Laporan Studi Pustaka (KPM 403) KETIDAKADILAN GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYA PADA KEMISKINAN RUMAH TANGGA NELAYAN NURAINI I34120039 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Dampaknya pada Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka . Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Mei 2015 Nuraini NIM. I34120039 ii ABSTRAK NURAINI. Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Dampaknya pada Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan. Di bawah bimbingan TITIK SUMARTI. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi kekayaan sumberdaya laut. Sumberdaya laut ini dapat dimanfaatkan oleh nelayan sebagai mata pencaharian. Dengan kekayaan sumberdaya laut yang di miliki, seharusnya mampu memadai kebutuhan hidup nelayan. Namun nyatanya nelayan masih mengalami kondisi kemiskinan yang hingga saat ini belum teratasi. Kemiskinan nelayan disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah ketidakadilan gender dalam program pembangunan yang diterima nelayan. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsep kemiskinan nelayan, program pembangunan responsif gender, ketidakadilan gender, dan menganalisis ketidakadilan gender dalam program pembangunan dan dampaknya pada kemiskinan rumah tangga nelayan. Hasil dari penulisan ini adalah Perlunya program pembangunan yang memperhatikan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak membeda-bedakan hak antara laki-laki dan perempuan sebagai upaya penanggulangan kemiskinan nelayan. Ketidakadilan gender dapat berbentuk streotipe, marginalisasi, subordinasi, dan beban kerja. Untuk mengetahui adanya ketidakadilan gender dapat dianalisis melalui (a) analisis pembagian kerja (b) analisis akses dan kontrol serta (c) analisis kebutuhan praktis dan strategik antara laki-laki dan perempuan. Kata kunci : kemiskinan nelayan, program responsif gender, ketidakadilan gender. ABSTRACT NURAINI. Gender inequality in Development Program and its Impact on household Poverty Fisherman. Supervised by TITIK SUMARTI. Indonesia is an archipelago surrounded by a wealth of marine resources. This can be exploited marine resources by fishing as a livelihood. With a wealth of marine resources which is owned, should be able to adequately the needs of fishermen. But in fact the fishermen still experiencing poverty, which until now has not been resolved. Fishermen poverty caused by several things, one of which is gender inequality in development programs received by fishermen. This paper aims to identify the concept of fishing poverty, gender responsive development program, gender inequality, and analyze the gender inequities in development programs and the impact on household poverty fisherman. Results of this paper is the need for development programs that pay attention to the relationship between men and women who make no distinction between the rights of men and women as poverty reduction efforts fishermen. Gender discrimination can take the form streotipe, marginalization, subordination, and workload. To determine the existence of gender inequality can be analyzed through (a) the analysis of the division of labor (b) analysis of access and control, and (c) the analysis of the practical and strategic needs of men and women. Key word : fishermen poverty, gender responsive programs, gender inequality. iii KETIDAKADILAN GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN DAN DAMPAKNYA PADA KEMISKINAN RUMAH TANGGA NELAYAN Oleh NURAINI I34120039 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Insititut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 iv LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bawa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Nuraini Nomor Pokok : I34120039 Judul : Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Dampaknya pada Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Dr Ir Titik Sumarti MC, MS Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen Tanggal Pengesahan: v PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Dampaknya pada Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan”. Meskipun seringkali penulis mengalami kesulitan, namun berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan studi pustaka ini dengan tepat waktu. Laporan studi pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Titik Sumarti MC, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada orang tua tercinta Bapak Gatot Najamudin dan Ibu Fatmawati serta keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis. Selain itu, penulis juga berterima kasih kepada sahabat terbaik Roy Nizar yang selalu memberikan dorongan positif dan semangat kepada penulis. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Haerani Aslesmana, Yulinda Devianty, Nyayu Zahra Ummaya dan seluruh teman-teman SKPM 49 sebagai teman berdiskusi sekaligus memotivasi penulis untuk menyelesaikan laporan studi pustaka ini. Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Mei 2015 Nuraini NIM. I34120039 vi DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................................ vii vii PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang ................................................................................................. Tujuan .............................................................................................................. Metode Penulisan ............................................................................................. 2 2 3 3 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA .................................................. 1. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perpektif Sosial, Ekonomi dan Hukum ................................................................................ 2. Penyebab Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan di Wilayah Tangkap Lebih Jawa Timur ............................................................................................... 3. Strategi Rumah Tangga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan ............. 4. Dampak Program Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Jayapura ....... 5. Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir ............ 6. Analisis Gender dalam Program ............................................................... 7. Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Pertanian : Kasus Pada Pelaksanaan Program FEATI Di Kabupaten Magelang ........................... 8. Analisis Gender dalam Kehidupan Keluarga Nelayan di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis ............................................................... 9. Kontribusi Wanita Nelayan dalam Sosiokultural Gender di Kelurahan Pulau Panjang Barelang - Batam ........................................................................ 10. Peran Ganda Perempuan Pemetik Teh ..................................................... 11. Peran Perempuan Nelayan dalam Produksi dan Distribusi Hasil Laut ..... 4 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ......................................................... Kemiskinan Nelayan ........................................................................................ Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan ..................................... Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Kemiskinan Nelayan 41 41 44 49 SIMPULAN ..................................................................................................... Hasil Rangkuman Pembahasan ........................................................................ Kerangka Analisis ............................................................................................ Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi .................................. 52 52 52 53 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 54 LAMPIRAN..................................................................................................... Riwayat Hidup ................................................................................................. 56 56 4 6 9 12 15 18 22 26 30 34 36 vii DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1 .................................................. 5 Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2 .................................................. 8 Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3 .................................................. 11 Gambar 4. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4 .................................................. 14 Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5 .................................................. 18 Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6 .................................................. 21 Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7 .................................................. 25 Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8 .................................................. 29 Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9 .................................................. 33 Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10 .............................................. 36 Gambar 11. Hubungan Antar Konsep Jurnal 11 .............................................. 40 Gambar 12. Kerangka Analisis ........................................................................ 52 DAFTAR TABEL Tabel 1. Variabel jurnal 1 ................................................................................ 6 Tabel 2. Hasil analisis faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan ... 7 Tabel 3. Variabel jurnal 2 ................................................................................ 9 Tabel 4. Variabel junral 3 ................................................................................ 11 Tabel 5. Variabel jurnal 4 ................................................................................ 15 Tabel 6. Variabel jurnal 5 ................................................................................ 18 Tabel 7. Variabel jurnal 6 ................................................................................ 21 Tabel 8. Variabel jurnal 7 ................................................................................ 25 Tabel 9. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pengambilan keputusan mengenai aktivitas di sektor domestik ........................... 27 Tabel 10. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pengambilan keputusan mengenai aktivitas di sektor publik ............................... 28 Tabel 11. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pembagian kerja disektor domestik ............................................................................ 28 Tabel 12. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pembagian kerja di sektor publik .................................................................................... 28 Tabel 13. Variabel jurnal 8 .............................................................................. 28 Tabel 14. Variabel jurnal 9 .............................................................................. 33 Tabel 15. Variabel jurnal 10 ............................................................................ 37 Tabel 16. Variabel jurnal 11 ............................................................................ 40 2 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu permasalahan di Indonesia yang belum dapat diatasi hingga saat ini ialah permasalahan kemiskinan. Menurut Sugiharto (2007) Kemiskinan merupakan tidak terpenuhinya kebutuhan yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan serta perawatan kesehatan dan menjadi persoalan krusial yang dihadapi nelayan. Kusumo RAB. , Charina A. dan Mukti W.(2013) menambahkan bahwa keberadaan nelayan sangat identik dengan kemiskinan yang tergantung pada sumber daya laut, keadaan cuaca dan alam, sehingga pendapatan mereka juga tergantung pada kondisi alam. Jika lingkungan alam terganggu maka mereka tidak bisa melaut sehingga tidak ada pendapatan yang masuk. Menurut Hermawati pada nelayan miskin, kondisi diperparah manakala para pembuat kebijakan dan program mengabaikan perbedaan kondisi dan kemampuan berbagai elemen masyarakat di dalamnya, termasuk laki-laki maupun perempuan, karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak ekonomi, sosial, politik dan kesempatan yang sama untuk peningkatan diri. Qoriah SN, Sumarti T (2008) berpendapat bahwa untuk memperbaiki kondisi masyarakat, maka dibutuhkan kebijakan dalam program pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas atau melihat ukuran fisik saja, tetapi harus memperhatikan permasalahan sosial budaya masyarakat setempat. Program pembangunan adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, dan pendapatan melalui pemberdayaan keluarga dan organisasi (Badan Pengembangan SDM Pertanian dalam Yuwono DM, 2013). Dalam implementasinya, setiap kebijakan program pembangunan yang dilakukan oleh setiap instansi seyogyanya harus memperhatikan hubungan antara lakilaki dan perempuan. Hal ini karena pembangunan nasional ditunjukan untuk seluruh penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Ini kemudian diperkuat dengan ditetapkan INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan Nasional, dengan tujuan terselenggaranya kebijakan dan program pembangunan yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ( Qoriah SN dan Sumarti T, 2008) Namun banyak kalangan yang menilai pembangunan yang berjalan hingga saat ini masih netral gender, artinya masih banyak ketimpangan atau kesenjangan hubungan relasi antara berbagai pihak gender terutama antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh haknya. Gender mengacu pada peran antara laki-laki dan perempuan dan bagaimana peran sosial ini dikonstruksikan oleh masyarakat . Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang hal itu tidak melahirkan ketidakadilan gender. Akan tetapi dalam prakteknya perempuan tetap saja merupakan pihak yang kurang beruntung dibandingkan dengan laki-Iaki. Ketidakadilan gender akan merugikan salah satu pihak akibat adanya marjinalisasi, subordinasi, beban ganda, diskriminasi bahkan kekerasan yang menyebabkan kemiskinan di masyarakat (Harahap, 2014). Perempuan di Indonesia diketahui memiliki peran yang cukup banyak, yaitu peran reproduktif, peran produktif dan peran sosial. Dengan peran yang berlebih tersebut dapat menyebabkan perempuan mengalami beban ganda (Kusumawati Y, 2012 ). Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir seluruh pekerjaan rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat 3 kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga1. Dalam peran reproduktif perempuan dituntut menjadi ibu rumah tangga dengan mengurus keluarga dan rumah, peran produktif melakukan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan berupa upah dan peran sosial yang berkaitan dengan kegiatan sosial (Harahap, 2014). Dalam program pembangunan tidak mengubah pembagian kerja dalam rumah tangga. Antara laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama namun terdapat perbedaan dalam kontrol yang lebih di dominasi salah satu pihak (Qoriah SN dan Sumarti T, 2008). Oleh karena itu perlunya kebijakan maupun program yang responsif gender demi tercapainya keefektifan pembangunan sehingga mampu menjadi solusi pengentasaan kemiskinan. Dengan kondisi kemiskinan yang dialami rumah tangga nelayan maka sangat diperlukan upaya pengentasan kemiskinan, salah satunya berupa program pembangunan untuk rumah tangga nelayan. Namun sejauh ini masih banyak pembangunan yang belum responsif gender. Oleh karena itu penulis tertarik melihat bagaimana ketidakadilan gender dalam program pembangunan dan pengaruhnya terhadap kemiskinan nelayan ? Tujuan Tulisan Tujuan dari penulisan studi pustaka berjudul “Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Dampaknya pada Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan” ini adalah melakukan penelusuran data sekunder yang akan digunakan dalam penyusunan proposal penelitian. Adapun rincian tujuan penelitian ini yaitu: a. Mengidentifikasi konsep kemiskinan rumah tangga nelayan b. Mengidentifikasi konsep program pembangunan responsif gender c. Mengidentifikasi konsep ketidakadilan gender d. Menganalisis ketidakadilan gender dalam pembangunan dan dampaknya pada kemiskinan rumah tangga nelayan Metode Penulisan Metode penulisan studi pustaka ini adalah penelaahan serta analisis data sekunder yang relevan dengan topik studi pustaka. Hal pertama yang dilakukan yaitu pengumpulan berbagai data sekunder berupa hasil penelitian, seperti jurnal, skripsi, dan buku-buku terkait ketimpangan gender dalam program pembangunan dan kemiskinan rumah tangga nelayan. Data sekunder yang diperoleh selanjutnya dibaca dan diringkas. Setelah diringkas mengenai teori, data dan hasil penelitian kemudian dianalisis. Selanjutnya teori, data dan hasil penelitian tersebut dirangkum dan dibahas. Terakhir disimpulkan menjadi satu tulisan yang utuh. 1 Efianingrum A. 2008. Pendidikan dan Pemajuan Perempuan: Menuju Keadilan Gender. Jurnal Fondasia. Yogyakarta 4 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : NELAYAN INDONESIA DALAM PUSARANKEMISKINAN STRUKTURAL (PERSPEKTIF SOSIAL, EKONOMI DAN HUKUM) : 2013 : Jurnal : elektronik : Endang Retnowati ::: Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara : Perspektif : Vol. XVI No. 3 edisi Mei : http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/2012070813103 82587/12.pdf :14 Maret 2015 Ringkasan : Indonesia sebagai Negara Kepulauan, yang luas wilayahnya 70% merupakan wilayah lautan. Di wilayah lautan ini terkandung potensi ekonomi kelautan yang sangat besar dan beragam, antara lain sumber daya ikan. Sedikitnya terdapat 13 (tiga belas) sektor yang ada di lautan, yang dapat dikembangkan serta dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian dan kemakmuran masyarakat Indonesia, yaitu meliputi: a. Perikanan tangkap, b. Perikanan budidaya, c. Industri pengolahan hasil budidaya, d. Industri bioteknologi kelautan, e. Pertambangan dan energi, f. Pariwisata bahari, g. Transportasi laut, h. Industri dan jasa maritim, i. Pulau-pulau kecil, j. Sumber daya nonKonvensional, k. Bangunan kelautan, l. Benda-benda berharga dan warisan budaya, m. Jasa lingkungan Konversi dan Biodiversitas. Dengan melimpahnya sumber daya ikan maka seharusnya pendapatan nelayan sangatlah memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun dalam realita, kemiskinan masih banyak melanda kehidupan nelayan. Dari sisi ekonomi hasil tangkapan nelayan masih jauh dari memadahi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini disebabkan karena minimnya modal yang dimiliki nelayan, tekanan dari pemilik modal, sistem bagi hasil yang tidak adil, perdagangan ikan yang dikuasai tengkulak dan otoritas tidak punya wibawa untuk mengatur dan menegakkan aturan, serta pola atau budaya kerja yang masih apa adanya. Kondisi kemiskinan yang dialami nelayan menyebabkan mereka rentan konflik dan hanya menjadi objek. Hukum yang seharusnya memberikan perlindungan ternyata juga tidak optimal. Dalam UndangUndang Perikanan hanya ada 2 ayat dalam pasal 1 yang mengatur nelayan, itu pun hanya ayat yang memberikan pengertian nelayan dan nelayan kecil. Bahkan pengertian itu pun berbeda dengan pengertian nelayan tradisional dalam penjelasan pasal 18 (6) Undang-Undang Pemerintahan Daerah serta dalam realitasnya. Perbedaan pengertian ini berdampak pada nelayan. Keberadaan nelayan secara sosial dan ekonomi, dalam arti jumlah nelayan di Indonesia rata-rata didominasi oleh nelayan penggarap dan nelayan kecil atau nelayan tradisional. Hasil penelitian di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Lekok kabupaten Pasuruan jumlah nelayan sebanyak 6.797 orang, yang merupakan nelayan penggarap, 5 nelayan kecil dan nelayan tradisional (BPPI Lekok, 2000). Pembahasan tentang nelayan khususnya nelayan kecil atau tradisional sangat terkait pula dengan sistem kerja mereka. Pada umumnya jam kerja mereka relatif singkat biasanya cukup satu hari saja (one day fishing). Kondisi atau kebiasaan semacam ini berdampak pada hasil tangkapan yang tidak optimal sehingga mengakibatkan tingkat produksi rendah dan pendapatan mereka juga tidak optimal yang mengakibatkan kemiskinan nelayan. Sistem kerja one day fishing antara lain juga disebabkan kapal dan alat tangkap ikan yang mereka gunakan terbatas, selain itu budaya kerja yang hanya satu hari rupanya sudah menjadi kebiasaan. Sehingga program pemerintah dengan peningkatan ukuran kapal dan perubahan pola penangkapan dari satu hari menjadi lebih nampaknya susah untuk dilaksanakan. Kondisi seperti ini menjadi kendala pula dalam kaitannya dengan pendataan maupun pembinaan yang dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Analisis: Dari jurnal ini tidak terdapat bagian metodelogi, jurnal ini membahas dari beberapa literatur-literatur. Dari jurnal ini dikemukakan mengenai penyebab-penyebab kemiskinan nelayan di Indonesia seperti, penyebab individual, keluarga, subbudaya, agensi maupun struktural saling berkaitan. Menurut Kusnadi, sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada nelayan adalah: a. belum adanya kebijakan, strategi dan implementasi program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu di antara para pemangku kepentingan pembangunan. b. adanya inkonsistensi kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan terganggu. Hal ini disebabkan oleh kondisi sumber daya perikanan telah mencapai kondisi “over fishing”, musim paceklik yang berkepanjangan, dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). c. masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia, yang mengganggu mobilitas sosial ekonomi. d. adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya. e. adanya relasi sosial ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik perahu, pedagang perantara (tengkulak), atau pengusaha perikanan dalam kehidupan masyarakat nelayan. f. adalah rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas mereka. Pada umumnya jam kerja mereka relatif singkat biasanya cukup satu hari saja (one day fishing). Kondisi atau kebiasaan semacam ini berdampak pada hasil tangkapan yang tidak optimal sehingga mengakibatkan tingkat produksi rendah dan pendapatan mereka juga tidak optimal yang mengakibatnya kemiskinan nelayan. Sistem kerja one day fishing antara lain juga disebabkan kapal dan alat tangkap ikan yang mereka gunakan terbatas, selain itu budaya kerja yang hanya satu hari rupanya sudah menjadi kebiasaan. Budaya kerja Pendapatan rendah Kemiskinan Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1. 