Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan 44

advertisement
Laporan Studi Pustaka (KPM 403)
KETIDAKADILAN GENDER DALAM PROGRAM
PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYA PADA KEMISKINAN
RUMAH TANGGA NELAYAN
NURAINI
I34120039
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul
“Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Dampaknya pada
Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan” benar-benar hasil karya saya sendiri yang
belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka yang diterbitkan
atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka . Demikian pernyataan ini
saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan
pernyataan ini.
Bogor,
Mei 2015
Nuraini
NIM. I34120039
ii
ABSTRAK
NURAINI. Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Dampaknya pada
Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan. Di bawah bimbingan TITIK SUMARTI.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi kekayaan sumberdaya laut.
Sumberdaya laut ini dapat dimanfaatkan oleh nelayan sebagai mata pencaharian.
Dengan kekayaan sumberdaya laut yang di miliki, seharusnya mampu memadai
kebutuhan hidup nelayan. Namun nyatanya nelayan masih mengalami kondisi
kemiskinan yang hingga saat ini belum teratasi. Kemiskinan nelayan disebabkan oleh
beberapa hal, salah satunya adalah ketidakadilan gender dalam program pembangunan
yang diterima nelayan. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsep kemiskinan
nelayan, program pembangunan responsif gender, ketidakadilan gender, dan
menganalisis ketidakadilan gender dalam program pembangunan dan dampaknya pada
kemiskinan rumah tangga nelayan. Hasil dari penulisan ini adalah Perlunya program
pembangunan yang memperhatikan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
tidak membeda-bedakan hak antara laki-laki dan perempuan sebagai upaya
penanggulangan kemiskinan nelayan. Ketidakadilan gender dapat berbentuk streotipe,
marginalisasi, subordinasi, dan beban kerja. Untuk mengetahui adanya ketidakadilan
gender dapat dianalisis melalui (a) analisis pembagian kerja (b) analisis akses dan
kontrol serta (c) analisis kebutuhan praktis dan strategik antara laki-laki dan perempuan.
Kata kunci
: kemiskinan nelayan, program responsif gender, ketidakadilan gender.
ABSTRACT
NURAINI. Gender inequality in Development Program and its Impact on household
Poverty Fisherman. Supervised by TITIK SUMARTI.
Indonesia is an archipelago surrounded by a wealth of marine resources. This can be
exploited marine resources by fishing as a livelihood. With a wealth of marine resources
which is owned, should be able to adequately the needs of fishermen. But in fact the
fishermen still experiencing poverty, which until now has not been resolved. Fishermen
poverty caused by several things, one of which is gender inequality in development
programs received by fishermen. This paper aims to identify the concept of fishing
poverty, gender responsive development program, gender inequality, and analyze the
gender inequities in development programs and the impact on household poverty
fisherman. Results of this paper is the need for development programs that pay attention
to the relationship between men and women who make no distinction between the rights
of men and women as poverty reduction efforts fishermen. Gender discrimination can
take the form streotipe, marginalization, subordination, and workload. To determine the
existence of gender inequality can be analyzed through (a) the analysis of the division
of labor (b) analysis of access and control, and (c) the analysis of the practical and
strategic needs of men and women.
Key word : fishermen poverty, gender responsive programs, gender inequality.
iii
KETIDAKADILAN GENDER DALAM PROGRAM
PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYA PADA KEMISKINAN
RUMAH TANGGA NELAYAN
Oleh
NURAINI
I34120039
Laporan Studi Pustaka
sebagai syarat kelulusan KPM 403
pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Insititut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bawa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa
: Nuraini
Nomor Pokok
: I34120039
Judul
: Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan
Dampaknya pada Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Disetujui oleh
Dr Ir Titik Sumarti MC, MS
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan:
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
Studi Pustaka berjudul “Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan
Dampaknya pada Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan”. Meskipun seringkali penulis
mengalami kesulitan, namun berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
studi pustaka ini dengan tepat waktu. Laporan studi pustaka ini ditujukan untuk
memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Titik Sumarti MC, MS
sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses
penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada orang tua tercinta Bapak Gatot Najamudin dan Ibu Fatmawati serta
keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis. Selain itu, penulis
juga berterima kasih kepada sahabat terbaik Roy Nizar yang selalu memberikan
dorongan positif dan semangat kepada penulis. Tidak lupa penulis mengucapkan
terimakasih kepada Haerani Aslesmana, Yulinda Devianty, Nyayu Zahra Ummaya dan
seluruh teman-teman SKPM 49 sebagai teman berdiskusi sekaligus memotivasi penulis
untuk menyelesaikan laporan studi pustaka ini.
Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2015
Nuraini
NIM. I34120039
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
DAFTAR TABEL............................................................................................
vii
vii
PENDAHULUAN ...........................................................................................
Latar Belakang .................................................................................................
Tujuan ..............................................................................................................
Metode Penulisan .............................................................................................
2
2
3
3
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ..................................................
1. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perpektif Sosial,
Ekonomi dan Hukum ................................................................................
2. Penyebab Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan di Wilayah Tangkap Lebih
Jawa Timur ...............................................................................................
3. Strategi Rumah Tangga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan .............
4. Dampak Program Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Jayapura .......
5. Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir ............
6. Analisis Gender dalam Program ...............................................................
7. Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Pertanian : Kasus Pada
Pelaksanaan Program FEATI Di Kabupaten Magelang ...........................
8. Analisis Gender dalam Kehidupan Keluarga Nelayan di Kecamatan
Pangandaran Kabupaten Ciamis ...............................................................
9. Kontribusi Wanita Nelayan dalam Sosiokultural Gender di Kelurahan Pulau
Panjang Barelang - Batam ........................................................................
10. Peran Ganda Perempuan Pemetik Teh .....................................................
11. Peran Perempuan Nelayan dalam Produksi dan Distribusi Hasil Laut .....
4
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN .........................................................
Kemiskinan Nelayan ........................................................................................
Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan .....................................
Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Kemiskinan Nelayan
41
41
44
49
SIMPULAN .....................................................................................................
Hasil Rangkuman Pembahasan ........................................................................
Kerangka Analisis ............................................................................................
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi ..................................
52
52
52
53
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
54
LAMPIRAN.....................................................................................................
Riwayat Hidup .................................................................................................
56
56
4
6
9
12
15
18
22
26
30
34
36
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1 ..................................................
5
Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2 ..................................................
8
Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3 ..................................................
11
Gambar 4. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4 ..................................................
14
Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5 ..................................................
18
Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6 ..................................................
21
Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7 ..................................................
25
Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8 ..................................................
29
Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9 ..................................................
33
Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10 ..............................................
36
Gambar 11. Hubungan Antar Konsep Jurnal 11 ..............................................
40
Gambar 12. Kerangka Analisis ........................................................................
52
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Variabel jurnal 1 ................................................................................
6
Tabel 2. Hasil analisis faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan ...
7
Tabel 3. Variabel jurnal 2 ................................................................................
9
Tabel 4. Variabel junral 3 ................................................................................
11
Tabel 5. Variabel jurnal 4 ................................................................................
15
Tabel 6. Variabel jurnal 5 ................................................................................
18
Tabel 7. Variabel jurnal 6 ................................................................................
21
Tabel 8. Variabel jurnal 7 ................................................................................
25
Tabel 9. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pengambilan
keputusan mengenai aktivitas di sektor domestik ...........................
27
Tabel 10. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pengambilan
keputusan mengenai aktivitas di sektor publik ...............................
28
Tabel 11. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pembagian kerja
disektor domestik ............................................................................
28
Tabel 12. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pembagian kerja di
sektor publik ....................................................................................
28
Tabel 13. Variabel jurnal 8 ..............................................................................
28
Tabel 14. Variabel jurnal 9 ..............................................................................
33
Tabel 15. Variabel jurnal 10 ............................................................................
37
Tabel 16. Variabel jurnal 11 ............................................................................
40
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu permasalahan di Indonesia yang belum dapat diatasi hingga saat ini
ialah permasalahan kemiskinan. Menurut Sugiharto (2007) Kemiskinan merupakan
tidak terpenuhinya kebutuhan yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian,
perumahan, pendidikan serta perawatan kesehatan dan menjadi persoalan krusial yang
dihadapi nelayan. Kusumo RAB. , Charina A. dan Mukti W.(2013) menambahkan
bahwa keberadaan nelayan sangat identik dengan kemiskinan yang tergantung pada
sumber daya laut, keadaan cuaca dan alam, sehingga pendapatan mereka juga
tergantung pada kondisi alam. Jika lingkungan alam terganggu maka mereka tidak bisa
melaut sehingga tidak ada pendapatan yang masuk. Menurut Hermawati pada nelayan
miskin, kondisi diperparah manakala para pembuat kebijakan dan program
mengabaikan perbedaan kondisi dan kemampuan berbagai elemen masyarakat di
dalamnya, termasuk laki-laki maupun perempuan, karena baik laki-laki maupun
perempuan memiliki hak-hak ekonomi, sosial, politik dan kesempatan yang sama untuk
peningkatan diri.
Qoriah SN, Sumarti T (2008) berpendapat bahwa untuk memperbaiki kondisi
masyarakat, maka dibutuhkan kebijakan dalam program pembangunan yang tidak hanya
berorientasi pada peningkatan produktivitas atau melihat ukuran fisik saja, tetapi harus
memperhatikan permasalahan sosial budaya masyarakat setempat. Program
pembangunan adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas,
dan pendapatan melalui pemberdayaan keluarga dan organisasi (Badan Pengembangan
SDM Pertanian dalam Yuwono DM, 2013).
Dalam implementasinya, setiap kebijakan program pembangunan yang
dilakukan oleh setiap instansi seyogyanya harus memperhatikan hubungan antara lakilaki dan perempuan. Hal ini karena pembangunan nasional ditunjukan untuk seluruh
penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Ini kemudian diperkuat dengan
ditetapkan INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG)
dalam pembangunan Nasional, dengan tujuan terselenggaranya kebijakan dan program
pembangunan yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ( Qoriah SN
dan Sumarti T, 2008)
Namun banyak kalangan yang menilai pembangunan yang berjalan hingga saat
ini masih netral gender, artinya masih banyak ketimpangan atau kesenjangan hubungan
relasi antara berbagai pihak gender terutama antara perempuan dan laki-laki dalam
memperoleh haknya. Gender mengacu pada peran antara laki-laki dan perempuan dan
bagaimana peran sosial ini dikonstruksikan oleh masyarakat . Perbedaan gender
sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang hal itu tidak melahirkan
ketidakadilan gender. Akan tetapi dalam prakteknya perempuan tetap saja merupakan
pihak yang kurang beruntung dibandingkan dengan laki-Iaki. Ketidakadilan gender
akan merugikan salah satu pihak akibat adanya marjinalisasi, subordinasi, beban ganda,
diskriminasi bahkan kekerasan yang menyebabkan kemiskinan di masyarakat (Harahap,
2014).
Perempuan di Indonesia diketahui memiliki peran yang cukup banyak, yaitu
peran reproduktif, peran produktif dan peran sosial. Dengan peran yang berlebih
tersebut dapat menyebabkan perempuan mengalami beban ganda (Kusumawati Y, 2012
). Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir seluruh
pekerjaan rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat
3
kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga1. Dalam peran reproduktif
perempuan dituntut menjadi ibu rumah tangga dengan mengurus keluarga dan rumah,
peran produktif melakukan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan berupa upah dan
peran sosial yang berkaitan dengan kegiatan sosial (Harahap, 2014). Dalam program
pembangunan tidak mengubah pembagian kerja dalam rumah tangga. Antara laki-laki
dan perempuan memiliki akses yang sama namun terdapat perbedaan dalam kontrol
yang lebih di dominasi salah satu pihak (Qoriah SN dan Sumarti T, 2008). Oleh karena
itu perlunya kebijakan maupun program yang responsif gender demi tercapainya
keefektifan pembangunan sehingga mampu menjadi solusi pengentasaan kemiskinan.
Dengan kondisi kemiskinan yang dialami rumah tangga nelayan maka sangat
diperlukan upaya pengentasan kemiskinan, salah satunya berupa program pembangunan
untuk rumah tangga nelayan. Namun sejauh ini masih banyak pembangunan yang
belum responsif gender. Oleh karena itu penulis tertarik melihat bagaimana
ketidakadilan gender dalam program pembangunan dan pengaruhnya terhadap
kemiskinan nelayan ?
Tujuan Tulisan
Tujuan dari penulisan studi pustaka berjudul “Ketidakadilan Gender dalam
Program Pembangunan dan Dampaknya pada Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan” ini
adalah melakukan penelusuran data sekunder yang akan digunakan dalam penyusunan
proposal penelitian. Adapun rincian tujuan penelitian ini yaitu:
a. Mengidentifikasi konsep kemiskinan rumah tangga nelayan
b. Mengidentifikasi konsep program pembangunan responsif gender
c. Mengidentifikasi konsep ketidakadilan gender
d. Menganalisis ketidakadilan gender dalam pembangunan dan dampaknya pada
kemiskinan rumah tangga nelayan
Metode Penulisan
Metode penulisan studi pustaka ini adalah penelaahan serta analisis data sekunder
yang relevan dengan topik studi pustaka. Hal pertama yang dilakukan yaitu
pengumpulan berbagai data sekunder berupa hasil penelitian, seperti jurnal, skripsi, dan
buku-buku terkait ketimpangan gender dalam program pembangunan dan kemiskinan
rumah tangga nelayan. Data sekunder yang diperoleh selanjutnya dibaca dan diringkas.
Setelah diringkas mengenai teori, data dan hasil penelitian kemudian dianalisis.
Selanjutnya teori, data dan hasil penelitian tersebut dirangkum dan dibahas. Terakhir
disimpulkan menjadi satu tulisan yang utuh.
1
Efianingrum A. 2008. Pendidikan dan Pemajuan Perempuan: Menuju Keadilan Gender. Jurnal Fondasia.
Yogyakarta
4
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA
1. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: NELAYAN INDONESIA DALAM
PUSARANKEMISKINAN
STRUKTURAL
(PERSPEKTIF SOSIAL, EKONOMI DAN
HUKUM)
: 2013
: Jurnal
: elektronik
: Endang Retnowati
::: Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara
: Perspektif
: Vol. XVI No. 3 edisi Mei
:
http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/2012070813103
82587/12.pdf
:14 Maret 2015
Ringkasan :
Indonesia sebagai Negara Kepulauan, yang luas wilayahnya 70% merupakan
wilayah lautan. Di wilayah lautan ini terkandung potensi ekonomi kelautan yang sangat
besar dan beragam, antara lain sumber daya ikan. Sedikitnya terdapat 13 (tiga belas)
sektor yang ada di lautan, yang dapat dikembangkan serta dapat memberikan kontribusi
bagi perekonomian dan kemakmuran masyarakat Indonesia, yaitu meliputi: a. Perikanan
tangkap, b. Perikanan budidaya, c. Industri pengolahan hasil budidaya, d. Industri
bioteknologi kelautan, e. Pertambangan dan energi, f. Pariwisata bahari, g. Transportasi
laut, h. Industri dan jasa maritim, i. Pulau-pulau kecil, j. Sumber daya nonKonvensional, k. Bangunan kelautan, l. Benda-benda berharga dan warisan budaya, m.
Jasa lingkungan Konversi dan Biodiversitas. Dengan melimpahnya sumber daya ikan
maka seharusnya pendapatan nelayan sangatlah memadai untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Namun dalam realita, kemiskinan masih banyak melanda kehidupan nelayan.
Dari sisi ekonomi hasil tangkapan nelayan masih jauh dari memadahi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal ini disebabkan karena minimnya modal yang dimiliki nelayan,
tekanan dari pemilik modal, sistem bagi hasil yang tidak adil, perdagangan ikan yang
dikuasai tengkulak dan otoritas tidak punya wibawa untuk mengatur dan menegakkan
aturan, serta pola atau budaya kerja yang masih apa adanya. Kondisi kemiskinan yang
dialami nelayan menyebabkan mereka rentan konflik dan hanya menjadi objek. Hukum
yang seharusnya memberikan perlindungan ternyata juga tidak optimal. Dalam UndangUndang Perikanan hanya ada 2 ayat dalam pasal 1 yang mengatur nelayan, itu pun
hanya ayat yang memberikan pengertian nelayan dan nelayan kecil. Bahkan pengertian
itu pun berbeda dengan pengertian nelayan tradisional dalam penjelasan pasal 18 (6)
Undang-Undang Pemerintahan Daerah serta dalam realitasnya. Perbedaan pengertian ini
berdampak pada nelayan.
Keberadaan nelayan secara sosial dan ekonomi, dalam arti jumlah nelayan di
Indonesia rata-rata didominasi oleh nelayan penggarap dan nelayan kecil atau nelayan
tradisional. Hasil penelitian di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Lekok kabupaten
Pasuruan jumlah nelayan sebanyak 6.797 orang, yang merupakan nelayan penggarap,
5
nelayan kecil dan nelayan tradisional (BPPI Lekok, 2000). Pembahasan tentang nelayan
khususnya nelayan kecil atau tradisional sangat terkait pula dengan sistem kerja mereka.
Pada umumnya jam kerja mereka relatif singkat biasanya cukup satu hari saja (one day
fishing). Kondisi atau kebiasaan semacam ini berdampak pada hasil tangkapan yang
tidak optimal sehingga mengakibatkan tingkat produksi rendah dan pendapatan mereka
juga tidak optimal yang mengakibatkan kemiskinan nelayan. Sistem kerja one day
fishing antara lain juga disebabkan kapal dan alat tangkap ikan yang mereka gunakan
terbatas, selain itu budaya kerja yang hanya satu hari rupanya sudah menjadi kebiasaan.
Sehingga program pemerintah dengan peningkatan ukuran kapal dan perubahan pola
penangkapan dari satu hari menjadi lebih nampaknya susah untuk dilaksanakan.
Kondisi seperti ini menjadi kendala pula dalam kaitannya dengan pendataan maupun
pembinaan yang dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Analisis:
Dari jurnal ini tidak terdapat bagian metodelogi, jurnal ini membahas dari
beberapa literatur-literatur. Dari jurnal ini dikemukakan mengenai penyebab-penyebab
kemiskinan nelayan di Indonesia seperti, penyebab individual, keluarga, subbudaya,
agensi maupun struktural saling berkaitan. Menurut Kusnadi, sebab-sebab pokok yang
menimbulkan kemiskinan pada nelayan adalah: a. belum adanya kebijakan, strategi dan
implementasi program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang
terpadu di antara para pemangku kepentingan pembangunan. b. adanya inkonsistensi
kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi
perikanan di desa-desa nelayan terganggu. Hal ini disebabkan oleh kondisi sumber daya
perikanan telah mencapai kondisi “over fishing”, musim paceklik yang berkepanjangan,
dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). c. masalah isolasi geografis desa
nelayan, sehingga menyulitkan keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia,
yang mengganggu mobilitas sosial ekonomi. d. adanya keterbatasan modal usaha atau
modal investasi, sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi
perikanannya. e. adanya relasi sosial ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik
perahu, pedagang perantara (tengkulak), atau pengusaha perikanan dalam kehidupan
masyarakat nelayan. f. adalah rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan,
sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan
kualitas mereka.
Pada umumnya jam kerja mereka relatif singkat biasanya cukup satu hari saja
(one day fishing). Kondisi atau kebiasaan semacam ini berdampak pada hasil tangkapan
yang tidak optimal sehingga mengakibatkan tingkat produksi rendah dan pendapatan
mereka juga tidak optimal yang mengakibatnya kemiskinan nelayan. Sistem kerja one
day fishing antara lain juga disebabkan kapal dan alat tangkap ikan yang mereka
gunakan terbatas, selain itu budaya kerja yang hanya satu hari rupanya sudah menjadi
kebiasaan.
Budaya kerja
Pendapatan
rendah
Kemiskinan
Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1.
6
Tabel 1. Daftar Variabel Jurnal 1
Variabel
Sub Variabel
Budaya kerja
Kerja one day fishing
Pendapatan rendah
Tingkat produksi
rendah
Kemiskinan
Kebutuhan yang tidak
terpenuhi
2. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
Fakta Pendukung
Pada umumnya jam kerja mereka relatif
singkat biasanya cukup satu hari saja
(one day fishing) dan sudah menjadi
kebiasaan. Sistem kerja ini juga
disebabkan karena kapal dan alat
tangkap ikan yang terbatas.
Kebiasaan sistem kerja one day fishing
ini berdampak pada hasil tangkapan
yang
tidak
optimal
sehingga
mengakibatkan tingkat produksi rendah.
Kemiskinan masih banyak melanda
kehidupan nelayan. Dari sisi ekonomi
hasil tangkapan nelayan masih jauh dari
memadahi untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
: PENYEBAB KEMISKINAN RUMAH
TANGGA
NELAYAN
DI
WILAYAH
TANGKAP LEBIH JAWA TIMUR
: 2011
: Jurnal
: Elektronik
: Anas Tain
::: Malang: Universitas Muhammadiyah
: Humanity
: Volume 7 Nomer 1
:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/arti
cle/view/1401
: 24 april 2015
Ringkasan :
Dari masa ke masa, pergulatan masyarakat nelayan melawan ketidakpastian
kehidupan khususnya bagi yang melakukan penangkapan di wilayah perairan yang
sudah dalam keadaan tangkap lebih (overfishing), terus menggeliat. Kemiskinan
nelayan dinilai meluas dengan tingkat kedalaman kemiskinan yang memprihatinkan.
