Resume Modul 1-3

advertisement
MODUL 1 : KAIDAH SOSIAL
KB 1. MASYARAKAT DAN KAIDAH SOSIAL
A. Manusia dan Masyarakat
Menurut pendapat Aristoteles (Yunani, 384-322 SM), bahwa manusia itu adalah ZOON
POLITICON artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul
dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan
oleh karena sifatnya suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial,
artinya manusia sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Manusia disebut
juga sebagai makhluk monodualistik yaitu manusia selain sebagai makhluk individu
(perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri namun manusia juga sebagai
makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup dan berkembang
dan meninggal dunia di dalam masyarakat.
Dalam kedudukannya selaku individu, manusia tidak mungkin dapat memenuhi segala
kebutuhan hidupnya secara penuh, oleh sebab itu manusia terpaksa harus hidup
bermasyarakat atau terpaksa harus hidup bersama-sama dengan manusia yang lain dalam
masyarakat. Masyarakat terbentuk, apabila sedikitnya ada dua orang atau lebih yang hidup
bersama, mereka saling berhubungan, saling pengaruh-mempengaruhi, saling tergantung dan
saling terikat satu sama lain.
Dalam hidup bermasyarakat antara manusia yang satu dengan yang lain selalu
berhubungan atau antara ego (manusia yang beraksi) selalu berinteraksi dengan alter (manusia
yang bereaksi). Hubungan tersebut disebut interaksi sosial, yaitu adanya hubungan yang
bertimbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi antara manusia yang satu dengan yang
lain, antara manusia selaku individu dengan kelompok, antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain dengan ciri-ciri interaksi sosial, yaitu:
1. Minimal ada dua orang yang mengadakan interaksi;
2. Dalam mengadakan interaksi menggunakan bahasa yang saling dimengerti di antara ego
dan alter;
3. Dalam kurun waktu yang cukup lama, artinya tidak hanya sesaat;
4. Adanya tujuan-tujuan tertentu yang mempersatukan.
Terbentuknya masyarakat dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Ada yang terjadi dengan sendirinya yang dapat disebut sebagai bentuk masyarakat
merdeka, contohnya :
a. Terbentuknya disengaja berdasarkan kehendak bebas dari para anggotanya yang
disebut masyarakat alam, misalnya secara kebetulan ada beberapa orang berada di
suatu tempat yang sama dalam kurun waktu yang lama, mereka saling mengenal,
saling berhubungan, dan akhirnya saling pengaruh mempengaruhi, saling tergantung,
serta saling terikat satu dengan yang lain
b. Bentuk masyarakat yang sengaja dibentuk dengan sengaja oleh para anggotanya atas
dasar kepentingan tertentu tersebut disebut sebagai masyarakat budidaya, misalnya
kepentingan keduniawian atau kepentingan keagamaan.
2. Masyarakat paksaan, misalnya yang terjadi karena ada pihak-pihak tertentu atau pihak
eksternal yang sengaja membentuknya, ada yang tidak dikehendaki secara sadar oleh para
anggotanya seperti masyarakat tawanan yang ditempatkan di suatu tempat terisolasi, dan
ada lagi bahwa paksaan tersebut ternyata akhirnya memang dikehendaki oleh para
anggotanya, misalnya negara.
Kriteria dasar pembedaan bentuk-bentuk masyarakat, ada 3 yaitu:
1. Dilihat dari besar-kecilnya dan dasar hubungan kekeluargaannya, masyarakat
dibedakan menjadi: keluarga inti (nuclear family) terdiri dari ayah, ibu dan anakanaknya, keluarga luas (extended family) terdiri dari orang tua, saudara kandung,
saudara sepupu, paman, bibi dan sanak saudara sedarah yang lain; suku dan bangsa;
2. Dilihat dari dasar sifat hubungannya erat atau tidak, masyarakat dibedakan menjadi :
masyarakat paguyuban (Gemeinschaft) yaitu yang hubungan di antara para anggotanya
didasarkan
pada
rasa
guyub
sehingga
menimbulkan
ikatan
batin
tanpa
memperhitungkan untung dan rugi, seperti keluarga; masyarakat patembayan
(Gesselschaft)
yaitu
yang
hubungan
di
antara
para
anggotanya
sudah
memperhitungkan untung dan rugi, atau mereka disatukan karena mempunyai tujuan
untuk mencari keuntungan material, seperti Perseroan Terbatas, Firma;
3. Dilihat dari dasar perikehidupannya atau kebudayaannya, masyarakat dibedakan
menjadi: masyarakat primitif dibedakan dengan masyarakat modern, masyarakat desa
dibedakan dengan masyarakat kota, masyarakat teritorial yang terbentuk karena
mempunyai tempat tinggal yang sama, masyarakat genealogis disatukan karena
mempunyai pertalian darah, masyarakat teritorial genealogis yang terbentuk karena di
antara para anggotanya mempunyai pertalian darah dan secara kebetulan juga
bertempat tinggal dalam satu daerah.
B. Kaidah Sosial Sebagai Perlindungan Kepentingan Manusia
Manusia yang hidup bermasyarakat, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan
tertentu, tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Sikap-sikap manusia kemudian
membentuk kaidah-kaidah, karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas.
Kehidupan yang teratur dan sepantasnya menurut manusia yang satu dengan yang lain bel,m
tentu sama, oleh karena itu diperlukan patokan-patokan yang berupa kaidah (Rasjidi,
1988:35). Kaidah sosial atau norma sosial adalah peraturan hidup yang menetapkan
bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat. Atau dapat juga
dikatakan kaidah sosial adalah pedoman tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat,
yang fungsinya melindungi kepentingan manusia baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial baik terhadap ancaman yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam
(manusia sendiri). dengan jalan menertibkan.
Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan terhadap kepentingan
manusia, di samping itu juga hendak dicegah terjadinya bentrokan-bentrokan kepentingan
manusia, sehingga terciptalah tata kehidupan masyarakat yang damai atau tata kehidupan
masyarakat yang tertib dan tenteram.
C. Jenis-jenis Kaidah Sosial
Kaidah sosial tumbuh sejak manusia mengenal hidup bermasyarakat. Pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat yang merupakan mata rantai dari pertumbuhan dan perkembangan
kepentingan manusia melahirkan beberapa macam kaidah atau norma.
Jenis – jenis kaidah sosial menurut para ahli:
1.
Mochtar Kusumaatmadja ( 1980) menyebutkan tiga macam, yaitu: kaidah kesusilaan,
kesopanan, dan hukum.
2.
Satjipto Rahardjo (1982 : 15) menyebutkan tiga macam juga, tetapi dengan perumusan
yang berbeda, dalam uraiannya menyebut bentuk peraturannya dengan istilah tatanan.
a. Tatanan kebiasaan sebagai tatanan yang dekat sekali dengan kenyataan, artinya apa
yang biasa dilakukan orang-orang setelah melalui pengujian keteraturan dan keajekan
akhirnya dengan kesadaran masyarakat menerimanya sebagai kaidah kebiasaan.
b. Tatanan hukum juga berpegang pada kenyataan sehari-hari, tetapi sudah mulai
menjauh, namun proses penjauhannya belum berjalan secara saksama.
c. Tatanan kesusilaan adalah sama mutlaknya dengan tatanan kebiasaan, dengan
kedudukan yang terbalik.
3.
Soerjono Soekanto (1980: 67-68) menyebutkan empat kaidah, yaitu:
a. Kaidah kepercayaan atau Kaidah agama adalah sebagai peraturan hidup yang oleh
para pemeluknya dianggap sebagai perintah dari Tuhan, atau dapat dikatakan bahwa
kaidah agama berpangkal pada kepercayaan kepada Tuhan Kaidah
b. Kesusilaan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber pada rasa kesusilaan
dalam masyarakat dan sebagai pendukungnya adalah hati nurani manusia itu sendiri.
Kaidah kesopanan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber pada kepatutan,
kebiasaan atau kesopanan dalam masyarakat. Kaidah kesusilaan dianggap sebagai
kaidah yang paling tua dan paling asli dan terdapat dalam diri sanubari manusia itu
sendiri sebagai makhluk bermoral, dan terdapat pada setiap manusia di manapun ia
berada.
c. Kaidah kesopanan timbul atau diadakan oleh masyarakat dan dimaksudkan untuk
mengatur pergaulan hidup, sehingga tiap-tiap warga masyarakat saling hormatmenghormati.
d. Kaidah hukum adalah sebagai peraturan hidup yang sengaja dibuat atau yang tumbuh
dari pergaulan hidup dan selanjutnya dipositifkan secara resmi oleh penguasa
masyarakat atau penguasa negara. Kaidah hukum diharapkan dapat melindungi dan
memenuhi segala kepentingan hidup manusia dalam hidup bermasyarakat.