6 Tabel 1. Daftar Variabel Jurnal 1 Variabel Sub Variabel Budaya kerja Kerja one day fishing Pendapatan rendah Tingkat produksi rendah Kemiskinan Kebutuhan yang tidak terpenuhi 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh Fakta Pendukung Pada umumnya jam kerja mereka relatif singkat biasanya cukup satu hari saja (one day fishing) dan sudah menjadi kebiasaan. Sistem kerja ini juga disebabkan karena kapal dan alat tangkap ikan yang terbatas. Kebiasaan sistem kerja one day fishing ini berdampak pada hasil tangkapan yang tidak optimal sehingga mengakibatkan tingkat produksi rendah. Kemiskinan masih banyak melanda kehidupan nelayan. Dari sisi ekonomi hasil tangkapan nelayan masih jauh dari memadahi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. : PENYEBAB KEMISKINAN RUMAH TANGGA NELAYAN DI WILAYAH TANGKAP LEBIH JAWA TIMUR : 2011 : Jurnal : Elektronik : Anas Tain ::: Malang: Universitas Muhammadiyah : Humanity : Volume 7 Nomer 1 : http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/arti cle/view/1401 : 24 april 2015 Ringkasan : Dari masa ke masa, pergulatan masyarakat nelayan melawan ketidakpastian kehidupan khususnya bagi yang melakukan penangkapan di wilayah perairan yang sudah dalam keadaan tangkap lebih (overfishing), terus menggeliat. Kemiskinan nelayan dinilai meluas dengan tingkat kedalaman kemiskinan yang memprihatinkan. Diperlukan analisis kultural dan struktural secara simultan untuk memberi jalan keluar dalam pengentasan kemiskinan nelayan dan pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan pemerintah Indonesia. Menurut Kusnadi (2002), setelah seperempat abad kebijakan modernisasi perikanan dilaksanakan tingkat kesejahteraan hidup nelayan tidak banyak berubah secara substantif. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni melebarnya kesenjangan sosial ekonomi antar kelompok sosial dalam masyarakat nelayan dan meluasnya kemiskinan. Besarnya potensi sumberdaya perikanan laut Jawa Timur untuk Laut Pantai Utara dengan luas 65.537 km2 memiliki potensi lestari sebesar 214.970,8 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim, 2006). Dengan menggunakan data produksi perikanan 7 dan besarnya potensi lestari, sejak tahun 2000 produksi ikan wilayah Pantai Utara Jawa Timur telah melampaui batas potensi lestari, dan produktifitas nelayan relative tetap dan telah mencapai puncaknya pada tahun 2001 (Tain, 2007). Melihat fenomena kemiskinan nelayan yang tetap belum berhasil dientaskan selama ini, diperlukan kajian mendalam secara simultan dari aspek kultural, structural dan sifat sumberdaya perikanan laut. Masalah utama penelitian faktor dominan apakah yang menyebabkan kemiskinan rumah tangga nelayan kecil di wilayah tangkap lebih Jawa Timur? Sehingga dari generasi ke generasi rumah tangga nelayan kecil terus terbelenggu dalam kemiskinan. Kemiskinan pada rumah tangga nelayan setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk kemiskinan berdasarkan faktor pembentuknya. Pertama, kemiskinan struktural. Kemiskinan ini diderita oleh segolongan nelayan karena kondisi struktur sosial yang ada menjadikan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan kebijakan yang lebih menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar). Kedua, kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan terjadi karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai-nilai lokal yang memang tidak kondusif bagi suatu kemajuan. Ketiga, kemiskinan alamiah terjadi di mana kondisi alam yang tidak mendukung mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif ataupun perilaku produksi yang tidak produktif akibat sifat sumberdaya yang bersangkutan. Tabel 2. Hasil analisis faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan Faktor Total Initial Eigenvalues % of 7.603 3.361 2.557 2.258 2.100 1.856 1.673 1.599 1.526 1.399 1.337 1.222 1.124 1.050 1.024 Variance 17.280 7.638 5.811 5.131 4.773 4.218 3.803 3.633 3.469 3.179 3.039 2.776 2.554 2.387 2.327 Cumulative 1. Kelembagaan yang merugikan nelayan kecil 2. Program yang tidak memihak nelayan kecil 3. Pandangan hidup yang berorientasi akherat 4. Keterbatasan sumberdaya 5. Ketidak sesuaian alat tangkap 6. Rendahnya investasi 7. Terikat utang 8. Perilaku boros 9. Keterbatasan musim penangkapan 10. Kerusakan ekosistem 11. Penyerobotan wilayah tangkap 12. Lemahnya penegakan hukum 13. Kompetisi untuk mengungguli nelayan lain 14. Penggunaan alat/bahan terlarang 15. Perilaku penangkapan 17.28 24.91 30.72 35.86 4 0.63 4 4.85 4 8.65 5 2.28 55.75 58.93 6 1.97 6 4.74 67.30 6 9.69 7 2.01 Ke-15 faktor sebagaimana tampak pada Tabel 1 di atas mampu menjelaskan sebesar 72,017 persen terhadap keseluruhan faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan. Faktor yang memiliki nilai eigenvalue lebih tinggi berarti faktor tersebut sifatnya lebih dominan dibanding faktor lainnya. Dengan demikian faktor kelembagaan merupakan faktor paling dominan sebagai penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan motor tempel di wilayah tangkap lebih Jawa Timur dengan daya menjelaskan sampai 17,280 persen. Persoalan kelembagaan ini utamanya terletak pada aspek kelembagaan pemasaran, kegiatan penangkapan dan bagi hasil. Dalam memasarkan hasil tangkapan, posisi tawar nelayan sangatlah lemah. Para nelayan mayoritas telah terikat kepada 8 pedagang perantara (agen) kreditur mereka, dan terpaksa menerima berapapun harga yang diberikan. Nelayan yang tidak terikat utang pun tidak berdaya. Faktor dominan kedua, penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan kecil adalah program yang tidak memihak nelayan kecil. Berbagai program pembangunan perikanan selama ini dirasa tidak menguntungkan nelayan kecil serta mendorong ekploitasi berlebih atas sumberdaya perikanan yang ada. Bahwa program modernisasi perikanan dirasa lebih menguntungkan nelayan besar dan kurang memperhatikan/merugikan nelayan kecil. Modernisasi peralatan tangkap hanya bisa dinikmati oleh nelayan besar yang memiliki modal kuat dan akses ke pemegang kekuasaan. Sementara kebijakan pemerintah yang mengejar peningkatan produktivitas seringkali mengabaikan kepentingan nelayan kecil. Lebih lanjut hal ini menjadikan kehidupan rumah tangga nelayan kecil semakin terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Tindjabate (2001) di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah yang menunjukkan bahwa proses pemiskinan terhadap nelayan tradisional, terjadi dalam konteks kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam penyelenggaraan pembangunan subsektor perikanan laut. Analisis : Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian survei. Penelitian survai dapat digunakan untuk maksud: (a) penjajagan (eksploratif), (b) deskriptif, (c) penjelasan (explanatory atau confirmatory) untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesis, (d) evaluasi, (e) prediksi atau meramalkan kejadian tertentu di masa yang akan datang, (f) penelitian operasional, dan (g) pengembangan indikator-indikator sosial. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Multi Stage Cluster Sampling. Terdapat 15 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan kecil di wilayah tangkap lebih yaitu faktor : kelembagaan yang merugikan nelayan kecil, program yang tidak memihak nelayan kecil, pandangan hidup yang berorientasi akherat saja, keterbatasan sumberdaya, ketidak sesuaian alat tangkap, rendahnya investasi, terikat utang, perilaku boros, keterbatasan musim penangkapan, kerusakan ekosistem, penyerobotan wilayah tangkap, lemahnya penegakan hukum, kompetisi untuk mengungguli nelayan lain, penggunaan alat/ bahan terlarang serta perilaku penangkapan. Ke-15 faktor dominan tersebut mampu menjelaskan sebesar 72,017% terhadap keseluruhan faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan. Dari 15 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan dapatlah diketahui bahwa pada hakekatnya kemiskinan yang membelenggu rumah tangga nelayan adalah kemiskinan yang menyangkut multidimensi. 1.Kelembagaan yang merugikan nelayan kecil 2.Program yang tidak memihak nelayan kecil 3.Pandangan hidup yang berorientasi akherat 4.Keterbatasan sumberdaya 5.Ketidaksesuaian alat tangkap 6.Rendahnya investasi 7.Terikat utang 8.Perilaku boros 9.Keterbatasan musim penangkapan 10.Kerusakan ekosistem 11.Lemahnya penegakan hukum 13.Kompetisi untuk mengungguli nelayan lain 14.Penggunaan alat/bahn terlarang 15.Perilaku penangkapan Kemiskinan struktural Kemiskinan kultural KEMISKINAN Kemiskinan alamiah 9 Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2. Tabel 3. Daftar Variabel Jurnal 2 Variabel Sub Variabel Penyebab kemiskinan 15 sub variabel penyebab kemiskinan Kemiskinan -Kemiskinan struktural - Kemiskinan kultural - Kemiskinan alamiah 3. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh Ringkasan : Fakta Pendukung Ke-15 faktor tersebut mampu menjelaskan sebesar 72,017 persen terhadap keseluruhan faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan. Salah satu faktornya adalah program yang tidak memihak petani kecil. Kebijakan pemerintah yang mengejar peningkatan produktivitas seringkali mengabaikan kepentingan nelayan kecil. -Kemiskinan struktural karena kondisi struktur sosial yang ada menjadikan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan kebijakan yang lebih menguntungkan golongan tertentu -Kemiskinan kultural karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai-nilai -Kemiskinan alamiah terjadi di mana kondisi alam yang tidak mendukung melakukan kegiatan ekonomi produktif : STRATEGI RUMAH TANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN : 2013 : Jurnal : elektronik : Reki Hariansyah ::: Tanjungpinang : Universitas Maritim Raja Ali Haji : : :http://jurnal.umrah.ac.id/wp content/uploads/2013/08/JURNALREKIHARIANSYAH-090569201020SOSIOLOGI-2013.pdf :14 Maret 2015 10 Nelayan merupakan karakteristik masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dilaut (Satria, 2002:25). Menurut Kusnadi (2002:4) nelayan merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat kesejahteraan paling rendah. Dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah masyarakat paling miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya. Melimpahnya potensi hayati yang dikandung oleh laut disekitar tempat komunitas nelayan bermukim, seyogyanya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan secara finansial dan belum sejahtera, sehingga membuat para nelayan tetap berada pada kubangan kemiskinan. Hasil dari pekerjaan menjadi seorang nelayan yang menggantungkan hasil laut tentunya tidak bisa di prediksi oleh rumah tangga nelayan untuk mampu memberikan pemasukan yang cukup bagi rumah tangga nelayan. Melihat hal tersebut umumnya para nelayan menjalankan strategi-strategi dalam mengatasi kemiskinan yang terus membayangi kehidupan rumah tangga nelayan yang meliputi : Peran Anggota Keluarga, Jaringan Sosial, Diversifikasi Pekerjaan, serta Migrasi. 1) Peran Anggota Keluarga Dalam mengatasi kemiskinan yang terus membayangi kehidupan rumah tangga nelayan, anggota keluarga nelayan berusaha mengoptimalkan peran tenaga kerja anggota keluarga. Salah satunya dapat dilihat dari peran istri nelayan yang membantu dalam bekerja yang tentunya turut membantu perekonomian Bentuk kegiatan yang dilakukan salah satu anggota keluarga yakni istri nelayan untuk membantu bekerja diantaranya melakukan aktifitas menoreh getah, bekerja paruh waktu dan juga membuka usaha warung kecil-kecilan di lahan rumah sendiri. 2) Jaringan Sosial Jaringan sosial dimanfaatkan nelayan sebagai salah satu strategi dalam menghadapi kemiskinan. Nelayan biasanya memanfaatkan jaringan sosial tersebut untuk meminjam uang kepada patron atau penampung ikan tersebut apabila ekonomi keluarga sedang sulit. Akan tetapi, hasil ikan yang didapat oleh nelayan harus dijual kepada penampung ikan tersebut dan menjadi langganan tempat penjualan hasil laut tersebut dan harga pasarannya telah ditentukan oleh pengumpul ikan itu sendiri dan tentunya hal tersebutlah yang menjadi ketergantungan nelayan kepada pemilik modal yang memanfaatkan nelayan guna mendapat hasil ikan dan dengan harga yang relatif murah. 3). Diversifikasi Pekerjaan Diversifikasi pekerjaan tentu saja erat hubungannya dengan kehidupan umum pada nelayan karena tentunya merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh nelayan dalam mengatasi kemiskinan. Etos kerja merupakan salah satu hal yang mempengaruhi nelayan untuk mampu mengkombinasikan pekerjaan dengan pekerjaan pokoknya yakni sebagai seorang nelayan karena etos kerja tentunya berpengaruh pada kerja keras nelayan sebagai pencari nafkah utama keluarga yang tentunya harus mampu memberikan pemasukan ekonomi yang cukup bagi keluarga sekaligus untuk mampu mengatasi kemiskinan, dan hal tersebutlah yang tentunya mendasari beberapa nelayan yang melakukan beragam pekerjaan selain sebagai seorang nelayan. 4). Migrasi Kebiasaan para nelayan biasanya melakukan migrasi untuk memperoleh hasil laut yang baik, nelayan biasanya melakukan migrasi sirkuler ke daerah perairan lain untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik, dan pada dasarnya bentuk migrasi sirkuler yang dilakukan nelayan ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan 11 nelayan dalam berusaha memperbaiki hasil tangkapan yang diperuntukkan untuk menambah jumlah penghasilan bagi keluarga. Analisis : Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kualitatif, yang berusaha menggambarkan usaha-usaha masyarakat nelayan dalam mengatasi kemiskinan melalui metode studi kasus. Masyarakat yang peneliti kaji dalam penelitian mengenai strategi rumah tangga dalam mengatasi kemiskinan ini yaitu masyarakat nelayan yang berlokasi di pesisir Desa Lubuk, Kecamatan Kundur, pemilihan lokasi oleh peneliti dikarenakan Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Desa Lubuk kurang mendapat perhatian pemerintah baik dari segi bantuan usaha nelayan maupun peran aktif untuk berperan memberdayakan ekonomi masyarakat nelayan. Dalam jurnal tidak dijelaskan berapa responden yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi rumah tangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan di Desa Lubuk Kecamatan Kundur Kabupaten Karimun adalah: 1. Peranan anggota keluarga yakni istri nelayan yang mempunyai inisiatif untuk membantu suami bekerja menambah penghasilan keluarga 2. Adanya jaringan sosial yang berupa jaringan kepentingan yang diciptakan nelayan melalui hubungan timbal balik dengan semua orang yang mereka kenal. 3. Kombinasi pekerjaan atau bisa disebut menggeluti pekerjaan lain selain pekerjaan utama sebagai seorang nelayan. 4. Melakukan migrasi kedaerah lain untuk melakukan aktifitas menangkap ikan dan untuk memperbaiki hasil. Dari hasil penelitian tersebut salah satu strategi nafkah rumah tangga nelayan adalah peranan anggota keluarga yakni istri yang dapat membantu pendapatan keluarga. Namun peneliti tidak menjelaskan secara rinci peran, kontribusi dan alokasi kerja perempuan dalam menjalankan strategi nafkah rumah tangga nelayan tersebut. Strategi nelayan Kemiskinan Peranan anggota keluarga Jaringan sosial Kombinasi pekerjaan Migrasi Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3. Tabel 4. Daftar Variabel Jurnal 3 Variabel Sub Variabel Kemiskinan -Pendapatan rendah Strategi nelayan - Peranan anggota keluarga - Jaringan sosial Fakta Pendukung Hasil dari pekerjaan menjadi seorang nelayan yang menggantungkan hasil laut tentunya tidak bisa di prediksi oleh rumah tangga nelayan untuk mampu memberikan pemasukan yang cukup bagi rumah tangga nelayan, sehingga membuat para nelayan berada pada kubangan kemiskinan. - Peranan anggota keluarga yakni istri nelayan dalam membantu suami bekerja menambah penghasilan keluarga 12 - Kombinasi Pekerjaan - Migrasi 4. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh -Adanya jaringan sosial yang diciptakan nelayan melalui hubungan timbal balik dengan semua orang yang mereka kenal. - Kombinasi pekerjaan atau bisa disebut menggeluti pekerjaan lain selain pekerjaan utama sebagai seorang nelayan. - Melakukan migrasi kedaerah lain untuk melakukan aktifitas menangkap ikan dan untuk memperbaiki hasil. : DAMPAK PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI KABUPATEN JAYAPURA :: Jurnal : elektronik : Istiana Hermawati :::: Jurnal penelitian dan Evaluasi Pendidikan :: http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc =s&source=web&cd=1&ved=0CBwQFjAA&url= http%3A%2F%2Fjournal.uny.ac.id%2Findex.php %2Fjpep%2Farticle%2Fdownload%2F1110%2F8 92&ei=97s5Vf3PPMLRmwWHmYHIBQ&usg=A FQjCNEYMlU7urh16MfKhjiFw1InJGjfRg&sig2 =BNyqrNNOmbzwGjVI2-H3Vw :23 Maret 2015 Ringkasan : Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan multidimensi serta memiliki dampak sangat luas terhadap kualitas hidup manusia. Masalah kemiskinan selalu ditandai dengan adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Pada masyarakat miskin, kondisi ini diperparah manakala para pembuat kebijakan dan program mengabaikan perbedaan kondisi dan kemampuan berbagai elemen masyarakat di dalamnya, termasuk laki-laki maupun perempuan, karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak ekonomi, sosial, politik dan kesempatan yang sama untuk peningkatan diri dan kesejahteraan hidupnya. Muttaqien (2006:3) mengungkapkan, bahwa kemiskinan menyebabkan efek yang hampir sama di semua negara. Kemiskinan menyebabkan: (1) Hilangnya kesejahteraan bagi kalangan miskin (sandang, pangan, papan), (2) Hilangnya hak akan pendidikan, (3) Hilangnya hak akan kesehatan, (4) Tersingkirnya dari pekerjaan yang layak secara kemanusiaan, (5) Termarjinalkannya dari hak atas perlindungan hukum, (6) Hilangnya hak atas rasa aman, (7) Hilangnya hak atas 13 partisipasi terhadap pemerintah dan keputusan publik, (8) Hilangnya hak atas psikis, (9) Hilangnya hak untuk berinovasi, dan (10) Hilangnya hak atas kebebasan hidup. Dalam konteks pengentasan kemiskinan di Indonesia, berbagai upaya untuk menanggulangi masalah kemiskinan sudah lama dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui berbagai program. Namun setelah program penanggulangan kemiskinan yang ada dievaluasi oleh Bapenas pada tahun 2004, diperoleh kesimpulan bahwa programprogram tersebut belum membuahkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Hal ini mengindikasikan belum efektifnya sebagian besar program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah. Ditinjau dari sisi metodologi, kegagalan program pengentasan kemiskinan menurut Dawam Raharjo (2006:xvi) adalah karena kesalahan dalam mendefinisikan konsep kemiskinan, sehingga implikasi metodologis dalam mengukur kemiskinan menjadi bias. Memperkuat pendapat Dawam Raharjo, Amelia Maika (2009) dalam disertasinya tentang ‘Mengukur Kemiskinan Subyektif di Indonesia’ mengemukakan, bahwa indikator ekonomi bukan satu-satunya metode untuk mengukur kemiskinan. Jika kemiskinan didefinisikan sebagai hasil penilaian individu terhadap kesejahteraannya, maka pengukuran subjektif perlu diperhatikan. Pengukuran subyektif tentang kemiskinan yang dimaksud adalah bagaimana si miskin menilai kemiskinan dari sudut pandang mereka sehingga posisi si miskin menjadi jelas. Secara obyektif, 56,6% subyek penelitian dalam kategori miskin karena memiliki penghasilan di bawah standar KFM Kab. Jayapura (Rp.600.000,-) per bulan. Secara subyektif, sebelum menerima program pengentasan kemiskinan, 63% subyek penelitian menyatakan dirinya dalam keadaan miskin dan setelah mengikuti program 58,91% subyek penelitian menyatakan dalam keadaan cukup. Fenomena Kemiskinan di Kab.Jayapura sangat spesifik, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non ekonomi. Hasil analisis membuktikan, bahwa konstruk kemiskinan lokal di Kab. Jayapura berhasil direpresentasikan secara signifikan oleh indikator pembentuknya, yaitu ekonomi, sosial, psikis dan budaya. Program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Jayapura terbukti memiliki dampak secara signifikan terhadap peningkatan aspek ekonomi, sosial, psikis dan budaya dalam kehidupan subyek penelitian: a. Dari aspek ekonomi, hasil uji beda menunjukkan bahwa pendapatan subyek penelitian sebelum dan setelah mengikuti program pengentasan kemiskinan mengalami peningkatan secara signifikan, baik untuk program keseluruhan maupun untuk masingmasing program (KUBE/PPK). b. Hasil analisis membuktikan, bahwa dukungan faktor/dimensi terhadap variabel dampak, untuk Program PPK relatif lebih besar dibandingkan Program KUBE. Ini mengindikasikan, bahwa Program PPK (program lokal) relatif lebih efektif untuk mengentaskan masalah kemiskinan di Kabupaten Jayapura dibandingkan Program KUBE (program sektoral). Analisis : Penelitian ini bertujuan untuk (1) menemukan indikator kemiskinan lokal yang komprehensip, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif di Kabupaten Jayapura; (2) menemukan konstrak yang tepat untuk mengukur indikator kemiskinan lokal; (3) mengetahui besarnya pengaruh proses intervensi dan kualitas program terhadap dampak program pengentasan kemiskinan; (4) menemukan konstrak dampak program pengentasan kemiskinan beserta faktor-faktor pendukungnya; dan (5) menemukan bentuk dampak yang dihasilkan dari penerapan program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Jayapura, baik secara ekonomi, sosial, psikis dan budaya. Populasi penelitian ini adalah seluruh keluarga miskin di Kabupaten Jayapura yang ditentukan 14 dengan teknik multistage cluster random sampling. Sedangkan populasi sampel atau subyek penelitian ini adalah keluarga miskin peserta program sektoral (Program KUBE Fakir Miskin dari Kementerian Sosial RI) dan program lokal (Program Pemberdayaan Kampung/PPK dari Pemda Jayapura) periode 2006-2008. Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik kuantitatif dan kualitatif, kedua teknik ini digunakan secara simultan. penelitian ini mengambil setting di Propinsi Papua, khususnya di Kabupaten Jayapura. Hal ini karena Propinsi Papua menurut data BPS (beberapa tahun terbitan) merupakan propinsi dengan angka kemiskinan terbesar di Indonesia (40,83% pada tahun 2005, 41,52% pada tahun 2006, dan 41,33% pada tahun 2008). Sementara angka kemiskinan di Kabupaten Jayapura menempati urutan terbanyak ketiga di Propinsi Papua setelah Kabupaten Merauke dan Kabupaten Jayawijaya. Hasil penelitian yaitu (1) subyek penelitian dalam kategori miskin karena memiliki penghasilan di bawah standar kebutuhan fisik minimum (KFM) Kabupaten Jayapura, (2) konstrak indikator kemiskinan lokal meliputi faktor ekonomi, sosial, psikis dan budaya, (3) Proses intervensi dan kualitas program untuk program keseluruhan terbukti berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap dampak program, (4) konstrak proses intervensi ditentukan oleh indikator engagement, assessment, designing, implementation, evaluation dan termination, (5) Program pengentasan kemiskinan berdampak secara signifikan terhadap peningkatan aspek ekonomi, sosial, psikis dan budaya dalam kehidupan subyek penelitian. di Kabupaten Jayapura dibandingkan program sektoral (KUBE). Penghasilan dibawah standar KFM Kab. Jayapura (objektif) Program tidak responsif gender Kemiskinan Belum mendapat program pengetasan kemiskinan (subjektif) Upaya penanggulanan melalui program pembangunan yang responsif gender Peningkatan aspek ekonomi, sosial, psikis dan budaya Gambar 4. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4. 15 Tabel 5. Daftar Variabel Jurnal 4 Variabel Sub Variabel Program tidak responsif gender Kemiskinan - Kemiskinan objektif - Kemiskinan subjektif Program responsif gender 5. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh Fakta Pendukung Program yang mengabaikan perbedaan kondisi dan kemampuan berbagai elemen masyarakat di dalamnya, termasuk laki-laki maupun perempuan, dapat menyebabkan kemiskinan. Karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak ekonomi, sosial, politik dan kesempatan yang sama untuk peningkatan diri -Kemiskinan objektif akibat penghasilan dibawah standar KFM Kab. Jayapura -Kemiskinan subjektif akibat belum mendapat program pengetasan kemiskinan Program yang responsif gender dapat meningkatan aspek ekonomi, sosial, psikis dan budaya sehingga mampu menanggulangi kemiskinan : INTEGRASI GENDER DALAM PENGUATAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR :: Jurnal : elektronik : Rita Nur Suhaeti dan Edi Basuno ::: Bogor : Badan Litbang Pertanian ::: http://download.portalgaruda.org/article.php?articl e=13006&val=926 :24 Maret 2015 Ringkasan : Setelah Otonomi Daerah diberlakukan sejak tahun 2001, terjadi perubahan paradigma pembangunan, yaitu dari yang berorientasi sentralistik ke arah desentralisasi. Perubahan tersebut tentunya membawa konsekuensi yaitu: pemerintah harus memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut menentukan berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan berbagai permasalahan dan kebutuhan daerah setempat. Dari sisi pemerintah, dalam rangka memberikan fasilitasi kepada masyarakat sering tidak dilandasi oleh hasil-hasil identifikasi faktor-faktor penyebab yang berbasis gender. Banyak kalangan yang menilai pembangunan yang berjalan hingga saat ini masih netral gender, artinya masih banyak ketimpangan atau kesenjangan hubungan relasi antara berbagai pihak gender 16 terutama antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh haknya. Muncul berbagai penilaian bahwa kedudukan dan peran perempuan masih berada pada posisi termarjinalkan, tersubordinasi atau bahkan diperlakukan secara diskriminatif, selain berbagai tindak kekerasan lainnya. Khusus di sektor pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan, kontribusi perempuan di sektor ini sangat signifikan, baik dalam proses produksi, panen maupun pascapanen. Peran tersebut mampu memberikan sumbangan yang besar bagi penghasilan keluarga dan kegiatannya dapat direpresentasikan. Jumlah dan curahan waktu perempuan dalam kegiatan rumah tangga pada umumnya lebih tinggi dari curahan tenaga kerja laki-laki. Argumentasinya, karena perempuan merupakan penanggungjawab pekerjaan domestik (pengaturan rumah tangga) yang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Pekerjaan rumah tangga tersebut dilakukan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan mencari nafkah. Peran ganda inilah yang menyebabkan mobilitas tenaga kerja perempuan terbatas (Sajogyo, 1987). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa ketimpangan gender masih terjadi di desa di Kabupaten Cirebon dan di Kabupaten Buton. Ketimpangan terjadi terutama dalam sektor domestik yang secara dominan masih menjadi ranah (domain) perempuan. Dari alokasi waktu yang dicurahkan, kondisi laki-laki lebih baik, demikian pula waktu senggang laki-laki lebih banyak. Hal ini dapat mengarah kepada ketidakadilan gender dalam arti salah satu pihak bisa saja dirugikan. Walaupun demikian, di kedua lokasi kajian belum terdapat tanda terjadi ketidakadilan gender karena pihak perempuan belum merasa dirugikan dan merasa bahwa pekerjaan domestik adalah kodratnya. Dengan demikian semua anggota keluarga termasuk perempuan dapat berpartisipasi lebih baik dalam sektor publik dan sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, perempuan dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Pengarusutamaan gender di kedua lokasi kajian baru dilakukan dalam tahapan sosialisasi di kalangan yang sangat terbatas. Diperlukan waktu dan alokasi dana khusus untuk melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai wujud pengintegrasian berbagai permasalahan, pengalaman dan kebutuhan gender ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan aktivitas monitoring dan evaluasi terhadap berbagai penguatan ekonomi masyarakat lokal kawasan pesisir dan pantai. Fasilitasi forum koordinasi lintas sektor yang terkait dalam program pengembangan kawasan pesisir secara terpadu, guna mengatasi berbagai kesenjangan gender yang terjadi di Kabupaten Buton dan Cirebon baru dilakukan untuk tiga unit instansi yakni Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pemberdayaan Masyarakat serta Bagian atau Sub-bagian Pemberdayaan Perempuan, Biro Kesejahteraan Pemda masing-masing kabupaten. Pelatihan teknologi tepat guna yang sangat diperlukan dalam mengembangkan potensi sumber daya alam pesisir dan desa pantai di Kabupaten Buton dan Cirebon adalah berbagai pengolahan ikan tangkap. Misalnya, cara membuat ikan kering, baik asin atau tawar tanpa menggunakan berbagai pestisida yang berbahaya, cara membuat ikan pindang yang rasanya lebih enak, cara mengupas rajungan dengan lebih mudah, budi daya rumput yang lebih baik dan sebagainya. Diharapkan kualitas hasil olahan menjadi lebih baik dan aman sehingga daya jualnya dapat ditingkatkan. Pelatihan tidak hanya menyangkut teknis pengolahan, tetapi juga menyertakan sistem manajemen usaha. Masyarakat pesisir pada umumnya menunggu uluran tangan pihak luar untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Proyek PEMP dari DKP yang dimulai tahun 2001 bertujuan untuk mengatasi kesulitan modal masyarakat pesisir dalam melakukan usahanya. Modal hanya merupakan salah satu masalah dari banyak masalah, sehingga ketersediaan modal harus dibarengi oleh usaha-usaha lain agar masyarakat menjadi berdaya. Mengingat kompleksnya permasalahan pengembangan desa pantai, maka 17 kontribusi KPP di dalam pengembangan ekonomi wilayah tersebut dapat dilakukan melalui program pendampingan kelompok yang selama ini telah dibina oleh pihak DKP. Sedangkan partisipasi dari unit kerja lain tetap diperlukan sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Fokus kontribusi KPP pada pendampingan kelompok dalam rangka mewujudkan kelompok yang mandiri merupakan pilihan tepat mengingat kemandirian merupakan bukti masyarakat yang berdaya. Dengan menjadi berdaya, masyarakat tersebut akan mampu untuk menolong dirinya sendiri dengan kekuatan yang dimilikinya. Pendampingan kelompok merupakan suatu proses, sehingga berbagai tahapan pendampingan perlu diikuti meskipun hasilnya tidak dapat dilihat dalam waktu yang singkat. Berbagai aspek mempengaruhi lamanya pendampingan, seperti kondisi kelompok pada saat awal pendampingan, kualitas fasilitator, dukungan aparat terkait di lokasi dsb. Analisis : Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara dengan nara sumber dan petani responden melalui pendekatan Focused Group Discussion (FGD) serta pengumpulan data profil dan monografi desa. Kegiatan FGD dilakukan dalam dua tingkatan, yakni tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan/desa. Kajian ini dilakan di empat desa di Kabupaten Cirebon dan di dua desa di Kabupaten Buton. Untuk Kabupaten Cirebon, kajian dilakukan di Kecamatan Mundu dengan empat desa sebagai berikut: (1) Desa Mundu Pesisir, (2) Desa Citemu, (3) Desa 6 Waruduwur dan (4) Desa Bandengan. Untuk Kabupaten Buton, kajian dilakukan di Kecamatan Lakudo, yakni di Desa Madongka dan Desa Wanepa-nepa. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa ketimpangan gender masih terjadi di desa di Kabupaten Cirebon dan di Kabupaten Buton. Ketimpangan terjadi terutama dalam sektor domestik yang secara dominan masih menjadi ranah (domain) perempuan. Dari alokasi waktu yang dicurahkan, kondisi laki-laki lebih baik. Hasil penangkapan ikan oleh para nelayan sebenarnya cukup, namun karena pengelolaan keuangan yang kurang baik menyebabkan para nelayan dan keluarga di lokasi penelitian terlihat kurang sejahtera. Pengarusutamaan gender di kedua lokasi kajian baru dilakukan dalam tahapan sosialisasi di kalangan yang sangat terbatas. Diperlukan waktu dan alokasi dana khusus untuk melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai wujud pengintegrasian berbagai permasalahan, pengalaman dan kebutuhan gender ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan aktivitas monitoring dan evaluasi terhadap berbagai penguatan ekonomi masyarakat lokal kawasan pesisir dan pantai. Fasilitasi forum koordinasi lintas sektor yang terkait dalam program pengembangan kawasan pesisir secara terpadu, guna mengatasi berbagai kesenjangan gender yang terjadi di Kabupaten Buton dan Cirebon baru dilakukan untuk tiga unit instansi yakni Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pemberdayaan Masyarakat serta Bagian atau Sub-bagian Pemberdayaan Perempuan, Pendampingan kelompok merupakan suatu proses, sehingga berbagai tahapan pendampingan perlu diikuti meskipun hasilnya tidak dapat dilihat dalam waktu yang singkat. Berbagai aspek mempengaruhi lamanya pendampingan, seperti kondisi kelompok pada saat awal pendampingan, kualitas fasilitator, dukungan aparat terkait di lokasi tersebut. 18 Sektor dosmetik dominan menjadi ranah perempuan Perbedaan alokasi waktu yang timpang Ketimpangan gender Pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan program yaitu dengan: (a) Sosialisasi, (b) advokasi dan (c) fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender Keberhasilan program Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5. Tabel 6. Daftar Variabel Jurnal 5 Variabel Sub Variabel Ketimpangan gender -Sektor dosmetik dominan menjadi ranah perempuan -Perbedaan alokasi waktu Pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan program Keberhasilan program -Sosialisasi -Advokasi -Fasilitasi Fakta Pendukung Ketimpangan terjadi terutama dalam sektor domestik yang secara dominan masih menjadi ranah (domain) perempuan. Dari alokasi waktu yang dicurahkan, kondisi laki-laki lebih baik, demikian pula waktu senggang laki-laki lebih banyak. Hal ini dapat mengarah kepada ketidakadilan gender dalam arti salah satu pihak bisa saja dirugikan. Dengan kurangnya pemahaman mengenai pengarusutamaan gender maka diperlukan sosialisasi dan advokasi. Selain itu fasilitasi forum koordinasi lintas sektor dalam program pengembangan kawasan pesisir secara terpadu Pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan program membuat keberhasilan program dapat tercapai 6. Judul : ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN (Studi Kasus: Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Klaten- Jawa Tengah) Tahun : 2008 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Siti Nurul Qoriah dan Titik Sumarti Nama Editor :Judul Buku :Kota dan nama penerbit : Bogor: Institut Pertanian Bogor Nama Jurnal : Jurnal Transdisiplin Sosiologi Volume(Edisi):hal : Volume 02 No 02 19 Alamat URL/doi Tanggal diunduh : http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/v iew/5884 : 23 April 2015 Ringkasan : Konsep ketahanan pangan berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1 ayat 17 menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercemin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Masalah ketahanan pangan, tidak terlepas dari masalah kemiskinan yang terjadi di Negara Indonesia. Untuk memperbaiki kondisi masyarakat pesedaan, maka dibutuhkan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas dalam luasan lahan atau melihat ukuran fisik saja, tetapi harus memperhatikan permasalahan sosial budaya masyarakat setempat. Langkah yang dilakukan pemerintah yaitu Departemen Pertanian adalah melaksanakan Program Desa Mandiri Pangan mulai 2006 di daerah-daerah yang dinyatakan sebagai daerah rawan pangan. Melalui Program Desa Mandiri Pangan, diharapkan masyarakat desa memiliki kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif setiap harinya. Dalam implementasinya, setiap kebijakan yang dilakukan oleh setiap instansi seyogyanya juga harus memperhatikan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini karena pembangunan nasional ditunjukan untuk seluruh penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Ini kemudian diperkuat dengan ditetapkan INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan Nasional. Tujuan Pengarusutamaan Gender adalah terselenggaranya kebijakan dan program pembangunan yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian, sering kali masih saja terjadi bias gender dalam program pembangunan dan sering kali yang menjadi korban adalah perempuan. Hasil survei yang dilakukan oleh Sumarti dkk (2007) terkait dengan pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di dua kabupaten menunjukan bahwa perempuan memiliki peran yang cukup besar. Perempuan tidak hanya melakukan pekerjaan reproduktif saja, tetapi juga melakukan pekerjaan produktif. Dari hasil penelitian menunjukan baik laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat dalam kegiatan pertanian. Namun, aktivitas yang banyak dilakukan laki-laki yaitu saat derep atau panen dan pengolahan lahan. Sedangkan perempuan terlibat dalam kegiatan penanaman atau nandur serta perawatan. Meskipun baik laki-laki dan perempuan terlibat dalam kegiatan pertanian tetapi terdapat perbedaan upah laki-laki mendapat upah Rp30.000 ditambah dengan rokok, kopi dan makan, sedangkan perempuan mendapatkan upah Rp25.000 dan makan. Pembedaan ini karena ada pandangan bahwa laki-laki memiliki tenaga lebih besar dan kuat daripada perempuan. Selain itu, kebanyakan perempuan di Desa Jambakan melakukan aktivitas menenun dan membuka warung untuk menopang kebutuhan rumah tangga. Hal ini karena pekerjaan tersebut dapat mereka kerjakan tanpa harus meninggalkan pekerjaan reproduktif seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan lain-lain. Analisis gender dalam Program Desa Mandiri Pangan dalam pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di tingkat kelompok dapat dilihat dari pengelolaan sumber daya kelompok. Dalam kelompok tenun, karena semua anggota adalah perempuan, maka dalam kepengurusan dikelola oleh perempuan. Begitu pula untuk kelompok ternak kambing, karena semua anggota laki-laki maka kepengurusan 20 kelompok dikelola laki-laki. Kelompok aneka usaha yang anggotanya laki-laki dan perempuan, kepengurusan dikelola oleh laki-laki dan perempuan. Perempuan menjadi sekretaris, hal ini karena ada pandangan bahwa pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan perempuan. Namun, dalam perjalanannya peran perempuan yang menjabat sebagai sekretaris itu digantikan oleh suaminya. Hal ini karena pengurus tersebut mengalami penurunan kesehatan. Pemilihan pengurus tersebut didasarkan atas penunjukan dari aparat desa bukan atas musyawarah kelompok. Pembagian kerja di tingkat kelompok masih didominasi oleh pengurus. Di tingkat rumah tangga baik penerima program dan bukan penerima program terjadi ketidakadilan gender yang termanifestasikan berupa beban kerja ganda pada perempuan. Program Desa Mandiri Pangan tidak mengubah pembagian kerja dalam rumah tangga. Secara umum akses terhadap sumber daya yang ada yaitu dana bantuan, pelatihanpelatihan dan manfaat yaitu jasa dan berkelompok, semua anggota memiliki kesempatan yang sama. Akan tetapi dalam kontrol terhadap sumber daya dan manfaat untuk kelompok tenun dan kelompok kambing masih didominasi oleh pengurus kelompok. Kelompok aneka usaha memiliki kontrol yang sama, hal ini karena setiap pengambilan keputusan didasarkan atas musyawarah antarkelompok, di tingkat rumah tangga akses dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat yang ada dimiliki oleh penerima program. Program Desa Mandiri Pangan telah memenuhi kebutuhan praktis laki-laki dan perempuan di tingkat kelompok dan rumah tangga yang dapat dilihat pada peningkatan pendapatan kelompok melalui jasa pinjaman dan pendapatan rumah tangga. