PENERAPAN SIMBOL DAN ORNAMEN PADA KONSTRUKSI TOU KUNG di RUMAH TINGGAL TRADISIONAL CINA (Studi Kasus: Rumah Tinggal Tradisional di area Pecinan Jakarta) Penulis : Yudita Royandi1 [email protected] Staf Pengajar Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain, UK. Maranatha Jl. Prof. Drg. Soeria Sumantri, MPH no. 65, Bandung ABSTRACT Chinese settlement in Jakarta is a form of architectural products that affect the historical development of the city. Chinese descent people as immigrant communities have established a specific and unique built environment order that influenced by its culture, tradition and beliefs which are very strong in the Chinese society at large. Like other tribes in Indonesia, these communities also strongly apply their belief systems in symbols and architectural ornaments which of course is for the fulfillment of the good values according to their beliefs, such as acquiring wealth, happiness and prosperity. One of the unique architectural elements in traditional chinese house is a bracket system called Tou Kung. This system is a cantilever roof construction above wooden stuctural column. This research is aimed to explore the application of chinese believes in traditional chinese house architecture, especially in its Tou Kung construction. Key words: traditional chinese house, tou kung, ornaments, symbols 1 Penulis untuk korespondensi 1 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 1.Pendahuluan Bangsa Cina, pertama kali datang ke Pulau Jawa pada abad ke-10 dan sebagian besar singgah pada pelabuhan-pelabuhan penting saat itu yaitu Sunda Kelapa, Semarang dan Surabaya dengan tujuan berdagang. Imigrasi besar-besaran baru terjadi pada abad ke-19 setelah perang dunia I, di mana mereka kemudian menempati distrik-distrik yang telah ditentukan sebagai wilayah Pecinan. Kompleks pemukiman masyarakat Cina ini terbentuk secara nyata terutama setelah pemerintah Belanda pada jaman kolonial, sekitar abad ke-17 (pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Jan Pieter Zoen Coen) menempatkan warga ini pada sebuah tempat yang terpusat, dan karena sejak awal kedatangannya masyarakat ini membawa misi berdagang (di samping dikenalnya masyarakat Cina sebagai masyarakat yang ulet dalam bidang ekonomi) maka umumnya daerah pemukiman ini yang selanjutnya disebut sebagai Pecinan selalu dikonotasikan sebagai daerah pusat perdagangan. Pemusatan ini bertujuan agar masyarakat Cina yang pada masa itu digolongkan sebagai masyarakat kelas dua bersama-sama dengan bangsa Timur Jauh seperti India dan Arab, dapat menjadi penghubung antara bangsa Eropa sebagai pemerintah yang digolongkan sebagai masyarakat kelas satu dengan bangsa pribumi yang digolongkan sebagai masyarakat kelas terendah. Orang-orang Cina ini dianggap lebih mampu berkomunikasi dengan orangorang pribumi. Baru pada akhir abad ke-19 terjadi penghapusan kelas-kelas tersebut. Untuk mendirikan Batavia, Jan Pieter zoen Coen, yang waktu itu adalah kepala para pedagang Belanda yang berdagang ke Indonesia, memerintahkan anak buahnya membawa orang-orang Cina ke Batavia untuk dipekerjakan sebagai pembangun kota. Tingginya kebutuhan akan tenaga kerja di daerah pemukiman baru tersebut menyebabkan Jan Pieter zoen Coen menempuh segala cara untuk memperoleh sumber daya manusia yang baru. Pada tahun 1622 ia mengirim kapal-kapal ke pantai Cina Tenggara untuk mencari tenaga kerja etnis Cina dengan beragam profesi, seperti: pedagang, nelayan, petani, buruh perkebunan dan perajin. Saat itu tidak ada bangsa lain selain orang Cina yang dapat ditarik untuk bekerja di Batavia dengan mudah dan dapat melayani Belanda dengan baik. Setelah kota pelabuhan ini berkembang dengan pesat, maka pemaksaan para pekerja ini tidak diperlukan lagi karena para pedagang Cina datang ke pelabuhan ini dengan membawa calon tenaga kerja yang ingin mencari kerja di Asia Tenggara. Setiap tahunnya ribuan orang Cina dibawa ke Jawa. Seiring dengan semakin berkembangnya perdagangan di pelabuhan Jakarta ini, maka terjadi perubahan peran