HITI TUALAR-EGI

advertisement
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
REVITALISASI KESEHATAN EKOSISTEM LAHAN KRITIS DENGAN
MEMANFAATKAN PUPUK BIOLOGIS MIKORIZA DALAM
PERCEPATAN PENGEMBANGAN PERTANIAN EKOLOGIS DI
INDONESIA
Tualar Simarmata
ABSTRACT
Based on soil health indicators (lack of nutrient, low pH low soil organic matter,
severe erosion, high Al toxicity, low bio diversity, increasing ex-mining and critical
land area), soil ecosystem in Indonesia is in a very sick condition. Agricultural
intensification & extensification which are based on usage of anorganic fertilizers
and various chemicals is increasing, so the ecosystem health is in more critical
condition. Ecosystem revitalization and remediacy can be done by implementing
ecological based agriculture (sustainable agriculture), such as LISA, LAEISA,
Integrated Ecological Farming, and Organic Farming.
The development in soil biotechnology, especially on biofertilizers, is a
environmental friendly solution in acclelerating the development ecosystem quality.
Usage of mycorhyzae biofertilizer has been proven in increasing soil quality and
health (improving soil structure, increasing nutrient availability, acting as a
biological agent or bioprotector increasing soil biodivisity) and in increasing the
growth and yield of various plants (staple crops, vegetable crops & perennial crops).
Plants with mycorhyzae grows well in extreme condition (low pH, dry, soline, heavy
metal contaminated soils). Yield of same staple & vegetable crops increase as muchs
as 10 – 100% and growth and quality of forest plants increase significantly. Even in
soil contimated with heavy metals, mycorhyzae gives biological protection to plants
and decrease the absorption of heavy metals by the mechanisms of filtration,
complexion and accumulation of those heavy metals on mycorhyzae hyphae.
The performance of mycorhyzae in the revitalization process of soil ecosystem
depens mainly on kinds of fungi, kinds of infected plants application techniques, and
engineering growth area. Main strategy on increasing the performance of
mycorhyzae biofertilizer is by using effective inoculants and by providing condition
for the mycorhyzae so it grows earlier in the rhizosphere so it can dominate the
rhizosphere.
_________
Key words : revitalization, oil health, soil quality, mycorhyzae, biofertilizer, yield.
1. PENDAHULUAN
Tekanan pada ekosistem tanah di Indonesia akan terus meningkat sejalan
dengan perkembangan jumlah penduduk. Jumlah penduduk di Indonesia
diproyeksikan pada tahun 2020 akan mencapai 262 juta jiwa, sehingga sektor
pertanian dipacu meningkatkan produksi dan produktivitas berbagai komoditi
pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, dan lain-lainnya) baik melalui
program intensifikasi maupun ekstensifikasi. Keharusan memacu peningkatan
produktivitas semakin penting karena peningkatan jumlah penduduk selalu disertai
dengan berkurangnya areal pertanian. Di sisi lain, kegiatan penebangan hutan dan
289
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, dan aktivitas pertambangan (batu
bara, emas, timah dan lain-lainnya) yang terus berkembang menyebabkan
terjadinya degradasi kualitas tanah (soil quality and soil health) sehingga luas
lahan kritis terus bertambah. Data Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan
Lahan (1993 dalam Zaini et al., 1996) menunjukkan bahwa luas lahan bermasalah
sudah mencapai sekitar 18,4 juta ha (7,5 juta ha potensial kritis, 6,0 juta ha semi
kritis dan 4,9 juta ha kritis). Bila diasumsikan laju penggundulan hutan sekitar 2 –
3 juta/ha/tahun dan ditambah dengan lahan bekas tambang (pasca tambang) maka
luas lahan kritis di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 30 – 40 juta hektar.
Keadaan ini akan semakin parah karena konversi lahan ke non pertanian, perusakan
hutan (25 ha/menit atau 2 juta/ha/tahun sedangkan reboisasi hanya 300.000 –
500.000 ha/tahun) terus berlanjut. Pemakaian berbagai senyawa xenobiotika
(pestisida, fungisida, dan lain-lainnya) untuk mengendalikan berbagai penyakit dan
hama tanaman berlangsung intenstif.
Kerusakan yang lebih parah terdapat pada lahan bekas tambang: tanah
lapisan atas (top soil) hilang, kemampuan menahan air rendah, dan sangat miskin
hara dan kandungan logam berat relatif tinggi. Akibatnya, pertumbuhan dan
perkembangan tanaman sangat terhambat sehingga produktivitasnya sangat rendah.
Demikian pula revegetasi pada lahan bekas tambang sering tidak berhasil karena
tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik (akar keracunan, hara tidak tersedia,
cekaman air, dan lain-lainnya). Konsekuensinya, diperlukan input yang relatif
besar (pupuk buatan dan organik, berbagai senyawa kimia untuk mengendalikan
hama dan penyakit, sarana dan prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi
tanaman) untuk memperbaiki kualitas atau menyehatkan ekosistem tanah agar
dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Hal ini juga diperburuk oleh pemupukan yang masih berorientasi pada
eksploitasi sumber daya hara dalam tanah (input<<output) sehingga terjadi proses
pemiskinan. Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa proses pemiskinan tanah (over
eksploitasi) berjalan relatif cepat (pasokan hara masih terfokus pada hara N, P dan
K saja). Selain itu, kehilangan lapisan olah melalui erosi diperkirakan setidaktidaknya sekitar 8 – 12 t/ha/tahun (di Amerika hanya sekitar 0,7 t/ha/tahun).
Kerugian akibat terjadinya penurunan produktivitas lahan di Pulau Jawa
diperkirakan sekitar US$ 139,8 juta (Strutt, 1998). Tingginya tingkat erosi tersebut
selain mengakibatkan kehilangan nutrisi dalam jumlah yang besar juga
mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada ekosistem perairan (sungai, waduk,
danau, dan lain-lain) serta mengganggu jaringan irigasi dan menimbulkan bahaya
banjir secara signifikan.
Hasil evaluasi pada kesehatan tanah dengan menggunakan indikator
(kandungan bahan organik < 2%, pH masam, erosi tinggi, keanekaragaman hayati
terganggu, dan lain-lainnya) mengindikasikan bahwa ekosistem tanah di Indonesia
termasuk sakit berat. Pertanian dan kegiatan lainnya yang tidak ramah lingkungan
akan mengganggu ekosistem alami (pemutusan rantai makanan), mencemari
ekosistem tanah dan air serta meningkatkan bahaya adanya efek residu dalam
produk pertanian. Selain itu, ditengarai berbagai limbah industri tanpa pengolahan
290
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
dibuang ke perairan/sungai, sehingga perairan tersebut mengalami pencemaran
yang cukup berat. Demikian pula halnya, berbagai limbah padat dari instalasi
pengolahan air limbah (IPAL) di perkotaan atau industri lainnya yang mengandung
logam berat dalam jumlah yang relatif besar sering digunakan pada areal pertanian
sebagai amelioran (Simarmata, 2004; Simarmata et al., 2004). Akibatnya, dapat
menimbulkan bahaya akumulasi logam berat pada rantai makanan/konsumen
(Alloway, 1995; Pankhurst et al., 1997).