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan strategis Program Desa Mandiri Pangan belum mampu memenuhi kebutuhan anggota baik di tingkat kelompok ataupun rumah tangga. Sehingga program ini cenderung belum responsif gender. Analisis : Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung dengan data kuantitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, menganalisis akses dan kontrol laki-laki dan perempuan dan menganalisis kebutuhan praktis dan strategis gender pada pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayar, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja dengan pertimbangan bahwa Desa Jambakan merupakan desa rawan pangan dengan jumlah KK miskin pada tahun 2006 mencapai 504 KK atau 74.7 persen dari 674 KK dan menerima manfaat Program Desa Mandiri Pangan Gender bukan suatu kodrat atau ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah. Gender dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat lain dan dapat berubah dari waktu ke waktu lain. perbedaan gender ini kemudian melahirkan pembagian kerja gender. Pembagian kerja gender ini tercemin dalam tiga peran gender yaitu reproduktif, produktif dan sosial. Untuk mengungkapkan hubungan sosial laki-laki dan perempuan maka dapat dilakukan analisis gender dengan menggunakan dua macam teknik analisis yaitu teknik analisis Harvard melalui profil aktivitas, akses dan kontrol. Kemudian teknik yang kedua adalah teknik analisis Moser melalui mempertimbangkan kebutuhan praktis dan strategis. Melalui Program Desa Mandiri Pangan, diharapkan masyarakat desa memiliki kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif setiap harinya.Dalam implementasinya, setiap kebijakan yang dilakukan oleh setiap instansi seyogyanya juga harus memperhatikan hubungan antara laki-laki dan perempuan. 21 Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaaan Program Desa Mandiri cenderung belum responsif gender. Hal ini karena masih ada ketimpangan gender baik di tingkat rumah tangga maupun dalam kelompok afinitas. Bentuk ketidakadilan gender yang terjadi adalah beban kerja, streotipe dan subordinasi pada perempuan. Ketimpangan gender tersebut terjadi akibat hegemoni patriaki. Analisis Gender Konstruksi sosial Peran gender: - Reproduktif Produktif sosial - Pembagian kerja Akses dan kontrol Kebutuhan praktis dan strategis Responsif gender atau tidak pada Program Desa Mandiri Pangan Menentukan Keberhasilan Ketahanan Pangan Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6. Tabel 7. Daftar Variabel Jurnal 6 Variabel Sub Variabel Konstruksi sosial Peran gender -Reproduktif -Produktif -Sosial Analisis gender -Pembagian kerja -Akses dan kontrol -Kebutuhan praktis dan strategis Fakta Pendukung Adanya pandangan bahwa laki-laki memiliki tenaga lebih besar dan kuat daripada perempuan, sehingga mempengaruhi pembagian kerja atau peran gender Peran gender ini dipengaruhi oleh konstruksi sosial atau pandangan antara laki-laki dan perempuan. Terdapat beberapa peran gender yaitu peran dalam pekerjaan reproduktif seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan lain-lain. peran dalam pekerjaan produktif untuk mendapatkan upah dan peran sosial yang berperan dalam kegiatan sosial Analisis gender dalam Program Desa Mandiri Pangan dalam pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di tingkat kelompok dapat dilihat dari pengelolaan sumber daya kelompok. Secara umum akses terhadap sumber daya yang ada yaitu dana bantuan, pelatihan-pelatihan dan manfaat yaitu jasa dan berkelompok, semua anggota memiliki kesempatan yang sama. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam kontrol. Program initelah memenuhi kebutuhan praktis laki-laki dan perempuan namun 22 Program responsif gender 7. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi belum memenuhi kebutuhan strategis Sehingga program ini cenderung belum responsif gender Untuk mengetahui apakah suatu program responsif gender atau tidak diperlukan analisis gender pada program tersebut. Jika tidak ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam program maka program tersebut dapat dikatakan responsif gender dan sebaliknya. Program Desa Mandiri Pangan yang responsif gender menjadi salah satu indikator keberhasilan ketahanan pangan. : PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : Kasus Pada Pelaksanaan Program FEATI Di Kabupaten Magelang : 2013 : Jurnal : elektronik : Dian Maharso Yuwono :::: Jurnal penelitian dan Evaluasi Pendidikan : Volume 10 No 1 : 140 - 147 : https://www.academia.edu/6800952/PENGARUSUTA MAAN_GENDER_DALAM_PEMBANGUNAN_PERTANIA N_KASUS_PADA_PELAKSANAAN_PROGRAM_FEATI_DI _KABUPATEN_MAGELANG Tanggal diunduh :23 Maret 2015 Ringkasan : Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa perempuan menjadi bagian yang penting dari tenaga kerja di sektor pertanian, baik itu pada penyediaan sarana pertanian, budidaya tanaman dan ternak, pengolahan dan pascapanen, hingga pemasaran hasil pertanian. Hasil penelitian Sajogyo (1984) mendapatkan bahwa perempuan memberikan kontribusi yang besar dalam ekonomi masyarakat maupun dalam kehidupan keluarga. Upaya peningkatan efektivitas dan efesiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian guna mengakselerasikan peningkatan kesejahteraan petani tidak dapat dipisahkan dengan peranan perempuan dalam pembangunan pertanian. Terlepas dari kontribusinya dalam usahatani, umumnya perempuan petani adalah sumberdaya manusia yang masih diabaikan dalam program pembangunan pertanian. Kondisi ketertinggalan perempuan dapat menggambarkan dengan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia (Soemartoyo, 2002). Implementasi program pembangunan pertanian di tingkat desa menunjukkan akses laki-laki terhadap program pembangunan 23 lebih besar dibanding perempuan (Hastuti, E.L., 2004a). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi pertanian modern telah meminggirkan bahkan menghilangkan akses dan kontrol perempuan petani khususnya pada aspek budidaya. Berdasarkan hal tersebut, peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan mendapat perhatian yang besar dari pemerintah, dimana upaya peningkatan status dan kedudukan perempuan dalam semua aspek pembangunan satatus dan kondisi perempuan dicantumkan sebagai isu lintas bidang pembangunan. Diterbitkannya Inpres Nomor 9 tahun 2000 yang mengamanatkan pengarusutamaan gender (PUG) atau gender mainstreming dalam pembangunan pertanian adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender harus terintegrasi dalam perumusan kebijakan program dan kegiatan sejak perencanaan hingga evaluasi. Pengertian kata gender berbeda dengan seks (jenis kelamin), dimana gender dapat berubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat, sementara jenis kelamin dalam arti biologis tidak dapat berubah (Fakih, 1996a). Lebih lanjut Fakih (1997) menjelaskan bahwa konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Dengan demikian peran gender juga dapat ditukarkan antara pria dengan wanita, dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena diantara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani dan Sugiarti, 2002). Dalam kedudukan sebagai subjek pembangunan, laki-laki dan perempuan selayaknya mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil pembangunan. Gender menjadi permasalahan ketika timbul ketidakadilan gender (gender inequalities), yang termanifestasikan dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak (Fakih, 1997). Contoh marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan dalam sektor pertanian yang sering disebutkan adalah revolusi hijau secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya, dimana digunakan varietas unggul padi yang penampilan tanamannya lebih rendah namun produksinya lebih tinggi. Stereotipe terhadap perempuan adalah penandaan atau pelabelan terhadap perempuan yang cenderung merugikan, contohnya adalah asumsi perempuan sebagai makhluk lemah sehingga tidak diberi akses maupun kontrol terhadap jenis pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik. Ketidakadilan terhadap perempuan dalam bentuk beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak atau beban ganda dikarenakan anggapan bahwa kaum perempuan sifat memelihara dan rajin, konsekweksinya perempuan harus mengerjakan pekerjaan domestik, seperti membersihkan rumah, memasak, merawat anak dan sebagainya.Di kalangan perempuan di pedesaan terbentuk apa yang lazim disebut the develomment of dual roles (peran ganda), dimana selain sebagai tenaga kerja dalam kegiatan produksi dan dilain fihak sebagai ibu rumah tangga dengan berbagai pekerjaan domestik dalam keluarga, karena harus bertanggung jawab pada hampir semua pekerjaan yang ada di rumah dan di luar rumah terutama di sektor pertanian (Usman dalam Bainar, 1998). Salah satu program pembangunan pertanian yang mengintegrasikan aspek gender dalam pelaksanaannya adalah Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) atau Farmer Empowerment Through Agricultural Technology and Information (FEATI), yang diimpementasikan tahun 2007-2011 dan diperpanjang sampai dengan tahun 2012. Program FEATI bertujuan untuk 24 meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pemberdayaan keluarga petani dan organisasi petani dalam mengakses informasi, teknologi, modal dan sarana produksi untuk mengembangkan usaha agribisnis dan mengembangkan kemitraan dengan sektor swasta (Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2007). Program FEATI sensitif gender, dimana kegiatan FMA memberikan manfaat kepada pelaku utama dan pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan (Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 2009). Kebijakan yang sensitif gender adalah kebijakan yang mencerminkan kepentingan laki-laki dan perempuan secara setara (Syaifudin, 1996). Untuk mengukur sampai sejauh mana akses dan kontrol perempuan pada kegiatan pembelajaran yang difasilitasi FEATI menggunakan analisis gender yang paling populer terdiri atas analisis yang dikembangkan oleh para ilmuwan Studi Perempuan di Universitas Harvard, yakni analisis kegiatan (menjawab pertanyaan : siapa melakukan apa?) : (1) analisis akses dan kontrol pada sumberdaya meliputi pertanyaan: siapa mendapat sumberdaya apa? dan siapa mengontrol sumberdaya apa?; (2) analisismanfaat, digali dengan pertanyaan: siapa memperoleh manfaat dari proyek pembangunan /kegiatan, dan; (3) analisis yang membutuhkan data kuantitatif dan kualitatif ini mampu mengungkapkan peran gender perempuan dan lelaki, serta kedudukan perempuan. Perempuan mempunyai akses dan kontrol pada seluruh tahap pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh masing-masing FMA di Kabupaten Magelang. Analisis : Pada jurnal ini tidak terdapat bagian metodelogi, peneliti hanya menjelaskan penelitian kasus ini dilaksanakan di Kabupaten Magelang. Program FEATI salah satu program responsif gender di Kabupaten Magelang dan sebagai salah satu contoh bentuk pengarusutamaan gender (PUG) pada pembangunan pertanian, dimana dalam implementasinya mendorong perempuan mempunyai akses dan kontrol pada seluruh tahap pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh masing-masing FMA. Hal ini dimungkinkan karena perempuan mendapatkan kesempatan yang sama baik selaku pengurus UP-FMA maupun anggota FMA. Komitmen FEATI terhadap PUG juga diindikasikan keberadaan penyuluh pertanian swadaya di masing-masing FMA. Dalam suatu program perlu memperhatikan kepentingan, akses dan kontrol antara perempuan dan laki laki, hal ini untuk tercapainya keadilan gender dan keefektifan program pembangunan sehingga tujuan program pembangaunan seperti peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan dapat tercapai. 25 Adanya bias gender Perubahan kemajuan dalam : - Pendidikan Teknologi Ekonomi Ketidakadilan gender (Fakih, 1997) Gender : 1. Peran gender laki-laki 2. peran gender perempuan - Marginalisasi Subordinasi Streotipe Beban kerja Adanya program responsif gender Perempuan memiliki akses dan kontrol Meningkatkan : - Produktivitas Pendapatan kesejahteraan Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7. Tabel 8. Daftar Variabel Jurnal 7 Variabel Sub Variabel Perubahan kemajuan -Pendidikan -Teknologi -Ekonomi Gender Ketidakadilan gender Program responsif gender Fakta Pendukung Peran gender dapat ditukarkan antara pria dengan wanita, dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan pendidikan, teknologi, dan ekonomi. -Peran gender laki- Perbedaan fungsi dan peran laki-laki laki dan perempuan itu tidak ditentukan -Peran gender karena diantara keduanya terdapat perempuan perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masingmasing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. -Marginalisasi Gender menjadi permasalahan ketika -Subordinasi timbul ketidakadilan gender (gender -Streotipe inequalities), yang termanifestasikan -Beban kerja dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak Salah satu program pembangunan pertanian yang mengintegrasikan aspek 26 Akses dan kontrol -Perencanaan -Pelaksanaan -Monitoring -Evaluasi 8. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Gema Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh gender dalam pelaksanaannya adalah Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) diimpementasikan tahun 20072011 dan diperpanjang sampai dengan tahun 2012. Program ini responsif gender, dimana kegiatan memberikan manfaat kepada pelaku utama dan pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan Perempuan mempunyai akses dan kontrol pada seluruh tahap pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan di Kabupaten Magelang. sehingga tujuan program pembangaunan seperti peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan dapat tercapai : ANALISIS GENDER DALAM KEHIDUPAN KELUARGA NELAYAN DI KECAMATAN PANGANDARAN KABUPATEN CIAMIS : 2013 : Jurnal : Elektronik :Rani Andriani Budi Kusumo, Anne Charina, Wibawa Mukti ::: Bandung: Univeersitas Padjadjaran : Jurnal Social Economic of Agriculture : Volume 2, Nomor 1, April 2013, hlm 42-53 : http://download.portalgaruda.org/article.php?articl e=152635&val=5163&title=ANALISIS%20GEN DER%20DALAM%20KEHIDUPAN%20KELUA RGA%20NELAYAN%20DI%20KECAMATAM %20PANGANDARAN%20KABUPATEN%20CI AMIS : 24 april 2015 Ringkasan : Rumah tangga nelayan sudah lama diketahui tergolong dalam rumah tangga miskin, disamping rumah tangga petani sempit, buruh tani dan pengrajin (Sayogyo, 1991). Oleh Smith dalam Iqbal (2004) masyarakat (community) nelayan digambarkan dengan ciri rendahnya tingkat kehidupan (low income and low standar of living) 27 masyarakatnya. Ciri-ciri kemiskinan sangat nampak pada masyarakat nelayan. Hal tersebut dapat dilihat pada pola hidup dan ketersediaan papan mereka yang memprihatinkan. Tidak hanya Smith, beberapa hasil penelitian yang lain seperti Pranadji, dkk dalam Iqbal (2004) juga menghasilkan kesimpulan yang tidak berjauhan,bahwa standar hidup masyarakat nelayan berada di bawah standar hidup yang layak. Dalam menghadapi fenomena kemiskinan di masyarakat nelayan, maka keluarga nelayan tersebut harus mampu mengelola sumberdaya yang mereka miliki dengan seefektif dan seefisien mungkin agar kesejahteraan keluarga sebagai tujuan jangka panjang dapat tercapai. Terkait dengan sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga tersebut, maka setiap potensi yang ada setidaknya dapat diikutsertakan dalam berbagai kegiatan baik di sektor domestik maupun publik. Dalam hal ini tidak hanya suami saja yang didorong untuk memaksimalkan perannya, tetapi juga istri. Istri dituntut berperan ganda, disamping sebagai pengurus rumah tangga, istri dituntut pula untuk membantu suami sebagai pencari nafkah untuk menambah pendapatan. Persepsi tentang gender diukur melalui 15 item pertanyaan untuk menilai pandangan normatif responden tentang bagaimana pembagian peran dalam rumah tangga antara suami dan istri, serta akses dan kontrol perempuan pada sektor domestik dan publik. Sebagian besar responden menyadari perannya secara tradisional, dengan memandang bahwa kedudukan istri dalam keluarga lebih rendah dari pada suami sehingga wajar jika wewenang untuk mengambil keputusan ada di tangan suami. Sebagian besar responden tetap menilai bahwa suami lah yang berkewajiban mencari nafkah dan istri bertanggung jawab dalam mengurus rumah tangga, dan tidak ingin bertukar posisi meskipun secara ekonomis menguntungkan. Namun di lain pihak istri juga ingin terlibat lebih jauh di sektor publik, hal tersebut terlihat dari pernyataan bahwa istri boleh membantu suami dalam mencari nafkah, istri boleh terlibat dalam organisasi sosial serta persepsi istri bahwa perempuan berhak mengakses dan mengontrol sumberdaya yang ada. Secara keseluruhan, perspektif gender dalam pengambilan keputusan mengenai aktivitas di sektor domestik pada lebih dari separuh responden (57%) termasuk dalam kategori sedang. Dari hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada aktivitas domestik, pengambilan keputusan tidak selalu merupakan tanggung jawab di pihak istri saja, tetapi telah menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri, meskipun pada bidangbidang tertentu seperti penyediaan makanan di rumah serta pengaturan berbagai macam pengeluaran keluarga tanggung jawab istri tetap lebih dominan. Tabel 9. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pengambilan keputusan mengenai aktivitas di sektor domestik Perspektif Gender n (%) Rendah / bias gender (0 – 33,33%) 0 Sedang/berperspektif gender (33,34%–66,67%) 57 Tinggi / responsif gender (66,68% - 100%) 43 Rata-rata skor 65,82 Pola pengambilan keputusan di sektor publik, khususnya pada aspek ekonomi lebih banyak didominasi oleh suami. Keputusan yang berhubungan dengan modal usaha perikanan (penetapan besarnya modal usaha, menambah atau mengurangi modal; dan keputusan untuk meminjam modal) lebih didominasi oleh suami. Secara keseluruhan, perspektif gender dalam pengambilan keputusan mengenai aktivitas di sektor publik pada lebih dari separuh responden keluarga (63%) (Tabel 2). Pengambilan keputusan di sektor publik memang cenderung didominasi oleh suami; istri lebih banyak terlibat dalam pengambilan keputusan di bidang sosial 28 kemasyarakatan dibandingkan pada aktivitas ekonomi di bidang perikanan dan non perikanan. Tabel 10. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pengambilan keputusan mengenai aktivitas di sektor publik Perspektif Gender n (%) Rendah / bias gender (0 – 33,33%) 17 Sedang/berperspektif gender (33,34%–66,67%) 63 Tinggi / responsif gender (66,68% - 100%) 20 Rata-rata skor 47,50 Secara keseluruhan perspektif gender dalam pembagian kerja di sektor domestik pada seluruh responden termasuk dalam kategori rendah atau bias gender (Tabel 3). Sebagian besar pekerjaan di sektor domestik memang dikerjakan oleh istri. Hasil analisis tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saleha (2003), yang menunjukkan bahwa pada sebagian masyarakat berlaku pola pembagian kerja di sektor domestik merupakan tanggung jawab istri, meskipun ditemukan juga beberapa kasus dimana suami bersedia berbagi pekerjaan dengan istri untuk melakukan tugas rumah tangga. Ihromi (1990) juga mengatakan bahwa pekerjaan di sektor domestik utamanya berada di pundak istri. Tabel 11. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pembagian kerja di sektor domestik Perspektif Gender n (%) Rendah / bias gender (0 – 33,33%) 100 Sedang/berperspektif gender (33,34%-66,67%) 0 Tinggi / responsif gender (66,68% - 100%) 0 Rata-rata skor 5,45 Secara keseluruhan perspektif gender dalam pembagian kerja di sektor publik pada separuh responden termasuk dalam kategori sedang. Kegiatan di bidang perikanan dan non perikanan lebih didominasi oleh suami, karena suami memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mencari nafkah bagi keluarganya, istri turut terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Tabel 12. Sebaran responden (%) menurut perspektif gender dalam pembagian kerja disektor publik Perspektif Gender n (%) Rendah / bias gender (0 – 33,33%) 7 Sedang/berperspektif gender (33,34%-66,67%) 50 Tinggi / responsif gender (66,68% - 100%) 43 Rata-rata skor 61,55 Analisis: Penelitian ini memberikan gambaran mengenai persepsi nelayan tentang gender, pengambilan keputusan dan pembagian kerja antara suami dan istri nelayan sehingga mampu menganalisis apakah terdapat ketimpangan gender atau tidak. Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk : 1) Mengkaji karakteristik sosial ekonomi keluarga nelayan di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis.; 2) Menganalisis pola pengambilan keputusan dan pembagian kerja antara suami dan istri pada keluarga nelayan di sektor domestik dan publik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Populasi keluarga nelayan di lokasi penelitian adalah 253 keluarga. Untuk 29 keperluan penelitian ini diambil keluarga nelayan yang terdiri dari pasangan suami istri yang memiliki minimal satu orang anak. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat populasi sebanyak 104 keluarga nelayan. Kemudian sampel diambil dengan menggunakan teknik acak sederhana dan dipilih 30 unit keluarga nelayan. Yang menjadi responden penelitian ini adalah suami dan istri. Data dianalisis secara deskriptif untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diteliti secara objektif. Pada penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan cara pengamatan, wawancara dan juga dokumentasi. Data primer yang akan dikumpulkan adalah data primer mencakup karakteristik keluarga, persepsi tentang gender, serta pola pembagian keputusan dan pembagian kerja yang dilakukan oleh keluarga nelayan. Data sekunder mencakup informasi geografi dan demografi lokasi penelitian. Namun peneliti tidak menjelaskan alasan pemilihan lokasi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar keluarga nelayan termasuk dalam kategori rendah. Persepsi tentang gender pada keluarga nelayan secara umum menggambarkan bahwa tugas utama istri adalah mengurus rumah tangga, tetapi boleh membantu suami dalam mencari nafkah keluarga; sedangkan tanggung jawab mencari nafkah utama tetap merupakan tugas suami. Pengambilan keputusan yang menyangkut aktivitas domestik dan publik dalam keluarga nelayan tidak mengikuti pola tertentu secara khusus terpusat pada suami atau istri, tetapi memiliki pola yang menyebar antara suami dan istri. Pembagian kerja yang menyangkut aktivitas domestik lebih banyak dilakukan oleh istri. Sedangkan pembagian kerja yang berkaitan dengan aktivitas publik menyebar antara suami dan istri. Dalam penelitian ini mengemukakan bahwa perempuan memiliki peluang untuk memasuki ruang publik, maka dirasakan perlu adanya program pemberdayaan dalam kegiatan pelatihan teknis dan pengelolaan usaha kecil yang responsif gender. (373 Kata) Indikator analisis gender 1. Persepsi tentang gender 2. Pengambilan keputusan 3. Pembagian kerja Bias gender Ketimpangan gender Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8. Tabel 13. Daftar Variabel Jurnal 8 Variabel Sub Variabel Analisis gender -Persepsi tentang gender -Pengambilan keputusan -Pembagian kerja Fakta Pendukung -Persepsi tentang gender diukur melalui pertanyaan untuk menilai pandangan normatif responden tentang bagaimana pembagian peran dalam rumah tangga antara suami dan istri, serta akses dan kontrol pada sektor domestik dan publik. -Pola pengambilan keputusan di sektor publik, khususnya pada aspek ekonomi lebih banyak didominasi oleh suami. 30 -Perspektif gender dalam pembagian kerja di sektor domestik pada seluruh responden termasuk bias gender. Sebagian besar pekerjaan di sektor domestik memang dikerjakan oleh istri. Ketimpangan gender 9. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh Istri dituntut berperan ganda, disamping sebagai pengurus rumah tangga, istri dituntut pula untuk membantu suami sebagai pencari nafkah untuk menambah pendapatan. Sehingga dapat menimbulkan beban ganda pada perempuan sebagai salah satu bentuk ketimpangan gender : KONTRIBUSI WANITA NELAYAN DALAM SOSIOKULTURAL GENDER DI KELURAHAN PULAU PANJANG BARELANG-BATAM : 2013 : Jurnal : Elektronik : Ely Kartikaningdyah, Chici Ramdaniah, Mega Mayasari ::: Batam: Politeknik Batam :::http://p2m.polibatam.ac.id/wpcontent/uploads/2014/01/Microsoft-Word-09Jurnal-Integrasi-2013-Ely-Kartika.pdf : 24 april 2015 Ringkasan : Menurut Sulistyo (2009) gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal. Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial dimana salah satu jenis kelamin (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban. Bentuk-bentuk diskriminasi gender berupa ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat serta ditempat kerja dalam berbagai bentuk, yaitu (Sulistyo, 2009): a. Stereotip/citra baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. 31 b. Subordinasi/penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. c. Marginalisasi/peminggiran, adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. d. Beban ganda/double burden, adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. e. Kekerasan/violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan). Menurut Doowling, (2008 ) analisis gender dapat memperkuat dan meningkatkan kesetaraan gender dengan mencari penyebab yang menjadi dasar munculnya ketidak-setaraan gender itu dan membantu menyusun perencanaan yang peka terhadap isu gender, menetapkan target dan kebijakan serta program yang efektif. Analisis gender adalah himpunan dan analisis informasi dan data mengenai: a. Peran, kewajiban dan hak yang berbeda-beda bagi perempuan dan laki-laki. b. Kebutuhan, prioritas, peluang dan hambatan yang berbeda-beda bagi perempuan dan lakilaki. c. Alasan-alasan mengapa terjadi perbedaan - perbedaan tersebut. d. Peluang-peluang dan strategi-strategi untuk meningkatkan kesetaraan gender Analisis gender yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesetaraan gender (Dowling, 2008) : a. Analisis pembagian tugas Meneliti pembagian tugas berdasarkan gender, siapa melakukan apa merupakan suatu yang penting untuk memahami apa yang dikerjakan laki-laki dan perempuan di lingkungan rumah tangga, masyarakat dan tempat kerja. Analisis pembagian tugas tidak hanya meneliti apa yang dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan, tetapi dimana, kapan dan berapa banyak mereka melakukannya, apakah tenaga mereka di bayar atau tidak dan bagaimana pekerjaan mereka itu dihargai. Hal ini dapat menggambarkan tuntutan yang berbeda-beda terhadap waktu dan tenaga laki-laki dan perempuan, berapa pekerjaan mereka dihargai, pola kerja musiman dan strategi dalam memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari yang diterapkan oleh rumah tangga. b. Analisis akses dan kontrol Analisis akses dan kontrol mengkaji siapa mempunyai asset dan sumber daya swasta dan pemerintah yang dapat dipergunakan dan dimilki oleh laki-laki dan perempuan seperti tanah dan peralatan, dan lembaga seperti bank atau perusahaan kredit, maupun jaringan sosial dan profesional. Laki-laki dan perempuan acapkali mengalami perbedaan-perbedaan dalam tingkat akses dan kontrol terhadap aset dan sumber daya, sehingga hal ini berimplikasi pada kesetaraan gender. c. Analisis kebutuhan strategik dan praktis Analisis kebutuhan strategik dan praktis menganggap bahwa laki-laki dan perempuan membutuhkan perbaikan kehidupan mereka untuk saat ini dan untuk jangka panjang. Kebutuhan-kebutuhan praktis adalah yang berhubungan dengan kebutuhan manusia saat ini, kebutuhan materi seperti makanan, air dan tempat berlindung. Kebutuhankebutuhan strategik adalah kebutuhan-kebutuhan yang lebih menuntut perubahan jangka panjang terhadap hubungan-hubungan gender. 32 d. Analisis konteks sosial Meneliti dan memahami konteks sosial setempat, termasuk menginvestigasi hukum, sosial dan kultural dan nilai, agama dan institusi dan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi peran dan hubungan gender, merupakan suatu bagian yang sangat penting dari analisis gender. Faktor-faktor kecenderungan sosial dan kultural biasanya memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap peran dan hubungan gender dan sebagai kunci untuk memahami sebab terjadinya ketidak-setaraan gender. Dari beberapa aktivitas diatas menunjukkan bahwa kegiatan ibu rumah tangga nelayan lebih mendominasi dalam aktivitas keseharian dalam pengambilan keputusan. Terjadinya bias gender pada ibu rumah tangga nelayan untuk kegiatan rumah tangga saja, tetapi dari responden ada sebanyak 8 % yang ikut mencari nafkah sebagai pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Hal ini terjadi karena tuntutan kebutuhan rumah tangga yang belum bisa dipenuhi oleh suami sebagai nelayan, sehingga ibu rumah tangga nelayan ikut membantu mencari nafkah. Pembagian kerja dari sisi bidang mata pencaharian sebagai nelayan menunjukkan bahwa penangkapan ikan di laut sebagai wilayah dan tanggungjawab laki-laki dengan risiko yang besar sedangkan wilayah darat adalah wilayah kaum perempuan atau ibu rumah tangga. Masyarakat nelayan di kelurahan Padang Panjang Barelang memiliki pemikiran yang terbuka mengenai peranan suami dan istri dalam keluarga. Walaupun tugas utama suami mencari nafkah akan tetapi peranan istri dalam membantu suami untuk membantu pendapatan keluarga cukup kecil karena hanya 8 % saja dari responden yang diinterview. Ibu rumah tangga nelayan hampir 89 % memegang peranan dalam pengaturan keuangan rumah tangga tetapi tidak dibebani tuntutan untuk mencari tambahan nafkah oleh suami sebagai kepala keluarga. Analisis : Dari penelitian dapat menggambarkan perlunya analisis gender untuk menghindari dari berbagai bentuk ketimpangan gender, analisis dapat dilakukan dengan analisis pembagian tugas, analisis akses dan kontrol, analisis kebutuhan strategik dan praktis dan analisis konteks sosial. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pulau Panjang Balerang Batam, peneliti tidak menjelaskan alasan pemilihan lokasi. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga wanita nelayan dan mengetahui kontribusi wanita nelayan dalam pembagian kerja di dalam rumah tangga. Sampel yang diambil sebanyak 30 rumahtangga wanita nelayan di Pulau Panjang Barelang. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif. Analisis dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai hubungan-hubungan gender, pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki (siapa mengerjakan apa), dan siapa yang dapat menggunakan, dan mengawasi sumber daya. Kontribusi dan peranan wanita dalam pembagian tugas dan tanggung jawab di wilayah Pulau Panjang berdasarkan hasil kuisioner yang telah disampaikan pada bagian pembahasan menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh wanita dan laki-laki telah terbagi secara merata, hal ini dibuktikan dengan hasil rata-rata persentase pembagian tugas dan tanggung jawab secara merata tidak dikuasai oleh wanita sebesar 100%. Dalam hal ini masih ada pembagian tugas yang dikerjakan oleh laki-laki walaupun dalam secara persentase masih lebih besar kontribusi wanita dibandingkan dengan laki-laki. Dalam penelitian ini diketahui bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di wilayah Pulau Panjang tidak sampai menjadi sebuah bias gender, karena dapat dilihat bahwa beberapa pekerjaan tidak sepenuhnya diserahkan kepada wanita, namun ada juga kontribusi dari pihak laki-laki. 33 Namun pada penelitian ini tidak menganalisis kebutuhan strategik dan praktis dan analisis konteks sosial hanya pembagian tugas, kontrol dan aksesnya saja. Padahal di jurnal ini mengemukakan empat analisis tersebut tapi sayang tidak dibahas dalam pembahasan. Analisis Gender 1. Analisis pembagian tugas 2. Analisis akses dan Kontrol 3. Analisis kebutuhan strategik dan praktis 4. Analisis konteks sosial Bentuk diskriminasi Bias gender 1. 2. 3. 4. 5. Streotip Subordinasi Marginalisasi Beban ganda Kekerasan Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9. Tabel 14. Daftar Variabel Jurnal 9 Variabel Sub Variabel -Analisis pembagian Analisis gender tugas -Analisis akses dan Kontrol -Analisis kebutuhan strategik dan praktis -Analisis konteks sosial Bias gender Diskriminasi gender -Streotipe -Subordinasi -Marginalisasi -Beban kerja -Kekerasan Fakta Pendukung -Analisis pembagian tugas meneliti pembagian tugas berdasarkan gender, siapa melakukan apa. Selain itu melihat alokasi waktu pekerjaan. - Laki-laki dan perempuan acapkali mengalami perbedaan-perbedaan dalam tingkat akses dan kontrol terhadap aset dan sumber daya, sehingga hal ini berimplikasi pada kesetaraan gender. -Kebutuhan praktis berhubungan dengan kebutuhan manusia saat ini, Kebutuhan strategik lebih menuntut perubahan jangka panjang. -Meneliti dan memahami konteks sosial setempat, termasuk menginvestigasi hukum, sosial dan kultural dan nilai, agama dan institusi dan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi peran dan hubungan gender. Dari beberapa aktivitas menunjukkan bahwa kegiatan ibu rumah tangga nelayan lebih mendominasi dalam aktivitas keseharian dalam pengambilan keputusan. Terjadinya bias gender pada ibu rumah tangga nelayan untuk kegiatan rumah tangga saja. Bentuk-bentuk diskriminasi gender berupa ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat serta ditempat kerja dalam berbagai bentuk. 34 10. Judul TEH Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : PERAN GANDA PEREMPUAN PEMETIK : 2012 : Jurnal : elektronik : Yunita Kusumawati ::: Jawa Tengah : KOMUNITAS : Vol. 4 No. 2 : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas :14 Maret 2015 Ringkasan : Paradigma pembagian kerja keluarga dalam masyarakat adalah suami berada di area pekerjaan publik karena kedudukannya sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarga, sedangkan istri berada di area domestik yang mengatur rumah tangga dan anak-anak di rumah. Selain itu, seorang wanita yang lebih banyak beraktivitas di luar rumah, seringkali dianggap hal yang kurang pantas atau tabu. Namun pada kenyataannya, terutama pada keluarga miskin, banyak ibu rumah tangga yang kemudian aktif dalam kegiatan publik sebagai pencari nafkah. Tingkat ekonomi yang kurang mendukung atau kemiskinan yang membuat para wanita bersedia bekerja dalam kondisi apapun guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Demikian juga yang terjadi di desa Keteleng. Perempuan menjadi pemetik teh karena lokasi ini berada di dekat perkebunan milik PT Pagilaran, Batang. Para wanita pemetik teh ini, memiliki peran ganda selain bekerja, juga harus menjalankan peran dalam keluarga yaitu sebagai seorang istri, pengasuh anak atau pengatur rumah tangga. Saat ini PT Pagilaran mempekerjakan sekitar 462 orang perempuan yang berasal dari Desa Keteleng sebagai karyawan kontan, terutama sebagai pemetik teh. Salah satu alasan PT Pagilaran memilih perempuan sebagai buruh pemetik teh adalah karena perempuan pada umumnya memiliki ketrampilan dan kecermatan yang lebih dibandingkan laki-laki, yang sangat diperlukan selama proses pemetikan teh. Selain karena lokasinya yang sangat dekat sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, juga karena sebagian besar perempuan di Desa Keteleng mempunyai tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah. Tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah ini membuat perempuan di Desa Keteleng memiliki keterbatasan dalam memilih pekerjaan. Kondisi ini membuat perempuan mendapatkan pekerjaan pekerjaan yang berstatus rendah yang merupakan kepanjangan dari pekerjaan domestik mereka sebagai ibu rumahtangga, yang berkorelasi langsung dengan pendapatan mereka yang juga rendah. Hal ini senada dengan pendapat Khotimah (2009), bahwa dalam pekerjaan seringkali perempuan mengalami ketidakadilan karena persoalan: marjinalisasi dalam pekerjaan, kedudukan perempuan yang subordinat dalam sosial dan budaya, stereotype terhadap perempuan, tingkat pendidikan perempuan yang rendah. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diungkapkan Marx dalam Sanderson (2003: 414) bahwa wanita di Desa Keteleng telah mengalami subordinasi gender yaitu tersubordinasi dalam pekerjaanpekerjaan yang tidak memiliki prestise tinggi, karena didasarkan pada pekerjaan utamanya sebagai ibu rumah tangga. 