pedagang Cina yang bermukim di Jawa. Jika mulanya mereka hanya berperan sebagai distributor pedagang kelontong besar di Cina dengan penduduk pribumi sekarang perannya adalah sebagai penghubung distribusi barang antara para pedagang Belanda dengan penduduk pribumi di Jawa. 2 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Pada tahun 1740 terjadi pembantaian besar-besaran orang Cina yang tinggal di Batavia, diawali oleh pengangguran besar yang terjadi karena pabrik gula yang ada waktu itu mengalami kemerosotan sehingga banyak pekerja yang diberhentikan. Untuk mengurangi jumlah orang Cina yang ada maka pemerintah Belanda mulai berupaya untuk memindahkan mereka ke Sri Lanka, yang justru diisukan bahwa orang-orang ini akan dibuang ke laut. Hal ini menimbulkan pemberontakan orang Cina terhadap penguasa Belanda saat itu. Pemberontakan ini akhirnya ditumpas oleh pemerintah Belanda. Setelah peristiwa ini orang-orang Cina yang mengungsi keluar Batavia tidak lagi diperkenankan tinggal di dalam tembok kota dan ditempatkan di sebelah Selatannya, karena jumlah mereka yang mulai bertambah seiring membaiknya kondisi sosial saat itu dan mulai datangnya kembali imigran Cina. Pemerintah Belanda memilih tempat ini dengan pertimbangan bahwa lokasinya masih dalam jarak yang cukup untuk diawasi, “ Terjangkau oleh peluru meriam kami” 1 . Perkampungan Cina atau Chineezen Wijk inilah yang sekarang dikenal sebagai Glodok 2 . Gambar 1. Peta Area Glodok (Sumber: www.technicaudio-glodok.com, 10 Februari 2013) Pemukiman Cina ini merupakan salah satu bentuk produk arsitektur yang mempengaruhi sejarah perkembangan kota Jakarta. Warga keturunan Cina sebagai masyarakat pendatang telah membentuk sebuah tatanan baru yang spesifik dan unik terutama karena dipengaruhi oleh faktor budaya, tradisidan kepercayaan yang sangat kental pada pada masyarakat Cina pada umumnya. Seperti pada suku-suku yang ada di Indonesia, masyarakat ini pun mengaplikasikan sistem kepercayaan mereka secara kuat pada simbolsimbol ornamen dan pengaturan denah yang khusus yang tentu saja ditujukan bagi pemenuhan nilai-nilai yang baik menurut kepercayaan mereka, seperti memperoleh kemakmuran, kebahagiaan dan kekayaan. 1 Twan Djie Liem, “Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa : Suatu Studi Ekonomi.” Penerbit : PT. Gramedia dan Perwakilian KITLV, Jakarta, 1995 2 Eddy Prabowo Witanto,” Toko Kompak Pasar Baru : Suatu Tinjauan Ragam Hias dan Arsitektur Bangunan Rumah-Toko Cina Abad ke-19”, Fakultas Sastra UI, Jakarta, 1997 3 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Blok hunian yang ada di kawasan Pecinan merupakan suatu blok yang sudah dibuat oleh Belanda dengan pola tata letak khusus seperti adanya kanal dan susunan bangunan yang ditata memanjang. Dengan demikian umumnya orang-orang Cina ini tidak dapat lagi menggunakan aturan yang didasari oleh kepercayaan tradisional Cina seperti pengaturan bangunan menggunakan Feng Shui dan penerapan arah muka bangunan yang baik (seperti pentingnya menghadap arah Selatan). Namun mereka dapat memakainya dalam pengaturan bagian dalam bangunan, dan penerapan gaya bangunan seperti bentuk atap serta detail ornamen pada komponenkomponen arsitekturalnya 3 . tenang dan puas dengan menjalani hidup secara harmonis setiap hari serta senantiasa mengarahkan diri pada hal keilahian, maka hidup mereka akan diberkati. Religi masyarakat Cina dipengaruhi oleh ajaran Konfusius yang pada perkembangannya kemudian membaur dengan ajaran Buddha dan Taoisme. Tiga ajaran ini disebut San Jiao atau Sam Kauw, di Hong Kong dikenal sebagai “San chiao wei yi” 4 yang artinya ‘tiga ajaran tersebut adalah satu’, sedangkan di Indonesia dikenal sebagai ‘ Tridharma’. Jarang sekali dijumpai orang-orang Cina yang memegang ajaran-ajaran tersebut secara terpisah, karena itu ada sebutan yang mengatakan bahwa agama orang Cina itu tidak lain adalah Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme. Ketiga ajaran tersebut terkait erat dan saling melengkapi. Bagi orang-orang Cina pada umumnya, religi