar di mana pun, orang islam yang begitu minim dari pensiunan almarhum harus tetap Islam. Kalau ia menjadi kafir, suaminya. Tak ada cerita keluhan, amarah dari hukuman Allah berat sekali. Sukmamu tak sosok Ibu bagi delapan anaknya. Yang ada kuat menanggung nanti.” adalah mengajarkan pendidikan nilai-nilai agar Suaranya membuatku takut. anak-anaknya survive. Pelajaran moral yang tentunya mulai langka ditemukan zaman ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 20 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… sekarang. Karena memang setting dari novel Ibu sama sekali tidak mencicipi apa-apa. (Dua tersebut adalah 32 tahun yang lalu, yaitu Kota Ibu: 32) Solo era 1980. …… Kalau berangkat sekolah, ia selalu jauh dari Kukira ini bukan karena Ayah meninggal. jadwal. Selalu lebih pagi. Kalau jam istirahat Faktor itu ada juga, akan tetapi sejak lama lebih suka berada dalam kelas. Tentu saja aku sudah terasa. Kebangkrutan ekonomi yang tahu karena sekolah dasar itu hanya satu─dan tidak seimbang. Fungsi sosial ibu yang kami semua tertampung di situ. Saudara, sedemikian besar, biaya anak-anaknya tak kenalan, kawan bermain setiap hari. Ratsih cocok dengan gaji Ayah yang sebagai baik sekali hatinya. Ia tak bilang kalau aku pegawai negeri biasa-biasa saja. Mana pula makan lebih banyak dari pada yang kubayar Ayah ahrus memberikan sebagian untuk di warung sekolah. Ia tidak menyampaikan adiknya, dan saudara ibunya. Aku tahu pada Ibu kalau aku dimarahi Pak Guru. Ia tak karena, dulu, setiap habis gajian, akulah yang menanyakan kenapa bajuku belepotan tinta, disuruh mengantarkan, krena aku diberi padahal aku biasa menulis dengan pensil. persen dari si penerima. Tak terlintas sedikit Arswendo menggambarkan pendidikan pun bahwa itu sebenarnya bagian Ibu. (Dua yang begitu memprihatinkan dari anak-anak Ibu: 45-46) tokoh Ibu. Sebagai salah satu tokoh yang Bahasa pernah sulitnya meneruskan Pengguanaan latar dan budaya Jawa tidak perguruan tinggi, Arswendo memaparkan menjadikan novel ini sebagai novel yang kisah mengalami miris dengan alur yang mudah terbanyak menggunakan bahasa Jawa. Novel dimengerti dan unik. Spekulasi dan anekdot- ini cenderung menggunakan bahasa Indonesia anekdot pun muncul dalam novel ini. sehingga konsumsi novel bisa terarah pada Pekerjaan kelompok masyarakat mana pun. Penggunaan Sejak ditinggal mati oleh suaminya, tokoh bahasa Jawa pun hanya pada kalimat-kalimat Ibu semakin didera kesulitan hidup. Ia hanya pendek yang sudah dipahami oleh masyarakat mengandalkan uang dari pensiunan suami dan umum. hasil upah memasak. Hal ini terlihat pada “Siapa?” kutipan, “Siapa saja. Sapa, Sum?” Ini luar biasa. Bukan karena ibu tahan OOm Bong Lucu kalau ngomong bahasa melakukan itu. bukan hanya itu. Ini luar biasa, Jawa. A-nya, yang bunyinya antara “a” dan karena ibu adalah koki yang, barangkali, “o”, paling hebat. Reputasi ini bukan aku yang kelihatannya juga kurang suka. (Dua Ibu:78) menyebutkan. Pengakuan ini datang dari …. lingkungan. Setiap ada pesta di kampung, di “ Piye, Min. Isa ora?” Terdengar teriakan dari keluarga, sopir. (Dua Ibu: 157) Ibu adalah koki utamanya. dipakksa-paksa. Tante Mirah Seleranya dipercaya. Padahal selama berpuasa ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 21 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… Tempat tinggal sekaligus. Mengatur kurang-lebih pertemuan Tempat tinggal yang dijadikan latar tempat