35 Meskipun pendapatan sebagai buruh pemetik teh termasuk rendah, namun ternyata tambahan pendapatan perempuan ini telah mampu untuk memenuhi keperluan hari-hari dan meningkatkan derajat perekonomian perempuan. Dengan masuknya perempuan, terutama yang berstatus sudah menikah, ke dalam pekerjaan-pekerjaan di sektor publik, maka perempuan kemudian menjalankan peran ganda, yaitu tidak hanya peran domestik mereka sebagai ibu rumahtangga, namun juga peran publik, yaitu sebagai pencari nafkah (Supartiningsih, 2003 : 50). Dengan demikian, ternyata pembakuan pembagian peran gender di mana lakilaki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik yang selama ini dipahami masyarakat, merupakan hal yang masih bisa ditawar dan berubah. Jika kondisi ini yang terjadi, maka tidak jarang peran ganda perempuan berubah menjadi beban ganda perempuan, karena selain tuntutan untuk tetap menjalankan peran domestik mereka, masuknya perempuan ke sektor publik membuat perempuan mendapatkan peran baru yang menuntut mereka untuk dilaksanakan dengan baik pula. Apalagi menurut Rosadi (2010:119), sebagian besar budaya masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya Jawa, memosisikan peran perempuan sebagai pemeran utama dalam rumah tangga, yaitu: melahirkan dan mengasuh anak, menyiapkan kebutuhan makanan, dan tata kelola ekonomi rumah tangga. Alokasi waktu perempuan pemetik teh di sektor domestik, yaitu antara 9 hingga 11 jam per hari, ternyata sama, bahkan cenderung lebih lama dibandingkan dengan alokasi waktu laki-laki di sektor publik, yaitu sekitar 9 hingga 10 jam per hari. Oleh karena itu, jika dijumlahkan maka jam kerja perempuan buruh pemetik tek jauh lebih panjang dibandingkan para suami mereka, yaitu antara 16 hingga 19 jam per hari atau lebih panjang 7 hingga 10 jam dibandingkan pasangan mereka. Data ini menunjukkan bahwa penambahan jam kerja perempuan di sektor publik tidak selalu mengurangi jam kerja perempuan di sektor domestik. Hal ini kemudian menjadi dilema yang berat bagi para wanita, terutama buruh seperti wanita pemetik teh, karena disaat para wanita dituntut untuk ikut aktif dalam area publik dengan bekerja keras mencari nafkah dan berhadapan dengan ketidakadilan gender di masyarakat, sebagai seorang wanita juga dituntut untuk tidak melupakan peran di area domestik. Untuk kegiatan ekonomi, aksi seorang wanita dalam mencari nafkah dianggap sangat kecil apabila dibandingkan dengan laki-laki (Yuliati 2003:272). Hal ini menyangkut anggapan masyarakat bahwa dengan pembagian waktu sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah, seorang wanita tidak mampu bekerja secara optimal. Dampak yang kemudian muncul adalah rendahnya upah yang diterima seorang wanita dalam pekerjaan. Upah rendah yang diterima oleh seorang wanita pemetik teh, juga menunjukkan bahwa para wanita ini mengalami eksploitasi dalam pekerjaanya. Upah yang didapatkan tidak sesuai dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan (Sudjana 2002: 83). Eksploitasi ini juga terjadi dalam pengalokasian waktu, karena waktu yang harus dipergunakan oleh seorang wanita untuk bekerja minimal adalah 6 jam (Hatta 1985: 99). Sedangkan seorang wanita pemetik teh bekerja di perkebunan selama 7 sampai 9 jam sehari. Seorang suami lebih banyak mengalokasikan waktu bekerja hanya di area publik saja dan tidak ikut campur dalam pekerjaan rumah tangga, sehingga beban kerja seorang perempuan lebih berat dibandingkan lakilaki. Apalagi jika ditambah perempuan bekerja di sektor publik, maka beban kerja perempuan menjadi semakin bertambah dan berlipat (double burden). Keadaan tersebut menunjukkan adanya eksploitasi terhadap perempuan pemetik teh, terutama dalam masalah waktu kerja. Alokasi waktu dalam bekerja sebagai pemetik, yaitu selama 7 sampai 9 jam, telah melebihi batas waktu kerja seorang perempuan yaitu 6 jam (Hatta 1985: 99). Dengan demikian, sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sudjana (2002: 83), bahwa para perempuan pemetik. teh mengalami 36 eksploitasi karena upah yang diterima tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang telah dicurahkan. Meski sangat kerepotan, sebagian besar perempuan pemetik teh ini ternyata tidak merasa keberatan dan jarang menyampaikan keluhan kepada keluarga. Umumnya para wanita ini menganggap apa yang telah dilakukan adalah hal yang biasa, atau bahkan sudah seharusnya dilakukan sebagai seorang perempuan yang telah berkeluarga. Saat keluarga mengalami kesulitan ekonomi, seorang ibu berupaya untuk membantu suami mencari nafkah, meskipun menjadi beban yang berat karena harus berperan ganda. Analisis: Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan jenis fenomenologi. Lokasi penelitian ini ada di Desa Keteleng Kecamatan Blado Kabupaten Batang. Desa Keteleng ini dipilih karena lokasinya yang dekat dengan perkebunan teh milik PT Pagilaran sehingga di desa ini banyak penduduk perempuan yang menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai buruh pemetik teh. Di Desa Keteleng terdapat 462 orang perempuan yang bekerja sebagai pemetik teh di PT Pagilaran, baik berstatus menikah maupun lajang. Karena penelitian ini berkaitan dengan peran ganda perempuan pemetik teh, maka subyek penelitian dalam penelitian adalah perempuan buruh pemetik teh yang berstatus menikah. Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 10 orang. Alangkah baiknya jumlah responden bisa mencapai 30 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview), observasi, dan dokumentasi. Metode triangulasi digunakan untuk validasi data penelitian dengan sumber. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interpretatif. banyak ibu rumah tangga yang kemudian aktif dalam kegiatan publik sebagai pencari nafkah. Tingkat ekonomi yang kurang mendukung atau kemiskinan yang membuat para wanita bersedia bekerja dalam kondisi apapun guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Para wanita pemetik teh ini, memiliki peran ganda selain bekerja, juga harus menjalankan peran dalam keluarga yaitu sebagai seorang istri, pengasuh anak atau pengatur rumah tangga. Data ini menunjukkan bahwa penambahan jam kerja perempuan di sektor publik tidak selalu mengurangi jam kerja perempuan di sektor domestik tidak jarang peran ganda perempuan berubah menjadi beban ganda perempuan, karena selain tuntutan untuk tetap menjalankan peran domestik mereka, masuknya perempuan ke sektor publik membuat perempuan mendapatkan peran baru yang menuntut mereka untuk dilaksanakan dengan baik pula. -Alokasi waktu kerja lebih pada perempuan Peran perempuan Beban kerja perempuan -Upah tidak sesuai pada perempuan Dosmetik Publik Ketimpangan atau Ketidakadilan Gender Untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10. 37 Tabel 15. Daftar Variabel Jurnal 10 Variabel Sub Variabel Peran perempuan -Dosmetik -Publik Alokasi waktu kerja Pembagian upah kerja Beban kerja Ketidakadilan gender Fakta Pendukung Perempuan awalnya bergelut dalam peran dosmetik kemudian aktif dalam kegiatan publik sebagai pencari nafkah terutama pada keluarga miskin -Alokasi waktu kerja Penambahan jam kerja perempuan di perempuan sektor publik tidak selalu mengurangi -Alokasi waktu kerja jam kerja perempuan di sektor laki-laki domestik. Alokasi waktu kerja laki-laki lebih sedikit dari pada perempuan Tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah perempuan mendapatkan pekerjaan berstatus rendah yang berkorelasi langsung dengan pendapatan mereka yang juga rendah. Upah tidak sesuai dengan alokasi waktu kerja. Tidak jarang peran ganda perempuan berubah menjadi beban kerja atau beban ganda perempuan, karena selain tuntutan untuk tetap menjalankan peran domestik mereka juga menjalankan peran publik. Para perempuan pemetik teh mengalami eksploitasi karena upah yang diterima tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang telah dicurahkan.hal ini mengimplikasikan adanya ketidakadilan gender 11. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan nama penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi):hal Alamat URL/doi Tanggal diunduh : PERAN PEREMPUAN NELAYAN DALAM PRODUKSI DAN DISTRIBUSI HASIL LAUT : 2012 : Jurnal : elektronik : Dini Saputri ::: Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara ::: http://jurnal.usu.ac.id/index.php/persos/article/vie w/152/126 :4 Maret 2015 Ringkasan : Nelayan merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat pesisir. Keberadaan nelayan sangat identik dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial 38 lainnya terutama dibidang sosial ekonomi, di mana ketergantungan masyarakat nelayan pada sumber daya laut, keadaan cuaca dan alam sehingga pendapatan mereka juga tergantung kondisi alam. Jika lingkungan alam terganggu maka mereka tidak bisa melaut atau mencari ikan. Kehidupan sosial ekonomi yang sulit yang dialami oleh para nelayan sehingga mendorong peran perempuan untuk menjadi seorang nelayan demi membantu menopang kehidupan perekonomian keluarga mereka. Dengan perempuan menjadi seorang nelayan, pendapatan perekonomian keluarga mereka akan bertambah sehingga kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Ciri-ciri masyarakat pesisir yang diperoleh dari hasil observasi adalah masyarakat pesisir tergantung pada kekayaan laut. Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap laut itu dalam bentuk fisik maupun emosional sesuai dengan kondisi alam yang mempengaruhinya. Masyarakat pesisir menggantungkan hidupnya dengan dengan cuaca, iklim, dan pergantian musim terutama masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan. Masyarakat pesisir sangat tergantung pada sumber daya energi yang murah dan kovensional dengan cara yang masih sederhana padahal buah laut bukan hanya kekayaan di dalam laut saja, di pinggir laut juga masih ada seperti mangrove, namun mereka kurang dapat mengolahnya agar mempunyai nilai ekonomi. Pada umumnya pekerjaan masyarakat pesisir sebagai nelayan dilakukan oleh sebagian besar laki-laki, namun keadaan yang berbeda terjadi pada masyarakat Desa Percut, Kabupaten Deli Serdang dimana sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan adalah ibu-ibu rumah tangga yang menjadi nelayan pencari kerang. Kehidupan nelayan perempuan di Desa Percut, tidak hanya sebagai pekerjaan yang menopang perekonomian keluarga, para nelayan perempuan ikut langsung terlibat dalam proses produksi dan distribusi hasil tangkapan di laut. Mereka juga memilih bekerja sebagai nelayan daripada mendirikan home industri atau pekerjaan lainnya. Peran pada perempuan untuk ambil andil dalam kontribusi membantu ekonomi keluarga dengan ikut mencari kerang. Aktifitas nelayan pada proses produksi kerang masih sangat sederhana, alat yang digunakan untuk mengambil kerang juga masih sangat tradisional, yakni dengan menggunakan uncang. Uncang disini adalah ban bekas yang dijahit dengan jaring yang diiikat dileher dan mengambil kerang dengan tangan diraba sampai ke dasar laut juga merupakan salah satu bentuk penangkapan kerang yang masih sangat sederhana. Dengan alasan jika menggunakan jaring yang besar maka hasil yang didapat bukan hanya kerang saja tapi binatang laut seperti ikan kecil dan tembilang. Jam melaut yang biasanya dilakukan sekitar pukul 04.00 WIB dini hari sampai pukul 12.00 WIB siang hari, sedangkan pada sore hari sekitar pukul 18.00 WIB sampai pukul 23.00 WIB. Hasil tangkapan yang didapat juga tidak bisa ditaksir, biasanya paling sedikit sekitar 8 Kg dan paling banyak sekitar 25 kg. Biasanya para nelayan menjual hasil tangkapan langsung ke pasar atau di jual ke pengempul. Selain itu, ada juga nelayan yang mencari tambahan penghasilan dengan merebus kerang yang didapat terlebih dahulu nantinya yang dihargai Rp.500, satu mugnya. Pekerjaan nelayan sudah menjadi budaya atau kebiasaan turun menurun bagi masyarakat desa Percut, hal ini disebabkan karena kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga sampai saat ini mereka masih bernelayan. Keikutsertaan perempuan dalam sektor publik dengan bekerja sebagai nelayan di desa Percut, Kabupaten Deli Serdang, menjadikan perempuan memiliki strategi membangun ekonomi rumah tangga. Perempuan nelayan disini memiliki beban ganda selain di bidang domestik juga di bidang publik. Faktor lain yaitu kebiasaan atau budaya masyarakat daerah tersebut, pengetahuan dan keahlian yang rendah serta keterbatasan lapangan pekerjaan formal bagi kalangan perempuan. Peran dan partisipasi perempuan dalam menopang kegiatan ekonomi terlihat dari aktifitas perempuan yang bekerja sebagai nelayan dengan melakukan produksi dan 39 distribusi hasil tangkapan berupa kerang sebagai upaya memperkuat kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir yang lemah. Perempuan bekerja sebagai nelayan biasanya disebabkan karena sumber penghasilan suami dalam keluarga relatif sedikit, sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan yang ada. Hal ini dapat menimbulkan beban kerja pada perempuan, beban kerja (double burden) yaitu suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender dimana beberapa beban kegiatan diemban lebih banyak oleh salah satu jenis kelamin. Analisis : Lokasi penelitian ini adalah di desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang oleh Dini Saputri dengan jurusan sosiologi. Peneliti memilih lokasi ini karena masyarakat khususnya perempuan di desa ini sebagian besar perempuan bekerja sebagai nelayan pencari kerang dan melakukan proses produksi juga mendistribusikan kerang langsung ke pasar. Jenis penelitian yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan observasi terhadap perempuan nelayan pencari kerang di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang tentang peran perempuan nelayan dalam produksi dan distribusi kerang. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam kepada para perempuan nelayan yang berhubungan dengan keikutsertaan perempuan sebagai kontributif ketahanan ekonomi melalui kegiatan mencari kerang, juga dalam memperkuat daya ekonomi masyarakat nelayan karena melakukan langsung proses produksi dan distribusi kerang, juga melakukan wawancara seputar peran ganda nelayan perempuan dalam sektor domestik dan publik juga membandingkan pendapatan nelayan perempuan dan laki-laki. Tujuan penelitian ini untuk melihat peran perempuan nelayan dalam produksi dan distribusi hasil laut juga meggambarkan beban ganda yang dihadapi perempuan pencari kerang di desa Percut. Namun tidak di jelaskan berapa responden yang digunakan. Keberadaan nelayan sangat identik dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya terutama dibidang sosial ekonomi, pendapatan mereka juga tergantung kondisi alam. Sehingga mendorong peran perempuan untuk menjadi seorang nelayan demi membantu menopang kehidupan perekonomian keluarga mereka. Perempuan yang telah memiliki peran reproduktif harus menambah perannya dalam kegiatan produktif. Hal ini dapat menimbulkan beban kerja, yaitu suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender dimana beberapa beban kegiatan diemban lebih banyak oleh salah satu jenis kelamin. Peran perempuan nelayan dalam produksi dan distribusi hasil laut dilakukan oleh nelayan perempuan mulai dari penangkapan ke laut, pengolahan, sampai pendistribusian. Hal ini disebabkan karena pekerjaan nelayan perempuan di Desa ini merupakan pekerjaan yang telah diwarisi secara turun menurun oleh para perempuan di desa Percut. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan yang semakin kompleks, serta harga kebutuhan yang semakin mahal, ditambah lagi harga kerang yang murah disebabkan oleh penawaran lebih banyak dari permintaan. Perempuan nelayan disini memiliki beban ganda selain di bidang domestik juga di bidang publik, dimana beberapa beban kegiatan diemban lebih banyak oleh salah satu jenis kelamin. Pada penelitian tidak dijelaskan apakah kontribusi perempuan di kegiatan reproduktif dapat memperbaiki kehidupan keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka atau tidak. 40 - Pendapatan nelayan tidak tetap Kebutuhan semakin mahal Harga kerang murah Kondisi sumberdaya laut yang tidak tetap Kemiskinan nelayan Mendorong perempuan berperan di kegiatan produktif Beban kerja perempuan sebagai bentuk ketidakadilan gender. Gambar 11. Hubungan Antar Konsep Jurnal 11. Tabel 16. Daftar Variabel Jurnal 11. Variabel Sub Variabel Penyebab kemiskinan -Pendapatan nelayan tidak tetap -Kebutuhan semakin mahal -Harga kerang murah -Kondisi sumberdaya laut yang tidak tetap Kemiskinan nelayan Ketimpangan gender Beban kerja Fakta Pendukung Kemiskinan nelayan dapat disebabkan oleh pendapatan nelayan tidak tetap, kebutuhan semakin mahal, harga kerang murah dan kondisi sumberdaya laut yang tidak tetap. Keberadaan nelayan sangat identik dengan kemiskinan dan masalahmasalah sosial lainnya terutama dibidang sosial ekonomi, di mana ketergantungan masyarakat nelayan pada sumber daya laut, keadaan cuaca dan alam sehingga pendapatan mereka juga tergantung kondisi alam. Hal ini mendorong perempuan berperan di kegiatan produktif. Perempuan nelayan disini memiliki beban kerja selain di bidang domestik juga di bidang publik. Beban kerja ini sebagai bentuk ketimpangan gender 41 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Kemiskinan Nelayan Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan multidimensi serta memiliki dampak sangat luas terhadap kualitas hidup manusia. Menurut Hermawati masalah kemiskinan selalu ditandai dengan adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kemiskinan merupakan tidak terpenuhinya kebutuhan yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan (Harahap, 2002). Pendapat Sugiharto E (2007) mengenai kemiskinan adalah bahwa kemiskinan merupakan persoalan krusial yang dihadapi nelayan dan tidak mudah untuk diatasi. Ciri-ciri kemiskinan sangat nampak pada masyarakat nelayan. Hal tersebut dapat dilihat pada pola hidup dan ketersediaan papan mereka yang memprihatinkan. (Saputri. 2012). Rumah tangga nelayan sudah lama diketahui tergolong dalam rumah tangga miskin, disamping rumah tangga petani sempit, buruh tani dan pengrajin (Sayogyo dalam Kusumo RAB, Charina A, Mukti W, 2013). Oleh Smith dalam Kusumo RAB, Charina A, Mukti W (2013) masyarakat nelayan digambarkan dengan ciri rendahnya tingkat kehidupan masyarakatnya. Menurut Suhaeti RN, Basuno E Masyarakat pesisir pada umumnya menunggu uluran tangan pihak luar untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kusumo RAB, Charina A, Mukti W. (2013) menambahkan bahwa nelayan merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat pesisir. Keberadaan nelayan sangat identik dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya terutama dibidang sosial ekonomi, di mana ketergantungan masyarakat nelayan pada sumber daya laut, keadaan cuaca dan alam sehingga pendapatan mereka juga tergantung kondisi alam. Jika lingkungan alam terganggu maka mereka tidak bisa melaut atau mencari ikan. Kehidupan sosial ekonomi yang sulit yang dialami oleh para nelayan sehingga mendorong peran perempuan untuk menjadi seorang nelayan demi membantu menopang kehidupan perekonomian keluarga mereka. Dengan perempuan menjadi seorang nelayan, pendapatan perekonomian keluarga mereka akan bertambah sehingga kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Hariansyah R (2013) mengemukakan Masyarakat nelayan adalah masyarakat paling miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya. Melimpahnya potensi hayati yang dikandung oleh laut disekitar tempat komunitas nelayan bermukim, seyogyanya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan secara finansial dan belum sejahtera, sehingga membuat para nelayan tetap berada pada kubangan kemiskinan. Retnowati E. 2013 sependapat dengan hal tersebut, di wilayah lautan Indonesia terkandung potensi ekonomi kelautan yang sangat besar dan beragam. Sedikitnya terdapat 13 (tiga belas) sektor yang ada di lautan, yang dapat dikembangkan serta dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian dan kemakmuran masyarakat Indonesia, yaitu meliputi: a. Perikanan tangkap, b. Perikanan budidaya, c. Industri pengolahan hasil budidaya, d. Industri bioteknologi kelautan, e. Pertambangan dan energi, f. Pariwisata bahari, g. Transportasi laut, h. Industri dan jasa maritim, i. Pulaupulau kecil, j. Sumber daya non-Konvensional, k. Bangunan kelautan, l. Benda-benda berharga dan warisan budaya, m. Jasa lingkungan Konversi dan Biodiversitas. Namun dalam realita tidaklah demikian, kemiskinan masih banyak melanda kehidupan nelayan. Dari sisi ekonomi hasil tangkapan nelayan masih jauh dari memadahi untuk memenuhi 42 kebutuhan hidupnya. Hal ini disebabkan karena minimnya modal yang dimiliki nelayan, tekanan dari pemilik modal, sistem bagi hasil yang tidak adil, perdagangan atau pelelangan ikan yang tidak transparan (dikuasai tengkulak) dan otoritas tidak punya wibawa untuk mengatur dan menegakkan aturan, serta pola atau budaya kerja yang masih apa adanya. Menurut Hermawati Pada masyarakat nelayan miskin, kondisi diperparah manakala para pembuat kebijakan dan program mengabaikan perbedaan kondisi dan kemampuan berbagai elemen masyarakat di dalamnya, termasuk laki-laki maupun perempuan, karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak ekonomi, sosial, politik dan kesempatan yang sama untuk peningkatan diri dan kesejahteraan hidupnya. Muttaqien dalam Hermawati mengungkapkan, bahwa kemiskinan menyebabkan : 1. Hilangnya kesejahteraan bagi kalangan miskin (sandang, pangan, papan), 2. Hilangnya hak akan pendidikan 3. Hilangnya hak akan kesehatan 4. Tersingkirnya dari pekerjaan yang layak secara kemanusiaan 5. Termarjinalkannya dari hak atas perlindungan hukum 6. Hilangnya hak atas rasa aman 7. Hilangnya hak atas partisipasi terhadap pemerintah dan keputusan publik 8. Hilangnya hak atas psikis 9. Hilangnya hak untuk berinovasi 10. Hilangnya hak atas kebebasan hidup. Hasil dari pekerjaan menjadi seorang nelayan yang menggantungkan hasil laut tentunya tidak bisa di prediksi oleh rumah tangga nelayan untuk mampu memberikan pemasukan yang cukup bagi rumah tangga nelayan. Melihat hal tersebut umumnya para nelayan menjalankan strategi-strategi dalam mengatasi kemiskinan yang terus membayangi kehidupan rumah tangga nelayan yang meliputi : Peran Anggota Keluarga, Jaringan Sosial, Diversifikasi Pekerjaan, serta Migrasi. (Hariansyah R, 2013) 1) Peran Anggota Keluarga Kesulitan yang terjadi akibat penghasilan yang tidak stabil dan dikarenakan hasil laut yang tidak menentu, tentunya berakibat pada kesulitan rumah tangga nelayan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan semakin menyulitkan mereka dalam mengatasi kemiskinan yang terus membayangi kehidupan rumah tangga nelayan, melihat hal tersebut anggota keluarga nelayan atau rumah tangga nelayan berusaha mengoptimalkan peran tenaga kerja anggota keluarga dalam berusaha mengatasi masalah kemiskinan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup, yang salah satunya dapat dilihat dari peran istri nelayan yang membantu dalam bekerja. 