Perlindungan terhadap kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat yang diberikan
oleh kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan, ternyata belum cukup atau
dirasakan masih kurang memuaskan, Oleh sebab itu diperlukan kaidah hukum. Fungsi khusus
kaidah hukum dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial yang lain ada dua, yaitu:
pertama untuk memberikan perlindungan secara lebih tegas terhadap kepentingankepentingan manusia yang telah dilindungi oleh ketiga kaidah sosial yang lain; kedua untuk
memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan manusia yang belum dilindungi
oleh ketiga kaidah sosial yang lain. Kaidah hukum memberikan perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan manusia yang belum dilindungi oleh ketiga kaidah sosial yang lain.
KB 2. KAIDAH HUKUM DAN KAIDAH SOSIAL YANG LAIN
A. Kaidah Hukum Sebagai Perlindungan Kepentingan Manusia
Masyarakat
terdiri
dari
beribu-ribu orang,
yang masing-masing mempunyai
kepentingan, dan di antara kepentingan-kepentingan tersebut ada kemungkinan saling
berhubungan, atau sebaliknya saling bertentangan satu sama lain, atau mungkin
kepentingannya sama, tetapi tidak mungkin terpenuhi semua secara bersama-sama, sebab alat
pemuasnya yang terbatas. Dalam pemenuhan kebutuhannya, manusia harus selalu berusaha
agar ketertiban masyarakat tetap terpelihara. Ketertiban atau lengkapnya ketertiban dan
keteraturan adalah merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Timbulnya ketertiban dalam masyarakat, karena para anggota masyarakat mengetahui bahwa
ia tidak hidup sendiri, tetapi ia hidup bersama-sama dengan orang lain, di samping itu, ia juga
mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang seharusnya ia tinggalkan.
pengetahuan tersebut terjadi karena anggota masyarakat telah mendapatkan informasi dari
sistem petunjuk yang disebut kaidah sosial. cara mengorganisasi suatu kehidupan bersama
seperti itu disebut sistem sosial.
Agar dalam hubungan sosial atau hubungan kemasyarakatan berjalan secara tertib dan
teratur diperlukan adanya wadah. wadah tersebut biasa disebut lembaga sosial. Fungsi dari
lembaga sosial adalah untuk menyelenggarakan berbagai kepentingan manusia secara tertib
dan teratur. Mengingat ruang lingkup aspek kehidupan manusia itu sangat luas, maka
melahirkan banyak sekali lembaga-lembaga sosial sesuai dengan bidang kegiatan hubungan
sosial, misalnya dalam bidang pemerintahan, lalu-lintas, perdagangan, perjanjian, hubungan
kekeluargaan, dan lain sebagainya. usaha dan cara untuk mempertahankan sistem sosial biasa
disebut pengendalian sosial. Suatu pengendalian sosial yang baik dan berdaya guna serta
mampu menjamin pelaksanaan lembaga-lembaga sosial yang ada dalam sistem sosial,
memerlukan adanya sanksi. Sesuai dengan fungsinya tersebut, sanksi dapat dibedakan
menjadi: sanksi positif sebagai reaksi terhadap perbuatan-perbuatan yang baik dan diujudkan
dalam bentuk pemberian hadiah, pemberian piagam atau tanda penghargaan yang lain; sanksi
negatif sebagai reaksi terhadap perbuatan yang negatif atau suatu bentuk pelanggaran hukum
dan diwujudkan dalam bentuk hukuman atau pidana; sanksi responsif yang merupakan reaksi
secara spontan dari kedua belah pihak untuk sesegera mungkin memulihkan ketidak
seimbangan yang terjadi.
B. Dasar Psikologis Kaidah Hukum
Manusia hidup bermasyarakat adalah bukan sebagai makhluk yang dapat berbuat
seenaknya sendiri atau berbuat sebebas-bebasnya. Hidup bermasyarakat berarti ada sebagian
kebebasan manusia selaku pribadi yang dikurangi atau kebebasannya dibatasi, sebab ia
berhadapan dengan manusia lain yang juga mempunyai kebebasan. Dengan demikian manusia
yang hidup bermasyarakat harus mampu mengendalikan perilakunya dan dengan kesadaran
untuk menyesuaikan dengan tuntutan kelompoknya agar tercipta kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat, maka unsur kebebasan dan unsur keterikatan harus diatur atau harus diarahkan
secara proporsional. Berkaitan dengan ini, Sudikno Mertokusumo menegaskan seperti apa
yang dikemukakan oleh Zevenbergen bahwa dalam diri manusia terdapat tiga hasrat atau
nafsu, yaitu: hasrat yang individualistis (egoistis atau atomistis), hasrat yang kolektivistis
(tronspersonal atau organis) dan hasrat yang bersifat mengatur atau menjaga keseimbangan
yang berfungsi mengarahkan kedua hasrat yang lain.
C. Rasio Adanya Hukum
Akibat dari kontak dalam usaha manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya,
ada 2 (dua) kemungkinan : pertama kontak yang terjadi ternyata sejalan dan menguntungkan
kedua belah pihak, disebut sebagai kontak yang positif; kedua kontak yang terjadi ternyata
tidak sejalan dan mengakibatkan ada pihak yang dirugikan atau kontaknya tidak
menyenangkan, disebut sebagai kontak yang negatif. Kontak antar manusia baik yang positif
maupun yang negatif perlu diatur. Kontak yang menimbulkan konflik haruslah dicegah dan
keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu haruslah dinormalkan kembali, untuk itu
diperlukan kaidah hukum (atau biasa hanya disebut hukum).
Dalam hal ini fungsi hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial (social control),
yang isinya menganjurkan, menyuruh, atau memaksa agar anggota masyarakat mematuhi
hukum. Secara historis teoritis dapatlah dikatakan bahwa adanya pergeseran atau konflik
kepentingan manusia (conflict of human interest) adalah merupakan rasio adanya hukum, atau
dapat dikatakan bahwa dasar pemikiran (Raison d'etre) adanya hukum adalah adanya conflict
of human interest. Hubungan antara hukum dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena
masyarakat akan damai apabila ada hukum, sebaliknya hukum ada karena ada manusia yang
hidup bermasyarakat. Hukum yang berfungsi melindungi kepentingan manusia dengan jalan
mentertibkan, agar tercipta kedamaian hidup bersama, hukum juga harus berubah dan
berkembang mengikutinya, apabila tidak, maka hukum tidak dapat melaksanakan fungsinya
dengan baik.
Memang sering terjadi masyarakat berubahnya demikian cepat, lebih cepat
dibandingkan dengan perubahan hukum. Hal tersebut berakibat hukum ketinggalan atau tidak
sesuai lagi. Keadaan tersebut sempat menimbulkan sindiran, bahwa hukum berjalan
terpincang-pincang dibelakang peristiwanya (het recht hinkt achter de feiten aan).
D. Hubungan Kaidah Hukum dengan Kaidah Sosial Yang Lain
Kaidah hukum mempunyai dua fungsi dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial
yang lain (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) . Fungsi khusus kaidah
hukum yang pertama, diperoleh gambaran adanya hubungan fungsional antara kaidah hukum
dengan ketiga kaidah sosial yang lain. Hal ini berarti juga, walaupun keempat kaidah sosial
itu dapat dibedakan, namun tidak mudah untuk dipisahkan.
Kaidah hukum yang mempunyai fungsi khusus melindungi lebih lanjut atas
kepentingan-kepentingan manusia yang telah dilindungi oleh ketiga kaidah sosial yang lain, di
samping dengan perumusan yang jelas, tegas dan disertai dengan sanksi yang pelaksanaannya
dapat dipaksakan oleh instansi resmi, dalam perumusan kaidah hukum juga memperhatikan
apa yang dikehendaki oleh kaidah yang lain.
E. Persamaan dan Perbedaan Di antara Kaidah – Kaidah Sosial
Dalam garis besarnya persamaannya adalah terletak pada fungsinya, yaitu sebagai
perlindungan terhadap kepentingan manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk
sosial. Adapun perbedaannya dapat dilihat dari segi : tujuannya, isinya, asal-usulnya,
sanksinya, dan daya kerjanya.