Diperlukan analisis kultural dan struktural secara simultan untuk memberi jalan keluar
dalam pengentasan kemiskinan nelayan dan pencapaian sasaran Millennium
Development Goals (MDGs) yang dicanangkan pemerintah Indonesia. Menurut
Kusnadi (2002), setelah seperempat abad kebijakan modernisasi perikanan dilaksanakan
tingkat kesejahteraan hidup nelayan tidak banyak berubah secara substantif. Yang
terjadi justru sebaliknya, yakni melebarnya kesenjangan sosial ekonomi antar kelompok
sosial dalam masyarakat nelayan dan meluasnya kemiskinan.
Besarnya potensi sumberdaya perikanan laut Jawa Timur untuk Laut Pantai
Utara dengan luas 65.537 km2 memiliki potensi lestari sebesar 214.970,8 ton (Dinas
Perikanan dan Kelautan Jatim, 2006). Dengan menggunakan data produksi perikanan
7
dan besarnya potensi lestari, sejak tahun 2000 produksi ikan wilayah Pantai Utara Jawa
Timur telah melampaui batas potensi lestari, dan produktifitas nelayan relative tetap dan
telah mencapai puncaknya pada tahun 2001 (Tain, 2007).
Melihat fenomena kemiskinan nelayan yang tetap belum berhasil dientaskan
selama ini, diperlukan kajian mendalam secara simultan dari aspek kultural, structural
dan sifat sumberdaya perikanan laut. Masalah utama penelitian faktor dominan apakah
yang menyebabkan kemiskinan rumah tangga nelayan kecil di wilayah tangkap lebih
Jawa Timur? Sehingga dari generasi ke generasi rumah tangga nelayan kecil terus
terbelenggu dalam kemiskinan.
Kemiskinan pada rumah tangga nelayan setidaknya dapat dikelompokkan
menjadi tiga bentuk kemiskinan berdasarkan faktor pembentuknya. Pertama,
kemiskinan struktural. Kemiskinan ini diderita oleh segolongan nelayan karena kondisi
struktur sosial yang ada menjadikan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan kebijakan yang lebih
menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar). Kedua, kemiskinan kultural
yang melihat kemiskinan terjadi karena faktor budaya seperti kemalasan yang
bersumber pada nilai-nilai lokal yang memang tidak kondusif bagi suatu kemajuan.
Ketiga, kemiskinan alamiah terjadi di mana kondisi alam yang tidak mendukung
mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif ataupun perilaku produksi yang tidak
produktif akibat sifat sumberdaya yang bersangkutan.
Tabel 2. Hasil analisis faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan
Faktor
Total
Initial Eigenvalues
% of
7.603
3.361
2.557
2.258
2.100
1.856
1.673
1.599
1.526
1.399
1.337
1.222
1.124
1.050
1.024
Variance
17.280
7.638
5.811
5.131
4.773
4.218
3.803
3.633
3.469
3.179
3.039
2.776
2.554
2.387
2.327
Cumulative
1. Kelembagaan yang merugikan nelayan kecil
2. Program yang tidak memihak nelayan kecil
3. Pandangan hidup yang berorientasi akherat
4. Keterbatasan sumberdaya
5. Ketidak sesuaian alat tangkap
6. Rendahnya investasi
7. Terikat utang
8. Perilaku boros
9. Keterbatasan musim penangkapan
10. Kerusakan ekosistem
11. Penyerobotan wilayah tangkap
12. Lemahnya penegakan hukum
13. Kompetisi untuk mengungguli nelayan lain
14. Penggunaan alat/bahan terlarang
15. Perilaku penangkapan
17.28
24.91
30.72
35.86
4 0.63
4 4.85
4 8.65
5 2.28
55.75
58.93
6 1.97
6 4.74
67.30
6 9.69
7 2.01
Ke-15 faktor sebagaimana tampak pada Tabel 1 di atas mampu menjelaskan
sebesar 72,017 persen terhadap keseluruhan faktor penyebab kemiskinan rumah tangga
nelayan. Faktor yang memiliki nilai eigenvalue lebih tinggi berarti faktor tersebut
sifatnya lebih dominan dibanding faktor lainnya. Dengan demikian faktor kelembagaan
merupakan faktor paling dominan sebagai penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan
motor tempel di wilayah tangkap lebih Jawa Timur dengan daya menjelaskan sampai
17,280 persen. Persoalan kelembagaan ini utamanya terletak pada aspek kelembagaan
pemasaran, kegiatan penangkapan dan bagi hasil. Dalam memasarkan hasil tangkapan,
posisi tawar nelayan sangatlah lemah. Para nelayan mayoritas telah terikat kepada
8
pedagang perantara (agen) kreditur mereka, dan terpaksa menerima berapapun harga
yang diberikan. Nelayan yang tidak terikat utang pun tidak berdaya.
Faktor dominan kedua, penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan kecil adalah
program yang tidak memihak nelayan kecil. Berbagai program pembangunan perikanan
selama ini dirasa tidak menguntungkan nelayan kecil serta mendorong ekploitasi
berlebih atas sumberdaya perikanan yang ada. Bahwa program modernisasi perikanan
dirasa lebih menguntungkan nelayan besar dan kurang memperhatikan/merugikan
nelayan kecil. Modernisasi peralatan tangkap hanya bisa dinikmati oleh nelayan besar
yang memiliki modal kuat dan akses ke pemegang kekuasaan. Sementara kebijakan
pemerintah yang mengejar peningkatan produktivitas seringkali mengabaikan
kepentingan nelayan kecil. Lebih lanjut hal ini menjadikan kehidupan rumah tangga
nelayan kecil semakin terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Tindjabate (2001) di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah yang
menunjukkan bahwa proses pemiskinan terhadap nelayan tradisional, terjadi dalam
konteks kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah
Indonesia dalam penyelenggaraan pembangunan subsektor perikanan laut.
Analisis :
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian survei. Penelitian survai dapat
digunakan untuk maksud: (a) penjajagan (eksploratif), (b) deskriptif, (c) penjelasan
(explanatory atau confirmatory) untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian
hipotesis, (d) evaluasi, (e) prediksi atau meramalkan kejadian tertentu di masa yang
akan datang, (f) penelitian operasional, dan (g) pengembangan indikator-indikator
sosial. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Multi Stage
Cluster Sampling.
Terdapat 15 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan kecil
di wilayah tangkap lebih yaitu faktor : kelembagaan yang merugikan nelayan kecil,
program yang tidak memihak nelayan kecil, pandangan hidup yang berorientasi akherat
saja, keterbatasan sumberdaya, ketidak sesuaian alat tangkap, rendahnya investasi,
terikat utang, perilaku boros, keterbatasan musim penangkapan, kerusakan ekosistem,
penyerobotan wilayah tangkap, lemahnya penegakan hukum, kompetisi untuk
mengungguli nelayan lain, penggunaan alat/ bahan terlarang serta perilaku
penangkapan. Ke-15 faktor dominan tersebut mampu menjelaskan sebesar 72,017%
terhadap keseluruhan faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan. Dari 15 faktor
dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan dapatlah diketahui bahwa pada
hakekatnya kemiskinan yang membelenggu rumah tangga nelayan adalah kemiskinan
yang menyangkut multidimensi.
1.Kelembagaan yang merugikan nelayan kecil
2.Program yang tidak memihak nelayan kecil
3.Pandangan hidup yang berorientasi akherat
4.Keterbatasan sumberdaya
5.Ketidaksesuaian alat tangkap
6.Rendahnya investasi
7.Terikat utang
8.Perilaku boros
9.Keterbatasan musim penangkapan
10.Kerusakan ekosistem
11.Lemahnya penegakan hukum
13.Kompetisi untuk mengungguli nelayan lain
14.Penggunaan alat/bahn terlarang
15.Perilaku penangkapan
Kemiskinan
struktural
Kemiskinan
kultural
KEMISKINAN
Kemiskinan
alamiah
9
Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2.
Tabel 3. Daftar Variabel Jurnal 2
Variabel
Sub Variabel
Penyebab kemiskinan 15 sub variabel
penyebab kemiskinan
Kemiskinan
-Kemiskinan
struktural
- Kemiskinan kultural
- Kemiskinan alamiah
3. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
Ringkasan :
Fakta Pendukung
Ke-15 faktor
tersebut mampu
menjelaskan sebesar 72,017 persen
terhadap keseluruhan faktor penyebab
kemiskinan rumah tangga nelayan.
Salah satu faktornya adalah program
yang tidak memihak petani kecil.
Kebijakan pemerintah yang mengejar
peningkatan produktivitas seringkali
mengabaikan kepentingan nelayan
kecil.
-Kemiskinan struktural karena kondisi
struktur sosial yang ada menjadikan
mereka tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber
pendapatan
yang
sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan
kebijakan yang lebih menguntungkan
golongan tertentu
-Kemiskinan kultural karena faktor
budaya
seperti
kemalasan
yang
bersumber pada nilai-nilai
-Kemiskinan alamiah terjadi di mana
kondisi alam yang tidak mendukung
melakukan kegiatan ekonomi produktif
: STRATEGI RUMAH TANGGA NELAYAN
DALAM MENGATASI KEMISKINAN
: 2013
: Jurnal
: elektronik
: Reki Hariansyah
::: Tanjungpinang : Universitas Maritim Raja Ali
Haji
:
:
:http://jurnal.umrah.ac.id/wp
content/uploads/2013/08/JURNALREKIHARIANSYAH-090569201020SOSIOLOGI-2013.pdf
:14 Maret 2015
10
Nelayan merupakan karakteristik masyarakat yang tinggal di daerah pesisir,
nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan
dilaut (Satria, 2002:25). Menurut Kusnadi (2002:4) nelayan merupakan salah satu
bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat kesejahteraan paling rendah.
Dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah masyarakat paling miskin dibanding
anggota masyarakat subsisten lainnya. Melimpahnya potensi hayati yang dikandung
oleh laut disekitar tempat komunitas nelayan bermukim, seyogyanya dapat menjadi
suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka
secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja
masih berada dalam ketidakmampuan secara finansial dan belum sejahtera, sehingga
membuat para nelayan tetap berada pada kubangan kemiskinan.
Hasil dari pekerjaan menjadi seorang nelayan yang menggantungkan hasil laut
tentunya tidak bisa di prediksi oleh rumah tangga nelayan untuk mampu memberikan
pemasukan yang cukup bagi rumah tangga nelayan. Melihat hal tersebut umumnya para
nelayan menjalankan strategi-strategi dalam mengatasi kemiskinan yang terus
membayangi kehidupan rumah tangga nelayan yang meliputi : Peran Anggota Keluarga,
Jaringan Sosial, Diversifikasi Pekerjaan, serta Migrasi.
1) Peran Anggota Keluarga
Dalam mengatasi kemiskinan yang terus membayangi kehidupan rumah tangga
nelayan, anggota keluarga nelayan berusaha mengoptimalkan peran tenaga kerja
anggota keluarga. Salah satunya dapat dilihat dari peran istri nelayan yang membantu
dalam bekerja yang tentunya turut membantu perekonomian Bentuk kegiatan yang
dilakukan salah satu anggota keluarga yakni istri nelayan untuk membantu bekerja
diantaranya melakukan aktifitas menoreh getah, bekerja paruh waktu dan juga
membuka usaha warung kecil-kecilan di lahan rumah sendiri.
2) Jaringan Sosial
Jaringan sosial dimanfaatkan nelayan sebagai salah satu strategi dalam
menghadapi kemiskinan. Nelayan biasanya memanfaatkan jaringan sosial tersebut
untuk meminjam uang kepada patron atau penampung ikan tersebut apabila ekonomi
keluarga sedang sulit. Akan tetapi, hasil ikan yang didapat oleh nelayan harus dijual
kepada penampung ikan tersebut dan menjadi langganan tempat penjualan hasil laut
tersebut dan harga pasarannya telah ditentukan oleh pengumpul ikan itu sendiri dan
tentunya hal tersebutlah yang menjadi ketergantungan nelayan kepada pemilik modal
yang memanfaatkan nelayan guna mendapat hasil ikan dan dengan harga yang relatif
murah.
3). Diversifikasi Pekerjaan
Diversifikasi pekerjaan tentu saja erat hubungannya dengan kehidupan umum
pada nelayan karena tentunya merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh
nelayan dalam mengatasi kemiskinan. Etos kerja merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi nelayan untuk mampu mengkombinasikan pekerjaan dengan pekerjaan
pokoknya yakni sebagai seorang nelayan karena etos kerja tentunya berpengaruh pada
kerja keras nelayan sebagai pencari nafkah utama keluarga yang tentunya harus mampu
memberikan pemasukan ekonomi yang cukup bagi keluarga sekaligus untuk mampu
mengatasi kemiskinan, dan hal tersebutlah yang tentunya mendasari beberapa nelayan
yang melakukan beragam pekerjaan selain sebagai seorang nelayan.
4). Migrasi
Kebiasaan para nelayan biasanya melakukan migrasi untuk memperoleh hasil
laut yang baik, nelayan biasanya melakukan migrasi sirkuler ke daerah perairan lain
untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik, dan pada dasarnya bentuk migrasi
sirkuler yang dilakukan nelayan ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan
11
nelayan dalam berusaha memperbaiki hasil tangkapan yang diperuntukkan untuk
menambah jumlah penghasilan bagi keluarga.
Analisis :
Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kualitatif, yang
berusaha menggambarkan usaha-usaha masyarakat nelayan dalam mengatasi
kemiskinan melalui metode studi kasus. Masyarakat yang peneliti kaji dalam penelitian
mengenai strategi rumah tangga dalam mengatasi kemiskinan ini yaitu masyarakat
nelayan yang berlokasi di pesisir Desa Lubuk, Kecamatan Kundur, pemilihan lokasi
oleh peneliti dikarenakan Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Desa Lubuk
kurang mendapat perhatian pemerintah baik dari segi bantuan usaha nelayan maupun
peran aktif untuk berperan memberdayakan ekonomi masyarakat nelayan. Dalam jurnal
tidak dijelaskan berapa responden yang digunakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi rumah tangga nelayan dalam
mengatasi kemiskinan di Desa Lubuk Kecamatan Kundur Kabupaten Karimun adalah:
1. Peranan anggota keluarga yakni istri nelayan yang mempunyai inisiatif untuk
membantu suami bekerja menambah penghasilan keluarga
2. Adanya jaringan sosial yang berupa jaringan kepentingan yang diciptakan nelayan
melalui hubungan timbal balik dengan semua orang yang mereka kenal.
3. Kombinasi pekerjaan atau bisa disebut menggeluti pekerjaan lain selain pekerjaan
utama sebagai seorang nelayan.
4. Melakukan migrasi kedaerah lain untuk melakukan aktifitas menangkap ikan dan
untuk memperbaiki hasil.
Dari hasil penelitian tersebut salah satu strategi nafkah rumah tangga nelayan
adalah peranan anggota keluarga yakni istri yang dapat membantu pendapatan keluarga.
Namun peneliti tidak menjelaskan secara rinci peran, kontribusi dan alokasi kerja
perempuan dalam menjalankan strategi nafkah rumah tangga nelayan tersebut.
Strategi
nelayan
Kemiskinan
Peranan anggota
keluarga
Jaringan
sosial
Kombinasi
pekerjaan
Migrasi
Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3.
Tabel 4. Daftar Variabel Jurnal 3
Variabel
Sub Variabel
Kemiskinan
-Pendapatan rendah
Strategi nelayan
- Peranan anggota
keluarga
- Jaringan sosial
Fakta Pendukung
Hasil dari pekerjaan menjadi seorang
nelayan yang menggantungkan hasil
laut tentunya tidak bisa di prediksi oleh
rumah tangga nelayan untuk mampu
memberikan pemasukan yang cukup
bagi rumah tangga nelayan, sehingga
membuat para nelayan berada pada
kubangan kemiskinan.
- Peranan anggota keluarga yakni istri
nelayan dalam membantu suami bekerja
menambah penghasilan keluarga
12
- Kombinasi
Pekerjaan
- Migrasi
4. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
-Adanya jaringan sosial yang diciptakan
nelayan melalui hubungan timbal balik
dengan semua orang yang mereka
kenal.
- Kombinasi pekerjaan atau bisa disebut
menggeluti pekerjaan lain selain
pekerjaan utama sebagai seorang
nelayan.
- Melakukan migrasi kedaerah lain
untuk melakukan aktifitas menangkap
ikan dan untuk memperbaiki hasil.
: DAMPAK PROGRAM PENGENTASAN
KEMISKINAN DI KABUPATEN JAYAPURA
:: Jurnal
: elektronik
: Istiana Hermawati
:::: Jurnal penelitian dan Evaluasi Pendidikan
::
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc
=s&source=web&cd=1&ved=0CBwQFjAA&url=
http%3A%2F%2Fjournal.uny.ac.id%2Findex.php
%2Fjpep%2Farticle%2Fdownload%2F1110%2F8
92&ei=97s5Vf3PPMLRmwWHmYHIBQ&usg=A
FQjCNEYMlU7urh16MfKhjiFw1InJGjfRg&sig2
=BNyqrNNOmbzwGjVI2-H3Vw
:23 Maret 2015
Ringkasan :
Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan multidimensi serta
memiliki dampak sangat luas terhadap kualitas hidup manusia. Masalah kemiskinan
selalu ditandai dengan adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian dan
ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Pada masyarakat miskin, kondisi ini
diperparah manakala para pembuat kebijakan dan program mengabaikan perbedaan
kondisi dan kemampuan berbagai elemen masyarakat di dalamnya, termasuk laki-laki
maupun perempuan, karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak
ekonomi, sosial, politik dan kesempatan yang sama untuk peningkatan diri dan
kesejahteraan hidupnya. Muttaqien (2006:3) mengungkapkan, bahwa kemiskinan
menyebabkan efek yang hampir sama di semua negara. Kemiskinan menyebabkan: (1)
Hilangnya kesejahteraan bagi kalangan miskin (sandang, pangan, papan), (2) Hilangnya
hak akan pendidikan, (3) Hilangnya hak akan kesehatan, (4) Tersingkirnya dari
pekerjaan yang layak secara kemanusiaan, (5) Termarjinalkannya dari hak atas
perlindungan hukum, (6) Hilangnya hak atas rasa aman, (7) Hilangnya hak atas
13
partisipasi terhadap pemerintah dan keputusan publik, (8) Hilangnya hak atas psikis, (9)
Hilangnya hak untuk berinovasi, dan (10) Hilangnya hak atas kebebasan hidup.
Dalam konteks pengentasan kemiskinan di Indonesia, berbagai upaya untuk
menanggulangi masalah kemiskinan sudah lama dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
melalui berbagai program. Namun setelah program penanggulangan kemiskinan yang
ada dievaluasi oleh Bapenas pada tahun 2004, diperoleh kesimpulan bahwa programprogram tersebut belum membuahkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Hal ini
mengindikasikan belum efektifnya sebagian besar program penanggulangan kemiskinan
yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah.
Ditinjau dari sisi metodologi, kegagalan program pengentasan kemiskinan
menurut Dawam Raharjo (2006:xvi) adalah karena kesalahan dalam mendefinisikan
konsep kemiskinan, sehingga implikasi metodologis dalam mengukur kemiskinan
menjadi bias. Memperkuat pendapat Dawam Raharjo, Amelia Maika (2009) dalam
disertasinya tentang ‘Mengukur Kemiskinan Subyektif di Indonesia’ mengemukakan,
bahwa indikator ekonomi bukan satu-satunya metode untuk mengukur kemiskinan. Jika
kemiskinan didefinisikan sebagai hasil penilaian individu terhadap kesejahteraannya,
maka pengukuran subjektif perlu diperhatikan. Pengukuran subyektif tentang
kemiskinan yang dimaksud adalah bagaimana si miskin menilai kemiskinan dari sudut
pandang mereka sehingga posisi si miskin menjadi jelas.
Secara obyektif, 56,6% subyek penelitian dalam kategori miskin karena
memiliki penghasilan di bawah standar KFM Kab. Jayapura (Rp.600.000,-) per bulan.
Secara subyektif, sebelum menerima program pengentasan kemiskinan, 63% subyek
penelitian menyatakan dirinya dalam keadaan miskin dan setelah mengikuti program
58,91% subyek penelitian menyatakan dalam keadaan cukup. Fenomena Kemiskinan di
Kab.Jayapura sangat spesifik, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi semata,
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non ekonomi. Hasil analisis membuktikan, bahwa
konstruk kemiskinan lokal di Kab. Jayapura berhasil direpresentasikan secara signifikan
oleh indikator pembentuknya, yaitu ekonomi, sosial, psikis dan budaya.