Upaya untuk mengembalikan (revitalisasi) dan mempertahankan
keberlanjutan ekosistem pertanian dapat dilakukan dengan sistem pertanian ramah
lingkungan (pertanian ekologis). Prinsip dasar dalam pertanian ekologis adalah
menjaga keselarasan/keharmonisan atau interrelasi diantara komponen ekosistem
(manusia, hewan, tanaman dan sumber daya alam) secara berkesinambungan dan
lestari. Konsep pertanian berbasis ekologi telah berkembang pesat sejalan
meningkatnya taraf hidup dan kesadaran lingkungan. Sistem pertanian ekologis
(sustainable agriculture) yang dikembangkan antara lain adalah LISA (low input
sustainable agriculture), LEISA (low external input sustainable agriculture),
pertanian ekologis terpadu (integrated ecological farming system) dan pertanian
organik (organic farming system) (Simarmata, et al., 2002; 2004).
Pengembangan pertanian ekologis tersebut ditunjang oleh kemajuan dalam
bidang bioteknologi tanah yang ramah lingkungan, yaitu pemanfaatan pupuk hayati
(biofertilizers) dan teknologi pupuk organik. Pupuk hayati memberikan alternatif
yang tepat untuk memperbaiki, dan mempertahankan kualitas tanah sehingga
mampu meningkatkan pertumbuhan dan menaikkan hasil maupun kualitas berbagai
tanaman (tanaman pangan, sayuran, perkebunan dan kehutanan) secara signifikan.
Pemanfaatan pupuk hayati (biofertilzers), yaitu bakteri penambat N, mikroba
pelarut fosfat, mikoriza dan rhizobakteria lainnya seperti plant growth promoting
rhizobacteria (PGPR) memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Selain
dapat meningkatkan pertumbuhan, hasil dan kualitas tanaman (10 – 100 % atau
lebih) PGPR juga mengandung mikroba yang dapat menekan pertumbuhan patogen
akar dan meningkatkan toleransi akar tanaman terhadap bahaya keracunan dari
berbagai logam berat (Hildebrant dan Bothe, 2002; Simarmata dan Danapriatna,
1996; Simarmata dan Herdiani, 2004; Simarmata, 2004; Al-Karaki dan
McMichael, 2004; Rohyadi et al., 2004). Penggunaan mikoriza telah terbukti
mampu meningkatkan pertumbuhan dan kualitas tanaman kehutanan (revegetasi)
pada lahan bekas tambang maupun lahan kritis dengan signifikan (Setiadi, 2004).
Selain itu, ektomikoriza yang dapat dikonsumsi potensial untuk digunakan pada
tanaman kehutanan. Oleh karena itu, pemanfaatan mikoriza dalam revitaliasi
kesehatan ekosistem tanah merupakan solusi yang tepat untuk mempercepat
pengembangan pertanian ekologis (ramah lingkungan) di Indonesia.
2. KESEHATAN TANAH DAN PUPUK HAYATI
2.1. Kesehatan Ekosistem Tanah
Istilah kualitas tanah (soil quality) dan kesehatan tanah (soil health)
seringkali digunakan secara bersamaan atau bergantian. Para pakar menggunakan
291
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
istilah kualitas tanah, sedangkan para pengguna lebih sering menggunakan istilah
kesehatan tanah. Kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk melakukan dan
mempertahankan berbagai fungsi tanah (Soil quality is the ability of soils to
perform various intrinsic and extrinsic function). Oleh karena itu kualitas tanah
merupakan integrasi sifat fisik, kimia dan biologi untuk menyediakan media
tumbuh bagi tanaman dan aktivitas biologis, mengendalikan partisi aliran air dan
retensi air, serta berperan sebagai penyangga dan filter terhadap degradasi senyawa
xenobiotika atau kontaminan yang membahayakan lingkungan. Adapun kesehatan
tanah diartikan sebagai kemampuan tanah dalam mempertahankan fungsi tanah
sebagai sistem hidup yang vital dan dinamis dalam ekosistem untuk
mempertahankan produktivitas biologis dan kualitas air serta kesehatan tanaman,
hewan maupun manusia secara berkelanjutan (soil health is the continued capacity
of soil to function as vital living system, within ecosystem and land use boundaries,
to sustain biological productivity and maintain their water quality and as well as
plant, animal and human health). Oleh karena itu, kesehatan tanah merupakan
cerminan bahwa tanah adalah sistem hidup yang dinamis.
Karakteristik tanah yang sehat (healthy soils) antara lain adalah:
 Mampu mempertahankan keanekaragaman hayati dan rantai makanan
(biodiversity and food web) dan produktivitas tanah
 Mampu mempertahankan fungsi tanah sebagai media tumbuh tanaman maupun
organisme tanah
 Mampu meregulasi partisi aliran air dan zat terlarut
 Berperan sebagai filter dan penyangga polutan
 Berperan dalam menyimpan dan mendaurulang hara
Ekosistem tanah yang sehat dan subur (healthy soils) mencerminkan
adanya interaksi harmonis, baik antara komponen abiotik dengan biotik, maupun
sesama komponen biotik membentuk suatu rangkaian aliran energi atau rantai
makanan. Komponen biotik dari suatu ekosistem dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu: (1) produsen: organisme (tumbuhan dan mikroba) yang mampu
memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi dan CO2 sebagai sumber
karbon melalui proses fotosintesis untuk menghasilkan biomassa organik
(perubahan energi magnetik menjadi energi kimia yang disimpan dalam ikatan
senyawa hidro karbon atau senyawa organik), (2) konsumen: organisme yang
mengkonsumsi senyawa organik untuk memenuhi kebutuhan energinya, dan (3)
destruen atau pengurai (dekomposer): mikroba yang merombak senyawa
organik yang sudah mati (tanaman, hewan, limbah organik dari perkotaan maupun
industri) untuk mendapatkan energi dan nutrisi melalui proses respirasi atau
fermentasi. Melalui proses fermetasi ini dihasilkan energi, berbagai produk antara
(metabolit) dan mineral (hara makro dan hara mikro). Mineral yang dilepaskan dari
proses penguraian (mineralisasi) digunakan oleh tanaman sebagai sumber hara
dalam bentuk ion (kation dan anion).
