DISKUSI KASUS INTERAKSI OBAT Disusun Oleh Kelompok 2

advertisement
DISKUSI KASUS
INTERAKSI OBAT
Disusun Oleh Kelompok 2:
Abirianty P. Araminta
0706260055
Anita Amalia Sari
0706260124
Dara Ninggar Santoso
0706260194
Gusta Trisna Pratama
0706260364
Miranti Fristy M
0706260490
Mohammad Azmi
0706260515
Oke Dimas Asmara
0706259646
Rahmania Kannesia D
0706259702
Sammy Saleh Alhuraiby
0706260635
Yelsi Khairani
0706259980
DEPARTEMEN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA 2012
1
KASUS INTERAKSI OBAT
1. Tn. S, 60 tahun datang ke dr. A dengan keluhan sering sesak, batuk dan demam 2 minggu
terakhir ini, sakit kepala, tidak nafsu makan, kadang enek-enek, sendi lutut dan ibu jari kanan
bengkak dan sering sakit. Satu tahun lalu pernah mengalami operasi bypass jantung, oleh
dokter jantung diberi Ascardia 1 x 80 mg, Captopril 2 x 6,25 mg dan kadang-kadang diberi
ISDN 2–3 x sehari. Diagnosis dr. A dari hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan Echo:
hipertensi grade 2, CAD, CAP, hipercholesterolemia, dan arthritis, dengan IMT 23. dr.
A menambahkan obat: simvastatin 1 x 20 mg, clopidogrel 1 x 1 tab, omeprazol 1 x 20 mg,
ranitidine 1 x 1 tab, bisoprolol 1 x 2,5 mg, fluimucil 3 x 200 mg, diclofenac 2 x 25 mg
sesudah makan.
a. Berikan komentar Saudara untuk kasus ini secara keseluruhan.
b. Khusus farmakoterapinya, bagaimana menurut pendapat Saudara.
Setuju? → alasan? → Tidak setuju? → alasan? → apa usulan Saudara.
Jawaban
Kasus No. 1
1. Berikan komentar Saudara untuk kasus ini secara keseluruhan.
Dilihat dari jenis penyakit dan usia pasien saat ini maka dapat disimpulkan bahwa kasus diatas
merupakan kumpulan dari beberapa penyakit pada pasien geriatri. Pada pasien geriatri memang
cenderung akan timbul banyak masalah karena dipengaruhi oleh penurunan fungsi sistem organ akibat
penuaan sehingga perlu diperhatikan mengenai penatalaksaan pasien baik dari segi non-farmakologi
dan farmakologi.
Dari aspek non-farmakologi beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pasien geriatri adalah adanya
caregiver untuk pasien yang bertindak sebagai pengawas minum obat, membantu melakukan aktivitas
sehari-hari jika pasien memerlukan bantuan, dan sebagai pemerhari pola diet dan aktivitas pasien agar
adekuat untuk pasien dengan usia tua. Dari sisi farmakologis kemungkinan terjadinya polifarmasi juga
harus diperhatikan oleh dokter. Polifarmasi lebih sering terjadi pada pasien geriatri dikarenakan
banyaknya penyakit atau kondisi yang dapat muncul pada pasien di waktu yang bersamaan.
Polifarmasi sendiri adalah keadaan dimana penggunaan lebih dari sama dengan 4 obat dalam waktu
yang bersamaan pada seorang pasien. Penggunaan beberapa obat dalam waktu yang bersamaan ini
yang perlu dipantau dalam beberapa aspek seperti, apakah indikasi pemberian obat sudah benar,
apakah terdapat overuse obat dari golongan yang sama, bagaiama dengan dosis, frekuensi pemberian
obat yang diberikan, perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya interaksi obat dan apakah tubuh masih
bisa mengatasi efek samping yang akan ditimbulkan obat, yang biasanya dapat kita pantau melalui
pengecekan fungsi ginjal dan fungsi hati pasien.
Pada pasien ini, dengan adanya multipatologi yang terjadi maka polifarmasi memang perlu dilakukan
untuk menuntukan morbiditas dan mortalitas pasien, tetapi sebagai dokter pemilihan obat yang
diberikan harus merupakan pilihan terapi optimal dengan mempertimbangkan usia pasien dan
kepatuhan berobat pada pasien.
2
Pada pasien yang sudah tua biasanya sudah terjadi penurunan fungsi organ seperti ginjal dan liver
sehingga perlu diperhatikan apakah perlu penyesuaian dosis dari metabolisme obat yang terjadi di hati
dan sekresi obat yang melalui ginjal . Selain itu juga harus diperhatikan interaksi obat ( penurunan
fungsi obat atau peningkatan efek toksik obat) pada pasien, efek samping dan biaya pengobatan juga
harus diperharikan dan dilakukan pemilihan obat yang paling rasional berdasarkan efficcacy, safety,
suitability, dan juga cost.
