PERBAIKAN TANAH MEDIA TANAMAN JERUK DENGAN BERBAGAI BAHAN ORGANIK DALAM BENTUK KOMPOS ANI SURYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 ANI SURYANI. Soil Improvement of Citrus Crop Media with Organic Substances in the Form of Compost. Supervised by GUNAWAN DJAJAKIRANA and BASUKI SUMAWINATA ABSTRACT Addition of compost can improve the properties of soil, but it is rarely used although it has many benefits to soil. On the other hand, the use of ex situ material has been found in many places. Organic substances that easily available in situ are effective as compost materials. This research used five in situ organic substances with the objectives: to know the nutrient content of compost that have been used, to see the influence of compost addition to soil properties and citrus growth, and to find the compost type that giving the best influence to the growth of citrus crop. This research analyzed the physical, chemical, and biological properties of soil, and analyzed the nutrient content of the crop. The results of this research indicated that the nutrient content of compost depended on its origin. Compost influenced the properties of soil beginning three months after compost application that was showed by the increasing of nutrient availability. Compost also influenced the earthworm population where 906 worms/m2 have been found after six months of application of straw compost, and 1099 worms/m2 after application of grass compost. Compost application influenced physical properties of soil that encourage “the piled soil” (trumbuk) porosity, through improvement the composition of soil. After six month of application, the growth of the citrus plant was slightly influenced by addition of compost, this can be seen from the nutrient content of the plants, but from the amount of citrus fruits were shown clearly that application of cattle dung and banana tree compost could increased the yields. Keywords: citrus, organic substance, and compost 3 RINGKASAN ANI SURYANI. Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk dengan Berbagai Bahan Organik dalam Bentuk Kompos. Di bawah Bimbingan GUNAWAN DJAJAKIRANA dan BASUKI SUMAWINATA. Penambahan bahan organik berupa kompos dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, akan tetapi banyak ditinggalkan penggunaannya padahal perannya sangat besar bagi perbaikan tanah. Selain itu, penggunaan bahan yang tidak ditemukan di lapang pun sering terjadi. Penggunaan bahan organik yang mudah diperoleh setempat (in situ) dipandang efektif sebagai bahan pembuat kompos. Penelitian ini menggunakan lima macam bahan organik in situ, dengan tujuan mengetahui kandungan hara dari kompos yang digunakan, melihat pengaruh penambahan kompos terhadap perubahan sifat-sifat tanah dan pertumbuhan tanaman, dan mencari jenis kompos yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan tanaman jeruk. Penelitian ini menganalisis sifat kimia, biologi tanah, dan fisika, dan analisis kadar hara tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan hara kompos tergantung dari jenis bahan asalnya. Pengaruh aplikasi kompos terhadap sifat-sifat tanah media tanaman jeruk sudah mulai terlihat sejak tiga bulan setelah aplikasi, di mana terjadi peningkatan ketersediaan hara di dalam tanah. Kompos juga sangat mempengaruhi populasi cacing di dalam tanah, terlihat dari aplikasi kompos jerami padi populasi cacing mencapai 906 ekor/m2, bahkan aplikasi kompos rumput mencapai 1099 ekor/m2. Terhadap sifat fisik, aplikasi kompos memperbaiki porositas trumbuk, dengan perbandingan komposisi pembentuk tanah menjadi lebih baik. Pertumbuhan tanaman selama enam bulan setelah aplikasi kompos sedikit dipengaruhi oleh penambahan kompos yang dapat terlihat dari masih kurangnya perubahan dalam kadar hara tanaman jeruk, namun dari jumlah buah sudah terlihat bahwa aplikasi kompos kotoran sapi dan kompos batang pisang jelas meningkatkan produksi buah. 4 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk dengan Berbagai Bahan Organik dalam Bentuk Kompos adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2007 Ani Suryani NIM A251040031 5 ©Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ilmiah dalam bentuk apappun tanpa izin IPB 6 PERBAIKAN TANAH MEDIA TANAMAN JERUK DENGAN BERBAGAI BAHAN ORGANIK DALAM BENTUK KOMPOS ANI SURYANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 7 Judul Tesis Nama NIM : Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk dengan Berbagai Bahan Organik dalam Bentuk Kompos : Ani Suryani : A251040031 Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.S. M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, 8 Tanggal Ujian: 23 Agustus 2007 Tanggal Lulus: RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 23 Agustus 1980 dari pasangan Ayahanda Helmi Ma’az dan Ibunda Zainab (Almh). Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara. Pada tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pontianak dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima pada Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian dan menamatkannya pada tahun 2003. Penulis pernah bekerja sebagai Staff Administrasi (Honorer) di Proyek Quality for Undergraduate Education (QUE), Departemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Pada tahun 2004 penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah pada Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor, September 2007 Penulis 9 KATA PENGANTAR Puji syukur tiada hentinya penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan hamba, Nabi besar Muhammad saw. beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang tetap setia mengikuti risalahnya hingga hari akhir. Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Institut Pertanian Bogor yang berjudul Perbaikan tanah Media tanaman Jeruk dengan Berbagai Bahan Organik dalam Bentuk Kompos. Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya diucapkan pada Bapak Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc., sebagai ketua komisi atas bantuan, petunjuk, saran dan bimbingannya sejak awal pendidikan hingga penulisan tesis ini selesai. Kepada Bapak Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr. sebagai anggota komisi atas petunjuk, arahan, dan pelajaran hidup yang diberikan selama ini. Kepada Bapak Dr Ir Suwardi M.Agr. sebagai penguji atas masukan, ide dan sarannya. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga disampaikan pada: 1. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (DAMANDIRI), Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Pemerintah Kabupaten Sambas yang turut serta membantu pembiayaan hingga terlaksananya penelitian ini, 2. Seluruh Dosen yang mengajarkan banyak hal kepada penulis, 3. Seluruh Staff di Lab. Tanah atas kerjasama dan bantuannya, 4. Staff di Lab. Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, atas kerjasama, dan bantuan fasilitasnya, 5. Teman-teman kerja di kebun atas bantuan dan kerjasamanya, dan 6. Teman-teman seperjuangan di Kampus yang banyak memberikan motivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas-tugas. Secara khusus penulis mengucapkan rasa terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Ayahanda Hemi Ma’az dan Kakanda Dewi Mustika, Ana Rosilawati, Iskandar Zulkarnaen dan Siti Komalasari dan seluruh keluarga yang 10 telah mendanai dan memberikan kepercayaan, dukungan dan doa tulus ikhlasnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Kepada Ibunda Zainab (Almh), yang selama masa hidupnya telah memberikan kepercayaan, doa tulus ikhlasnya dan pelajaran hidup yang sangat berharga kepada penulis. Terimakasih pula kepada seluruh pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh partisipasinya sehingga penulisan ini dapat diselesaikan. Akhirnya penulis mengharapkan semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Bogor, September 2007 Penulis 11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 Latar Belakang .......................................................................................... Tujuan ....................................................................................................... 1 4 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 5 Bahan Organik Tanah ............................................................................... 5 Pengaruh Bahan Organik terhadap Tanaman ............................................ 9 Pengomposan ............................................................................................ 11 Tanaman Jeruk .......................................................................................... 13 METODOLOGI ................................................................................................. 15 Waktu dan Tempat .................................................................................... 15 Bahan dan Alat .......................................................................................... 15 Metode Penelitian ..................................................................................... 15 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 22 Hasil Pengomposan ................................................................................... Kualitas Kompos dari Berbagai Bahan Organik ....................................... Pengaruh Kompos terhadap Sifat Kimia Tanah ........................................ Pengaruh Kompos terhadap Sifat Biologi Tanah ....................................... Pengaruh Kompos terhadap Sifat Fisika Tanah ......................................... Pengaruh Kompos terhadap Kadar Hara dan Pertumbuhan Tanaman ...... Peluang Bisnis Kompos ............................................................................ 22 23 27 33 37 42 48 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 52 LAMPIRAN ....................................................................................................... 56 12 DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Metode yang digunakan untuk analisis sifat tanah ................................ 19 2. Metode yang digunakan untuk analisis tanaman .................................... 19 3. Lamanya proses dan hasil pengomposan ................................................ 22 4. Sifat kimia kompos dari berbagai bahan ................................................ 24 5. Jumlah hara tersedia yang ditambahkan ................................................ 26 6. Pengaruh perlakuan kompos terhadap sifat kimia tanah setelah tiga dan enam bulan aplikasi ................................................................................ 28 Pengaruh perlakuan kompos terhadap unsur mikro tanah setelah tiga dan enam bulan aplikasi (ppm) ............................................................... 32 Pengaruh perlakuan kompos terhadap kandungan nitrat tanah pada kondisi awal dan setelah enam bulan aplikasi ........................................ 33 Pengaruh perlakuan kompos terhadap kadar unsur makro daun tanaman setelah tiga dan enam bulan aplikasi ...................................... 45 10. Pengaruh perlakuan kompos terhadap kadar unsur mikro tanaman setelah tiga dan enam bulan aplikasi (ppm) ........................................... 46 11. Prediksi jumlah Hari Orang Kerja (HOK) dalam pembuatan kompos .. 49 7. 8. 9. Lampiran 1. Analisis tanah pendahuluan di lokasi penelitian .................................... 57 2. Standar analisa daun jeruk yang berasal dari cabang yang tidak berbuah (Obreza et al., 1999) dan kadar hara awal tanaman .............. .... 58 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan kompos terhadap ketersediaan hara tanah pada bulan ketiga ............................................. 58 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan kompos terhadap kadar hara tanaman jeruk pada bulan ketiga ............................................................ 60 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan kompos terhadap ketersediaan hara tanah pada bulan keenam .......................................... 61 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan kompos terhadap kadar hara tanaman jeruk pada bulan keenam ......................................................... 62 Data curah hujan daerah penelitian tahun 2006 ...................................... 64 3. 4. 5. 6. 7. 13 DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Penampang profil tanah di lokasi penelitian ........................................... 2 2. Penanaman jeruk dengan pembuatan trumbuk ...................................... 2 3. Lokasi penelitian di lapang .................................................................... 16 4. Kerangka pemikiran penelitian yang dilakukan ..................................... 21 5. Hubungan perlakuan kompos dengan populasi cacing tanah ................. 34 6. Cacing yang ditemukan di lapang (a) cacing yang ditemukan pada tanah yang diaplikasikan kompos kotoran ayam, (b) cacing yang ditemukan pada tanah yang diaplikasikan kompos jerami padi ............. 35 7. Hubungan perlakuan kompos dengan respirasi tanah ............................. 36 8. Hubungan perlakuan kompos dengan CMic tanah .................................. 37 9. Hubungan perlakuan kompos dengan komposisi tanah lapisan trumbuk pada bulan ketiga..................................................................................... 38 10. Hubungan perlakuan kompos dengan komposisi tanah lapisan trumbuk pada bulan keenam .................................................................................. 38 11. Hubungan perlakuan kompos dengan komposisi tanah lapisan lantai pada bulan ketiga .................................................................................... 39 12. Hubungan perlakuan kompos dengan komposisi tanah lapisan lantai pada bulan keenam ................................................................................. 39 13. Hubungan perlakuan kompos dengan bobot isi tanah ............................ 40 14. Hubungan perlakuan kompos dengan porositas tanah ........................... 41 15. Hubungan perlakuan kompos dengan perubahan diameter tajuk tanaman ................................................................................................... 42 16. Hubungan perlakuan kompos dengan kedalaman perakaran tanaman ... 