Dari perspektif tanaman, tanah merupakan tempat terjadinya proses
konversi hara yang terikat dalam senyawa organik maupun anorganik menjadi hara
292
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
tersedia atau yang dapat diserap oleh tanaman. Hal ini berarti bahwa tanah
merupakan bagian pencernaan eksternal dari tanaman. Konsenkuensinya,
kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada
kualitas dan kesehatan tanah, dan keanekaragaman hayati. Penggunaan berbagai
bahan kimia (pestisida) menyebabkan terputusnya aliran energi dan keseimbangan
ekosistem alami yang menguntungkan tanaman. Oleh karena itu, manajemen input
dalam pertanian organik diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan
biodiversitas yang menguntungkan tanaman sehingga tanah sebagai pencernaan
eksternal tanaman berfungsi dengan baik. Kunci utamanya terletak pada pasokan
bahan organik tanah sebagai entry point of energy into the soil, dan konservasi
tanah dan air.
2.2. Pupuk Hayati dan Mikoriza
Pupuk hayati (biofertilizers) adalah pemanfaatan inokulan yang
mengandung sel hidup atau dorman untuk meningkatkan ketersediaan hara dan
pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pengertian ini, yang termasuk pupuk hayati
antara lain adalah mikroba penambat N baik simbiotik maupun non simbiotik,
mikroba pelarut fosfat, mikroba panghasil fitohormon dan cendawan mikoriza
(Subra Rao, 1982; Arora, 1988; Sharma et al., 2004; Simarmata, et al., 2005).
Mikoriza adalah bentuk asosiasi mutualistik antara perakaran tanaman
tingkat tinggi dengan cendawan tanah (Basidiomycetes, Ascomycetes dan
Zygomycetes). Tanaman inang memperoleh berbagai nutrisi, air, proteksi biologis
dan lain-lainnya, sedangkan cendawan memperoleh fotosintat sebagai sumber
karbon. Asosiasi mutualistik ini merupakan interaksi antara tanaman inang,
cendawan dan faktor tanah. Mikoriza berasosiasi dengan sekitar 80 – 90 % jenis
tanaman yang tersebar di daerah artik sampai ke daerah tropis dan dari daerah
bergurun pasir sampai ke hutan (Brundrett, 1999; Marx, 2004).
Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang,
mikoriza dapat digolongkan menjadi 6 kelompok besar (tipe), yaitu :
 Endomikoriza, yaitu asosiasi cendawan dari Zygomecetes (Glomales) yang
membentuk vesikula dan arbuskula di dalam sel akar (VAM = vesiculararbuscular mycorrhiza), atau cendawan mikoriza arbuskula (CMA). Jaringan
hifa masuk ke dalam sel kortek akar dan membentuk struktur yang khas
berbentuk oval yang disebut vesicle dan sistem percabangan hifa yang disebut
arbuscule, sehingga endomikoriza disebut juga vesicular-arbuscular
micorrhizae (VAM) atau (arbuscular mycorrhiza fungi = AMF), dan spora
dibentuk di dalam tanah atau akar.
 Ektomikoriza (ECM), yaitu asosiasi cendawan dari Basiodiomycetes dan
jamur lainnya yang membentuk jaringan hifa seperti mantel pada akar lateral
(hartig net). Jaringan hifa tidak sampai masuk ke dalam sel, tetapi
berkembang di antara sel kortek akar. Sangat banyak dijumpai pada tanamantanaman kehutanan (Angiospermae dan Gymonspermae). Tubuh buah
(sporocarps) ECM banyak yang dapat dikomsumsi.
293
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
 Ektendo-, arbutoid-, dan monotropoid mikoriza, yaitu asoasiasi yang mirip
dengan ektomikoriza atau peralihan dari kedua bentuk di atas.
 Mikroriza Anggrek (Orchid mycorrhiza), yaitu membentuk gulungan hifa di
dalam akar atau batang tanaman Famili Orchidaceae.
 MIkoriza Ericoid (Ericoid mycorrhizas), yaitu mikoriza yang memiliki
gulungan hifa pada bagian sel terluar dari bulu-bulu akar tanaman ordo
Ericales.
 Asosiasi mikoriza pada tanaman Lily (Thysanotus) yang jaringan hifa hanya
tumbuh di dalam sel epidermis.
Penyebaran yang luas dari pupuk hayati mikoriza pada berbagai tanaman
menjadikannnya unggulan dalam revitalisasi ekosistem tanah dan pertanian
berbasis lingkungan (pertanian ekologis).
3. KONTRIBUSI MIKRORIZA DALAM PENYEHATAN EKOSISTEM
DAN PERTANIAN EKOLOGIS
3.1. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman
Tanaman sebagai mahluk memiliki sistem pengolahan makanan
(pencernaan) internal dan eksternal. Pada sistem pencernaan eksternal tanaman
memerlukan batuan berbagai organisme tanah dan enzim tanah untuk mengubah
bentuk hara (nutrisi) dalam bentuk senyawa tidak tersedia menjadi bentuk yang
dapat diserap tanaman. Selain itu tanaman membentuk berbagai kerjasama
(simbiosis) dalam tanah untuk meningkatkan ketersediaan berbagai macam faktor
tumbuh dan perbaikan lingkungan tumbuh. Interaksi antara cendawan mikoriza
dengan tanaman inangnya bersifat mutualistis, yaitu saling menguntungkan bagi
kedua belah pihak. Asosiasi ini memberi manfaat yang sangat besar bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara tidak langsung, cendawan mikoriza berperan dalam perbaikan
struktur tanah, serta meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan
induk. Sedangkan secara langsung, cendawan mikoriza dapat meningkatkan
serapan air dan hara, serta melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik
(Brundett et al., 1996; Brundrett, 1999; Auge, 2004; Goicoechea, et al., 2005).
Kontribusi mikoriza dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman
adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan zona eksploitasi perakaran hingga 10 - 20 kali sehingga suplai
hara bagi tanaman meningkat dengan signifikan.
2. Memperluas bidang kontak perakaran dan meningkatkan kemampuan
menyerap hara dan air di dalam tanah dengan signifikan
3. Meningkatkan kelarutan dan ketersediaan hara, khususnya hara yang tidak atau
sukar larut dalam tanah (P) sehingga tersedia bagi tanaman. Akar bermikoriza
pada lahan masam mampu mensuplai hara tanaman dengan baik sehingga
pertumbuhan tanaman lebih baik
294
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
4. Kolonisasi mikoriza (CMA atau Ektomikoriza) pada akar berperan sebagai
penghalang biologi (bioprotection) terhadap infeksi patogen akar (jamur dan
nematoda).
5. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang
ekstrim (cekaman air). Hifa mikoriza mampu menembus pori mikro dan
mengambil air walaupun dalam jumlah yang relatif sedikit
6. Meningkatkan produksi fitohormon dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti
auksin, sitokinin dan giberelin di rizosfir.
