MODUL 1 : KAIDAH SOSIAL KB 1. MASYARAKAT DAN KAIDAH SOSIAL A. Manusia dan Masyarakat Menurut pendapat Aristoteles (Yunani, 384-322 SM), bahwa manusia itu adalah ZOON POLITICON artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial, artinya manusia sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Manusia disebut juga sebagai makhluk monodualistik yaitu manusia selain sebagai makhluk individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri namun manusia juga sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup dan berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Dalam kedudukannya selaku individu, manusia tidak mungkin dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara penuh, oleh sebab itu manusia terpaksa harus hidup bermasyarakat atau terpaksa harus hidup bersama-sama dengan manusia yang lain dalam masyarakat. Masyarakat terbentuk, apabila sedikitnya ada dua orang atau lebih yang hidup bersama, mereka saling berhubungan, saling pengaruh-mempengaruhi, saling tergantung dan saling terikat satu sama lain. Dalam hidup bermasyarakat antara manusia yang satu dengan yang lain selalu berhubungan atau antara ego (manusia yang beraksi) selalu berinteraksi dengan alter (manusia yang bereaksi). Hubungan tersebut disebut interaksi sosial, yaitu adanya hubungan yang bertimbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi antara manusia yang satu dengan yang lain, antara manusia selaku individu dengan kelompok, antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain dengan ciri-ciri interaksi sosial, yaitu: 1. Minimal ada dua orang yang mengadakan interaksi; 2. Dalam mengadakan interaksi menggunakan bahasa yang saling dimengerti di antara ego dan alter; 3. Dalam kurun waktu yang cukup lama, artinya tidak hanya sesaat; 4. Adanya tujuan-tujuan tertentu yang mempersatukan. Terbentuknya masyarakat dibedakan menjadi 2 yaitu : 1. Ada yang terjadi dengan sendirinya yang dapat disebut sebagai bentuk masyarakat merdeka, contohnya : a. Terbentuknya disengaja berdasarkan kehendak bebas dari para anggotanya yang disebut masyarakat alam, misalnya secara kebetulan ada beberapa orang berada di suatu tempat yang sama dalam kurun waktu yang lama, mereka saling mengenal, saling berhubungan, dan akhirnya saling pengaruh mempengaruhi, saling tergantung, serta saling terikat satu dengan yang lain b. Bentuk masyarakat yang sengaja dibentuk dengan sengaja oleh para anggotanya atas dasar kepentingan tertentu tersebut disebut sebagai masyarakat budidaya, misalnya kepentingan keduniawian atau kepentingan keagamaan. 2. Masyarakat paksaan, misalnya yang terjadi karena ada pihak-pihak tertentu atau pihak eksternal yang sengaja membentuknya, ada yang tidak dikehendaki secara sadar oleh para anggotanya seperti masyarakat tawanan yang ditempatkan di suatu tempat terisolasi, dan ada lagi bahwa paksaan tersebut ternyata akhirnya memang dikehendaki oleh para anggotanya, misalnya negara. Kriteria dasar pembedaan bentuk-bentuk masyarakat, ada 3 yaitu: 1. Dilihat dari besar-kecilnya dan dasar hubungan kekeluargaannya, masyarakat dibedakan menjadi: keluarga inti (nuclear family) terdiri dari ayah, ibu dan anakanaknya, keluarga luas (extended family) terdiri dari orang tua, saudara kandung, saudara sepupu, paman, bibi dan sanak saudara sedarah yang lain; suku dan bangsa; 2. Dilihat dari dasar sifat hubungannya erat atau tidak, masyarakat dibedakan menjadi : masyarakat paguyuban (Gemeinschaft) yaitu yang hubungan di antara para anggotanya didasarkan pada rasa guyub sehingga menimbulkan ikatan batin tanpa memperhitungkan untung dan rugi, seperti keluarga; masyarakat patembayan (Gesselschaft) yaitu yang hubungan di antara para anggotanya sudah memperhitungkan untung dan rugi, atau mereka disatukan karena mempunyai tujuan untuk mencari keuntungan material, seperti Perseroan Terbatas, Firma; 3. Dilihat dari dasar perikehidupannya atau kebudayaannya, masyarakat dibedakan menjadi: masyarakat primitif dibedakan dengan masyarakat modern, masyarakat desa dibedakan dengan masyarakat kota, masyarakat teritorial yang terbentuk karena mempunyai tempat tinggal yang sama, masyarakat genealogis disatukan karena mempunyai pertalian darah, masyarakat teritorial genealogis yang terbentuk karena di antara para anggotanya mempunyai pertalian darah dan secara kebetulan juga bertempat tinggal dalam satu daerah. B. Kaidah Sosial Sebagai Perlindungan Kepentingan Manusia Manusia yang hidup bermasyarakat, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu, tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah, karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas. Kehidupan yang teratur dan sepantasnya menurut manusia yang satu dengan yang lain bel,m tentu sama, oleh karena itu diperlukan patokan-patokan yang berupa kaidah (Rasjidi, 1988:35). Kaidah sosial atau norma sosial adalah peraturan hidup yang menetapkan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat. Atau dapat juga dikatakan kaidah sosial adalah pedoman tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat, yang fungsinya melindungi kepentingan manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial baik terhadap ancaman yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam (manusia sendiri). dengan jalan menertibkan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan terhadap kepentingan manusia, di samping itu juga hendak dicegah terjadinya bentrokan-bentrokan kepentingan manusia, sehingga terciptalah tata kehidupan masyarakat yang damai atau tata kehidupan masyarakat yang tertib dan tenteram. C. Jenis-jenis Kaidah Sosial Kaidah sosial tumbuh sejak manusia mengenal hidup bermasyarakat. Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang merupakan mata rantai dari pertumbuhan dan perkembangan kepentingan manusia melahirkan beberapa macam kaidah atau norma. Jenis – jenis kaidah sosial menurut para ahli: 1. Mochtar Kusumaatmadja ( 1980) menyebutkan tiga macam, yaitu: kaidah kesusilaan, kesopanan, dan hukum. 2. Satjipto Rahardjo (1982 : 15) menyebutkan tiga macam juga, tetapi dengan perumusan yang berbeda, dalam uraiannya menyebut bentuk peraturannya dengan istilah tatanan. a. Tatanan kebiasaan sebagai tatanan yang dekat sekali dengan kenyataan, artinya apa yang biasa dilakukan orang-orang setelah melalui pengujian keteraturan dan keajekan akhirnya dengan kesadaran masyarakat menerimanya sebagai kaidah kebiasaan. b. Tatanan hukum juga berpegang pada kenyataan sehari-hari, tetapi sudah mulai menjauh, namun proses penjauhannya belum berjalan secara saksama. c. Tatanan kesusilaan adalah sama mutlaknya dengan tatanan kebiasaan, dengan kedudukan yang terbalik. 3. Soerjono Soekanto (1980: 67-68) menyebutkan empat kaidah, yaitu: a. Kaidah kepercayaan atau Kaidah agama adalah sebagai peraturan hidup yang oleh para pemeluknya dianggap sebagai perintah dari Tuhan, atau dapat dikatakan bahwa kaidah agama berpangkal pada kepercayaan kepada Tuhan Kaidah b. Kesusilaan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber pada rasa kesusilaan dalam masyarakat dan sebagai pendukungnya adalah hati nurani manusia itu sendiri. Kaidah kesopanan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber pada kepatutan, kebiasaan atau kesopanan dalam masyarakat. Kaidah kesusilaan dianggap sebagai kaidah yang paling tua dan paling asli dan terdapat dalam diri sanubari manusia itu sendiri sebagai makhluk bermoral, dan terdapat pada setiap manusia di manapun ia berada. c. Kaidah kesopanan timbul atau diadakan oleh masyarakat dan dimaksudkan untuk mengatur pergaulan hidup, sehingga tiap-tiap warga masyarakat saling hormatmenghormati. d. Kaidah hukum adalah sebagai peraturan hidup yang sengaja dibuat atau yang tumbuh dari pergaulan hidup dan selanjutnya dipositifkan secara resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara. Kaidah hukum diharapkan dapat