Program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Jayapura terbukti memiliki
dampak secara signifikan terhadap peningkatan aspek ekonomi, sosial, psikis dan
budaya dalam kehidupan subyek penelitian:
a. Dari aspek ekonomi, hasil uji beda menunjukkan bahwa pendapatan subyek
penelitian sebelum dan setelah mengikuti program pengentasan kemiskinan mengalami
peningkatan secara signifikan, baik untuk program keseluruhan maupun untuk
masingmasing program (KUBE/PPK).
b. Hasil analisis membuktikan, bahwa dukungan faktor/dimensi terhadap variabel
dampak, untuk Program PPK relatif lebih besar dibandingkan Program KUBE. Ini
mengindikasikan, bahwa Program PPK (program lokal) relatif lebih efektif untuk
mengentaskan masalah kemiskinan di Kabupaten Jayapura dibandingkan Program
KUBE (program sektoral).
Analisis :
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menemukan indikator kemiskinan lokal yang
komprehensip, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif di Kabupaten Jayapura;
(2) menemukan konstrak yang tepat untuk mengukur indikator kemiskinan lokal; (3)
mengetahui besarnya pengaruh proses intervensi dan kualitas program terhadap dampak
program pengentasan kemiskinan; (4) menemukan konstrak dampak program
pengentasan kemiskinan beserta faktor-faktor pendukungnya; dan (5) menemukan
bentuk dampak yang dihasilkan dari penerapan program pengentasan kemiskinan di
Kabupaten Jayapura, baik secara ekonomi, sosial, psikis dan budaya. Populasi
penelitian ini adalah seluruh keluarga miskin di Kabupaten Jayapura yang ditentukan
14
dengan teknik multistage cluster random sampling. Sedangkan populasi sampel atau
subyek penelitian ini adalah keluarga miskin peserta program sektoral (Program KUBE
Fakir Miskin dari Kementerian Sosial RI) dan program lokal (Program Pemberdayaan
Kampung/PPK dari Pemda Jayapura) periode 2006-2008. Data yang terkumpul
dianalisis dengan teknik kuantitatif dan kualitatif, kedua teknik ini digunakan secara
simultan. penelitian ini mengambil setting di Propinsi Papua, khususnya di Kabupaten
Jayapura. Hal ini karena Propinsi Papua menurut data BPS (beberapa tahun terbitan)
merupakan propinsi dengan angka kemiskinan terbesar di Indonesia (40,83% pada
tahun 2005, 41,52% pada tahun 2006, dan 41,33% pada tahun 2008). Sementara angka
kemiskinan di Kabupaten Jayapura menempati urutan terbanyak ketiga di Propinsi
Papua setelah Kabupaten Merauke dan Kabupaten Jayawijaya.
Hasil penelitian yaitu (1) subyek penelitian dalam kategori miskin karena
memiliki penghasilan di bawah standar kebutuhan fisik minimum (KFM) Kabupaten
Jayapura, (2) konstrak indikator kemiskinan lokal meliputi faktor ekonomi, sosial,
psikis dan budaya, (3) Proses intervensi dan kualitas program untuk program
keseluruhan terbukti berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap dampak
program, (4) konstrak proses intervensi ditentukan oleh indikator engagement,
assessment, designing, implementation, evaluation dan termination, (5) Program
pengentasan kemiskinan berdampak secara signifikan terhadap peningkatan aspek
ekonomi, sosial, psikis dan budaya dalam kehidupan subyek penelitian. di Kabupaten
Jayapura dibandingkan program sektoral (KUBE).
Penghasilan dibawah
standar KFM Kab.
Jayapura (objektif)
Program tidak
responsif gender
Kemiskinan
Belum mendapat
program pengetasan
kemiskinan (subjektif)
Upaya
penanggulanan
melalui program
pembangunan yang
responsif gender
Peningkatan aspek
ekonomi, sosial, psikis
dan budaya
Gambar 4. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4.
15
Tabel 5. Daftar Variabel Jurnal 4
Variabel
Sub Variabel
Program tidak
responsif gender
Kemiskinan
- Kemiskinan objektif
- Kemiskinan
subjektif
Program responsif
gender
5. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
Fakta Pendukung
Program yang mengabaikan perbedaan
kondisi dan kemampuan berbagai
elemen masyarakat di dalamnya,
termasuk laki-laki maupun perempuan,
dapat menyebabkan kemiskinan. Karena
baik laki-laki maupun perempuan
memiliki hak-hak ekonomi, sosial,
politik dan kesempatan yang sama
untuk peningkatan diri
-Kemiskinan
objektif
akibat
penghasilan dibawah standar KFM Kab.
Jayapura
-Kemiskinan subjektif akibat belum
mendapat
program
pengetasan
kemiskinan
Program yang responsif gender dapat
meningkatan aspek ekonomi, sosial,
psikis dan budaya sehingga mampu
menanggulangi kemiskinan
: INTEGRASI GENDER DALAM PENGUATAN
EKONOMI MASYARAKAT PESISIR
:: Jurnal
: elektronik
: Rita Nur Suhaeti dan Edi Basuno
::: Bogor : Badan Litbang Pertanian
:::
http://download.portalgaruda.org/article.php?articl
e=13006&val=926
:24 Maret 2015
Ringkasan :
Setelah Otonomi Daerah diberlakukan sejak tahun 2001, terjadi perubahan
paradigma pembangunan, yaitu dari yang berorientasi sentralistik ke arah desentralisasi.
Perubahan tersebut tentunya membawa konsekuensi yaitu: pemerintah harus
memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut menentukan
berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan berbagai
permasalahan dan kebutuhan daerah setempat. Dari sisi pemerintah, dalam rangka
memberikan fasilitasi kepada masyarakat sering tidak dilandasi oleh hasil-hasil
identifikasi faktor-faktor penyebab yang berbasis gender. Banyak kalangan yang
menilai pembangunan yang berjalan hingga saat ini masih netral gender, artinya masih
banyak ketimpangan atau kesenjangan hubungan relasi antara berbagai pihak gender
16
terutama antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh haknya. Muncul berbagai
penilaian bahwa kedudukan dan peran perempuan masih berada pada posisi
termarjinalkan, tersubordinasi atau bahkan diperlakukan secara diskriminatif, selain
berbagai tindak kekerasan lainnya. Khusus di sektor pertanian dalam arti luas, termasuk
perikanan, kontribusi perempuan di sektor ini sangat signifikan, baik dalam proses
produksi, panen maupun pascapanen. Peran tersebut mampu memberikan sumbangan
yang besar bagi penghasilan keluarga dan kegiatannya dapat direpresentasikan. Jumlah
dan curahan waktu perempuan dalam kegiatan rumah tangga pada umumnya lebih
tinggi dari curahan tenaga kerja laki-laki. Argumentasinya, karena perempuan
merupakan penanggungjawab pekerjaan domestik (pengaturan rumah tangga) yang
membutuhkan waktu yang lebih banyak. Pekerjaan rumah tangga tersebut dilakukan
sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan mencari nafkah. Peran ganda inilah yang
menyebabkan mobilitas tenaga kerja perempuan terbatas (Sajogyo, 1987).
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa ketimpangan gender masih terjadi di
desa di Kabupaten Cirebon dan di Kabupaten Buton. Ketimpangan terjadi terutama
dalam sektor domestik yang secara dominan masih menjadi ranah (domain) perempuan.
Dari alokasi waktu yang dicurahkan, kondisi laki-laki lebih baik, demikian pula waktu
senggang laki-laki lebih banyak. Hal ini dapat mengarah kepada ketidakadilan gender
dalam arti salah satu pihak bisa saja dirugikan. Walaupun demikian, di kedua lokasi
kajian belum terdapat tanda terjadi ketidakadilan gender karena pihak perempuan belum
merasa dirugikan dan merasa bahwa pekerjaan domestik adalah kodratnya. Dengan
demikian semua anggota keluarga termasuk perempuan dapat berpartisipasi lebih baik
dalam sektor publik dan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, perempuan dapat
berpartisipasi dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
Pengarusutamaan gender di kedua lokasi kajian baru dilakukan dalam tahapan
sosialisasi di kalangan yang sangat terbatas. Diperlukan waktu dan alokasi dana khusus
untuk melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan
gender sebagai wujud pengintegrasian berbagai permasalahan, pengalaman dan
kebutuhan gender ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan aktivitas
monitoring dan evaluasi terhadap berbagai penguatan ekonomi masyarakat lokal
kawasan pesisir dan pantai. Fasilitasi forum koordinasi lintas sektor yang terkait dalam
program pengembangan kawasan pesisir secara terpadu, guna mengatasi berbagai
kesenjangan gender yang terjadi di Kabupaten Buton dan Cirebon baru dilakukan untuk
tiga unit instansi yakni Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pemberdayaan
Masyarakat serta Bagian atau Sub-bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro
Kesejahteraan Pemda masing-masing kabupaten.
Pelatihan teknologi tepat guna yang sangat diperlukan dalam mengembangkan
potensi sumber daya alam pesisir dan desa pantai di Kabupaten Buton dan Cirebon
adalah berbagai pengolahan ikan tangkap. Misalnya, cara membuat ikan kering, baik
asin atau tawar tanpa menggunakan berbagai pestisida yang berbahaya, cara membuat
ikan pindang yang rasanya lebih enak, cara mengupas rajungan dengan lebih mudah,
budi daya rumput yang lebih baik dan sebagainya. Diharapkan kualitas hasil olahan
menjadi lebih baik dan aman sehingga daya jualnya dapat ditingkatkan. Pelatihan tidak
hanya menyangkut teknis pengolahan, tetapi juga menyertakan sistem manajemen
usaha.
Masyarakat pesisir pada umumnya menunggu uluran tangan pihak luar untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka. Proyek PEMP dari DKP yang dimulai tahun 2001
bertujuan untuk mengatasi kesulitan modal masyarakat pesisir dalam melakukan
usahanya. Modal hanya merupakan salah satu masalah dari banyak masalah, sehingga
ketersediaan modal harus dibarengi oleh usaha-usaha lain agar masyarakat menjadi
berdaya. Mengingat kompleksnya permasalahan pengembangan desa pantai, maka
17
kontribusi KPP di dalam pengembangan ekonomi wilayah tersebut dapat dilakukan
melalui program pendampingan kelompok yang selama ini telah dibina oleh pihak
DKP. Sedangkan partisipasi dari unit kerja lain tetap diperlukan sesuai dengan bidang
tugas masing-masing. Fokus kontribusi KPP pada pendampingan kelompok dalam
rangka mewujudkan kelompok yang mandiri merupakan pilihan tepat mengingat
kemandirian merupakan bukti masyarakat yang berdaya. Dengan menjadi berdaya,
masyarakat tersebut akan mampu untuk menolong dirinya sendiri dengan kekuatan yang
dimilikinya. Pendampingan kelompok merupakan suatu proses, sehingga berbagai
tahapan pendampingan perlu diikuti meskipun hasilnya tidak dapat dilihat dalam waktu
yang singkat. Berbagai aspek mempengaruhi lamanya pendampingan, seperti kondisi
kelompok pada saat awal pendampingan, kualitas fasilitator, dukungan aparat terkait di
lokasi dsb.
Analisis :
Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara dengan nara
sumber dan petani responden melalui pendekatan Focused Group Discussion (FGD)
serta pengumpulan data profil dan monografi desa. Kegiatan FGD dilakukan dalam dua
tingkatan, yakni tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan/desa. Kajian ini dilakan di
empat desa di Kabupaten Cirebon dan di dua desa di Kabupaten Buton. Untuk
Kabupaten Cirebon, kajian dilakukan di Kecamatan Mundu dengan empat desa sebagai
berikut: (1) Desa Mundu Pesisir, (2) Desa Citemu, (3) Desa 6 Waruduwur dan (4) Desa
Bandengan. Untuk Kabupaten Buton, kajian dilakukan di Kecamatan Lakudo, yakni di
Desa Madongka dan Desa Wanepa-nepa.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa ketimpangan gender masih terjadi di
desa di Kabupaten Cirebon dan di Kabupaten Buton. Ketimpangan terjadi terutama
dalam sektor domestik yang secara dominan masih menjadi ranah (domain) perempuan.
Dari alokasi waktu yang dicurahkan, kondisi laki-laki lebih baik. Hasil penangkapan
ikan oleh para nelayan sebenarnya cukup, namun karena pengelolaan keuangan yang
kurang baik menyebabkan para nelayan dan keluarga di lokasi penelitian terlihat kurang
sejahtera. Pengarusutamaan gender di kedua lokasi kajian baru dilakukan dalam tahapan
sosialisasi di kalangan yang sangat terbatas. Diperlukan waktu dan alokasi dana khusus
untuk melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan
gender sebagai wujud pengintegrasian berbagai permasalahan, pengalaman dan
kebutuhan gender ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan aktivitas
monitoring dan evaluasi terhadap berbagai penguatan ekonomi masyarakat lokal
kawasan pesisir dan pantai.
Fasilitasi forum koordinasi lintas sektor yang terkait dalam program
pengembangan kawasan pesisir secara terpadu, guna mengatasi berbagai kesenjangan
gender yang terjadi di Kabupaten Buton dan Cirebon baru dilakukan untuk tiga unit
instansi yakni Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pemberdayaan Masyarakat serta
Bagian atau Sub-bagian Pemberdayaan Perempuan, Pendampingan kelompok
merupakan suatu proses, sehingga berbagai tahapan pendampingan perlu diikuti
meskipun hasilnya tidak dapat dilihat dalam waktu yang singkat. Berbagai aspek
mempengaruhi lamanya pendampingan, seperti kondisi kelompok pada saat awal
pendampingan, kualitas fasilitator, dukungan aparat terkait di lokasi tersebut.
18
Sektor dosmetik
dominan menjadi
ranah perempuan
Perbedaan alokasi
waktu yang timpang
Ketimpangan
gender
Pengarusutamaan gender
dalam pelaksanaan program
yaitu dengan:
(a) Sosialisasi, (b) advokasi
dan (c) fasilitasi pelaksanaan
pengarusutamaan gender
Keberhasilan
program
Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5.
Tabel 6. Daftar Variabel Jurnal 5
Variabel
Sub Variabel
Ketimpangan gender
-Sektor
dosmetik
dominan
menjadi
ranah perempuan
-Perbedaan
alokasi
waktu
Pengarusutamaan
gender dalam
pelaksanaan program
Keberhasilan program
-Sosialisasi
-Advokasi
-Fasilitasi
Fakta Pendukung
Ketimpangan terjadi terutama dalam
sektor domestik yang secara dominan
masih
menjadi
ranah
(domain)
perempuan. Dari alokasi waktu yang
dicurahkan, kondisi laki-laki lebih baik,
demikian pula waktu senggang laki-laki
lebih banyak. Hal ini dapat mengarah
kepada ketidakadilan gender dalam arti
salah satu pihak bisa saja dirugikan.
Dengan kurangnya pemahaman
mengenai pengarusutamaan gender
maka diperlukan sosialisasi dan
advokasi. Selain itu fasilitasi forum
koordinasi lintas sektor dalam program
pengembangan
kawasan pesisir secara terpadu
Pengarusutamaan gender dalam
pelaksanaan program membuat
keberhasilan program dapat tercapai
6. Judul
: ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM
DESA MANDIRI PANGAN (Studi Kasus: Desa Jambakan, Kecamatan Bayat,
Klaten- Jawa Tengah)
Tahun
: 2008
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Siti Nurul Qoriah dan Titik Sumarti
Nama Editor
:Judul Buku
:Kota dan nama penerbit
: Bogor: Institut Pertanian Bogor
Nama Jurnal
: Jurnal Transdisiplin Sosiologi
Volume(Edisi):hal
: Volume 02 No 02
19
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/v
iew/5884
: 23 April 2015
Ringkasan :
Konsep ketahanan pangan berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 1996
tentang Pangan, pasal 1 ayat 17 menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercemin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Masalah ketahanan
pangan, tidak terlepas dari masalah kemiskinan yang terjadi di Negara Indonesia. Untuk
memperbaiki kondisi masyarakat pesedaan, maka dibutuhkan kebijakan yang tidak
hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas dalam luasan lahan atau melihat
ukuran fisik saja, tetapi harus memperhatikan permasalahan sosial budaya masyarakat
setempat. Langkah yang dilakukan pemerintah yaitu Departemen Pertanian adalah
melaksanakan Program Desa Mandiri Pangan mulai 2006 di daerah-daerah yang
dinyatakan sebagai daerah rawan pangan. Melalui Program Desa Mandiri Pangan,
diharapkan masyarakat desa memiliki kemampuan untuk mewujudkan ketahanan
pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif setiap harinya.
Dalam implementasinya, setiap kebijakan yang dilakukan oleh setiap instansi
seyogyanya juga harus memperhatikan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal
ini karena pembangunan nasional ditunjukan untuk seluruh penduduk tanpa
membedakan laki-laki dan perempuan. Ini kemudian diperkuat dengan ditetapkan
INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
pembangunan Nasional. Tujuan Pengarusutamaan Gender adalah terselenggaranya
kebijakan dan program pembangunan yang berperspektif gender dalam rangka
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, sering kali masih saja terjadi bias gender dalam program
pembangunan dan sering kali yang menjadi korban adalah perempuan. Hasil survei
yang dilakukan oleh Sumarti dkk (2007) terkait dengan pelaksanaan Program Desa
Mandiri Pangan di dua kabupaten menunjukan bahwa perempuan memiliki peran yang
cukup besar. Perempuan tidak hanya melakukan pekerjaan reproduktif saja, tetapi juga
melakukan pekerjaan produktif.
Dari hasil penelitian menunjukan baik laki-laki dan perempuan sama-sama
terlibat dalam kegiatan pertanian. Namun, aktivitas yang banyak dilakukan laki-laki
yaitu saat derep atau panen dan pengolahan lahan. Sedangkan perempuan terlibat dalam
kegiatan penanaman atau nandur serta perawatan. Meskipun baik laki-laki dan
perempuan terlibat dalam kegiatan pertanian tetapi terdapat perbedaan upah laki-laki
mendapat upah Rp30.000 ditambah dengan rokok, kopi dan makan, sedangkan
perempuan mendapatkan upah Rp25.000 dan makan. Pembedaan ini karena ada
pandangan bahwa laki-laki memiliki tenaga lebih besar dan kuat daripada perempuan.
Selain itu, kebanyakan perempuan di Desa Jambakan melakukan aktivitas menenun dan
membuka warung untuk menopang kebutuhan rumah tangga. Hal ini karena pekerjaan
tersebut dapat mereka kerjakan tanpa harus meninggalkan pekerjaan reproduktif seperti
memasak, mencuci, mengasuh anak dan lain-lain.
Analisis gender dalam Program Desa Mandiri Pangan dalam pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan di tingkat kelompok dapat dilihat dari pengelolaan
sumber daya kelompok. Dalam kelompok tenun, karena semua anggota adalah
perempuan, maka dalam kepengurusan dikelola oleh perempuan. Begitu pula untuk
kelompok ternak kambing, karena semua anggota laki-laki maka kepengurusan
20
kelompok dikelola laki-laki. Kelompok aneka usaha yang anggotanya laki-laki dan
perempuan, kepengurusan dikelola oleh laki-laki dan perempuan. Perempuan menjadi
sekretaris, hal ini karena ada pandangan bahwa pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan
perempuan. Namun, dalam perjalanannya peran perempuan yang menjabat sebagai
sekretaris itu digantikan oleh suaminya. Hal ini karena pengurus tersebut mengalami
penurunan kesehatan. Pemilihan pengurus tersebut didasarkan atas penunjukan dari
aparat desa bukan atas musyawarah kelompok.
Pembagian kerja di tingkat kelompok masih didominasi oleh pengurus. Di
tingkat rumah tangga baik penerima program dan bukan penerima program terjadi
ketidakadilan gender yang termanifestasikan berupa beban kerja ganda pada perempuan.
Program Desa Mandiri Pangan tidak mengubah pembagian kerja dalam rumah tangga.
Secara umum akses terhadap sumber daya yang ada yaitu dana bantuan, pelatihanpelatihan dan manfaat yaitu jasa dan berkelompok, semua anggota memiliki kesempatan
yang sama. Akan tetapi dalam kontrol terhadap sumber daya dan manfaat untuk
kelompok tenun dan kelompok kambing masih didominasi oleh pengurus kelompok.
Kelompok aneka usaha memiliki kontrol yang sama, hal ini karena setiap pengambilan
keputusan didasarkan atas musyawarah antarkelompok, di tingkat rumah tangga akses
dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat yang ada dimiliki oleh penerima
program.
Program Desa Mandiri Pangan telah memenuhi kebutuhan praktis laki-laki dan
perempuan di tingkat kelompok dan rumah tangga yang dapat dilihat pada peningkatan
pendapatan kelompok melalui jasa pinjaman dan pendapatan rumah tangga. Sedangkan
untuk pemenuhan kebutuhan strategis Program Desa Mandiri Pangan belum mampu
memenuhi kebutuhan anggota baik di tingkat kelompok ataupun rumah tangga.
Sehingga program ini cenderung belum responsif gender.
Analisis :
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung dengan data
kuantitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan, menganalisis akses dan kontrol laki-laki dan perempuan dan
menganalisis kebutuhan praktis dan strategis gender pada pelaksanaan Program Desa
Mandiri Pangan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayar,
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja dengan
pertimbangan bahwa Desa Jambakan merupakan desa rawan pangan dengan jumlah KK
miskin pada tahun 2006 mencapai 504 KK atau 74.7 persen dari 674 KK dan menerima
manfaat Program Desa Mandiri Pangan
Gender bukan suatu kodrat atau ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah.