2. Komentar terhadap interaksi obat pada farmakoterapi Tn.S:
Diklofenak dan Aspirin
Penggunaan diklofenak dan aspirin bersamaan dapat meningkatkan efek antikoagulasinya
sekaligus berpotensi meningkatkan kadar kalium serum. Aspirin dapat meningkatkan kadar
atau efek diklofenak melalui kompetrisi acidic (anionic) pada klirens tubulus ginjal. Penggunaan
OAINS dapat mengiritasi mukosa lambung dan menyebabkan perdarahan, yang dapat diperparah
dengan antikoagulan.
Diklofenak dan Captopril
Diklofenak dan ACE-inhibitor saling meningkatkan toksisitas masing-masing. Akibatnya, dapat
terjadi deteriorasi fungsi ginjal, terutama pada golongan usia lanjut. Diklofenak mengurangi
efek captopril dengan mengantagonis farmakodinamik captopril. OAINS menurunkan sintesis
vasodilator prostaglandin renal sehingga mempengaruhi homeostasis cairan dan mengurangi efek
antihipertensinya. Penggunaan bersama diklofenak dan captopril berpotensi meningkatkan kadar
kalium serum (hiperkalemia).
Diklofenak dan Clopidogrel
Diklofenak dan clopidogrel saling meningkatkan efek masing-masing melalui farmakodinamik
yang sinergis. Clopidogril dan OAINS dapat menghambat agregasi platelet sehingga risiko
perdarahan meningkat. Diperlukan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan keduanya
terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan.
Diklofenak dan Omeprazole
Omeprazole dapat meningkatkan kadar dan efek diklofenak dengan mempengaruhi
metabolisme enzim hepatik CYP2C9/10. Omeprazole berfungsi sebagai inhibitor enzim
CYP2C9 sehingga kadar diklofenak (yang dimetabolisme dengan enzim CYP2C9) dapat
meningkat. Interaksi yang disebabkan minimal atau tidak signifikan.
Diklofenak dan Bisoprolol
Diklofenak menurunkan efek bisoprolol dengan mengantagonis farmakodinamiknya.
Diperlukan pengawasan ketat terhadap penggunaan kedua jenis obat ini. Penggunaan OAINS
menambah efek toksik pada ginjal dan retensi air dan natrium sekaligus berpotensi meningkatkan
kadar serum kalium. Penggunaan jangka panjang (>1 minggu) OAINS menyebabkan penurunan
sintesis prostaglandin dengan menghambat sintesis prostaglandin di ginjal sehingga tekanan darah
dapat meningkat.
N-setilsistein dan Isosorbid Dinitrat
Asetilsistein meningkatkan efek isosorbid dinitrat dengan meningkatkan efek vasodilator
nitra Interaksi yang terjadi antara kedua obat ini minimal atau bahkan tidak signifikan.
Ranitidin
3
Ranitidin tidak memiliki interaksi obat dengan obat-obatan lain yang diberikan pada pasien ini
(ascardia, captorpil, ISDN, simvastatin, clopridogrel, omeprazole, bisoprolol, fluimucil dan
diclofenac).
Omeprazole dan clopidogrel
Omeprazole menurunkan efek dari clopridogrel dengan cara mempengaruhi metabolisme
enzim CYP2C19 di hepar. Interaksi ini merupakan interaksi serius atau bersifat mengancam jiwa,
sehingga merupakan kontraindikasi pemberian bersama, kecuali setelah dipertimbangkan risk
dan benefitnya dan tidak ada obat alternatif lain. Efikasi clopidogrel dapat berkurang oleh obatobatan yang menghambat CYP2C19, karena efek inhibisi terhadap agregasi platelet oleh
clopidogrel sepenuhnya bergantung pada metabolit aktifnya, dan clopidogrel dimetabolisme
menjadi bentuk aktifnya oleh CYP2C19.
Bisoprolol dan ISDN
Kombinasi penggunaan bisoprolol ( beta blocker selektif ) dengan ISDN ( nitrat ) diketahui dapat
memberikan hasil yang sinergis dan baik pada terapi penyakit jantung dan hipertensi. 1
Pemberian bisoprolol dan ISDN pada pasien sudah tepat, karena melihat dari indikasi penyakit
jantung dan hipertensi yang dialami pasien dan interaksi kedua obat yang sinergis dan baik
terhadap penyakit jantung dan hipertensi yang dialami pasien.