mencakup juga kepercayaan terhadap dewa-dewa lokal, roh-roh, dan arwah leluhur yang mempengaruhi keseharian mereka. Karena aktivitas perdagangan di kawasan itu bercampur dengan pemukiman, maka umumnya bangunan yang ada adalah rumah-toko yang sederhana, yaitu pada lantai satu digunakan sebagai toko dan lantai dua digunakan sebagai area hunian. Bangunan lainnya berupa rumah tinggal saja ataupun toko saja. Sedangkan bangunan rumah tinggal yang besar hanya sedikit jumlahnya dan dimiliki oleh para bangsawan, kapiten atau letnan-letnan Cina. Salah satu cara agama atau kepercayaan mewujudkan dirinya adalah melalui simbol-simbol. Ada empat simbol utama yang dikenal dalam tradisi Cina, yaitu : 2. Gambaran tentang tradisi dan kepercayaan Cina 1. Delapan simbol keabadian (Emblems of the Eight Immortals) : Bangsa Cina adalah sebuah bangsa yang sangat besar dengan peradaban yang telah berlangsung selama ribuan tahun lamanya. Sebagai salah satu bangsa dengan peradaban tertua di dunia, maka merupakan hal yang tak terelakkan jika bangsa ini menghasilkan begitu banyak mitos/legenda, hal-hal mistis, politikus andal, filsuf, dan sekolah-sekolah filsafat. Pada masyarakat ini yang dimulai sejak jaman Cina kuno telah terlihat secara nyata bahwa agama dan mitos, filsafat dan politik bidang keilmuan dan tahayul, kehidupan umat manusia dan ritual, senantiasa saling berhadapan dan melengkapi satu sama lain dalam hidup keseharian mereka. Karena hal itulah sampai saat ini kemanapun bangsa Cina merantau mereka tetap memegang erat tradisi mereka. Begitu banyak kepercayaan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari bangsa Cina, beberapa adalah halhal yang berkaitan dengan nasib dan peruntungan hidup, sedangkan yang lainnya adalah hal-hal yang mungkin membuat banyak orang di luar etnis Cina berpendapat masalah tersebut sangat tidak masuk akal karena tidak berdasarkan fakta keilmuan. Kehidupan masyarakat Cina begitu erat dengan kewajiban untuk menghormati arwah para leluhur, memberikan ketentraman bagi roh-roh yang ada, pencarian terhadap ilmu tersembunyi tentang masa depan atau ramalan. Seluruh hal di atas telah diatur dengan baik, sehingga masyarakat Cina yakin bahwa dengan memberikan penghormatan ritual kepada arwah leluhur, roh-roh para dewa, membuat mereka terdiri atas kipas (fan), pedang (sword), kendi dari buah labu (gourd), alat musik kastanyet (castanets), buket bunga (flower basket), alat musik bambu (bamboo tube and rods), seruling (flute), dan bunga teratai (lotus). 2. Delapan simbol Buddha ( The Eight Buddhist Symbols) : terdiri atas roda hukum atau cakra (wheels of law), kulit kerang (conch shell), payung (umbrella), kanopi atau tenda (canopy), bunga teratai (lotus), kendi ( jar), ikan (fish), dan simpul tak terputus (endless knot) 3. Delapan simbol kebahagiaan ( The Eight Treasures) : terdiri atas mutiara (pearl), mata uang (coin), obat atau tablet (lozenge), cermin (mirror), sepacang lonceng dari batu (stone chime), buku atau kitab (books), daun Artemisia yaitu daun penyembuh (artemisia leaf ), dan terompet dari cula badak (rhinocheros horns) 4. Empat simbol kepandaian ( The Four Accomplishment) : terdiri dari papan catur, satu set kitab, gulungan pustaka, dan bantal Simbol-simbol inilah yang kemudian sering digunakan sebagai bentuk ornamen pada bangunan–bangunan Cina 3. Tinjauan umum arsitektur rumah tinggal Cina Lebih dari sekedar tempat untuk berlindung atau wadah untuk 3 Wuryani Kuryana, Seminar Arsitektur :“Sejarah Perkembangan Kawasan Pecinan Jakarta Kota serta Kemungkinan Pemugarannya”, Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 1989 4 Frena Bloomfield,” The Book of Chinese Beliefs: A journey into the Chinese inner world”,1983,hlm. 34 4 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 5 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 men­j alankan aktivitas sehari-hari, rumah Cina merupakan cerminan dari tradisi, kepercayaan, dan simbol-simbol, yang menggaungkan arsitektur monumental yang besar dimiliki Cina. Tradisi rakyat