BAB III SAJIAN DAN ANALISA DATA A. Sajian Data Pada bagian ini, peneliti akan mengemukakan data-data yang didapat selama dilakukannya penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode wawancara dengan para informan yang seluruhnya bergabung dan berpartisipasi dalam program Global Citizen AIESEC di AIESEC LC AUC Kairo Mesir pada tahun 2014. Dalam penelitian yang dilakukan, dipilih sebelas orang sebagai informan di mana kesebelas orang tersebut dipilih sebagai representasi enam wilayah jaringan dalam AIESEC Internasional dan kesemuanya mengikuti program Global Citizen AIESEC . Informan dalam penelitian ini adalah: 1) Lynn Wang (Tiongkok) dan Ryszhan Khankeldy (Kazakhstan) yang mewakili wilayah Asia Pasifik, 2) Karim Hesham (Mesir) dan Adil AlJahdami (Oman) yang mewakili wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, 3) Sarah Dina ElBanhawy (Perancis) dan Janet Rivera (Amerika Serikat) yang mewakili wilayah Barat Eropa dan Utara Amerika, 4) Ioana-Gabriela Radu (Rumania) dan Galia Gazizova (Rusia) yang mewakili wilayah Eropa tengah dan timur, 62 63 5) Muhammad Sanii (Nigeria) yang mewakili wilayah Afrika, 6) dan juga Montse Ledezma (Meksiko) dan Matheus Carneiro (Brazil) yang mewakili wilayah Ibero-Amerika. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, fokus penelitian ini adalah untuk melihat komunikasi antar budaya yang terjadi pada para peserta prorgam pertukaran pemuda dalam sebuah organisasi pemuda internasional AIESEC. Penelitian ini juga ditujukan untuk melihat bagaimana pengalaman para pemuda tersebut dalam melakukan program tersebut yang mengharuskannya untuk berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya, serta bagaimana mereka dengan segala perbedaan yang mereka miliki mampu untuk berkomunikasi dengan baik dengan satu sama lain dan mampu membina hubungan yang baik dengan teman-teman yang berbeda budaya dengannya. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya, program Global Citizen adalah porgram pertukaran pemuda yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung kesempatan dalam kepada para keanggotaan pemuda AIESEC. untuk Program mengembangkan ini memberikan diri dan jiwa kemandirian dan tanggungjawab kepemimpinan melalui bekerja sosial di luar negeri, dengan jangka waktu program selama enam hingga dua belas minggu. Para peserta program ini biasanya akan bekerja dalam waktu tertentu dan terlibat dalam proyek-proyek yang terkait dengan pengembangan komunitas yang memberi dampak positif bagi masyarakat sekitar, seperti misalnya pengajaran, mempromosikan kesadaran HIV / AIDS, bekerja di bidang hak asasi manusia, 64 kelestarian lingkungan, pengembangan kepemimpinan, promosi pariwisata dan banyak lagi. Pada program ini, seorang anggota AIESEC dari suatu negara akan bekerja atau menjadi sukarelawan ke negara lain, dengan durasi waktu minimal selama 6 minggu. Dengan banyaknya jumlah orang yang tergabung dengan program ini, maka hal itu memungkinkan ia untuk bertemu dan bekerja sama secara tim dengan orang dari negara lain, dan tentunya berbaur dengan warga lokal sebagai tuan rumah dari tempat-tempat yang mereka kunjungi. Program ini tidak menjanjikan keuntungan ataupun gaji bagi para pesertanya, walaupun dalam beberapa kesempatan peserta akan mendapatkan gaji dari tempat ia bekerja, akan tetapi program ini menjanjikan sebuah pengalaman yang akan membantu pesertanya dalam mengembangkan pengalaman untuk mempertajam kualitas mereka di masa mendatang. Program ini dirasa sangat baik oleh para pesertanya, terutama dengan adanya kesempatan untuk bisa berkerja sama dan berinteraksi dengan orang-orang dari negara yang berbeda dengannya. Hal ini juga terkait dengan nilai-nilai dari AIESEC itu sendiri yaitu living diversity, di mana para anggota AIESEC diharapkan mampu menanamkan nilai ini hingga mereka mampu untuk hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda dan dapat hidup secara global tidak hanya terkungkung dalam suatu ‘tempat’ tertentu. Hampir kesemua peserta program yang menjadi informan dalam penelitian ini menyatakan rasa senangnya ketika bergabung dan mengikuti program ini. Walaupun beberapa di antara mereka sempat merasakan beberapa kekecewaan 65 akan beberap hal, akan tetapi