2). Jaringan Sosial Jaringan sosial dimanfaatkan nelayan sebagai salah satu strategi dalam menghadapi kemiskinan. Jaringan sosial ini dimanfaatkan dalam kegiatan menangkap ikan dan mengatasi tekanan-tekanan ekonomi. Pada saat musim hasil laut sedang sulit ataupun pada saat kondisi keuangan atau ekonomi keluarga sedang sulit nelayan biasanya meminjam uang kepada kerabat (saudara), tetangga maupun kepada pengumpul ikan yang tentunya diganti oleh nelayan pada saat nelayan mendapat penghasilan lebih nantinya. 3). Diversifikasi Pekerjaan Diversifikasi pekerjaan tentu saja erat hubungannya dengan kehidupan umum pada nelayan karena tentunya merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh nelayan dalam mengatasi kemiskinan. Dapat diketahui 43 pendapatan umumnya para nelayan yang bisa dikatakan tidak menentu dan sangat bergantung pada hasil laut tentunya membuat nelayan berpikir keras untuk berusaha menambah penghasilan untuk kebutuhan hidup sehari-hari yang harus terus dipenuhi, etos kerja merupakan salah satu hal yang mempengaruhi nelayan untuk mampu mengkombinasikan pekerjaan. 4). Migrasi Kebiasaan para nelayan biasanya melakukan migrasi untuk memperoleh hasil laut yang baik, nelayan biasanya melakukan migrasi sirkuler ke daerah perairan lain untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik. Selain strategi-strategi yang di lakukan nelayan untuk mengatasi kemiskinan, dalam konteks pengentasan kemiskinan di Indonesia terdapat berbagai upaya untuk menanggulangi masalah kemiskinan yang sudah lama dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui berbagai program. Namun setelah program penanggulangan kemiskinan yang ada dievaluasi oleh Bapenas pada tahun 2004, diperoleh kesimpulan bahwa program-program tersebut belum membuahkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Artinya, secara umum program-program tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang ada. Hal ini mengindikasikan belum efektifnya sebagian besar program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah (Hermawati). Ditinjau dari sisi metodologi, kegagalan program pengentasan kemiskinan menurut Dawam Raharjo dalam Hermawati adalah karena kesalahan dalam mendefinisikan konsep kemiskinan, sehingga implikasi metodologis dalam mengukur kemiskinan menjadi bias. Memperkuat pendapat Dawam Raharjo, Amelia Maika dalam Hermawati mengemukakan dalam disertasinya tentang ‘Mengukur Kemiskinan Subyektif di Indonesia’ yang menyatakan bahwa indikator ekonomi bukan satu-satunya metode untuk mengukur kemiskinan. Jika kemiskinan didefinisikan sebagai hasil penilaian individu terhadap kesejahteraannya, maka pengukuran subjektif perlu diperhatikan. Pengukuran subyektif tentang kemiskinan yang dimaksud adalah bagaimana si miskin menilai kemiskinan dari sudut pandang mereka sehingga posisi si miskin menjadi jelas. Tain A (2011) mengemukakan perlunya analisis kultural dan struktural secara simultan untuk memberi jalan keluar dalam pengentasan kemiskinan nelayan dan pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan pemerintah Indonesia. Kemiskinan pada rumah tangga nelayan setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk kemiskinan berdasarkan faktor pembentuknya. Pertama, kemiskinan struktural. Kemiskinan ini diderita oleh segolongan nelayan karena kondisi struktur sosial yang ada menjadikan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan kebijakan yang lebih menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar). Kedua, kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan terjadi karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai-nilai lokal yang memang tidak kondusif bagi suatu kemajuan. Ketiga, kemiskinan alamiah terjadi di mana kondisi alam yang tidak mendukung mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif ataupun perilaku produksi yang tidak produktif akibat sifat sumberdaya yang bersangkutan. Berikut faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan, yaitu: (Tain A. 2011) 1. Kelembagaan yang merugikan nelayan kecil 2. Program yang tidak memihak nelayan kecil 3. Pandangan hidup yang berorientasi akherat 44 4. Keterbatasan sumberdaya 5. Ketidak sesuaian alat tangkap 6. Rendahnya investasi 7. Terikat utang 8. Perilaku boros 9. Keterbatasan musim penangkapan 10. Kerusakan ekosistem 11. Penyerobotan wilayah tangkap 12. Lemahnya penegakan hukum 13. Kompetisi untuk mengungguli nelayan lain 14. Penggunaan alat/bahan terlarang 15. Perilaku penangkapan Berbagai program pembangunan perikanan selama ini dirasa tidak menguntungkan nelayan kecil serta mendorong ekploitasi berlebih atas sumberdaya perikanan yang ada. Bahwa program modernisasi perikanan dirasa lebih menguntungkan nelayan besar dan kurang memperhatikan/merugikan nelayan kecil. Modernisasi peralatan tangkap hanya bisa dinikmati oleh nelayan besar yang memiliki modal kuat dan akses ke pemegang kekuasaan. Sementara kebijakan pemerintah yang mengejar peningkatan produktivitas seringkali mengabaikan kepentingan nelayan kecil. Lebih lanjut hal ini menjadikan kehidupan rumahtangganelayan kecil semakin terpinggirkan dan hidup dalam kemiskinan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Tindjabate dalam Tain A (2011) di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah yang menunjukkan bahwa proses pemiskinan terhadap nelayan tradisional, terjadi dalam konteks kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam penyelenggaraan pembangunan subsektor perikanan laut. Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan Program pembangunan adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan melalui pemberdayaan keluarga dan organisasi dalam mengakses informasi, teknologi, modal dan sarana produksi (Badan Pengembangan SDM Pertanian dalam Yuwono DM, 2013). Program pembangunan sebagai salah satu upaya untuk pengentasan kemiskinan. Setelah Otonomi Daerah diberlakukan sejak tahun 2001, terjadi perubahan paradigma pembangunan, yaitu dari yang berorientasi sentralistik ke arah desentralisasi. Perubahan tersebut tentunya membawa konsekuensi yaitu: pemerintah harus memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut menentukan berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan berbagai permasalahan dan kebutuhan daerah setempat. Dari sisi pemerintah, dalam rangka memberikan fasilitasi kepada masyarakat sering tidak dilandasi oleh hasil-hasil identifikasi faktor-faktor penyebab yang berbasis gender. Banyak kalangan yang menilai pembangunan yang berjalan hingga saat ini masih netral gender, artinya masih banyak ketimpangan atau kesenjangan hubungan relasi antara berbagai pihak gender terutama antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh haknya. Muncul berbagai penilaian bahwa kedudukan dan peran perempuan masih berada pada posisi termarjinalkan, tersubordinasi atau bahkan diperlakukan secara diskriminatif, selain berbagai tindak kekerasan lainnya.( Suhaeti RN dan Basuno E ) Qoriah SN, Sumarti T (2008) menambahkan untuk memperbaiki kondisi masyarakat pesedaan, maka dibutuhkan kebijakan dalam program pembangunan yang 45 tidak hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas dalam luasan lahan atau melihat ukuran fisik saja, tetapi harus memperhatikan permasalahan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam implementasinya, setiap kebijakan program pembangunan yang dilakukan oleh setiap instansi seyogyanya juga harus memperhatikan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini karena pembangunan nasional ditunjukan untuk seluruh penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Ini kemudian diperkuat dengan ditetapkan INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan Nasional. Tujuan Pengarusutamaan Gender adalah terselenggaranya kebijakan dan program pembangunan yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian, sering kali masih saja terjadi bias gender dalam program pembangunan dan sering kali yang menjadi korban adalah perempuan. Perempuan memiliki tanggung jawab lebih di kegiatan produktif dan reproduktif, sehingga menyebabkan alokasi kerja perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Dalam kegiatan produktifpun perempuan mendapat upah lebih rendah dari laki-laki, Pembedaan ini karena ada pandangan bahwa laki-laki memiliki tenaga lebih besar dan kuat daripada perempuan.Selain itu terdapat perbedaan pembagian kerja dalam program antara lakilaki dan perempuan. Seperti perempuan bertugas mengelola kelompok tenun dan lakilaki mengelola ternak kambing dalam program desa mandiri pangan. Di tingkat rumah tangga baik penerima program dan bukan penerima program terjadi ketidakadilan gender yang termanifestasikan berupa beban kerja ganda pada perempuan. Dalam program pembangunan tidak mengubah pembagian kerja dalam rumah tangga. Antara laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama namun terdapat perbedaan dalam kontrol yang lebih di dominasi salah satu pihak. Selain itu program pembangunan dikatakan responsif gender apabila dapat memenuhi kebutuhan praktis dan strategis laki-laki dan perempuan (Qoriah SN, Sumarti T. 2008). Yuwono DM (2013) menambahkan bahwa umumnya perempuan petani adalah sumberdaya manusia yang masih diabaikan dalam program pembangunan pertanian. Berdasarkan hal tersebut, peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan mendapat perhatian yang besar dari pemerintah, dimana upaya peningkatan status dan kedudukan perempuan dalam semua aspek pembangunan satatus dan kondisi perempuan dicantumkan sebagai isu lintas bidang pembangunan. Dalam kedudukan sebagai subjek pembangunan, laki-laki dan perempuan selayaknya mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil pembangunan. Implementasi program pembangunan pertanian di tingkat desa menunjukkan akses laki-laki terhadap program pembangunan lebih besar dibanding perempuan (Hastuti Yuwono DM (2013). Pelaksanaan program pembangunan yang belum responsif gender akan menyebabkan ketidakberhasilan program tersebut dalam upaya melakukan pembangunan. Menurut Hermawati proses intervensi dan kualitas program untuk program keseluruhan terbukti berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap dampak program. Dalam suatu program perlu memperhatikan kepentingan, akses dan kontrol antara perempuan dan laki laki, hal ini untuk tercapainya keadilan gender dan keefektifan program pembangunan sehingga tujuan program pembangaunan seperti peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan dapat tercapai. Program pembangunan yang efektif dapat meningkatkan aspek ekonomi, sosial, psikis dan budaya yang berujung pada pengentasan kemiskinan (Hermawati). Diperlukan waktu dan alokasi dana khusus untuk melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai wujud pengintegrasian berbagai permasalahan, pengalaman dan kebutuhan gender ke dalam 46 proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan aktivitas monitoring dan evaluasi terhadap berbagai penguatan ekonomi masyarakat lokal kawasan pesisir dan pantai. Fasilitasi forum koordinasi lintas sektor yang terkait dalam program pengembangan kawasan pesisir secara terpadu, guna mengatasi berbagai kesenjangan gender yang terjadi.( Suhaeti RN dan Basuno E ) Ketidakadilan Gender Menurut Sulistyo dalam Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M (2013) gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal, berbeda dengan gender yang dapat berubah sesuai kultur sosial masyarakat. Qoriah SN, Sumarti T (2008) menambahkan Gender bukan suatu kodrat atau ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah. Gender dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat lain dan dapat berubah dari waktu ke waktu lain. Perbedaan gender ini kemudian melahirkan pembagian kerja gender. Pembagian kerja gender ini tercemin dalam tiga peran gender yaitu reproduktif, produktif dan sosial. Dalam peran reproduktif dituntut menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera seperti mengurus keluarga dan rumah, peran produktif melakukan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan berupa upah dan peran sosial yang berkaitan dengan kegiatan sosial (Harahap, 2002). Menurut Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M (2013) Pandangan mengenai gender yang bias dapat menimbulkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial dimana salah satu jenis kelamin (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban. Menurut Qoriah SN, Sumarti T (2008) Ketimpangan gender terjadi akibat hegemoni patriaki. Bentuk-bentuk diskriminasi gender berupa ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat serta ditempat kerja dalam berbagai bentuk, yaitu (Sulistyo dalam Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M , 2013): a. Stereotip/citra baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. b. Subordinasi/penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. c. Marginalisasi/peminggiran, adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. d. Beban ganda/double burden, adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. e. Kekerasan/violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan). 47 Khotimah dalam Kusumawati Y (2012) menambahkan bahwa dalam pekerjaan seringkali perempuan mengalami ketidakadilan karena persoalan: marjinalisasi dalam pekerjaan, kedudukan perempuan yang subordinat dalam sosial dan budaya, stereotype terhadap perempuan, tingkat pendidikan perempuan yang rendah. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diungkapkan Marx dalam Kusumawati Y (2012) bahwa wanita di telah mengalami subordinasi gender yaitu tersubordinasi dalam pekerjaan pekerjaan yang tidak memiliki prestise tinggi, karena didasarkan pada pekerjaan utamanya sebagai ibu rumah tangga. Untuk mengetahui ada atau tidaknya ketidakadilan gender dapat dianalisis melalui analisis gender. Menurut Doowling dalam Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M (2013) analisis gender dapat memperkuat dan meningkatkan kesetaraan gender dengan mencari penyebab yang menjadi dasar munculnya ketidaksetaraan gender itu dan membantu menyusun perencanaan yang peka terhadap isu gender, menetapkan target dan kebijakan serta program yang efektif. Analisis gender adalah himpunan dan analisis informasi dan data mengenai: a. Peran, kewajiban dan hak yang berbeda-beda bagi perempuan dan laki-laki. b. Kebutuhan, prioritas, peluang dan hambatan yang berbeda-beda bagi perempuan dan lakilaki. c. Alasan-alasan mengapa terjadi perbedaan - perbedaan tersebut. d. Peluang-peluang dan strategi-strategi untuk meningkatkan kesetaraan gender Analisis gender yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesetaraan gender (Dowling dalam Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M , 2013) : a. Analisis pembagian tugas Meneliti pembagian tugas berdasarkan gender – siapa melakukan apa – merupakan suatu yang penting untuk memahami apa yang dikerjakan laki-laki dan perempuan di lingkungan rumahtangga, masyarakat dan tempat kerja. Analisis pembagian tugas tidak hanya meneliti apa yang dikerjakan oleh lakilaki dan perempuan, tetapi dimana, kapan dan berapa banyak mereka melakukannya, apakah tenaga mereka di bayar atau tidak dan bagaimana pekerjaan mereka itu dihargai. Hal ini dapat menggambarkan tuntutan yang berbeda-beda terhadap waktu dan tenaga laki-laki dan perempuan, berapa pekerjaan mereka dihargai, pola kerja musiman dan strategi dalam memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari yang diterapkan oleh rumah tangga b. Analisis akses dan kontrol Analisis akses dan kontrol mengkaji siapa mempunyai apa–asset dan sumber daya swasta dan pemerintah yang dapat dipergunakan dan dimilki oleh laki-laki dan perempuan seperti tanah dan peralatan, dan lembaga seperti bank atau perusahaan kredit, maupun jaringan sosial dan profesional. Laki-laki dan perempuan acapkali mengalami perbedaan-perbedaan dalam tingkat akses dan kontrol terhadap aset dan sumber daya, sehingga hal ini berimplikasi pada kesetaraan gender. c. Analisis kebutuhan strategik dan praktis Analisis kebutuhan strategik dan praktis menganggap bahwa laki-laki dan perempuan membutuhkan perbaikan kehidupan mereka untuk saat ini dan untuk jangka panjang. Kebutuhan-kebutuhan praktis adalah yang berhubungan dengan kebutuhan manusia saat ini, kebutuhan materi seperti makanan, air dan tempat berlindung. Kebutuhan-kebutuhan strategik adalah kebutuhan-kebutuhan yang lebih menuntut perubahan jangka panjang terhadap hubungan-hubungan gender. 