Penulis setuju dengan penggunaan ISDN pada pasien ini karena efek vasodilatasinya dan
penggunaannya biasanya diberikan pada angina pectoris. Selain itu ISDN tidak mempunyai
interaksi yang berarti dengan obat-obatan lain yang diberikan kepada pasien. Namun
ketergantungan nitrat organic dapat terjadi sehingga pada pasien yang mendapat nitrat organic
dosis tinggi dan lama, penghentian obat harus dilakukan secara bertahap. Pernah dilaporkan
penghentian obat secara mendadak menimbulkan gejala rebound angina.
Captopril dan Ascardia
OAINS dapat mengurangi efek hipotensi dari ACE inhibitor. ACE inhibitor bekerja mengurangi
pemecahan kinin yang akan menstimulasi produksi prostaglandin namun OAINS menghambat
produksi prostaglandin dengan menghambat enzim siklooksigenase. Prostaglandin ini penting
untuk vasodilatasi dalam menurunkan tekanan darah. Namun penggunaan aspirin dosis rendah
(<100 mg) untuk penggunaan antiplatelet mempunyai efek interaksi obat yang lebih sedikit
dibandingkan penggunaannya untuk analgesik antipiretik. Kombinasi dari OAINS dan ACE
inhibitor juga dapat menyebabkan hiperkalemia yang dapat menyebabkan sinkop terutama pada
pasien geriatri atau pasien dengan hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung iskemik.
Ascardia dan Clopidogrel
Dalam suatu penelitian RCT penggunaan kombinasi aspirin dengan clopidogrel mempunyai
peningkatan efek antiplatelet yang signifikan dibandingkan penggunaan aspirin tunggal. Masing
masing obat ini meningkatkan efek antiplatelet satu sama lain karena mempunyai farmakodinamik
yang sinergis.
Ascardia dan bisoprolol
Aspirin menurunkan efek dari bisoprolol melalui antagonism farmakodinamiknya. Selain itu
ascardia dan bisoprolol meningkatkan kadar potassium di dalam darah sehingga perlu dimonitor
kadarnya.
4
3. Bagaimana pendapat anda tentang farmakoterapi pada pasien dan berikan
alasannya ?
Penulis setuju dengan penggunaan ascardia pada pasien ini. Walaupun penggunaannya dapat
menurunkan efek hipotensi dari captopril namun penggunaan aspirin dalam dosis rendah untuk
antiplatelet mempunyai efek interaksi yang lebih sedikit. Penggunaan aspirin yang dikombinasi
dengan clopidogrel mempunyai efek antiplatelet yang lebih baik daripada penggunaan aspirin secara
tunggal.
Penggunaan ISDN pada pasien ini sesuai karena efek vasodilatasinya dan penggunaannya
biasanya diberikan pada angina pectoris. Selain itu ISDN tidak mempunyai interaksi yang berarti
dengan obat-obatan lain yang diberikan kepada pasien. Namun ketergantungan nitrat organic dapat
terjadi sehingga pada pasien yang mendapat nitrat organic dosis tinggi dan lama, penghentian obat
harus dilakukan secara bertahap. Pernah dilaporkan penghentian obat secara mendadak menimbulkan
gejala rebound angina. Pada pasien pemberian ISDN belum diketahui apakah secara PO atau SL. Pemberian
obat ISDN dapat diberikan secara PO atau SL. Dari literatur, pemberian ISDN untuk keadaan angina
akut adalah sebesar 5-10 mg PO (tablet kunyah) tiap 2-3 jam atau 2,5-10 mg SL jika perlu tiap 5-10
menit
Pasien juga diterapi dengan clopidogrel 1x1 tab. Indikasi pemberian clopidogrel pada pasien
ini adalah sebagai tatalaksana jangka panjang pasien post sindrom koroner akut. Clopidogrel bekerja
dengan cara memblok reseptor ADP trombosit sehingga mencegah terjadinya agregrasi trombosit.
Dari literatur, pemberian antikoagulan oral seperti clopidogrel dan aspirin bila diberikan bersamaan
akan meningkatkan efikasi karena keduanya bekerja dengan mekanisme yang berbeda.