bangsa Cina dan hubungan keluarga yang erat tampak dengan jelas pada bentuk dan simbolisasi dalam rumah Cina. Bangsa ini memperlakukan rumah mereka sebagai mikrokosmos yang mewakili makrokosmos sebagai penghormatan mereka terhadap alam semesta yang bagi masyarakat Cina merupakan keyakinan yang telah mendarah daging. Simbolisasi dan ornamen yang dipergunakan pada rumah Cina melahirkan hubungan penting dengan banyak aspek terutama yang berkaitan dengan kepercayaan mereka sehingga banyak simbol-simbol dibuat dengan harapan hal tersebut akan dapat menjalin hubungan baik dengan para leluhur, para dewa, alam semesta (termasuk didalamnya keluarga, manusia lain , hewan dan tumbuhan, langit, bumi, dan lain-lain) dan dengan Thein (Tuhan). Dengan adanya hubungan baik ini mereka yakin bahwa kebahagiaan dan kemakmuran akan datang dengan sendirinya dan sebaliknya kemalangan akan pergi dari mereka. Yu Hao dalam bukunya ‘Mu Ching”, menuliskan adanya hubungan antara proporsi tiap-tiap bagian dalam bangunan, yang terbagi atas tiga bagian yaitu bagian atas adalah bagian yang terdapat di atas konstruksi penopang atap (yang disebut tou kung), bagian tengah adalah bagian yang terdapat antara dasar bangunan dan konstruksi penopang atap, termasuk di kolom, dan bagian yang ketiga adalah bagian bawah yaitu bagian podium sebagai kaki bangunan. Penerapan adanya bagian atas, tengah dan bawah ini adalah juga merupakan simbolisasi alam mikrokosmos yang menyimbolkan bagian atas sebagai dunia keilahian, bagian tengah sebagai tempat hidup manusia, dan bagian bawah sebagai tempat hidup roh-roh yang buruk. Ciri yang khas pada rumah Cina ialah adanya penerapan ornamen sebagai makna simbolis pada hampir setiap elemen arsitektur yang ada. Istilah ‘ornamen’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ornare yang artinya hiasan atau perhiasan. Dalam Ensiklopedi Internasional, ornamen diartikan dalam dua pengertian. Pertama, ornamen yang merupakan struktur, di sini ornamen merupakan bagian yang integral dari suatu benda, misalnya bagian kepala (atas) pada kolom di Yunani. Kedua, ornamen sebagai tambahan dekoratif dari suatu benda yang tetap berfungsi walaupun tanpa ornamen tersebut. Dari Kamus Bahasa Indonesia Populer, ornamen berarti hiasan dalam arsitektur, kerajinan tangan, lukisan, dan hiasan. Sedangkan dari Encyclopedia of Britanica, didapatkan bahwa di dalam musik, ornamen merupakan perhiasan melodi, baik dengan penambahan nada-nada ataupun dengan memodifikasikan irama. Ornamentasi ditambahkan pada komposisi yang sudah lengkap untuk memberikan keindahan yang lebih besar.Pada masyarakat tertentu, keberadaan ornamen merupakan salah satu bentuk 5 David G. Kohl., “Chinese Architecture in the Straits Settelements and Western Malaya : Temples, Kongsis, and Houses”, Kualalumpur, 1984 6 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 pemuasan kebutuhan religi, di mana penggunaan ataupun pemilihan ornamen di sini memiliki makna yang lebih dari sekedar tujuan estetika. Bentuk ornamen ini dapat ‘berbicara’ mengungkapkan sesuatu melebihi dari apa yang terlihat, sesuatu yang mungkin tak terpikirkan oleh kita. Kayu adalah salah satu elemen yang terpenting dalam menciptakan karakter dalam rumah Cina. Kayu dalam simbolisasi Cina mewakili dirinya sendiri yaitu elemen kayu, dan dianggap sebagai ‘bagian tengah’ yang menghubungkan antara bumi dan surga. Karenanya material kayu dianggap sebagai material yang paling sesuai bagi manusia. Tidak ada rumah Cina yang merupakan tempat yang layak sebagai hunian, ataupun tempat pemujaan kepada dewa dan leluhur, kecuali jika ia dibangun dari kayu dan diatapi oleh atap tanah liat 5 . Konstruksi truss kayu pada bangunan Cina memiliki karakter yang khas yaitu karena sifatnya yang terekspos, menampilkan kejujuran visual dan sistem strukturnya. Struktur kayu ini benar-benar berfungsi efektif dan mencerminkan secara jelas prinsip ‘kolom dan balok’, yang mengalirkan beban dari puncak atap sampai ke podium dan kemudian diteruskan ke tanah. Pada bangunan Cina ada sebuah struktur yang khas yaitu sistem braket yang disebut Tou Kung (lihat Gambar. 