48 d. Analisis konteks sosiaL Meneliti dan memahami konteks sosial setempat, termasuk menginvestigasi hukum, sosial dan kultural dan nilai, agama dan institusi dan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi peran dan hubungan gender, merupakan suatu bagian yang sangat penting dari analisis gender. Faktor-faktor kecenderungan sosial dan kultural biasanya memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap peran dan hubungan gender dan sebagai kunci untuk memahami sebab terjadinya ketidak-setaraan gender. Tidak jauh berbeda dengan Qoriah SN, Sumarti T (2008) untuk mengungkapkan hubungan sosial laki-laki dan perempuan maka dapat dilakukan analisis gender dengan menggunakan dua macam teknik analisis yaitu teknik analisis Harvard melalui profil aktivitas, akses dan kontrol. Kemudian teknik yang kedua adalah teknik analisis Moser melalui mempertimbangkan kebutuhan praktis dan strategis. Menurut Kusumawati Y (2012) Paradigma pembagian kerja keluarga dalam masyarakat adalah suami berada di area pekerjaan publik karena kedudukannya sebagai pencari nafkah utama di dalam keluarga, sedangkan istri berada di area domestik yang mengatur rumah tangga dan anak-anak di rumah. Selain itu, seorang wanita yang lebih banyak beraktivitas di luar rumah, seringkali dianggap hal yang kurang pantas atau tabu. Namun pada kenyataannya, terutama pada keluarga miskin, banyak ibu rumah tangga yang kemudian aktif dalam kegiatan publik sebagai pencari nafkah. Tingkat ekonomi yang kurang mendukung atau kemiskinan yang membuat para wanita bersedia bekerja dalam kondisi apapun guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Dengan masuknya perempuan, terutama yang berstatus sudah menikah, ke dalam pekerjaan-pekerjaan di sektor publik, maka perempuan kemudian menjalankan peran ganda, yaitu tidak hanya peran domestik mereka sebagai ibu rumahtangga, namun juga peran publik, yaitu sebagai pencari nafkah (Supartiningsih dalam Kusumawati Y, 2012). Kusumo RAB, Charina A, Mukti GM menambahkan (2013) bahwa Istri dituntut berperan ganda, disamping sebagai pengurus rumah tangga, istri dituntut pula untuk membantu suami sebagai pencari nafkah untuk menambah pendapatan. Memandang bahwa kedudukan istri dalam keluarga lebih rendah dari pada suami sehingga wajar jika wewenang untuk mengambil keputusan ada di tangan suami. Pola pengambilan keputusan di sektor publik, khususnya pada aspek ekonomi lebih banyak didominasi oleh suami. Sebagian masyarakat berlaku pola pembagian kerja di sektor domestik merupakan tanggung jawab istri. Dengan demikian, ternyata pembakuan pembagian peran gender di mana lakilaki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik yang selama ini dipahami masyarakat, merupakan hal yang masih bisa ditawar dan berubah. Jika kondisi ini yang terjadi, maka tidak jarang peran ganda perempuan berubah menjadi beban ganda perempuan, karena selain tuntutan untuk tetap menjalankan peran domestik mereka, masuknya perempuan ke sektor publik membuat perempuan mendapatkan peran baru yang menuntut mereka untuk dilaksanakan dengan baik pula (Kusumawati Y, 2012). Apalagi menurut Rosadi dalam Kusumawati Y (2012) sebagian besar budaya masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya Jawa, memosisikan peran perempuan sebagai pemeran utama dalam rumah tangga, yaitu: melahirkan dan mengasuh anak, menyiapkan kebutuhan makanan, dan tata kelola ekonomi rumah tangga. Penambahan jam kerja perempuan di sektor publik tidak selalu mengurangi jam kerja perempuan di sektor domestik. Hal ini kemudian menjadi dilema yang berat bagi para wanita, karena disaat para wanita dituntut untuk ikut aktif dalam area publik dengan bekerja keras mencari nafkah dan berhadapan dengan ketidakadilan gender di masyarakat, sebagai seorang wanita 49 juga dituntut untuk tidak melupakan peran di area domestik. Untuk kegiatan ekonomi, aksi seorang wanita dalam mencari nafkah dianggap sangat kecil apabila dibandingkan dengan laki-laki (Yuliati dalam Kusumawati Y, 2012). Di masyarakat terdapat anggapan bahwa dengan pembagian waktu sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah, seorang wanita tidak mampu bekerja secara optimal. Dampak yang kemudian muncul adalah rendahnya upah yang diterima seorang wanita dalam pekerjaan. Menunjukkan bahwa para wanita ini mengalami eksploitasi dalam pekerjaanya. Upah yang didapatkan tidak sesuai dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan (Sudjana dalam Kusumawati Y, 2012). Eksploitasi ini juga terjadi dalam pengalokasian waktu. Seorang suami lebih banyak mengalokasikan waktu bekerja hanya di area publik saja dan tidak ikut campur dalam pekerjaan rumah tangga, sehingga beban kerja seorang perempuan lebih berat dibandingkan lakilaki. Apalagi jika ditambah perempuan bekerja di sektor publik, maka beban kerja perempuan menjadi semakin bertambah dan berlipat (double burden). Keadaan tersebut menunjukkan adanya eksploitasi terhadap perempuan, terutama dalam masalah waktu kerja (Kusumawati Y. 2012). Suhaeti RN, Basuno E menambahkan jumlah dan curahan waktu perempuan dalam kegiatan rumah tangga pada umumnya lebih tinggi dari curahan tenaga kerja laki-laki. Argumentasinya, karena perempuan merupakan penanggungjawab pekerjaan domestik (pengaturan rumah tangga) yang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Ketimpangan terjadi terutama dalam sektor domestik yang secara dominan masih menjadi ranah (domain) perempuan. Dari alokasi waktu yang dicurahkan, kondisi laki-laki lebih baik, demikian pula waktu senggang laki-laki lebih banyak. Hal ini dapat mengarah kepada ketidakadilan gender dalam arti salah satu pihak bisa saja dirugikan. Menurut Qoriah SN, Sumarti T (2008) Ketimpangan gender terjadi akibat hegemoni patriaki. Ketidakadilan Gender dalam Program Pembangunan dan Kemiskinan Nelayan Menurut Fakih dalam Yuwono DM (2013) Pengertian kata gender berbeda dengan seks (jenis kelamin), dimana gender dapat berubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat, sementara jenis kelamin dalam arti biologis tidak dapat berubah. Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Dengan demikian peran gender juga dapat ditukarkan antara pria dengan wanita, dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena diantara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani dan Sugiarti dalam Yuwono DM, 2013). Dalam kedudukan sebagai subjek pembangunan, laki-laki dan perempuan selayaknya mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil pembangunan. Gender menjadi permasalahan ketika timbul ketidakadilan gender (gender inequalities), yang termanifestasikan dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak (Fakih dalam Yuwono DM, 2013).Menurut Qoriah SN, Sumarti T (2008) ketimpangan gender terjadi akibat hegemoni patriaki. Dibutuhkan kebijakan dalam program pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas dalam luasan lahan atau melihat ukuran fisik saja, tetapi harus memperhatikan permasalahan sosial budaya masyarakat setempat (Qoriah SN, Sumarti T. 2008). Program pembangunan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan melalui pemberdayaan keluarga dan 50 organisasi dalam mengakses informasi, teknologi, modal dan sarana produksi (Badan Pengembangan SDM Pertanian dalam Yuwono DM, 2013). Suhaeti RN, Basuno E mengemukakan dari sisi pemerintah, dalam rangka memberikan fasilitasi kepada masyarakat sering tidak dilandasi oleh hasil-hasil identifikasi faktor-faktor penyebab yang berbasis gender. Banyak kalangan yang menilai pembangunan yang berjalan hingga saat ini masih netral gender, artinya masih banyak ketimpangan atau kesenjangan hubungan relasi antara berbagai pihak gender terutama antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh haknya. Muncul berbagai penilaian bahwa kedudukan dan peran perempuan masih berada pada posisi termarjinalkan, tersubordinasi atau bahkan diperlakukan secara diskriminatif, selain berbagai tindak kekerasan lainnya. Program pembangunan sebagai salah satu upaya untuk pengentasan kemiskinan. Dalam implementasinya, setiap kebijakan program pembangunan yang dilakukan oleh setiap instansi seyogyanya juga harus memperhatikan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini karena pembangunan nasional ditunjukan untuk seluruh penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Ini kemudian diperkuat dengan ditetapkan INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan Nasional. Tujuan Pengarusutamaan Gender adalah terselenggaranya kebijakan dan program pembangunan yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian, sering kali masih saja terjadi bias gender dalam program pembangunan dan sering kali yang menjadi korban adalah perempuan. Perempuan memiliki tanggung jawab lebih di kegiatan produktif dan reproduktif, sehingga menyebabkan alokasi kerja perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Dalam kegiatan produktifpun perempuan mendapat upah lebih rendah dari laki-laki, Pembedaan ini karena ada pandangan bahwa laki-laki memiliki tenaga lebih besar dan kuat daripada perempuan.Selain itu terdapat perbedaan pembagian kerja dalam program antara laki-laki dan perempuan. (Qoriah SN, Sumarti T. 2008) Antara laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama namun terdapat perbedaan dalam kontrol. Pelaksanaan program pembangunan yang belum responsif gender akan menyebabkan ketidakberhasilan program tersebut dalam upaya melakukan pembangunan. Hastuti dalam Yuwono DM (2013) menambahkan implementasi program pembangunan menunjukkan akses laki-laki terhadap program pembangunan lebih besar dibanding perempuan. Pelaksanaan program pembangunan yang belum responsif gender akan menyebabkan ketidakberhasilan program tersebut dalam upaya melakukan pembangunan. Menurut Hermawati proses intervensi dan kualitas program untuk program keseluruhan terbukti berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap dampak program. Dalam suatu program perlu memperhatikan kepentingan, akses dan kontrol antara perempuan dan laki laki, hal ini untuk tercapainya keadilan gender dan keefektifan program pembangunan sehingga tujuan program pembangaunan seperti peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan dapat tercapai. Program pembangunan yang efektif dapat meningkatkan aspek ekonomi, sosial, psikis dan budaya yang berujung pada pengentasan kemiskinan. Hermawati menambahkan kebijakan dan program mengabaikan perbedaan kondisi dan kemampuan berbagai elemen masyarakat di dalamnya, termasuk laki-laki maupun perempuan menjadi salah satu penyebab kondisi kemiskinan di masyarakat, karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak ekonomi, sosial, politik dan kesempatan yang sama untuk peningkatan diri dan kesejahteraan hidupnya. maka diperlukan waktu dan alokasi dana khusus untuk melakukan sosialisasi, advokasi dan fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai wujud pengintegrasian berbagai permasalahan, pengalaman dan kebutuhan gender ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan aktivitas monitoring dan evaluasi terhadap berbagai 51 penguatan ekonomi masyarakat lokal kawasan pesisir dan pantai. Fasilitasi forum koordinasi lintas sektor yang terkait dalam program pengembangan kawasan pesisir secara terpadu, guna mengatasi berbagai kesenjangan gender yang terjadi ( Suhaeti RN dan Basuno E ). Dengan demikian ketidakadilan gender dalam program pembangunan dapat menyebabkan dan memperparah kondisi kemiskinan masyarakat. Maka perlu memperhatikan pembagian peran, akses, kontrol, kebutuhan strategik dan kebutuhan praktis antara laki-laki dan perempuan dalam program pembangunan sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan di masyarakat. Karena melalui program pembangunan yang responsif gender dapat meningkatkan aspek ekonomi, sosial, psikis dan budaya yang berujung pada pengentasan kemiskinan. 52 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang kompleks di Indonesia dan sangat identik dengan rumah tangga nelayan. Potensi sumberdaya yang berada di laut begitu melimpah, seharusnya potensi sumberdaya tersebut menjadi sumber pendapatan untuk memperbaiki kondisi kehidupan nelayan. Namun hingga saat ini nelayan masih mengalami kondisi kemiskinan. Terdapat lima macam kemiskinan yang dialami oleh nelayan, yakni kemiskinan subjektif, objektif, struktural, kultural dan alamiah. Kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti budaya kerja nelayan , kondisi sumberdaya laut yang tidak tetap, produktivitas rendah, pendapatan rendah, program yang tidak memihak pada nelayan, dan ketimpangan gender dalam pelaksanaan program. Dengan kondisi kemiskinan yang dihadapi nelayan, nelayan memiliki strategi dalam mengatasi kemiskinan, yakni melibatkan anggota keluarga untuk meningkatkan pendapatan, membangun jaringan sosial, kombinasi pekerjaan dan melakukan migrasi. Kondisi kemiskinan diperparah manakala pembuat kebijakan atau program pembangunan tidak memperhatikan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Beberapa penelitian mengungkapkan masih banyak ketimpangan hubungan antara lakilaki dan perempuan dalam memperoleh haknya. Ketimpangan tersebutdapat berbentuk streotipe, marginalisasi, subordinasi, dan beban kerja. Seharusnya program pembangunan ditunjukan untuk seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini demi tercapainya keberhasilan program pembangunan sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan. Untuk mengetahui suatu program pembangunan telah memperhatikan hubungan antar laki-laki dan perempuan atau bisa dikatakan program pembangunan tersebut responsif gender atau tidak dapat diketahui melalui analisis gender. Analisis gender berkaitan dengan analisis pembagian kerja, akses dan kontrol, serta kebutuhan praktis dan strategis antara laki-laki dan perempuan. Jika dari hasil analisis terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan maka program pembangunan tersebut belum responsif gender. Dalam pembagian kerja terdapat peran produktif, peran reproduktif dan peran sosial, yang dikenal sebagai peran gender. Pembentukan peran gender ini dipengaruhi oleh konstruksi sosial dalam masyarakat, perubahan teknologi dan pendidikan serta faktor ekonomi yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan dalam peran gender. Sehingga peran gender dapat berubah dari waktu ke waktu, berbeda halnya dengan perbedaan seks laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi kodrat dari Tuhan. Dari analisis gender dapat diketahui ada atau tidaknya ketimpangan gender dalam suatu program pembangunan. Jika terdapat ketimpangan gender dalam suatu program, maka hal tersebut dapat menyebabkan atau memperparah kemiskinan . Sehingga perlu adanya upaya penanggulangan kemiskinan melalui program pembangunan yang responsif gender. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan adanya sosialisasi mengenai kesadaran gender, advokasi dan fasilitasi pelaksanaan program pembangunan yang responsif gender. Dengan upaya ini dapat memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk dapat meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan sebagai upaya pengentasan kemiskinan nelayan. 52 Kerangka Analisis Produktivitas dan pendapatan rendah Program yang tidak memihak nelayan Ketimpangan gender dalam pelaksanaan program pembangunan : Marginalisasi Subordinasi Streotipe Beban kerja Budaya kerja Kondisi sumberdaya laut yang tidak tetap Upaya penanggulanan kemiskinan melalui program pembangunan yang responsif gender dengan: -Sosialisasi -Advokasi -Fasilitasi pelaksanaan pengarusutamaan gender KEMISKINAN NELAYAN -Kemiskinan subjektif -Kemiskinan objektif -Kemiskinan struktural -Kemiskinan kultural -Kemiskinan alamiah -Kontruksi sosial - Pendidikan - Teknologi - Ekonomi Peran gender: Analisis gender: -Reproduktif -Produktif -Sosial -Pembagian kerja -Akses dan kontrol -Kebutuhan praktis dan strategis -Perempuan dominan dalam peran reproduktif -Laki-laki dominan dalam kontrol -Alokasi waktu timpang : Mempengaruhi -Produktivitas -Pendapatan -kesejahteraan Strategi nelayan Peranan anggota keluarga Gambar 12. Kerangka Analisis Keterangan : Meningkatkan: Jaringan sosial Kombinasi pekerjaan Migrasi 53 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi Berdasarkan kerangka analisis, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat kemiskinan rumah tangga nelayan? 2. Bagaimana ketidakadilan gender dalam program pembangunan? 3. Bagaimana hubungan ketidakadilan gender dalam program pembangunan terhadap kemiskinan rumah tangga nelayan? 54 DAFTAR PUSTAKA Efianingrum A. 2008. Pendidikan dan Pemajuan Perempuan: Menuju Keadilan Gender. [Jurnal Fondasia]. [internet]. [dikutip tanggal 14 maret 2015]. Yogyakarta [ID]: UNY. Dapat di unduh di: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Artikel%20Fondasia%202008.pdf. Harahap RFA. 2014. Analisis pengaruh ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. [skripsi]. [Internet]. [dikutip tanggal 28 febuari 2015]. Semarang [ID]: UNDIP. Dapat di unduh di: http://eprints.undip.ac.id/44692/1/11_HARAHAP.pdf. Hariansyah R. 2013. Strategi Rumah Tangga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan. [jurnal]. [internet]. [dikutip tanggal 14 Maret 2015]. Tanjung Pinang [ID]: Universitas Maritim Raja Ali Haji. Dapat diunduh di http://jurnal.umrah.ac.id/wp content/uploads/2013/08/JURNAL-REKIHARIANSYAH-090569201020SOSIOLOGI-2013.pdf . Hendayana R., S. Wahyuni. Dimensi Peran Gender Dalam Pengembangan Usaha Ternak Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Hermawati I. [tanpa tahun]. Dampak Program Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Jayapura. [Jurnal] Penelitian dan Evaluasi Pendidikan]. [internet]. [dikutip tanggal 23 Maret 2015]. Yogyakarta [ID]: Universitas Negeri Yogyakarta. Dapat diunduh di http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved= 0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjournal.uny.ac.id%2Findex.php%2Fjpep %2Farticle%2Fdownload%2F1110%2F892&ei=97s5Vf3PPMLRmwWHmYHI BQ&usg=AFQjCNEYMlU7urh16MfKhjiFw1InJGjfRg&sig2=BNyqrNNOmbz wGjVI2-H3Vw. Hikmah, et al. 2008. Gender Dalam Rumah Tangga masyarakat Nelayan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Kartikaningdyah E, Ramdaniah C, Mayasari M. 2013. Kontribusi Wanita Nelayan dalam Sosiokultural Gender di Kelurahan Pulau Panjang Barelang Batam. [jurnal]. [internet]. [dikutip tanggal 24 April 2015]. Batam [ID]: Politeknik Batam. Dapat diunduh di http://p2m.polibatam.ac.id/wpcontent/uploads/2014/01/Microsoft-Word-09-Jurnal-Integrasi-2013-ElyKartika.pdf Kusumawati Y. 2012. Peran Ganda Perempuan Pemetik Teh. [Jurnal Komunitas: Vol 4 No 2]. [internet]. [dikutip tanggal 14 Maret 2015]. Jawa Tengah [ID]. Dapat diunduh di http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas. Kusumo RAB, Charina A, Mukti W. 2013. Analisis Gender dalam Kehidupan Keluarga Nelayan di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis. [JurnalSosial Ekonomi Pertanian: Vol 2 No 1]. [internet]. [dikutip tanggal 24 April 2015]. Bandung [ID]: Universitas Padjajaran. Dapat di unduh di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=152635&val=5163&title= 55 ANALISIS%20GENDER%20DALAM%20KEHIDUPAN%20KELUARGA%2 0NELAYAN%20DI%20KECAMATAM%20PANGANDARAN%20KABUPA TEN%20CIAMIS. Qoriah SN, Sumarti T. 2008. Analisis Gender dalam Program Desa Mandiri Pangan. [Jurnal Transdisiplin Sosiologi: Vol02 No 02]. [internet]. [dikutip tanggal 23 april 2015]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh di: http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5884. Retnowati E. 2013. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural Perspektif Sosial Ekonomi dan Hukum. [Jurnal Perpektif: Vol XVI No 3]. [internet]. [dikutip tanggal 14 Maret 2015]. Sumatera Utara [ID]: Universitas Sumatera Utara. Dapat diunduh di http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/12.pdf Saputri D. 2012. Peran Perempuan Nelayan dalam Produksi dan Distribusi Hasil Laut. [jurnal]. [internet]. [dikutip tanggal 4 Maret 2015]. Sumatera Utara [ID]: Universitas Sumatera Utara. Dapat diunduh di http://jurnal.usu.ac.id/index.php/persos/article/view/152/126 Sugiharto E. 2007. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru Ilir Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik. [Jurnal EPP: Vol 4 No 2]. [internet]. [dikutip tanggal 14 Maret 2015]. Samarinda [ID]: Unmul Samarinda. Dapat diunduh di http://agribisnisfpumjurnal.files.wordpress.com/2012/03/jurnal-vol-4-no-1eko.pdf Suhaeti RN, Basumo E. Integrasi Gender dalam Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir. [jurnal]. [internet]. [dikutip tanggal 24 Maret 2015]. Bogor [ID]: Badan Litbang Pertanian. Dapat diunduh di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=13006&val=926. Tain A. 2011. Penyebab Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan di Wilayah Tangkap Lebih Jawa Timur. [Jurnal Humanity: Vol 7 No 1]. [internet]. [dikutip tanggal 24 April 2015]. Malang [ID]: Universitas Muhammadiyah. Dapat diunduh di http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/1401 Yuwono DM. 2013. Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Pertanian: Kasus Pada Pelaksanaan Program FEATI Di Kabupaten Magelang. [Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan: Vol 10 No 1]. [internet]. [dikutip tanggal 23 Maret 2015]. Dapat diunduh di https://www.academia.edu/6800952/PENGARUSUTAMAAN_GENDER_DAL AM_PEMBANGUNAN_PERTANIAN_KASUS_PADA_PELAKSANAAN_P ROGRAM_FEATI_DI_KABUPATEN_MAGELANG. 56 LAMPIRAN Riwayat Hidup Nuraini dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 20 Oktober 1994 sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Gatot Najamudin dan Fatmawati. Menempuh pendidikan formal di TK Islam Al-Fajar Bekasi pada tahun 1999-2000, SD Islam Al-Fajar Bekasi pada tahun 2000-2006, SMP Negeri 30 Bekasi pada tahun 20062009, SMA Negeri 12 Bekasi pada tahun 2009-2012. Dari SMP hingga SMA penulis aktif di berbagai kegiatan organisasi di Kota Bekasi. Pada tahun 2012, penulis dinyatakan lulus seleksi perguruan tinggi negeri melalui jalur undangan di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama penulis menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam perkuliahan, berbagai kegiatan kepanitiaan dan organisasi. Dibeberapa kesempatan penulis pernah di amanahkan untuk menjadi ketua divisi event dalam kegiatan IPB Business Festival pada tahun 2014 dan pada saat ini menjadi ketua divisi human resource development dalam kegiatan leadership and entrepreneur school. Selain itu penulis pernah menjadi anggota Century IPB divisi finance and business pada tahun 2012-2014, panitia masa perkenalanan Fakultas Ekologi Manusia, panitia masa perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Penulispun pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah dasar-dasar komunikasi dan dicalonkan sebagai mahasiswa prestasi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.