43 17. Hubungan perlakuan kompos dengan jumlah buah yang dihasilkan ..... 48 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Jeruk merupakan salah satu jenis komoditas hortikultura yang banyak disukai masyarakat dan pemasarannya cukup baik. Upaya pengembangan jeruk ini banyak dilakukan oleh petani. Salah satu daerah sentra produksi jeruk adalah di Kalimantan Barat, Kabupaten Sambas yang dikenal sebagai sentra jeruk pontianak. Dalam sejarahnya, jeruk pontianak pernah mencapai masa keemasan pada tahun 1992 di mana luas pertanaman mencapai sekitar 21.000 ha, tanaman produktif sekitar 15.000 ha dan produksi total mencapai 234.059 ton/tahun (Azri, 2004). Produksi jeruk yang melimpah ini didistribusikan sampai ke Pulau Jawa. Akan tetapi, setelah beberapa tahun, jeruk pontianak mengalami kehancuran produksi. Penyebab hancurnya perdagangan jeruk pontianak menurut beberapa pendapat di antaranya adalah: 1) praktik monopoli perdagangan, 2) harga jeruk yang rendah mengakibatkan petani tidak mampu membiayai perawatan kebun jeruk, dan 3) tidak adanya pemeliharaan yang menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Tanaman yang sudah tua akibat tidak adanya peremajaan sehingga produktivitas tanaman menurun juga menyebabkan hancurnya perdagangan jeruk. Namun jika dihubungkan dengan karakteristik tanah di lokasi sentra jeruk tersebut, kami berpendapat hal itu lebih disebabkan oleh faktor fisika kimia tanah yang tidak cukup menunjang pertanaman jeruk. Jika diamati dengan seksama, karakteristik sifat fisika tanah tempat sentra produksi jeruk umumnya adalah tanah yang memiliki porositas dan drainase yang baik. Di daerah Sambas, jeruk dikembangkan di atas tanah yang berdrainase buruk dengan struktur masif, di mana penggunaan awal umumnya adalah areal persawahan. Gambar 1 menunjukkan kondisi daerah perakaran tanaman jeruk di daerah Kabupaten Sambas. Terlihat dengan jelas bahwa tanah pada lokasi penanaman jeruk sangat masif bahkan terdapat bercak-bercak kuning kemerahan yang menunjukkan bahwa tanah sering berada dalam kondisi tereduksi. 15 Gambar 1. Penampang profil tanah di lokasi penelitian Salah satu alasan sehingga jeruk dapat berkembang di daerah tersebut adalah karena petani menanam jeruk dengan menumpukkan tanah sehingga menjadi tinggi, atau yang dikenal masyarakat Sambas sebagai trumbuk. Adapun tujuan pembuatan trumbuk ini adalah agar akar tanaman tidak terendam air pada saat musim hujan. Secara ilmu tanah, hal tersebut dipandang sebagai usaha untuk memperbaiki struktur tanah. Gambar 2. Penanaman jeruk dengan pembuatan trumbuk 16 Mengingat kemantapan struktur agregat sangat berkorelasi dengan kandungan bahan organik tanah, maka dalam penelitian ini dilakukan penelitian tentang pemberian bahan organik. Bahan organik tanah sangat penting dalam usaha pertanian (Syers dan Crasswell, 1995; Carter, 2001; Crasswel dan Leffroy, 2001). Bahan organik tanah memiliki peran dan fungsi yang sangat vital di dalam perbaikan tanah, meliputi sifat fisika, kimia maupun biologi tanah (Young, 1989; Keulen, 2001). Terhadap sifat fisik tanah, bahan organik berperan dalam proses pembentukan dan mempertahankan kestabilan struktur tanah, berdrainase baik sehingga mudah melalukan air, dan mampu memegang air banyak. Sebagai akibatnya tanah tidak mudah memadat karena rusaknya struktur tanah. Penambahan bahan organik juga menambah ketersediaan hara dalam tanah. Selain itu juga sebagai penyedia sumber energi bagi aktivitas mikroorganisme sehingga meningkatkan kegiatan organisme, baik mikro maupun makro di dalam tanah. Perbaikan tanah dapat dilakukan melalui perbaikan sifat-sifat kimia, fisik maupun biologinya agar tanah tersebut memiliki kemampuan lebih besar dalam mendukung produksi tanaman. Agar ketiga sifat tanah dapat diperbaiki secara simultan, maka pemberian bahan organik serta pupuk anorganik dipandang merupakan alternatif yang terbaik. Permasalahannya adalah bahan organik yang perlu ditambahkan memerlukan jumlah yang sangat besar dan tidak tersedia dalam jumlah dan mutu yang sesuai. Selain itu, jika bahan organik tersebut didatangkan dari tempat lain maka biaya yang dibutuhkan menjadi sangat tinggi dan seringkali menjadi tidak layak untuk dilakukan. Oleh karena itu, diupayakan untuk menghasilkan bahan organik in situ yang bahan-bahan dasarnya bersumber dari potensi wilayah. Faktor lain yang juga menjadi masalah untuk penyediaan bahan organik adalah waktu yang lebih lama untuk terdekomposisinya bahan sehingga penyediaan hara berlangsung jauh lebih lambat dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik. Untuk mempercepat penyerapan hara oleh tanaman, bahan organik dapat dikomposkan terlebih dahulu. Kompos adalah bahan organik yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme yang bekerja di dalamnya. Kompos sebagai produk dari proses penguraian bahan organik memiliki sifat-sifat yang baik untuk menyuburkan tanah dan menyediakan 17 hara bagi tanaman. Sifat-sifat kompos tergantung pada tingkat kematangannya (Suzuki et al., 2004). Sifat kompos yang baik dan berguna bagi tanah ternyata belum mampu membuat para petani tertarik untuk menggunakannya. Hal ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan petani di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas untuk memberdayakan bahan organik in situ menjadi kompos. Hal inilah yang kemudian menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mengadakan penelitian yang berhubungan dengan kompos, bahan organik yang akan digunakan untuk memperbaiki tanah sebagai media tanaman jeruk. Tujuan Sejalan dengan usaha peningkatan kualitas jeruk, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: 1. Mengetahui kandungan hara berbagai pupuk organik dalam bentuk kompos yang digunakan, 2. Mencari jenis kompos yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan tanaman jeruk, dan 3. Melihat pengaruh penambahan kompos terhadap perubahan sifat tanah dan pertumbuhan tanaman. 18 TINJAUAN PUSTAKA Bahan Organik Tanah Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Kononova, 1961). Menurut Stevenson (1994), bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah penting bagi negara berkembang karena intensitasnya yang cenderung meningkat sehingga tercipta tanah-tanah rusak yang jumlah maupun intensitasnya meningkat. Kerusakan tanah secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu kerusakan sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Kerusakan kimia tanah dapat terjadi karena proses pemasaman tanah, akumulasi garamgaram (salinisasi), tercemar logam berat, dan tercemar senyawa-senyawa organik dan xenobiotik seperti pestisida atau tumpahan minyak bumi (Djajakirana, 2001). Terjadinya pemasaman tanah dapat diakibatkan penggunaan pupuk nitrogen buatan secara terus menerus dalam jumlah besar (Brady, 1990). Kerusakan tanah secara fisik dapat diakibatkan karena kerusakan struktur tanah yang dapat menimbulkan pemadatan tanah. Kerusakan struktur tanah ini dapat terjadi akibat pengolahan tanah yang salah atau penggunaan pupuk kimia secara terus menerus. Kerusakan biologi ditandai oleh penyusutan populasi maupun berkurangnya biodiversitas organisme tanah, dan terjadi biasanya bukan kerusakan sendiri, melainkan akibat dari kerusakan lain (fisik dan atau kimia). Sebagai contoh penggunaan pupuk nitrogen (dalam bentuk ammonium sulfat dan sulfur coated 19 urea) yang terus menerus selama 20 tahun dapat menyebabkan pemasaman tanah sehingga populasi cacing tanah akan turun dengan drastis (Ma et al., 1990). Kehilangan unsur hara dari daerah perakaran juga merupakan fenomena umum pada sistem pertanian dengan masukan rendah. Pemiskinan hara terjadi utamanya pada praktek pertanian di lahan yang miskin atau agak kurang subur tanpa dibarengi dengan pemberian masukan pupuk buatan maupun pupuk organik yang memadai. Termasuk dalam kelompok ini adalah kehilangan bahan organik yang lebih cepat dari penambahannya pada lapisan atas. Dengan demikian terjadi ketidakseimbangan masukan bahan organik dengan kehilangan yang terjadi melalui dekomposisi yang berdampak pada penurunan kadar bahan organik dalam tanah. Tanah-tanah yang sudah mengalami kerusakan akan sulit mendukung pertumbuhan tanaman. Sifat-sifat tanah yang sudah rusak memerlukan perbaikan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi kembali secara optimal. Penyediaan hara bagi tanaman dapat dilakukan dengan penambahan pupuk baik organik maupun anorganik. Pupuk anorganik dapat menyediakan hara dengan cepat. Namun apabila hal ini dilakukan terus menerus akan menimbulkan kerusakan tanah. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi pertanian yang berkelanjutan. Meningkatnya kemasaman tanah akan mengakibatkan ketersediaan hara dalam tanah yang semakin berkurang dan dapat mengurangi umur produktif tanaman. Menurut Lal (1995), pengelolaan tanah yang berkelanjutan berarti suatu upaya pemanfaatan tanah melalui pengendalian masukan dalam suatu proses untuk memperoleh produktivitas tinggi secara berkelanjutan, meningkatkan kualitas tanah, serta memperbaiki karakteristik lingkungan. Dengan demikian diharapkan kerusakan tanah dapat ditekan seminimal mungkin sampai batas yang dapat ditoleransi, sehingga sumberdaya tersebut dapat dipergunakan secara lestari dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Bahan organik tanah berpengaruh terhadap sifat-sifat kimia, fisik, maupun biologi tanah. Fungsi bahan organik di dalam tanah sangat banyak, baik terhadap sifat fisik, kimia maupun biologi tanah, antara lain sebagai berikut (Stevenson, 1994): 20 1. Berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap ketersediaan hara. Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur mikro maupun unsur hara esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan organik membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara menyediakan energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan menyebabkan pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran. 2. Membentuk agregat tanah yang lebih baik dan memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya adalah daya tahan tanah terhadap erosi akan meningkat. 3. Meningkatkan retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. 4. Meningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah. 5. Mengimmobilisasi senyawa antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah 6. Meningkatkan kapasitas sangga tanah 7. Meningkatkan suhu tanah 8. Mensuplai energi bagi organisme tanah 9. Meningkatkan organisme saprofit dan menekan organisme parasit bagi tanaman. Selain memiliki dampak positif, penggunaan bahan organik dapat pula memberikan dampak yang merugikan. Salah satu dampak negatif yang dapat muncul akibat dari penggunaan bahan organik yang berasal dari sampah kota adalah meningkatnya logam berat yang dapat diasimilasi dan diserap tanaman, meningkatkan salinitas, kontaminasi dengan senyawa organik seperti poli khlorat bifenil, fenol, hidrocarburate polisiklik aromatic, dan asam-asam organik (propionic dan butirik) (de Haan, 1981 dalam Aguilar et al., 1997) Faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah juga harus diperhatikan karena mempengaruhi jumlah bahan organik. Miller et al. (1985) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah bahan organik dalam tanah adalah sifat dan jumlah bahan organik yang dikembalikan, kelembaban tanah, temperatur tanah, tingkat aerasi tanah, topografi dan sifat penyediaan hara. 21 Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik dapat dikelompokkan dalam tiga grup, yaitu: 1) sifat dari bahan tanaman termasuk jenis tanaman, umur tanaman dan komposisi kimia, 2) tanah termasuk aerasi, temperatur, kelembaban, kemasaman, dan tingkat kesuburan, dan 3) faktor iklim terutama pengaruh dari kelembaban dan temperatur. Bahan organik secara umum dibedakan atas bahan organik yang relatif sukar didekomposisi karena disusun oleh senyawa siklik yang sukar diputus atau dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana, termasuk di dalamnya adalah bahan organik yang mengandung senyawa lignin, minyak, lemak, dan resin yang umumnya ditemui pada jaringan tumbuh-tumbuhan; dan bahan organik yang mudah didekomposisikan karena disusun oleh senyawa sederhana yang terdiri dari C, O, dan H, termasuk di dalamnya adalah senyawa dari selulosa, pati, gula dan senyawa protein. Dari berbagai aspek tersebut, jika kandungan bahan organik tanah cukup, maka kerusakan tanah dapat diminimalkan, bahkan dapat dihindari. Jumlah bahan organik di dalam tanah dapat berkurang hingga 35% untuk tanah yang ditanami secara terus menerus dibandingkan dengan tanah yang belum ditanami atau belum dijamah (Brady, 1990). Young (1989) menyatakan bahwa untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah agar tidak menurun, diperlukan minimal 8 – 9 ton per ha bahan organik tiap tahunnya. Hairah et al. (2000) mengemukakan beberapa cara untuk mendapatkan bahan organik: 1. Pengembalian sisa panen. Jumlah sisa panenan tanaman pangan yang dapat dikembalikan ke dalam tanah berkisar 2 – 5 ton per ha, sehingga tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan bahan organik minimum. Oleh karena itu, masukan bahan organik dari sumber lain tetap diperlukan. 2. Pemberian pupuk kandang. Pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan peliharaan seperti sapi, kambing, kerbau dan ayam, atau bisa juga dari hewan liar seperti kelelawar atau burung dapat dipergunakan untuk menambah kandungan bahan organik tanah. Pengadaan atau penyediaan kotoran hewan seringkali sulit dilakukan karena memerlukan biaya transportasi yang besar. 22 3. Pemberian pupuk hijau. Pupuk hijau bisa diperoleh dari serasah dan dari pangkasan tanaman penutup yang ditanam selama masa bera atau pepohonan dalam larikan sebagai tanaman pagar. Pangkasan tajuk tanaman penutup tanah dari famili leguminosae dapat memberikan masukan bahan organik sebanyak 1.8 – 2.9 ton per ha (umur 3 bulan) dan 2.7 – 5.9 ton per ha untuk yang berumur 6 bulan. Pengaruh Bahan Organik terhadap Tanaman Pemberian bahan organik ke dalam tanah memberikan dampak yang baik terhadap tanah, tempat tumbuh tanaman. Tanaman akan memberikan respon yang positif apabila tempat tanaman tersebut tumbuh memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah menyediakan zat pengatur tumbuh tanaman yang memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman seperti vitamin, asam amino, auksin dan giberelin yang terbentuk melalui dekomposisi bahan organik (Brady, 1990). Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah mengandung karbon yang tinggi. Pengaturan jumlah karbon di dalam tanah meningkatkan produktivitas tanaman dan keberlanjutan umur tanaman karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan penggunaan hara secara efisien. Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa ketersediaan hara bagi tanaman tergantung pada tipe bahan yang termineralisasi dan hubungan antara karbon dan nutrisi lain (misalnya rasio antara C/N, C/P, dan C/S) (Delgado dan Follet, 2002). Penggunaan bahan organik telah terbukti banyak meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Duong et al. (2006) yang memberikan kompos berupa jerami pada tanaman padi sudah memberikan pengaruh setelah 30 hari diaplikasikan. Selain itu, juga ditemukan dampak positif lain seperti meningkatkan ketersediaan makro dan mikronutrien bagi tanaman (Aguilar et al., 1997) Bahan organik yang berasal dari sisa tanaman mengandung bermacammacam unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman jika telah mengalami dekomposisi dan mineralisasi. Sisa tanaman ini memiliki kandungan unsur hara yang berbeda kualitasnya tergantung pada tingkat kemudahan 23 dekomposisi serta mineralisasinya. Unsur hara yang terkandung dalam sisa bahan tanaman baru bisa dimanfaatkan kembali oleh tanaman apabila telah mengalami dekomposisi dan mineralisasi. Menurut Brady (1990), gula, protein sederhana adalah bahan yang mudah terdekomposisi, sedangkan lignin yang akan lambat terdekomposisi. Secara urutan, kemudahan bahan yang untuk terdekomposisi adalah sebagai berikut: 1. Gula, zat pati, protein sederhana mudah terdekomposisi 2. Protein kasar 3. Hemiselulosa 4. Selulosa 5. Lemak 6. Lignin, lemak, waks, dll sangat lambat terdekomposisi Kemudahan dekomposisi bahan organik berkaitan erat dengan nisbah kadar hara. Secara umum, makin rendah nisbah antara kadar C dan N di dalam bahan organik, akan semakin mudah dan cepat mengalami dekomposisi. Oleh karena itu, untuk mempercepat dekomposisi bahan organik yang memiliki nisbah C dan N tinggi sering ditambahkan pupuk nitrogen dan kapur untuk memperbaiki perbandingan kedua hara tersebut serta menciptakan kondisi lingkungan yang lebih baik bagi dekomposer. Selain itu, kandungan bahan juga mempengaruhi proses pengomposan. Selama proses dekomposisi bahan organik, terjadi immobilisasi dan mobilisasi (mineralisasi) unsur hara. Immobilisasi adalah perubahan unsur hara dari bentuk anorganik menjadi bentuk organik yaitu terinkorporasi dalam biomassa organisme dekomposer, sedangkan mineralisasi terjadi sebaliknya. Kedua kegiatan ini tergantung pada proporsi kadar hara dalam bahan organik. Immobilisasi nitrogen secara netto terjadi bila nisbah antara C dan N bahan organik lebih dari 30, sedangkan mineralisasi netto terjadi bila nisbahnya kurang dari 20. Jika nisbahnya antara 20 hingga 30 maka terjadi kesetimbangan antara mineralisasi dan immobilisasi. Immobilisasi dan mineralisasi tidak hanya terjadi pada unsur nitrogen, tapi juga terjadi pada unsur lain. Pada saat terjadi immobilisasi tanaman akan sulit menyerap hara karena terjadi persaingan dengan dekomposer. Oleh karena itu, pemberian pemberian bahan organik perlu 24 memperhitungkan kandungan hara dalam bahan organik tersebut. Bahan organik yang memiliki nisbah C dan N rendah, lebih cepat menyediakan hara bagi tanaman, sedangkan bila bahan organik memiliki nisbah C dan N yang tinggi akan mengimmobilisasi hara sehingga perlu dikomposkan terlebih dahulu. Pengomposan Pengomposan adalah dekomposisi alami dari bahan organik oleh mikroorganisme yang memerlukan oksigen (aerob). Hasil pengomposan berupa kompos memiliki muatan negatif, dapat dikoagulasikan oleh kation-kation dan partikel tanah untuk membentuk agregat tanah. Dengan demikian, penambahan kompos dapat memperbaiki struktur tanah sehingga akan memperbaiki pula aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air serta berguna untuk mengendalikan erosi tanah (Gaur, 1981). Pengomposan dapat didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dari bahan organik sampah di bawah kondisi-kondisi terkontrol. Gaur (1981) menyatakan bahwa pengomposan adalah suatu proses biokimia, di mana bahan-bahan organik didekomposisi menjadi zat-zat seperti humus (kompos) oleh kelompok-kelompok mikroorganisme campuran dan berbeda-beda pada kondisi yang dikontrol. Hasil dari pengomposan dikenal dengan nama kompos. Dalam banyak buku pertanian kompos didefinisikan sebagai campuran pupuk dari bahan organik yang berasal dari tanaman atau hewan atau campuran keduanya yang telah melapuk sebagian dan dapat berisi senyawa-senyawa lain seperti abu, kapur dan bahan kimia lainnya sebagai bahan tambahan. Kompos merupakan inti dan dasar terpenting dari berkebun dan bertani secara alami, serta merupakan jantung dari konsep pertanian organik (Djajakirana, 2002). Penggunaan kompos sangat baik karena dapat memberikan manfaat baik bagi tanah maupun tanaman. Kompos dapat menggemburkan tanah, memperbaiki struktur dan porositas tanah, serta komposisi mikroorganisme tanah, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, menyimpan air tanah lebih lama, dan mencegah lapisan kering pada tanah. Kompos juga menyediakan unsur hara mikro bagi tanaman, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, mencegah beberapa penyakit akar, dan dapat menghemat pemakaian pupuk kimia dan atau pupuk buatan, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk kimia. Karena 25 keunggulannya tersebut, kompos menjadi salah satu alternatif pengganti pupuk kimia karena harganya murah, berkualitas dan akrab lingkungan. Müller-Sämann dan Kotschi (1997) menyimpulkan empat fungsi penting kompos, yaitu: 1. Fungsi nutrisi, nutrisi yang disimpan diubah menjadi bahan organik, jaringan mikroorganisme, produk sisanya, dan humus. Kompos adalah pupuk yang lambat tersedia (slow release), hara yang dihasilkan tergantung pada bahan dasar dan metode pengomposan yang digunakan. 2. Meningkatkan struktur tanah, yaitu melalui peningkatan persentase bahan organik yang meningkatkan stuktur tanah. 3. Meningkatkan populasi dan aktivitas organisme tanah. Kompos juga meningkatkan kemampuan mengikat air dan agregat tanah, meningkatkan infiltrasi, menghalangi terjadinya erosi dan menunjang penyebaran dan penetrasi akar tanaman. 4. Memperkuat daya tahan tanaman terhadap hama dan penyakit. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk kompos lebih tahan terhadap hama dibandingkan tanaman yang tidak diberi kompos maupun yang tidak dipupuk. Selama pengomposan, bahan-bahan organik didekomposisi terlebih dahulu menjadi bentuk-bentuk anorganiknya. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pengomposan adalah kadar air, suplai oksigen, suhu dan pH. Kadar air (kelembaban) diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dekomposisi aerob dapat terjadi pada kadar air bahan 30-60%, asalkan dilakukan pembalikan pada bahan yang dikomposkan. Kadar air yang optimal adalah 5060%. Kadar air yang berlebihan dapat menurunkan suhu dalam gundukan bahanbahan yang dikomposkan, karena menghambat aliran oksigen serta dihasilkannya bau. Suplai oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme aerobik adalah 5-15% dari udara yang dibutuhkan atau di atas 5% dari volume gundukan. Oksigen dibutuhkan untuk mendekomposisi limbah organik yang dikomposkan. Menurut Obeng dan Wright (1987) konsumsi oksigen yang diperlukan oleh proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) tahap dalam pengomposan, 2) suhu, 3) tahap dekomposisi bahan, 4) komposisi 26 bahan yang dikomposkan, 5) ukuran partikel, dan 6) kandungan air. Konsumsi oksigen nampak bervariasi (meningkat dan menurun) secara logaritmik dengan perubahan suhu. Kematangan kompos yang digunakan juga menjadi faktor yang mempengaruhi cepat aplikasinya ke tanaman. Kriteria kematangan kompos bervariasi tergantung bahan asal kompos, kondisi dan proses dekomposisi selama pengomposan. Gaur (1981) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan kematangan kompos, yaitu: 1) karakteristik fisik, seperti suhu, warna, tekstur dan besarnya kelarutan dalam larutan natrium hidroksida atau natrium fosfat; 2) nisbah C/N, status dari kandungan hara tanaman, dan nilai kompos yang ditunjukkan oleh uji tanaman, dan 3) tidak berbau dan bebas dari patogen parasit dan biji rumput-rumputan. Kematangan kompos menurut Harada et al. (1993) sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang sudah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang ofensif, kandungan kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan tanaman. Oleh sebab itu, kematangan kompos merupakan faktor utama dalam menentukan kelayakan mutu kompos. Tanaman Jeruk Tanaman jeruk memerlukan kondisi tanah yang subur, solum yang dalam, banyak bahan organik, dan mengandung liat yang tidak terlalu tinggi, sehingga drainase tanahnya baik. Secara umum, tingkat kemasaman yang terbaik adalah antara 5.5 – 6.5. Jika pH di bawah 5.0, sering terjadi keracunan Al dan keracunan Mn pada akar tanaman. Rendahnya pH tanah juga menyebabkan defisiensi hara seperti kalsium, magnesium, dan fosfor dan Mo (FFTC, 2003). Tanaman memerlukan air yang cukup untuk pertumbuhan dan pembentukan bunga serta buah. Tanah yang banyak mengandung pasir dan muka air tanah tidak lebih dari 150 cm pada musim kering dan pada musim hujan 50 cm cocok sekali untuk pertumbuhan tanaman jeruk. Curah hujan optimum 1500 mm/th ditambah dengan pengairan. Daerah beriklim kering (2-4 bulan atau 4-6 bulan kering yang menurut Smith-Fergusson digolongkan dalam tipe B dan C). 27 Tanaman jeruk memerlukan oksigen yang cukup di dalam tanah sehingga bila tanah padat atau berdrainase jelek maka tanaman akan kekurangan oksigen, dan pertumbuhan tanaman akan terhambat. Pertumbuhan akan menjadi baik bila hujan dan panas silih berganti sepanjang tahun. Jeruk membutuhkan banyak sinar matahari, yaitu sekitar 50-70%. Keadaan udara yang lembab akan menimbulkan lebih banyak serangan hama. 28 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di lapang pada bulan Februari hingga Desember 2006 di Desa Senyawan, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Analisis di laboratorium dilakukan hingga bulan Maret 2007. Analisis Kimia, Fisika, dan Biologi tanah dilaksanakan di Lab. Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Lab. Kimia dan Kesuburan, Lab. Fisika dan Konservasi Tanah, dan Lab. Biologi, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sebagian analisis juga dilakukan di Lab. Kimia Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura, Pontianak. Bahan dan Alat Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah jeruk siam hasil penempelan yang berumur dua tahun. Secara taksonomi, jeruk ini termasuk Citrus nobilis var microcarva. Bahan lain Bahan lain yang digunakan adalah kompos dengan bahan baku kotoran sapi dan kotoran ayam, bahan organik yang mudah diperoleh di lapang seperti batang pisang, rumput liar pakan ternak, dan jerami padi. Selain itu, bahan-bahan kimia digunakan untuk menetapkan parameter pengamatan yang akan ditetapkan di laboratorium. Peralatan yang Digunakan Alat yang digunakan adalah perlengkapan untuk pengambilan contoh tanah, pembuatan kompos; analisis tanah seperti Three Phasemeter, ring sampel, satu set ayakan; analisis hara seperti AAS, Spektrofotometer, pH meter, mesin pengocok, dll. Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu: Peta Kabupaten Sambas, Prov. Kalimantan Barat Peta Kecamatan Tebas lokasi Gambar 3. Lokasi penelitian di lapang 17 1. Pembuatan kompos dari berbagai bahan organik 2. Analisis pendahuluan tanah, kompos dan jaringan tanaman 3. Studi pengaruh aplikasi kompos terhadap sifat tanah, komposisi hara dan pertumbuhan tanaman jeruk Pembuatan Kompos dari Berbagai Bahan Organik Kompos dibuat dari bahan mentah sebanyak 2 ton. Pembuatan kompos yang berasal dari sisa kotoran hewan, langsung ditimbun di tempat pembuatan kompos. Untuk pembuatan kompos yang berasal dari bahan tanaman yaitu batang pisang, rumput liar pakan ternak dan jerami padi yang ditemukan di lapang, dilakukan pencacahan terlebih dahulu dengan memperkecil ukuran bahan yang akan dikomposkan sekitar 3 hingga 5 cm. Pada saat dimasukkan ke tempat pengomposan, bahan dibuat lapisan dengan tiap lapis ditambahkan bahan pembantu berupa pupuk organik cair dan pupuk anorganik untuk mempercepat pengomposan seperti urea, SP-36 dan kapur berturut-turut sebanyak 5-10 kg, 5 kg, dan 5 kg untuk tiap 1 ton bahan. Selain bahan-bahan tersebut juga ditambahkan air tiap lapisan hingga basah. Basahnya kompos dapat diuji dengan memasukkan kayu ke dalam timbunan dan mengangkatnya kembali. Kondisi basah yang diinginkan tercapai bila terlihat bahwa kayu tersebut basah namun air yang menempel tidak sampai menetes. Dapat pula dilakukan dengan menggenggam bahan. Kondisi basah diperoleh ketika tangan terasa basah, namun tidak ada air yang menetes. Selama pembuatan kompos, dilakukan pengukuran suhu, perbaikan aerasi, dan pengukuran C/N rasio. Kompos yang telah matang ditandai dengan perubahan warna menjadi coklat kehitaman, C/N yang rendah, dan stabilnya suhu bahan organik. Lama pengomposan ini bervariasi, kurang lebih 6 minggu. Setelah proses pengomposan selesai, bahan dikeringanginkan dan diayak pada ayakan 1 cm x 1 cm, kemudian dimasukkan ke dalam karung. Apabila bahan tersebut masih belum digunakan, maka disimpan pada kondisi lembab dan tidak terkena sinar matahari langsung. Sebelum diaplikasikan, diambil sampel untuk diketahui sifat kimia haranya. 