2), yang merupakan konstruksi penopang atap yang berada di atas kolom yang secara estetis berfungsi sebagai kepala kolom seperti capital pada banguan-banguan Eropa (kepala kolom Ionic, Doric, Korinthian,dsb). Sistem braket ini pada mulanya terbentuk dari sistem pendukung sederhana yang menopang perpanjangan balok horisontal paling bawah dari kuda-kuda (Chia Liang) dan kaso tepi atap ( Yen Ch’uan dan Fei Ch’uan) yang menjurai keluar. Dan sistem pendukung sederhana ini kemudian berkembang menjadi sistem yang lebih rumit. Gambar. 2. Sistem braket (Tou Kung) sebagai elemen struktur dan dekoratif pada bangunan tradisional Cina. (Sumber : David G. Kohl,“Chinese Architecture in the Straits Settlements and Western Malaya : Temples, Kongsis, and Houses”) Djih Su Gin, “Chinese Architecture Past and Contemporary”,Hongkong,1964 6 7 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Sistem braket terdiri atas dua bagian utama, yaitu alas ( Tou) dan lenganlengan kantilever (Kung). Tou merupakan balok yang pada umumnya berbentuk persegi panjang atau lingkaran yang letaknya di atas kolom (sebagai kepala atau topi kolom). Tou ini berfungsi untuk menopang lenganlengan kantilever (Kung) yang diletakkan di atasnya. Sedangkan Kung merupakan susunan lengan-lengan kantilever horisontal di mana semakin ke atas semakin memanjang sehingga membentuk piramida terbalik. Lengan-lengan kantilever ini saling menopang satu sama lain secara sikusiku. Perpanjangan balok horisontal paling bawah dari kuda-kuda (Chia Liang) dan kaso tepi atap ( Yen Ch’uan dan Fei Ch’uan) yang menjurai keluar ditopang oleh lengan kantilever yang terletak di paling atas. Diteruskan oleh lengan kantilever yang ada di bawahnya terus sampai lengan kantilever terbawah. Kemudian lengan kantilever terbawah inilah yang diletakkan atau bertumpu pada alas atau Tou (lihat Gambar : 3) 6 . Berbeda dengan tipe Sung, tipe Fukien mempunyai lengan-lengan kantilever yang tersusun hanya pada satu arah sehingga secara keseluruhan membentuk bidang segitiga yang terbalik. Lengan-lengan kantilever pada tipe Fukien ini tidak hanya menopang pada alasnya (tou) saja, tapi juga menopang langsung pada kolom dengan cara menancapkan lengan-lengan kantilever tersebut langsung pada kolom (lihat Gambar. 5). Gambar. 5. Contoh penggunaan sistem braket tipe Fukien (sumber : David G. Kohl,“Chinese Architecture in the Straits Settlements and Western Malaya : Temples, Kongsis and Houses”) 4. Penerapan Struktur rangka kayu yang terekspos, Tou Kung dan ornamennya pada Rumah Tinggal Cina di Pecinan Jakarta Gambar. 3. Alas (Tou) pada sistem kantilever yang berfungsi menopang lengan-lengan kantilever (Kung) di atasnya (Sumber : David G. Kohl, “Chinese Architecture in the Straits Settlements and Western Malaya : Temples, Kongsis, and Houses”) Ada dua jenis sistem braket yang sering dipakai yaitu tipe Sung dan tipe Fukien. Secara fisik ada dua perbedaan yang terlihat jelas di antara keduanya. Tipe Sung mempunyai lengan-lengan kantilever yang menjari ke empat arah dan menopang pada alas (tou). Alas (tou) pada tipe Sung mempunyai empat celah (slot) untuk menempatkan lengan-lengan kantilever pada arahnya masing-masing. Sehingga secara keseluruhan, susunan lengan-lengan kantilever dan alas pada tipe Sung ini membentuk piramida bersusun yang terbalik. Pada tipe ini seluruh lengan-lengan kantilever yang ada menopang pada alasnya (tou) (lihat Gambar. 