Perbedaan antara kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya :
1. Perbedaan antara kaidah dengan kaidah agama dan kesusilaan dapat ditinjau dari
berbagai segi sebagai berikut :
• Ditinjau dari tujuannya, kaidah hukum bertujuan untuk menciptakan tata tertib
masyarakat dan melindungi manusia beserta kepentingannya. Sedangkan kaidah
agama dan kesusilaan bertujuan untuk memperbaiki pribadi agar menjadi manusia
ideal.
• Ditinjau dari sasarannya : kaidah hukum mengatur tingkah laku manusia dan
diberi sanksi bagi setiap pelanggarnya, sedangkan kaidah agama dan kaidah
kesusilaan mengatur sikap batin manusia sebagai pribadi. Kaidah hukum
menghendaki tingkah laku manusia sesuai dengan aturan sedangkan kaidah agama
dan kaidah kesusilaan menghendaki sikap batin setia pribadi itu baik.
• Ditinjau dari sumber sanksinya, kaidah hukum dan kaidah agama sumber
sanksinya berasal dari luar dan dipaksakan oleh kekuasaan dari luar diri manusia
(heteronom), sedangkan kaidah kesusilaan sanksinya berasal dan dipaksakan oleh
suara hati masing2 pelanggarnya (otonom).
• Ditinjau dari kekuatan mengikatnya, pelaksanaan kaidah hukum dipaksakan
secara nyata oleh kekuasaan dari luar, sedangkan pelaksanaan kaidah agama dan
kesusilaan pada asasnya tergantung pada yang bersangkutan.
• Ditinjau dari isinya kaidah hukum memberikan hak dan kewajiban (atribut dan
normatif) sedang kaidah agama dan kaidah kesusilaan hanya memberikan
kewajiban saja (normatif).
2. Perbedaan antara kaidah hukum dengan kaidah kesopanan
- Kaidah hukum memberi hak dan kewajiban, kaidah kesopanan hanya memberikan
kewajiban saja.
- Sanksi kaidah hukum dipaksakan dari masyarakat secara resmi (negara), sanksi
kaidah kesopanan dipaksakan oleh masyarakat secara tidak resmi.
3. Perbedaan antara kaidah kesopanan dengan kaidah agama dan kaidah kesusilaan
- Asal kaidah kesopanan dari luar diri manusia, kaidah agama dan kaidah kesusilaan
berasal dari pribadi manusia.
- Kaidah kesopanan berisi aturan yang ditujukan kepada sikap lahir manusia, kaidah
agama dan kaidah kesusilaan berisi aturan yang ditujukan kepada sikap batin
manusia
- Tujuan kaidah kesopanan menertibkan masyarakat agar tidak ada korban, kaidah
agama dan kaidah kesusilaan bertujuan menyempurnakan manusia agar tidak
menjadi manusia jahat.
Ciri-ciri kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya :
- Hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan
- Hukum mengatur perbuatan manusia yang bersifat lahiriah
- Hukum dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat
- Hukum mempunyai berbagai jenis sanksi yang tegas dan bertingkat
- Hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian (ketertiban dan ketenteraman)
KESIMPULAN :
•
Dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Hukum ada sejak masyarakat ada. Dapat
dipahami bahwa hukum itu sesungguhnya adalah produk otentik dari masyarakat itu
sendiri yang merupakan kristalisasi dari naluri, perasaan, kesadaran, sikap, perilaku,
kebiasaan,
adat,
nilai,
atau
budaya
yang
hidup
di
masyarakat.
Bagaimana corak dan warna hukum yang dikehendaki untuk mengatur seluk beluk
kehidupan masyarakat yang bersangkutanlah yang menentukan sendiri. Suatu masyarakat
yang menetapkan tata hukumnya bagi masyarakat itu sendiri dalam berlakunya tata
hukum itu artinya tunduk pada tata hukum hukum itu disebut masyarakat hukum.
•
Mengapa kaidah hukum masih diperlukan, sementara dalam kehidupan masyarakat sudah
ada kaidah yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya?
Hal ini karena :
•
Masih banyak kepentingan-kepentingan lain dari manusia dalam pergaulan hidup yang
memerlukan perlindungan karena belum mendapat perlindungan yang sepenuhnya dari
kaidah agama, kesusilaan dan kaidah sopan santun, kebiasaan maupun adat.
•
Kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari kaidahkaidah tersebut diatas, dirasa belum cukup terlindungi karena apabila terjadi
pelanggaran terhadap kaidah tersebut akibat atau ancamannya dipandang belum cukup
kuat.
MODUL 1 : KAIDAH HUKUM
KB 1. MENGENAL KAIDAH HUKUM
A. Definisi Hukum
L.J. van Apeldoorn berpendapat bahwa hukum banyak seginya dan demikian luasnya,
sehingga tidak mungkin orang dapat membuat definisi secara memuaskan. Kesulitan
membuat definisi hukum juga dikemukakan oleh G.W. Paton, yang antara lain mengatakan
bahwa persoalan mengenai definisi hukum adalah tidak semudah seperti yang disangka orang
semula. Mengingat hukum banyak segi dan demikian luasnya, maka untuk membuat definisi
hukum orang harus terlebih dahulu membuat momen opname, artinya menangkap sesuatu
untuk dirumuskan. Tetapi apa yang telah berhasil ditangkap dan dirumuskan bersifat statis,
hal tersebut tidak sesuai dengan sifat hukum yang dinamis, yang selalu berubah-ubah
mengikuti keadaan masyarakat.
Mengingat bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dan
kepentingan manusia itu selalu berubah sesuai dengan perkembangan jamannya. Kesukaran
membuat definisi hukum ini terbukti dari sejak jaman Romawi sampai sekarang tidak ada
keseragaman diantara para sarjana atau ahli hukum dalam merumuskan definisi hukum. Dapat
dikatakan bahwa tidak ada definisi hukum yang berlaku umum, yang berlaku tanpa terikat
tempat dan waktu. Dari berbagai definisi dapat diambil ciri-ciri dan unsur dari hukum, yaitu:
Ciri – ciri hukum
1. adanya perintah dan/atau larangan;
2. perintah dan/atau larangan harus ditaati setiap orang;
3. adanya sanksi hukum yang tegas dan dapat dipaksakan oleh instansi yang berwenang.
Unsur-unsur Hukum
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. Peraturan itu diadakan oleh badan resmi yang berwajib.
3. Peraturan itu bersifat memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Adanya definisi-definisi hukum yang banyak jumlahnya dan beraneka ragam,
disebabkan berbedanya titik berat metode pendekatan yang digunakan untuk menentukan
lahirnya hukum. Ada dua cara pendekatan yang kontroversial, yaitu:
•
Yang dipentingkan adalah norma atau aturannya (body of rules), meskipun mereka
mengetahui bahwa hukum itu ada hubungannya dengan masyarakat, tetapi tetap yang
dipentingkan adalah normanya.
•
Yang dipentingkan adalah masyarakatnya, sebab hukum itu selalu berhubungan dengan
masyarakat sebagai wadahnya.
1. Pendapat normatif, dalam merumuskan hukum, mendasarkan pemikirannya pada
anggapan bahwa hukum adalah apa yang datang dari atas atau dari pemerintah atau
penguasa yang berwenang. Hukum adalah sengaja dibuat oleh pemerintah, sebagai norma
dan sebagai kekuasaan yang biasanya berisi perintah dan/atau larangan dan/atau perkenan.
2. Pendapat sosiologis, dalam merumuskan hukum, mendasarkan pemikirannya pada
anggapan bahwa hukum adalah kehidupan masyarakat itu sendiri atau merupakan suatu
proses sosial, dan merupakan perilaku yang timbul secara spontan dari bawah dan bukan
dibuat oleh pemerintah, tetapi ditentukan dalam kehidupan sosial, ia lahir dan berkembang
dalam masyarakat yang dinamis.
3. Pendapat campuran pada pokoknya mengatakan bahwa "Hukum adalah peraturan
tingkah laku, norma dan sekaligus adalah kebiasaan dalam masyarakat". Pendapat ini
muncul akibat dari kelemahan pendapat normatif dan pendapat sosiologis, dimana kedua
pendapat itu berat sebelah, dan tidak sesuai dengan kenyataannya. Pendapat normatif
hanya benar kalau semua hukum berbentuk peraturan perundang-undangan, yang
keberadaannya memang sengaja dibuat oleh penguasa atau pemerintah. Demikian
sebaliknya, pendapat sosiologis, hanya benar apabila semua hukum lahir dari pergaulan
hidup atau dari hasil proses sosial, yang berupa hukum kebiasaan atau hukum adat.