Gender dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat lain dan dapat berubah dari waktu
ke waktu lain. perbedaan gender ini kemudian melahirkan pembagian kerja gender.
Pembagian kerja gender ini tercemin dalam tiga peran gender yaitu reproduktif,
produktif dan sosial.
Untuk mengungkapkan hubungan sosial laki-laki dan perempuan maka dapat
dilakukan analisis gender dengan menggunakan dua macam teknik analisis yaitu teknik
analisis Harvard melalui profil aktivitas, akses dan kontrol. Kemudian teknik yang
kedua adalah teknik analisis Moser melalui mempertimbangkan kebutuhan praktis dan
strategis.
Melalui Program Desa Mandiri Pangan, diharapkan masyarakat desa memiliki
kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani
hidup sehat dan produktif setiap harinya.Dalam implementasinya, setiap kebijakan yang
dilakukan oleh setiap instansi seyogyanya juga harus memperhatikan hubungan antara
laki-laki dan perempuan.
21
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaaan Program Desa Mandiri
cenderung belum responsif gender. Hal ini karena masih ada ketimpangan gender baik
di tingkat rumah tangga maupun dalam kelompok afinitas. Bentuk ketidakadilan gender
yang terjadi adalah beban kerja, streotipe dan subordinasi pada perempuan.
Ketimpangan gender tersebut terjadi akibat hegemoni patriaki.
Analisis Gender
Konstruksi
sosial
Peran gender:
-
Reproduktif
Produktif
sosial
-
Pembagian
kerja
Akses dan
kontrol
Kebutuhan
praktis dan
strategis
Responsif gender
atau tidak pada
Program Desa
Mandiri Pangan
Menentukan
Keberhasilan
Ketahanan Pangan
Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6.
Tabel 7. Daftar Variabel Jurnal 6
Variabel
Sub Variabel
Konstruksi sosial
Peran gender
-Reproduktif
-Produktif
-Sosial
Analisis gender
-Pembagian kerja
-Akses dan kontrol
-Kebutuhan
praktis
dan strategis
Fakta Pendukung
Adanya pandangan bahwa laki-laki
memiliki tenaga lebih besar dan kuat
daripada
perempuan,
sehingga
mempengaruhi pembagian kerja atau
peran gender
Peran gender ini dipengaruhi oleh
konstruksi sosial atau pandangan antara
laki-laki dan perempuan. Terdapat
beberapa peran gender yaitu peran
dalam pekerjaan reproduktif seperti
memasak, mencuci, mengasuh anak dan
lain-lain. peran dalam pekerjaan
produktif untuk mendapatkan upah dan
peran sosial yang berperan dalam
kegiatan sosial
Analisis gender dalam Program Desa
Mandiri Pangan dalam pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan di
tingkat kelompok dapat dilihat dari
pengelolaan sumber daya kelompok.
Secara umum akses terhadap sumber
daya yang ada yaitu dana bantuan,
pelatihan-pelatihan dan manfaat yaitu
jasa dan berkelompok, semua anggota
memiliki kesempatan yang sama. Akan
tetapi terdapat perbedaan dalam kontrol.
Program initelah memenuhi kebutuhan
praktis laki-laki dan perempuan namun
22
Program responsif
gender
7. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
belum memenuhi kebutuhan strategis
Sehingga program ini cenderung belum
responsif gender
Untuk mengetahui apakah suatu
program responsif gender atau tidak
diperlukan analisis gender pada
program tersebut. Jika tidak ada
ketimpangan antara laki-laki dan
perempuan dalam program maka
program tersebut dapat dikatakan
responsif gender dan sebaliknya.
Program Desa Mandiri Pangan yang
responsif gender menjadi salah satu
indikator keberhasilan ketahanan
pangan.
: PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM
PEMBANGUNAN PERTANIAN : Kasus Pada
Pelaksanaan Program FEATI Di Kabupaten
Magelang
: 2013
: Jurnal
: elektronik
: Dian Maharso Yuwono
:::: Jurnal penelitian dan Evaluasi Pendidikan
: Volume 10 No 1 : 140 - 147
:
https://www.academia.edu/6800952/PENGARUSUTA
MAAN_GENDER_DALAM_PEMBANGUNAN_PERTANIA
N_KASUS_PADA_PELAKSANAAN_PROGRAM_FEATI_DI
_KABUPATEN_MAGELANG
Tanggal diunduh
:23 Maret 2015
Ringkasan :
Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa perempuan menjadi bagian yang
penting dari tenaga kerja di sektor pertanian, baik itu pada penyediaan sarana pertanian,
budidaya tanaman dan ternak, pengolahan dan pascapanen, hingga pemasaran hasil
pertanian. Hasil penelitian Sajogyo (1984) mendapatkan bahwa perempuan memberikan
kontribusi yang besar dalam ekonomi masyarakat maupun dalam kehidupan keluarga.
Upaya peningkatan efektivitas dan efesiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian guna
mengakselerasikan peningkatan kesejahteraan petani tidak dapat dipisahkan dengan
peranan perempuan dalam pembangunan pertanian. Terlepas dari kontribusinya dalam
usahatani, umumnya perempuan petani adalah sumberdaya manusia yang masih
diabaikan dalam program pembangunan pertanian. Kondisi ketertinggalan perempuan
dapat menggambarkan dengan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara laki-laki
dan perempuan di Indonesia (Soemartoyo, 2002). Implementasi program pembangunan
pertanian di tingkat desa menunjukkan akses laki-laki terhadap program pembangunan
23
lebih besar dibanding perempuan (Hastuti, E.L., 2004a). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penerapan teknologi pertanian modern telah meminggirkan bahkan
menghilangkan akses dan kontrol perempuan petani khususnya pada aspek budidaya.
Berdasarkan hal tersebut, peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan
mendapat perhatian yang besar dari pemerintah, dimana upaya peningkatan status dan
kedudukan perempuan dalam semua aspek pembangunan satatus dan kondisi
perempuan dicantumkan sebagai isu lintas bidang pembangunan. Diterbitkannya Inpres
Nomor 9 tahun 2000 yang mengamanatkan pengarusutamaan gender (PUG) atau gender
mainstreming dalam pembangunan pertanian adalah strategi untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender harus
terintegrasi dalam perumusan kebijakan program dan kegiatan sejak perencanaan
hingga evaluasi.
Pengertian kata gender berbeda dengan seks (jenis kelamin), dimana gender
dapat berubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial
ekonomi masyarakat, sementara jenis kelamin dalam arti biologis tidak dapat berubah
(Fakih, 1996a). Lebih lanjut Fakih (1997) menjelaskan bahwa konsep gender adalah
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Dengan demikian peran gender juga dapat ditukarkan antara
pria dengan wanita, dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan
pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan
perempuan itu tidak ditentukan karena diantara keduanya terdapat perbedaan biologis
atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan
masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani dan
Sugiarti, 2002).
Dalam kedudukan sebagai subjek pembangunan, laki-laki dan perempuan
selayaknya mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan,
memantau dan menikmati hasil pembangunan. Gender menjadi permasalahan ketika
timbul ketidakadilan gender (gender inequalities), yang termanifestasikan dalam bentuk
marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan beban kerja yang lebih panjang dan lebih
banyak (Fakih, 1997). Contoh marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan dalam
sektor pertanian yang sering disebutkan adalah revolusi hijau secara ekonomis telah
menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya, dimana digunakan varietas unggul
padi yang penampilan tanamannya lebih rendah namun produksinya lebih tinggi.
Stereotipe terhadap perempuan adalah penandaan atau pelabelan terhadap perempuan
yang cenderung merugikan, contohnya adalah asumsi perempuan sebagai makhluk
lemah sehingga tidak diberi akses maupun kontrol terhadap jenis pekerjaan yang
mengandalkan kekuatan fisik.
Ketidakadilan terhadap perempuan dalam bentuk beban kerja yang lebih panjang
dan lebih banyak atau beban ganda dikarenakan anggapan bahwa kaum perempuan sifat
memelihara dan rajin, konsekweksinya perempuan harus mengerjakan pekerjaan
domestik, seperti membersihkan rumah, memasak, merawat anak dan sebagainya.Di
kalangan perempuan di pedesaan terbentuk apa yang lazim disebut the develomment of
dual roles (peran ganda), dimana selain sebagai tenaga kerja dalam kegiatan produksi
dan dilain fihak sebagai ibu rumah tangga dengan berbagai pekerjaan domestik dalam
keluarga, karena harus bertanggung jawab pada hampir semua pekerjaan yang ada di
rumah dan di luar rumah terutama di sektor pertanian (Usman dalam Bainar, 1998).
Salah satu program pembangunan pertanian yang mengintegrasikan aspek
gender dalam pelaksanaannya adalah Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi
dan Informasi Pertanian (P3TIP) atau Farmer Empowerment Through Agricultural
Technology and Information (FEATI), yang diimpementasikan tahun 2007-2011 dan
diperpanjang sampai dengan tahun 2012. Program FEATI bertujuan untuk
24
meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani melalui
pemberdayaan keluarga petani dan organisasi petani dalam mengakses informasi,
teknologi, modal dan sarana produksi untuk mengembangkan usaha agribisnis dan
mengembangkan kemitraan dengan sektor swasta (Badan Pengembangan SDM
Pertanian, 2007). Program FEATI sensitif gender, dimana kegiatan FMA memberikan
manfaat kepada pelaku utama dan pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan
(Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 2009). Kebijakan yang sensitif gender
adalah kebijakan yang mencerminkan kepentingan laki-laki dan perempuan secara
setara (Syaifudin, 1996).
Untuk mengukur sampai sejauh mana akses dan kontrol perempuan pada
kegiatan pembelajaran yang difasilitasi FEATI menggunakan analisis gender yang
paling populer terdiri atas analisis yang dikembangkan oleh para ilmuwan Studi
Perempuan di Universitas Harvard, yakni analisis kegiatan (menjawab pertanyaan :
siapa melakukan apa?) : (1) analisis akses dan kontrol pada sumberdaya meliputi
pertanyaan: siapa mendapat sumberdaya apa? dan siapa mengontrol sumberdaya apa?;
(2) analisismanfaat, digali dengan pertanyaan: siapa memperoleh manfaat dari proyek
pembangunan /kegiatan, dan; (3) analisis yang membutuhkan data kuantitatif dan
kualitatif ini mampu mengungkapkan peran gender perempuan dan lelaki, serta
kedudukan perempuan. Perempuan mempunyai akses dan kontrol pada seluruh tahap
pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasi
kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh masing-masing FMA di Kabupaten
Magelang.
Analisis :
Pada jurnal ini tidak terdapat bagian metodelogi, peneliti hanya menjelaskan
penelitian kasus ini dilaksanakan di Kabupaten Magelang. Program FEATI salah satu
program responsif gender di Kabupaten Magelang dan sebagai salah satu contoh bentuk
pengarusutamaan gender (PUG) pada pembangunan pertanian, dimana dalam
implementasinya mendorong perempuan mempunyai akses dan kontrol pada seluruh
tahap pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasi
kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh masing-masing FMA. Hal ini
dimungkinkan karena perempuan mendapatkan kesempatan yang sama baik selaku
pengurus UP-FMA maupun anggota FMA. Komitmen FEATI terhadap PUG juga
diindikasikan keberadaan penyuluh pertanian swadaya di masing-masing FMA.
Dalam suatu program perlu memperhatikan kepentingan, akses dan kontrol
antara perempuan dan laki laki, hal ini untuk tercapainya keadilan gender dan
keefektifan program pembangunan sehingga tujuan program pembangaunan seperti
peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan dapat tercapai.
25
Adanya bias gender
Perubahan kemajuan
dalam :
-
Pendidikan
Teknologi
Ekonomi
Ketidakadilan gender
(Fakih, 1997)
Gender :
1. Peran gender
laki-laki
2. peran gender
perempuan
-
Marginalisasi
Subordinasi
Streotipe
Beban kerja
Adanya program
responsif gender
Perempuan
memiliki akses dan
kontrol
Meningkatkan :
-
Produktivitas
Pendapatan
kesejahteraan
Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7.
Tabel 8. Daftar Variabel Jurnal 7
Variabel
Sub Variabel
Perubahan kemajuan
-Pendidikan
-Teknologi
-Ekonomi
Gender
Ketidakadilan gender
Program responsif
gender
Fakta Pendukung
Peran gender dapat ditukarkan antara
pria dengan wanita, dapat berubah dari
masa ke masa, karena pengaruh
kemajuan pendidikan, teknologi, dan
ekonomi.
-Peran gender laki- Perbedaan fungsi dan peran laki-laki
laki
dan perempuan itu tidak ditentukan
-Peran
gender karena diantara keduanya terdapat
perempuan
perbedaan biologis atau kodrat, tetapi
dibedakan atau dipilah menurut
kedudukan, fungsi dan peranan masingmasing dalam berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan.
-Marginalisasi
Gender menjadi permasalahan ketika
-Subordinasi
timbul ketidakadilan gender (gender
-Streotipe
inequalities), yang termanifestasikan
-Beban kerja
dalam bentuk marginalisasi,
subordinasi, stereotipe, dan beban kerja
yang lebih panjang dan lebih banyak
Salah satu program pembangunan
pertanian yang mengintegrasikan aspek
26
Akses dan kontrol
-Perencanaan
-Pelaksanaan
-Monitoring
-Evaluasi
8. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Gema
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
gender dalam pelaksanaannya adalah
Program Pemberdayaan Petani melalui
Teknologi dan Informasi Pertanian
(P3TIP) diimpementasikan tahun 20072011 dan diperpanjang sampai dengan
tahun 2012. Program ini responsif
gender, dimana kegiatan memberikan
manfaat kepada pelaku utama dan
pelaku usaha, baik laki-laki maupun
perempuan
Perempuan mempunyai akses dan
kontrol pada seluruh tahap
pembelajaran, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, hingga
evaluasi kegiatan pembelajaran yang
dilakukan di Kabupaten Magelang.
sehingga tujuan program
pembangaunan seperti peningkatan
produktivitas, pendapatan dan
kesejahteraan dapat tercapai
: ANALISIS GENDER DALAM KEHIDUPAN
KELUARGA NELAYAN DI KECAMATAN
PANGANDARAN KABUPATEN CIAMIS
: 2013
: Jurnal
: Elektronik
:Rani Andriani Budi Kusumo, Anne Charina,
Wibawa Mukti
::: Bandung: Univeersitas Padjadjaran
: Jurnal Social Economic of Agriculture
: Volume 2, Nomor 1, April 2013, hlm 42-53
:
http://download.portalgaruda.org/article.php?articl
e=152635&val=5163&title=ANALISIS%20GEN
DER%20DALAM%20KEHIDUPAN%20KELUA
RGA%20NELAYAN%20DI%20KECAMATAM
%20PANGANDARAN%20KABUPATEN%20CI
AMIS
: 24 april 2015
Ringkasan :
Rumah tangga nelayan sudah lama diketahui tergolong dalam rumah tangga
miskin, disamping rumah tangga petani sempit, buruh tani dan pengrajin (Sayogyo,
1991). Oleh Smith dalam Iqbal (2004) masyarakat (community) nelayan digambarkan
dengan ciri rendahnya tingkat kehidupan (low income and low standar of living)
27
masyarakatnya. Ciri-ciri kemiskinan sangat nampak pada masyarakat nelayan. Hal
tersebut dapat dilihat pada pola hidup dan ketersediaan papan mereka yang
memprihatinkan. Tidak hanya Smith, beberapa hasil penelitian yang lain seperti
Pranadji, dkk dalam Iqbal (2004) juga menghasilkan kesimpulan yang tidak
berjauhan,bahwa standar hidup masyarakat nelayan berada di bawah standar hidup yang
layak. Dalam menghadapi fenomena kemiskinan di masyarakat nelayan, maka keluarga
nelayan tersebut harus mampu mengelola sumberdaya yang mereka miliki dengan
seefektif dan seefisien mungkin agar kesejahteraan keluarga sebagai tujuan jangka
panjang dapat tercapai. Terkait dengan sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga
tersebut, maka setiap potensi yang ada setidaknya dapat diikutsertakan dalam berbagai
kegiatan baik di sektor domestik maupun publik. Dalam hal ini tidak hanya suami saja
yang didorong untuk memaksimalkan perannya, tetapi juga istri. Istri dituntut berperan
ganda, disamping sebagai pengurus rumah tangga, istri dituntut pula untuk membantu
suami sebagai pencari nafkah untuk menambah pendapatan.
Persepsi tentang gender diukur melalui 15 item pertanyaan untuk menilai
pandangan normatif responden tentang bagaimana pembagian peran dalam rumah
tangga antara suami dan istri, serta akses dan kontrol perempuan pada sektor domestik
dan publik. Sebagian besar responden menyadari perannya secara tradisional, dengan
memandang bahwa kedudukan istri dalam keluarga lebih rendah dari pada suami
sehingga wajar jika wewenang untuk mengambil keputusan ada di tangan suami.
Sebagian besar responden tetap menilai bahwa suami lah yang berkewajiban mencari
nafkah dan istri bertanggung jawab dalam mengurus rumah tangga, dan tidak ingin
bertukar posisi meskipun secara ekonomis menguntungkan. Namun di lain pihak istri
juga ingin terlibat lebih jauh di sektor publik, hal tersebut terlihat dari pernyataan bahwa
istri boleh membantu suami dalam mencari nafkah, istri boleh terlibat dalam organisasi
sosial serta persepsi istri bahwa perempuan berhak mengakses dan mengontrol
sumberdaya yang ada.
Secara keseluruhan, perspektif gender dalam pengambilan keputusan mengenai
aktivitas di sektor domestik pada lebih dari separuh responden (57%) termasuk dalam
kategori sedang. Dari hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada aktivitas
domestik, pengambilan keputusan tidak selalu merupakan tanggung jawab di pihak istri
saja, tetapi telah menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri, meskipun
pada bidangbidang tertentu seperti penyediaan makanan di rumah serta pengaturan
berbagai macam pengeluaran keluarga tanggung jawab istri tetap lebih dominan.
Tabel 9. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pengambilan
keputusan mengenai aktivitas di sektor domestik
Perspektif Gender
n (%)
Rendah / bias gender (0 – 33,33%)
0
Sedang/berperspektif gender (33,34%–66,67%)
57
Tinggi / responsif gender
(66,68% - 100%)
43
Rata-rata skor
65,82
Pola pengambilan keputusan di sektor publik, khususnya pada aspek ekonomi
lebih banyak didominasi oleh suami. Keputusan yang berhubungan dengan modal usaha
perikanan (penetapan besarnya modal usaha, menambah atau mengurangi modal; dan
keputusan untuk meminjam modal) lebih didominasi oleh suami.
Secara keseluruhan, perspektif gender dalam pengambilan keputusan mengenai
aktivitas di sektor publik pada lebih dari separuh responden keluarga (63%) (Tabel 2).
Pengambilan keputusan di sektor publik memang cenderung didominasi oleh suami;
istri lebih banyak terlibat dalam pengambilan keputusan di bidang sosial
28
kemasyarakatan dibandingkan pada aktivitas ekonomi di bidang perikanan dan non
perikanan.
Tabel 10. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pengambilan
keputusan mengenai aktivitas di sektor publik
Perspektif Gender
n (%)
Rendah / bias gender (0 – 33,33%)
17
Sedang/berperspektif gender (33,34%–66,67%)
63
Tinggi / responsif gender
(66,68% - 100%)
20
Rata-rata skor
47,50
Secara keseluruhan perspektif gender dalam pembagian kerja di sektor domestik
pada seluruh responden termasuk dalam kategori rendah atau bias gender (Tabel 3).
Sebagian besar pekerjaan di sektor domestik memang dikerjakan oleh istri. Hasil
analisis tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saleha (2003), yang
menunjukkan bahwa pada sebagian masyarakat berlaku pola pembagian kerja di sektor
domestik merupakan tanggung jawab istri, meskipun ditemukan juga beberapa kasus
dimana suami bersedia berbagi pekerjaan dengan istri untuk melakukan tugas rumah
tangga. Ihromi (1990) juga mengatakan bahwa pekerjaan di sektor domestik utamanya
berada di pundak istri.
Tabel 11. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pembagian
kerja di sektor domestik
Perspektif Gender
n (%)
Rendah / bias gender (0 – 33,33%)
100
Sedang/berperspektif gender (33,34%-66,67%)
0
Tinggi / responsif gender (66,68% - 100%)
0
Rata-rata skor
5,45
Secara keseluruhan perspektif gender dalam pembagian kerja di sektor publik
pada separuh responden termasuk dalam kategori sedang. Kegiatan di bidang perikanan
dan non perikanan lebih didominasi oleh suami, karena suami memiliki tanggung jawab
yang lebih besar dalam mencari nafkah bagi keluarganya, istri turut terlibat dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan.