4). Seperti pada bangunan tradisional Cina pada umumnya, rumah-rumah tinggal Cina yang ada di Pecinan di Jakarta pun menggunakan material kayu secara dominan baik untuk sistem strukturnya maupun elemen arsitektur lainnya seperti penutup lantai, balustrade, jendela dan pintu. Sistem struktur rangka kayu yang terekspos ini didisain dengan sangat baik sehingga memberikan ekspresi estetis yang indah. Seluruh beban mati dari atap diterima oleh balok dan kolom, dan pada bangunan rumah tinggal yang memiliki gable wall atau dinding pemikul maka dinding inipun ikut berfungsi sebagai penyalur beban dari atap sampai ke tanah. Kolom yang ada terdiri atas kolom yang telah tersembunyi dalam dinding tembok dan kolom kayu yang terekspos. Umumnya kolom kayu yang terdapat pada rumah tinggal menggunakan jenis kolom kayu yang berpenampang bujursangkar, ada yang dilapisi cat dan ada yang dibiarkan terbuka sehingga terlihat warna dan tekstur kayunya. Yang tampak paling dominan dalam sistem struktur rumah Cina ini adalah konstruksi kuda-kuda dan braket dari kayu yang didisain selain baik secara konstruksi juga indah secara estetis. Umumnya sistem konstruksi kayu penopang atapnya termasuk tipe ‘Chuan-duo’ 7 (lihat Gambar. 6). 7 Gambar. 4. Contoh penggunaan sistem braket tipe Sung 8 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 (sumber : Henri Stierlin, “Architecture of the World, China”, Lausanne) Laurence G. Liu, “Chinese Architecture”, Hongkong, 1989 9 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Gambar. 6 dan 7 Konstruksi ‘Chuan Duo’ yang digunakan pada bangunan bisa (bukan bangunan penting, contoh : rumah tinggal) (sumber : Laurence G. Liu, “Chinese Architecture) Konstruksi atap dengan balok horisontal dan vertikal pada rumah tinggal di Jalan Pajagalan, Jakarta (sumber : dokumen pribadi, 2002) Seperti yang tampak pada rumah tinggal yang dulu sekaligus berfungsi sebagai pabrik karet yang terdapat di Jalan Pajagalan (Gambar. 7), di mana konstruksi kayu tampak pada kuda-kuda atapnya. Sistem pembebanan dari atap ditopang oleh kuda-kuda yang terdiri dari balok vertikal dan horisontal yang disusun saling tegak lurus membentuk seperti piramida yang bersusun. Balok-balok ini berpenampang kotak sedangkan gordingnya (purlin) berpenampang lingkaran dan dilapisi cat berwarna hijau yang sama dengan langit-langit yang menempel pada gording ini. Pada balok-balok horisontalnya dihias dengan ukiran bermotif flora, sedangkan balok vertikalnya dibiarkan polos, seperti tampak pada konstruksi struktur penopang atap bangunan utama pada rumah tinggal di Jalan Pejagalan, Jakarta ini. Gambar. 8, 9, dan 10 Konstruksi kuda-kuda kayu pada rumah tinggal di Jalan Gajah Mada, Jakarta (sumber : dokumen pribadi, 2002) Papan catur (Empat Simbol Kepandaian) (sumber : Bryan Hook, “The Cambridge E­ ncyclopedia of China”, Cambridge, 1991 Tumpukan buku (Delapan Simbol Kebahagiaan) (sumber : Bryan Hook, ”The Cambridge Encyclopedia of China”, Cambridge, 1991) Tumpukan buku melambangkan benda yang dapat mengusir kekuatan jahat dan merupakan lambang ilmu pengetahuan, sedangkan papan catur dihubungkan dengan simbol astrologis yaitu ‘square’ yang melambangkan tahapan hidup manusia (Gambar. 9). Pada ruang di bagian belakang ruang utama terdapat konstruksi kudakuda kayu yang lebih kecil, yang tidak memiliki balok vertikal ‘king post’ melainkan langsung menggunakan balok horisontal yang melengkung ke atas sebagai puncak kuda-kudanya (Gambar. 11). Seluruh balok yang menyusun konstruksi kuda-kuda ini juga dihias dengan ornamen ukiran kombinasi dari motif meander dan flora (bunga-bungaan). Pada balok tarik utamanya terdapat ornamen sepasang singa emas yang merupakan salah satu simbol kepercayaan Cina yang banyak terdapat pada bangunan Cina (Gambar. 12). Sistem konstruksi kuda-kuda yang lebih rumit tampak pada kuda-kuda kayu pada rumah tinggal di Jalan Gajah Mada (Gambar 8). Pada kuda-kuda ini diletakkan bermacam-macam ornamen yang berasal dari figur-figur mistis yang dianggap dapat membawa kebahagiaan, kemakmuran, dan sebagai penghormatan pada dewa dan alam semesta. 10 Pada kuda-kuda atap utama terlihat dengan jelas adanya balok-balok horisontal dan vertikal yang bertumpu saling tegak lurus satu sama lain dan seluruhnya dihias dengan ukiran bunga serta motif ‘meander’. Pada bagian puncak ditopang oleh balok vertikal yang berfungsi sebagai ‘king post’ (san chu) yang menopang balok wuwung (chi heng). Sedangkan bagian tepi kuda-kuda yang merupakan balok vertikal yang menerus ke kolom samping di bawahnya merupakan balok ‘queen post’ (kua chu). Pada balok tarik utama (chia liang) yaitu balok sisi bawah segitiga kuda-kuda terdapat ornamen yang diambil dari Empat Simbol Kepandaian bagi bangsa Cina yaitu papan catur dan dari Delapan Benda Berharga yaitu tumpukan buku (Gambar. 10). Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Gambar. 11 dan 12 Konstruksi kuda-kuda pada ruang di belakang ruang utama pada rumah tinggal di Jalan Gajah Mada, Jakarta (sumber : dokumen pribadi, 2002) Singa sebagai lambang keberanian, pelindung dan energi (sumber : C.A.S. Williams, “The Outline of Chinese Symbolism and Art Motives”) 11 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Gambar. 13 Konstruksi kuda-kuda kayu samping pada rumah tinggal di Jalan Gajah Mada, Jakarta (sumber : dokumen pribadi,2002) Sedangkan pada kuda-kuda yang menempel di tembok samping pada ruang yang sama digunakan ornamen yang lebih sederhana, yaitu hiasan ukiran pada tiap balok baik yang vertikal maupun horisontal, kecuali pada balok tarik utamanya dibiarkan polos (Gambar. 13). Sedangkan pada teras bagian depan rumah tinggal di Jalan Gajah Mada ditemukan konstruksi braket yang lebih rumit, yaitu yang memiliki dua lapis lengan kantilever, namun tanpa alas ( Tou) dan ditancapkan langsung pada kolom kayu berpenampang segiempat . Lengan kantilever yang paling bawah dibuat cukup panjang sedangkan lengan kantilever di atasnya sangat pendek, berbentuk seperti kelos yang menyangga balok gording. Balok-balok yang menyusun konstruksi braket ini dicat dengan warna hitam yang melambangkan kehormatan dan elemen logam, sedangkan ornamen yang ada yang dibuat dalam motif flora dicat dengan warna emas yang menyimbolkan kemajuan, kemasyuran, dan arah keilahian. Kombinasi warna pada konstruksi ini sangat menarik sehingga dapat menjadi elemen estetis yang mempercantik bangunan (Gambar. 14). Gambar. 14 Konstruksi braket pada teras depan rumah tinggal di Jalan Gajah Mada (sumber : dokumen pribadi, 2002) 12 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Gambar. 15. Sistem braket sederhana yang terdapat pada rumah tinggal di Jalan Pajagalan 8, Jakarta (sumber : dokumen pribadi 2002) Pada umumnya konstruksi braket yang dipergunakan pada rumah-rumah tinggal di kompleks Pecinan Jakarta telah mengalami penyederhanaan, bergantung pada kondisi sosial dan ekonomi pemiliknya. Sistem braket yang paling umum ditemukan pada rumah Cina di Jakarta adalah sistem braket tipe Fukien, yaitu balok-balok kantilever yang ada tidak hanya menopang pada alasnya (tou) tetapi juga menancap langsung pada kolom. Sistem braket yang paling sederhana dapat dilihat pada sistem braket yang terdapat pada teras atas rumah tinggal di Jalan Pajagalan 8 (Gambar. 15). Pada sistem braket ini lengan kantilever yang berjumlah satu lapis ditancapkan langsung pada kolom dan menopang gording, berfungsi sebagai konsol. Pada braket ini tidak terdapat ornamen sama sekali dan seluruh konstruksi braketnya dicat dengan warna hijau yang melambangkan kehidupan dan musim semi. Gambar. 16 dan 17 . Sistem braket yang terdapat pada rumah tinggal di Jalan Pajagalan, Jakarta (termasuk dalam tipe Fukien sederhana) (sumber : dokumen pribadi,2002) Sistem braket tipe Fukien (sumber : David G. Kohl, “Chinese Architecture in the Straits Settlements and Western Malaya”) 13 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Sistem braket lain yang juga sederhana yang berfungsi sebagai konsol yang menyangga teritisan terdapat pada rumah tinggal di Jalan Pajagalan 62 (Gambar. 16). Pada braket ini tidak terdapat tou (alas) sebagai penyangga lengan kantilever yang ada. Lengan kantilever (kung) yang hanya terdiri dari satu lapis langsung menancap pada kolom berpenampang segiempat serta hanya menyusun ke satu arah saja yaitu ke arah teritisan . Sistem ini mirip dengan sistem braket tipe Fukien namun yang telah dibuat sangat sederhana. Pada konstruksi ini tidak ditemukan ornamen yang rumit, hanya ditemukan ukiran meander pada lengan kantilever yang langsung menyangga gording. Sistem braket sederhana yang agak berbeda tampak pada konstruksi konsol di teras atas bangunan Toko Kompak di Jalan Pasar Baru. Karena teritisan yang pendek maka lengan kantilever yang ada sengaja dibuat menonjol sehingga nyaris melebihi teritisan, sehingga ujung balok kantilevernya terbuka terlihat dari depan dan diberi ukiran (Gambar. 