Pemberian Arti Hukum
Definisi hukum dapat dianggap sebagai pemberian arti umum dari hukum yang
cenderung bersifat teoritis. Pemberian pengertian yang sesuai dengan konteksnya tersebut
dapat mencegah terjadinya kerancuan dalam mempelajari hukum atau dalam menerapkan
hukum.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyebutkan ada 9 arti hukum, yaitu:
hukum sebagai ilmu pengetahuan; hukum sebagai disiplin; hukum sebagai kaidah; hukum
sebagai tata hukum; hukum sebagai petugas hukum; hukum sebagai keputusan penguasa;
hukum sebagai proses pemerintahan; hukum sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak
yang teratur; hukum sebagai jalinan nilai-nilai (Purbacaraka, 1979*** : 12)
Isi, Sifat dan Perumusan Kaidah Hukum
Dilihat dari segi isinya, kaidah hukum dapat berisi perintah, perkenan dan larangan.
Dalam bidang hukum tata negara banyak dijumpai ketentuan-ketentuan hukum yang berisikan
perintah atau suruhan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Ketentuan hukum yang isinya perkenan atau perbolehkan, banyak dijumpai dalam bidang
hukum perdata. Dalam bidang hukum pidana, sebagian besar memuat ketentuan-ketentuan
hukum yang melarang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
Menurut sifatnya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua :
•
Kaidah hukum yang bersifat memaksa atau imperatif yaitu peraturan hukum yang
secara a priori mengikat dan harus dilaksanakan, tidak memberikan wewenang lain
selain apa yang telah diatur dalam undang-undang. Biasanya peraturan hukum yang
berisi perintah dan larangan bersifat imperatif.
•
Kaidah hukum yang bersifat pelengkap atau subsider atau dispositif, yaitu peraturan
hukum yang tidak secara a priori mengikat, atau peraturan hukum yang sifatnya boleh
digunakan, boleh tidak digunakan, atau peraturan hukum yang baru berlaku apabila
dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak ada sesuatu hal yang tidak diatur (jadi
bersifat mengisi kekosongan hukum). Biasanya peraturan hukum yang berisi perkenan
atau perbolehkan bersifat fakultatif.
Soekanto mengemukakan bahwa pada umumnya bentuk perumusan kaidah hukum ada tiga,
yaitu (Soekanto, 1978 :6): larangan, instruksi atau perintah dan pernyataan hipotesis.
Fungsi, Tugas dan Tujuan hukum
Hukum mempunyai fungsi umum yaitu melindungi kepentingan manusia Dan
mempunyai fungsi khusus, yaitu untuk mempertegas dan sekaligus juga untuk melengkapi
dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan manusia. Di samping itu
masih ada fungsi-fungsi lain, yaitu: sebagai sarana pengendalian sosial; sebagai sarana untuk
melakukan social engineering; dan fungsi integratif (yaitu mengurangi konflik-konflik dan
melancarkan proses interaksi pergaulan sosial), sebagai instrumen untuk mengatur
masyarakat, dan kalau diperluas sebagai instrumen pembaharuan masyarakat, hukum juga
harus berfungsi sebagai instrumen untuk menyalurkan dan mengarahkan kegiatan-kegiatan
anggota masyarakat ke tujuan yang dikehendaki.
Tujuan hukum untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama, berarti
juga bahwa hukum bukan semata-mata untuk keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi
juga sebagai sarana terciptanya kesejahteraan masyarakat. Dengan perkataan lain hukum
sebagai sarana untuk terciptanya masyarakat yang " tata tenteram karta rahardja" .
Tugas hukum untuk memberikan atau menjamin kepastian hukum (Rechtssicherheit),
sebenarnya tersimpul juga tugas lain di dalamnya, yaitu kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan
keadilan (Gerechtigkeit).
Antara tujuan hukum dengan tugas hukum sebenarnya ada hubungan fungsional.
Pemberian kepastian hukum adalah untuk terciptanya ketertiban, sedangkan pemberian
kesebandingan hukum tertuju pada ketenteraman atau ketenangan. Hal ini berarti, kedamaian
hidup bersama yang adil akan tercapai apabila ada kepastian hukum dalam hubungan antar
sesama anggota masyarakat; dan diri pribadi anggota masyarakat akan merasa tenteram atau
tenang apabila ia dapat menerima apa yang sebanding dengan segala perikelakuan atau sikap
tindaknya.
Kepastian hukum dapat diartikan kepastian bahwa setiap orang akan dapat memperoleh
apa yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian hukum itu ada dua macam, yaitu
•
Kepastian oleh karena hukum, adalah kepastian yang tercapai karena hukum mengenal
adanya lembaga kadaluwarsa (verjaring).
•
Kepastian dalam atau dari hukum, adalah kepastian hukum yang tercapai apabila hukum
sebanyak-banyaknya berbentuk undang-undang.
Tujuan hukum menurut teori
1. Teori etis (etische theorie)
Teori ini mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan.
Menurut teori ini, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai
apa yang adil dan apa yang tidak adil. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles
filsuf Yunani dalam bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan hukum
mempunyai tugas yang suci yaitu : memberi kepada tiap-tiap orang apa .yang menjadi
haknya (ius suum cuique tribuere), sesuai dengan jasanya masing-masing, keadilan di sini
bukan berarti keadilan mutlak dan tidaklah sama dengan persamaan”.
Selanjutnya
Aristoteles membagi keadilan dalam 2 jenis, yaitu :
1. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian
menurut jasanya masing-masing. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap
orang mendapat bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan
kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang.
2. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian yang
sama banyaknya tanpa mengingat jasa perseorangan. Artinya hukum menuntut adanya
suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan
jasa masing-masing.
Di samping kedua konsepsi keadilan (distributif dan komutatif) sebenarnya Aristoteles
masih menyebutkan konsepsi keadilan perbaikan (remedial justice). Keadilan perbaikan
dimaksudkan untuk mengembalikan persamaan dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak
yang bersalah. Keadilan ini juga merupakan titik tengah di antara kedua kutub berupa
keuntungan (gain) dan kerugian (loss).Keadilan menurut Aristoteles bukan berarti
penyamarataan atau tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Teori etis mengandung
kelemahan, sebab bersifat berat sebelah dan bertentangan dengan kenyataan, jika hukum
semata-mata mengejar keadilan dengan memberi kepada setiap orang apa yang patut
diterimanya, maka hasilnya justru ketidakadilan.
2. Teori utilitas (utiliteis theorie)
Menurut teori ini, tujuan hukum ialah menjamin adanya kemanfaatan atau
kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Pencetus teori ini adalah
Jeremy Betham yang berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata
apa yang berfaedah/manfaat bagi orang.
Apa yang dirumuskan oleh Betham tersebut diatas hanyalah memperhatikan hal-hal
yang berfaedah dan tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit. Sulit bagi kita
untuk menerima anggapan Betham ini sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa
apa yang berfaedah itu belum tentu memenuhi nilai keadilan atau dengan kata lain apabila
yang berfaedah lebih ditonjolkan maka dia akan menggeser nilai keadilan kesamping, dan
jika kepastian oleh karena hukum merupakan tujuan utama dari hukum itu, hal ini akan
menggeser nilai kegunaan atau faedah dan nilai keadilan.
Teori utilitis mengandung kelemahan, sebab bersifat berat sebelah, hanya
memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan oleh sebab itu bersifat umum, dengan
mengorbankan segi keadilan. Padahal kebahagiaan tidak mungkin tercapai tanpa keadilan.
Dan perlu diingat, meniadakan kebahagiaan dalam hukum itu akan menimbulkan
kesewenang-wenangan, sebab berarti juga menyamakan hukum dengan kekuasaan.
3. Teori campuran
Teori etis dan teori utilitis ternyata mengandung kelemahan-kelemahan, maka lahirlah
teori ketiga yang mengambil jalan tengah antara kedua teori tersebut.
Kesimpulan Tujuan Hukum :
1. Tujuan hukum itu sebenarnya menghendaki adanya keseimbangan kepentingan,
ketertiban, keadilan, ketenteraman, kebahagiaan, damai sejahtera setiap manusia.
2. Dengan demikian jelas bahwa yang dikehendaki oleh hukum adalah agar kepentingan
setiap orang baik secara individual maupun kelompok tidak diganggu oleh orang atau
kelompok lain yang selalu menonjolkan kepentingan pribadinya atau kepentingan
kelompoknya.