penceritaan Arswendo Atmowiloto seribu tetamu, menyiapkan segala macam adalah peniti, kemenyan, undangan, dan pesta hingga daerah Jawa seperti Solo, Malang, Surabaya, selesai. Tukang sulap yang lihai karena apa Jakarta, dan Singapura. Dari berbagai daerah yang menjadi isi rumah lenyap sebulan tersebut, Sololah yang paling dominan. setelah pesta usai. (Dua Ibu: 10) Ternyata pesta siang dengan pecal komplet …. dan belut goreng hanya berlaku sekali jalan. Waktu Buktinya, sore hari, Oom Bong mengajak menangis. Ibu akhirnya juga menangis waktu makan di rumah makan. peti mati meninggalkan rumah. Teman-teman “Semua boleh ikut.” sekolahku “Ke Sriwedari saja,” kata Herit. Ia selalu logam yang ditaburkan di jalan. Biasanya mempunyai usul untuk pergi. Ia selalu kalau ada yang meninggal, aku juga ikut menyebut berebutan uang sawur itu. (Dua Ibu: 29) Taman Sriwedari. Tapi mau menyebut mana lagi? Itulah satu-satunya taman hiburan. Di sana ada ketoprak, wayang diberangkatkan, berloncatan banyak yang menyambar uang Agama Pada novel Dua Ibu, tokoh utama orang, dan kalau siang kebun binatangnya mengalami perubahan keyakinan yang pada buka. Selain itu deretan warung yang luar awalnya beragama Islam kemudian berganti biasa banyaknya. Semua dengan daftar menu menjadi yang dijajar besar sekali dengan huruf merah tersebut tidak menjadi sesuatu pergolakan di atas dasar putih. Ada pula kolam. Di hebat di dalam diri tokoh. Tokoh digambarkan tengahnya ada pula kecil. Kalau terang bulan, sebagai anak kecil yang menerima saja ketika biasanya ada orkes main di situ. Pemainnya ia disuruh memeluk suatu agama. buta─sebagian besar. Ada pula komidi putar. Hari Minggu pagi kami tidak sarapan. (Dua Ibu: 71) Karena pergi ke gereja. Aku mulai senang ke Adat kebiasaan gereja, karena naik mobil dengan pakaian Perjuangan hidup wanita Jawa jelas Kristen. Perpindahan keyakinan yang apik tanpa canggung. Dulu aku selalu terpapar dalam novel ini. Nilai-nilai budaya memakai yang kental muncul dalam novel ini. Baik canggung─kecuali kalau Lebaran. Rasanya dalam upacara kematian maupun resepsi aneh, kalau memakai baju baru bukan pada pernikahan. Hari Raya Lebaran. Terlalu banyak menarik Waktu Solemah, kakakku yang sulung, perhatian. Dan mereka selalu menyindir ditaksir seorang prajurit Angkatan Laut, Ibu dengan kalimat yang itu-itu saja: dara langsung merencanakan perkawinan. Pesta mangan pari, durung bakda wis nganyari. yang tepat Minggu pertama ketika aku pergi ke gereja menggambarkan keunggulan Ibu sebagai dengan baju model angkatan laut, aku pernah dahsyat dan dengan pakaia baru dengan administrator, organisator, dan tukang sulap ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 22 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… bercerita, dan Oom Bong meminta Kecuali main perempuan. (Dua Ibu: 137) diterjemahkan arti kalimat itu. Selain perempuan harus menerima “Itu semacam pribahasa, ah mungkin juga perlakuan buruk dari laki-laki, pengarang juga peribahasa. Aku tidak tahu. Artinya merpati berharap agar wanita menjadi sosok yang makan padi, belum Lebaran, sudah pakai patuh. Kepatuhan wanita Jawa merupakan baju baru.” (Dua Ibu: 141-145) salah prinsip yang telah ada sejak dahulu kala. Pandangan Pengarang terhadap Tokoh Kukira ibu terlalu takut pada Ayah Wanita dalam Novel Dua Ibu Kalau kami ingin nonton Sekaten atau Arswendo Atmowiloto menampilkan Maleman Sriwedari, Ibu selalu menunggu