7. Mikoriza dapat mengubah arsitektur perakaran sehingga lebih efisien dalam
memanfaatkan berbagai faktor tumbuh
8. Jaringan hifa pada perakaran meningkatkan ketahanan tanaman dan adaptasi
terhadap perubahan lingkungan tumbuh sehingga tanaman tumbuh lebih baik
9. Meningkatkan toleransi tanaman terhadap senyawa atau unsur logam berat
dalam tanah
10. Berperan dalam transformasi unsur hara (proses biogeokemia) di dalam tanah,
yaitu melalui proses mineralisasi maupun dekomposisi berbagai senyawa
organik.
Hubungan tanaman dengan mikoriza dapat digambarkan dengan
ketergantungan tanaman pada mikoriza (relative field mycorrhizal
depedency",RFMD) (Munyanziza et al., 1997; Brundrett, 1999):
Ym = hasil tanaman bermikoriza
Ynm = hasil tanpa mikoriza
Ym - Ynm
RFMD =
X 100%
YM
Catatan :
Hasil dapat berupa komponen
pertumbuhan maupun
komponen hasil
Keefektifan mikoriza tersebut tentu berkaitan erat dengan berbagai faktor
lingkungan tanah abiotik (konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan
tanah dan penggunaan pupuk/pestisida) dan faktor biotik (interaksi mikroba,
spesies cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi
antar cendawan mikoriza). Hasil berbagai kajian menunjukkan banyak tanaman
yang tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran mikoriza. Berdasarkan
ketergantungan terhadap mikoriza, tanaman dikelompokkan menjadi: (1) Tanaman
obligat bermikoriza (obligatorily micorrhizal plants), (2) Tanaman fakultatif
bermikoriza (Facultatively mycorrhizal plants), dan (3) Tanaman nonmikoriza
(Nonmycorrhizal plants).
3.2. Mikoriza dan Kesehatan Ekosistem Tanah
Kehadiran mikoriza dalam tanah memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap perbaikan kualitas, kesehatan tanah dan aliran energi dalam rantai
makanan (food web, antara lain sebagai berikut;
295
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
1) Perbaikan Struktur Tanah. Jaringan hifa eksternal dari mikoriza memperbaiki
dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-senyawa polisakarida, asam
organik dan lendir yang dihasilkan mampu mengikat butir-butir primer menjadi
agregat mikro ("Organic binding agent") Selanjutnya agregat mikro tersebut
melalui proses "mechanical binding action" oleh hifa eksternal akan
membentuk agregat makro yang mantap (Brundrett, 1999; Linderman, 1996).
Wright dan Uphadhyaya (1998) mengatakan bahwa cendawan VAM
mengasilkan senyawa glycoprotein glomalin yang berkorelasi dengan
peningkatan kemantapan agregat. Konsentrasi glomalin umumnya lebih tinggi
pada tanah-tanah yang tidak diolah dibandingkan dengan yang diolah.
Perbaikan struktur tanah tersebut akan meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi
serta mengurangi erosi tanah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Oleh karena itu, dikatakan bahwa cendawan mikoriza juga simbion
bagi tanah.
2) Jaringan hifa berperan penting dalam daur hara dalam tanah dan mencegah
terjadinya kehilangan hara dari ekosistem tanah
3) Hifa mikoriza berperan penting dalam mentransfer (relokasi) senyawa
hidrokarbon (fotosintat) dari perakaran tanaman kepada organisme tanah
(sumber energi dalam rantai makanan dalam tanah)
4) Sporocarps epigeous dan hypogeous sporocarps dari ektomikoriza dan CMA
merupakan sumber makanan bagi hewan placental, marsupial dan biota di
dalam tanah.
5) Hifa mikoriza dan tubuh buah (fruits bodies dari ektomikoriza) merupakan
sumber makanan bagi berbagai macam fauna tanah
6) Mikoriza memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan dan
pertumbuhan mikroba tanah yang menguntungkan (penambat N dan pelarut
fosfat). Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut
fosfat atau bakteri pengikat N. Inokulasi bakteri pelarut fosfat (PSB) dan
mikoriza dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman tomat (Kim et al,1998)
dan pada tanaman gandum (Singh dan Kapoor, 1999). Adanya interaksi
sinergis antara VAM dan bakteri penambat N2 dilaporkan oleh Azcon dan AlAtrash (1997) bahwa pembentukan bintil akar meningkat bila tanaman alfalfa
diinokulasi dengan Glomus moseae. Sebaliknya kolonisasi oleh jamur mikoriza
meningkat bila tanaman kedelai juga diinokulasi dengan bakteri penambat N,
B. japonicum
7) Mikoriza berperan penting dalam meningkatkan jumlah karbon yang sangat
menentukan kualitas dan kesehatan tanah
8) Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan
hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu akar
memungkinkan hifa dapat menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil
(mikro) sehingga hifa dapat menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang
sangat rendah.
9) Keanekaragaman jamur dapat digunakan sebagai indikator kualitas ekosistem
tanah
296
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
10) Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan
tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Brundrett (1999) menyatakan
bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi
terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai
berikut :
1. Selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen.
2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat
lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen.
3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan
atau menghambat pertumbuhan patogen.
4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat atau
sulit diinfeksi oleh cendawan patogen karena fungi patogen tersebut harus
berkompetisi dengan mikoriza terlebih dahulu.
4. STRATEGI MENINGKATKAN KEEFEKTIPAN MIKORIZA
Mikoriza termasuk pupuk hayati yang obligat simbion, yaitu mutlak
memerlukan tanaman inang (makro simbiont) agar dapat hidup dan berkembang.
Oleh karena itu, strategi dalam meningkatkan keefektifan mikoriza untuk
meningkatkan ketersediaan hara, perbaikan lingkungan tumbuh bagi pertumbuhan
tanaman berkaitan erat dengan jenis dan asal inokulan, perakaran tanaman, teknik
aplikasi dan rekayasa lingkungan tumbuh.