melindungi dan memenuhi segala kepentingan hidup manusia dalam hidup bermasyarakat. Perlindungan terhadap kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat yang diberikan oleh kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan, ternyata belum cukup atau dirasakan masih kurang memuaskan, Oleh sebab itu diperlukan kaidah hukum. Fungsi khusus kaidah hukum dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial yang lain ada dua, yaitu: pertama untuk memberikan perlindungan secara lebih tegas terhadap kepentingankepentingan manusia yang telah dilindungi oleh ketiga kaidah sosial yang lain; kedua untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan manusia yang belum dilindungi oleh ketiga kaidah sosial yang lain. Kaidah hukum memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan manusia yang belum dilindungi oleh ketiga kaidah sosial yang lain. KB 2. KAIDAH HUKUM DAN KAIDAH SOSIAL YANG LAIN A. Kaidah Hukum Sebagai Perlindungan Kepentingan Manusia Masyarakat terdiri dari beribu-ribu orang, yang masing-masing mempunyai kepentingan, dan di antara kepentingan-kepentingan tersebut ada kemungkinan saling berhubungan, atau sebaliknya saling bertentangan satu sama lain, atau mungkin kepentingannya sama, tetapi tidak mungkin terpenuhi semua secara bersama-sama, sebab alat pemuasnya yang terbatas. Dalam pemenuhan kebutuhannya, manusia harus selalu berusaha agar ketertiban masyarakat tetap terpelihara. Ketertiban atau lengkapnya ketertiban dan keteraturan adalah merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Timbulnya ketertiban dalam masyarakat, karena para anggota masyarakat mengetahui bahwa ia tidak hidup sendiri, tetapi ia hidup bersama-sama dengan orang lain, di samping itu, ia juga mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang seharusnya ia tinggalkan. pengetahuan tersebut terjadi karena anggota masyarakat telah mendapatkan informasi dari sistem petunjuk yang disebut kaidah sosial. cara mengorganisasi suatu kehidupan bersama seperti itu disebut sistem sosial. Agar dalam hubungan sosial atau hubungan kemasyarakatan berjalan secara tertib dan teratur diperlukan adanya wadah. wadah tersebut biasa disebut lembaga sosial. Fungsi dari lembaga sosial adalah untuk menyelenggarakan berbagai kepentingan manusia secara tertib dan teratur. Mengingat ruang lingkup aspek kehidupan manusia itu sangat luas, maka melahirkan banyak sekali lembaga-lembaga sosial sesuai dengan bidang kegiatan hubungan sosial, misalnya dalam bidang pemerintahan, lalu-lintas, perdagangan, perjanjian, hubungan kekeluargaan, dan lain sebagainya. usaha dan cara untuk mempertahankan sistem sosial biasa disebut pengendalian sosial. Suatu pengendalian sosial yang baik dan berdaya guna serta mampu menjamin pelaksanaan lembaga-lembaga sosial yang ada dalam sistem sosial, memerlukan adanya sanksi. Sesuai dengan fungsinya tersebut, sanksi dapat dibedakan menjadi: sanksi positif sebagai reaksi terhadap perbuatan-perbuatan yang baik dan diujudkan dalam bentuk pemberian hadiah, pemberian piagam atau tanda penghargaan yang lain; sanksi negatif sebagai reaksi terhadap perbuatan yang negatif atau suatu bentuk pelanggaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk hukuman atau pidana; sanksi responsif yang merupakan reaksi secara spontan dari kedua belah pihak untuk sesegera mungkin memulihkan ketidak seimbangan yang terjadi. B. Dasar Psikologis Kaidah Hukum Manusia hidup bermasyarakat adalah bukan sebagai makhluk yang dapat berbuat seenaknya sendiri atau berbuat sebebas-bebasnya. Hidup bermasyarakat berarti ada sebagian kebebasan manusia selaku pribadi yang dikurangi atau kebebasannya dibatasi, sebab ia berhadapan dengan manusia lain yang juga mempunyai kebebasan. Dengan demikian manusia yang hidup bermasyarakat harus mampu mengendalikan perilakunya dan dengan kesadaran untuk menyesuaikan dengan tuntutan kelompoknya agar tercipta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, maka unsur kebebasan dan unsur keterikatan harus diatur atau harus diarahkan secara proporsional. Berkaitan dengan ini, Sudikno Mertokusumo menegaskan seperti apa yang dikemukakan oleh Zevenbergen bahwa dalam diri manusia terdapat tiga hasrat atau nafsu, yaitu: hasrat yang individualistis (egoistis atau atomistis), hasrat yang kolektivistis (tronspersonal atau organis) dan hasrat yang bersifat mengatur atau menjaga keseimbangan yang berfungsi mengarahkan kedua hasrat yang lain. C. Rasio Adanya Hukum Akibat dari kontak dalam usaha manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, ada 2 (dua) kemungkinan : pertama kontak yang terjadi ternyata sejalan dan menguntungkan kedua belah pihak, disebut sebagai kontak yang positif; kedua kontak yang terjadi ternyata tidak sejalan dan mengakibatkan ada pihak yang dirugikan atau kontaknya tidak menyenangkan, disebut sebagai kontak yang negatif. Kontak antar manusia baik yang positif maupun yang negatif perlu diatur. Kontak yang menimbulkan konflik haruslah dicegah dan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu haruslah dinormalkan kembali, untuk itu diperlukan kaidah hukum (atau biasa hanya disebut hukum). Dalam hal ini fungsi hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial (social control), yang isinya menganjurkan, menyuruh, atau memaksa agar anggota masyarakat mematuhi hukum. Secara historis teoritis dapatlah dikatakan bahwa adanya pergeseran atau konflik kepentingan manusia (conflict of human interest) adalah merupakan rasio adanya hukum, atau dapat dikatakan bahwa dasar pemikiran (Raison d'etre) adanya hukum adalah adanya conflict of human interest. Hubungan antara hukum dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena masyarakat akan damai apabila ada hukum, sebaliknya hukum ada karena ada manusia yang hidup bermasyarakat. Hukum yang berfungsi melindungi kepentingan manusia dengan jalan mentertibkan, agar tercipta kedamaian hidup bersama, hukum juga harus berubah dan berkembang mengikutinya, apabila tidak, maka hukum tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Memang sering terjadi masyarakat berubahnya demikian cepat, lebih cepat dibandingkan dengan perubahan hukum. Hal tersebut berakibat hukum ketinggalan atau tidak sesuai lagi. Keadaan tersebut sempat menimbulkan sindiran, bahwa hukum berjalan terpincang-pincang dibelakang peristiwanya (het recht hinkt achter de feiten aan). D. Hubungan Kaidah Hukum dengan Kaidah Sosial Yang Lain Kaidah hukum mempunyai dua fungsi dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial yang lain (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) . Fungsi khusus kaidah hukum yang pertama, diperoleh gambaran adanya hubungan fungsional antara kaidah hukum dengan ketiga kaidah sosial yang lain. Hal ini berarti juga, walaupun keempat kaidah sosial itu dapat dibedakan, namun tidak mudah untuk dipisahkan. Kaidah hukum yang mempunyai fungsi khusus melindungi lebih lanjut atas kepentingan-kepentingan manusia yang telah dilindungi oleh ketiga kaidah sosial yang lain, di samping dengan perumusan yang jelas, tegas dan disertai dengan sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh instansi resmi, dalam perumusan kaidah hukum juga memperhatikan apa yang dikehendaki oleh kaidah yang lain. E. Persamaan dan Perbedaan Di antara Kaidah – Kaidah Sosial Dalam garis besarnya persamaannya adalah terletak pada fungsinya, yaitu sebagai perlindungan terhadap kepentingan manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Adapun perbedaannya dapat dilihat dari segi : tujuannya, isinya, asal-usulnya, sanksinya, dan daya kerjanya. Perbedaan antara kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya : 1. Perbedaan antara kaidah dengan kaidah agama dan kesusilaan dapat ditinjau dari berbagai segi sebagai berikut : • Ditinjau dari tujuannya, kaidah hukum bertujuan untuk menciptakan tata tertib