Pada pasien ini kami belum menyarankan pemberian antibiotik untuk CAP walaupun terdapat
keluhan batuk dan demam sejak 2 minggu yang lalu. Dari data yang ada perlu digali lagi dari
anamnesia, pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan diagnosis pasti pneumonia
komunitas pada pasien. Batuk yang timbul masih bisa disebabkan oleh efek samping dari captopril
yang dikonsumsi pasien. Apabila sudah dapat disingkirkan kemungkinan efek samping captopril dan
pemeriksaan lain menunjang ke arah pneumonia maka dapat diberikan terapi antibiotik yang sesuai
pada pasien. Terapi farmakologis pada CAP dibagi menjadi terapi empiris dan definitf. Terapi
definitif dilakukan setelah diperoleh hasil uji kepekaan dan resistensi bakteri dari hasil kultur bakteri.
Kami juga tidak menyarankan pemberian fluimucyl karena dari beberapa studi terapi
simptomatis pada infeksi saluran napas tidak menunjukkan efektivitas yang lebih baik dibandingkan
dengan terapi placebo. Selain itu pada pasien juga belum dapat dipastikan bahwa batuk yang terjadi
akibat dari infeksi saluran napas atau efek samping dari captopril yang dikonsumsi pasien. Oleh
karena itu pemberian mukolitik pada pasien tidak direkomendasikan.
Pada pasien ini diberikan simvastatin sebagai tatalaksana dari faktor risiko CVD pada pasien.
Obat golongan statin dipilih atas dasar memiliki efek mengurangi kolesterol total, LDL, TG dan
VLDL, meningkatkan HDL, memperbaiki fungsi endotel, dan menstabilkan plak atherosclerosis. Pada
pasien ini yang sebelumnya telah mengalami dislipidemia dan saat ini dalam pengobatan
menggunakan simvastatin, obat tersebut disarankan untuk dilanjutkan. Penggantian dengan
atorvastatin tidak menunjukan perbedaan event dalam mencegah kejadian penyakit jantung dalam
penelitian terbaru (swindel, Am J Geriatr Pharmacother. 2011 Dec; 9(6):471-82). Pemberian obat
dislipidemia pada pasien memerlukan edukasi, yaitu dimakan pada sore hari. Simvastatin diberikan
pada pasien ini untuk penggunaan jangka panjang karena efeknya yang terbukti menurunkan
mortalitas dan kejadian kardiovaskular. Target yang ingin dicapai adalah LDL<100 karena pasien
memiliki penyakit jantung koroner.
Pemberian omeprazole sebaiknya dihindari karena menurunkan efek dari clopridogrel dengan
cara mempengaruhi metabolisme enzim CYP2C19 di hepar. Interaksi ini merupakan interaksi serius
5
atau bersifat mengancam jiwa, sehingga merupakan kontraindikasi pemberian bersama, kecuali
setelah dipertimbangkan risk dan benefitnya dan tidak ada obat alternatif lain. Efikasi clopidogrel
dapat berkurang oleh obat-obatan yang menghambat CYP2C19, karena efek inhibisi terhadap
agregasi platelet oleh clopidogrel sepenuhnya bergantung pada metabolit aktifnya, dan clopidogrel
dimetabolisme menjadi bentuk aktifnya oleh CYP2C19. Pada pasien ini sudah diberikan ranitidin
yang dapat menurunkan sekresi lambung seperti kerja omeprazole dan ranitidin tidak memiliki
interaksi dengan obat lain yang diberikan pada pasien. Pada pasien, sebaiknya diberikan antasid yang
berfungsi sebagai sitoprotektor mukosa lambung. Hal ini terkait dengan pemberian obat diklofenak
dan penggunaan bersama aspirin dan clopidogrel yang berpotensi mengiritasi lambung dan
menimbulkan efek samping gastrointestinal. Penggunaan diklofenak dan bisoprolol serta captopril
berpotensi meningkatkan risiko hiperkalemia sehingga diperlukan pengawasan ketat terhadap kadar
kalium serum pasien.
KASUS 2
Ny. M, 68 tahun masuk rumah sakit dan harus dirawat, karena didiagnosis: CAP, CHF fc I ec CAD,
CKD stage II dan sindroma dyspepsia.
Hasil pemeriksaan laboratorium:
 SGOT 21 U/L, SGPT 17 U/L
 Albumin 3,0 g/dL
 Ureum 72 mg/dL
 Kreatinin 2,5 mg/dL
Pernah mengalami peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL 2 tahun lalu, sampai sekarang
masih minum simvastatin. Hasil pemeriksaan fisik: TD 160/100 mmHg, IMT = 25.
Jawab:
Pasien ini didiagnosis sebagai CAP, CHF fc I ec CAD, CKD stage II dan sindroma dyspepsia,
dengan hasil pemeriksaan fisis ditemukan TD 160/100 mmHg, IMT = 25.