18 Analisis Pendahuluan Sampel diambil secara komposit dari kompos, tanah dan tanaman yang akan diteliti. Metode yang digunakan untuk analisis berdasarkan Method of Soil Analysis (USDA). Kompos hanya dianalisis sifat kimianya. Analisis tanah dilakukan berdasarkan kebutuhan. Untuk analisis sifat fisik dan biologi tanah, sampel diambil dari dua lapisan tanah, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah, sedangkan untuk analisis sifat kimia dilakukan pada lapisan atas di mana tanaman mengambil unsur hara. Pada lokasi tersebut diambil pula sampel tanaman berupa daun. Setelah sampel tanah diambil, sampel dianalisis meliputi sifat fisik, kimia maupun biologinya dengan metode yang disajikan pada Tabel 1. Sifat fisik tanah yang akan diamati meliputi: pengukuran kadar air, tekstur, bobot isi tanah, dan kemantapan agregat. Sifat kimia meliputi: pengukuran pH, C-organik, N total, C/N rasio, Ptersedia, Kdd, Cadd, Mgdd, Nadd, Fe, Cu, Zn, dan Mn. Analisis kimia ini juga dilakukan pada sampel daun dan kompos. Komunitas biologi tanah yang diamati berupa populasi cacing tanah, respirasi dan CMic tanah. Sampel tanaman diambil dari bagian tanaman berupa daun. Daun yang dianalisis merupakan daun kelima dari ujung cabang yang tidak berbuah dan telah berkembang sempurna. Sampel yang diambil dianalisis sifat kimianya berupa pengukuran kadar nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), natrium (Na), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan unsur mikro berupa besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), dan mangan (Mn) dengan metode yang disajikan pada Tabel 2. Metode pengabuan kering tanaman dilakukan dengan menimbang 1 gr sampel ditempatkan pada cawan porselen kemudian dimasukkan ke dalam muffle, dibakar pada suhu 600oC selama 2 jam. Setelah suhu muffle dingin (<100oC), cawan dikeluarkan. Setelah cawan dingin, tambahkan 5 tetes HCl pekat ke dalam sampel, kemudian dipanaskan kembali di atas pemanas bersuhu 90oC hingga semua uap hilang, dan dinginkan kembali. Ulangi kegiatan ini sebanyak 3 kali. Setelah semua usai, tambahkan 10 ml HCl 1N, aduk rata kemudian disaring. Hasil saringan kemudian bisa digunakan selanjutnya untuk pengukuran unsur mikro, sedang unsur lain perlu dilakukan pengenceran 50 kali. 19 Tabel 1. Metode yang digunakan untuk analisis sifat tanah Sifat Tanah Metode Sifat Tanah Sifat Kimia Metode Sifat Fisik pH H2O (1:1) Elektroda gelas Kemantapan agregat Pengayakan basah pH KCl Elektroda gelas Bobot isi tanah C-organik Walkley Black N total Kjeldahl Porositas perhitungan C/N rasio perhitungan Tekstur pipet P tersedia Bray-1 Kdd NH4OAC pH 7.0 Cadd NH4OAC pH 7.0 Mgdd NH4OAC pH 7.0 Nadd NH4OAC pH 7.0 Populasi Cacing Hand sorting Aldd N KCl Titrasi C mic Sonifikasi Hdd N KCl Titrasi Fe 0.05 N, AAS Cu 0.05 N, AAS Zn 0.05 N, AAS Mn 0.05 N, AAS Gravimetrik, ring sampel Sifat Biologi (Djajakirana, 2004) Respirasi Verstraete (1981) dalam Anas (1989) Tabel 2. Metode yang digunakan untuk analisis tanaman Analisis Tanaman Metode N Micro Kjeldahl P Pengabuan kering; Spektrofotometer K, Na, Ca, Mg Pengabuan kering; AAS; Flamefotometer Fe, Cu, Zn, Mn Pengabuan kering; AAS Aplikasi Kompos Aplikasi kompos ini dilakukan dengan pengambilan sampel tanaman dari total populasi yang ada. Dari lima jenis kompos yang ada, dibuat tujuh perlakuan yaitu aplikasi kompos yang berasal dari kotoran sapi, kotoran ayam, rumput liar pakan ternak, batang pisang, jerami padi, dan campuran dari lima kompos yang ada, masing-masing dibagi sesuai dengan hasil pengomposan yang diperoleh. Selain itu, diambil pula kelompok tanaman sebagai kontrol yang tidak ditambahkan kompos, hanya diberi perlakuan yang sama yaitu trumbuk 20 ditinggikan. Untuk aplikasinya, tiap perlakuan kompos diberikan pada sembilan tanaman, dan hanya tiga tanaman yang diambil sebagai sampel pengamatan. Aplikasi dilakukan dengan memberikan kompos pada tiap tanaman dengan metode circle banding, di mana pupuk dicampur merata di sekitar tanaman. Pada akhir pengamatan, dilakukan analisis tanah, berupa beberapa parameter kimia, fisika, dan biologi tanah. Pengamatan Pertumbuhan Jeruk Setelah penambahan bahan organik, tanaman diamati secara morfologi melalui pengukuran kedalaman perakaran, dan diameter tajuk tanaman secara berkala juga analisis jaringan daun. Pengamatan ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu tiga bulan dan enam bulan setelah aplikasi. Setelah itu juga dilakukan penghitungan jumlah buah. Analisis Data Percobaan ini dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap dengan tujuh perlakuan yang diulang sebanyak tiga kali. Model hipotetik rancangan percobaan untuk analisis statistik adalah sebagai berikut: Yij = µ + τi + εij Di mana: i : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 j : 1, 2, 3 Yij : Pengamatan pada perlakuan penambahan kompos ke-i dan ulangan ke-j µ : Rataan umum τi : Pengaruh perlakuan penambahan kompos ke-i εij : Pengaruh acak pada perlakuan penambahan kompos ke-i dan ulangan ke-j Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut menurut Duncan pada selang kepercayaan 95%. 21 Survai Lapang Pembuatan Kompos Aplikasi ke Tanaman Jeruk Analisis Pendahuluan Pengamatan Akar dan Pertumbuhan Tanaman Analisis Tanaman Analisis Tanah Sifat Fisik Sifat Kimia Sifat Biologi Kadar Hara Tanaman Jumlah Buah Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian yang dilakukan 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan setelah melaksanakan penelitian, diperoleh hasil yang disusun dengan sistematika hasil pengomposan, kualitas kompos dari berbagai bahan organik, pengaruh kompos terhadap sifat kimia, biologi dan fisika tanah, pengaruh kompos terhadap kadar hara dan pertumbuhan tanaman. Selain itu, dilihat pula peluang bisnis untuk mengembangkan kompos. Hasil Pengomposan Lamanya proses dan hasil pengomposan yang dilakukan di lapang disajikan pada Tabel 3. Lamanya pengomposan menunjukkan kecepatan bahan baku untuk dikomposkan. Terlihat dari tabel bahwa kompos dari rumput mengalami proses dekomposisi paling lama yaitu 68 hari. Rumput yang digunakan adalah rumput liar yang mengandung lignin sehingga lebih sulit untuk terdekomposisi. Selain kandungan bahan, sifat bahan juga mempengaruhi lamanya pengomposan. Pengomposan dari bahan tanaman lebih lama dibandingkan dari kotoran hewan. Kotoran hewan banyak mengandung selulosa yang lebih mudah terdekomposisi, sedangkan sisa tanaman walaupun juga mengandung selulosa namun juga mengandung lignin maupun polifenol yang lebih sulit terdekomposisi (Brady, 1990). Jenis bahan baku dan proses pengomposan juga mempengaruhi hasil yang diperoleh. Dari dua ton bahan mentah, diperoleh hasil kotoran hewan yang lebih berat dibandingkan dengan sisa tanaman terkait dengan kadar air maupun jumlah padatan bahan asalnya. Namun bila dilihat dari bobot isi, kotoran hewan memiliki bobot isi yang lebih besar dibandingkan sisa tanaman. Tabel 3. Lamanya proses dan hasil pengomposan Jenis Kompos Batang Pisang Kotoran Ayam Kotoran Sapi Rumput Jerami Padi Lama Pengomposan (hari) 30 56 25 68 50 Hasil yang diperoleh (kg) 250 472 452 288 432 23 Kualitas Kompos dari Berbagai Bahan Organik Bahan kompos yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan adanya ketersediaan bahan di lapang, berupa kotoran ayam, kotoran sapi, batang pisang, rumput dan jerami padi. Sifat masing-masing kompos baik kadar air maupun kandungan hara masing-masing kompos yang digunakan disajikan pada Tabel 4. Perbedaan kandungan kadar air terkait dengan kemampuan untuk memegang air. Perbedaan yang paling nyata pada kompos dari bahan batang pisang yang memiliki kadar air yang sangat besar (257,98%) dengan kondisi yang sama, setelah proses pengomposan dilakukan pengeringan terhadap kompos. Dari hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa kompos dari bahan batang pisang memiliki kemampuan menahan air yang sangat besar. Hal ini justru menunjukkan kurangnya jumlah hara yang ditambahkan ke dalam tanah dibanding kompos lainnya. Pengukuran pH yang dilakukan pada tiap kompos menunjukkan bahwa kompos yang dihasilkan memiliki pH antara enam hingga delapan. Terlihat bahwa pH H2O lebih tinggi dibanding pH KCl, kecuali pada kompos kotoran ayam yang memiliki pH H2O yang sama dengan pH KCl. Kompos dari batang pisang dan jerami padi memiliki pH di atas delapan, pH kompos kotoran ayam dan rumput di atas tujuh, dan hanya kompos dari kotoran sapi yang kurang dari tujuh. Kemasaman bahan kompos juga mempengaruhi kandungan unsur hara di dalamnya. Selain itu, kandungan unsur hara kompos juga dipengaruhi oleh jenis bahan, serapan hara bagi tanaman dan jenis makanan untuk bahan organik yang berasal dari kotoran hewan. Hasil analisis juga memperlihatkan karakter masing-masing kompos. Kematangan kompos dapat dilihat dari kandungan karbon dan nitrogen melalui rasio C/N. Menurut Leaon (1995), nisbah C/N kompos yang stabil antara 10-30. Rasio C/N yang tinggi (>30) menunjukkan nitrogen yang belum termineralisasi sehingga belum tersedia bagi tanaman. Kompos rumput masih mengandung karbon yang tinggi, namun bila dilihat dari rasio C/N, kompos ini sudah stabil dan nitrogen yang ada sudah tersedia bagi tanaman. Kandungan nitrogen tertinggi dimiliki oleh kompos dari jerami padi. Dari hasil terlihat semua kompos memiliki nilai C/N yang lebih kecil dari 30. Ini menunjukkan semua kompos sudah 24 termineralisasi, dan nitrogen yang tersedia siap dimanfaatkan tanaman. Dilihat dari jumlahnya, kompos yang berasal dari jerami padi memiliki kandungan nitrogen yang lebih tinggi (2.48%) dari pada kompos yang lain. Tabel 4. Sifat kimia kompos dari berbagai bahan Parameter Kadar Air pH H2O (1:5) pH KCl (1:5) C N C/N KTK P P tersedia K total K tersedia Na total Na tersedia Ca total Ca tersedia Mg total Mg tersedia Fe total Fe tersedia Cu total Cu tersedia Zn total Zn tersedia Mn total Mn tersedia Satuan % % % me/100g % % % % % % % % % % ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm Batang Pisang 257,98 8,17 7,85 28,27 1,28 22,09 129,49 2,38 0,48 2,79 5,46 0,37 0,70 12,31 1,99 3,44 0,95 2368,4 1,6 14,0 1,0 99,3 1,3 283,5 20,5 Kompos Kotoran Kotoran Ayam Sapi 54,63 75,46 7,10 7,17 22,62 1,72 13,15 129,02 3,48 0,48 1,55 0,79 0,46 0,52 21,59 1,44 1,14 1,24 2609,5 2,7 24,9 2,8 177,2 3,3 377,7 24,4 6,69 6,47 30,23 1,66 18,21 122,59 1,09 0,48 1,10 5,62 0,29 1,41 3,55 3,73 0,79 1,70 1131,7 9,4 24,0 3,7 182,3 60,1 445,1 274,8 52,06 Jerami Padi 46,93 7,58 7,26 40,44 1,78 22,72 155,00 1,50 0,51 2,40 4,67 0,49 1,09 6,12 1,40 1,44 0,81 1330,6 7,6 14,9 1,2 101,4 2,8 368,2 82,5 8,08 7,59 35,95 2,48 14,50 108,09 0,82 0,33 1,58 4,50 0,36 0,93 3,49 1,33 0,76 0,81 1127,7 14,7 11,0 3,5 81,0 7,8 388,1 174,0 Rumput Kandungan fosfor dan basa-basa dalam kompos berbeda-beda tergantung bahan asalnya. Kompos dari batang pisang mengandung kalium dan magnesium yang tinggi. Ultra et al. (2005) menyatakan bahwa tanaman pisang memang banyak menyerap kalium, dan kompos pisang yang diaplikasikan ke tanaman pisang mampu memberikan serapan kalium yang tinggi sehingga kadarnya tinggi pada buah pisang (Abd El-Naby, 2000). Kompos kotoran ayam mengandung 25 fosfor dan kalsium yang tinggi. Hasil penelitian Suzuki et al. (2004) juga menunjukkan bahwa kompos kotoran ayam mengandung fosfor dan kalsium yang tinggi. Kompos kotoran sapi terlihat tidak memiliki kandungan hara yang dominan dibanding yang lain. Ini terkait dengan pH yang dimiliki oleh kotoran sapi yang lebih rendah dibanding kompos lain. Kandungan unsur mikro berupa Fe, Cu, Zn dan Mn juga dianalisis pada penelitian ini. Kandungan total besi pada kompos yang berasal dari batang pisang dan kotoran ayam lebih tinggi dibandingkan kompos yang lain. Kompos kotoran sapi mengandung Mn dan Zn yang lebih tinggi dibanding yang lain. Kandungan unsur mikro ini juga tergantung dari jenis bahan asalnya. Faktor ini mempengaruhi total nutrisi dalam kompos karena serapan hara tanaman yang berbeda tiap jenis tanaman bagi kompos yang berasal dari tanaman dan jenis konsumsi pakan ternak bagi kompos yang berasal dari kotoran hewan. Terlihat pada Tabel 4 bahwa tidak semua total hara lebih besar dari pada hara yang tersedia, misalnya pada unsur kalium. Hal ini dapat terjadi karena pada saat pengabuan untuk mengukur total hara kompos terjadi pembentukan kristal silikat sehingga kalium yang ada terikat pada kristal tersebut. Dari penelitian Sardi (2006) menunjukkan bahwa pengabuan sekam padi pada 700oC akan membentuk kristal silikat yang memungkinkan terjadinya pengikatan bahan lain sehingga menjadi tidak tersedia. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua total unsur hara dapat terukur dari bahan baku kompos yang digunakan dengan pengabuan suhu 600oC. Banyaknya bahan yang diberikan ke tanaman tergantung dari jumlah bahan yang dihasilkan dari seluruh proses. Jumlah kompos yang diaplikasikan pada tiap pohon dibagi berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengomposan. Tabel 5 menunjukkan banyaknya hara tersedia yang ditambahkan ke dalam tanah. Jumlah hara tersedia yang ditambahkan ini diperoleh dari hasil perhitungan berdasarkan jumlah kompos yang ditambahkan ke dalam tanah dikonversi berdasarkan kadar airnya. Selanjutnya dikonversi kembali berdasarkan jumlah hara yang tersedia dari hasil analisis. 