4.1. Inokulan Mikoriza
Berdasarkan eksplorasi dan trapping dari berbagai ekosistem telah
diketahui jumlah species CMA (VAM) sangat banyak dari ordo Glomales (Morton,
1988), selanjutnya dibagi menjadi subordo berdasarkan kehadiran vesikel, yaitu
Glomineae: mempunyai vesikel dan membentuk chlamydospores (thick wall,
asexual spore) dan Gigasporineae: tidak memiliki vesikel dalam akar dan
membentuk azygospores (spores resembling a zygospore but developing asexually
from a subtending hypha resulting in a distinct bulbous attachment). Genus
mikoriza yang banyak digunakan sebagai pupuk hayati antara lain adalah Glomus
sp, Acaulaspora sp, Gigaspora sp dan Scultellospora sp yang diperoleh dari
berbagai tanaman inang pada berbagai ekosistem (tanaman pangan, sayuran,
perkebunan dan kehutanan). Sedangkan ektomikoriza yang digunakan di Indonesia
adalah Pilolithus arrhizus, dan Scleroderma columnare pada tanaman pinus, kayu
putih, dan meranti (Turjaman, et al., 2002). Pemanfaatan ekto mikoriza yang dapat
dikomsumsi (edible) sepert Cantharellus dan Scleroderma akan memberikan
keuntungan ganda
Kendatipun secara umum mikoriza dapat berasosiasi dengan
perakaran berbagai tanaman, tetapi keefektifannya juga ditentukan oleh
jenis tanaman (kecocokan) dan asal ekosistem inokulan tersebut (tanah
masam, salin, lahan bekas tambang, tanah terkontaminiasi logam berat,
tandus dan kering, dan lain-lainnya). Oleh karena itu, penggunaan inokulan
campuran merupakan solusi yang tepat untuk meningkatkan keberhasilan
297
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
pupuk hayati. Inokulan mikoriza yang berasal dari ekositem tersebut, jika
digunakan kembali pada ekosismtem yang bersangkutan akan lebih adaptif.
Langkah selanjutnya adalah menguji kecocokan species CMA atau
ektomikoriza dengan tanaman inangnya. Mikoriza yang yang berasosiasi dengan
baik dengan tanaman inang tersebut selanjutnya diperbanyak secara massal dan
digunakan pada ekosistem tersebut.
4.2. Tanaman Inang dan Sistem Perakaran
Kecocokan mikoriza dengan tanaman inang berkaitan erat dengan sistem
perakaran tanaman dan kondisi lingkungan yang merangsang tanaman untuk
mengeluarkan eksudat untuk menstimulir pertumbuhan dan perkembangan CMA
atau VAM pada akar tanaman. Secara umum, tanaman dengan sistem perakaran
yang halus (banyak) kurang responsif terhadap pertumbuhan dan perkembangan
mikoriza. Sebaliknya tanaman dengan jumlah akarnya relatif sedikit akarnya akan
sangat resposif terhadap mikoriza. Tanaman akan berupaya untuk bekerjasama
dengan mikoriza dalam memperluas zona eksploitasi akar untuk mendapatkan
nutrisi, air dan senyawa lainnya (Simarmata et al., 2004).
Ketergantungan pada mikoriza berkaitan erat dengan sistem dan
karakteristik perakaran. Oleh karena itu, pemanfatan mikoriza pada tanaman yang
mempunyai sistem perakaran yang relatif besar dengan jumlah yang relatif sedikit
akan sangat efektif, terutama pada kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan (kering, pH masam, nutrisi kurang tersedia).
Tabel 1. Hubungan Sistem dan Karakteristik Perakaran Tanaman dengan Ketergantungan
pada Mikoriza (Brundett & Kendrick, 1988; Brundrett, 2000)
Karakteristik Akar
A. Luas Permukaan Akar
1. Luas permukaan sistem perakaran
2. Sistem percabangan akar lateral
3. Frekuensi percabangan
4. Jumlah dan panjang bulu-bulu akar
B. Aktivitas Akar
1. Laju pertumbuhan akar
2. Respons terhadap kondisi tanah
3. Rentang kehidupan akar
4. Sifat struktur protektif
5. Eksudat akar
C. Pembentukan mikoriza
Ketergantungan Pada Mikoriza
Tinggi
Rendah
rendah
besar
rendah
besar
sedikit
banyak
jarang
rapat (banyak)
Sedikit/pendek
Banyak/panjang
rendah/lambat
cepat
lambat
cepat
lambat
cepat
lama
pendek
kuat
lemah
kurang ???
banyak ???
efisien
inefisien atau terhambat
4.3. Ekosistem Tanah
Ekosistem tanah yang telah sakit (lahan kritis) memiliki berbagai kendala
seperti tebal solum tipis, struktur tanah masif, ketersediaan air terbatas, terdapat
berbagai senyawa toksis (kelarutan Al tinggi, asam-asam organik, logam berat),
298
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
kandungan bahan organik rendah pH masam, ketersediaan hara rendah dan
berbagai permasalahan lainnya. Revitalisasi kualitas tanah akan berlangsung lebih
cepat dengan memanfaatkan mikroza sebagai bioremediator. Artinya, keefektifan
mikoriza pada ekosistem marginal tersebut sangat baik sehingga dapat
meningkatkan efisiensi usaha tani dan produktivitas tanah dengan teknologi ramah
lingkungan. Hasil kajian membuktikan bahwa tanpa inokulasi dengan mikroriza,
pertumbuhan tanaman revegetasi pada tanah marginal sangat rendah.
4.4. Pengujian Biologis (Bioassay)
Untuk mengetahui dosis mikoriza dan kontribusinya pada tanaman
(mycorrhizal dependency) dalam suatu ekosistem dapat dilakukan dengan
pengujian biologis. Pengujian biologis sangat penting untuk mengetahui apakah
dalam tanah sudah terdapat mikoriza atau belum. Jika dalam tanah sudah tersedia,
inokulasi dapat ditiadakan, sebaliknya bila dalam tidak tersedia, inokulasi harus
dilakukan. Oleh karena itu, pengujian biologis bersifat lokal sehingga perlu
dilakukan pada setiap ekosistem secara terencana (by design) untuk mengetahui
jenis mikroiza yang paling efektif.
4.5. Teknik Aplikasi
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa keberhasilan pupuk hayati
berkaitan erat dengan kemampuannya mengokupasi dan mengkolonisasi akar
sedini mungkin. Oleh karena itu, teknik dan waktu aplikasi inokulan sangat
menentukan keefektifan mikoriza tersebut. Aplikasi pada persemaian selain mudah
dan murah, juga efektif untuk mempercepat dominasi CMA atau EM
(ektomikoriza) pada perakaran tanaman. Dalam hal ini perlu diperhatikan
kehadiran akar pada saat spora mikoriza bercambah sangat menentukan. Jika spora
sudah berkecambah, tetapi akar tanaman belum tumbuh maka dapat menimbulkan
kegagalan. Secara umum, penggunaan CMA pada tanaman yang disemaikan lebih
dahulu (tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan dan beberapa tanaman
sayuran) relatif murah dan efektif. Sebaliknya, tanaman yang ditanam langsung
(umumnya tanaman pangan) dengan jumlah populasi yang relatif besar (> 20.000
tanaman/ha), penggunaan CMA relatif mahal sehingga menjadi kendala dalam
penerapannya secara komersial. Jika populasi tanaman 40.000 tanaman/ha dengan
dosis yang diperlukan sekitar 10 – 20 gram inokulan/tanaman, maka diperlukan
paling tidak sekitar 400 – 800 kg inokulan/ha. Oleh karena itu, perlu dikembangkan
teknologi perlakuan benih (seed treatment), yaitu mencampurkan inokulan dengan
benih sebelum ditanam sehingga jumlah inokulan dapat dikurang secara signifikan
atau hingga kebutuhan hanya sekitar 1- 2 kg/ha. Upaya lain yang dapat dilakukan
adalah menyebarkan tanah yang bermikoriza (sebagai inokulan) pada aeral
pertanaman. Untuk itu, perlu disediakan lahan dalam luasan tertentu untuk
memperbanyak mikroriza di lapangan.