3. Inti tujuan hukum adalah agar tercipta kebenaran dan keadilan
KB. 2 HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEADILAN DAN KEKUASAAN
A. Hubungan Hukum Dengan Keadilan
Hukum dan keadilan dapat kita bedakan, sebab masing-masing mempunyai konsepsi
yang berbeda. Hukum adalah apa yang benar-benar berlaku atau apa yang seharusnya berlaku
sesuai dengan isi kaidah hukum, dan tidak dipersoalkan apakah baik atau buruk, sedangkan
keadilan adalah suatu cita-cita yang didasarkan pada sifat moral manusia.
Hukum dan keadilan saling berhubungan, saling membutuhkan. Kalau hanya menitik
beratkan salah satunya dan mengabaikan yang lain, maka hasilnya dapat kita gambarkan
dalam 2 (dua) pameo berikut, yaitu: pertama Summum ius summa iniuria yang artinya
keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi, jadi semakin banyak keadilan itu
dituntut, maka hasilnya justru ketidakadilan, kedua Lex dura sed tamen scripta, artinya
undang-undang adalah keras, akan tetapi memang demikianlah bunyinya.
Konsep bahwa hukum mengarah kepada keadilan, dapat kita lihat pada dua hal, yaitu:
1. Undang-undang selalu memberikan ketentuan yang bersifat umum, artinya berlaku
sama terhadap setiap orang (equality before the law);
2. Di dalam suatu proses peradilan berlaku asas bahwa para pihak didengar dan
diperlakukan sama dihadapan hakim (audi et alteram partem)
B.
Hubungan Hukum dengan Kekuasaan
Keistimewaan kaidah hukum terletak pada sanksinya yang tegas dan dapat dipaksakan
oleh instansi yang berwenang, maka dari itu hukum memerlukan adanya kekuasaan. Namun
demikian kekuasaan bukanlah merupakan unsur mutlak atau bukan unsur pokok (essensiil)
dari hukum, artinya hukum itu dapat ada tanpa kekuasaan. Kekuasaan hanyalah merupakan
unsur pelengkap (accessoir) yang baru dibutuhkan apabila hukum tidak dilaksanakan dengan
sukarela oleh pihak yang kalah, maka atas permintaan pihak yang menang, putusan hakim
tersebut pelaksanaannya dapat dipaksakan. Kekuasaan dapat dibedakan: pertama yang
cenderung berbentuk perbuatan phisik atau merupakan kekuatan (power, macht); dan yang
kedua kekuasaan yang bersumber pada wewenang formal atau adanya pembenaran atau
pengakuan dari masyarakat atau dari penguasa yang lebih tinggi, ini dapat disebut sebagai
wewenang (authority, legalized power, gezag).
Hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan yang erat dan hubungan timbal balik.
Hukum tanpa didukung kekuasaan, itu hanya akan seperti kaidah sosial yang lain, hanya
merupakan anjuran atau pedoman saja tanpa akibat yang tegas, bahkan dapat dikatakan
hanyalah sebagai angan-angan saja. Sebaliknya kekuasaan tanpa hukum, itu adalah
kesewenang-wenangan atau kezaliman.
Hukum sendiri sebenarnya juga dapat dianggap sebagai kekuasaan, yaitu apabila
hukum itu dianggap patut oleh warga masyarakat. Dengan perkataan lain hukum mempunyai
kekuasaan kesusilaan, hukum menyentuh hati nurani manusia, sehingga anggota masyarakat
pada umumnya merasa wajib melaksanakan hukum, dan apabila tidak, mereka akan
menyesal.
C.
Hubungan Hukum dengan Sanksi
Kekuasaan untuk memaksakan berlakunya hukum dalam masyarakat dapat juga
diujudkan dalam bentuk sanksi. Dalam hal tersebut, sanksi bukan merupakan unsur pokok
atau essensiil dari hukum, tetapi hanyalah sebagai unsur tambahan atau pelengkap. Sebagai
unsur tambahan, sanksi baru diperlukan apabila hukum dilanggar dan oleh karenanya maka
harus ditegakan. Bahkan ada peraturan hukum yang tidak memiliki sanksi, yaitu yang disebut
lex imperfecta.
Sanksi yang biasa dibicarakan atau sudah dianggap sebagai pendapat umum adalah
sanksi dalam arti negatif{ yang baru diterapkan karena terjadi pelanggaran hukum.
Pelanggaran hukum bermacam-macam, misalnya: dalam hukum pidana disebabkan terjadinya
delict; dalam hukum perdata disebabkan terjadinya onrechtmatige daad atau disebabkan
terjadinya wanprestatie; dalam hukum tata pemerintahan disebabkan terjadinya onrechtmatige
overheid daad atau detournement de pouvoir atau excess de pouvoir. Sesuai dengan
macamnya pelanggaran hukum dalam bidang hukum yang berbeda-beda, maka sanksi yang
dapat diterapkan juga bermacam-macam dan itu tergantung pelanggaran yang telah dilakukan
itu termasuk dalam bidang ,hukum yang mana.
Kalau pada lex imperfecta adalah peraturan hukum yang tidak memiliki sanksi, lain
halnya pada perikatan alam atau obligatio naturalis atau natuurlijke verbintenis adalah kaidah
hukum yang memuat sanksi atau memuat kewajiban, namun pemenuhannya tidak dapat
dituntut melalui pengadilan.
D.
Penyimpangan Kaidah Hukum
Pada hakekatnya setiap orang yang melanggar hukum harus dihukum, sebab apabila
tidak, maka fungsi hukum akan sama seperti kaidah sosial yang lain. Namun demikian tidak
berarti setiap ada perilaku yang menyimpang dari hukum, pelakunya harus dihukum.
Penyimpangan terhadap kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua : pertama yang
dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum, dan kedua yang dikualifikasikan sebagai
pengecualian atau dispensasi (uitzonderingsgevallen).
Pengecualian atau dispensasi pada hakekatnya juga termasuk pelanggaran hukum,
tetapi si pelaku tidak dihukum sebab perbuatannya dibenarkan atau ada dasar pembenaran
(rechtvaardigingsgrond), atau si pelaku dibebaskan dari kesalahan (schuldophffingsgrond).
Berarti perbuatan yang pada hakekatnya melanggar hukum, tetapi undang-undang
membenarkan atau memaafkan.
Alasan Pemaaf
Sebenarnya termasuk penyimpangan yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran
hukum, tetapi dikecualikan dari jenis pelanggaran yang lain dan oleh karena itu tidak dikenai
sanksi. Dengan perkataan lain kesalahan si pelaku dimaafkan. Adapun alasan-alasannya
seperti yang termuat dalam KUHP antara lain sebagai berikut:

Si pelaku dianggap kurang sempurna akalnya (idiot, buta tuli dan bisu sejak lahir) ia
cacat sejak lahir dan pikirannya tetap seperti kanak-kanak. Bisa juga akibat sakit
sehingga berubah akalnya (sakit gila dan penyakit gila lainnya yang cukup parah),
minum minuman keras yang menyebabkan mabuk sedemikian rupa sehingga
ingatannya hilang sama sekali.

Anak yang belum dewasa, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan pada saat si pelaku
belum berumur 16 tahun.

Orang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (overmacht : force
majeure) oleh kekuasaan yang tak dapat dihindarkan, maka ia tidak dihukum. Kata
"terpaksa" dalam arti baik paksaan bathin maupun lahir, rokhani maupun Jasmani.
Pengaruh daya paksa sebagai alasan pemaaf dibedakan menjadi dua yaitu:
 yang bersifat absolut, misalnya A dipegang tangannya secara paksa oleh B yang
lebih kuat untuk menulis tanda tangan palsu, atau seseorang yang dihipnotis untuk
melakukan perbuatan pidana;
 yang bersifat relatif, misalnya seorang kasir ditodong pistol disuruh menyerahkan
sejumlah uang tertentu. Dalam hal ini sebenarnya kasir tersebut yang melakukan
perbuatan, tetapi ia tidak mungkin mengadakan perlawanan, karena ancamannya
terlalu kuat.
Alasan Pembenar
Termasuk perbuatan yang pada hakekatnya melanggar hukum, tetapi dikecualikan dan si
pelaku tidak dihukum karena ada dasar pembenar, adalah:
1. Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan darurat (Pasal 48 KUHP) sebagai alasan
pembenar itu berbeda dengan perbuatan yang dilakukan karena pengaruh daya paksa
yang bersifat relatif. Pada keadaan darurat, terjadi konflik kepentingan hukum atau
konflik antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum di mana kepentingan yang
kecil harus dikorbankan terhadap kepentingan yang lebih besar. Perbuatan yang
dilakukan itu harus sungguh-sungguh dalam keadaan terpaksa untuk membela diri dan
tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu.
2. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 KUHP) atau pembelaan dalam keadaan darurat adalah
sebagai alasan pembenar yang membebaskan seseorang dari hukuman, karena si
pelaku terpaksa mempertahankan dirinya sendiri atau diri orang lain, mempertahankan
kehormatan atau harta benda miliknya sendiri atau milik orang lain, dari serangan
yang melawan hak dan bersifat mendadak atau datangnya sekonyong-konyong.
3. Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP) sebagai alasan pembenar
yang membebaskan seseorang dari hukuman, karena undang-undang menghalalkan
perbuatan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang. Melaksanakan ketentuan
undang-undang itu tidak terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh
undang-undang, tetapi juga meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas
wewenang yang diberikan oleh undang-undang.
4. Melaksanakan perintah jabatan dari kekuasaan yang berwenang (Pasal 5l KUHP)
sebagai alasan pembenar yang membebaskan hukuman. Di sini disyaratkan ada
hubungan yang bersifat kepegawaian (negeri) antara yang diperintah dan yang
memerintah. Di samping itu yang memerintah haruslah mempunyai kewenangan untuk
itu. Andaikata yang memerintah sebenarnya tidak mempunyai kewenangan, tetapi
yang diperintah (bawahannya) dengan itikad baik mengira, bahwa perintah tersebut
sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu, maka orang itu tidak dapat
dihukum.
MODUL 3 : SUMBER HUKUM
KB1. PENGERTIAN SUMBER HUKUM, 2 (DUA) ARTI SUMBER
HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SEBAGAI BENTUK
SUMBER HUKUM FORMAL
A. Pengertian Sumber Hukum
Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam hidup
bermasyarakat, dengan tujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Sebagai alat perlengkapan manusia dalam hidup bermasyarakat, hukum berasal dan berakar
dari masyarakat itu sendiri. Bahan atau materi hukum berasal atau ada dalam kehidupan
masyarakat. Hukum timbul melalui proses sosial atau tercipta karena memang sengaja
dibentuk oleh pihak yang mempunyai kewenangan atau mendapatkan pembenaran dari
masyarakat yang bersangkutan.
Untuk mendapatkan bahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan atau
untuk mengetahui dan menemukan hukum, serta selanjutnya dapat menerapkannya dalam
kasus konkrit, kita harus menemukan sumber hukum. Di samping sumber hukum sebagai
tempat untuk menemukan atau menggali hukum, juga sebagai dasar untuk mengikatnya
hukum. Sumber hukum diartikan juga sebagai sumber pengenal (kenbron) dan sumber asal
(welbron). Sumber pengenal adalah bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk menemukan
hukum atau merupakan tempat di mana suatu peraturan perundang-undangan diundangkan.
Sumber hukum adalah segala apa saja (sesuatu) yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar
mengakibatkan
sanksi
yang
tegas
dan
nyata
bagi
pelanggarnya.
Yang dimaksud dengan segala apa saja (sesuatu) yakni faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya
hukum secara formal, darimana hukum itu dapat ditemukan. dsb.
Sebenarnya untuk memberikan pengertian tentang sumber hukum tidaklah mudah,
sebab kata "sumber hukum" dapat dipergunakan dalam pelbagai arti tergantung dari sudut
mana titik tolak pandangan yang digunakan. Hal tersebut disebabkan perkataan sumber
hukum dipakai dalam arti sejarah, kemasyarakatan, filsafat dan dalam arti formal. Secara
sederhana, sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta
tempat ditemukannya aturan-aturan hukum.
B. Sumber Hukum Material dan Formal
Sumber Hukum dibagi menjadi dua, yaitu Sumber Hukum Material dan Sumber
hukum Formal.
1. Sumber hukum material, karena dilihat dari segi isinya, sumber hukum adalah merupakan
tempat diambilnya bahan atau materi hukum. Sumber hukum material, merupakan faktor
yang membantu pembentukan hukum. Dalam pembentukan hukum positif itu
dipengaruhi oleh banyak faktor, Adapun faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum
meliputi
1. Faktor kemasyarakatan, yaitu berupa segala sesuatu yang benar-benar hidup dalam
masyarakat, antara lain berupa :
a. struktur ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan yang lain;
b. kebiasaan;
c. hukum yang berlaku (mengingat bahwa hukum mempunyai sifat kesejarahan);
d. agama, kesusilaan dan kesadaran hukum; 5. sistem hukum negara-negara lain.
2. Faktor-faktor idiil, adalah merupakan cita-cita hukum (Rechtsidee). Sebagian sarjana
mengatakan bahwa yang merupakan faktor idiil yang secara langsung adalah keadilan.
Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa keadilan merupakan titik sentral
penegakan hukum, sedangkan yang merupakan faktor idiil yang secara tidak langsung
atau dianggap sebagai tujuan akhirnya adalah kesejahteraan umum.
Sumber hukum material dapat dilihat dari 4 sudut pandangan, yaitu :
1. Sumber hukum dalam arti sejarah, yang dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Sebagai sumber pengenal hukum atau sumber informasi, yaitu berupa segala
sesuatu yang dapat memberi informasi tentang hukum dari suatu bangsa atau
negara.
b. Sebagai sumber bahan, yaitu berupa sumber bagi pembentuk undang-undang
mengambil bahannya.
2. Sumber hukum dalam arti sosiologis, adalah sumber hukum yang dihubungkan
dengan masyarakat, sebagai sumber hukumnya adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam masyarakat.
3. sumber hukum dalam arti ekonomis, adalah sumber hukum yang dihubungkan dengan
kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang menjadi tuntutan setiap anggota masyarakat,
terutama yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan vital..
4. Sumber hukum dalam arti filosofis, dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Sumber isi hukum yang melahirkan beberapa teori
1. Teori teokrasi, yang mengatakan bahwa isi hukum berasal dari Tuhan.
2. Teori hukum kodrat yang rasionalistis, yang mengatakan bahwa isi hukum
bersumber dari rasio atau akal manusia.
3. Teori historis, yang mengatakan bahwa isi hukum bersumber pada kesadaran
hukum dari suatu bangsa
b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum. Sebenarnya kekuatan mengikatnya
hukum adalah kesadaran hukum dan juga bukan semata-mata didasarkan pada
kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh
alasan kesusilaan atau kepercayaan.
2. Sumber Hukum Formal, karena dilihat hanya dari segi cara terjadinya dan bentuknya
hukum positif, tanpa mempersoalkan asal-usul isi peraturan hukum itu sendiri.
Bentuk sumber hukum formal inilah yang menyebabkan hukum berlaku (menjadi
causa eficiens). Dengan telah memperoleh bentuk-bentuk tertentu, maka pandangan
hukum atau kesadaran hukum masyarakat diperhatikan dan diberi sanksi oleh pemerintah.
Dengan perkataan lain, dalam sumber hukum formal, maka pandangan hukum, kesadaran
hukum dipositifkan atau dijadikan hukum positif.
C. Bentuk-Bentuk Sumber Hukum Formal
Bentuk – bentuk sumber hukum menurut beberapa ahli :
1. L.J. van Apeldoorn membagi sumber hukum formal menjadi:
a. undang-undang; berhubung dengan kesadaran hukum yang berlaku menentukan
bahwa kita harus tunduk kepada pembentuk undang-undang
b. Kebiasaan;
c. Traktat. berhubung dengan kesadaran hukum yang berlaku menentukan bahwa
perjanjian harus dihormati atau dipenuhi berlaku asas pacta servanda sunt.
Ketiga bentuk tersebut sebagai sumber hukum formal, karena hanya dalam bentuk-bentuk
tersebut terjadi peraturan hukum yang mengikat secara umum.
2. G.W. Paton membagi sumber hukum formal (the formal sources of law) menjadi:
a. Kebiasaan (custom);
b. Metode judisiil atau segala sesuatu yang berhubungan dengan pengadilan (the
judicial method);
c. Undang-undang dan kitab hukum (statutes and codes);
d. Karangan-karangan ahli hukum dan pendapat ahli (juristic writings and proffesional
opinion)
3. E. Utrecht dan juga C.S.T. Kansil membagi sumber hukum formal menjadi :
a. Undang-undang;
b. Kebiasaan;
c. Keputusan hakim (yurisprudensi);
d. Traktat (treaty);
e. Pendapat sarjana hukum atau ahli hukum yang terkenal (doktrin).
4. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa pada umumnya yang diakui sebagai sumber
hukum formal adalah: l. Undang-undang; 2. Perjanjian antar negara; 3 . Yurisprudensi; 4.