Tabel 12. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pembagian
kerja disektor publik
Perspektif Gender
n (%)
Rendah / bias gender (0 – 33,33%)
7
Sedang/berperspektif gender (33,34%-66,67%)
50
Tinggi / responsif gender (66,68% - 100%)
43
Rata-rata skor
61,55
Analisis:
Penelitian ini memberikan gambaran mengenai persepsi nelayan tentang gender,
pengambilan keputusan dan pembagian kerja antara suami dan istri nelayan sehingga
mampu menganalisis apakah terdapat ketimpangan gender atau tidak. Sesuai dengan
tujuan dari penelitian ini yaitu untuk : 1) Mengkaji karakteristik sosial ekonomi
keluarga nelayan di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis.; 2) Menganalisis pola
pengambilan keputusan dan pembagian kerja antara suami dan istri pada keluarga
nelayan di sektor domestik dan publik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
survey. Populasi keluarga nelayan di lokasi penelitian adalah 253 keluarga. Untuk
29
keperluan penelitian ini diambil keluarga nelayan yang terdiri dari pasangan suami istri
yang memiliki minimal satu orang anak. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat populasi
sebanyak 104 keluarga nelayan. Kemudian sampel diambil dengan menggunakan teknik
acak sederhana dan dipilih 30 unit keluarga nelayan. Yang menjadi responden
penelitian ini adalah suami dan istri. Data dianalisis secara deskriptif untuk membuat
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan fenomena yang diteliti secara objektif. Pada penelitian ini, jenis data yang
dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan cara
pengamatan, wawancara dan juga dokumentasi. Data primer yang akan dikumpulkan
adalah data primer mencakup karakteristik keluarga, persepsi tentang gender, serta pola
pembagian keputusan dan pembagian kerja yang dilakukan oleh keluarga nelayan. Data
sekunder mencakup informasi geografi dan demografi lokasi penelitian. Namun peneliti
tidak menjelaskan alasan pemilihan lokasi tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar keluarga
nelayan termasuk dalam kategori rendah. Persepsi tentang gender pada keluarga nelayan
secara umum menggambarkan bahwa tugas utama istri adalah mengurus rumah tangga,
tetapi boleh membantu suami dalam mencari nafkah keluarga; sedangkan tanggung
jawab mencari nafkah utama tetap merupakan tugas suami. Pengambilan keputusan
yang menyangkut aktivitas domestik dan publik dalam keluarga nelayan tidak
mengikuti pola tertentu secara khusus terpusat pada suami atau istri, tetapi memiliki
pola yang menyebar antara suami dan istri. Pembagian kerja yang menyangkut aktivitas
domestik lebih banyak dilakukan oleh istri. Sedangkan pembagian kerja yang berkaitan
dengan aktivitas publik menyebar antara suami dan istri.
Dalam penelitian ini mengemukakan bahwa perempuan memiliki peluang untuk
memasuki ruang publik, maka dirasakan perlu adanya program pemberdayaan dalam
kegiatan pelatihan teknis dan pengelolaan usaha kecil yang responsif gender. (373
Kata)
Indikator analisis gender
1. Persepsi tentang
gender
2. Pengambilan
keputusan
3. Pembagian kerja
Bias gender
Ketimpangan
gender
Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8.
Tabel 13. Daftar Variabel Jurnal 8
Variabel
Sub Variabel
Analisis gender
-Persepsi
tentang
gender
-Pengambilan
keputusan
-Pembagian kerja
Fakta Pendukung
-Persepsi tentang gender diukur melalui
pertanyaan untuk menilai pandangan
normatif responden tentang bagaimana
pembagian peran dalam rumah tangga
antara suami dan istri, serta akses dan
kontrol pada sektor domestik dan
publik.
-Pola pengambilan keputusan di sektor
publik, khususnya pada aspek ekonomi
lebih banyak didominasi oleh suami.
30
-Perspektif gender dalam pembagian
kerja di sektor domestik pada seluruh
responden termasuk bias gender.
Sebagian besar pekerjaan di sektor
domestik memang dikerjakan oleh istri.
Ketimpangan gender
9. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
Istri dituntut berperan ganda, disamping
sebagai pengurus rumah tangga, istri
dituntut pula untuk membantu suami
sebagai
pencari
nafkah
untuk
menambah pendapatan. Sehingga dapat
menimbulkan beban ganda pada
perempuan sebagai salah satu bentuk
ketimpangan gender
: KONTRIBUSI WANITA NELAYAN DALAM
SOSIOKULTURAL GENDER DI KELURAHAN
PULAU PANJANG BARELANG-BATAM
: 2013
: Jurnal
: Elektronik
: Ely Kartikaningdyah, Chici Ramdaniah, Mega
Mayasari
::: Batam: Politeknik Batam
:::http://p2m.polibatam.ac.id/wpcontent/uploads/2014/01/Microsoft-Word-09Jurnal-Integrasi-2013-Ely-Kartika.pdf
: 24 april 2015
Ringkasan :
Menurut Sulistyo (2009) gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan
tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial
dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Seks adalah perbedaan jenis
kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat
reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga
bersifat permanen dan universal. Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender
merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial dimana salah satu jenis kelamin
(laki-laki maupun perempuan) menjadi korban.
Bentuk-bentuk diskriminasi gender berupa ketidakadilan atau diskriminasi
gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat serta ditempat kerja dalam
berbagai bentuk, yaitu (Sulistyo, 2009):
a. Stereotip/citra baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali
bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan.
31
b. Subordinasi/penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis
kelamin lainnya.
c. Marginalisasi/peminggiran, adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah
satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan.
d. Beban ganda/double burden, adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis
kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan
jenis kelamin lainnya.
e. Kekerasan/violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis
seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan,
pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan).
Menurut Doowling, (2008 ) analisis gender dapat memperkuat dan
meningkatkan kesetaraan gender dengan mencari penyebab yang menjadi dasar
munculnya ketidak-setaraan gender itu dan membantu menyusun perencanaan yang
peka terhadap isu gender, menetapkan target dan kebijakan serta program yang efektif.
Analisis gender adalah himpunan dan analisis informasi dan data mengenai:
a. Peran, kewajiban dan hak yang berbeda-beda bagi perempuan dan laki-laki.
b. Kebutuhan, prioritas, peluang dan hambatan yang berbeda-beda bagi perempuan dan
lakilaki.
c. Alasan-alasan mengapa terjadi perbedaan - perbedaan tersebut.
d. Peluang-peluang dan strategi-strategi untuk meningkatkan kesetaraan gender
Analisis gender yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesetaraan gender
(Dowling, 2008) :
a. Analisis pembagian tugas
Meneliti pembagian tugas berdasarkan gender, siapa melakukan apa merupakan suatu
yang penting untuk memahami apa yang dikerjakan laki-laki dan perempuan di
lingkungan rumah tangga, masyarakat dan tempat kerja. Analisis pembagian tugas tidak
hanya meneliti apa yang dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan, tetapi dimana, kapan
dan berapa banyak mereka melakukannya, apakah tenaga mereka di bayar atau tidak
dan bagaimana pekerjaan mereka itu dihargai. Hal ini dapat menggambarkan tuntutan
yang berbeda-beda terhadap waktu dan tenaga laki-laki dan perempuan, berapa
pekerjaan mereka dihargai, pola kerja musiman dan strategi dalam memenuhi tuntutan
kehidupan sehari-hari yang diterapkan oleh rumah tangga.
b. Analisis akses dan kontrol
Analisis akses dan kontrol mengkaji siapa mempunyai asset dan sumber daya swasta
dan pemerintah yang dapat dipergunakan dan dimilki oleh laki-laki dan perempuan
seperti tanah dan peralatan, dan lembaga seperti bank atau perusahaan kredit, maupun
jaringan sosial dan profesional. Laki-laki dan perempuan acapkali mengalami
perbedaan-perbedaan dalam tingkat akses dan kontrol terhadap aset dan sumber daya,
sehingga hal ini berimplikasi pada kesetaraan gender.
c. Analisis kebutuhan strategik dan praktis
Analisis kebutuhan strategik dan praktis menganggap bahwa laki-laki dan perempuan
membutuhkan perbaikan kehidupan mereka untuk saat ini dan untuk jangka panjang.
Kebutuhan-kebutuhan praktis adalah yang berhubungan dengan kebutuhan manusia saat
ini, kebutuhan materi seperti makanan, air dan tempat berlindung. Kebutuhankebutuhan strategik adalah kebutuhan-kebutuhan yang lebih menuntut perubahan
jangka panjang terhadap hubungan-hubungan gender.
32
d. Analisis konteks sosial
Meneliti dan memahami konteks sosial setempat, termasuk menginvestigasi hukum,
sosial dan kultural dan nilai, agama dan institusi dan kebijakan pemerintah yang
mempengaruhi peran dan hubungan gender, merupakan suatu bagian yang sangat
penting dari analisis gender. Faktor-faktor kecenderungan sosial dan kultural biasanya
memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap peran dan hubungan gender dan
sebagai kunci untuk memahami sebab terjadinya ketidak-setaraan gender.
Dari beberapa aktivitas diatas menunjukkan bahwa kegiatan ibu rumah tangga
nelayan lebih mendominasi dalam aktivitas keseharian dalam pengambilan keputusan.
Terjadinya bias gender pada ibu rumah tangga nelayan untuk kegiatan rumah tangga
saja, tetapi dari responden ada sebanyak 8 % yang ikut mencari nafkah sebagai
pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Hal ini terjadi karena tuntutan kebutuhan rumah
tangga yang belum bisa dipenuhi oleh suami sebagai nelayan, sehingga ibu rumah
tangga nelayan ikut membantu mencari nafkah. Pembagian kerja dari sisi bidang mata
pencaharian sebagai nelayan menunjukkan bahwa penangkapan ikan di laut sebagai
wilayah dan tanggungjawab laki-laki dengan risiko yang besar sedangkan wilayah darat
adalah wilayah kaum perempuan atau ibu rumah tangga. Masyarakat nelayan di
kelurahan Padang Panjang Barelang memiliki pemikiran yang terbuka mengenai
peranan suami dan istri dalam keluarga. Walaupun tugas utama suami mencari nafkah
akan tetapi peranan istri dalam membantu suami untuk membantu pendapatan keluarga
cukup kecil karena hanya 8 % saja dari responden yang diinterview. Ibu rumah tangga
nelayan hampir 89 % memegang peranan dalam pengaturan keuangan rumah tangga
tetapi tidak dibebani tuntutan untuk mencari tambahan nafkah oleh suami sebagai
kepala keluarga.
Analisis :
Dari penelitian dapat menggambarkan perlunya analisis gender untuk
menghindari dari berbagai bentuk ketimpangan gender, analisis dapat dilakukan dengan
analisis pembagian tugas, analisis akses dan kontrol, analisis kebutuhan strategik dan
praktis dan analisis konteks sosial.
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pulau Panjang Balerang Batam, peneliti
tidak menjelaskan alasan pemilihan lokasi. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi
pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga wanita nelayan dan mengetahui
kontribusi wanita nelayan dalam pembagian kerja di dalam rumah tangga. Sampel yang
diambil sebanyak 30 rumahtangga wanita nelayan di Pulau Panjang Barelang. Metode
analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif. Analisis dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman mengenai hubungan-hubungan gender, pembagian tugas
antara perempuan dan laki-laki (siapa mengerjakan apa), dan siapa yang dapat
menggunakan, dan mengawasi sumber daya.
Kontribusi dan peranan wanita dalam pembagian tugas dan tanggung jawab di
wilayah Pulau Panjang berdasarkan hasil kuisioner yang telah disampaikan pada bagian
pembahasan menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh wanita dan laki-laki
telah terbagi secara merata, hal ini dibuktikan dengan hasil rata-rata persentase
pembagian tugas dan tanggung jawab secara merata tidak dikuasai oleh wanita sebesar
100%. Dalam hal ini masih ada pembagian tugas yang dikerjakan oleh laki-laki
walaupun dalam secara persentase masih lebih besar kontribusi wanita dibandingkan
dengan laki-laki. Dalam penelitian ini diketahui bahwa pembagian kerja antara laki-laki
dan perempuan di wilayah Pulau Panjang tidak sampai menjadi sebuah bias gender,
karena dapat dilihat bahwa beberapa pekerjaan tidak sepenuhnya diserahkan kepada
wanita, namun ada juga kontribusi dari pihak laki-laki.
33
Namun pada penelitian ini tidak menganalisis kebutuhan strategik dan praktis
dan analisis konteks sosial hanya pembagian tugas, kontrol dan aksesnya saja. Padahal
di jurnal ini mengemukakan empat analisis tersebut tapi sayang tidak dibahas dalam
pembahasan.
Analisis Gender
1. Analisis pembagian
tugas
2. Analisis akses dan
Kontrol
3. Analisis kebutuhan
strategik dan praktis
4. Analisis konteks sosial
Bentuk diskriminasi
Bias gender
1.
2.
3.
4.
5.
Streotip
Subordinasi
Marginalisasi
Beban ganda
Kekerasan
Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9.
Tabel 14. Daftar Variabel Jurnal 9
Variabel
Sub Variabel
-Analisis pembagian
Analisis gender
tugas
-Analisis akses dan
Kontrol
-Analisis kebutuhan
strategik dan praktis
-Analisis konteks sosial
Bias gender
Diskriminasi gender
-Streotipe
-Subordinasi
-Marginalisasi
-Beban kerja
-Kekerasan
Fakta Pendukung
-Analisis pembagian tugas meneliti
pembagian tugas berdasarkan gender,
siapa melakukan apa. Selain itu melihat
alokasi waktu pekerjaan.
- Laki-laki dan perempuan acapkali
mengalami perbedaan-perbedaan dalam
tingkat akses dan kontrol terhadap aset
dan sumber daya, sehingga hal ini
berimplikasi pada kesetaraan gender.
-Kebutuhan
praktis
berhubungan
dengan kebutuhan manusia saat ini,
Kebutuhan strategik lebih menuntut
perubahan jangka panjang.
-Meneliti dan memahami konteks sosial
setempat, termasuk menginvestigasi
hukum, sosial dan kultural dan nilai,
agama dan institusi dan kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi peran
dan hubungan gender.
Dari beberapa aktivitas menunjukkan
bahwa kegiatan ibu rumah tangga
nelayan lebih mendominasi dalam
aktivitas keseharian dalam pengambilan
keputusan. Terjadinya bias gender pada
ibu rumah tangga nelayan untuk
kegiatan rumah tangga saja.
Bentuk-bentuk diskriminasi gender
berupa ketidakadilan atau diskriminasi
gender sering terjadi dalam keluarga
dan masyarakat serta ditempat kerja
dalam berbagai bentuk.
34
10. Judul
TEH
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: PERAN GANDA PEREMPUAN PEMETIK
: 2012
: Jurnal
: elektronik
: Yunita Kusumawati
::: Jawa Tengah
: KOMUNITAS
: Vol. 4 No. 2
:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas
:14 Maret 2015
Ringkasan :
Paradigma pembagian kerja keluarga dalam masyarakat adalah suami berada di
area pekerjaan publik karena kedudukannya sebagai pencari nafkah utama di dalam
keluarga, sedangkan istri berada di area domestik yang mengatur rumah tangga dan
anak-anak di rumah. Selain itu, seorang wanita yang lebih banyak beraktivitas di luar
rumah, seringkali dianggap hal yang kurang pantas atau tabu. Namun pada
kenyataannya, terutama pada keluarga miskin, banyak ibu rumah tangga yang kemudian
aktif dalam kegiatan publik sebagai pencari nafkah. Tingkat ekonomi yang kurang
mendukung atau kemiskinan yang membuat para wanita bersedia bekerja dalam kondisi
apapun guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Demikian juga yang terjadi di desa Keteleng. Perempuan menjadi pemetik teh
karena lokasi ini berada di dekat perkebunan milik PT Pagilaran, Batang. Para wanita
pemetik teh ini, memiliki peran ganda selain bekerja, juga harus menjalankan peran
dalam keluarga yaitu sebagai seorang istri, pengasuh anak atau pengatur rumah tangga.
Saat ini PT Pagilaran mempekerjakan sekitar 462 orang perempuan yang berasal dari
Desa Keteleng sebagai karyawan kontan, terutama sebagai pemetik teh. Salah satu
alasan PT Pagilaran memilih perempuan sebagai buruh pemetik teh adalah karena
perempuan pada umumnya memiliki ketrampilan dan kecermatan yang lebih
dibandingkan laki-laki, yang sangat diperlukan selama proses pemetikan teh. Selain
karena lokasinya yang sangat dekat sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya
transportasi, juga karena sebagian besar perempuan di Desa Keteleng mempunyai
tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah. Tingkat pendidikan dan ketrampilan
yang rendah ini membuat perempuan di Desa Keteleng memiliki keterbatasan dalam
memilih pekerjaan. Kondisi ini membuat perempuan mendapatkan pekerjaan pekerjaan
yang berstatus rendah yang merupakan kepanjangan dari pekerjaan domestik mereka
sebagai ibu rumahtangga, yang berkorelasi langsung dengan pendapatan mereka yang
juga rendah.
Hal ini senada dengan pendapat Khotimah (2009), bahwa dalam pekerjaan
seringkali perempuan mengalami ketidakadilan karena persoalan: marjinalisasi dalam
pekerjaan, kedudukan perempuan yang subordinat dalam sosial dan budaya, stereotype
terhadap perempuan, tingkat pendidikan perempuan yang rendah. Hal ini juga sesuai
dengan apa yang diungkapkan Marx dalam Sanderson (2003: 414) bahwa wanita di
Desa Keteleng telah mengalami subordinasi gender yaitu tersubordinasi dalam
pekerjaanpekerjaan yang tidak memiliki prestise tinggi, karena didasarkan pada
pekerjaan utamanya sebagai ibu rumah tangga.
35
Meskipun pendapatan sebagai buruh pemetik teh termasuk rendah, namun
ternyata tambahan pendapatan perempuan ini telah mampu untuk memenuhi keperluan
hari-hari dan meningkatkan derajat perekonomian perempuan. Dengan masuknya
perempuan, terutama yang berstatus sudah menikah, ke dalam pekerjaan-pekerjaan di
sektor publik, maka perempuan kemudian menjalankan peran ganda, yaitu tidak hanya
peran domestik mereka sebagai ibu rumahtangga, namun juga peran publik, yaitu
sebagai pencari nafkah (Supartiningsih, 2003 : 50). Dengan demikian, ternyata
pembakuan pembagian peran gender di mana lakilaki di sektor publik dan perempuan di
sektor domestik yang selama ini dipahami masyarakat, merupakan hal yang masih bisa
ditawar dan berubah.
Jika kondisi ini yang terjadi, maka tidak jarang peran ganda perempuan berubah
menjadi beban ganda perempuan, karena selain tuntutan untuk tetap menjalankan peran
domestik mereka, masuknya perempuan ke sektor publik membuat perempuan
mendapatkan peran baru yang menuntut mereka untuk dilaksanakan dengan baik pula.
Apalagi menurut Rosadi (2010:119), sebagian besar budaya masyarakat Indonesia pada
umumnya dan khususnya Jawa, memosisikan peran perempuan sebagai pemeran utama
dalam rumah tangga, yaitu: melahirkan dan mengasuh anak, menyiapkan kebutuhan
makanan, dan tata kelola ekonomi rumah tangga.
Alokasi waktu perempuan pemetik teh di sektor domestik, yaitu antara 9 hingga
11 jam per hari, ternyata sama, bahkan cenderung lebih lama dibandingkan dengan
alokasi waktu laki-laki di sektor publik, yaitu sekitar 9 hingga 10 jam per hari. Oleh
karena itu, jika dijumlahkan maka jam kerja perempuan buruh pemetik tek jauh lebih
panjang dibandingkan para suami mereka, yaitu antara 16 hingga 19 jam per hari atau
lebih panjang 7 hingga 10 jam dibandingkan pasangan mereka. Data ini menunjukkan
bahwa penambahan jam kerja perempuan di sektor publik tidak selalu mengurangi jam
kerja perempuan di sektor domestik.
Hal ini kemudian menjadi dilema yang berat bagi para wanita, terutama buruh
seperti wanita pemetik teh, karena disaat para wanita dituntut untuk ikut aktif dalam
area publik dengan bekerja keras mencari nafkah dan berhadapan dengan ketidakadilan
gender di masyarakat, sebagai seorang wanita juga dituntut untuk tidak melupakan
peran di area domestik. Untuk kegiatan ekonomi, aksi seorang wanita dalam mencari
nafkah dianggap sangat kecil apabila dibandingkan dengan laki-laki (Yuliati 2003:272).
Hal ini menyangkut anggapan masyarakat bahwa dengan pembagian waktu sebagai ibu
rumah tangga dan pencari nafkah, seorang wanita tidak mampu bekerja secara optimal.
Dampak yang kemudian muncul adalah rendahnya upah yang diterima seorang wanita
dalam pekerjaan. Upah rendah yang diterima oleh seorang wanita pemetik teh, juga
menunjukkan bahwa para wanita ini mengalami eksploitasi dalam pekerjaanya. Upah
yang didapatkan tidak sesuai dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan (Sudjana 2002:
83). Eksploitasi ini juga terjadi dalam pengalokasian waktu, karena waktu yang harus
dipergunakan oleh seorang wanita untuk bekerja minimal adalah 6 jam (Hatta 1985:
99). Sedangkan seorang wanita pemetik teh bekerja di perkebunan selama 7 sampai 9
jam sehari.