26 Bobot bersih diperoleh sama seperti menghitung bobot kering mutlak, yaitu bobot yang diaplikasikan dibagi dengan (1+KA). Secara matematis ditulis sebagai berikut: 1 × kompos yang diaplikasikan (1 + KA) Hara tersedia yang ditambahkan dihitung berdasarkan konversi hara Bobot Bersih = tersedia dari hasil analisis dikalikan dengan bobot bersih, dapat ditulis sebagai berikut: Bobot yang ditambahkan = hara yang tersedia × bobot bersih Misalkan untuk perhitungan bobot bersih kompos batang pisang. Dengan kadar air 257,98% diperoleh berat bersih 6,70 kg. Untuk menghitung unsur fosfor tersedia yang ditambahkan, dengan hasil analisis ketersediaan fosfor batang pisang adalah 0,48%, maka diperoleh jumlah yang ditambahkan sebanyak 0,03 kg. Demikian pula untuk perhitungan unsur yang lain. Dari hasil perhitungan tersebut ditunjukkan bahwa walaupun kalsium total dari kompos kotoran ayam sangat tinggi, tidak menjadikan jumlah hara tersedia yang ditambahkan ke dalam tanah tinggi. Dari Tabel 5 terlihat bahwa aplikasi kompos kotoran sapi menyediakan hara kalium, natrium, kalsium, dan magnesium lebih banyak dibanding kompos lain. Tabel 5. Jumlah hara tersedia yang ditambahkan Parameter Kadar Air Kompos yang diaplikasikan Bobot Bersih C P K Na Ca Mg Fe Cu Zn Mn Satuan Kompos Kotoran Rumput Sapi 75,46 52,06 Jerami Padi 46,93 % Batang Pisang 257,98 Kotoran Ayam 54,63 kg 24 40 40 27 40 kg kg kg kg kg kg kg mg mg mg mg 6,70 1,90 0,03 0,37 0,05 0,13 0,06 10,73 6,70 8,72 137,44 25,87 5,85 0,12 0,20 0,13 0,37 0,32 69,84 72,43 85,37 631,18 22,80 6,89 0,11 1,28 0,32 0,85 0,39 214,29 84,35 1370,11 6264,68 17,76 7,18 0,09 0,83 0,19 0,25 0,14 134,95 21,31 49,72 1464,88 27,22 9,79 0,09 1,23 0,25 0,36 0,22 400,19 95,28 212,35 4736,95 27 Pengaruh Kompos terhadap Sifat Kimia Tanah Penelitian aplikasi kompos di lapang dilakukan bulan Juni 2006 pada tanah Alluvial (Entisol). Analisis pendahuluan terhadap tanah menunjukkan masih memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sebesar 3.59%. Kandungan pH H2O 1:1 sebesar 4.29 dan pH KCl (1:1) sebesar 3.23. Ciri lain yang dimiliki tanah antara lain N-total 0.17%, P 13 ppm, Al 2.45 me/100g, dan H 1.65 me/100g. Kandungan basa-basa yaitu K sebanyak 0.39 me/100g, Na 3.20 me/100g, Ca 3.2 me/100g, dan Mg 1.71 me/100g. Unsur mikro yang juga dianalisis berupa Fe sebanyak 88.1 ppm, Cu 1.1 ppm, Zn 6.0 ppm dan 30.3 ppm. Secara lebih lengkap, analisis tanah pendahuluan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel Lampiran 1. Referensi yang ditemukan menunjukkan, hanya daftar kecukupan fosfor untuk tanaman jeruk yang ditemukan pada analisis tanah, yaitu 40 ppm P untuk tanah yang diekstrak dengan Bray I, data Ca dan Mg yang ditemukan dianalisis dengan Mehlich-1 menunjukkan kecukupan Ca dan Mg bila tersedia 250 ppm Ca dan 30 ppm Mg (Obreza et al., 1999). Hasil yang diperoleh dari analisis tanah menunjukkan bahwa tanah pada lokasi penelitian mengalami kekurangan fosfor. Aplikasi bahan organik berupa kompos ke tanaman jeruk memberikan pengaruh kepada kondisi tanah selanjutnya. Beberapa sifat tanah yang dianalisis menunjukkan adanya perubahan sifat-sifat kimia tanah. Perubahan sifat kimia tanah setelah aplikasi kompos disajikan pada Tabel 6 dan hasil analisis ragam disajikan pada Tabel Lampiran 3 dan Tabel Lampiran 5. Aplikasi bahan organik berupa kompos berpengaruh terhadap perubahan pH H2O, baik pada bulan ketiga maupun bulan keenam setelah aplikasi. Pada kondisi tiga bulan setelah aplikasi, perubahan pH terbesar terjadi pada aplikasi kompos jerami padi dan batang pisang, walaupun dari hasil analisis ragam terlihat hanya aplikasi kompos batang pisang yang nyata berbeda dibandingkan dengan kontrol. Selanjutnya, setelah enam bulan aplikasi terjadi perbedaan yang sangat nyata pada perlakuan kompos yang berasal dari kotoran ayam. Kompos meningkatkan kation yang terikat, terutama hidrogen di dalam tanah. Kadar hidrogen dan aluminium yang dapat dipertukarkan dalam tanah (Aldd dan Hdd) berubah dengan adanya aplikasi kompos. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh kompos yang diaplikasikan terhadap Hdd. Pada 28 bulan ketiga setelah aplikasi mulai terlihat penurunan kadar Hdd, demikian pula setelah enam bulan setelah aplikasi. Hal ini nampak jelas pada aplikasi kompos batang pisang yang hanya sebesar 0,20 me/100 g sangat berbeda dengan kontrol yang sebesar 0,92 me/100g tanah. Tabel 6. Pengaruh perlakuan kompos terhadap sifat kimia tanah setelah tiga dan enam bulan aplikasi Para Perlakuan Kompos Satuan 3,92 ab Batang Pisang 4,43 c H me/100g 1,46 ab 1,55 b 0,90 ab 0,77 ab Al me/100g 3,12 d 1,11 abc 1,03 ab 2,16 cd 3,47 b 2,75 a 3,71 b 3,72 b 0,23 a 0,28 ab meter kontrol pH H2O C org % 3,50 b % 0,25 ab Kotoran Kotoran Ayam Sapi 4,16 abc 4,04 ab Rumput 4,06 abc Jerami Padi Campuran 4,28 bc 3,87 a 0,94 ab 0,83 a 0,58 ab 1,81 abc 0,90 a 2,09 bcd 3,89 b 3,45 b Bulan N ketiga P ppm 32,6 a K me/100g 0,14 a 0,26 a Na me/100g 0,57 a 0,94 ab 3,18 c 0,93 ab 1,66 b 3,73 c 1,39 ab Ca me/100g 6,02 a 7,46 b 7,97 b 6,81 ab 6,63 ab 7,89 b 7,03 ab Mg me/100g 4,42 a 6,01 bc 5,30 abc 5,36 abc 5,47 abc 6,09 c 4,95 ab pH H2O 1:1 0,24 ab 84,5 ab 82,6 ab 64,5 a 0,60 b 0,14 a 0,27 ab 0,32 b 0,30 ab 69,2 a 132,5 b 62,9 a 0,30 a 0,62 b 0,29 a 3,97 a 4,56 a 6,01 b 4,03 a 4,35 a 4,26 a 4,90 a H me/100g 0,92 b 0,20 a 0,61 ab 0,91 b 0,85 b 0,72 b 0,52 ab Al me/100g 4,12 c 1,29 ab 0,07 a 2,94 bc 1,21 ab 1,92 abc 1,64 abc C org % 3,75 ab 3,36 a 3,44 a 4,97 c 4,65 bc 3,87 ab 4,64 bc Bulan N % 0,24 ab 0,24 a 0,27 abc 0,31 cd 0,30 bcd 0,30 abcd 0,35 d keenam P ppm 26,8 a 105,4 b 211,2 c 109,5 b 105,5 b 108,7 b 105,9 b K me/100g 0,31 a 0,85 ab 1,46 b 0,94 ab 0,76 ab 1,20 b 1,03 b Na me/100g 0,32 a 0,48 ab 0,71 b 0,58 b 0,56 ab 0,68 b 0,64 b Ca me/100g 3,01 a 5,50 ab 15,10 c 5,70 ab 5,80 ab 5,10 a 10,00 b Mg me/100g 4,51 a 6,82 ab 8,17 b 6,75 ab 6,75 ab 5,58 ab 7,71 b Keterangan: angka pada baris yang diikuti dengan notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan Terjadinya peningkatan pH tanah diikuti dengan menurunnya kemasaman tanah yang dapat ditukar. Pengaruh yang nyata terhadap perubahan Aldd pada bulan ketiga terlihat oleh aplikasi kompos batang pisang, rumput dan kotoran ayam. Bahkan kompos jerami padi memberikan pengaruh yang nyata yaitu hanya 0,90 me Al/100 g tanah. Demikian pula pada bulan keenam, perbedaan kadar Aldd akibat aplikasi kompos ini dapat mencapai 4 me/100g setelah enam bulan aplikasi kompos kotoran ayam. Hal ini terkait dengan pH tanah yang mulai meningkat sehingga Al mulai terikat ke bahan organik yang ditambahkan. Terlihat pula 29 adanya hubungan terbalik antara pH dan kandungan Aldd di dalam tanah. Hal ini tampak jelas pada perlakuan kompos kotoran ayam pada bulan keenam, pH H2O tanah mencolok tinggi (6,01) dan kandungan Aldd yang sangat rendah (0,07 me/100 g). Kemampuan bahan organik untuk mengurangi jumlah Al yang dapat dipertukarkan ini juga telah didemonstrasikan oleh Hargrove dan Thomas (1981) dalam Syers dan Crasswell (1995). C organik dan N total tanah Kadar C organik tanah pada lokasi penelitian termasuk tinggi yaitu sebesar 3,59 %. Pada tiga bulan setelah aplikasi, hanya terjadi perbedaan pada aplikasi kompos kotoran ayam yang menurunkan kadar C organik. Eve et al. (2002) menyatakan bahwa kadar C di dalam tanah tergantung pada tekstur tanah, iklim, tipe dan pertumbuhan tanaman, sejarah penggunaan lahan dan manajemen lahan. Terjadinya penurunan kadar C organik tanah akibat aplikasi kompos kotoran ayam bisa diakibatkan karena kompos tersebut cepat terurai dalam tanah. Enam bulan setelah aplikasi, kompos batang pisang dan kotoran ayam lebih rendah dibandingkan kontrol yang mengandung 3,75% C organik. Hanya aplikasi kotoran sapi yang meningkatkan kandungan C organik hingga mencapai 4,97% yang berbeda nyata dengan kontrol. Penurunan kadar C organik yang terukur terkait dengan priming effect negatif dari kompos. Mikroba yang ada di dalam tanah memanfaatkan bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah sebagai sumber energi utama. Setelah bahan organik yang ditambahkan telah terdekomposisi sempurna, mikroba kembali memanfaatkan bahan organik yang ada di dalam tanah. Hal inilah yang menyebabkan kadar C organik menjadi rendah dibanding kondisi awal tanah. Ketersediaan nitrogen terlihat belum nyata akibat aplikasi kompos pada bulan ketiga. Jumlah yang lebih tinggi terutama akibat penambahan kompos jerami padi. Hal ini terkait dengan penambahan nitrogen tersedia tiap tanaman dari jerami padi yang lebih tinggi dibanding penambahan kompos lain. Namun bila dilihat pada bulan keenam, ketersediaannya di dalam tanah menurun, dan hanya perlakuan kompos kotoran sapi dan campuran berbagai kompos yang memberikan pengaruh yang berbeda. Penambahan hara tersedia selain kompos jerami padi yang diberikan dalam jumlah sedikit, belum dapat terurai sempurna 30 pada bulan ketiga, terkait iklim yang panas dengan curah hujan rendah. Sedangkan pada bulan keenam setelah aplikasi, curah hujan yang meningkat dari bulan ketiga aplikasi (bulan September) dimungkinkan mempengaruhi kelarutan nitrogen sehingga ketersediaannya semakin meningkat di dalam tanah (Tabel Lampiran 7). Fosfor dan Basa dapat dipertukarkan Hasil analisis fosfor dengan ekstrak Bray 1 dapat dilihat pada Tabel 6. Analisis tanah memperlihatkan terjadinya kenaikan kadar fosfor setelah pemberian perlakuan. Pada tiga bulan pertama pemberian kompos terlihat perbedaan nyata hanya antara perlakuan kontrol (32,6 ppm) dengan jerami padi (132,5 ppm). Fosfor bersifat lambat tersedia, terlihat setelah enam bulan aplikasi semua kompos berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya aplikasi kompos ke dalam tanah mampu menyediakan fosfor ke dalam tanah, dan kompos kotoran ayam yang diberikan dalam jumlah fosfor tertinggi juga menyediakan fosfor tertinggi pula di dalam tanah. Hasil penelitian Haynes dan Mokolobate (2001) dan Madejon et al. (2003) juga menunjukkan bahwa penggunaan sisa bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan fosfor. Ekstraksi basa-basa dengan NH4OAC pH 7,0 memperlihatkan kenaikan kadar K, Ca, Mg, dan Na yang tersedia dalam tanah akibat perlakuan. Aplikasi kompos kotoran ayam dan jerami padi meningkatkan kadar kalium secara nyata dalam tanah pada bulan ketiga. Tingginya kalium tersedia di tanah akibat aplikasi kompos kotoran ayam tidak sejalan dengan jumlah kalium yang ditambahkan ke dalam tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kompos kotoran ayam mampu melepaskan kalium terikat yang lebih besar dibanding kompos lain. Setelah enam bulan, kadar kalium akibat perlakuan kompos campuran (1,03 me/100g), jerami padi (1,20 me/100g) dan kotoran ayam (1,46 me/100g) berbeda nyata dengan perlakuan kontrol yang hanya mengandung 0,31 me/100g. Peningkatan basa-basa ini pula yang turut mempengaruhi peningkatan pH tanah terutama akibat aplikasi kompos kotoran ayam. Peningkatan tertinggi untuk unsur kalsium tersedia terjadi pada perlakuan kompos kotoran ayam (7,97 me/100g) dibandingkan kontrol (6,02 me/100g). Perlakuan kompos batang pisang (7,46 me/100g) dan jerami padi (7,89 me/100g) 31 juga terjadi perbedaan yang nyata. Dengan analisis lanjut Duncan, pada bulan ketiga hanya perlakuan aplikasi kompos tersebut berbeda nyata dibanding kontrol. Selanjutnya pada bulan keenam hanya kompos campuran (10,03 me/100g) dan kotoran ayam (15,09 me/100g) yang berbeda nyata dengan kontrol (3,08 me/100g). Untuk ketersediaan natrium juga diperlihatkan terjadinya peningkatan pada tiga bulan setelah aplikasi kompos rumput, kotoran ayam dan jerami padi yang memberikan perbedaan nyata terhadap kontrol dan setelah enam bulan kompos kotoran sapi, campuran, jerami padi dan kotoran ayam yang memberikan perbedaan nyata. Unsur Mikro Hasil analisis unsur mikro dengan menggunakan ekstrak HCl 0,05 N disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan rata-rata unsur terekstrak bila ditinjau kadar Fe dan Cu terjadi penurunan sedangkan Zn dan Mn relatif meningkat setelah tiga dan enam bulan aplikasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan adanya aplikasi kompos mampu menurunkan kadar Fe dari 42,7 ppm pada bulan ketiga hingga mencapai 15,3 ppm setelah ditambahkan kompos dari jerami padi. Di bulan keenam, kadar Fe dalam tanah terus menurun, dan yang terendah adalah hasil dari aplikasi kompos kotoran ayam. Ini menunjukkan bahwa unsur mikro tersebut diikat oleh bahan organik. Kadar Cu dan Zn tidak mengalami perubahan yang nyata akibat perlakuan, sedangkan kadar Mn meningkat pada bulan ketiga. Hal ini terlihat dari perlakuan kontrol yang mengandung 24,5 ppm Mn yang berbeda nyata terutama dengan perlakuan kompos batang pisang (32,9 ppm) dan jerami padi (64,2 ppm). Pada bulan keenam, konsentrasi Mn lebih tinggi dibanding kontrol, kecuali pada kompos kotoran ayam. Perlakuan kompos kotoran sapi (49,0 ppm) sangat berbeda dengan kontrol (23,8 ppm), sedangkan akibat perlakuan kompos kotoran ayam, tanah hanya mengandung 12,4 ppm Mn yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Pemberian bahan organik berupa kompos pada penelitian ini berpengaruh terhadap ketersediaan unsur mikro dalam tanah. Pengaruh perlakuan ini menunjukkan bahwa dengan aplikasi kompos umumnya membuat Fe dan Cu menjadi lebih terikat sehingga menjadi kurang tersedia. Hal ini terjadi pada bulan 32 ketiga dan keenam setelah aplikasi. Ketersediaan Zn secara umum meningkat dan ketersediaan Mn bervariasi tergantung jenis kompos yang digunakan. Banyaknya unsur mikro yang ditambahkan ke dalam tanah tidak menunjukkan semakin banyaknya ketersediaan unsur hara mikro yang teranalisis. Hal ini menunjukkan bahwa unsur mikro yang tersedia di dalam kompos masih bereaksi dalam tanah untuk menjadi tersedia di dalam tanah. Tabel 7. Pengaruh perlakuan kompos terhadap unsur mikro tanah setelah tiga dan enam bulan aplikasi (ppm) Perlakuan Kompos Parameter Fe 42,7 d Batang Pisang 20,6 ab Bulan Cu 0,8 a 0,5 a 0,5 a 0,5 a 0,7 a 0,3 a 0,4 a ketiga Zn 3,4 a 3,4 a 5,9 a 7,2 a 4,1 a 7,3 a 6,2 a Mn 24,5 a 32,9 b 23,5 a 29,8 ab 25,7 ab 64,2 c 24,7 a Fe 26,5 c 9,9 ab 2,2 a 14,5 ab 17,8 bc 12,2 ab 8,7 ab Bulan Cu 0,5 b 0,1 a 0,3 a 0,3 ab 0,5 b 0,5 b 0,4 b keenam Zn 2,8 a 2,6 a 3,2 a 10,0 b 3,7 a 3,8 a 3,6 a Mn 23,8 ab 33,3 bc 12,4 a 49,0 d 34,1 bc 42,3 cd 23,7 ab Kontrol Kotoran Ayam 36,9 cd Kotoran Rumput Sapi 26,4 abc 36,3 bcd Jerami Campuran Padi 15,3 a 27,3 abcd Keterangan: angka pada baris yang diikuti dengan notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan Nitrat Nitrogen yang berada di dalam tanah dalam bentuk ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Adanya bahan organik tanah, maka akan terjadi mineralisasi melepaskan NH4+ dan proses nitrifikasi menghasilkan NO3-. Penelitian ini hanya melihat kandungan nitrat pada awal dan enam bulan setelah aplikasi yang disajikan pada Tabel 8. Dari data tabel tersebut terlihat bahwa nitrat yang terkandung di dalam tanah lebih terus meningkat dibandingkan sebelum aplikasi kompos. Konsentrasi nitrat ini terus meningkat setelah diaplikasikan kompos ke dalam tanah. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi kompos meningkatkan konsentrasi nitrat di dalam tanah. Tingginya kandungan nitrat di dalam tanah terlihat begitu besar pada aplikasi kompos kotoran sapi. Hal ini didukung oleh tingginya kandungan nitrogen di dalam tanah yang diaplikasikan kotoran sapi walaupun tak sebanyak kandungan nitrogen pada tanah yang diaplikasikan kompos campuran. Hal ini 33 menunjukkan bahwa perlakuan kompos sapi lebih mampu menyediakan nitrogen pada tanaman. Tabel 8. Pengaruh perlakuan kompos terhadap kandungan nitrat tanah pada kondisi awal dan setelah enam bulan aplikasi Perlakuan Para meter Satuan NO3 mg/kg 11,26 Awal Kontrol 29,64 Jerami Batang Kotoran Kotoran Campuran Rumput Padi Pisang Ayam Sapi 34,62 47,74 59,83 34,62 41,10 50,02 Pengaruh Kompos terhadap Sifat Biologi Tanah Penelitian ini juga melihat pengaruh pemberian kompos terhadap perubahan sifat biologi tanah berupa populasi cacing, respirasi dan karbon mikroorganisme (CMic). Populasi Cacing Aplikasi kompos pada tanaman jeruk memberikan pengaruh terhadap populasi cacing tanah. Populasi cacing yang ditemukan di lapang disajikan pada Gambar 5. Di awal penelitian ditemukan cacing rata-rata 260 ekor/m2. Menurut Curry (1998), cacing tanah jarang ditemukan pada tanah dengan pH <4.5, padahal tanah awal memiliki pH 4,29. Hal ini dapat terjadi karena tanah yang diteliti masih memiliki kadar karbon yang tinggi (3,59%). Pada tiga bulan setelah aplikasi kompos, beberapa perlakuan menurunkan populasi cacing, yaitu aplikasi kompos jerami padi, rumput, dan kotoran ayam. Namun hal ini tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan kontrol (287 ekor/m2). Pengaruh yang nyata ditunjukkan akibat aplikasi kompos campuran dan kotoran sapi, berturut-turut ditemukan 427 dan 430 ekor/m2. Pada bulan keenam, terjadi peningkatan jumlah cacing yang sangat besar. Perlakuan kontrol hanya ditemukan cacing rata-rata 437 ekor/m2, sedangkan perlakuan yang memberikan pengaruh yang sangat nyata yaitu perlakuan jerami padi dan rumput masing–masing ditemukan 906 dan 1099 ekor/m2. Banyaknya cacing yang ditemukan terkait dengan ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan bagi cacing untuk tumbuh dan berkembang. Kandungan yang terdapat dalam bahan organik tanah dapat digunakan untuk memprediksi banyaknya jumlah cacing dalam tanah (Curry, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa kompos 34 rumput dan jerami memiliki kandungan hara yang digunakan cacing untuk tumbuh dan berkembang biak. Jumlah Cacing 1200 Jumlah (ekor/m 2) 1000 800 600 400 200 0 Kontrol Btg Pisang Kot Ay am Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan bulan ketiga bulan keenam Gambar 5. Hubungan perlakuan kompos dengan populasi cacing tanah Dari hasil pengamatan di lapang pada bulan keenam menunjukkan adanya perbedaan fisik (Gambar 6). Perbedaan mencolok ditemukan pada cacing dengan ciri fisik yang besar pada tanah yang diaplikasikan kompos kotoran ayam, sedangkan pada tanah yang diaplikasikan kompos rumput dan jerami padi, cacing yang ditemukan relatif kecil, namun ditemukan dalam jumlah yang banyak. Hal ini terkait dengan ketersediaan bahan makanan bagi cacing dan penggunaannya. Faktor yang mendukung adalah tingginya kalsium dalam tanah yang diaplikasikan kompos kotoran ayam, sehingga dimungkinkan cacing ini ikut terlibat dalam merombak kalsium sehingga ketersediaannya di dalam tanah semakin meningkat. Hasil penelitian Dlamini dan Haynes (2004) menunjukkan adanya peningkatan jumlah cacing berkorelasi positif dengan aplikasi bahan organik, pH tanah dan kadar kalsium yang dapat dipertukarkan dalam tanah, tetapi tidak berbeda nyata korelasinya dengan Mg, K, Na yang dapat dipertukarkan dan Truog P. Menurut Parmelee et al. (1998), cacing ini akan mempengaruhi sifat dan proses yang terjadi dalam tanah seperti aktivitas dan biomassa mikroba, bahan organik, ketersediaan hara, serapan hara tanaman dan produksinya, dan struktur 35 tanah. Dalam penelitian ini, hal inilah yang diharapkan terjadi, struktur tanah menjadi baik dan porositas pun meningkat. (a) a (b) b Gambar 6. Cacing yang ditemukan di lapang (a) cacing yang ditemukan pada tanah yang diaplikasikan kompos kotoran ayam, (b) cacing yang ditemukan pada tanah yang diaplikasikan kompos jerami padi Respirasi dan CMic Pengukuran respirasi (mikroorganisme) tanah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Tingkat respirasi yang diukur dari besarnya CO2 yang dikeluarkan merupakan indikator yang baik bagi aktivitas mikroorganisme tanah. Kecepatan respirasi di sini lebih mencerminkan aktivitas metabolik daripada jumlah, tipe atau perkembangan mikroorganisme tanah. Jenis tumbuhan juga bisa mempengaruhi respirasi tanah yaitu melalui pengaruhnya terhadap iklim mikro dan struktur tanah, jumlah daun-daun yang berguguran ke tanah, kualitasnya, dan tingkat respirasi akar (Raich dan Tufekcioglu, 2000). Reaksi umum yang terjadi pada saat respirasi adalah sebagai berikut: (CH2O)x + O2 Æ CO2 + H2O + hasil antara media + bahan sel + energi Dari hasil pengukuran yang disajikan pada Gambar 7 terlihat bahwa aplikasi bahan organik pada bulan ketiga meningkatkan respirasi organisme pada trumbuk pohon jeruk. Hal ini terjadi karena aplikasi bahan organik tersebut mampu menyediakan energi bagi mikroorganisme tanah, dan dapat meningkatkan 36 aktivitas mikroorganisme untuk bekerja menguraikan bahan organik yang ada. Hasil penelitian Lovel dan Jarvis (1996) menyatakan efek terbaik akan terjadi bila bahan organik yang ditambahkan sudah secara sempurna tercampur dalam tanah, yang dapat meningkatkan respirasi tanah. Pada lapisan dasar, aktivitas mikroorganisme di sekitar trumbuk juga meningkat. Pada bulan keenam terlihat bahwa aktivitas mikroorganisme mulai menurun yang dimungkinkan karena semakin berkurangnya makanan. Adanya peningkatan respirasi pada lapisan dasar pada bulan keenam dimungkinkan karena terjadinya pencucian hara pada lapisan trumbuk. Respirasi mg CO2-C kg-1ha -1 35 30 25 20 15 10 5 0 Kontrol Btg Pisang Kot Ayam Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan Lapisan trumbuk bulan ketiga Lapisan lantai bulan ketiga Lapisan trumbuk bulan keenam Lapisan lantai bulan keenam Gambar 7. Hubungan perlakuan kompos dengan respirasi tanah Mikroba memanfaatkan karbon sebagai pembentuk tubuhnya. Aktivitas mikroorganisme dapat dilihat dari kandungan C yang berasal dari karbon mikroorganisme (CMic) yang disajikan pada Gambar 8. Kandungan CMic yang tinggi diikuti dengan respirasi yang tinggi menunjukkan kualitas tanah yang sehat. Dari hasil analisis, terlihat bahwa kandungan CMic sangat beragam. Kandungan CMic juga tergantung kondisi tanaman. Rendahnya CMic pada perlakuan batang pisang dan kotoran sapi pada bulan keenam yang disertai dengan respirasi yang cukup tinggi menandakan bahwa mikroba yang hidup di lapisan trumbuk didominasi oleh bakteri. Pada perlakuan aplikasi jerami padi terlihat bahwa respirasi yang tinggi diikuti dengan CMic yang tinggi pada bulan ketiga 37 menunjukkan kondisi mikroba yang seimbang antara bakteri dan fungi. Sedangkan pada kontrol terlihat hasil CMic yang tinggi diikuti dengan respirasi yang rendah menunjukkan bahwa tanah didominasi oleh fungi. Hal ini sejalan dengan kondisi tanah pada kontrol yang masam, fungi lebih tahan terhadap tanah yang masam dibanding bakteri (Killham, 1994). CMic 1200 1000 ug/g 800 600 400 200 0 Kontrol Btg Pisang Kot Ayam Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan Lapisan trumbuk bulan ketiga Lapisan lantai bulan ketiga Lapisan trumbuk bulan keenam Lapisan lantai bulan keenam Gambar 8. Hubungan perlakuan kompos dengan CMic tanah Pengaruh Kompos terhadap Sifat Fisika Tanah Perlakuan kompos pada penelitian ini juga melihat perubahan sifat fisik tanah, berupa volume tanah, bobot isi, ketersediaan air, dan kemantapan agregat akibat perlakuan aplikasi bahan organik. Volume tanah terkait pada besarnya jumlah padatan, pori dan air dalam tanah. Semakin besar volume padatan tanah berarti semakin kecil ruang pori tanah yang berisi air dan udara. Dari hasil penelitian, terlihat bahwa umumnya volume tanah berkurang pada bulan ketiga ke bulan keenam dengan adanya aplikasi kompos. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi bahan kompos mampu mengurangi jumlah padatan dalam tanah. Namun hal yang berbeda dengan lapisan di bawahnya yang tidak mengalami perubahan yang berarti. Pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar 12 memperlihatkan distribusi komposisi tanah pada lapisan trumbuk dan lapisan lantai, tiga dan enam bulan setelah aplikasi kompos. 38 Komposisi Tanah Lap. Trumbuk Bulan Ketiga 100% Persentase 80% 60% 40% 20% 0% Kontrol Btg Pisang Kot Ay am Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan Padat Air Udara Gambar 9. Hubungan perlakuan kompos dengan komposisi tanah lapisan trumbuk pada bulan ketiga Komposisi Tanah Lap. Trumbuk Bulan Keenam 100% Persentase 80% 60% 40% 20% 0% Kontrol Btg Pisang Kot Ay am Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan Padat Air Udara Gambar 10. Hubungan perlakuan kompos dengan komposisi tanah lapisan trumbuk pada bulan keenam 39 Komposisi Tanah Lap. Lantai Bulan Ketiga 100% Persentase 80% 60% 40% 20% 0% Kontrol Btg Pisang Kot Ayam Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan Padat Air Udara Gambar 11. Hubungan perlakuan kompos dengan komposisi tanah lapisan lantai pada bulan ketiga Komposisi Tanah Lap. Lantai Bulan Keenam 100% Persentase 80% 60% 40% 20% 0% Kontrol Btg Pisang Kot Ay am Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan Padat Air Udara Gambar 12. Hubungan perlakuan kompos dengan komposisi tanah lapisan lantai pada bulan keenam 40 Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan volume udara pada lapisan trumbuk setelah enam bulan aplikasi. Volume padatan rumput dan jerami berkurang, dan kemampuan mengikat air semakin besar. Kompos batang pisang dan kotoran ayam makin banyak menyediakan rongga udara yang menunjukkan makin tingginya porositas tanah setelah diaplikasikan kompos. Ini berarti bahwa aplikasi kompos tersebut sangat pengaruh positif terhadap kondisi tanah. Volume padatan lapisan lantai yang ditunjukkan Gambar 11 dan Gambar 12 menunjukkan perubahan yang tidak begitu besar, jelas terlihat pada aplikasi kontrol dan jerami padi yang bahkan terjadi peningkatan padatan dan air pada bulan keenam. Hal ini jelas menunjukkan kondisi tanah di lapang yang sebenarnya pada saat setelah musim hujan. Pengukuran bobot isi juga dilakukan pada penelitian ini. Gambar 13 menunjukkan bobot isi tanah dan Gambar 14 menunjukkan porositasnya. Dari gambar terlihat bahwa bobot isi ini berbanding terbalik dengan adanya ruang pori di dalam tanah. Adanya hubungan yang berbanding terbalik ini di duga berasal dari adanya pemadatan tanah. Peningkatan bobot isi tanah akan menurunkan ruang pori tanah dan tanah tersebut akan menjadi padat. Bobot Isi 1.2 1.0 g/cm 3 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Kontrol Btg Pisang Kot Ayam Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan Lapisan trumbuk bulan ketiga Lapisan lantai bulan ketiga Lapisan trumbuk bulan keenam Lapisan lantai bulan keenam Gambar 13. Hubungan perlakuan kompos dengan bobot isi tanah 41 Porositas 50 40 % 30 20 10 0 Kontrol Btg Pisang Kot Ayam Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan Lapisan trumbuk bulan ketiga Lapisan lantai bulan ketiga Lapisan trumbuk bulan keenam Lapisan lantai bulan keenam Gambar 14. Hubungan perlakuan kompos dengan porositas tanah Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi bahan organik menurunkan bobot isi tanah dan mengurangi pemadatan tanah. Hal ini sejalan dengan pendapat Aguilar et al. (1997) yang menyatakan bahwa dengan adanya aplikasi bahan organik dapat menurunkan bobot isi tanah. Selain itu, menurutnya dengan adanya aplikasi bahan organik, akan meningkatkan kapasitas menahan air, meningkatkan struktur dan stabilitas agregat sehingga meningkatkan kecepatan infiltrasi dan membuat tanah lebih tahan terhadap erosi. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis kemantapan agregat untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perlakuan terhadap kemantapan agregat tanah. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terlihat perbedaan sifat agregat tanah dengan adanya perlakuan baik pada bulan ketiga maupun pada bulan keenam. Dilihat dari tingkat kestabilan, tanah yang dianalisis semakin tidak stabil walaupun ditambahkan bahan organik yang dapat berfungsi untuk meningkatkan kestabilan tanah (Aguilar et al., 1997). Hal ini diakibatkan adanya pengaruh iklim, terutama curah hujan yang tinggi. Daerah sentra produksi jeruk di Florida menunjukkan jeruk tumbuh optimal pada curah hujan sekitar 1400 mm/tahun (Paramasivam et al., 2001). Curah hujan ini tentu saja berpengaruh terhadap tanah dan tanaman. Pada saat aplikasi kompos di lapang, data curah hujan dari UPT Tebas pada tahun 2006 yang disajikan pada Tabel Lampiran 7 mencapai 2434 42 mm/tahun. Pada saat aplikasi kompos (bulan Juni) curah hujan masih rendah, namun mulai bulan ketiga setelah aplikasi, curah hujan yang tinggi diduga mengakibatkan berkurangnya kestabilan agregat tanah. Dari hasil ini terlihat bahwa pembentukan agregat yang mantap hingga bulan keenam belum tercapai. Hasil ini juga terkait dengan pembentukan agregat yang lebih lama dari enam bulan. Pengaruh Kompos terhadap Kadar Hara dan Pertumbuhan Tanaman Tanaman yang digunakan adalah jeruk yang berumur dua tahun. Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman diwakili oleh perubahan diameter tajuk tanaman, dan dalamnya perakaran. Peningkatan diameter tajuk tanaman terkait fase pertumbuhan tanaman dan serapan hara tanaman. Pengaruh pemberian kompos terhadap perubahan diameter tajuk tanaman jeruk dapat dilihat pada Gambar 15. Pada gambar tersebut terlihat bahwa semua tanaman menunjukkan peningkatan diameter mulai dari bulan ketiga hingga bulan keenam. Pertumbuhan tanaman terlihat pada aplikasi kompos kotoran sapi diikuti kompos batang pisang. Namun dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa aplikasi kompos hingga bulan keenam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap diameter tanaman jeruk. Perubahan Diameter Tajuk Tanaman 70 delta (cm) 60 50 40 30 20 10 0 Kontrol Btg Pisang Kot Ayam Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan bulan ketiga bulan keenam Gambar 15. Hubungan perlakuan kompos dengan perubahan diameter tajuk tanaman 43 Kedalaman perakaran menunjukkan intensitas akar tanaman mencari nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Dalamnya perakaran tanaman di antaranya dipengaruhi oleh fase pertumbuhan tanaman dan jumlah nutrisi yang tersedia di dalam tanah. Semakin sedikit hara tersedia dalam tanah, semakin intensif akar mencari nutrisi yang dapat dilihat dari semakin dalamnya perakaran tanaman. Hasil pengamatan kedalaman perakaran pada analisis pendahuluan tanaman di lapang terlihat bahwa perakaran tanaman masih dangkal yaitu 30 cm dari permukaan trumbuk. Kedalaman perakaran pada tiga dan enam bulan setelah aplikasi disajikan pada Gambar 16. Kedalaman Perakaran Perlakuan Kontrol Btg Pisang Kot Ayam Kot Sapi Rumput Jerami Campuran 0 dalam akar (cm) -10 -20 -30 -40 -50 -60 -70 bulan ketiga bulan keenam Gambar 16. Hubungan perlakuan kompos dengan kedalaman perakaran tanaman Terlihat perakaran tanaman semakin dalam seiring pertambahan waktu. Namun masih lebih dangkal dibandingkan dengan kontrol. Ini menunjukkan bahwa perlakuan menambah ketersediaan hara bagi tanaman, sehingga aktivitas akar tanaman untuk mencari hara tidak terlalu intensif, ditunjukkan dari lebih dangkalnya kedalam akar tanaman yang diberi perlakuan kompos. Selain pengamatan sifat fisik tanaman, dilakukan pula analisis kadar hara melalui analisis jaringan tanaman. Kondisi awal tanaman dibandingkan dengan 44 total kadar hara pada tiga dan enam bulan setelah aplikasi kompos meliputi hara N, P, K, Na, Ca, Mg dan unsur mikro berupa Fe, Cu, Zn, dan Mn. Daun jeruk diukur total haranya untuk melihat unsur-unsur yang diserap tanaman. Hasil analisis awal pada Tabel Lampiran 2 menunjukkan bahwa tanaman berada dalam kondisi tidak seimbang bila dilihat pada tabel kecukupan hara (Obreza et al., 1999). Kandungan nitrogen sebanyak 2,43% menunjukkan bahwa kandungan nitrogen dalam tanaman masih rendah. Kandungan fosfor sebesar 0,07% dan kandungan kalium sebesar 0,13% menunjukkan bahwa tanaman masih mengalami kekurangan hara tersebut. Kandungan kalsium sebesar 1,72% menunjukkan bahwa kandungannya rendah dan hanya kandungan magnesium sebesar 0,34%, yang menunjukkan tanaman berada dalam kondisi optimum. Kandungan unsur mikro berupa Fe sebanyak 60,8 ppm, Cu 15,5 ppm, Zn 28,0 ppm dan Mn 35,6 ppm yang menunjukkan bahwa tanaman mengandung unsur mikro yang optimum. Perubahan kadar hara tanaman juga dilihat pada tiga dan enam bulan setelah aplikasi disajikan pada Tabel 9. Pada bulan ketiga, aplikasi kompos hanya berpengaruh nyata terhadap kadar nitrogen dan kalium. Kadar N tanaman sangat berbeda nyata pada perlakuan aplikasi kompos berupa jerami padi yaitu sebesar 3,29% dibanding kontrol yang hanya sebesar 2,39% pada bulan ketiga. Setelah enam bulan aplikasi, meningkatnya kadar nitrogen tidak memberikan pengaruh yang nyata pada semua perlakuan. Tingginya nitrat yang disediakan oleh tanah juga tidak menunjukkan kadar nitrogen yang tinggi pula pada tanaman. Hal ini dapat terjadi karena serapan hara yang lebih menggambarkan kondisi tanaman. Pada penelitian ini tidak dihitung biomassa tanaman, sehingga tidak diperoleh data serapan tanaman. Kadar kalium tanaman sangat berbeda nyata pada perlakuan aplikasi kompos berupa kotoran ayam yaitu sebesar 1,29% dibanding kontrol yang hanya sebesar 0,74% pada bulan ketiga. Pengaruh ini masih terlihat setelah enam bulan aplikasi. Kadar kalium menjadi lebih besar akibat perlakuan aplikasi kompos kotoran sapi (1,82%) yang memberikan pengaruh nyata dibanding kontrol (0,61%). Hal ini terkait dengan semakin tersedianya kalium di dalam tanah. 45 Tabel 9. Pengaruh perlakuan kompos terhadap kadar unsur makro daun tanaman setelah tiga dan enam bulan aplikasi Perlakuan Parameter Satuan Kotoran Kotoran Rumput Ayam Sapi 2,78 ab 2,66 ab 2,94 ab Jerami Campuran Padi 3,29 b 2,87 ab N % 2,39 a Batang Pisang 2,56 a P % 0,23 b 0,20 a 0,22 ab 0,22 ab 0,22 ab 0,22 b Kontrol 0,22 b K me/100g 0,74 a 0,84 ab 1,29 b 0,98 ab 0,93 ab 1,10 ab 1,00 ab Ca me/100g 2,94 a 2,39 a 3,01 a 2,81 a 3,14 a 2,63 a 2,58 a Mg me/100g 0,34 a 0,32 a 0,33 a 0,37 a 0,36 a 0,33 a 0,34 a Na me/100g 0,16 a 0,31 a 0,23 a 0,20 a 0,22 a 0,26 a 0,16 a N % 2,94 ab 2,70 a 2,95 ab 3,00 ab 3,13 ab 3,35 b 3,07 ab P % 0,26 a 0,25 a 0,24 a 0,30 a 0,25 a 0,27 a 0,24 a Bulan K me/100g 0,61 a 1,46 ab 1,62 b 1,82 b 1,13 ab 1,15 ab 1,15 ab Keenam Ca me/100g 3,21 ab 2,77 ab 2,90 ab 3,47 b 2,99 ab 2,36 a Mg me/100g 1,33 b 1,18 bc 1,16 bc 1,45 c 1,10 bc 0,90 ab 0,73 a Na me/100g 0,15 a 0,30 ab 0,29 ab 0,31 b 0,21 ab 0,23 ab 021 ab Bulan Ketiga 2,59 ab Keterangan: angka pada baris yang diikuti dengan notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi pada kadar unsur mikro yang terlihat pada Tabel 10. Pada tiga bulan setelah aplikasi, semua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kontrol. Hanya kadar Mn yang berbeda nyata setelah enam bulan aplikasi kompos. Kadar Mn akibat perlakuan kompos menjadi lebih besar akibat aplikasi kompos batang pisang (90,6 ppm) dan jerami padi (109,4 ppm) dibandingkan kadar kontrol yang hanya 51,0 ppm. Bila dilihat dari kecukupan hara, perlakuan ini pada bulan ketiga menghasilkan ketersediaan nitrogen pada kontrol masih rendah, aplikasi kompos dari batang pisang, kotoran ayam dan kotoran sapi berada pada kondisi optimum dan rumput, jerami padi dan campuran berada pada selang yang tinggi. Semua perlakuan pada kadar hara juga menunjukkan bahwa kadar fosfor juga tinggi. Kadar kalium tanaman juga meningkat. Kontrol masih mengalami defisiensi, hanya kompos kotoran ayam yang menyebabkan kadar kalium menjadi optimum, dan yang lain kandungannya masih rendah. Kadar kalsium juga sudah optimum pada perlakuan kotoran ayam dan rumput, dan ketersediaan natrium menjadi tinggi pada semua perlakuan. 46 Tabel 10. Pengaruh perlakuan kompos terhadap kadar unsur mikro tanaman setelah tiga dan enam bulan aplikasi (ppm) Perlakuan Para kontrol Fe 139,5 a Batang pisang 90,4 a Bulan Cu 13,9 a 14,9 a 13,7 a 12,0 a 11,8 a 13,9 a 11,8 a ketiga Zn 26,8 a 23,5 a 25,3 a 26,3 a 21,6 a 24,0 a 23,2 a Mn 49,3 a 47,9 a 55,2 a 44,1 a 63,9 a 65,8 a 38,8 a Fe 120,9 a 87,6 a 69,3 a 116,7 a 91,2 a 88,9 a 114,4 a Cu 8,6 a 7,9 a 7,2 a 7,9 a 8,5 a 7,9 a 8,2 a keenam Zn 33,9 a 18,2 a 27,2 a 17,5 a 15,5 a 20,4 a 21,7 a Mn 51,0 a 90,6 bc 67,1 ab 75,7 abc 82,5 abc 109,4 c 73,2 ab Bulan Kotoran Kotoran sapi rumput ayam 142,2 a 122,6 a 96,7 a Jerami Campuran padi 134,1 a 94,0 a meter Keterangan: angka pada baris yang diikuti dengan notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan Pada bulan keenam juga terjadi peningkatan kadar hara. Hanya perlakuan kompos batang pisang yang menunjukkan kadar nitrogen yang optimum, kontrol dan perlakuan kompos kotoran ayam dan kotoran sapi berada pada kondisi tinggi, sedangkan yang lain sudah berlebih. Kadar fosfor juga tinggi untuk semua perlakuan. Kadar kalium kontrol masih rendah, aplikasi kompos rumput, jerami padi dan campuran masih rendah, kompos batang pisang dan kotoran ayam adalah yang optimum dan kompos kotoran sapi termasuk tinggi. Dari data juga terlihat bahwa perlakuan kontrol dan kompos kotoran sapi menunjukkan kadar kalsium yang optimum, sedangkan yang lain menunjukkan rendah. Kadar magnesium menunjukkan bahwa semua perlakuan berlebih. Begitu juga kadar natrium, hanya kontrol, rumput, jerami dan campuran yang menunjukkan kadar yang tinggi, sedangkan yang lain juga berlebih. Untuk kadar hara mikro yang awalnya sudah optimum, adanya perlakuan menyebabkan jumlah total dalam tanaman menurun. Hal ini terjadi karena aplikasi bahan organik mampu mengikat unsur mikro yang ada di dalam tanah mengganggu serapan hara tanaman. Kadar Fe menjadi rendah untuk perlakuan kompos kotoran ayam, rumput dan kontrol, sedang yang lain menjadi defisien pada bulan ketiga. Selanjutnya semua menjadi kekurangan pada bulan keenam. Kadar Cu dan Zn juga menjadi kekurangan pada tiga dan enam bulan aplikasi. Ketersediaan Mn masih optimum 47 pada bulan ketiga untuk semua perlakuan sedangkan pada bulan keenam hanya perlakuan kompos kotoran ayam yang memiliki kadar yang rendah. Besi merupakan unsur yang penting untuk pembentukan khlorofil dan transfer elektron, Mn terlibat dalam perubahan O2 dalam fotosintesis, Zn merupakan bagian dari sistem transfer elektron dan sintesisi protein, dan Cu terlibat dalam beberapa enzin dan tidak dapat digantikan oleh ion lainnya. Sampai bulan keenam, kekurangan unsur mikro ini belum terlihat pengaruhnya terhadap penampakan fisik tanaman. Penelitian Aguilar et al. (1997) yang menggunakan bahan organik 33,6 ton/ha, menunjukkan bahwa serapan hara unsur P, K, dan Fe berbeda nyata pada tanaman jeruk dibanding kontrol, setelah diaplikasikan selama dua tahun. Faktor penting untuk melihat pengaruh aplikasi kompos terhadap tanaman dapat dilihat dari hasil produksi. Hasil pengamatan di lapang setelah empat belas bulan aplikasi menunjukkan rata-rata jumlah buah per pohon yang disajikan pada Gambar 17. Dari Gambar terlihat bahwa jumlah buah jeruk terbanyak setelah diaplikasikan kompos kotoran sapi mencapai rata-rata 109 buah/pohon, diikuti kompos batang pisang sebanyak rata-rata 100 buah/pohon. Dilihat dari hara yang ditambahkan, kompos kotoran sapi memang lebih banyak dibanding kompos lain. Namun, bila dibandingkan dengan hara yang ditambahkan melalui aplikasi kompos batang pisang yang rendah dibanding yang lain, adalah suatu hal yang kurang wajar bila penyebab banyaknya buah adalah ketersediaan hara. Dari hal tersebut, adalah suatu hal yang menarik ditemukan bahwa hasil buah yang banyak yang bukan hanya disebabkan dari banyaknya ketersediaan hara dari tanah, namun juga oleh faktor lain yang dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kompos pisang memiliki spesifikasi khusus yang dapat merangsang pertumbuhan buah. Pertumbuhan tanaman terkait dengan ketersediaan hara. Adapun yang membatasi pertumbuhan adalah yang tersedia dalam jumlah terkecil. Pendapat ini sesuai dengan Hukum Liebig yang menyatakan bahwa ketersediaan yang paling sedikitlah yang membatasi pertumbuhan. Dari hal ini dapat dinyatakan bahwa penambahan kompos pisang yang terbatas jumlahnya, namun mampu memberikan 48 hasil yang banyak menunjukkan bahwa ketersediaan hara pada kompos ini cukup memberikan hara yang seimbang pada tanaman jeruk. Jumlah buah 120 Jumlah buah 100 80 60 40 20 0 Kontrol Btg Pisang Kot Ay am Kot Sapi Rumput Jerami Campuran Perlakuan Gambar 17. Hubungan perlakuan kompos dengan jumlah buah yang dihasilkan Kemungkinan lain yang bisa menyebabkan hal itu terjadi adalah adanya faktor yang dihasilkan dari penambahan kompos pisang yang merangsang pertumbuhan bunga dan buah. Menurut Coggins et al. (1966) dalam Arteca (1996), giberelin memiliki kemampuan meningkatkan pembentukan buah pada semua tanaman yang memberikan respon positif terhadap auksin, termasuk tanaman jeruk. Peluang Bisnis Kompos Berdasarkan pengalaman dalam mencermati data selama penelitian, terdapat peluang untuk mengembangkan kompos. Peluang ini muncul dari banyaknya bahan organik yang dapat dimanfaatkan di lapang, didukung dengan banyaknya lokasi kebun jeruk yang memerlukan pemakaian kompos. Luas pertanaman jeruk pontianak di Kabupaten Sambas telah mencapai 6.928,07 Ha, bahkan Kecamatan Tebas yang mencapai hampir setengah dari luas areal pengembangan jeruk di Kabupaten Sambas yaitu mencapai 3.241 Ha (Direktorat Tanaman Buah, 2003). Dengan asumsi penggunaan kompos 20 ton/ha saja, maka 49 kompos yang diperlukan mencapai 64.820 ton/tahun. Hal ini merupakan peluang yang sangat besar untuk mengembangkan kompos. Berdasarkan jumlah Hari Orang Kerja (HOK) yang terpakai selama pembuatan kompos, kemudian dibandingkan dari hasil analisis yang dilakukan baik pada tanah maupun tanaman, dapat dihitung potensi pembuatan kompos untuk dibisniskan. Data biaya yang dikeluarkan selama pembuatan bahan kompos disajikan pada Tabel 11. Dari tabel tersebut terlihat bahwa HOK yang terpakai untuk menghasilkan kompos dari bahan kotoran hewan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kompos yang dihasilkan dari sisa tanaman. Tabel 11. Prediksi jumlah Hari Orang Kerja (HOK) dalam pembuatan kompos Jenis Kompos Kotoran ayam Kotoran sapi Batang pisang Rumput Jerami padi Hasil yang diperoleh (kg) 472 452 250 288 432 Tenaga untuk mencacah (HOK) 46 48 50 HOK/kompos 18 15 65 63 68 Pada penelitian ini, pembuatan kompos terutama dari sisa tanaman memerlukan HOK yang cukup besar untuk mencacah bahan. Hal ini harus dilakukan karena pada penelitian ini tidak memiliki alat pencacah sehingga dilakukan secara manual, yang membutuhkan HOK yang lebih banyak. Selain itu, jumlah kompos yang dihasilkan dari kotoran hewan lebih banyak dibandingkan dengan kompos yang berasal dari sisa tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kompos dari kotoran hewan lebih menguntungkan dibandingkan dengan kompos dari sisa tanaman. Kompos dari sisa tanaman dapat lebih efisien dihasilkan jika dipergunakan alat untuk mencacah. Kompos sisa tanaman dapat diambil secara gratis di lapang, bahkan menguntungkan petani yang sekaligus ingin membersihkan kebun atau rumahnya. Berbeda dengan kotoran hewan yang memerlukan tambahan dana untuk mengumpulkan kotoran ke dalam karung dan mengangkutnya ke tempat lain, walaupun lebih efektif dan efisien. Pemakaian alat pencacah ini sangat mengurangi tenaga yang dikeluarkan untuk menghasilkan kompos. Terlihat dari Tabel 11 bahwa dominasi tenaga yang dikeluarkan adalah digunakan untuk mencacah bahan. Apabila digunakan mesin 50 untuk mencacah bahan, maka HOK yang dibutuhkan untuk membuat kompos menjadi tidak jauh berbeda antara sisa tanaman dan kotoran hewan. Selain berdasarkan tenaga yang dikeluarkan untuk menghasilkan kompos, dapat pula dilihat pengaruh pemberian kompos terhadap tanah dan tanaman. Kompos yang berasal dari kotoran sapi memerlukan tenaga paling sedikit, diikuti kotoran ayam, rumput, batang pisang, dan yang paling banyak adalah kompos yang berasal dari jerami padi. Bila dilihat pengaruhnya terhadap produksi tanaman, pemberian kompos yang berasal dari kotoran sapi lebih disarankan dibandingkan yang lain. Selain HOK yang dibutuhkan lebih sedikit, pengaruhnya terhadap tanah dan tanaman lebih baik dibandingkan yang lain. 51 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kandungan hara kompos tergantung dari jenis bahannya, kompos jerami padi banyak mengandung unsur nitrogen, kotoran ayam kandungan fosfor yang tinggi dan kompos batang pisang dominan mengandung kalium. 2. Pengaruh baik penggunaan kompos terhadap ketersediaan hara sudah mulai terlihat setelah tiga bulan hingga enam bulan aplikasi, demikian juga terhadap sifat biologi. Aplikasi kompos sangat mempengaruhi aktivitas cacing yang berpengaruh pula terhadap sifat fisik, yaitu mampu meningkatkan porositas tanah. 