Kebiasaan. Dengan digunakan kata "pada umumnya" berarti penyebutannya tidak
limitatif, masih menerima adanya sumber hukum formal lain. Hal ini terbukti dalam
uraian berikutnya tentang sumber hukum masih disebutkan: 5. Doktrin; 6. Perjanjian; 7.
Kesadaran hukum (Mertokusumo, 1986 :63 -99).
5. Achmad Sanusi membagi sumber hukum formal menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Sumber hukum normal yang dibagi lebih lanjut menjadi :
1. Sumber hukum normal langsung, artinya mendapatkan pengakuan undang-undang,
yaitu: l. Undang-undang; 2. Perjanjian antar negara;3. Kebiasaan.
2. Sumber hukum normal tidak langsung, artinya menjadi sumber hukum atas
pengakuan undang-undang, atau karena melalui kebiasaan, yaitu: 1.Persetujuan
biasa);2. Doktrin;3. Yurisprudensi.
b. Sumber hukum abnormal, dikatakan abnormal sebab tidak dapat dicarikan pada
sumber-sumber hukum yang normal, ia justru merupakan "tantangan" terhadap tata
tertib hukum yang berlaku pada saat itu, termasuk kelompok ini, yaitu: l. Proklamasi
Kemerdekaan;2. Revolusi; 3. Coup d'etat yang berhasil; 4. Takluknya sesuatu negara
kepada negara lain.
D. Undang – Undang
Undang-undang sebagai sumber hukum formal mempunyai dua arti, yaitu: undangundang dalam arti formal dan undang-undang dalam arti material Undang-undang dalam arti
formal adalah setiap keputusan atau ketetapan dari pemerintah yang disebut sebagai undangundang karena dilihat dari bentuk dan cara terjadinya atau dilihat dari cara pembentukannya.
Undang-undang dalam arti material, atau istilah yang tepat peraturan perundangundangan, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum. Jadi yang menjadi tolok ukur adalah isinya. Undangundang dalam arti material mempunyai tingkatan-tingkatan atau tata urutan (hierarchie).
Tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (l) UU No.
l0 Tahun 2004 secara berturut-turut adalah :
1. UUD Negara RI Tahun 1945 (atau biasa disebut UUD 1945);
2. Undang-undang,/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden; dan
5. Peraturan Daerah yang meliputi: Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten dan Peraturan Desa.
E. Pengundangan
Pada jaman pemerintahan Hindia Belanda, peraturan perundang-undangan tingkat
pusat diundangkan dalam Staatsblad. Selain itu juga terdapat Bijblad op het Staatsblad dan de
Javasche Courant (merupakan Berita Negara). Pada jaman pendudukan Jepang, Osamu
Kanrei dan Osamu Kanrei dimuat dalam Kan Po.
Pengundangan peraturan perundang-undangan sekarang berdasarkan UU No. l0 Tahun
2004. Fungsi pengundangan adalah agar setiap orang mengetahuinya, sedangkan tujuannya
agar setiap orang terikat untuk mengakui eksistensinya. Pengundangan adalah penempatan
peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah dan Berita Daerah.
Kalau dilihat dari macam peraturan perundang-undangannya ada 4 (empat) tempat
pengundangan, yaitu Lembaran Negara Republik Indonesia (termasuk Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia); Berita Negara Republik Indonesia (termasuk Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia), Lembaran Daerah dan Berita Daerah. Setelah undang-undang
diundangkan dalam Lembaran Negara, maka undang-undang sah berlaku dan mempunyai
kekuatan mengikat umum atau mengikat setiap orang. Artinya setiap orang terikat untuk
mengakui eksistensinya, dan setiap orang dianggap tahu undang-undang (iedereen wordt
geacht de wet te kennen).
Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat
pada tanggal diundangkannya, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundangundangan yang bersangkutan . Berlakunya peraturan perundang-undangan dapat tidak sama
dengan tanggal pengundangan, sebab dapat terjadi masih diperlukan persiapan sarana dan
prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana peraturan perundang-undangan tersebut.
F. Asas - Asas Peraturan Perundang - Undangan
Penggunaan istilah undang-undang tidak hanya dimaksudkan untuk menyebutkan
bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR
bersama-sama Presiden
(undang-undang dalam arti sempit), tetapi juga yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga lain
(khususnya lembaga-lembaga yang lebih rendah). Dengan perkataan lain, kata "undangundang" digunakan dalam arti luas.
1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut
Pada asasnya suatu peraturan perundang-undangan baru berlaku dan mempunyai
kekuatan mengikat sesudah diundangkan menurut cara yang sah. Oleh sebab itu saat
mulai berlakunya tidak dapat ditentukan pada tanggal yang lebih awal daripada tanggal
pengundangannya. Dengan perkataan lain, peraturan perundang-undangan pada asasnya
dibuat untuk mengatur hal-hal yang terjadi setelah undang-undang itu diundangkan.
2. Sistem peraturan perundang-undangan mengenal adanya tingkatan-tingkatan atau
kewerdaan atau tata urutan (hierarchie) Apabila ada dua peraturan perundang-undangan
yang tidak sama tingkatannya mengatur materi yang sama, tetapi isinya saling
bertentangan, maka berlaku adagium Lex superior derogat legi inferiori. Arti adagium
tersebut adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
mengesampingkan yang lebih rendah, apabila keduanya mengatur materi yang sama
tetapi isinya saling bertentangan.
3. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat
umum.
4. Peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundangundangan yang lama.
5. Undang-undang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat .final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.
KB2. KEBIASAAN, TREATY, YURISPRUDENSI, DOKTRIN,
DAN PERJANJIAN
A. Kebiasaan
Kebiasaan merupakan sumber hukum yang paling tua. Kebiasaan sebagai perilaku
yang secara berulang-ulang dilakukan dalam garis yang sama telah lahir sejak manusia hidup
bermasyarakat. Peranan kebiasaan sangat penting dalam kondisi masyarakat yang sederhana,
semakin modern atau komplek kehidupan masyarakat maka semakin berkurang peranan
kebiasaan sebagai sumber hukum. Kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat akan menjadi hukum
kebiasaan, apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
1.
syarat material, yaitu adanya perilaku yang secara terus menerus dilakukan dalam hal
yang sama atau menurut garis tingkah laku yang tetap;
syarat psikologis atau intelektual, kebiasaan tersebut menimbulkan kesadaran atau
2.
keyakinan umum bahwa seharusnya memang demikian (opinio necessitatis) dan diterima
sebagai suatu kewajiban hukum;
3.
adanya akibat hukum, artinya ada sanksinya kalau kebiasaan dilanggar.
Dalam bidang hukum, di samping dikenal istilah hukum kebiasaan, juga dikenal istilah
hukum adat. Baik hukum kebiasaan maupun hukum adat adalah sama-sama merupakan
hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat yang bentuknya
tidak tertulis. perbedaan antara hukum adat dengan hukum kebiasaan dapat dirumuskan
sebagai berikut: bahwa dalam hukum adat di dalamnya tersimpul unsur-unsur tradisi,
pengertian-pengertian sakral, cara-cara berpikir yang menghubungkan dunia lahir dan dunia
gaib.
Di dalam tata hukum Hindia Belanda dikenal sejenis hukum yang disebut adatrecht,
yang oleh sebagian orang diterjemahkan sebagai hukum adat. sebenarnya istilah adatrecht
pertama kali dikemukakan oleh c. Snouck Hurgronje.
Menurut Kusumadi Pudjosewojo yang membedakan antara hukum adat dengan
adatrecht dapat ditarik adanya 2 hal yang membedakan, yaitu: pertama Hukum adat berlaku
bagi Bumiputera, sedangkan adatrecht berlaku bagi Bumiputera dan orang Timur Asing;
kedua Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, sedangkan adatrecht sebagian besar
adalah hukum yang tidak tertulis tetapi ada bagian yang tertulis (terapi tidak dikodifikasikan).
Antara undang-undang dan hukum kebiasaan, itu ada persamaannya, yaitu: sama-sama
sebagai penegasan dari gambaran hukum, pandangan hukum atau kesadaran hukum
masyarakat, dan juga sama-sama sebagai sumber hukum formal. Adapun perbedaannya dapat
dilihat dari 3 (tiga) segi, yaitu :
1. Undang-undang bentuknya tertulis, sedangkan hukum kebiasaan bentuknya tidak
tertulis.
2. Undang-undang merupakan peraturan yang sengaja dibuat secara resmi oleh
pemerintah. Kebiasaan merupakan peraturan yang timbul dari pergaulan hidup, yang
tidak sengaja dibuat, tetapi timbul dari masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, kalau
dilihat dari inisiatif terjadinya dapat dikatakan bahwa undang-undang bersifat
heteronom, sedangkan hukum kebiasaan bersifat otonom.