Tatalaksana:
1. CAP
Terapi awal CAP didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan karakteristik
pasien (contoh: usia, penyakit kronis, riwayat merokok, riwayat penyakit sekarang). Dokter sebaiknya
memulai penentuan terapi dengan menilai kebutuhan rawat pasien dengan menggunakan suatu alat
bantu prediksi mortalitas, seperti Pneumonia Severity Index (PSI), digabungkan dengan
penilaianklinis.
Pneumonia Severity Index1
Patient Characteristics
Demographics
Male
Female
Nursing home resident
Comorbid illness
Neoplastic disease
Points
Age (years)
Age (years) –
10
+ 10
+ 30
6
Patient Characteristics
Points
Liver disease
+ 20
Congestive heart failure
+ 10
Cerebrovascular disease
+ 10
Renal disease
+ 10
Physical examination findings
Altered mental status
+ 20
Respiratory rate >30 breaths per minute
+ 20
Systolic blood pressure < 90 mm Hg
+ 20
Temperature < 35°C (95°F) or >40°C (104°F)
+ 15
Pulse rate >125 beats per minute
+ 10
Laboratory and radiographic findings
Arterial pH < 7.35
+ 30
Blood urea nitrogen >64 mg per dL (22.85 mmol per L)
+ 20
Sodium < 130 mEq per L (130 mmol per L)
+ 20
Glucose >250 mg per dL (13.87 mmol per L)
+ 10
Hematocrit < 30 percent
+ 10
Partial pressure of arterial oxygen < 60 mm Hg or oxygen percent saturation < 90
+ 10
percent
Pleural effusion
+ 10
Total points:
_______
Point total
Risk
Risk class Mortality % (No. of patients) Recommended site of care
No predictors Low
I
0.1 (3,034)
Outpatient
≤ 70
Low
II
0.6 (5,778)
Outpatient
71 to 90
Low
III
2.8 (6,790)
Inpatient (briefly)
91 to 130
Moderate IV
8.2 (13,104)
Inpatient
>130
High
V
29.2 (9,333)
Inpatient
Tujuan utama terapi farmakoterapi pada pasien dengan CAP mencakup eradikasi patogen penyebab,
memperbaiki tanda dan gejala klinis, meminimalisasi perawatan, dan mencegah reinfeksi. Terapi yang
diberikan dinilai dari segi farmakokinetik, efek samping, interaksi obat dan biaya. Selain itu
pemilihan terapi juga harus difokuskan pada derajat penyakit, komorbid, gejala klinis, epidemiologi
dan paparan sebelumnya. Sebagian besar pasien dengan CAP diberikan terapi empirik berdasarkan
patogen tersering yang berhubungan dengan kondisi.
Rekomendasi tatalaksana empiris (ATS 2001)2
Grup
Karakteristik
Antibiotik pilihan
I
Rawat jalan, penyakit
kardiopulmonal (-), faktor
modifikasi (-)
Makrolid
Doksisiklin
II
Rawat jalan, penyakit
kardiopulmonal (+)
dan/atau faktor modifikasi
(+)
Β lactam oral
(cefpodoxime, cefuroxime,
amoxicillin dosis tinggi,
amoxicillin/clavulanat) atau
Fluoroquinolon
antipneumoccocus
7
parenteral (ceftriaxone
diikuti cefpodoxime oral)
Dikombinasi dengan
makrolid atau doksisiklin
III A
Rawat inap, penyakit
kardiopulmonal (+),
dan/atau faktor modifikasi
(+)
β lactam IV (cefotaxime,
ceftriaxone,
ampicilin/sulbactam,
ampicilin dosis tinggi)
Fluoroquinolon
antipneumoccocus
Dikombinasi dengan
makrolid IV atau oral atau
doksisiklin
III B
Rawat inap, penyakit
kardiopulmonal (-), faktor
modifikasi (-)
Azitromizin IV atau
doksisiklin dan β lactam
IV A
Rawat ICU tanpa risiko
Pseudomonas Aeruginosa
β lactam IV (cefotaxime,
ceftriaxone)
Fluoroquinolon
antipneumoccocus
Dikombinasi dengan
makrolid IV (Azitromisin)
atau fluorokuinolon IV
IV B
Rawat ICU dengan risiko
Pseudomonas Aeruginosa
β lactam antipseudomonas
IV tertentu (cefepime,
imipenem, meropenem,
piperacillin/tazobactam)
β lactam antipseudomonas
IV tertentu (cefepime,
imipenem, meropenem,
piperacillin/tazobactam)
Dikombinasi dengan
Quinolon antipseudomonas
IV (ciprofloxacin)
Dikombinasi dengan
aminoglikosida IV
Dikombinasi dengan
makrolid IV (azitromisin)
atau fluorokuinolon
nonpseudomonas IV
Pada pasien ini terdapat CAP yang disertai dengan penyakit kardiopulmoner sehingga pasien
dimasukkan dalam kategori IIIA yaitu pasien drawat inap dengan penyakit kardiopulmoner atau
faktor modifikasi. Terapi empirik utama yang diberikan pada kategori ini adalah dengan
menggunakan sefalosporin generasi ke 3 seperti cefotaxime ataupun ceftriaxone yang dikombinasikan
dengan pemberian makrolid oral/ IV.