299
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
4.6. Rekayasa Lingkungan Tumbuh
Upaya untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan mikoriza pada
perakaran tanaman dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan tumbuh yang
baik bagi perakaran tanaman dan memperbaiki erasi tanah. Mikoriza memperoleh
energi (karbon beruapa fotosintat) dan nutrisi lainnya (makro maupun mikro) dari
dalam tanah. Oleh karena, pemberian bahan organik dan nutrisi pada awal
inokulasi sangat diperlukan untuk memperbaiki kualitas tanah untuk mendukung
pertumbuhan tanaman maupun mikroriza. Jika kondisi lingkungan tumbuh yang
kurang menguntungkan bagi tanaman seperti kekeringan (water stress) dan tanah
berpadas, miskin hara dan lain-lainnya, maka akar tanaman bermikoriza akan
mendorong dan merangsang perkembangan dan pertumbuhan mikoriza lebih
lanjut.
5. PROSPEK DAN TANTANGAN PEMANFAATAN MIKORIZA DALAM
REVITALISASI KESEHATAN EKOSISTEM LAHAN KRITIS
Tekanan pada ekosistem tanah di Indonesia akan terus meningkat sejalan
laju pembangunan dan pertambahan penduduk untuk menghasilkan berbagai
produk pertanian dengan menitikberatkan pada penggunaan pupuk buatan dan
berbagai bahan kimia secara intensif. Akibatnya degradasi kualitas tanah dan luas
lahan kritis akan terus meningkat dan terjadi gangguan pada ekosistem tanah. Di
sisi lain, kesadaran akan produk ramah lingkungan terus berkembang
(environmentally friendly products) dalam pasar global.
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan pertanian
berbasis ekologi yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Kunci utama dalam
pertanian ramah lingkungan adalah penggunaaan bahan alami seperti pupuk
organik dan pupuk hayati.
Pemanfaatan pupuk hayati mikoriza untuk
meningkatkan kualitas dan kesehatan ekosistem tersebut, juga sekaligus
memberikan nilai ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat maupun
sumber devisa.
Hasil berbagai penelitian pada lahan marjinal di Indonesia menunjukkan
bahwa aplikasi pupuk biologis seperti Azotobacter sp., mikroba pelarut fosfat
(Bacillus sp, Pseudomonas sp, dan lain-lainnya), mikoriza vesikula arbuskula
(Glosmus sp., dan Gigaspora sp.) dapat meningkatkan produksi berbagai tanaman
(jagung, kedelai, kacang tanah, tomat, padi dan tanaman lainnya) dan ketersediaan
hara bagi tanaman antara 20 hingga 100% (Simarmata dan Herdiani, 2004).
Aplikasi inokulan campuran (gabungan beberapa mikroba) menguntungkan
ternyata dapat meningkatkan hasil berbagai tanaman dengan signifikan
(Simarmata, 2004).
Penelitian Ba et al (1999) pada tanah kahat hara menunjukkan bahwa
inokulasi ektomikoriza pada bibit tanaman Afzelia africana dapat meningkatkan
pertumbuhan bibit dan serapan hara oleh tanaman hutan tersebut. Ternyata
tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik adalah yang
bermikoriza. Hasil berbagai penelitian juga membuktikan bahwa tanaman yang
bermikoriza terbukti mampu bertahan pada kondisi stres air yang hebat. Morte et al
300
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
(2000) menunjukkan bahwa tanaman Helianthenum almeriens yang diinokulasi
dengan Terfesia claveryi mampu berkembang menyamai tanaman pada kadar air
normal yang ditandai berat kering tanaman, net fotosintesis, serta serapan hara
NPK. Penelitian lain menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus)
(Castillo dan Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki
ketahanan yang lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa
mikoriza yang ditandai dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi yang
lebih besar, meningkatnya tekanan osmotik, terhindar dari plasmolisis,
meningkatnya kandungan pati dan kandungan proline (total dan daun) yang lebih
rendah selama stress air.
Hasil berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa tanaman bermikoriza
pada tanah salin dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. CMA seperti Glomus
spp mampu hidup dan berkembang di bawah kondisi salinitas yang tinggi dan
mampu meningkatkan hasil (Lozano et al, 2000). Tanaman tomat yang diinokulasi
dengan mikoriza memili pertumbuhan lebih baik dibanding dengan tanpa mikoriza
dan konsentrasi P dan K rata-rata lebih tinggi sedangkan konsentrasi Na rata-rata
lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza (Al-Kariki, 2000).
Hasil penelitian Lozano et al (2000) menunjukkan bahwa Glomus deserticola lebih
efektif dari Glomus sp.
Hasil berbagai kajian juga menunjukkan bahwa mikoriza mampu
meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui
akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan "extrahyphae slime" sehingga
mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Pemanfaatan cendawan mikoriza
dalam bioremediasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut
dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh
sekresi hifa ekternal (Subiksa, 2002). Oleh karena itu pemanfaatan mikoriza pada
ekosistem yang tercemar logam berat, terutama di areal pertambangan (tailing dan
sekitarnya) sangat potensial. Pengalaman menunjukkan bahwa kontaminasi tanah
dengan logam berat sering menyebabkan kematian bibit dan kegagalan program
revegetasi.
Kajian Aggangan et al. (1997) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan
bahwa Ni lebih berbahaya dari pada Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada
konsentrasi 80 µmol/L pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza
sedangkan pada tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan
terjadi pada konsentrasi 160 µmol/L. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu
pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan
dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan eucaliptus yang tidak tercemar logam
berat.