masyarakat dan melindungi manusia beserta kepentingannya. Sedangkan kaidah agama dan kesusilaan bertujuan untuk memperbaiki pribadi agar menjadi manusia ideal. • Ditinjau dari sasarannya : kaidah hukum mengatur tingkah laku manusia dan diberi sanksi bagi setiap pelanggarnya, sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan mengatur sikap batin manusia sebagai pribadi. Kaidah hukum menghendaki tingkah laku manusia sesuai dengan aturan sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan menghendaki sikap batin setia pribadi itu baik. • Ditinjau dari sumber sanksinya, kaidah hukum dan kaidah agama sumber sanksinya berasal dari luar dan dipaksakan oleh kekuasaan dari luar diri manusia (heteronom), sedangkan kaidah kesusilaan sanksinya berasal dan dipaksakan oleh suara hati masing2 pelanggarnya (otonom). • Ditinjau dari kekuatan mengikatnya, pelaksanaan kaidah hukum dipaksakan secara nyata oleh kekuasaan dari luar, sedangkan pelaksanaan kaidah agama dan kesusilaan pada asasnya tergantung pada yang bersangkutan. • Ditinjau dari isinya kaidah hukum memberikan hak dan kewajiban (atribut dan normatif) sedang kaidah agama dan kaidah kesusilaan hanya memberikan kewajiban saja (normatif). 2. Perbedaan antara kaidah hukum dengan kaidah kesopanan - Kaidah hukum memberi hak dan kewajiban, kaidah kesopanan hanya memberikan kewajiban saja. - Sanksi kaidah hukum dipaksakan dari masyarakat secara resmi (negara), sanksi kaidah kesopanan dipaksakan oleh masyarakat secara tidak resmi. 3. Perbedaan antara kaidah kesopanan dengan kaidah agama dan kaidah kesusilaan - Asal kaidah kesopanan dari luar diri manusia, kaidah agama dan kaidah kesusilaan berasal dari pribadi manusia. - Kaidah kesopanan berisi aturan yang ditujukan kepada sikap lahir manusia, kaidah agama dan kaidah kesusilaan berisi aturan yang ditujukan kepada sikap batin manusia - Tujuan kaidah kesopanan menertibkan masyarakat agar tidak ada korban, kaidah agama dan kaidah kesusilaan bertujuan menyempurnakan manusia agar tidak menjadi manusia jahat. Ciri-ciri kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya : - Hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan - Hukum mengatur perbuatan manusia yang bersifat lahiriah - Hukum dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat - Hukum mempunyai berbagai jenis sanksi yang tegas dan bertingkat - Hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian (ketertiban dan ketenteraman) KESIMPULAN : • Dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Hukum ada sejak masyarakat ada. Dapat dipahami bahwa hukum itu sesungguhnya adalah produk otentik dari masyarakat itu sendiri yang merupakan kristalisasi dari naluri, perasaan, kesadaran, sikap, perilaku, kebiasaan, adat, nilai, atau budaya yang hidup di masyarakat. Bagaimana corak dan warna hukum yang dikehendaki untuk mengatur seluk beluk kehidupan masyarakat yang bersangkutanlah yang menentukan sendiri. Suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya bagi masyarakat itu sendiri dalam berlakunya tata hukum itu artinya tunduk pada tata hukum hukum itu disebut masyarakat hukum. • Mengapa kaidah hukum masih diperlukan, sementara dalam kehidupan masyarakat sudah ada kaidah yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya? Hal ini karena : • Masih banyak kepentingan-kepentingan lain dari manusia dalam pergaulan hidup yang memerlukan perlindungan karena belum mendapat perlindungan yang sepenuhnya dari kaidah agama, kesusilaan dan kaidah sopan santun, kebiasaan maupun adat. • Kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari kaidahkaidah tersebut diatas, dirasa belum cukup terlindungi karena apabila terjadi pelanggaran terhadap kaidah tersebut akibat atau ancamannya dipandang belum cukup kuat. MODUL 1 : KAIDAH HUKUM KB 1. MENGENAL KAIDAH HUKUM A. Definisi Hukum L.J. van Apeldoorn berpendapat bahwa hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang dapat membuat definisi secara memuaskan. Kesulitan membuat definisi hukum juga dikemukakan oleh G.W. Paton, yang antara lain mengatakan bahwa persoalan mengenai definisi hukum adalah tidak semudah seperti yang disangka orang semula. Mengingat hukum banyak segi dan demikian luasnya, maka untuk membuat definisi hukum orang harus terlebih dahulu membuat momen opname, artinya menangkap sesuatu untuk dirumuskan. Tetapi apa yang telah berhasil ditangkap dan dirumuskan bersifat statis, hal tersebut tidak sesuai dengan sifat hukum yang dinamis, yang selalu berubah-ubah mengikuti keadaan masyarakat. Mengingat bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dan kepentingan manusia itu selalu berubah sesuai dengan perkembangan jamannya. Kesukaran membuat definisi hukum ini terbukti dari sejak jaman Romawi sampai sekarang tidak ada keseragaman diantara para sarjana atau ahli hukum dalam merumuskan definisi hukum. Dapat dikatakan bahwa tidak ada definisi hukum yang berlaku umum, yang berlaku tanpa terikat tempat dan waktu. Dari berbagai definisi dapat diambil ciri-ciri dan unsur dari hukum, yaitu: Ciri – ciri hukum 1. adanya perintah dan/atau larangan; 2. perintah dan/atau larangan harus ditaati setiap orang; 3. adanya sanksi hukum yang tegas dan dapat dipaksakan oleh instansi yang berwenang. Unsur-unsur Hukum 1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat. 2. Peraturan itu diadakan oleh badan resmi yang berwajib. 3. Peraturan itu bersifat memaksa. 4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas. Adanya definisi-definisi hukum yang banyak jumlahnya dan beraneka ragam, disebabkan berbedanya titik berat metode pendekatan yang digunakan untuk menentukan lahirnya hukum. Ada dua cara pendekatan yang kontroversial, yaitu: • Yang dipentingkan adalah norma atau aturannya (body of rules), meskipun mereka mengetahui bahwa hukum itu ada hubungannya dengan masyarakat, tetapi tetap yang dipentingkan adalah normanya. • Yang dipentingkan adalah masyarakatnya, sebab hukum itu selalu berhubungan dengan masyarakat sebagai wadahnya. 1. Pendapat normatif, dalam merumuskan hukum, mendasarkan pemikirannya pada anggapan bahwa hukum adalah apa yang datang dari atas atau dari pemerintah atau penguasa yang berwenang. Hukum adalah sengaja dibuat oleh pemerintah, sebagai norma dan sebagai kekuasaan yang biasanya berisi perintah dan/atau larangan dan/atau perkenan. 2. Pendapat sosiologis, dalam merumuskan hukum, mendasarkan pemikirannya pada anggapan bahwa hukum adalah kehidupan masyarakat itu sendiri atau merupakan suatu proses sosial, dan merupakan perilaku yang timbul secara spontan dari bawah dan bukan dibuat oleh pemerintah, tetapi ditentukan dalam kehidupan sosial, ia lahir dan berkembang dalam masyarakat yang dinamis. 3. Pendapat campuran pada pokoknya mengatakan bahwa "Hukum adalah peraturan tingkah laku, norma dan sekaligus adalah kebiasaan dalam masyarakat". Pendapat ini muncul akibat dari kelemahan pendapat normatif dan pendapat sosiologis, dimana kedua pendapat itu berat sebelah, dan tidak sesuai dengan kenyataannya. Pendapat normatif hanya benar kalau semua hukum berbentuk peraturan perundang-undangan, yang keberadaannya memang sengaja dibuat oleh penguasa atau pemerintah. Demikian sebaliknya, pendapat sosiologis, hanya benar apabila semua hukum lahir dari pergaulan hidup atau dari hasil proses sosial, yang berupa hukum kebiasaan atau hukum adat. Pemberian Arti Hukum Definisi hukum dapat dianggap sebagai pemberian arti umum dari hukum yang cenderung bersifat teoritis. Pemberian pengertian yang sesuai dengan konteksnya tersebut dapat mencegah terjadinya kerancuan dalam mempelajari hukum atau dalam menerapkan hukum. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyebutkan ada 9 arti hukum, yaitu: hukum sebagai ilmu pengetahuan; hukum sebagai disiplin; hukum sebagai kaidah; hukum sebagai tata hukum; hukum sebagai petugas hukum; hukum sebagai keputusan penguasa; hukum sebagai proses pemerintahan; hukum sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur; hukum sebagai jalinan nilai-nilai (Purbacaraka, 1979*** : 12) Isi, Sifat dan Perumusan Kaidah Hukum Dilihat dari segi isinya, kaidah hukum dapat berisi perintah, perkenan dan larangan. Dalam bidang hukum tata negara banyak dijumpai ketentuan-ketentuan hukum yang berisikan perintah atau suruhan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu. Ketentuan hukum yang isinya perkenan atau perbolehkan, banyak dijumpai dalam bidang hukum perdata. Dalam bidang hukum pidana, sebagian besar memuat ketentuan-ketentuan hukum yang melarang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Menurut sifatnya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua : • Kaidah hukum yang bersifat memaksa atau imperatif yaitu peraturan hukum yang secara a priori mengikat dan harus dilaksanakan, tidak memberikan wewenang lain selain apa yang telah diatur dalam undang-undang. Biasanya peraturan hukum yang berisi perintah dan larangan bersifat imperatif. • Kaidah hukum yang bersifat pelengkap atau subsider atau dispositif, yaitu peraturan hukum yang tidak secara a priori mengikat, atau peraturan hukum yang sifatnya boleh digunakan, boleh tidak digunakan, atau peraturan hukum yang baru berlaku apabila dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak ada sesuatu hal yang tidak diatur (jadi bersifat mengisi kekosongan hukum). Biasanya peraturan hukum yang berisi perkenan atau perbolehkan bersifat fakultatif. Soekanto mengemukakan bahwa pada umumnya bentuk perumusan kaidah hukum ada tiga, yaitu (Soekanto, 1978 :6): larangan, instruksi atau perintah dan pernyataan hipotesis. Fungsi, Tugas dan Tujuan hukum Hukum mempunyai fungsi umum yaitu melindungi kepentingan manusia Dan mempunyai fungsi khusus, yaitu untuk mempertegas dan sekaligus juga untuk melengkapi dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan manusia. Di samping itu masih ada fungsi-fungsi lain, yaitu: sebagai sarana pengendalian sosial; sebagai sarana untuk melakukan social engineering; dan fungsi integratif (yaitu mengurangi konflik-konflik dan melancarkan proses interaksi pergaulan sosial), sebagai instrumen untuk mengatur masyarakat, dan kalau diperluas sebagai instrumen pembaharuan masyarakat, hukum juga harus berfungsi sebagai instrumen untuk menyalurkan dan mengarahkan kegiatan-kegiatan anggota masyarakat ke tujuan yang dikehendaki. Tujuan hukum untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama, berarti juga bahwa hukum bukan semata-mata untuk keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga sebagai sarana terciptanya kesejahteraan masyarakat. Dengan perkataan lain hukum sebagai sarana untuk terciptanya masyarakat yang " tata tenteram karta rahardja" . Tugas hukum untuk memberikan atau menjamin kepastian hukum (Rechtssicherheit), sebenarnya tersimpul juga tugas lain di dalamnya, yaitu kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Antara tujuan hukum dengan tugas hukum sebenarnya ada hubungan fungsional. Pemberian kepastian hukum adalah untuk terciptanya ketertiban, sedangkan pemberian kesebandingan hukum tertuju pada ketenteraman atau ketenangan. Hal ini berarti, kedamaian hidup bersama yang adil akan tercapai apabila ada kepastian hukum dalam hubungan antar sesama anggota masyarakat; dan diri pribadi anggota masyarakat akan merasa tenteram atau tenang apabila ia dapat menerima apa yang sebanding dengan segala perikelakuan atau sikap tindaknya. Kepastian hukum dapat diartikan kepastian bahwa setiap orang akan dapat memperoleh apa yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian hukum itu ada dua macam, yaitu • Kepastian oleh karena hukum, adalah kepastian yang tercapai karena hukum mengenal adanya lembaga kadaluwarsa (verjaring). • Kepastian dalam atau dari hukum, adalah kepastian hukum yang tercapai apabila hukum sebanyak-banyaknya berbentuk undang-undang. Tujuan hukum menurut teori 1. Teori etis (etische theorie) Teori ini mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Menurut teori ini, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles filsuf Yunani dalam bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan hukum mempunyai tugas yang suci yaitu : memberi kepada tiap-tiap orang apa .yang menjadi haknya (ius suum cuique tribuere), sesuai dengan jasanya masing-masing, keadilan di sini bukan berarti keadilan mutlak dan tidaklah sama dengan persamaan”. Selanjutnya Aristoteles membagi keadilan dalam 2 jenis, yaitu : 1. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian menurut jasanya masing-masing. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. 2. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian yang sama banyaknya tanpa mengingat jasa perseorangan. Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa masing-masing. Di samping kedua konsepsi keadilan (distributif dan komutatif) sebenarnya Aristoteles masih menyebutkan konsepsi keadilan perbaikan (remedial justice). Keadilan perbaikan dimaksudkan untuk mengembalikan persamaan dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersalah. Keadilan ini juga merupakan titik tengah di antara kedua kutub berupa keuntungan (gain) dan kerugian (loss).Keadilan menurut Aristoteles bukan berarti penyamarataan atau tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Teori etis mengandung kelemahan, sebab bersifat berat sebelah dan bertentangan dengan kenyataan, jika hukum semata-mata mengejar keadilan dengan memberi kepada setiap orang apa yang patut diterimanya, maka hasilnya justru ketidakadilan. 2. Teori utilitas (utiliteis theorie) Menurut teori ini, tujuan hukum ialah menjamin adanya kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Pencetus teori ini adalah Jeremy Betham yang berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah/manfaat bagi orang. Apa yang dirumuskan oleh Betham tersebut diatas hanyalah memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit. Sulit bagi kita untuk menerima anggapan Betham ini sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa apa yang berfaedah itu belum tentu memenuhi nilai keadilan atau dengan kata lain apabila yang berfaedah lebih ditonjolkan maka dia akan menggeser nilai keadilan kesamping, dan jika kepastian oleh karena hukum merupakan tujuan utama dari hukum itu, hal ini akan menggeser nilai kegunaan atau faedah dan nilai keadilan. Teori utilitis mengandung kelemahan, sebab bersifat berat sebelah, hanya memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan oleh sebab itu bersifat umum, dengan mengorbankan segi keadilan. Padahal kebahagiaan tidak mungkin tercapai tanpa keadilan. Dan perlu diingat, meniadakan kebahagiaan dalam hukum itu akan menimbulkan kesewenang-wenangan, sebab berarti juga menyamakan hukum dengan kekuasaan. 3. Teori campuran Teori etis dan teori utilitis ternyata mengandung kelemahan-kelemahan, maka lahirlah teori ketiga yang mengambil jalan tengah antara kedua teori tersebut. Kesimpulan Tujuan Hukum : 1. Tujuan hukum itu sebenarnya menghendaki adanya keseimbangan kepentingan, ketertiban, keadilan, ketenteraman, kebahagiaan, damai sejahtera setiap manusia. 2. Dengan demikian jelas bahwa yang dikehendaki oleh hukum adalah agar kepentingan setiap orang baik secara individual maupun kelompok tidak diganggu oleh orang atau kelompok lain yang selalu menonjolkan kepentingan pribadinya atau kepentingan kelompoknya. 