Sefalosporin generasi 3 umumnya kurang aktif terhadap gram positif jika dibandingkan
dengan generasi oertama tetapi jauh lebih aktif terhadap enterobacteriaceae, termasuk strain
8
penghasil penisilase. Penggunaan sefalosporin terhadap pasien dengan gangguan ginjal harus
diperhatikan karena hampir sebagian besar dieksresikan melalui ginjal. Cefotaxime 90%, cetriaxone
70-80% sehingga dapat memperberat CKD yang telah dialami pasien sehingga diperlukan
penyesuaian dosis. Cefotaxime diberikan dengan dosis 1-2g/6-12 jam IV, dosis pada gagal ginjal CCT
50ml/min adalah 50% sedangkan jika CCT 10ml/menit dosis yang digunakan adalah 25%. Pemberian
sefalosporin generasi 3 biasanya dikombinasikan dengan makrolid seperti azitromisin. Azitromisin
disimpan di dalam jaringan dan sel fagosit kemudian dilepaskan secara perlahan-lahan sehingga dapat
diperoleh masa paruh eliminasi sekitar 3 hari. Dengan demikian pengobatan hanya perlu diberikan
sekali dan lama pengobatan dapat dikurangi. Absorbsi berlangsung cepat namun terganggu bila
diberikan dengan makanan, obat ini tidak menghambat CYP450 sehingga tidak menimbulkan masalah
interaksi obat. Untuk CAP dosis azitromisin adalah 1x500mg/hari.
2. CHF fc I ec.CAD
Gagal jantung adalah sindroma klinis (kumpulan tanda dan gejala) yang ditandai dengan sesak napas
dan fatik (saat istirahat atau aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. 1
Masnifestasi gagal jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi
kemampuan melakukan kegiatan fisik dan retensi cairan yang menyebabkan kongesti paru dan edema
perifer.2
NYHA Classification - The Stages of Heart Failure3
Class
Patient Symptoms
Class I (Mild)
No limitation of physical activity. Ordinary physical activity does not cause
undue fatigue, palpitation, or dyspnea (shortness of breath).
Class II (Mild)
Slight limitation of physical activity. Comfortable at rest, but ordinary
physical activity results in fatigue, palpitation, or dyspnea.
Class III (Moderate)
Marked limitation of physical activity. Comfortable at rest, but less than
ordinary activity causes fatigue, palpitation, or dyspnea.
Class IV (Severe)
Unable to carry out any physical activity without discomfort. Symptoms of
cardiac insufficiency at rest. If any physical activity is undertaken,
discomfort is increased.
Pengobatan Gagal Jantung
Tujuan primer pengobatan adalah dengan mencegah terjadinya gagal jantung dengan cara mengobati
kondisi-kondisi yang menuju terjadinya gagal jantung terutama hipertensi dan/atau penyakit arteri
koroner. Jika disfungsi miokard telah terjadi, tujuan pertama adalah mengobati/menghilangkan
penyebab dasarnya. Jika penyebab dasar tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk mencegah
memburuknya fungsi jantung (memperlambat progresi remodeling miokard) dengan pemberian ACEI dan β-blocker dan untuk mengurangi gejala-gejala gagal jantung dengan pemberian diuretikm
vasodilator, dan obat inotropik.2
9
Pada pasien ini karena gagal jantungnya masih fc.I diharapkan tidak mengalami perburukan. Oleh
karena itu, pengobatan utama pada pasien ini adalah pemberian ACE-I atau β-blocker untuk
menghambat remodeling miokard. β-blocker direkomendasikan untuk digunakan rutin pada pasien
gagal jantung ringan dan sedang (NYHA kelas II-III) yang stabil, sedangkan penggunaan β-blocker
pada pasien dengan fc I (NYHA kelas I) belum diteliti.2
Pada pasien ini tidak didapatkan data tentang edema (retensi cairan) sehingga pemberian diuretik
dirasa belum diperlukan. Oleh karena itu, obat yang dapat diberikan pada pasien ini terkait dengan
gagal jantungnya adalah ACE-I. Pada pasien dengan gagal jantung, ACE-I harus selalu dimulai
dengan dosis rendah dan ditritasi sampai dosis target. Dosis target adalah dosis pemeliharaan yang
telah terbukti efektif untuk mengurangi mortalitas/hospitalisasi dalam uji klinik yang besar. Pada
pasien ini dapat diberikan kaptopril 3x6,25mg. Namun, pemberiannya harus diawasi mengingat
pasien juga memiliki CKD. Jika fungsi ginjal memburuk sebaiknya dihentikan terlebih dahulu.