Pemanfaatan mikoriza dalam bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh
limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran
maupun kolam pengendapan) tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis
juga memberikan hasil yang menggembirakan. Oliveira et al. (2001) menunjukkan
bahwa P. australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui
pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat
301
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan
meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Kajian Joner dan Leyval
(2001), menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh
polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap
pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza
laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tanaman yang tumbuh pada
limbah pertambangan batubara yang diteliti Rani et al (1991) menunjukkan bahwa
dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Pada
tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut,
ditemukan adanya "oil droplets" dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan
bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai
diserap oleh tanaman.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan mikoriza
merupakan alternatif yang ramah lingkungan untuk memperbaiki kualitas
ekosistem tanah yang rusak atau tercemar. Kendala utama yang dihadapi saat ini
berkaitan erat dengan ketersediaan inokulan (kualitas dan kuantitas) dan
terbatasnya sumber daya manusia yang menguasai teknologi mikoriza. Hingga saat
ini waktu yang diperlukan untuk perbanyakan inokulan CMA (obligat simbion)
masih relatif lama dan viabilitas inokulan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Selain itu, standarisasi kulitas inokulan
CMA masih perlu dikembangkan dan dibakukan. Di lain pihak, sosialisasi
(diseminasi) mikoriza hingga ke tingkat petani masih sangat kurang. Oleh karena
itu, perlu dikembangkan teknologi lebih lanjut untuk memperoleh inokulan dengan
mudah dan mempunyai baku mutu yang baik.
6. KESIMPULAN
1. Kualitas & kesehatan ekosistem tanah di Indonesia menurun secara drastis
(lahan kritis terus meningkat) sejalan peningkatkan intensifikasi dan
ekstensifikasi pertanian, kegiatan industri kehutanan dan pertambangan
2. Revitalisasi keberlanjutan ekosistem tanah kritis dan tercemar dengan
pengembangan pertanian berbasis ekologis (LISA, LEISA, Pertanian
Ekologis Terpadu dan Pertanian Organik) merupakan solusi ramah
lingkungan
3. Pupuk Hayati Mikoriza (endomikoriza dan ekto mikoriza) merupakan
andalan utama dalam revitalisasi kesehatan ekoisistem tanah untuk
meningkatkan pertumbuhan maupun hasil tanaman pada tanah-tanah
marjinal di Indonesia
4. Penelitian dan pengembangan, khususnya dalam teknologi inokulan
mikoriza perlu diintensifkan untuk menghasilkan inokulan efektif dalam
waktu yang singkat dengan harga yang murah.
302
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
7. DAFTAR PUSTAKA
Aggangan, N.S. B.Dell and N. Malajczuk, 1998. Effects of chromium and nickel
on growth of the ectomycorrizal fungus Pisolithus and formation of
ectomycorrizas on Eucalyptus urophylla S.T. Blake. Geoderma 84 : 15-27.
Al-Karaki G, B. McMichael and J. Zak. 2004. Field response of wheat to
arbuscular mycorrhizal fungi and drought stress. MYCORRHIZA 14 (4):
263-269. http://mycorrhiza.ag.utk.edu/H2O/alkaraki_2004_mycorrhiza.pdf
Al-Kariki, G.N., 2000. Growth of mycorrhizal tomato and mineral acquisition
under salt stress. Mycorrhiza J. 10/2 : 51-54.
Alloway, B.J. 1995. Heavy Metal in Soils. 2nd Ed. Blackie Academic &
Professional. London
Arora, D.K. 1988. Fungal biotechnology in agricultural, food, and environmental
applications. Culinary and Hospitality Industry Publications Services
Augé RM. 2004. Arbuscular mycorrhizae and soil/plant water relations. Canadian
Journal
of
Soil
Science
84:
373-381
(http://plantsciences.utk.edu/pdf/auge_cjss_2004.pdf)
Azcon, R. and F. El-Atrash, 1997. Influence of arbuscular mycorrhizae and
phosphorus fertilization on growth, nodulation an N2 fixation (15N) in
Medicago sativa at four salinity level. Biol. Fertil. Soils 24 : 81-86.
Ba, A.M., K.B. Sanon , R. Doponnois, and J. Dexheimer, 2000. Growth response
of Afselia africana Sm. seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a
nutrient-deficient soil. Mycorrhiza J. 9/2 : 91-95.
Brundrett M., N Bougher, B Dell, T Grove and N Malajezuk, 1996. Working with
mycorrhizes in forestry and agriculture. Monograph. ACIAR. 32 : 374.
Brundrett. M. 1999 Introduction to mycorrhizas . CSIRO Forestry and Forest
Products http://www.ffp.csiro.au/research/mycorrhiza/intro.html (Diakses
April 2005)
Brundrett. M. 1999. Arbuscular mycorrhizas . CSIRO Forestry and Forest
Products. http://www.ffp.csiro.au/arbus.html
Brundrett. M. 1999. Ectomycorrhizas. CSIRO Forestry and Forest Products.
Tersedia
pada
http://www.ffp.csiro.au/research/mycorrhiza/ecm.html
(Dikases April 2005)
Brundrett. M. 1999. Roles of mycorrhizas. . CSIRO Forestry and Forest Products.
Tersedia pada http://www.ffp.csiro.au/research/mycorrhiza/roles.html
(Dikases April 2005)
Castillo, E.T. and R.E. Dela Cruz, 1995. Mechanism of drought resistance in
Pterocarpus indicus enhanced by inoculation with VA mycorriza and
Rhizobium. Biotrop Spec. Publ.No56 : 131-137. Biology and
Biotechnology of Mycorrhizae.
303
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
Cruz, A.F., T. Ishii, and K. Kadoya., 2000. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi
on tree growth, leaf water potential, and levels of 1-aminocyclopropane-1carboxylic acid and ethylene in the roots of papaya under water stress
conditions. Mycorrhiza J. 10/3 : 121-123.
Goicoechea N, Merino S, and M. Sanchez-Diaz. 2005. Arbuscular mycorrhizal
fungi can contribute to maintain antioxidant and carbon metabolism in
nodules of Anthyllis cytisoides L. subjected to drought. JOURNAL OF
PLANT
PHYSIOLOGY
162
(1):
27-35.
http://mycorrhiza.ag.utk.edu/H2O/vagoic7.htm
Hildebrant U, K Janetta and H Bothe. 2002. Towards growth of arbuscular
mycorrhizal fungi independent of a plant host. Appl. Environm. Microbiol.
68:1919-1924
Ingham ER. (2001). The food web and soil health. Soil Biology Primer [online].
www.statlab.iastate.edu/survey/SQI/soil_biology_primer.htm
Joner, E.J. and C. Leyval, 2001. Influence of arbuscular mycorrhiza on clover and
ryegrass grown together in a soil spiked with polycyclic aromatic
hydrocarbons. Mycorrhiza J. 10/4 : 155-159.
Kim, K.Y., D. Jordan, and McDonald, 1998. Effect of phosphate-solubilizing
bacteria and vesicular-arbuscular mycorrhizae on tomato growth and soil
microbial activity. Biol. Fertil. Soils 26 : 79-87.
Linderman RG. 1996. Role of VAM fungi in biocontrol. Pp. 1-25. In Mycorrhizae
and Plant Health (Pfleger EL and RG. Linderman, Eds). APS Press. St
Paul, Minesota.
Lozano, JMR., and R. Azcon, 2000. Symbiotic efficiency and effectivity of an
autochthonous arbuscular mycorrhizal Glomus sp. from saline soils and
Glomus deserticola under salinity. Mycorrhiza 10/3 : 137-143.