3. Inti tujuan hukum adalah agar tercipta kebenaran dan keadilan KB. 2 HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEADILAN DAN KEKUASAAN A. Hubungan Hukum Dengan Keadilan Hukum dan keadilan dapat kita bedakan, sebab masing-masing mempunyai konsepsi yang berbeda. Hukum adalah apa yang benar-benar berlaku atau apa yang seharusnya berlaku sesuai dengan isi kaidah hukum, dan tidak dipersoalkan apakah baik atau buruk, sedangkan keadilan adalah suatu cita-cita yang didasarkan pada sifat moral manusia. Hukum dan keadilan saling berhubungan, saling membutuhkan. Kalau hanya menitik beratkan salah satunya dan mengabaikan yang lain, maka hasilnya dapat kita gambarkan dalam 2 (dua) pameo berikut, yaitu: pertama Summum ius summa iniuria yang artinya keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi, jadi semakin banyak keadilan itu dituntut, maka hasilnya justru ketidakadilan, kedua Lex dura sed tamen scripta, artinya undang-undang adalah keras, akan tetapi memang demikianlah bunyinya. Konsep bahwa hukum mengarah kepada keadilan, dapat kita lihat pada dua hal, yaitu: 1. Undang-undang selalu memberikan ketentuan yang bersifat umum, artinya berlaku sama terhadap setiap orang (equality before the law); 2. Di dalam suatu proses peradilan berlaku asas bahwa para pihak didengar dan diperlakukan sama dihadapan hakim (audi et alteram partem) B. Hubungan Hukum dengan Kekuasaan Keistimewaan kaidah hukum terletak pada sanksinya yang tegas dan dapat dipaksakan oleh instansi yang berwenang, maka dari itu hukum memerlukan adanya kekuasaan. Namun demikian kekuasaan bukanlah merupakan unsur mutlak atau bukan unsur pokok (essensiil) dari hukum, artinya hukum itu dapat ada tanpa kekuasaan. Kekuasaan hanyalah merupakan unsur pelengkap (accessoir) yang baru dibutuhkan apabila hukum tidak dilaksanakan dengan sukarela oleh pihak yang kalah, maka atas permintaan pihak yang menang, putusan hakim tersebut pelaksanaannya dapat dipaksakan. Kekuasaan dapat dibedakan: pertama yang cenderung berbentuk perbuatan phisik atau merupakan kekuatan (power, macht); dan yang kedua kekuasaan yang bersumber pada wewenang formal atau adanya pembenaran atau pengakuan dari masyarakat atau dari penguasa yang lebih tinggi, ini dapat disebut sebagai wewenang (authority, legalized power, gezag). Hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan yang erat dan hubungan timbal balik. Hukum tanpa didukung kekuasaan, itu hanya akan seperti kaidah sosial yang lain, hanya merupakan anjuran atau pedoman saja tanpa akibat yang tegas, bahkan dapat dikatakan hanyalah sebagai angan-angan saja. Sebaliknya kekuasaan tanpa hukum, itu adalah kesewenang-wenangan atau kezaliman. Hukum sendiri sebenarnya juga dapat dianggap sebagai kekuasaan, yaitu apabila hukum itu dianggap patut oleh warga masyarakat. Dengan perkataan lain hukum mempunyai kekuasaan kesusilaan, hukum menyentuh hati nurani manusia, sehingga anggota masyarakat pada umumnya merasa wajib melaksanakan hukum, dan apabila tidak, mereka akan menyesal. C. Hubungan Hukum dengan Sanksi Kekuasaan untuk memaksakan berlakunya hukum dalam masyarakat dapat juga diujudkan dalam bentuk sanksi. Dalam hal tersebut, sanksi bukan merupakan unsur pokok atau essensiil dari hukum, tetapi hanyalah sebagai unsur tambahan atau pelengkap. Sebagai unsur tambahan, sanksi baru diperlukan apabila hukum dilanggar dan oleh karenanya maka harus ditegakan. Bahkan ada peraturan hukum yang tidak memiliki sanksi, yaitu yang disebut lex imperfecta. Sanksi yang biasa dibicarakan atau sudah dianggap sebagai pendapat umum adalah sanksi dalam arti negatif{ yang baru diterapkan karena terjadi pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum bermacam-macam, misalnya: dalam hukum pidana disebabkan terjadinya delict; dalam hukum perdata disebabkan terjadinya onrechtmatige daad atau disebabkan terjadinya wanprestatie; dalam hukum tata pemerintahan disebabkan terjadinya onrechtmatige overheid daad atau detournement de pouvoir atau excess de pouvoir. Sesuai dengan macamnya pelanggaran hukum dalam bidang hukum yang berbeda-beda, maka sanksi yang dapat diterapkan juga bermacam-macam dan itu tergantung pelanggaran yang telah dilakukan itu termasuk dalam bidang ,hukum yang mana. Kalau pada lex imperfecta adalah peraturan hukum yang tidak memiliki sanksi, lain halnya pada perikatan alam atau obligatio naturalis atau natuurlijke verbintenis adalah kaidah hukum yang memuat sanksi atau memuat kewajiban, namun pemenuhannya tidak dapat dituntut melalui pengadilan. D. Penyimpangan Kaidah Hukum Pada hakekatnya setiap orang yang melanggar hukum harus dihukum, sebab apabila tidak, maka fungsi hukum akan sama seperti kaidah sosial yang lain. Namun demikian tidak berarti setiap ada perilaku yang menyimpang dari hukum, pelakunya harus dihukum. Penyimpangan terhadap kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua : pertama yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum, dan kedua yang dikualifikasikan sebagai pengecualian atau dispensasi (uitzonderingsgevallen). Pengecualian atau dispensasi pada hakekatnya juga termasuk pelanggaran hukum, tetapi si pelaku tidak dihukum sebab perbuatannya dibenarkan atau ada dasar pembenaran (rechtvaardigingsgrond), atau si pelaku dibebaskan dari kesalahan (schuldophffingsgrond). Berarti perbuatan yang pada hakekatnya melanggar hukum, tetapi undang-undang membenarkan atau memaafkan. Alasan Pemaaf Sebenarnya termasuk penyimpangan yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran hukum, tetapi dikecualikan dari jenis pelanggaran yang lain dan oleh karena itu tidak dikenai sanksi. Dengan perkataan lain kesalahan si pelaku dimaafkan. Adapun alasan-alasannya seperti yang termuat dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Si pelaku dianggap kurang sempurna akalnya (idiot, buta tuli dan bisu sejak lahir) ia cacat sejak lahir dan pikirannya tetap seperti kanak-kanak. Bisa juga akibat sakit sehingga berubah akalnya (sakit gila dan penyakit gila lainnya yang cukup parah), minum minuman keras yang menyebabkan mabuk sedemikian rupa sehingga ingatannya hilang sama sekali. Anak yang belum dewasa, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan pada saat si pelaku belum berumur 16 tahun. Orang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (overmacht : force majeure) oleh kekuasaan yang tak dapat dihindarkan, maka ia tidak dihukum. Kata "terpaksa" dalam arti baik paksaan bathin maupun lahir, rokhani maupun Jasmani. Pengaruh daya paksa sebagai alasan pemaaf dibedakan menjadi dua yaitu: yang bersifat absolut, misalnya A dipegang tangannya secara paksa oleh B yang lebih kuat untuk menulis tanda tangan palsu, atau seseorang yang dihipnotis untuk melakukan perbuatan pidana; yang bersifat relatif, misalnya seorang kasir ditodong pistol disuruh menyerahkan sejumlah uang tertentu. Dalam hal ini sebenarnya kasir tersebut yang melakukan perbuatan, tetapi ia tidak mungkin mengadakan perlawanan, karena ancamannya terlalu kuat. Alasan Pembenar Termasuk perbuatan yang pada hakekatnya melanggar hukum, tetapi dikecualikan dan si pelaku tidak dihukum karena ada dasar pembenar, adalah: 1. Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan darurat (Pasal 48 KUHP) sebagai alasan pembenar itu berbeda dengan perbuatan yang dilakukan karena pengaruh daya paksa yang bersifat relatif. Pada keadaan darurat, terjadi konflik kepentingan hukum atau konflik antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum di mana kepentingan yang kecil harus dikorbankan terhadap kepentingan yang lebih besar. Perbuatan yang dilakukan itu harus sungguh-sungguh dalam keadaan terpaksa untuk membela diri dan tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu. 2. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 KUHP) atau pembelaan dalam keadaan darurat adalah sebagai alasan pembenar yang membebaskan seseorang dari hukuman, karena si pelaku terpaksa mempertahankan dirinya sendiri atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda miliknya sendiri atau milik orang lain, dari serangan yang melawan hak dan bersifat mendadak atau datangnya sekonyong-konyong. 3. Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP) sebagai alasan pembenar yang membebaskan seseorang dari hukuman, karena undang-undang menghalalkan perbuatan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang. Melaksanakan ketentuan undang-undang itu tidak terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, tetapi juga meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh undang-undang. 4. Melaksanakan perintah jabatan dari kekuasaan yang berwenang (Pasal 5l KUHP) sebagai alasan pembenar yang membebaskan hukuman. Di sini disyaratkan ada hubungan yang bersifat kepegawaian (negeri) antara yang diperintah dan yang memerintah. Di samping itu yang memerintah haruslah mempunyai kewenangan untuk itu. Andaikata yang memerintah sebenarnya tidak mempunyai kewenangan, tetapi yang diperintah (bawahannya) dengan itikad baik mengira, bahwa perintah tersebut sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu, maka orang itu tidak dapat dihukum. MODUL 3 : SUMBER HUKUM KB1. PENGERTIAN SUMBER HUKUM, 2 (DUA) ARTI SUMBER HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SEBAGAI BENTUK SUMBER HUKUM FORMAL A. Pengertian Sumber Hukum Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat, dengan tujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera. Sebagai alat perlengkapan manusia dalam hidup bermasyarakat, hukum berasal dan berakar dari masyarakat itu sendiri. Bahan atau materi hukum berasal atau ada dalam kehidupan masyarakat. Hukum timbul melalui proses sosial atau tercipta karena memang sengaja dibentuk oleh pihak yang mempunyai kewenangan atau mendapatkan pembenaran dari masyarakat yang bersangkutan. Untuk mendapatkan bahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan atau untuk mengetahui dan menemukan hukum, serta selanjutnya dapat menerapkannya dalam kasus konkrit, kita harus menemukan sumber hukum. Di samping sumber hukum sebagai tempat untuk menemukan atau menggali hukum, juga sebagai dasar untuk mengikatnya hukum. Sumber hukum diartikan juga sebagai sumber pengenal (kenbron) dan sumber asal (welbron). Sumber pengenal adalah bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk menemukan hukum atau merupakan tempat di mana suatu peraturan perundang-undangan diundangkan. Sumber hukum adalah segala apa saja (sesuatu) yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Yang dimaksud dengan segala apa saja (sesuatu) yakni faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal, darimana hukum itu dapat ditemukan. dsb. Sebenarnya untuk memberikan pengertian tentang sumber hukum tidaklah mudah, sebab kata "sumber hukum" dapat dipergunakan dalam pelbagai arti tergantung dari sudut mana titik tolak pandangan yang digunakan. Hal tersebut disebabkan perkataan sumber hukum dipakai dalam arti sejarah, kemasyarakatan, filsafat dan dalam arti formal. Secara sederhana, sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat ditemukannya aturan-aturan hukum. B. Sumber Hukum Material dan Formal Sumber Hukum dibagi menjadi dua, yaitu Sumber Hukum Material dan Sumber hukum Formal. 1. Sumber hukum material, karena dilihat dari segi isinya, sumber hukum adalah merupakan tempat diambilnya bahan atau materi hukum. Sumber hukum material, merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Dalam pembentukan hukum positif itu dipengaruhi oleh banyak faktor, Adapun faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum meliputi 1. Faktor kemasyarakatan, yaitu berupa segala sesuatu yang benar-benar hidup dalam masyarakat, antara lain berupa : a. struktur ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan yang lain; b. kebiasaan; c. hukum yang berlaku (mengingat bahwa hukum mempunyai sifat kesejarahan); d. agama, kesusilaan dan kesadaran hukum; 5. sistem hukum negara-negara lain. 2. Faktor-faktor idiil, adalah merupakan cita-cita hukum (Rechtsidee). Sebagian sarjana mengatakan bahwa yang merupakan faktor idiil yang secara langsung adalah keadilan. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa keadilan merupakan titik sentral penegakan hukum, sedangkan yang merupakan faktor idiil yang secara tidak langsung atau dianggap sebagai tujuan akhirnya adalah kesejahteraan umum. Sumber hukum material dapat dilihat dari 4 sudut pandangan, yaitu : 1. Sumber hukum dalam arti sejarah, yang dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Sebagai sumber pengenal hukum atau sumber informasi, yaitu berupa segala sesuatu yang dapat memberi informasi tentang hukum dari suatu bangsa atau negara. b. Sebagai sumber bahan, yaitu berupa sumber bagi pembentuk undang-undang mengambil bahannya. 2. Sumber hukum dalam arti sosiologis, adalah sumber hukum yang dihubungkan dengan masyarakat, sebagai sumber hukumnya adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. 3. sumber hukum dalam arti ekonomis, adalah sumber hukum yang dihubungkan dengan kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang menjadi tuntutan setiap anggota masyarakat, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan vital.. 4. Sumber hukum dalam arti filosofis, dibedakan menjadi dua, yaitu a. Sumber isi hukum yang melahirkan beberapa teori 1. Teori teokrasi, yang mengatakan bahwa isi hukum berasal dari Tuhan. 2. Teori hukum kodrat yang rasionalistis, yang mengatakan bahwa isi hukum bersumber dari rasio atau akal manusia. 3. Teori historis, yang mengatakan bahwa isi hukum bersumber pada kesadaran hukum dari suatu bangsa b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum. Sebenarnya kekuatan mengikatnya hukum adalah kesadaran hukum dan juga bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan. 2. Sumber Hukum Formal, karena dilihat hanya dari segi cara terjadinya dan bentuknya hukum positif, tanpa mempersoalkan asal-usul isi peraturan hukum itu sendiri. Bentuk sumber hukum formal inilah yang menyebabkan hukum berlaku (menjadi causa eficiens). Dengan telah memperoleh bentuk-bentuk tertentu, maka pandangan hukum atau kesadaran hukum masyarakat diperhatikan dan diberi sanksi oleh pemerintah. Dengan perkataan lain, dalam sumber hukum formal, maka pandangan hukum, kesadaran hukum dipositifkan atau dijadikan hukum positif. C. Bentuk-Bentuk Sumber Hukum Formal Bentuk – bentuk sumber hukum menurut beberapa ahli : 1. L.J. van Apeldoorn membagi sumber hukum formal menjadi: a. undang-undang; berhubung dengan kesadaran hukum yang berlaku menentukan bahwa kita harus tunduk kepada pembentuk undang-undang b. Kebiasaan; c. Traktat. berhubung dengan kesadaran hukum yang berlaku menentukan bahwa perjanjian harus dihormati atau dipenuhi berlaku asas pacta servanda sunt. Ketiga bentuk tersebut sebagai sumber hukum formal, karena hanya dalam bentuk-bentuk tersebut terjadi peraturan hukum yang mengikat secara umum. 2. G.W. Paton membagi sumber hukum formal (the formal sources of law) menjadi: a. Kebiasaan (custom); b. Metode judisiil atau segala sesuatu yang berhubungan dengan pengadilan (the judicial method); c. Undang-undang dan kitab hukum (statutes and codes); d. Karangan-karangan ahli hukum dan pendapat ahli (juristic writings and proffesional opinion) 3. E. Utrecht dan juga C.S.T. Kansil membagi sumber hukum formal menjadi : a. Undang-undang; b. Kebiasaan; c. Keputusan hakim (yurisprudensi); d. Traktat (treaty); e. Pendapat sarjana hukum atau ahli hukum yang terkenal (doktrin). 4. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa pada umumnya yang diakui sebagai sumber hukum formal adalah: l. Undang-undang; 2. Perjanjian antar negara; 3 . Yurisprudensi; 4. Kebiasaan. Dengan digunakan kata "pada umumnya" berarti penyebutannya tidak limitatif, masih menerima adanya sumber hukum formal lain. Hal ini terbukti dalam uraian berikutnya tentang sumber hukum masih disebutkan: 5. Doktrin; 6. Perjanjian; 7. Kesadaran hukum (Mertokusumo, 1986 :63 -99). 5. Achmad Sanusi membagi sumber hukum formal menjadi dua kelompok, yaitu : a. Sumber hukum normal yang dibagi lebih lanjut menjadi : 1. Sumber hukum normal langsung, artinya mendapatkan pengakuan undang-undang, yaitu: l. Undang-undang; 2. Perjanjian antar negara;3. Kebiasaan. 