Seorang suami lebih banyak mengalokasikan waktu bekerja hanya di area publik
saja dan tidak ikut campur dalam pekerjaan rumah tangga, sehingga beban kerja seorang
perempuan lebih berat dibandingkan lakilaki. Apalagi jika ditambah perempuan bekerja
di sektor publik, maka beban kerja perempuan menjadi semakin bertambah dan berlipat
(double burden). Keadaan tersebut menunjukkan adanya eksploitasi terhadap
perempuan pemetik teh, terutama dalam masalah waktu kerja. Alokasi waktu dalam
bekerja sebagai pemetik, yaitu selama 7 sampai 9 jam, telah melebihi batas waktu kerja
seorang perempuan yaitu 6 jam (Hatta 1985: 99). Dengan demikian, sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Sudjana (2002: 83), bahwa para perempuan pemetik. teh mengalami
36
eksploitasi karena upah yang diterima tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang
telah dicurahkan. Meski sangat kerepotan, sebagian besar perempuan pemetik teh ini
ternyata tidak merasa keberatan dan jarang menyampaikan keluhan kepada keluarga.
Umumnya para wanita ini menganggap apa yang telah dilakukan adalah hal yang biasa,
atau bahkan sudah seharusnya dilakukan sebagai seorang perempuan yang telah
berkeluarga. Saat keluarga mengalami kesulitan ekonomi, seorang ibu berupaya untuk
membantu suami mencari nafkah, meskipun menjadi beban yang berat karena harus
berperan ganda.
Analisis:
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan jenis fenomenologi. Lokasi penelitian ini ada di Desa Keteleng Kecamatan
Blado Kabupaten Batang. Desa Keteleng ini dipilih karena lokasinya yang dekat dengan
perkebunan teh milik PT Pagilaran sehingga di desa ini banyak penduduk perempuan
yang menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai buruh pemetik
teh. Di Desa Keteleng terdapat 462 orang perempuan yang bekerja sebagai pemetik teh
di PT Pagilaran, baik berstatus menikah maupun lajang. Karena penelitian ini berkaitan
dengan peran ganda perempuan pemetik teh, maka subyek penelitian dalam penelitian
adalah perempuan buruh pemetik teh yang berstatus menikah. Jumlah informan dalam
penelitian ini adalah 10 orang. Alangkah baiknya jumlah responden bisa mencapai 30
orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (in-depth interview), observasi, dan dokumentasi. Metode
triangulasi digunakan untuk validasi data penelitian dengan sumber. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interpretatif. banyak ibu rumah
tangga yang kemudian aktif dalam kegiatan publik sebagai pencari nafkah. Tingkat
ekonomi yang kurang mendukung atau kemiskinan yang membuat para wanita bersedia
bekerja dalam kondisi apapun guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Para wanita pemetik teh ini, memiliki peran ganda selain bekerja, juga harus
menjalankan peran dalam keluarga yaitu sebagai seorang istri, pengasuh anak atau
pengatur rumah tangga. Data ini menunjukkan bahwa penambahan jam kerja
perempuan di sektor publik tidak selalu mengurangi jam kerja perempuan di sektor
domestik tidak jarang peran ganda perempuan berubah menjadi beban ganda
perempuan, karena selain tuntutan untuk tetap menjalankan peran domestik mereka,
masuknya perempuan ke sektor publik membuat perempuan mendapatkan peran baru
yang menuntut mereka untuk dilaksanakan dengan baik pula.
-Alokasi waktu kerja
lebih pada perempuan
Peran perempuan
Beban kerja
perempuan
-Upah tidak sesuai
pada perempuan
Dosmetik
Publik
Ketimpangan atau
Ketidakadilan Gender
Untuk membantu
memenuhi kebutuhan
keluarga
Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10.
37
Tabel 15. Daftar Variabel Jurnal 10
Variabel
Sub Variabel
Peran perempuan
-Dosmetik
-Publik
Alokasi waktu kerja
Pembagian upah kerja
Beban kerja
Ketidakadilan gender
Fakta Pendukung
Perempuan awalnya bergelut dalam
peran dosmetik kemudian aktif dalam
kegiatan publik sebagai pencari nafkah
terutama pada keluarga miskin
-Alokasi waktu kerja Penambahan jam kerja perempuan di
perempuan
sektor publik tidak selalu mengurangi
-Alokasi waktu kerja jam kerja perempuan di sektor
laki-laki
domestik. Alokasi waktu kerja laki-laki
lebih sedikit dari pada perempuan
Tingkat pendidikan dan ketrampilan
yang rendah perempuan mendapatkan
pekerjaan berstatus rendah yang
berkorelasi
langsung
dengan
pendapatan mereka yang juga rendah.
Upah tidak sesuai dengan alokasi waktu
kerja.
Tidak jarang peran ganda perempuan
berubah menjadi beban kerja atau beban
ganda perempuan, karena selain
tuntutan untuk tetap menjalankan peran
domestik mereka juga menjalankan
peran publik.
Para perempuan pemetik teh mengalami
eksploitasi karena upah yang diterima
tidak sebanding dengan waktu dan
tenaga yang telah dicurahkan.hal ini
mengimplikasikan adanya ketidakadilan
gender
11. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota dan nama penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi):hal
Alamat URL/doi
Tanggal diunduh
: PERAN PEREMPUAN NELAYAN DALAM
PRODUKSI DAN DISTRIBUSI HASIL LAUT
: 2012
: Jurnal
: elektronik
: Dini Saputri
::: Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara
:::
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/persos/article/vie
w/152/126
:4 Maret 2015
Ringkasan :
Nelayan merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat pesisir.
Keberadaan nelayan sangat identik dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial
38
lainnya terutama dibidang sosial ekonomi, di mana ketergantungan masyarakat nelayan
pada sumber daya laut, keadaan cuaca dan alam sehingga pendapatan mereka juga
tergantung kondisi alam. Jika lingkungan alam terganggu maka mereka tidak bisa
melaut atau mencari ikan. Kehidupan sosial ekonomi yang sulit yang dialami oleh para
nelayan sehingga mendorong peran perempuan untuk menjadi seorang nelayan demi
membantu menopang kehidupan perekonomian keluarga mereka. Dengan perempuan
menjadi seorang nelayan, pendapatan perekonomian keluarga mereka akan bertambah
sehingga kehidupan mereka akan menjadi lebih baik.
Ciri-ciri masyarakat pesisir yang diperoleh dari hasil observasi adalah
masyarakat pesisir tergantung pada kekayaan laut. Ketergantungan masyarakat pesisir
terhadap laut itu dalam bentuk fisik maupun emosional sesuai dengan kondisi alam
yang mempengaruhinya. Masyarakat pesisir menggantungkan hidupnya dengan dengan
cuaca, iklim, dan pergantian musim terutama masyarakat pesisir yang bekerja sebagai
nelayan. Masyarakat pesisir sangat tergantung pada sumber daya energi yang murah dan
kovensional dengan cara yang masih sederhana padahal buah laut bukan hanya
kekayaan di dalam laut saja, di pinggir laut juga masih ada seperti mangrove, namun
mereka kurang dapat mengolahnya agar mempunyai nilai ekonomi.
Pada umumnya pekerjaan masyarakat pesisir sebagai nelayan dilakukan oleh
sebagian besar laki-laki, namun keadaan yang berbeda terjadi pada masyarakat Desa
Percut, Kabupaten Deli Serdang dimana sebagian besar masyarakat bermata
pencaharian sebagai nelayan adalah ibu-ibu rumah tangga yang menjadi nelayan pencari
kerang. Kehidupan nelayan perempuan di Desa Percut, tidak hanya sebagai pekerjaan
yang menopang perekonomian keluarga, para nelayan perempuan ikut langsung terlibat
dalam proses produksi dan distribusi hasil tangkapan di laut. Mereka juga memilih
bekerja sebagai nelayan daripada mendirikan home industri atau pekerjaan lainnya.
Peran pada perempuan untuk ambil andil dalam kontribusi membantu ekonomi
keluarga dengan ikut mencari kerang. Aktifitas nelayan pada proses produksi kerang
masih sangat sederhana, alat yang digunakan untuk mengambil kerang juga masih
sangat tradisional, yakni dengan menggunakan uncang. Uncang disini adalah ban bekas
yang dijahit dengan jaring yang diiikat dileher dan mengambil kerang dengan tangan
diraba sampai ke dasar laut juga merupakan salah satu bentuk penangkapan kerang yang
masih sangat sederhana. Dengan alasan jika menggunakan jaring yang besar maka hasil
yang didapat bukan hanya kerang saja tapi binatang laut seperti ikan kecil dan
tembilang. Jam melaut yang biasanya dilakukan sekitar pukul 04.00 WIB dini hari
sampai pukul 12.00 WIB siang hari, sedangkan pada sore hari sekitar pukul 18.00 WIB
sampai pukul 23.00 WIB. Hasil tangkapan yang didapat juga tidak bisa ditaksir,
biasanya paling sedikit sekitar 8 Kg dan paling banyak sekitar 25 kg. Biasanya para
nelayan menjual hasil tangkapan langsung ke pasar atau di jual ke pengempul. Selain
itu, ada juga nelayan yang mencari tambahan penghasilan dengan merebus kerang yang
didapat terlebih dahulu nantinya yang dihargai Rp.500, satu mugnya.
Pekerjaan nelayan sudah menjadi budaya atau kebiasaan turun menurun bagi
masyarakat desa Percut, hal ini disebabkan karena kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi sehingga sampai saat ini mereka masih bernelayan. Keikutsertaan
perempuan dalam sektor publik dengan bekerja sebagai nelayan di desa Percut,
Kabupaten Deli Serdang, menjadikan perempuan memiliki strategi membangun
ekonomi rumah tangga. Perempuan nelayan disini memiliki beban ganda selain di
bidang domestik juga di bidang publik. Faktor lain yaitu kebiasaan atau budaya
masyarakat daerah tersebut, pengetahuan dan keahlian yang rendah serta keterbatasan
lapangan pekerjaan formal bagi kalangan perempuan.
Peran dan partisipasi perempuan dalam menopang kegiatan ekonomi terlihat dari
aktifitas perempuan yang bekerja sebagai nelayan dengan melakukan produksi dan
39
distribusi hasil tangkapan berupa kerang sebagai upaya memperkuat kehidupan sosial
ekonomi masyarakat pesisir yang lemah. Perempuan bekerja sebagai nelayan biasanya
disebabkan karena sumber penghasilan suami dalam keluarga relatif sedikit, sehingga
tidak mampu mencukupi kebutuhan yang ada. Hal ini dapat menimbulkan beban kerja
pada perempuan, beban kerja (double burden) yaitu suatu bentuk diskriminasi dan
ketidakadilan gender dimana beberapa beban kegiatan diemban lebih banyak oleh salah
satu jenis kelamin.
Analisis :
Lokasi penelitian ini adalah di desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan,
Kabupaten Deli Serdang oleh Dini Saputri dengan jurusan sosiologi. Peneliti memilih
lokasi ini karena masyarakat khususnya perempuan di desa ini sebagian besar
perempuan bekerja sebagai nelayan pencari kerang dan melakukan proses produksi
juga mendistribusikan kerang langsung ke pasar. Jenis penelitian yang digunakan untuk
memperoleh data dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi
kasus. Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang diperoleh
melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi untuk mencari data-data yang lengkap
dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data ini dilakukan
dengan observasi terhadap perempuan nelayan pencari kerang di Desa Percut,
Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang tentang peran perempuan nelayan
dalam produksi dan distribusi kerang. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara
mendalam kepada para perempuan nelayan yang berhubungan dengan keikutsertaan
perempuan sebagai kontributif ketahanan ekonomi melalui kegiatan mencari kerang,
juga dalam memperkuat daya ekonomi masyarakat nelayan karena melakukan langsung
proses produksi dan distribusi kerang, juga melakukan wawancara seputar peran ganda
nelayan perempuan dalam sektor domestik dan publik
juga membandingkan
pendapatan nelayan perempuan dan laki-laki. Tujuan penelitian ini untuk melihat peran
perempuan nelayan dalam produksi dan distribusi hasil laut juga meggambarkan beban
ganda yang dihadapi perempuan pencari kerang di desa Percut. Namun tidak di jelaskan
berapa responden yang digunakan.
Keberadaan nelayan sangat identik dengan kemiskinan dan masalah-masalah
sosial lainnya terutama dibidang sosial ekonomi, pendapatan mereka juga tergantung
kondisi alam. Sehingga mendorong peran perempuan untuk menjadi seorang nelayan
demi membantu menopang kehidupan perekonomian keluarga mereka. Perempuan yang
telah memiliki peran reproduktif harus menambah perannya dalam kegiatan produktif.
Hal ini dapat menimbulkan beban kerja, yaitu suatu bentuk diskriminasi dan
ketidakadilan gender dimana beberapa beban kegiatan diemban lebih banyak oleh salah
satu jenis kelamin.
Peran perempuan nelayan dalam produksi dan distribusi hasil laut dilakukan
oleh nelayan perempuan mulai dari penangkapan ke laut, pengolahan, sampai
pendistribusian. Hal ini disebabkan karena pekerjaan nelayan perempuan di Desa ini
merupakan pekerjaan yang telah diwarisi secara turun menurun oleh para perempuan di
desa Percut. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan yang semakin kompleks, serta harga
kebutuhan yang semakin mahal, ditambah lagi harga kerang yang murah disebabkan
oleh penawaran lebih banyak dari permintaan. Perempuan nelayan disini memiliki
beban ganda selain di bidang domestik juga di bidang publik, dimana beberapa beban
kegiatan diemban lebih banyak oleh salah satu jenis kelamin.
Pada penelitian tidak dijelaskan apakah kontribusi perempuan di kegiatan
reproduktif dapat memperbaiki kehidupan keluarga dalam memenuhi kebutuhan
keluarga mereka atau tidak.
40
-
Pendapatan nelayan
tidak tetap
Kebutuhan semakin
mahal
Harga kerang murah
Kondisi sumberdaya laut
yang tidak tetap
Kemiskinan
nelayan
Mendorong
perempuan
berperan di
kegiatan
produktif
Beban kerja perempuan
sebagai bentuk
ketidakadilan gender.
Gambar 11. Hubungan Antar Konsep Jurnal 11.
Tabel 16. Daftar Variabel Jurnal 11.
Variabel
Sub Variabel
Penyebab kemiskinan -Pendapatan nelayan
tidak tetap
-Kebutuhan semakin
mahal
-Harga kerang murah
-Kondisi sumberdaya
laut yang tidak tetap
Kemiskinan nelayan
Ketimpangan gender
Beban kerja
Fakta Pendukung
Kemiskinan nelayan dapat disebabkan
oleh pendapatan nelayan tidak tetap,
kebutuhan semakin mahal, harga kerang
murah dan kondisi sumberdaya laut
yang tidak tetap.
Keberadaan nelayan sangat identik
dengan kemiskinan dan masalahmasalah sosial lainnya terutama
dibidang sosial ekonomi, di mana
ketergantungan masyarakat nelayan
pada sumber daya laut, keadaan cuaca
dan alam sehingga pendapatan mereka
juga tergantung kondisi alam. Hal ini
mendorong perempuan berperan di
kegiatan produktif.
Perempuan nelayan disini memiliki
beban kerja selain di bidang domestik
juga di bidang publik. Beban kerja ini
sebagai bentuk ketimpangan gender
41
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Kemiskinan Nelayan
Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan multidimensi serta
memiliki dampak sangat luas terhadap kualitas hidup manusia. Menurut Hermawati
masalah kemiskinan selalu ditandai dengan adanya kerentanan, ketidakberdayaan,
keterisolasian dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kemiskinan
merupakan tidak terpenuhinya kebutuhan yang bersifat mendasar seperti makanan,
pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan (Harahap, 2002). Pendapat
Sugiharto E (2007) mengenai kemiskinan adalah bahwa kemiskinan merupakan
persoalan krusial yang dihadapi nelayan dan tidak mudah untuk diatasi.
Ciri-ciri kemiskinan sangat nampak pada masyarakat nelayan. Hal tersebut dapat
dilihat pada pola hidup dan ketersediaan papan mereka yang memprihatinkan. (Saputri.
2012). Rumah tangga nelayan sudah lama diketahui tergolong dalam rumah tangga
miskin, disamping rumah tangga petani sempit, buruh tani dan pengrajin (Sayogyo
dalam Kusumo RAB, Charina A, Mukti W, 2013). Oleh Smith dalam Kusumo RAB,
Charina A, Mukti W (2013) masyarakat nelayan digambarkan dengan ciri rendahnya
tingkat kehidupan masyarakatnya.
Menurut Suhaeti RN, Basuno E Masyarakat pesisir pada umumnya menunggu
uluran tangan pihak luar untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kusumo RAB,
Charina A, Mukti W. (2013) menambahkan bahwa nelayan merupakan mata
pencaharian sebagian besar masyarakat pesisir. Keberadaan nelayan sangat identik
dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya terutama dibidang sosial
ekonomi, di mana ketergantungan masyarakat nelayan pada sumber daya laut, keadaan
cuaca dan alam sehingga pendapatan mereka juga tergantung kondisi alam. Jika
lingkungan alam terganggu maka mereka tidak bisa melaut atau mencari ikan.
Kehidupan sosial ekonomi yang sulit yang dialami oleh para nelayan sehingga
mendorong peran perempuan untuk menjadi seorang nelayan demi membantu
menopang kehidupan perekonomian keluarga mereka. Dengan perempuan menjadi
seorang nelayan, pendapatan perekonomian keluarga mereka akan bertambah sehingga
kehidupan mereka akan menjadi lebih baik.
Hariansyah R (2013) mengemukakan Masyarakat nelayan adalah masyarakat
paling miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya. Melimpahnya potensi
hayati yang dikandung oleh laut disekitar tempat komunitas nelayan bermukim,
seyogyanya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya
memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini
kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan secara finansial dan
belum sejahtera, sehingga membuat para nelayan tetap berada pada kubangan
kemiskinan. Retnowati E. 2013 sependapat dengan hal tersebut, di wilayah lautan
Indonesia terkandung potensi ekonomi kelautan yang sangat besar dan beragam.
Sedikitnya terdapat 13 (tiga belas) sektor yang ada di lautan, yang dapat dikembangkan
serta dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian dan kemakmuran masyarakat
Indonesia, yaitu meliputi: a. Perikanan tangkap, b. Perikanan budidaya, c. Industri
pengolahan hasil budidaya, d. Industri bioteknologi kelautan, e. Pertambangan dan
energi, f. Pariwisata bahari, g. Transportasi laut, h. Industri dan jasa maritim, i. Pulaupulau kecil, j. Sumber daya non-Konvensional, k. Bangunan kelautan, l. Benda-benda
berharga dan warisan budaya, m. Jasa lingkungan Konversi dan Biodiversitas. Namun
dalam realita tidaklah demikian, kemiskinan masih banyak melanda kehidupan nelayan.
Dari sisi ekonomi hasil tangkapan nelayan masih jauh dari memadahi untuk memenuhi
42
kebutuhan hidupnya. Hal ini disebabkan karena minimnya modal yang dimiliki nelayan,
tekanan dari pemilik modal, sistem bagi hasil yang tidak adil, perdagangan atau
pelelangan ikan yang tidak transparan (dikuasai tengkulak) dan otoritas tidak punya
wibawa untuk mengatur dan menegakkan aturan, serta pola atau budaya kerja yang
masih apa adanya.
Menurut Hermawati Pada masyarakat nelayan miskin, kondisi diperparah
manakala para pembuat kebijakan dan program mengabaikan perbedaan kondisi dan
kemampuan berbagai elemen masyarakat di dalamnya, termasuk laki-laki maupun
perempuan, karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak ekonomi,
sosial, politik dan kesempatan yang sama untuk peningkatan diri dan kesejahteraan
hidupnya.
Muttaqien dalam Hermawati mengungkapkan, bahwa kemiskinan
menyebabkan :
1. Hilangnya kesejahteraan bagi kalangan miskin (sandang, pangan, papan),
2. Hilangnya hak akan pendidikan
3. Hilangnya hak akan kesehatan
4. Tersingkirnya dari pekerjaan yang layak secara kemanusiaan
5. Termarjinalkannya dari hak atas perlindungan hukum
6. Hilangnya hak atas rasa aman
7. Hilangnya hak atas partisipasi terhadap pemerintah dan keputusan publik
8. Hilangnya hak atas psikis
9. Hilangnya hak untuk berinovasi
10. Hilangnya hak atas kebebasan hidup.
Hasil dari pekerjaan menjadi seorang nelayan yang menggantungkan hasil laut
tentunya tidak bisa di prediksi oleh rumah tangga nelayan untuk mampu memberikan
pemasukan yang cukup bagi rumah tangga nelayan. Melihat hal tersebut umumnya para
nelayan menjalankan strategi-strategi dalam mengatasi kemiskinan yang terus
membayangi kehidupan rumah tangga nelayan yang meliputi : Peran Anggota Keluarga,
Jaringan Sosial, Diversifikasi Pekerjaan, serta Migrasi. (Hariansyah R, 2013)
1) Peran Anggota Keluarga
Kesulitan yang terjadi akibat penghasilan yang tidak stabil dan dikarenakan hasil
laut yang tidak menentu, tentunya berakibat pada kesulitan rumah tangga
nelayan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan semakin menyulitkan
mereka dalam mengatasi kemiskinan yang terus membayangi kehidupan rumah
tangga nelayan, melihat hal tersebut anggota keluarga nelayan atau rumah
tangga nelayan berusaha mengoptimalkan peran tenaga kerja anggota keluarga
dalam berusaha mengatasi masalah kemiskinan dan kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan hidup, yang salah satunya dapat dilihat dari peran istri nelayan yang
membantu dalam bekerja.