Marx, D.H. 2004. Mycorrhizae: Benetits and paractical application in forest tree
nurseries.
USADA
Forest
Servise.
Tersedia
pada
www.forestpests.org/nursery/index.html (Dikases April 2005)
Morte, A., C.Lovisolo and A. Schubert, 2000. Effect of drought stress on growth
and water relations of the mycorrhizal association Helianthemum
almeriense - Tervesia claveryi. Mycorrhiza J. 10/3 : 115-119.
Munyanziza, E., H.K. Kehri, and D.J. Bagyaraj, 1997. Agricultural intensification,
soil biodeversity and agro-ecosystem function in the tropics : the role of
mycorrhiza in crops and trees. Applied Soil Ecology 6 : 77-85.
Oliveira, R.S., JC. Dodd and PML. Castro, 2001. The mycorrhizal status of
Pragmites australis in several polluted soils and sediments of an
industrialised region of Northern Portugal. Mycorrhiza J. 10/5 : 241-247.
Pankhurst, C.E., B.M. Doube and V.V.S.R. Gupta. 1997. Biological Indicators for
soil health: Synthesis. P. 419-436. In Pankhurst, C.E., B.M. Doube and
V.V.S.R. Gupta (Eds). Biological Indicators for soil health. Cab
304
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
International. Wallingford. Oxon OX10&DE, UK – New York, NY 10016
USA
Rani, D.B.R., S. Ragupathy and A. Mahadevan, 1991. Incidence of vesicular arbuscular mycorrhizae (VAM) in coal waste. Biotrop Special Publ. 42 :
77-81 in Soerianegara and Supriyanto (Eds) Proceedings of Second Asean
Conference on Mycorrhiza.
Rohyadi, A., F.A. Smith, R.S. Murray and S.E. Smith. 2004. Effects of pH on
mycorrhizal colonization and nutrient uptake in cowpea under conditions
that minimize confounding effects of elevated available aluminium. Plant
and Soil 260: 283-290
Setiadi Y. 2004. Arbuscular mycorrhizal inoculum production. Dalam Prosiding:
Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk
Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Simarmata T, Arief DH, Surmani
Y, Hindersah R, Azirin A dan AM Kalay, Eds). Asosiasi Mikoriza
Indonesia-Jawa Barat. ISBN 979-98255-0-4
Sharma, R.A., Totawat, K.L. , Maloo S.R and L.L. Somani. 2004. Biofertilizer
technology. Udaipur, Agrotech Publishing Academy. ISBN 81-85680-906.
Simarmata T dan E Herdiani. 2004. Efek pemberian inokulan CMA dan pupuk
kandang terhadap P tersedia, retensi P dalam tanah dan hasil tanaman
bawang merah (Allium ascalonicum L.). Dalam Prosiding: Teknologi
Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian,
Perkebunan dan Kehutanan (Simarmata T, Arief DH, Surmani Y,
Hindersah R, Azirin A dan AM Kalay, Eds). Asosiasi Mikoriza IndonesiaJawa Barat. ISBN 979-98255-0-4
Simarmata T dan N Danapriatna. 1996. Keragaan serapan N dan P, serta hasil
tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) pada lahan-lahan marginal (Humic
Hapludults) yang diinokulasi bakteri penambat N non simbiotik
(Azotobacter sp), MVA (Glomus fasciculatum) dan diberi pupuk N di
Jatinangor. Jurnal Agrikultura Vol. 01, 7: 12 – 18
Simarmata, T. 2004. Bioremediasi Lahan Terdegradasi dan Tercemar. Makalah
Pada Seminar Bioremediasi Lahan-Lahan Tercemar Tanggal 19 Maret
2004 di Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unpad
Simarmata, T. 2004. Pemanfaatan pupuk hayati CMA dan pupuk organik
dikombinasikan dengan biostimulan untuk meningkatkan kolonisasi
mikoriza, serapan hara P dan hasil tanaman kedelai (Glycine max L. Merr)
Pada ULtisols di Jatinangor . Jurnal Agroland (in press)
Simarmata, T. 2004. Potensi pemanfaatan Azotobacter sp dan cendawan mikroriza
arbuskular dalam meningkatkan produktivitas tomat pada system
hidroponik. Jurnal Agrik. 15:1: 38-42
Simarmata, T. Yuyun Sumarni dan D.H. Arief. 2002. Optimaliasi rancang bangun
teknologi pada pertanian organic dan pertanian ekologis terpadu
305
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
(integrated ecological farming system). Prosiding Seminar Mikoriza Pada
Tanggal 23 April 2001. AMI-Jabar
Simarmata, T., Hindersah, R., Setiawati, M., Fitriani, B, Suriatmana, P., Surmarni,
Y dan D. Hudaya Arief. 2005. Strategi pemanfaatan pupuk hayati CMA
dalam revitalisasi ekosistem lahan marjinal dan tercemar. Prosiding
Workshop Mikoriza. Ami- Jabar (in press)
Singh, S., and K.K. Kapoor, 1999. Inoculation with phosphate-solubilizing
microorganisms and a vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus improves
dry matter yield and nutrient uptake by wheat grown in a sandy soil. Biol.
Fertil. Soils 28 : 139-144.
Solaiman, M.Z., and H. Hirata, 1995. Effect of indigenous arbuscular mycorrhizal
fungi in paddy fields on rice growth and NPK nutrition under different
water regimes. Soil Sci. Plant Nutr., 41 (3) : 505-514.
Subiksa. IGM. 2002. Pemanfaatan mikoriza untuk penanggulangan lahan kritis.
Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
Subra Rao, NS. 1982. Biofertilizers in agriculture. Oxford & IBH Publishing Co.
New Delhi. Bombay. Calcuta
Turjaman, M., R.S.B. Irianto, E. Widyaawti, I.R. Sitepu dan E. Santoso. 2002.
Prospek penggunaan cendawan ektomikoriza dalam rangka produksi bibit
tanaman hutan untuk kegiatan rehabilitasi lahan kritis. Prosiding Seminar
Mikoriza Pada Tanggal 23 April 2001. AMI-Jabar
Wright, S.F. and A. Upadhyaya, 1998. A survey of soils for aggregate stability and
glomalin, a glycoprotein produced by hyphae of arbuscular mycorrhizal
fungi. Plant and Soil 198 : 97 - 107.
Zaini, Z., T. Sudarto, J. Triastoro, E. Sujitno dan Hermanto, 1996. Usahatani lahan
kering : Penelitian dan Pengembangan. Proyek Penelitian Usahatani lahan
Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.
306
______________
ISSN 0853 - 0302
VISI (2007) 15 (3) 289 – 306)
307
______________
ISSN 0853 - 0302
Download