sosok wanita tangguh melalui tokoh Ibu. apakah Ayah bersedia atau tidak. Bahkan Seorang wanita mandiri dengan kerelaan hati untuk mengajak saja, harus anak-anaknya. Ibu membesarkan putra putrinya tanpa pamrih. selalu meluluskan permintaan jika kami Pengaruhnya sangat kuat pada anak-anaknya bilang, “Ayah boleh.” (Dua Ibu: 27) hingga mereka dewasa. Karakter Ibu memandang sedih Antartokoh dalam Novel Dua Ibu Aku tak tahu bahwa Ibu sedih karena saat itu belum mempunyai duit Tokoh dan Hubungan Sesuai dengan rumusan masalah, yaitu untuk bagaimana karakter tokoh dan hubungan mengkhitankanku. Artinya belum melihat apa antartokoh dalam novel Dua Ibu karya barang miliknya yang bisa dijual, digadaikan, Arswendo Atmowiloto maka penggunaan atau siapa yang mau memberikan pinjaman. tokoh yang menonjol antara lain: Ibu, Mamid, (Dua Ibu: 19) Solemah, Tante Mirah, Adam, dan Ratsih. Tokoh wanita digambarkan pula sebagai Tokoh utama dalam novel ini adalah Ibu dan sosok yang selalu menjadi korban laki-laki. Mamid, sedang yang lain juga ditampilkan Perempuan harus siap dan menerima ketika dengan laki-laki tersebut tidak bisa bertahan pada satu pemunculannya wanita saja. mempertajam Meskipun kami masih kecil, kalimat itu bisa perwatakan tokoh utama. pertimbangan bahwa banyak serta volume dan turut menonjolkan peranan kami tangkap artinya dengan baik. Ayah kumat lagi main perempuan. Itulah yang dulu diucapkan Ibu. Ayah tidak Ibu Tokoh utama Ibu adalah sosok wanita pernah main judi. Ayah tangguh yang mandiri. Ia mengaggap pemain judi itu tidak bisa mencari menomorduakan ketegangan lain. Ayah juga tidak mabuk- kebutuhannya sendiri. Keputusannya untuk mabukan, baik dengan minuman keras atau merawat anak-anak yang bukan anaknya dengan candu merupakan Ibu mengaggap perbuatan Ayah tidak ada suaminya Martono yang meninggal sebelum yang tercela. sempat menikahkan anak asuh mereka. ISSN 2338-0306 kebu-tuhannya selalu keputusan dibanding bersama dengan Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 23 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… Aku tak bisa mengerti. Bagaimana mungkin Oom Bong memang aneh. Ia gagah, ganteng, seluruh isi rumah dikuras habis, tapi Ibu tetap baik hati pada kami anak-anaknya, tapi itu bilang, “Ibu tak bisa memberi apa-apa.” semua belum cukup. Seperti juga Tante Bagaimana mungkin Ibu memberikan kain sendiri. Atau seperti Ayah dulu. Yang begitu batik yang ia sendiri perlukan. Bagaimana membenci Belanda sampai ke tulang sumsum, mungkin tiba-tiba melepaskan Solemah pergi tapi terpikat Tante Thea. Atau malah seperti darinya, begitu saja. Keringat Ibu belum Ibu sendiri. Ketika resmi mempunyai suami, kering menyuapi, lebih suka melarikan diri, hidup bersama mencebokinya, dan kini tiba-tiba ia menjadi Ayah, dan apa pula hubungannya dengan Pak istri orang. Terlepas, terbang, lenyap, entah Mo? mana yang paling tepat. (Dua Ibu: 11) Aku tidak bisa menuduh mereka ini jahat. ketika memandikan, (Dua Ibu: 299) Tokoh Ibu memiliki hubungan pada setiap tokoh yang diceritakan. Ibu menjadi pusat Hubungan tokoh Mamid dengan beberapa tempat berkumpulnya anak-anak. Sebagai tokoh lain digambarkan sebagai sosok yang tokoh yang saling terkait dengan tiap tokoh selalu menjadi bahan olokan dan penindasan lain, penggambaran tabiat dan perjuangan ibu saudaranya. Demi mengurangi beban Ibu, pun digambarkan oleh tokoh-tokoh pembantu tokoh Jamil menyarankan agar Mamid pindah