2). Jaringan Sosial
Jaringan sosial dimanfaatkan nelayan sebagai salah satu strategi dalam
menghadapi kemiskinan. Jaringan sosial ini dimanfaatkan dalam kegiatan
menangkap ikan dan mengatasi tekanan-tekanan ekonomi. Pada saat musim
hasil laut sedang sulit ataupun pada saat kondisi keuangan atau ekonomi
keluarga sedang sulit nelayan biasanya meminjam uang kepada kerabat
(saudara), tetangga maupun kepada pengumpul ikan yang tentunya diganti oleh
nelayan pada saat nelayan mendapat penghasilan lebih nantinya.
3). Diversifikasi Pekerjaan
Diversifikasi pekerjaan tentu saja erat hubungannya dengan kehidupan
umum pada nelayan karena tentunya merupakan salah satu strategi yang
dilakukan oleh nelayan dalam mengatasi kemiskinan. Dapat diketahui
43
pendapatan umumnya para nelayan yang bisa dikatakan tidak menentu dan
sangat bergantung pada hasil laut tentunya membuat nelayan berpikir keras
untuk berusaha menambah penghasilan untuk kebutuhan hidup sehari-hari yang
harus terus dipenuhi, etos kerja merupakan salah satu hal yang mempengaruhi
nelayan untuk mampu mengkombinasikan pekerjaan.
4). Migrasi
Kebiasaan para nelayan biasanya melakukan migrasi untuk memperoleh
hasil laut yang baik, nelayan biasanya melakukan migrasi sirkuler ke daerah
perairan lain untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik.
Selain strategi-strategi yang di lakukan nelayan untuk mengatasi kemiskinan,
dalam konteks pengentasan kemiskinan di Indonesia terdapat berbagai upaya untuk
menanggulangi masalah kemiskinan yang sudah lama dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia melalui berbagai program. Namun setelah program penanggulangan
kemiskinan yang ada dievaluasi oleh Bapenas pada tahun 2004, diperoleh kesimpulan
bahwa program-program tersebut belum membuahkan hasil optimal seperti yang
diharapkan. Artinya, secara umum program-program tersebut belum mampu
menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang ada. Hal ini mengindikasikan belum
efektifnya sebagian besar program penanggulangan kemiskinan yang selama ini
dicanangkan oleh pemerintah (Hermawati).
Ditinjau dari sisi metodologi, kegagalan program pengentasan kemiskinan
menurut Dawam Raharjo dalam Hermawati adalah karena kesalahan dalam
mendefinisikan konsep kemiskinan, sehingga implikasi metodologis dalam mengukur
kemiskinan menjadi bias. Memperkuat pendapat Dawam Raharjo, Amelia Maika dalam
Hermawati mengemukakan dalam disertasinya tentang ‘Mengukur Kemiskinan
Subyektif di Indonesia’ yang menyatakan bahwa indikator ekonomi bukan satu-satunya
metode untuk mengukur kemiskinan. Jika kemiskinan didefinisikan sebagai hasil
penilaian individu terhadap kesejahteraannya, maka pengukuran subjektif perlu
diperhatikan. Pengukuran subyektif tentang kemiskinan yang dimaksud adalah
bagaimana si miskin menilai kemiskinan dari sudut pandang mereka sehingga posisi si
miskin menjadi jelas.
Tain A (2011) mengemukakan perlunya analisis kultural dan struktural secara
simultan untuk memberi jalan keluar dalam pengentasan kemiskinan nelayan dan
pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan
pemerintah Indonesia. Kemiskinan pada rumah tangga nelayan setidaknya dapat
dikelompokkan menjadi tiga bentuk kemiskinan berdasarkan faktor pembentuknya.
Pertama, kemiskinan struktural. Kemiskinan ini diderita oleh segolongan nelayan
karena kondisi struktur sosial yang ada menjadikan mereka tidak dapat ikut
menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan
kebijakan yang lebih menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar). Kedua,
kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan terjadi karena faktor budaya seperti
kemalasan yang bersumber pada nilai-nilai lokal yang memang tidak kondusif bagi
suatu kemajuan. Ketiga, kemiskinan alamiah terjadi di mana kondisi alam yang tidak
mendukung mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif ataupun perilaku produksi
yang tidak produktif akibat sifat sumberdaya yang bersangkutan.
Berikut faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan, yaitu: (Tain A.
2011)
1. Kelembagaan yang merugikan nelayan kecil
2. Program yang tidak memihak nelayan kecil
3. Pandangan hidup yang berorientasi akherat
44
4. Keterbatasan sumberdaya
5. Ketidak sesuaian alat tangkap
6. Rendahnya investasi
7. Terikat utang
8. Perilaku boros
9. Keterbatasan musim penangkapan
10. Kerusakan ekosistem
11. Penyerobotan wilayah tangkap
12. Lemahnya penegakan hukum
13. Kompetisi untuk mengungguli nelayan lain
14. Penggunaan alat/bahan terlarang
15. Perilaku penangkapan
Berbagai program pembangunan perikanan selama ini dirasa tidak
menguntungkan nelayan kecil serta mendorong ekploitasi berlebih atas sumberdaya
perikanan yang ada. Bahwa program modernisasi perikanan dirasa lebih
menguntungkan nelayan besar dan kurang memperhatikan/merugikan nelayan kecil.
Modernisasi peralatan tangkap hanya bisa dinikmati oleh nelayan besar yang memiliki
modal kuat dan akses ke pemegang kekuasaan. Sementara kebijakan pemerintah yang
mengejar peningkatan produktivitas seringkali mengabaikan kepentingan nelayan kecil.
Lebih lanjut hal ini menjadikan kehidupan rumahtangganelayan kecil semakin
terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Tindjabate dalam Tain A (2011) di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah yang
menunjukkan bahwa proses pemiskinan terhadap nelayan tradisional, terjadi dalam
konteks kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah
Indonesia dalam penyelenggaraan pembangunan subsektor perikanan laut.
Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan
Program pembangunan adalah suatu program yang bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan melalui pemberdayaan
keluarga dan organisasi dalam mengakses informasi, teknologi, modal dan sarana
produksi (Badan Pengembangan SDM Pertanian dalam Yuwono DM, 2013). Program
pembangunan sebagai salah satu upaya untuk pengentasan kemiskinan.
Setelah Otonomi Daerah diberlakukan sejak tahun 2001, terjadi perubahan
paradigma pembangunan, yaitu dari yang berorientasi sentralistik ke arah desentralisasi.
Perubahan tersebut tentunya membawa konsekuensi yaitu: pemerintah harus
memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut menentukan
berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan berbagai
permasalahan dan kebutuhan daerah setempat. Dari sisi pemerintah, dalam rangka
memberikan fasilitasi kepada masyarakat sering tidak dilandasi oleh hasil-hasil
identifikasi faktor-faktor penyebab yang berbasis gender. Banyak kalangan yang
menilai pembangunan yang berjalan hingga saat ini masih netral gender, artinya masih
banyak ketimpangan atau kesenjangan hubungan relasi antara berbagai pihak gender
terutama antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh haknya. Muncul berbagai
penilaian bahwa kedudukan dan peran perempuan masih berada pada posisi
termarjinalkan, tersubordinasi atau bahkan diperlakukan secara diskriminatif, selain
berbagai tindak kekerasan lainnya.( Suhaeti RN dan Basuno E )
Qoriah SN, Sumarti T (2008) menambahkan untuk memperbaiki kondisi
masyarakat pesedaan, maka dibutuhkan kebijakan dalam program pembangunan yang
45
tidak hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas dalam luasan lahan atau
melihat ukuran fisik saja, tetapi harus memperhatikan permasalahan sosial budaya
masyarakat setempat. Dalam implementasinya, setiap kebijakan program pembangunan
yang dilakukan oleh setiap instansi seyogyanya juga harus memperhatikan hubungan
antara laki-laki dan perempuan. Hal ini karena pembangunan nasional ditunjukan untuk
seluruh penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Ini kemudian diperkuat
dengan ditetapkan INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
(PUG) dalam pembangunan Nasional. Tujuan Pengarusutamaan Gender adalah
terselenggaranya kebijakan dan program pembangunan yang berperspektif gender
dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, sering kali masih saja terjadi bias gender dalam program
pembangunan dan sering kali yang menjadi korban adalah perempuan. Perempuan
memiliki tanggung jawab lebih di kegiatan produktif dan reproduktif, sehingga
menyebabkan alokasi kerja perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Dalam kegiatan
produktifpun perempuan mendapat upah lebih rendah dari laki-laki, Pembedaan ini
karena ada pandangan bahwa laki-laki memiliki tenaga lebih besar dan kuat daripada
perempuan.Selain itu terdapat perbedaan pembagian kerja dalam program antara lakilaki dan perempuan. Seperti perempuan bertugas mengelola kelompok tenun dan lakilaki mengelola ternak kambing dalam program desa mandiri pangan. Di tingkat rumah
tangga baik penerima program dan bukan penerima program terjadi ketidakadilan
gender yang termanifestasikan berupa beban kerja ganda pada perempuan. Dalam
program pembangunan tidak mengubah pembagian kerja dalam rumah tangga. Antara
laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama namun terdapat perbedaan dalam
kontrol yang lebih di dominasi salah satu pihak. Selain itu program pembangunan
dikatakan responsif gender apabila dapat memenuhi kebutuhan praktis dan strategis
laki-laki dan perempuan (Qoriah SN, Sumarti T. 2008).
Yuwono DM (2013) menambahkan bahwa umumnya perempuan petani adalah
sumberdaya manusia yang masih diabaikan dalam program pembangunan pertanian.
Berdasarkan hal tersebut, peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan
mendapat perhatian yang besar dari pemerintah, dimana upaya peningkatan status dan
kedudukan perempuan dalam semua aspek pembangunan satatus dan kondisi
perempuan dicantumkan sebagai isu lintas bidang pembangunan. Dalam kedudukan
sebagai subjek pembangunan, laki-laki dan perempuan selayaknya mempunyai peranan
yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil
pembangunan.
Implementasi program pembangunan pertanian di tingkat desa menunjukkan
akses laki-laki terhadap program pembangunan lebih besar dibanding perempuan
(Hastuti Yuwono DM (2013). Pelaksanaan program pembangunan yang belum
responsif gender akan menyebabkan ketidakberhasilan program tersebut dalam upaya
melakukan pembangunan. Menurut Hermawati proses intervensi dan kualitas program
untuk program keseluruhan terbukti berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
dampak program. Dalam suatu program perlu memperhatikan kepentingan, akses dan
kontrol antara perempuan dan laki laki, hal ini untuk tercapainya keadilan gender dan
keefektifan program pembangunan sehingga tujuan program pembangaunan seperti
peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan dapat tercapai. Program
pembangunan yang efektif dapat meningkatkan aspek ekonomi, sosial, psikis dan
budaya yang berujung pada pengentasan kemiskinan (Hermawati).
Diperlukan waktu dan alokasi dana khusus untuk melakukan sosialisasi,
advokasi dan fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai wujud
pengintegrasian berbagai permasalahan, pengalaman dan kebutuhan gender ke dalam
46
proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan aktivitas monitoring dan evaluasi
terhadap berbagai penguatan ekonomi masyarakat lokal kawasan pesisir dan pantai.
Fasilitasi forum koordinasi lintas sektor yang terkait dalam program pengembangan
kawasan pesisir secara terpadu, guna mengatasi berbagai kesenjangan gender yang
terjadi.( Suhaeti RN dan Basuno E )
Ketidakadilan Gender
Menurut Sulistyo dalam Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M (2013)
gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan jaman. Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks
merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal,
berbeda dengan gender yang dapat berubah sesuai kultur sosial masyarakat. Qoriah SN,
Sumarti T (2008) menambahkan Gender bukan suatu kodrat atau ketentuan Tuhan yang
tidak dapat diubah. Gender dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat lain dan dapat
berubah dari waktu ke waktu lain. Perbedaan gender ini kemudian melahirkan
pembagian kerja gender. Pembagian kerja gender ini tercemin dalam tiga peran gender
yaitu reproduktif, produktif dan sosial. Dalam peran reproduktif dituntut menciptakan
keluarga bahagia dan sejahtera seperti mengurus keluarga dan rumah, peran produktif
melakukan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan berupa upah dan peran sosial yang
berkaitan dengan kegiatan sosial (Harahap, 2002). Menurut Kartikaningdyah E,
Ramdaniah C, Mayasari M (2013) Pandangan mengenai gender yang bias dapat
menimbulkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender
merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial dimana salah satu jenis kelamin
(laki-laki maupun perempuan) menjadi korban. Menurut Qoriah SN, Sumarti T (2008)
Ketimpangan gender terjadi akibat hegemoni patriaki.
Bentuk-bentuk diskriminasi gender berupa ketidakadilan atau diskriminasi
gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat serta ditempat kerja dalam
berbagai bentuk, yaitu (Sulistyo dalam Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M ,
2013):
a. Stereotip/citra baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang
seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya
ketidakadilan.
b. Subordinasi/penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis
kelamin
dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis
kelamin lainnya.
c. Marginalisasi/peminggiran, adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap
salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan.
d. Beban ganda/double burden, adalah adanya perlakuan terhadap salah satu
jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
e. Kekerasan/violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis
seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik
(perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman,
paksaan).
47
Khotimah dalam Kusumawati Y (2012) menambahkan bahwa dalam pekerjaan
seringkali perempuan mengalami ketidakadilan karena persoalan: marjinalisasi dalam
pekerjaan, kedudukan perempuan yang subordinat dalam sosial dan budaya, stereotype
terhadap perempuan, tingkat pendidikan perempuan yang rendah. Hal ini juga sesuai
dengan apa yang diungkapkan Marx dalam Kusumawati Y (2012) bahwa wanita di
telah mengalami subordinasi gender yaitu tersubordinasi dalam pekerjaan pekerjaan
yang tidak memiliki prestise tinggi, karena didasarkan pada pekerjaan utamanya sebagai
ibu rumah tangga.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya ketidakadilan gender dapat dianalisis
melalui analisis gender. Menurut Doowling dalam Kartikaningdyah E, Ramdaniah C,
Mayasari M (2013) analisis gender dapat memperkuat dan meningkatkan kesetaraan
gender dengan mencari penyebab yang menjadi dasar munculnya ketidaksetaraan
gender itu dan membantu menyusun perencanaan yang peka terhadap isu gender,
menetapkan target dan kebijakan serta program yang efektif. Analisis gender adalah
himpunan dan analisis informasi dan data mengenai:
a. Peran, kewajiban dan hak yang berbeda-beda bagi perempuan dan laki-laki.
b. Kebutuhan, prioritas, peluang dan hambatan yang berbeda-beda bagi
perempuan dan lakilaki.
c. Alasan-alasan mengapa terjadi perbedaan - perbedaan tersebut.
d. Peluang-peluang dan strategi-strategi untuk meningkatkan kesetaraan gender
Analisis gender yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesetaraan gender
(Dowling dalam Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M , 2013) :
a. Analisis pembagian tugas
Meneliti pembagian tugas berdasarkan gender – siapa melakukan apa –
merupakan suatu yang penting untuk memahami apa yang dikerjakan laki-laki
dan perempuan di lingkungan rumahtangga, masyarakat dan tempat kerja.
Analisis pembagian tugas tidak hanya meneliti apa yang dikerjakan oleh lakilaki dan perempuan, tetapi dimana, kapan dan berapa banyak mereka
melakukannya, apakah tenaga mereka di bayar atau tidak dan bagaimana
pekerjaan mereka itu dihargai. Hal ini dapat menggambarkan tuntutan yang
berbeda-beda terhadap waktu dan tenaga laki-laki dan perempuan, berapa
pekerjaan mereka dihargai, pola kerja musiman dan strategi dalam memenuhi
tuntutan kehidupan sehari-hari yang diterapkan oleh rumah tangga
b. Analisis akses dan kontrol
Analisis akses dan kontrol mengkaji siapa mempunyai apa–asset dan sumber
daya swasta dan pemerintah yang dapat dipergunakan dan dimilki oleh laki-laki
dan perempuan seperti tanah dan peralatan, dan lembaga seperti bank atau
perusahaan kredit, maupun jaringan sosial dan profesional. Laki-laki dan
perempuan acapkali mengalami perbedaan-perbedaan dalam tingkat akses dan
kontrol terhadap aset dan sumber daya, sehingga hal ini berimplikasi pada
kesetaraan gender.
c. Analisis kebutuhan strategik dan praktis
Analisis kebutuhan strategik dan praktis menganggap bahwa laki-laki dan
perempuan membutuhkan perbaikan kehidupan mereka untuk saat ini dan untuk
jangka panjang. Kebutuhan-kebutuhan praktis adalah yang berhubungan dengan
kebutuhan manusia saat ini, kebutuhan materi seperti makanan, air dan tempat
berlindung. Kebutuhan-kebutuhan strategik adalah kebutuhan-kebutuhan yang
lebih menuntut perubahan jangka panjang terhadap hubungan-hubungan gender.
48
d. Analisis konteks sosiaL
Meneliti dan memahami konteks sosial setempat, termasuk menginvestigasi
hukum, sosial dan kultural dan nilai, agama dan institusi dan kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi peran dan hubungan gender, merupakan suatu
bagian yang sangat penting dari analisis gender. Faktor-faktor kecenderungan
sosial dan kultural biasanya memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap
peran dan hubungan gender dan sebagai kunci untuk memahami sebab
terjadinya ketidak-setaraan gender.
Tidak jauh berbeda dengan Qoriah SN, Sumarti T (2008) untuk mengungkapkan
hubungan sosial laki-laki dan perempuan maka dapat dilakukan analisis gender dengan
menggunakan dua macam teknik analisis yaitu teknik analisis Harvard melalui profil
aktivitas, akses dan kontrol. Kemudian teknik yang kedua adalah teknik analisis Moser
melalui mempertimbangkan kebutuhan praktis dan strategis.
Menurut Kusumawati Y (2012) Paradigma pembagian kerja keluarga dalam
masyarakat adalah suami berada di area pekerjaan publik karena kedudukannya sebagai
pencari nafkah utama di dalam keluarga, sedangkan istri berada di area domestik yang
mengatur rumah tangga dan anak-anak di rumah. Selain itu, seorang wanita yang lebih
banyak beraktivitas di luar rumah, seringkali dianggap hal yang kurang pantas atau
tabu. Namun pada kenyataannya, terutama pada keluarga miskin, banyak ibu rumah
tangga yang kemudian aktif dalam kegiatan publik sebagai pencari nafkah. Tingkat
ekonomi yang kurang mendukung atau kemiskinan yang membuat para wanita bersedia
bekerja dalam kondisi apapun guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Dengan masuknya perempuan, terutama yang berstatus sudah menikah, ke
dalam pekerjaan-pekerjaan di sektor publik, maka perempuan kemudian menjalankan
peran ganda, yaitu tidak hanya peran domestik mereka sebagai ibu rumahtangga, namun
juga peran publik, yaitu sebagai pencari nafkah (Supartiningsih dalam Kusumawati Y,
2012). Kusumo RAB, Charina A, Mukti GM menambahkan (2013) bahwa Istri dituntut
berperan ganda, disamping sebagai pengurus rumah tangga, istri dituntut pula untuk
membantu suami sebagai pencari nafkah untuk menambah pendapatan. Memandang
bahwa kedudukan istri dalam keluarga lebih rendah dari pada suami sehingga wajar jika
wewenang untuk mengambil keputusan ada di tangan suami. Pola pengambilan
keputusan di sektor publik, khususnya pada aspek ekonomi lebih banyak didominasi
oleh suami. Sebagian masyarakat berlaku pola pembagian kerja di sektor domestik
merupakan tanggung jawab istri.
Dengan demikian, ternyata pembakuan pembagian peran gender di mana lakilaki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik yang selama ini dipahami
masyarakat, merupakan hal yang masih bisa ditawar dan berubah. Jika kondisi ini yang
terjadi, maka tidak jarang peran ganda perempuan berubah menjadi beban ganda
perempuan, karena selain tuntutan untuk tetap menjalankan peran domestik mereka,
masuknya perempuan ke sektor publik membuat perempuan mendapatkan peran baru
yang menuntut mereka untuk dilaksanakan dengan baik pula (Kusumawati Y, 2012).