Dosis Penghambat ACE untuk Pengobatan Gagal Jantung2
Obat
Dosis Awal
Dosis Pemeliharaan
Kaptopril
6,25mg tid
25-50mg tid
Enalapril
2,5mg od
10-20mg bid
Lisinopril
2,5mg od
5-20mg tid
Ramipril
1,25mg od/bid
2,5-5mg bid
Trandolapril
1mg od
4mg od
Kuinapril
2,5mg od
5-10mg bid
Fosinopril
5-10mg od
20-40mg od
Perindopril
2mg od
4mg od
Od=sekali sehari, bid=2xsehari, tid=3xsehari
Pada pasien ini diketahui bahwa kondisi gagal jantungnya disebabkan oleh CAD. Selanjutnya
diketahui juga bahwa pasien memiliki faktor risiko untuk penyakit ini yakni riwayat dislipidemia dan
pasien sudah minum simvastatin sejak 2 tahun yang lalu.
Interaksi Obat
Kaptopril
Makanan akan mengurangi absorpsi sekitar 30%, oleh karena itu diberikan 1 jam sebelum makan.
Antasida akan mengurangi absorpsi. Pemberian bersama Suplemen kalium atau diuretik hemat kalium
akan menyebabkan hiperkalemia. OAINS dapat mengganggu efek hipotensif dengan menghambat
10
vasodilatasi oleh bradikinin, yang dimediasi oleh pelepasan prostaglandin. Kombinasi dengan diuretik
memberikan efek sinergistik.4
Simvastatin
Golongan statin yang dimetabolisme oleh CYP3A4 (lovastatin, simvastain, atorvastatin, dan
serivastatin) akan meningkat dalam plasma jika diberikan bersama obat yang menghambat CYP3A4
seperti antibiotik golongan makrolid, siklosporin, ketokonazol, penghambat protease HIV, takrolimus,
neazodom, asam fibrat, dll. Sebaliknya obat-obat yang menstimulasi CYP3A4 seperti fenitoin,
barbiturat, griseofulvin, dan rifampin akan mengurangi kadar plasma statin. Insidens miopati dapat
meningkat jika diberikan dengan obat-obat seperti asam fibrat dan asam nikotinat. Peningkatan risiko
miositis juga dapat terjadi jika digunakan dengan amiodaron atau verapamil.5
3. CKD stage II
Perencanaan tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik sesuai
dengan derajatnya. Pada CKD stage II yang ditandai dengan nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) 60-89
ml/mnt/1,73m2 tujuan dari tatalaksana yang diberikan adalah menghambat perburukan dari fungsi
ginjal, yaitu dengan cara :
1. Pembatasan asupan protein
Protein yang dianjurkan adalah 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Pembatasan ini penting karena
protein yang berlebih tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen lain yang terutama di eksresi melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien dengan gagal ginjal akan menyebabkan penimbunan urea dan substansi
nitrogen lain yang menyebabkan keadaan ureamia. Selain itu, asupan protein berlebih juga
menyebabkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus sehingga dapat meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal.
2. Terapi farmakologis
Obat antihipertensi selain bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerular dan hipertrofi glomerular. Obat antihipertensi yang pada berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal adalah ACE-Inhibitor. Oleh
sebab itu, pada pasien ini diberikan Captopril 3x12,5 mg perhari. Apabila pasien tidak dapat
mentoleransi efek samping batuk akibat pemberian ACE-I, maka dapat digantikan dengan
pemberian obat antihipertensi golongan ARB seperti kandesartan 1x4mg perhari.
Selain itu dapat pula diberikan suplemen seperti CaCO3 yang berfungsi sebagai Phosphat
Binder. Pada gagal ginjal, terjadi hiperfosfatemia yang dapat menyebabkan penurunan
kalsium yang terionisasi sehingga terjadi rangsangan ke Parathormon dan dapat menyebabkan
osteodistrofi renal. Untuk mencegah hal ini dapat dilakukan dengan penurunan asupan fosfat
dan dengan pemberian CaCO3 sebagai pengikat fosfat. Dosis yang diberikan adalah 3x1
tablet.