tersebut. ke Jakarta. Tahun ini makamnya kami semua bersama-sama. membersihkan Kami, yang Solemah sebenarnya berasal dari berbagai keluarga, Solemah merupakan anak ke 2 yang dialiri darah yang sama. Darah Ibu. Darah dirawat oleh tokoh Ibu. Ia yang lebih dulu seorang yang mengorbankan kebahagiannya meninggalkan rumah dan menikah. Tokoh ini sendiri untuk kebahagian orang lain. (Dua digambarkan sebagai tokoh wanita Jawa Ibu: 300) sederhana. Ia juga sangat perhatian terhadap nasib adik-adiknya. Setiap permasalahan yang Mamid dihadapinya selalu ia bagi dengan tokoh Ibu. Tokoh Mamid merupakan salah satu anak Saya dengar Jamil membujuk Mamid untuk Ibu. Ia menjadi pencerita tentang kebaikan Ibu. ke Jakarta. Saya percaya, Jamil berhasil. Melalui tuturan yang ia sampaiakanlah maka Mbak Sumirah sekarang berhasil ya, Bu. Saya terlihat semua sifat yang dimiliki Ibu dan turut senang. Mbak Sum dulu-dulu berani saudaranya. kawin sama Mas Bong dank e Jakarta. Anak Padahal istri Pakde Wiro bisa saja sama baik ditinggal. Sekarang berhasil ya. Saya ingin dengan istri Jamil. Seperti juga ibu-yang- kirim surat sama dia, tapi takut nanti disangka cantik, pacar Oom Bong. mau minta-minta. Maklum, Bu, orang miskin itu bawaannya takut salah. (Dua Ibu: 68) ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 24 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… … Hubungan tokoh Solemah dengan Sebenarnya keadaan Ibu selalu kami dengar. tokoh lain tidak terlalu banyak dipaparkan. Baik melalui Ratih yang rajin berkirim surat Beberapa tokoh yang pernah berhubungan maupun lewat Mbak Murni. Perlu Ibu ketahui langsung dengan Tante Mirah dalam novel ini bahwa beberapa hari yang lalu terjadi sedikit adalah Ibu, Mamid, dan Oom Bong. peristiwa. Yaitu peristiwa mengenai Herit. Begini, Bu, ceritanya: Herit marah kepada Adam kami sekeluarga, lalu minggat ke warung Bu Jafar. Kami semua berusaha yang memiliki sifat pendiam. Seperti anak berhasil. lainnya, ia juga anak yang dititipkan pada Bahkan Mas Jon membawakan kaus bersetrip tokoh Ibu. Kekeraskepalaannya untuk tidak biru seperti seragam angkatan laut pun, Herit berpisah dengan tokoh Ibu membuat ia tetap tidak mau. (Dua Ibu: 230-231) menjadi satu-satunya tokoh yang menemani membujuknya, akan sudah Adam adalah salah satu dari anak Ibu tetapitidak Hubungan tokoh Solemah dengan tokoh Ibu hingga ajal. lain tidak terlalu banyak dipaparkan. Beberapa Seminggu sebelum rumah besar dijual dan tokoh yang pernah berhubungan langsung mereka pindah ke Baturana dekat kuburan, dengan Solemah dalam novel ini adalah Ibu, Adam telah mengetahui. Akan tetapi seperti Jamil, dan Ratsih. biasanya, ia tidak bertanya, tak membantah dan Tante Mirah berdiam diri. Ia bahkan tidak menunjukkan bahwa ia telah tahu. Itu terjadi Pada novel ini, diceritakan bahwa tokoh ketika Pakde Wiro menangkapnya. Ya, Aku (Mamid) memiliki dua Ibu. Salah satu Ibu menangkapnya, seperti orang menangkap yang dimaksud adalah Tante Mirah. Walau ayam hingga akhir tokoh Mamid tetap menyebut ibu tangannnya, ia dibawa ke tritis. (Dua Ibu: kandungnya 242) ini sebagai Tante. Mirah yang lepas. Adam dipegang merupakan panggilan dari nama panjangnya Sumirah. Ia tokoh yang selalu dibandingkan Hubungan tokoh Adam dengan tokoh pengarang dengan tokoh lain. lain tidak terlalu banyak dipaparkan. Beberapa Prinsipnya sama saja. Dalam bertengkar, tokoh yang pernah berhubungan langsung mereka dengan adam