3. Pengamatan pertumbuhan tanaman selama enam bulan belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar hara tanaman jeruk. Namun jelas terlihat dari jumlah buah, kompos kotoran sapi dan kompos batang pisang yang memberikan hasil buah terbanyak. Selain ketersediaan hara setelah aplikasi kompos kotoran sapi, kecukupan hara akibat aplikasi kompos batang pisang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan buah. Saran Saran yang diajukan dari hasil penelitian ini, yaitu: 1. Dilakukan penelitian mengenai kandungan hormon, vitamin, asam humat, asam fulfat pada kompos, sehingga jelas faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. 2. Aplikasi sangat kompos disarankan untuk digunakan karena jelas memperbaiki sifat tanah. 3. Penggunaan alat pencacah sangat diperlukan untuk mengurangi biaya persiapan bahan pembuat kompos. 52 DAFTAR PUSTAKA Abd El-Naby, S.K.M. 2000. Effect of banana compost as organic manure on growth, nutrients status, yield and fruit quality of Maghrabi banana. Assiut J. Agric. Sci. (EGY), 31, (3), p: 101-114. Aguilar, F. J., P. Gonzalez, J. Revilla, J. J. De Leon, and O. Porcel. 1997. Agricultural Use of Municipal Solid waste on Tree and Bush Crops. J. Agric. Engng Res. No 67: 73-79. Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Petunjuk Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor. Arteca, R. N. 1996. Plant Growth Substances. Principles and Applications. Chapman and Hall. New York. Azri. 2004. Kebangkitan Kembali Jeruk Siam Pontianak. Sinar Tani. Februari 2004. Brady, N. C. 1990. The Nature and Properties of Soil. 10th ed. MacMillan Publishing Co. New York. Carter, M. R. 2001. Organic Matter and Sustainability. In. Rees, R. M., B. C. Ball, C. D. Campbell, and C. A. Watson. (eds.). Sustainable Management of Soil Organic Matter. CAB International Publishing. Crasswel, E. T. and R. D. B. Leffroy. 2001. The role and function of organic matter in tropical soils. Nutr. Cycl. in Agroecosys. 61: 7-18. Curry, J. P. 1998. Factors Affecting Earthworm Abundance in Soils. In. Edwards, C. A. (ed). Earthworm Ecology. Soil and Water Conservation Society. St Lucie Press. Ankeny, Iowa. Delgado, J. A. and R. F. Follett. 2002. Carbon and Nutrient Cycles. J. Soil and Water Conserv. Vol 57 no. 6: 455-464. Direktorat Tanaman Buah. 2003. Profil Jeruk di Kabupaten Sambas. www.deptan.go.id. [November 2005]. Djajakirana, G. 2001. Kerusakan Tanah Sebagai Dampak Pembangunan Pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Petani “Tanah Sehat Titik Tumbuh Pertanian Ekologis” di Sleman, 30 Oktober 2001. Djajakirana, G. 2002. Proses Pembuatan, Pemanfaatan dan Pemasaran Vermikompos untuk Pertanian di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar “Pemanfaatan Teknologi Aplikatif Pertanian dalam Mencapai Suatu Pertanian Berkelanjutan” –‘Planologi –A Plus 2002’- Bogor, 12 Mei 2002. 53 Djajakirana, G. 2004. Pengembangan Metoda Penetapan Cmic dengan menggunakan Ultrasonic Processor. Laporan Akhir. Quality for Undergraduate Education (QUE) Project. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Dlamini, T. C. and R. J. Haynes. 2004. Influence of agricultural land use on the size and composition of earthworm communities in northern KwaZuluNatal, South Africa. Appl. Soil Ecol. No. 27: 77-88. Duong, V. M., T. Watanabe, M. H. Luu, T. K. Vu, and T. K. P. Nguyen. 2006. Application of Rice Straw Compost for Sustainable Rice Production. 18th World Congress of Soil Science. Pennsylvania. Eve, M. D., M. Sperow, K. Howerton, K. Paustian and R. F. Follett. 2002. Predicted Impact of Management Changes on Soil Carbon Storage for Each Cropland Region of The Conterminous United States. J. Soil and Water Conserv. Vol 57 number 4. p: 196-204. Food & Fertilizer Technology Center. 2003. Soil Management for Citrus Orchards. An International Information Center for farmers in the Asia Pacific Region. http://www.fftc.agnet.org/library/article/bc52004.html [Januari 2006]. Gaur, A. C. 1981. Improving Soil Fertility through Organic Recycling: A Manual of Rural Composting. FAO/UNDP. Regional Projects RAS/75/004. Project Field. Hairah, K., Widianto, S. R. Utami, D. Suprayogo, Sunaryo, S. M. Sitompul, B. Lusiana, R. Mulia, M. van Noordwijk, dan G. Cadisch. 2000. Pengelolaan Tanah Masam secara Biologi. Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF. Harada, Y. K., T. H. Osada, and M. Kashino. 1993. Quality of Compost from Animal Waste. JAQR 26(4). Haynes, R. J., and M. S. Mokolobate. 2001. Amelioran of Al Toxicity and P deficiency in acid soils by additions of organic residues: a critical review of the phenomenon and the mechanisms involved. Nutr. Cycl. in Agroecosys. 59: 47-63. Kluwer Academic Publishers. Keulen, H. 2001. (Tropical) soil organic matter modelling: problems and prospects. Nutr. Cycl. in Agroecosys. 61: 33-39. Killham, K. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press. Melbourne. Kononova, M. M. 1961. Soil Organic Matter: Its Nature, Its Role in Soil Formation and in Soil Fertility. Translated by T. Z. Nowakowski, and A. C. D. Newman. Pergamon Press Inc. New York. Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humid Tropics. United Nation University Press. Tokyo-New York-Paris. Leaon, M. 1995. Organic Material Management. California Integrated Waste Management Board. 54 Lovell, R. D., and S. C. Jarvis. 1996. Effect of cattle dung on soil microbial biomass C and N in a permanent pasture soil. Soil Biol. Biochem. Vol 28 No. 3. pp. 291-299. Ma, W. C., L. Brussard, and J. A. de Ridder. 1990. Long-term effect of nitrogenous fertilizers on grassland earthworm (Oligochaeta: Lumbricidae): Their relation to soil acidification. Agric. Ecosys. Environ. 30: 71-80. Madejon, E., P. Burgos, R. Lopez, and F. Cabrera. 2003. Agricultural use of three organic residues: effect on orange production and on properties of a soil of the Comarca Costa de Huelva” (SW Spain). Nutr. Cycl. in Agroecosys. 65: 281-288. Miller, C. E., L. M. Turk, and H. D. Foth. 1985. Fundamentals of Soil Science. Third Edition. John Wiley and Sons Inc. New York. Müller-Sämann, K. M. and J. Kotschi. 1997. Sustaining Growth: Soil fertility management in tropical smallholding. Margraf Verlag. Germany. Obeng, L. A., and F. W. Wright. 1987. The-Co-Composting Domestic Solid and Human Waste. World Bank. Washington. Obreza, T. A., A. K. Alva, E. A. Hanlon, and R. E. Rouse. 1999. Citrus Grove Leaf Tissue and Soil Testing: Sampling, Analysis, and Interpretation. Soil and water Science Departement, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. http://edis.ifas.ufl.edu/CH046. [Oktober 2005]. Paramasivam, S., A. K. Alva, A. Fares, and K. S. Sajwan. 2001. Estimation of nitrate leaching in an Entisol under optimum citrus production. Soil Sci. Soc. Am. J. 65: 914-921. Parmelee, R. W., P. J. Bohlen, and J. M. Blair. 1998. Earthworms and Nutrient Cycling Processes: Integrating Across the Ecological Hierarchy. In. Edwards, C. A. (ed). Earthworm Ecology. Soil and Water Conservation Society. St Lucie Press. Ankeny, Iowa. Raich, J. W. and A. Tufekcioglu. 2000. Vegetation and Correlations and controls. Biogeochem. 48: 71-90 soil respiration: Sardi, I. 2006. Identifikasi Silika Amorf dari Sekam Padi. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions. 2th ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. Suzuki, T., Y. Ikumi, S. Okamoto, I. Watanabe, N. Fujitake, and H. Otsuka. 2004. Aerobic composting of chips from clear-cut trees with various comaterials. Bioresour. Tech. 95: 121-128. 55 Syers, J. K., and E. T. Crasswell. 1995. Role of Soil Organic Matter in Sustainable Agricultural System. In. Lefroy, R. D. B., G. J. Blair, and E. T. Craswell (eds.). Soil Organic Matter Management for Sustainable Agriculture. Aciar Proceeding No. 56. Canberra. Ultra, V. U., D. M. Mendoza, and A. M. Briones. 2005. Chemical changes under aerobic composting and nutrient supplying potential of banana residue compost. Renewable Agriculture and Food Systems. Volume 20. Number 2. pp: 113-125(13). CABI Publishing. Young, A. 1989. Agroforestry for Soil Management. Second edition. CABI. ICRAF. 56 Tabel Lampiran 1. Analisis tanah pendahuluan di lokasi penelitian Parameter Satuan Kandungan dalam tanah pH H2O 4,29 pH KCl 3,23 Corganik % 3,59 Ntotal % 0,17 ppm 13,0 Aldd me/100g 2,45 Hdd me/100g 1,65 K me/100g 0,39 Na me/100g 3,20 Ca me/100g 3,20 Mg me/100g 1,71 Fe ppm 88,1 Cu ppm 1,1 Zn ppm 6,0 Mn ppm 30,3 KTK me/100g 21,78 pasir % 0,33 debu % 30,30 liat % 69,37 P 57 Tabel Lampiran 2. Standar analisa daun jeruk yang berasal dari cabang yang tidak berbuah (Obreza et al., 1999) dan kadar hara awal tanaman N % <2.2 2.2-2.4 2.5-2.7 2.8-3.0 >3.0 Kadar Hara Awal Tanaman 2,43 P % <0.09 0.09-0.11 0.12-0.16 0.17-0.30 >0.30 0,07 K % <0.7 0.7-1.1 1.2-1.7 1.8-2.4 >2.4 0,13 Ca % <1.5 1.5-2.9 3.0-4.9 5.0-7.0 >7.0 1,72 Mg % <0.20 0.20-0.29 0.30-0.49 0.50-0.70 >0.70 0,34 Na % - - - 0.15-0.25 >0.25 0,02 Fe ppm <35 35-59 60-120 121-200 >200 60,8 Cu ppm <3 3-4 5-16 17-20 >20 15,5 Zn ppm <17 18-24 25-100 101-300 >300 28,0 Mn ppm <17 18-24 25-100 101-300 >300 35,6 Elemen Satuan Defisiensi Rendah Optimal Tinggi Berlebih Tabel Lampiran 3. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan kompos terhadap ketersediaan hara tanah pada bulan ketiga H JK df KT F 1,621 Sig. 0,214 Perlakuan Galat Total 3,325 4,786 8,111 6 14 20 0,554 0,342 Al Perlakuan Galat Total 11,436 4,455 15,891 6 14 20 1,906 0,318 5,990 0,003 pH H2O Perlakuan Galat Total 0,717 0,565 1,282 6 14 20 0,120 0,040 2,963 0,044 pH KCl Perlakuan Galat Total 1,068 0,597 1,665 6 14 20 0,178 0,043 4,174 0,013 C organik Perlakuan Galat Total 2,443 1,195 3,638 6 14 20 0,407 0,085 4,768 0,008 58 Lanjutan Tabel Lampiran 3 N JK Perlakuan 0,018 Galat 0,028 Total 0,046 df KT 6 14 20 0,003 0,002 F 1,515 Sig. 0,244 P Perlakuan Galat Total 16645,127 15499,520 32144,647 6 14 20 2774,188 1107,109 2,506 0,074 K Perlakuan Galat Total 0,703 0,268 0,971 6 14 20 0,117 0,019 6,109 0,003 Ca Perlakuan Galat Total 9,023 7,182 16,205 6 14 20 1,504 0,513 2,931 0,046 Mg Perlakuan Galat Total 6,046 4,412 10,458 6 14 20 1,008 0,315 3,198 0,034 Na Perlakuan Galat Total 26,470 3,877 30,347 6 14 20 4,412 0,277 15,929 0,000 Fe Perlakuan Galat Total 1705,162 974,213 2679,375 6 14 20 284,194 69,587 4,084 0,014 Cu Perlakuan Galat Total 0,482 1,342 1,824 6 14 20 0,080 0,096 0,837 0,561 Zn Perlakuan Galat Total 52,221 59,178 111,399 6 14 20 8,703 4,227 2,059 0,125 Mn Perlakuan Galat Total 3793,897 248,236 4042,133 6 14 20 632,316 17,731 35,661 0,000 Berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada selang kepercayaan 95% 59 Tabel Lampiran 4. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan kompos terhadap kadar hara tanaman jeruk pada bulan ketiga N JK df KT F 1,910 Sig. 0,149 Perlakuan Galat Total 1,534 1,874 3,408 6 14 20 0,256 0,134 P Perlakuan Galat Total 0,001 0,001 0,003 6 14 20 0,000 0,000 1,803 0,170 K Perlakuan Galat Total 0,580 0,816 1,396 6 14 20 0,097 0,058 1,660 0,203 Ca Perlakuan Galat Total 1,270 3,026 4,296 6 14 20 0,212 0,216 0,979 0,475 Mg Perlakuan Galat Total 0,006 0,031 0,038 6 14 20 0,001 0,002 0,462 0,825 Na Perlakuan Galat Total 0,055 0,154 0,209 6 14 20 0,009 0,011 0,832 0,564 Fe Perlakuan Galat Total 9333,952 40904,413 50238,366 6 14 20 1555,659 2921,744 0,532 0,775 Cu Perlakuan Galat Total 29,005 152,007 181,011 6 14 20 4,834 10,858 0,445 0,837 Zn Perlakuan Galat Total 61,539 177,047 238,586 10,257 12,646 0,811 0,578 6 14 20 60 Lanjutan Tabel Lampiran 4 Mn Perlakuan Galat Total JK 1808,578 5663,153 7471,731 df 6 14 20 KT 301,430 404,511 F 0,745 Sig. 0,623 Berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada selang kepercayaan 95% Tabel Lampiran 5. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan kompos terhadap ketersediaan hara tanah pada bulan keenam pH H2O JK df KT F 6,441 Sig. 0,002 2,043 0,245 8,330 0,001 6 14 20 0,201 0,072 2,784 0,054 30,766 27,400 58,166 6 14 20 5,128 1,957 2,620 0,065 C Perlakuan Galat Total 7,481 4,658 12,139 6 14 20 1,247 0,333 3,747 0,020 N Perlakuan Galat Total 0,031 0,017 0,047 6 14 20 0,005 0,001 4,307 0,011 P Perlakuan Galat Total 51646,987 244,460 51891,447 6 14 20 K Perlakuan Galat Total 2,353 1,908 4,262 6 14 20 Perlakuan Galat Total 8,981 3,253 12,234 6 14 20 1,497 0,232 pH KCl Perlakuan Galat Total 12,257 3,433 15,690 6 14 20 H Perlakuan Galat Total 1,206 1,011 2,218 Al Perlakuan Galat Total 8607,831 492,963 17,461 0,392 0,136 2,878 0,000 0,048 61 Lanjutan Tabel Lampiran 5 Ca Perlakuan Galat Total JK 294,905 82,179 377,084 Mg Perlakuan Galat Total df KT F 8,373 Sig. 0,001 4,604 2,598 1,772 0,177 6 14 20 0,055 0,019 2,931 0,046 1060,906 674,308 1735,215 6 14 20 176,818 48,165 3,671 0,021 Cu Perlakuan Galat Total 0,349 0,204 0,554 6 14 20 0,058 0,015 3,987 0,015 Zn Perlakuan Galat Total 118,440 65,430 183,870 6 14 20 19,740 4,674 4,224 0,012 Mn Perlakuan Galat Total 2754,490 900,627 3655,117 6 14 20 459,082 64,331 7,136 0,001 6 14 20 49,151 5,870 27,623 36,377 63,999 6 14 20 Na Perlakuan Galat Total 0,329 0,262 0,591 Fe Perlakuan Galat Total Berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada selang kepercayaan 95% Tabel Lampiran 6. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan kompos terhadap kadar hara tanaman jeruk pada bulan keenam N JK df Perlakuan Galat Total 0,708 1,049 1,757 6 14 20 P Perlakuan Galat Total 0,007 0,020 0,027 6 14 20 KT 0,118 0,075 F 1,574 Sig. 0,227 0,001 0,001 0,863 0,545 62 Lanjutan Tabel Lampiran 6 K JK df KT 0,472 0,266 F 1,774 Sig. 0,176 6 14 20 0,419 0,255 1,645 0,207 1,060 0,489 1,549 6 14 20 0,177 0,035 5,058 0,006 Na Perlakuan Galat Total 0,058 0,083 0,141 6 14 20 0,010 0,006 1,626 0,212 Fe Perlakuan Galat Total 6614,758 15732,098 22346,856 6 14 20 1102,460 1123,721 0,981 0,474 Cu Perlakuan Galat Total 3,999 16,747 20,747 6 14 20 0,667 1,196 0,557 0,757 Zn Perlakuan Galat Total 751,023 1725,769 2476,792 6 14 20 125,171 123,269 1,015 0,454 Mn Perlakuan Galat Total 6121,984 4506,315 10628,299 6 14 20 1020,331 321,880 3,170 0,035 Perlakuan Galat Total 2,829 3,721 6,550 6 14 20 Ca Perlakuan Galat Total 2,512 3,565 6,077 Mg Perlakuan Galat Total Berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada selang kepercayaan 95% 63 Tabel Lampiran 7. Data curah hujan daerah penelitian tahun 2006 Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan Januari 344 10 Februari 165 18 Maret 67 6 April 108 14 Mei 271 21 Juni 80 14 Juli 37 8 Agustus 66 8 September 232 10 Oktober 195 9 November 299 16 Desember 570 18 Total 2434 152