2. Sumber hukum normal tidak langsung, artinya menjadi sumber hukum atas pengakuan undang-undang, atau karena melalui kebiasaan, yaitu: 1.Persetujuan biasa);2. Doktrin;3. Yurisprudensi. b. Sumber hukum abnormal, dikatakan abnormal sebab tidak dapat dicarikan pada sumber-sumber hukum yang normal, ia justru merupakan "tantangan" terhadap tata tertib hukum yang berlaku pada saat itu, termasuk kelompok ini, yaitu: l. Proklamasi Kemerdekaan;2. Revolusi; 3. Coup d'etat yang berhasil; 4. Takluknya sesuatu negara kepada negara lain. D. Undang – Undang Undang-undang sebagai sumber hukum formal mempunyai dua arti, yaitu: undangundang dalam arti formal dan undang-undang dalam arti material Undang-undang dalam arti formal adalah setiap keputusan atau ketetapan dari pemerintah yang disebut sebagai undangundang karena dilihat dari bentuk dan cara terjadinya atau dilihat dari cara pembentukannya. Undang-undang dalam arti material, atau istilah yang tepat peraturan perundangundangan, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Jadi yang menjadi tolok ukur adalah isinya. Undangundang dalam arti material mempunyai tingkatan-tingkatan atau tata urutan (hierarchie). Tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (l) UU No. l0 Tahun 2004 secara berturut-turut adalah : 1. UUD Negara RI Tahun 1945 (atau biasa disebut UUD 1945); 2. Undang-undang,/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; dan 5. Peraturan Daerah yang meliputi: Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Kabupaten dan Peraturan Desa. E. Pengundangan Pada jaman pemerintahan Hindia Belanda, peraturan perundang-undangan tingkat pusat diundangkan dalam Staatsblad. Selain itu juga terdapat Bijblad op het Staatsblad dan de Javasche Courant (merupakan Berita Negara). Pada jaman pendudukan Jepang, Osamu Kanrei dan Osamu Kanrei dimuat dalam Kan Po. Pengundangan peraturan perundang-undangan sekarang berdasarkan UU No. l0 Tahun 2004. Fungsi pengundangan adalah agar setiap orang mengetahuinya, sedangkan tujuannya agar setiap orang terikat untuk mengakui eksistensinya. Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah dan Berita Daerah. Kalau dilihat dari macam peraturan perundang-undangannya ada 4 (empat) tempat pengundangan, yaitu Lembaran Negara Republik Indonesia (termasuk Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia); Berita Negara Republik Indonesia (termasuk Tambahan Berita Negara Republik Indonesia), Lembaran Daerah dan Berita Daerah. Setelah undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara, maka undang-undang sah berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat umum atau mengikat setiap orang. Artinya setiap orang terikat untuk mengakui eksistensinya, dan setiap orang dianggap tahu undang-undang (iedereen wordt geacht de wet te kennen). Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkannya, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundangundangan yang bersangkutan . Berlakunya peraturan perundang-undangan dapat tidak sama dengan tanggal pengundangan, sebab dapat terjadi masih diperlukan persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana peraturan perundang-undangan tersebut. F. Asas - Asas Peraturan Perundang - Undangan Penggunaan istilah undang-undang tidak hanya dimaksudkan untuk menyebutkan bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR bersama-sama Presiden (undang-undang dalam arti sempit), tetapi juga yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga lain (khususnya lembaga-lembaga yang lebih rendah). Dengan perkataan lain, kata "undangundang" digunakan dalam arti luas. 1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut Pada asasnya suatu peraturan perundang-undangan baru berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat sesudah diundangkan menurut cara yang sah. Oleh sebab itu saat mulai berlakunya tidak dapat ditentukan pada tanggal yang lebih awal daripada tanggal pengundangannya. Dengan perkataan lain, peraturan perundang-undangan pada asasnya dibuat untuk mengatur hal-hal yang terjadi setelah undang-undang itu diundangkan. 2. Sistem peraturan perundang-undangan mengenal adanya tingkatan-tingkatan atau kewerdaan atau tata urutan (hierarchie) Apabila ada dua peraturan perundang-undangan yang tidak sama tingkatannya mengatur materi yang sama, tetapi isinya saling bertentangan, maka berlaku adagium Lex superior derogat legi inferiori. Arti adagium tersebut adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengesampingkan yang lebih rendah, apabila keduanya mengatur materi yang sama tetapi isinya saling bertentangan. 3. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. 4. Peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundangundangan yang lama. 5. Undang-undang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat .final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. KB2. KEBIASAAN, TREATY, YURISPRUDENSI, DOKTRIN, DAN PERJANJIAN A. Kebiasaan Kebiasaan merupakan sumber hukum yang paling tua. Kebiasaan sebagai perilaku yang secara berulang-ulang dilakukan dalam garis yang sama telah lahir sejak manusia hidup bermasyarakat. Peranan kebiasaan sangat penting dalam kondisi masyarakat yang sederhana, semakin modern atau komplek kehidupan masyarakat maka semakin berkurang peranan kebiasaan sebagai sumber hukum. Kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat akan menjadi hukum kebiasaan, apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu: 1. syarat material, yaitu adanya perilaku yang secara terus menerus dilakukan dalam hal yang sama atau menurut garis tingkah laku yang tetap; syarat psikologis atau intelektual, kebiasaan tersebut menimbulkan kesadaran atau 2. keyakinan umum bahwa seharusnya memang demikian (opinio necessitatis) dan diterima sebagai suatu kewajiban hukum; 3. adanya akibat hukum, artinya ada sanksinya kalau kebiasaan dilanggar. Dalam bidang hukum, di samping dikenal istilah hukum kebiasaan, juga dikenal istilah hukum adat. Baik hukum kebiasaan maupun hukum adat adalah sama-sama merupakan hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat yang bentuknya tidak tertulis. perbedaan antara hukum adat dengan hukum kebiasaan dapat dirumuskan sebagai berikut: bahwa dalam hukum adat di dalamnya tersimpul unsur-unsur tradisi, pengertian-pengertian sakral, cara-cara berpikir yang menghubungkan dunia lahir dan dunia gaib. Di dalam tata hukum Hindia Belanda dikenal sejenis hukum yang disebut adatrecht, yang oleh sebagian orang diterjemahkan sebagai hukum adat. sebenarnya istilah adatrecht pertama kali dikemukakan oleh c. Snouck Hurgronje. Menurut Kusumadi Pudjosewojo yang membedakan antara hukum adat dengan adatrecht dapat ditarik adanya 2 hal yang membedakan, yaitu: pertama Hukum adat berlaku bagi Bumiputera, sedangkan adatrecht berlaku bagi Bumiputera dan orang Timur Asing; kedua Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, sedangkan adatrecht sebagian besar adalah hukum yang tidak tertulis tetapi ada bagian yang tertulis (terapi tidak dikodifikasikan). Antara undang-undang dan hukum kebiasaan, itu ada persamaannya, yaitu: sama-sama sebagai penegasan dari gambaran hukum, pandangan hukum atau kesadaran hukum masyarakat, dan juga sama-sama sebagai sumber hukum formal. Adapun perbedaannya dapat dilihat dari 3 (tiga) segi, yaitu : 1. Undang-undang bentuknya tertulis, sedangkan hukum kebiasaan bentuknya tidak tertulis. 2. Undang-undang merupakan peraturan yang sengaja dibuat secara resmi oleh pemerintah. Kebiasaan merupakan peraturan yang timbul dari pergaulan hidup, yang tidak sengaja dibuat, tetapi timbul dari masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, kalau dilihat dari inisiatif terjadinya dapat dikatakan bahwa undang-undang bersifat heteronom, sedangkan hukum kebiasaan bersifat otonom. 