dalam novel ini adalah Ibu dan berbicara sendiri-sendiri. Tidak bertanya dan tidak pula saling menjawab. Ibu Pakde Wiro. dulu juga begitu kalau marahan sama Ayah. Bedanya suara Ibu tidak sekeras Tante, dan suara Ayah tidak sekeras Oom. Meskipun demikian, Ibu sering menangis bertengkar dengan Ayah. (Dua Ibu: 137) kalau Ratsih Ratsih digambarkan sebagai wanita sederhana dan polos. Ia hidup tanpa curiga dan mencintai suami yang lebih tua puluhan tahun dibanding dirinya. Ia pula salah satu yang ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 25 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… berakhir sukses. Keluarganya mendapat Arswendo Atmowiloto berupa pendidikan, limpahan rezeki meski belum dikaruniai anak. pekerjaan, bahasa, tempat tinggal, adat Hari Minggu Ratih diajak ke Sriwedari. kebiasaan, suku, dan agama. Waktu puang menangis dan tak mau menemui Untung Subarkah. Ibu kaget. 3. Pandangan Pengarang terhadap Tokoh Mujanah Wanita dalam Novel Dua Ibu adalah wanita mengira Untung mencium atau melakukan mandiri yang terkadang menjadi korban sesuatu dengan paksaan. Untung sendiri tak penindasan pria namun pada sisi lain, tahu. Untungnya, Ratih menceritakan sambil pengarang juga berharap bahwa wanita menangis, bahwa ia dibelikan sepatu. Ia harus patuh pada suami. merasa terhina. “Saya mau 4. karakter tokoh dan hubungan antartokoh diajak bukan karena akan dalam novel Dua Ibu karya Arswendo dibelikan sepatu. Saya tahu sepatu saya sudah Atmowiloto adalah Ibu, Mamid, Solemah, jebol ujungnya.” Tante Mirah, Adam, dan Ratsih. Tokoh Untung minta maaf. (Dua Ibu: 178) utama dalam novel ini adalah Ibu dan Mamid, sedang yang lain juga ditampilkan Hubungan tokoh Ratsih dengan tokoh lain dengan pertimbangan bahwa intensitas tidak terlalu banyak dipaparkan. Beberapa kemunculan banyak dan turut mempertajam tokoh yang pernah berhubungan langsung serta menonjolkan peranan perwatakan dengan Ratsih dalam novel ini adalah Ibu, tokoh utama. Mamid, Untung Subarkah, dan Solemah. SIMPULAN Berdasarkan hasil temuan penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut, 1. Pandangan dunia pengarang dalam novel Dua Ibu adalah kisah kasih sayang ibu, dengan menyertakan perjuangan hidup, budaya jawa, dan keyakinan. 2. Latar belakang sosial budaya yang ditampilkan pada novel Dua Ibu karya ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 26 Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… DAFTAR PUSTAKA Arswendo Atmowiloto. 2009. Dua Ibu. Jakarta: PT Gramedia. A.Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Burhan Nurgiyantoro. 2007. Pengkajian Fiksi. Yogyakarya: Gajah Mada University Press. Dedy Sugono. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia I. Jakarta: Pusat Bahasa. Faruk. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: gajah Mada University Press. Herman J. Waluyo. 1992. Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Munandar Soelaeman. 2008. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Refika Aditama. Nyoman Kutha Ratna. 2003. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sapardi Joko Damono. 1989. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sudarsono. 1985. Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tata Krama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda . Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan ISSN 2338-0306 Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 27