Apalagi menurut Rosadi dalam Kusumawati Y (2012) sebagian besar budaya
masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya Jawa, memosisikan peran
perempuan sebagai pemeran utama dalam rumah tangga, yaitu: melahirkan dan
mengasuh anak, menyiapkan kebutuhan makanan, dan tata kelola ekonomi rumah
tangga. Penambahan jam kerja perempuan di sektor publik tidak selalu mengurangi jam
kerja perempuan di sektor domestik.
Hal ini kemudian menjadi dilema yang berat bagi para wanita, karena disaat para
wanita dituntut untuk ikut aktif dalam area publik dengan bekerja keras mencari nafkah
dan berhadapan dengan ketidakadilan gender di masyarakat, sebagai seorang wanita
49
juga dituntut untuk tidak melupakan peran di area domestik. Untuk kegiatan ekonomi,
aksi seorang wanita dalam mencari nafkah dianggap sangat kecil apabila dibandingkan
dengan laki-laki (Yuliati dalam Kusumawati Y, 2012). Di masyarakat terdapat
anggapan bahwa dengan pembagian waktu sebagai ibu rumah tangga dan pencari
nafkah, seorang wanita tidak mampu bekerja secara optimal. Dampak yang kemudian
muncul adalah rendahnya upah yang diterima seorang wanita dalam pekerjaan.
Menunjukkan bahwa para wanita ini mengalami eksploitasi dalam pekerjaanya. Upah
yang didapatkan tidak sesuai dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan (Sudjana
dalam Kusumawati Y, 2012). Eksploitasi ini juga terjadi dalam pengalokasian waktu.
Seorang suami lebih banyak mengalokasikan waktu bekerja hanya di area publik saja
dan tidak ikut campur dalam pekerjaan rumah tangga, sehingga beban kerja seorang
perempuan lebih berat dibandingkan lakilaki. Apalagi jika ditambah perempuan bekerja
di sektor publik, maka beban kerja perempuan menjadi semakin bertambah dan berlipat
(double burden). Keadaan tersebut menunjukkan adanya eksploitasi terhadap
perempuan, terutama dalam masalah waktu kerja (Kusumawati Y. 2012). Suhaeti RN,
Basuno E menambahkan jumlah dan curahan waktu perempuan dalam kegiatan rumah
tangga pada umumnya lebih tinggi dari curahan tenaga kerja laki-laki. Argumentasinya,
karena perempuan merupakan penanggungjawab pekerjaan domestik (pengaturan
rumah tangga) yang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Ketimpangan terjadi
terutama dalam sektor domestik yang secara dominan masih menjadi ranah (domain)
perempuan. Dari alokasi waktu yang dicurahkan, kondisi laki-laki lebih baik, demikian
pula waktu senggang laki-laki lebih banyak. Hal ini dapat mengarah kepada
ketidakadilan gender dalam arti salah satu pihak bisa saja dirugikan. Menurut Qoriah
SN, Sumarti T (2008) Ketimpangan gender terjadi akibat hegemoni patriaki.
Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Kemiskinan Nelayan
Menurut Fakih dalam Yuwono DM (2013) Pengertian kata gender berbeda
dengan seks (jenis kelamin), dimana gender dapat berubah dari tempat ke tempat, waktu
ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat, sementara jenis kelamin
dalam arti biologis tidak dapat berubah. Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Dengan demikian peran gender juga dapat ditukarkan antara pria dengan wanita, dapat
berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi,
dan lain-lain. Perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan
karena diantara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau
dipilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan (Handayani dan Sugiarti dalam Yuwono DM, 2013).
Dalam kedudukan sebagai subjek pembangunan, laki-laki dan perempuan selayaknya
mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan
menikmati hasil pembangunan. Gender menjadi permasalahan ketika timbul
ketidakadilan gender (gender inequalities), yang termanifestasikan dalam bentuk
marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan beban kerja yang lebih panjang dan lebih
banyak (Fakih dalam Yuwono DM, 2013).Menurut Qoriah SN, Sumarti T (2008)
ketimpangan gender terjadi akibat hegemoni patriaki.
Dibutuhkan kebijakan dalam program pembangunan yang tidak hanya
berorientasi pada peningkatan produktivitas dalam luasan lahan atau melihat ukuran
fisik saja, tetapi harus memperhatikan permasalahan sosial budaya masyarakat setempat
(Qoriah SN, Sumarti T. 2008). Program pembangunan bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan melalui pemberdayaan keluarga dan
50
organisasi dalam mengakses informasi, teknologi, modal dan sarana produksi (Badan
Pengembangan SDM Pertanian dalam Yuwono DM, 2013). Suhaeti RN, Basuno E
mengemukakan dari sisi pemerintah, dalam rangka memberikan fasilitasi kepada
masyarakat sering tidak dilandasi oleh hasil-hasil identifikasi faktor-faktor penyebab
yang berbasis gender. Banyak kalangan yang menilai pembangunan yang berjalan
hingga saat ini masih netral gender, artinya masih banyak ketimpangan atau
kesenjangan hubungan relasi antara berbagai pihak gender terutama antara perempuan
dan laki-laki dalam memperoleh haknya. Muncul berbagai penilaian bahwa kedudukan
dan peran perempuan masih berada pada posisi termarjinalkan, tersubordinasi atau
bahkan diperlakukan secara diskriminatif, selain berbagai tindak kekerasan lainnya.
Program pembangunan sebagai salah satu upaya untuk pengentasan kemiskinan.
Dalam implementasinya, setiap kebijakan program pembangunan yang dilakukan oleh
setiap instansi seyogyanya juga harus memperhatikan hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini karena pembangunan nasional ditunjukan untuk seluruh penduduk
tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Ini kemudian diperkuat dengan ditetapkan
INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
pembangunan Nasional. Tujuan Pengarusutamaan Gender adalah terselenggaranya
kebijakan dan program pembangunan yang berperspektif gender dalam rangka
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Namun demikian, sering kali masih saja terjadi bias gender
dalam program pembangunan dan sering kali yang menjadi korban adalah perempuan.
Perempuan memiliki tanggung jawab lebih di kegiatan produktif dan reproduktif,
sehingga menyebabkan alokasi kerja perempuan lebih banyak dari pada laki-laki.
Dalam kegiatan produktifpun perempuan mendapat upah lebih rendah dari laki-laki,
Pembedaan ini karena ada pandangan bahwa laki-laki memiliki tenaga lebih besar dan
kuat daripada perempuan.Selain itu terdapat perbedaan pembagian kerja dalam program
antara laki-laki dan perempuan. (Qoriah SN, Sumarti T. 2008) Antara laki-laki dan
perempuan memiliki akses yang sama namun terdapat perbedaan dalam kontrol.
Pelaksanaan program pembangunan yang belum responsif gender akan menyebabkan
ketidakberhasilan program tersebut dalam upaya melakukan pembangunan.
Hastuti dalam Yuwono DM (2013) menambahkan implementasi program
pembangunan menunjukkan akses laki-laki terhadap program pembangunan lebih besar
dibanding perempuan. Pelaksanaan program pembangunan yang belum responsif
gender akan menyebabkan ketidakberhasilan program tersebut dalam upaya melakukan
pembangunan. Menurut Hermawati proses intervensi dan kualitas program untuk
program keseluruhan terbukti berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
dampak program. Dalam suatu program perlu memperhatikan kepentingan, akses dan
kontrol antara perempuan dan laki laki, hal ini untuk tercapainya keadilan gender dan
keefektifan program pembangunan sehingga tujuan program pembangaunan seperti
peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan dapat tercapai. Program
pembangunan yang efektif dapat meningkatkan aspek ekonomi, sosial, psikis dan
budaya yang berujung pada pengentasan kemiskinan.
Hermawati menambahkan kebijakan dan program mengabaikan perbedaan
kondisi dan kemampuan berbagai elemen masyarakat di dalamnya, termasuk laki-laki
maupun perempuan menjadi salah satu penyebab kondisi kemiskinan di masyarakat,
karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak ekonomi, sosial, politik dan
kesempatan yang sama untuk peningkatan diri dan kesejahteraan hidupnya. maka
diperlukan waktu dan alokasi dana khusus untuk melakukan sosialisasi, advokasi dan
fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai wujud pengintegrasian berbagai
permasalahan, pengalaman dan kebutuhan gender ke dalam proses perencanaan,
pelaksanaan sampai dengan aktivitas monitoring dan evaluasi terhadap berbagai
51
penguatan ekonomi masyarakat lokal kawasan pesisir dan pantai. Fasilitasi forum
koordinasi lintas sektor yang terkait dalam program pengembangan kawasan pesisir
secara terpadu, guna mengatasi berbagai kesenjangan gender yang terjadi ( Suhaeti RN
dan Basuno E ).
Dengan demikian ketidakadilan gender dalam program pembangunan dapat
menyebabkan dan memperparah kondisi kemiskinan masyarakat. Maka perlu
memperhatikan pembagian peran, akses, kontrol, kebutuhan strategik dan kebutuhan
praktis antara laki-laki dan perempuan dalam program pembangunan sebagai salah satu
upaya pengentasan kemiskinan di masyarakat. Karena melalui program pembangunan
yang responsif gender dapat meningkatkan aspek ekonomi, sosial, psikis dan budaya
yang berujung pada pengentasan kemiskinan.
52
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang kompleks di Indonesia
dan sangat identik dengan rumah tangga nelayan. Potensi sumberdaya yang berada di
laut begitu melimpah, seharusnya potensi sumberdaya tersebut menjadi sumber
pendapatan untuk memperbaiki kondisi kehidupan nelayan. Namun hingga saat ini
nelayan masih mengalami kondisi kemiskinan. Terdapat lima macam kemiskinan yang
dialami oleh nelayan, yakni kemiskinan subjektif, objektif, struktural, kultural dan
alamiah. Kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti budaya kerja nelayan ,
kondisi sumberdaya laut yang tidak tetap, produktivitas rendah, pendapatan rendah,
program yang tidak memihak pada nelayan, dan ketimpangan gender dalam
pelaksanaan program. Dengan kondisi kemiskinan yang dihadapi nelayan, nelayan
memiliki strategi dalam mengatasi kemiskinan, yakni melibatkan anggota keluarga
untuk meningkatkan pendapatan, membangun jaringan sosial, kombinasi pekerjaan dan
melakukan migrasi.
Kondisi kemiskinan diperparah manakala pembuat kebijakan atau program
pembangunan tidak memperhatikan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Beberapa penelitian mengungkapkan masih banyak ketimpangan hubungan antara lakilaki dan perempuan dalam memperoleh haknya. Ketimpangan tersebutdapat berbentuk
streotipe, marginalisasi, subordinasi, dan beban kerja. Seharusnya program
pembangunan ditunjukan untuk seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan antara
laki-laki dan perempuan. Hal ini demi tercapainya keberhasilan program pembangunan
sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan.
Untuk mengetahui suatu program pembangunan telah memperhatikan hubungan
antar laki-laki dan perempuan atau bisa dikatakan program pembangunan tersebut
responsif gender atau tidak dapat diketahui melalui analisis gender. Analisis gender
berkaitan dengan analisis pembagian kerja, akses dan kontrol, serta kebutuhan praktis
dan strategis antara laki-laki dan perempuan. Jika dari hasil analisis terdapat perbedaan
antara laki-laki dan perempuan maka program pembangunan tersebut belum responsif
gender. Dalam pembagian kerja terdapat peran produktif, peran reproduktif dan peran
sosial, yang dikenal sebagai peran gender. Pembentukan peran gender ini dipengaruhi
oleh konstruksi sosial dalam masyarakat, perubahan teknologi dan pendidikan serta
faktor ekonomi yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan dalam peran
gender. Sehingga peran gender dapat berubah dari waktu ke waktu, berbeda halnya
dengan perbedaan seks laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi kodrat dari Tuhan.
Dari analisis gender dapat diketahui ada atau tidaknya ketimpangan gender
dalam suatu program pembangunan. Jika terdapat ketimpangan gender dalam suatu
program, maka hal tersebut dapat menyebabkan atau memperparah kemiskinan .
Sehingga perlu adanya upaya penanggulangan kemiskinan melalui program
pembangunan yang responsif gender. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan adanya
sosialisasi mengenai kesadaran gender, advokasi dan fasilitasi pelaksanaan program
pembangunan yang responsif gender. Dengan upaya ini dapat memberikan hak yang
sama antara laki-laki dan perempuan untuk dapat meningkatkan produktivitas,
pendapatan dan kesejahteraan sebagai upaya pengentasan kemiskinan nelayan.
52
Kerangka Analisis
Produktivitas
dan pendapatan
rendah
Program yang
tidak memihak
nelayan
Ketimpangan gender dalam
pelaksanaan program
pembangunan :
Marginalisasi
Subordinasi
Streotipe
Beban kerja
Budaya
kerja
Kondisi
sumberdaya laut
yang tidak tetap
Upaya penanggulanan
kemiskinan melalui
program pembangunan
yang responsif gender
dengan:
-Sosialisasi
-Advokasi
-Fasilitasi pelaksanaan
pengarusutamaan gender
KEMISKINAN
NELAYAN
-Kemiskinan subjektif
-Kemiskinan objektif
-Kemiskinan struktural
-Kemiskinan kultural
-Kemiskinan alamiah
-Kontruksi sosial
- Pendidikan
- Teknologi
- Ekonomi
Peran gender:
Analisis gender:
-Reproduktif
-Produktif
-Sosial
-Pembagian kerja
-Akses dan kontrol
-Kebutuhan praktis
dan strategis
-Perempuan
dominan dalam
peran reproduktif
-Laki-laki dominan
dalam kontrol
-Alokasi waktu
timpang
: Mempengaruhi
-Produktivitas
-Pendapatan
-kesejahteraan
Strategi
nelayan
Peranan anggota
keluarga
Gambar 12. Kerangka Analisis
Keterangan :
Meningkatkan:
Jaringan
sosial
Kombinasi
pekerjaan
Migrasi
53
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi
Berdasarkan kerangka analisis, maka dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kemiskinan rumah tangga nelayan?
2. Bagaimana ketidakadilan gender dalam program pembangunan?
3. Bagaimana hubungan ketidakadilan gender dalam program pembangunan
terhadap kemiskinan rumah tangga nelayan?
54
DAFTAR PUSTAKA
Efianingrum A. 2008. Pendidikan dan Pemajuan Perempuan: Menuju Keadilan Gender.
[Jurnal Fondasia]. [internet]. [dikutip tanggal 14 maret 2015]. Yogyakarta [ID]:
UNY.
Dapat
di
unduh
di:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Artikel%20Fondasia%202008.pdf.
Harahap RFA. 2014. Analisis pengaruh ketimpangan gender terhadap pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. [skripsi]. [Internet]. [dikutip tanggal 28 febuari
2015].
Semarang
[ID]:
UNDIP.
Dapat
di
unduh
di:
http://eprints.undip.ac.id/44692/1/11_HARAHAP.pdf.
Hariansyah R. 2013. Strategi Rumah Tangga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan.
[jurnal]. [internet]. [dikutip tanggal 14 Maret 2015]. Tanjung Pinang [ID]:
Universitas Maritim Raja Ali Haji. Dapat diunduh di http://jurnal.umrah.ac.id/wp
content/uploads/2013/08/JURNAL-REKIHARIANSYAH-090569201020SOSIOLOGI-2013.pdf .
Hendayana R., S. Wahyuni. Dimensi Peran Gender Dalam Pengembangan Usaha
Ternak Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Bogor.
Hermawati I. [tanpa tahun]. Dampak Program Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten
Jayapura. [Jurnal] Penelitian dan Evaluasi Pendidikan]. [internet]. [dikutip
tanggal 23 Maret 2015]. Yogyakarta [ID]: Universitas Negeri Yogyakarta. Dapat
diunduh
di
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=
0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjournal.uny.ac.id%2Findex.php%2Fjpep
%2Farticle%2Fdownload%2F1110%2F892&ei=97s5Vf3PPMLRmwWHmYHI
BQ&usg=AFQjCNEYMlU7urh16MfKhjiFw1InJGjfRg&sig2=BNyqrNNOmbz
wGjVI2-H3Vw.
Hikmah, et al. 2008. Gender Dalam Rumah Tangga masyarakat Nelayan. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M. 2013. Kontribusi Wanita Nelayan
dalam Sosiokultural Gender di Kelurahan Pulau Panjang Barelang Batam.
[jurnal]. [internet]. [dikutip tanggal 24 April 2015]. Batam [ID]: Politeknik
Batam.
Dapat
diunduh
di
http://p2m.polibatam.ac.id/wpcontent/uploads/2014/01/Microsoft-Word-09-Jurnal-Integrasi-2013-ElyKartika.pdf
Kusumawati Y. 2012. Peran Ganda Perempuan Pemetik Teh. [Jurnal Komunitas:
Vol 4 No 2]. [internet]. [dikutip tanggal 14 Maret 2015]. Jawa Tengah [ID].
Dapat diunduh di http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas.
Kusumo RAB, Charina A, Mukti W. 2013. Analisis Gender dalam Kehidupan
Keluarga Nelayan di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis. [JurnalSosial
Ekonomi Pertanian: Vol 2 No 1]. [internet]. [dikutip tanggal 24 April 2015].
Bandung
[ID]:
Universitas
Padjajaran.
Dapat
di
unduh
di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=152635&val=5163&title=
55
ANALISIS%20GENDER%20DALAM%20KEHIDUPAN%20KELUARGA%2
0NELAYAN%20DI%20KECAMATAM%20PANGANDARAN%20KABUPA
TEN%20CIAMIS.
Qoriah SN, Sumarti T. 2008. Analisis Gender dalam Program Desa Mandiri
Pangan. [Jurnal Transdisiplin Sosiologi: Vol02 No 02]. [internet]. [dikutip
tanggal 23 april 2015]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh di:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5884.
Retnowati E. 2013. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural
Perspektif Sosial Ekonomi dan Hukum. [Jurnal Perpektif: Vol XVI No 3].
[internet]. [dikutip tanggal 14 Maret 2015]. Sumatera Utara [ID]: Universitas
Sumatera
Utara.
Dapat
diunduh
di
http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/12.pdf
Saputri D. 2012. Peran Perempuan Nelayan dalam Produksi dan Distribusi Hasil
Laut. [jurnal]. [internet]. [dikutip tanggal 4 Maret 2015]. Sumatera Utara [ID]:
Universitas
Sumatera
Utara.
Dapat
diunduh
di
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/persos/article/view/152/126
Sugiharto E. 2007. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru
Ilir Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik. [Jurnal EPP: Vol 4 No 2].
[internet]. [dikutip tanggal 14 Maret 2015]. Samarinda [ID]: Unmul Samarinda.
Dapat
diunduh
di
http://agribisnisfpumjurnal.files.wordpress.com/2012/03/jurnal-vol-4-no-1eko.pdf
Suhaeti RN, Basumo E. Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat
Pesisir. [jurnal]. [internet]. [dikutip tanggal 24 Maret 2015]. Bogor [ID]: Badan
Litbang
Pertanian.
Dapat
diunduh
di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=13006&val=926.
Tain A. 2011. Penyebab Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan di Wilayah
Tangkap Lebih Jawa Timur. [Jurnal Humanity: Vol 7 No 1]. [internet]. [dikutip
tanggal 24 April 2015]. Malang [ID]: Universitas Muhammadiyah. Dapat
diunduh di http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/1401
Yuwono DM. 2013. Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Pertanian:
Kasus Pada Pelaksanaan Program FEATI Di Kabupaten Magelang. [Jurnal
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan: Vol 10 No 1]. [internet]. [dikutip tanggal 23
Maret
2015].
Dapat
diunduh
di
https://www.academia.edu/6800952/PENGARUSUTAMAAN_GENDER_DAL
AM_PEMBANGUNAN_PERTANIAN_KASUS_PADA_PELAKSANAAN_P
ROGRAM_FEATI_DI_KABUPATEN_MAGELANG.
56
LAMPIRAN
Riwayat Hidup
Nuraini dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 20 Oktober 1994 sebagai anak
keempat dari empat bersaudara dari pasangan Gatot Najamudin dan Fatmawati.
Menempuh pendidikan formal di TK Islam Al-Fajar Bekasi pada tahun 1999-2000, SD
Islam Al-Fajar Bekasi pada tahun 2000-2006, SMP Negeri 30 Bekasi pada tahun 20062009, SMA Negeri 12 Bekasi pada tahun 2009-2012. Dari SMP hingga SMA penulis
aktif di berbagai kegiatan organisasi di Kota Bekasi. Pada tahun 2012, penulis
dinyatakan lulus seleksi perguruan tinggi negeri melalui jalur undangan di Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat.
Selama penulis menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif
dalam perkuliahan, berbagai kegiatan kepanitiaan dan organisasi. Dibeberapa
kesempatan penulis pernah di amanahkan untuk menjadi ketua divisi event dalam
kegiatan IPB Business Festival pada tahun 2014 dan pada saat ini menjadi ketua divisi
human resource development dalam kegiatan leadership and entrepreneur school.
Selain itu penulis pernah menjadi anggota Century IPB divisi finance and business pada
tahun 2012-2014, panitia masa perkenalanan Fakultas Ekologi Manusia, panitia masa
perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Penulispun
pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah dasar-dasar komunikasi dan dicalonkan
sebagai mahasiswa prestasi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat.
Download