3. undang-undang memberikan kepastian hukum yang lebih besar, sebab bentuknya tertulis dan perumusannya jelas, berbeda halnya dengan kebiasaan. Dalam hukum positif Indonesia, hukum adat atau hukum kebiasaan dan undangundang derajatnya diakui sama. Hakim tidak hanya terikat pada undang-undang saja, tetapi juga pada hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah merupakan sumber hukum, bahkan melalui putusan hakim, hukum kebiasaan dapat mengesampingkan ketentuan undang-undang. B. Treaty Di samping undang-undang dan kebiasaan, diakui juga perjanjian antar negara (treaty dan tractaat), sebagai sumber hukum formal. Sebagai sumber hukum formal, treaty memuat ketentuan hukum yang mengikat secara umum, artinya mengikat warga negara dari negara yang mengadakan perjanjian tersebut atau yang menjadi pihak dalam perjanjian. Treaty mengikat setelah negara yang bersangkutan meratifikasinya. Berdasarkan banyaknya negara yang mengadakan perjanjian antar negara, tractaat dapat dibedakan menjadi : Tractaat Bilateraal, yaitu yang diadakan hanya oleh dua negara dan Tractaat Multilateraal, yaitu. yang diadakan lebih dari dua negara. Pada umumnya lahirnya tractaat melalui tiga tahap, yaitu: Tahap perundingan, yang dimulai dengan tahap proses negosiasi. Kalau bentuknya bilateral maka perundingan secara bilateral, sedangkan jika multilateral maka perundingan dilakukan secara multilateral di antara negara-negara peserta; Tahap penandatanganan, yang diawali dengan proses perumusan traktat, kalau semua peserta menyetujui dilanjutkan penandatanganan oleh semua negara peserta; Tahap ratifikasi, supaya traktat berlaku dan mengikat negara peserta, maka piagam haruslah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara peserta C. Yurisprudensi Yurisprudensi atau putusan hakim, atau ada yang menyebut pula dengan istilah peradilan. Peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara, serta bebas dari pengaruh apa/siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa serta bertujuan mencegah eigenrichting (Mertokusumo' 1990 : 89 -90), Kata "yurisprudensi" dalam ilmu pengetahuan hukum mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu diartikan sebagai: 1. putusan hakim; 2. kumpulan putusan-putusan hakim yang disusun secara sistematis dan diberi anotasi (catatan); 3. ajaran hukum yang diciptakan oleh peradilan dan dipertahankan dengan putusan hakim. Ada tiga alasan yang menjadi penyebab seorang hakim mengikuti keputusan hakim lain dalam menjatuhkan putusan yang sejenis, yaitu (Utrecht, l97l : 138 *139). 1. Alasan psikologis, yaitu Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag), terutama apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung. keputusannya. 2. Alasan praktis yaitu apabila seorang hakim dalam perkara yang sejenis, memutus yang isinya berlainan dengan isi keputusan seorang hakim yang kedudukannya lebih tinggi, maka sudah barang tentu, pihak yang tidak puas dengan keputusan tersebut cenderung akan mohon apel atau revisi kepada hakim yang lebih tinggi kedudukannya 3. Alasan persesuaian pendapat, yaitu hakim mengikuti putusan hakim lain dalam memutus perkara yang sejenis, karena ia sependapat dengan isi putusan hakim lain tersebut. D. Doktrin Doktrin atau ajaran hukum (pendapat umum para sarjana atau ahli hukum)sebagai sumber tempat hakim menggali untuk mendapatkan bahan guna mendukung putusannya, sehingga putusannya tersebut dapat dipertanggung jawabkan kepada semua pihak, berarti juga akan mempunyai nilai obyektif dan berwibawa. Di samping alasan tersebut sebenarnya masih ada 2 (dua) alasan lain yang memperkuat diterimanya doktrin sebagai sumber hukum formal, yaitu: 1. Ada larangan bagi hakim menolak untuk memeriksa, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 16 ayat (l) UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 22 AB). 2. Tidak ada larangan bagi hakim untuk menggunakan doktrin atau ajaran ajaran hukum dari para sarjana atau ahli hukum di dalam pertimbangan pertimbangan hakim untuk memutus perkara. Doktrin bukan merupakan hukum, oleh sebab itu tidak mempunyai kekuatan mengikat. Namun demikian ada juga doktrin atau ajaran hukum yang dibukukan dan dianggap mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, sehingga digunakan dalam peradilan. Beberapa diantara kitab hukum itu adalah: di Normandi - Grand Coutumier de Normandie (abad ke 13) yang penulisnya tidak dikenal, di Jerman Utara -- Saksenspiegel (tahun 1230) dari Eike van Repgau. Contoh lain, seperti di Inggris pada abad pertengahan yang terkenal dengan sebutan sebagai books of authority, salah satu diantaranya adalah Commentaries on the laws of England dari Sir William Blackstone (Apeldoorn, l97l : 177). Dalam dunia Islam ada empat mazhab yang terkenal, yaitu: 1. mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Abu Hanafi (699 - 767);2. mazhab Syafi'i, yang didirikan oleh Muhammad ibn Idris as Syafi'i (757 - 820);3. mazhab Maliki, yang didirikan oleh Malik ibn Annas (713 *795) dan 4. mazhab Hambali, yang didirikan oleh Ahmad ibn Hambali (807 * 855). Tiap-tiap mazhab memiliki buku hukum (fiqh) tersendiri. E. Perjanjian Menurut Pasal 1313 KUHP Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu sama lain atau lebih. Pengertian perjanjian disini tidak memberi petunjuk syarat terjadinya perjanjian yang mempunyai akibat hukum. Maka pengertian perjanjian perlu diperjelas menjadi : Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Perjanjian adalah sah, apabila memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHP, yaitu adanya: konsensus atau kata sepakat para pihak yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; suatu hal atau obyek tertentu; dan suatu sebab atau kuasa yang dibolehkan. Hubungan hukum yang terjadi mempunyai 3 (tiga) unsur, yaitu: adanya dua pihak yang saling berhadapan, yang satu sebagai orang yang berhak (kreditur) dan yang lain sebagai orang yang berkewajiban (debitur); adanya obyek sebagai sasaran hak dan kewajiban; dan adanya hubungan antara orang-orang tersebut dengan obyek yang bersangkutan. Asas-asas yang penting dalam perjanjian Asas konsensualisme, asas ini berhubungan dengan terjadinya perjanjian, yaitu untuk terjadinya suatu perjanjian disyaratkan harus ada kata sepakat. Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda), asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas kebebasan berkontrak, asas ini menjamin kebebasan para pihak untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun dan juga bebas untuk menentukan isi perjanjian, asal perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang baik. Asas itikad baik (te goeder trouw), asas ini berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian.. Dalam batas-batas tertentu dapatlah dikatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu sama dengan undang-undang, yaitu sama-sama membentuk hukum. Namun demikian dalam garis besarnya dapatlah dibedakan, yaitu: 1. Undang-undang terjadi karena kehendak dari satu pihak saja, yaitu pembentuk undangundang, sedangkan perjanjian terjadi karena kehendak dari keduabelah pihak, yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian. 2. Undang-undang membentuk peraturan hukum in abstracto, berlaku umum bagi setiap orang, sedangkan perjanjian membentuk hukum in concreto, yaitu berlaku secara khusus bagi para pihak yang membuatnya. 3. Undang-undang mengikat dengan tiada didasarkan pada kehendak perseorangan, sedangkan perjanjian ditaati karena kehendak secara suka rela dari para pihak yang bersangkutan. Kesimpulannya yaitu Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hubungan hukum mengandung dua segi, yaitu: merupakan hak dan merupakan kewajiban. Adapun unsur-unsur hak ada 4 (empat), yaitu: adanya subyek hukum; adanya obyek hukum; adanya hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan suatu kewajiban; dan adanya perlindungan hukum.