BAB IV KESIMPULAN Berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menyebabkan polaritas dunia yang pada mulanya berupa bipolar pun berubah menjadi unipolar dengan superiornya kekuatan ekonomi dan militer Amerika Serikat setelah runtuhnya Uni Soviet. Ketika masyarakat internasional beranggapan bahwa dunia internasional akan dipimpin oleh satu negara super power, para akademisi melihat dari sisi lain dan menganggap bahwa akan muncul negara lain yang akan menggantikan posisi Uni Soviet sebagai negara “penyeimbang” Amerika Serikat. Kenaikan ekonomi China, modernisasi militer dan sikap kebijakan luar negerinya telah menyebabkan berbagai negara di kawasan Asia-Pasifik untuk melihatnya sebagai ancaman. Meningkatnya anggaran belanja militer merupakan refleksi dari perkembangan ekonomi secara umum. Minimnya laporan resmi mengenai perkembangan pesat militer Cina dengan peningkatan anggaran militer serta anggapan bahwa Cina sedang menargetkan peningkatan kemampuan yang akan mengubah balance of power kawasan Asia Pasifik. Cukup wajar bila banyak akademisi, terutama akademisi realis menganggap bahwa meningkatnya ekonomi dan militer Cina memberikan rasa terancam terhadap keamanan kawasan yang juga dirasakan oleh Jepang. Dengan Jepang yang sudah beraliansi dengan Amerika Serikat demi merasakan keamanan karena memiliki militer yang bersifat pasif, kebangkitan Cina dirasakan akan membuat Cina menjadi lebih agresif dengan menggantikan posisi Uni Soviet. Baik dalam kekuatan untuk ekspansi ekonomi maupun untuk keamanan. Selain dari Cina sendiri, kawasan Asia Pasifik semakin merasakan ancaman dengan meningkatnya intensitas penelitian serta percobaan senjata nuklir oleh Korea Utara. Cina dan Korea Utara yang merupakan tetangga bagi Jepang semakin dianggap membahayakan situasi keamanan kawasan Asia Pasifik. Jepang merasakan bahwa selain dengan Amerika Serikat, diperlukan pula partner lain dalam kerja sama keamanan dan berada di posisi serta merasakan ancaman yang sama dengan Jepang. Jepang yang berupaya untuk bersikap lebih ekslusif dalam menjalin kerja sama luar negeri pun mencapai persetujuan dengan Australia yang juga merasakan ancaman dengan kebangkitan Cina. Hingga akhirnya Jepang bersama dengan Australia 46 menyatakan deklarasi untuk kerja sama keamanan, Japan-Australia Joint Declaration on Security Cooperation. Bukan karena tanpa pertimbangan mengapa Jepang memilih Australia sebagai pertner kerja sama keamanan. Hubungan baik antar kedua negara yang telah lama terjalin melalui kerja sama ekonomi membuat Jepang berupaya untuk membentuk kerja sama keamanan dengan Australia. Didukung oleh upaya Jepang yang bersikap ekslusif, Jepang melakukan pilihan tepat dengan memilih Australia yang (sama seperti Jepang) memiliki aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Hubungan kerja sama dengan negara yang sama memberikan peluang lebih besar untuk terbentuknya kerja sama kemanan bilateral yang baru. Selain itu, Jepang dengan pengaruh politik yang didapat pula dari Amerika Serikat juga berupaya untuk menjadi negara yang labih demokratis dan siap untuk mempromosikan nilai-nilai liberal. Upaya tersebut merupakan tujuan yang sama dengan Australia yang juga mendukung nilai-nilai demokrasi dan liberal seperti Amerika Serikat. Bukan antar pemerintah saja yang merasakan kebaikan dari kerja sama Jepang dan Australia yang telah terjalin sejak lama, warga negara menganggap bahwa kerja sama antar dua negara tersebut sangat baik dan masih dianggap penting. Hal tersebut terlihat ketika pada tahun 2006 Kementerian Luar Negeri Jepang melakukan survei di Australia, dan hasilnya banyak warga negara Australia menganggap Jepang sebagai partner kerja sama yang penting. Dengan adanya dukungan dari warga negara pula, maka pembentukan kerja sama akan dianggap sebagai langkah yang baik untuk menghadapi perubahan situasi keamanan yang terjadi, terutama di kawasan Asia Pasifik. Sebagai perkembangan lebih lanjut dari pembaharuan / perkembangan pada area kerjasama dari JADSC, pemerintah Jepang dan Australia melakukan entry into force pada dua perjanjian baru yang telah dibentuk, yakni Acquisition and Cross-Servicing Agreement (ACSA – 19 Mei 2010) dan Japan-Australia Information Security Agreement (ISA – 17 Mei 2012). Entry into force ACSA dilakukan pada tanggal 31 Januari 2013, yang kemudian disusul dengan entry into force ISA pada tangal 22 Maret 2013. Selain pelaksanaan ACSA dan ISA, militer Jepang dan Australia masih terus melakukan latihan bersama sesuai dengan kesepakatan dalam JADSC dengan dibantu oleh militer Amerika Serikat dalam latihan bersama bilateral maupun trilateral. Dan 47 perjanjian antar dua pemerintah yang terbaru yang berkaitan dengan JADSC adalah perjanjian mengenai transfer perlengkapan pertahanan dan teknologi pertahanan antara Jepang dan Australia yang ditandatnagani pada 8 Juli 2014. Sejak terbentuknya Joint Declaration on Security Cooperation antara Jepang dan Australia, kedua negara semakin intens dengan melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan sektor keamanan. Baik melalui pertemuan antar menteri, pertukaran pertahanan, latihan militer bersama, dan lain sebagainya. Tidak hanya melalui hubungan bilateral saja, kedua negara juga berupaya bekerja sama secara trilateral dengan negara Amerika Serikat yang diamana Jepang dan Australia masingmasing sudah mebentuk kerja sama keamanan dengan Amerika Serikat. 48