3. undang-undang memberikan kepastian hukum yang lebih besar, sebab bentuknya
tertulis dan perumusannya jelas, berbeda halnya dengan kebiasaan.
Dalam hukum positif Indonesia, hukum adat atau hukum kebiasaan dan undangundang derajatnya diakui sama. Hakim tidak hanya terikat pada undang-undang saja, tetapi
juga pada hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah merupakan sumber hukum, bahkan
melalui putusan hakim, hukum kebiasaan dapat mengesampingkan ketentuan undang-undang.
B. Treaty
Di samping undang-undang dan kebiasaan, diakui juga perjanjian antar negara (treaty
dan tractaat), sebagai sumber hukum formal. Sebagai sumber hukum formal, treaty memuat
ketentuan hukum yang mengikat secara umum, artinya mengikat warga negara dari negara
yang mengadakan perjanjian tersebut atau yang menjadi pihak dalam perjanjian. Treaty
mengikat setelah negara yang bersangkutan meratifikasinya.
Berdasarkan banyaknya negara yang mengadakan perjanjian antar negara, tractaat dapat
dibedakan menjadi : Tractaat Bilateraal, yaitu yang diadakan hanya oleh dua negara dan
Tractaat Multilateraal, yaitu. yang diadakan lebih dari dua negara.
Pada umumnya lahirnya tractaat melalui tiga tahap, yaitu: Tahap perundingan, yang
dimulai dengan tahap proses negosiasi. Kalau bentuknya bilateral maka perundingan secara
bilateral, sedangkan jika multilateral maka perundingan dilakukan secara multilateral di antara
negara-negara peserta; Tahap penandatanganan, yang diawali dengan proses perumusan
traktat, kalau semua peserta menyetujui dilanjutkan penandatanganan oleh semua negara
peserta; Tahap ratifikasi, supaya traktat berlaku dan mengikat negara peserta, maka piagam
haruslah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara peserta
C. Yurisprudensi
Yurisprudensi atau putusan hakim, atau ada yang menyebut pula dengan istilah peradilan.
Peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi
mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara, serta bebas
dari pengaruh apa/siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan
berwibawa serta bertujuan mencegah eigenrichting (Mertokusumo' 1990 : 89 -90), Kata
"yurisprudensi" dalam ilmu pengetahuan hukum mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu
diartikan sebagai:
1.
putusan hakim;
2.
kumpulan putusan-putusan hakim yang disusun secara sistematis dan diberi anotasi
(catatan);
3.
ajaran hukum yang diciptakan oleh peradilan dan dipertahankan dengan putusan hakim.
Ada tiga alasan yang menjadi penyebab seorang hakim mengikuti keputusan hakim lain
dalam menjatuhkan putusan yang sejenis, yaitu (Utrecht, l97l : 138 *139).
1.
Alasan psikologis, yaitu Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag), terutama
apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung.
keputusannya.
2.
Alasan praktis yaitu apabila seorang hakim dalam perkara yang sejenis, memutus yang
isinya berlainan dengan isi keputusan seorang hakim yang kedudukannya lebih tinggi,
maka sudah barang tentu, pihak yang tidak puas dengan keputusan tersebut cenderung
akan mohon apel atau revisi kepada hakim yang lebih tinggi kedudukannya
3.
Alasan persesuaian pendapat, yaitu hakim mengikuti putusan hakim lain dalam memutus
perkara yang sejenis, karena ia sependapat dengan isi putusan hakim lain tersebut.
D. Doktrin
Doktrin atau ajaran hukum (pendapat umum para sarjana atau ahli hukum)sebagai
sumber tempat hakim menggali untuk mendapatkan bahan guna mendukung putusannya,
sehingga putusannya tersebut dapat dipertanggung jawabkan kepada semua pihak, berarti juga
akan mempunyai nilai obyektif dan berwibawa. Di samping alasan tersebut sebenarnya masih
ada 2 (dua) alasan lain yang memperkuat diterimanya doktrin sebagai sumber hukum formal,
yaitu:
1.
Ada larangan bagi hakim menolak untuk memeriksa, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya (Pasal 16 ayat (l) UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 22 AB).
2.
Tidak ada larangan bagi hakim untuk menggunakan doktrin atau ajaran ajaran hukum
dari para sarjana atau ahli hukum di dalam pertimbangan pertimbangan hakim untuk
memutus perkara.
Doktrin bukan merupakan hukum, oleh sebab itu tidak mempunyai kekuatan
mengikat. Namun demikian ada juga doktrin atau ajaran hukum yang dibukukan dan dianggap
mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, sehingga digunakan dalam peradilan.
Beberapa diantara kitab hukum itu adalah: di Normandi - Grand Coutumier de
Normandie (abad ke 13) yang penulisnya tidak dikenal, di Jerman Utara -- Saksenspiegel
(tahun 1230) dari Eike van Repgau. Contoh lain, seperti di Inggris pada abad pertengahan
yang terkenal dengan sebutan sebagai books of authority, salah satu diantaranya adalah
Commentaries on the laws of England dari Sir William Blackstone (Apeldoorn, l97l : 177).
Dalam dunia Islam ada empat mazhab yang terkenal, yaitu: 1. mazhab Hanafi, yang
didirikan oleh Abu Hanafi (699 - 767);2. mazhab Syafi'i, yang didirikan oleh Muhammad ibn
Idris as Syafi'i (757 - 820);3. mazhab Maliki, yang didirikan oleh Malik ibn Annas (713 *795)
dan 4. mazhab Hambali, yang didirikan oleh Ahmad ibn Hambali (807 * 855). Tiap-tiap
mazhab memiliki buku hukum (fiqh) tersendiri.
E. Perjanjian
Menurut Pasal 1313 KUHP Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu sama lain atau lebih. Pengertian perjanjian
disini tidak memberi petunjuk syarat terjadinya perjanjian yang mempunyai akibat hukum.
Maka pengertian perjanjian perlu diperjelas menjadi : Perjanjian adalah hubungan
hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu
akibat hukum.
Perjanjian adalah sah,
apabila memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHP, yaitu adanya: konsensus atau kata
sepakat para pihak yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; suatu
hal atau obyek tertentu; dan suatu sebab atau kuasa yang dibolehkan.
Hubungan hukum yang terjadi mempunyai 3 (tiga) unsur, yaitu:

adanya dua pihak yang saling berhadapan, yang satu sebagai orang yang berhak (kreditur)
dan yang lain sebagai orang yang berkewajiban (debitur);

adanya obyek sebagai sasaran hak dan kewajiban; dan

adanya hubungan antara orang-orang tersebut dengan obyek yang bersangkutan.
Asas-asas yang penting dalam perjanjian
Asas konsensualisme, asas ini berhubungan dengan terjadinya perjanjian, yaitu untuk
terjadinya suatu perjanjian disyaratkan harus ada kata sepakat.
Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda), asas ini berhubungan dengan akibat
perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak, asas ini menjamin kebebasan para pihak untuk mengadakan
perjanjian dengan siapapun dan juga bebas untuk menentukan isi perjanjian, asal perjanjian
yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang
baik.
Asas itikad baik (te goeder trouw), asas ini berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian..
Dalam batas-batas tertentu dapatlah dikatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
pihak itu sama dengan undang-undang, yaitu sama-sama membentuk hukum. Namun
demikian dalam garis besarnya dapatlah dibedakan, yaitu:
1.
Undang-undang terjadi karena kehendak dari satu pihak saja, yaitu pembentuk undangundang, sedangkan perjanjian terjadi karena kehendak dari keduabelah pihak, yaitu para
pihak yang mengadakan perjanjian.
2.
Undang-undang membentuk peraturan hukum in abstracto, berlaku umum bagi setiap
orang, sedangkan perjanjian membentuk hukum in concreto, yaitu berlaku secara khusus
bagi para pihak yang membuatnya.
3.
Undang-undang mengikat dengan tiada didasarkan pada kehendak perseorangan,
sedangkan perjanjian ditaati karena kehendak secara suka rela dari para pihak yang
bersangkutan.
Kesimpulannya yaitu Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hubungan hukum
mengandung dua segi, yaitu: merupakan hak dan merupakan kewajiban. Adapun unsur-unsur
hak ada 4 (empat), yaitu: adanya subyek hukum; adanya obyek hukum; adanya hubungan
hukum yang mengikat pihak lain dengan suatu kewajiban; dan adanya perlindungan hukum.
Download