18). Pada bagian kiri dan kanan kolom yaitu pada daerah siku-siku antara kolom dan balok horisontal antar kolom, diberi ukiran bunga-bungaan dari kayu, yang menggambarkan bunga lotus dan bunga peony. Bunga lotus menggambarkan kesucian dan merupakan salah satu dari delapan simbol Budha, sedangkan bunga peony melambangkan kemakmuran dan perkembangan (Gambar. 19. dan Gambar. 21). Seluruh konstruksi balok dan kolomnya dicat dengan warna merah yang melambangkan kemakmuran dan nasib baik. Gambar. 18, 19 dan 20 Sistem braket pada bangunan teras depan atas Toko Kompak, Jalan Pasar Baru, Jakarta (sumber : dokumen pribadi, 2002) Western Malaya”) Ornamen bunga lotus pada braket (Toko Kompak, Jalan Pasar Baru, Jakarta) (sumber : dokumen pribadi , 2002) Bungalotusdari DelapanSimbolBudhadansimbol kemurnian (sumber : Wolfram Eberhard, “Times Dictionary of Chinese Symbols”) 14 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Gambar. 21 dan 22 Ornamen bunga Peony pada braket (Toko Kompak, Jalan Pasar Baru, Jakarta) (sumber : dokumen pribadi, 2002) Bunga peony lambang kemakmuran dan perkembangan (sumber : Wolfram Eberhard, “Times Dictionary of Chinese Symbols) 5.Simpulan Penelitian terhadap rumah tinggal bergaya tradisional Cina di daerah Pecinan Jakarta memperlihatkan masih kentalnya penerapan elemen arsitektur khas Cina elemen arsitektur dan interiornya, terutama penggunaan sistem rangka kayu yang terekspos dan rangka penopang atap (tou Kung). Pada elemen ini pula banyak diterapkan ornamen berupa simbol-simbol religius dari kepercayaan Cina yang diyakini dapat membawa pengaruh baik bagi penghuni yang tinggal di dalamnya. Sistem tou kung yang paling banyak ditemui pada rumah tinggal di Pecinan Jakarta ini adalah tipe Fukien. Semakin tinggi kelas ekonomi dan sosial penghuninya, maka semakin rumit konstruksi tou kung yang digunakan serta semakin banyak pula ornamen yang diterapkan. Ditemukan pula bahwa konstruksi tou kung yang diterapkan di rumahrumah tradisional di Pecinan Jakarta ini telah banyak disederhanakan dari tipe aslinya di negara China. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu rumah tinggal bagi masyarakat keturunan Cina benar-benar merupakan representasi dari tradisi dan kebudayaannya, namun seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan jaman telah terjadi pergeseran nilai sehingga rumah tinggal yang ada sekarang lebih merupakan warisan turun temurun. 15 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013 Daftar pustaka Bloomfield, Frena, “The Book of Chinese Beliefs : A Journey into the Chinese inner World”, Canada, 1983. Eberhard, Wolfram. “Times Dictionary of Chinese Symbolism : An Essential Guide to the Hidden symbols in Chinese Art, Customs and Believes”, Singapore, 1996. Gin, Djih Su. Chinese Architecture: Past and Contemporary. Hogkong. 1964 Hook, Brian. “The Cambridge Encyclopedia of China”, Cambridge, 1991 Knapp, Ronald G.“The Chinese House : Craft, Symbols, and the Folk Tradition”, Oxford University Press, 1990 Kohl, G David. “Chinese Architectute in the Straits Settlements and Western Malaya : Temples, Kongsis and Houses”, Kualalumpur, 1984 Kuryana, Wuryani. Seminar Arsitektur :“Sejarah Perkembangan Pecinan Jakarta Kota serta Kemungkinan Pemugarannya”, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1989 Liu, Laurence G, “Chinese Architecture”, Hongkong, 1989 Stierlin, Henri. “Architecture of the World, China”, Lausanne, 1970 Widodo, Johanes. “The Architecture of Chinese Diaspora in Southeast Asia”, Lecture 2, Departemen of Architecture, National University of Singapore, 2001 Williams, C.A.S, “The Outlines of Chinese Symbolism and Art Motives”, New York, 1976 16 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013