Suplemen lain yang dapat diberikan adalah asam folat 1x3 tablet dan vitamin B12 3x1
tablet. Suplemen ini diberikan untuk menetralisir keadaan hiperhomosisteinemia pada pasien
dengan CKD untuk mencegah terjadinya cardiovascular disease (CVD).
11
4. Dispepsia
Dispepsia adalah kumpulan gejala berupa nyeri atau rasa tidak nyaman menetap atau berulang yang
berpusat pada bagian atas abdomen. Sedangkan, rasa tidak nyaman didefinisikan sebagai perasaan
negatif yang subyektif dan dapat berhubungan dengan gejala lain seperti rasa cepat kenyang atau
perut bagian atas yang penuh. Secara garis besar penyebab sindrom dyspepsia dibagi menjadi 2
kelompok yaitu :


Dispepsia organik
Dispepsia dengan penyebab patologis yang diketahui secara pasti, seperti ulkus peptic,
gastritis, batu kandung empedu dll
Dispepsia fungsional
Dispepsia dengan penyebab patologis structural atau biokimiawi yang tidak diketahui setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostic yang konvensional atau baku (radiologi,
endoskopi, laboratorium).
Etiologi dyspepsia
Esofago – gastro – duodenal
Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan
Obat-obatan
Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik
Hepatobilier
Oddi
Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan, Disfungsi sfinkter
Pankreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik lain
Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan,
penyakit jantung koroner / iskemik
Gangguan fungsional
Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome
Dyspepsia fungsional diklasifikasikan menjadi 3 kelompok menurut jenis keluhan yang paling
dominan pada setiap pasien, yaitu :



Ulcer like dyspepsia  nyeri ulu hati yang lebih dominan dan disertai nyeri pada malam hari
Dismotility dyspepsia kembung, mual, cepat kenyang menjadi keluhan dominan
Non-spesifik dyspepsia bila tidak ada keluhan yang spesifik
12
Tatalaksana Dyspepsia
Non farmakologi
Berhenti merokok, berhenti menggunaka obat ulserogenik dan perlu juga edukasi mengenai
pentingnya menghindari makanan pencetus. Salah satu hal yang perlu dihindarkan adalah stress yang
sering mencetuskan terjadinya dyspepsia. Perlu disarankan dilakukannya olahraga dan relaksasi serta
penghindaran depresi atau kecemasan yang dapat memperburuk keluhan dyspepsia.
Farmakologi
Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung.
Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian
antasid hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih
lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
Obat ini memiliki durasi aksi yang singkat.
Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin
bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 2843%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak
peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin,
ranitidin, dan famotidin.
Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam
lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
onset PPI relatif lebih lama dibandingkan antasida.
Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat
sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan
sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi
mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sito
protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.
Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini
cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks
dan memperbaiki bersihan asam lambung
13
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak
jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi
14
DAFTAR PUSTAKA
1.
Setiawati, Arini dan Nafrialdi. Obat Gagal Jantung Dalam Farmakologi dan Terapi (Edisi ke-5).
2011. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 299- 314.
2.
Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. ed. Goodman & gilman’s manual of
pharmacology and therapeutics. 11th edition. New York: McGraw-Hill. 2008.
3.
Gunawan SG (Editor Utama). Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008.
4.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology 11 th ed. New York:
McGraw-Hill, 2009.
5.
Lutfiyya MN, et al. Diagnosis and Treatment of Community-Acquired Pneumonia. Am Fam
Physician. 2006 Feb 1;73(3):442-450.
6.
Sastroasmoro S (ed). Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam Jakarta:
RSCM;2007.hql115-6
7.
Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam buku ajar IPD Edisi IV. Jakarta: PAPDI.
8.
Setiawati A, Nafrialdi. Obat gagal jantung. Dalam farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2008. Hal 355
9.
http://www.abouthf.org/questions_stages.htm
10.
Nafrialdi. Antihipertensi. Dalam farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008. Hal 299-304.
11.
Suyatna FD. Hipolipidemik. Dalam farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2008. Hal 383.
12.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. ed. Pharmacotherapy – a
pathophysiologic approach. 7th edition. New York: McGraw-Hill. 2008.
13.
Suwitra, ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo A, setyohadi B, Alwi A, Simadibrata
M, setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Ed.4. Pusat penerbitan departemen ilmu
penyakit dalam FKUI; Jakarta. 2007. Hal 581-84
15
Download