secara umum mereka menggambarkan pengalaman ini sebagai pengalaman yang menyenangkan dan bahkan mampu mengubah hidup mereka. Seperti yang disampaikan oleh Adil AlJahdami (Oman), Galia Gazizova (Rusia), Ryszhan Khankeldy (Kazakhstan), Sarah Dina ElBanhawy (Perancis), dan juga Matheus Carneiro (Brazil), hal yang paling menarik dari pengalaman ini selain mereka bisa turut andil dalam melakukan kegiatan sosial adalah mereka mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan begitu banyak orang dari berbagai belahan dunia hanya dalam kurun waktu 6-12 minggu durasi mereka mengikuti program tersebut. “Menurut saya hal ini sangat bermanfaat dan sangat sukses bagi saya pribadi. Saya bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai belahan dunia melalui program ini dan bisa membangun jaringan pertemanan internasional yang luas.” (Adil – Oman) “Pengalaman exchange AIESEC ketika di Mesir merupakan pengalaman terbaik yang pernah saya rasakan seumur hidup saya. Sebenarnya ketika itu, project pekerjaan saya tidak berjalan dengan baik sebagaimana seharusnya, akan tetapi saya sangat suka bagian di mana saya bertemu dan berkenalan dengan banyak orang dari berbagai negara.” (Galia – Rusia) “Saya tidak pernah menyesal untuk pernah melakukan kegiatan ini. Saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang dari berbagai negara. Hal ini membuat saya tahu bagaimana mental dan kepribadian mereka.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Setelah pengalaman pertama saya menjadi ketagihan untuk melakukannya lagi. Ini adalah hal yang sangat menarik, dan saya bertemu banyak orang hebat, maka ini adalah pengalaman yang sangat hebat dan merubah hidup bagi saya.” (Sarah – Perancis) “Ini adalah suatu program yang baik dan positif bagi Anda. Anda akan pergi ke suatu negara dan membantu orang-orang disana untuk lebih berkembang lagi dan menciptakan dunia yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Selain itu melalui program ini Anda dapat kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai negara dan itu sangat menarik.” (Matheus – Brazil) 66 Pada awal-awal keikutsertaan para informan dalam mengikuti program Global Citizen ini, tentunya para informan mengalami pengalaman-pengalaman yang menarik dalam hidup mereka. Hal ini dikarenakan kebanyakan dari mereka baru pertama kali mengikuti program ini. Walaupun pengalaman ini bukan untuk pertama kalinya mereka pergi keluar negeri ataupun berinteraksi dengan orang asing, pengalaman ini merupakan pengalaman pertama kalinya mereka harus hidup dengan orang-orang yang berbeda negara serta kebudayaan dengan mereka. “Saya sudah dua kali bergabung dengan program Global Citizen AIESEC, akan tetapi untuk bertemu, hidup, dan bekerja dengan orang-orang sebanyak ini yang berasal dari berbagai negara di seluruh dunia merupakan pengalaman pertama bagi saya.” (Galia – Rusia) “Sebenarnya di kampus saya memiliki teman sekamar yang berasal dari negara lain, akan tetapi ini adalah kali pertama bagi saya untuk bertemu dengan begitu banyak orang dan tinggal dengan orang-orang dari lima negara yang berbeda.” (Janet – USA) “Ya, dan saya harus tinggal dengan orang Indonesia, orang Tiongkok, orang Italia, dan juga orang Kuba. Saya rasa ini sangat menarik.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Ini adalah pengalaman pertama kalinya saya keluar dari negara saya, untuk bertemu orang-orang dari segala penjuru dunia, untuk bertemu langsung dengan lebih dari 100 orang, dalam waktu dua bulan saja dan untuk pertama kalinya benar-benar tinggal dengan beberapa dari mereka dalam satu apartement.” (Ioana – Rumania) Interaksi dengan orang yang berasal dari negara-negara yang berbeda dan juga dengan kebudayaan yang berbeda menjadi salah satu alasan yang mampu meningkatkan perhatian orang-orang akan program Global Citizen ini, tidak terkecuali bagi para informan. Beberapa informan bahkan menjadikan hal ini sebagai alasan utama saat bergabung dengan program ini. 67 Para informan ini sendiri merasakan euforia tersendiri akan pengalaman hidup dalam perbedaan, dan terutama secara internasional yang mereka alami saat itu. Mereka memiliki kepercayaan diri dan juga motivasi yang sangat tinggi untuk bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya yang juga mengikuti program ini. “Tentunya sangat menyenangkan karena ini adalah cara yang paling sempurna untuk mengerti tentang sebuah negara. Anda memiliki waktu yang tidak terbatas dengan orang tersebut, Anda selalu bisa bertanya tentang halhal yang membuat Anda penasaran. Dan juga ini cara yang baik bagi orang lain untuk tahu tentang kebudayaan kita.” (Montse – Meksiko) “Saya sangat senang dengan hal ini. Terkadang saya merasa tidak yakin jika saya memilih cara yang benar untuk berintegrasi dengan komunitas internasional. Tetapi kemudian saya yakin menjadikan hal ini sebagai sebuah „misi‟ selama melakukan exchange ini.” (Lynn – Tiongkok) “Menarik, karena saya akan mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan saya, dan akan menghadapi perbedaan dan saya penasaran bagaimana saya akan mengatasinya. Maka menarik bagi saya.” (Muhammad – Nigeria) “Senang sekali. Ini sangat menarik bagi saya, dan beberapa kebudayaan cukup membuat saya terkejut pada awalnya.” (Galia – Rusia) Melalui pengalaman para informan mengikuti program ini, mereka mengatakan bahwa mereka ingin tahu bagaimana rasanya hidup dalam perbedaan, dan mengetahui budaya, kultur dan kebiasaan dari orang-orang yang berbeda negara dan budaya dari mereka. Seperti yang diungkapan oleh Ioana (Rumania) dan Janet (USA) bahwa mereka ingin untuk mengetahui hal-hal baru dari budaya yang berbeda dengan budaya asli mereka. “Saya selalu tertarik untuk mengetahui hal-hal baru tentang kebudayaan orang lain, karena bagaimanapun juga, hal itulah yang membuat kita unik dengan cara yang indah. Hal yang sangat hebat untuk tidak hanya melihat dunia dari „jendela‟-mu, tetapi lebih lagi dan memiliki kesempatan untuk 68 „melihat dunia‟ melalui pengalaman ini, AIESEC exchange, membuka mata saya lebih lagi dan membuat saya lebih penasaran lagi tentang apa yang dunia bisa tawarkan, maka ya, saya selalu tertarik dengan hal baru dan budaya baru.” (Ioana-Gabriela Radu – Rumania) “Ya. Saya sangat senang untuk mempelajari budaya baru. Sebagai pendatang sendiri, saya diharuskan mengerti tentang budaya yang berbeda agar bisa berasimilasi dengan negara yang saya datangi. Mempelajari budaya baru juga membantu saya menjawab mengapa orang berperilaku tertentu.” (Janet Rivera - USA) Selain keinginan untuk memiliki pengetahuan baru akan budaya yang berbeda dengan budayanya. Ternyata beberapa informan merasa bahwa keinginan untuk mengetahui budaya-budaya dari teman-teman barunya yang berasal dari negara dan kultur lain didasari pada keharusan mereka untuk bekerja sama dalam program Global Citizen itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Sarah Dina (Perancis), di mana menurutnya ia harus mengerti kultur dan kebiasaan rekan kerjanya yang berbeda budaya dengannya, sehingga ia mengerti perbedaan mereka dan menyesuaikannya sehingga bisa bekerja sama dengan baik dengan rekan-rekannya. Begitu juga dengan Karim Hesham (Mesir), sebagai anggota dari AIESEC AUC Mesir, yang juga merupakan salah satu local committe di mana program ini berlangsung, keinginannya untuk berkomunikasi dengan para peserta yang berasal dari berbagai negara ini didasari pada tugasnya untuk mengurus para peserta yang datang. “Ya, tentunya. Saya ingin tahu kebudayaan-kebudayaan lain, karena saya ingin berpergian ke tempat lain, untuk lebih mengerti mereka, dan karena saya akan bekerja dengan mereka yang memiliki budaya yang berbeda dengan saya, maka penting bagi saya untuk mengerti budaya dan kebiasaan mereka.” (Sarah Dina – Perancis) “Dalam hal ini, alasan yang utama adalah memang karena itu tugas utama saya sebagai seorang AIESECer tuan rumah. Di hari pertama seorang peserta datang, saya perlu untuk menghubunginya, kemudian mengantarkannya ke tempat dia bekerja, memastikan segala hal berjalan 69 dengan baik dan tidak ada masalah, dan kemudian hal tersebut berubah menjadi persahabatan pada akhirnya.” (Karim – Mesir) Selain karena alasan pekerjaan, Adil (Oman) merasa bahwa keinginannya untuk berkomunikasi dengan para peserta lain didasari pada kombinasi dari, keinginan, keharusan, dan kebutuhan. Ia memang ingin untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya dengannya ketika ia memutuskan untuk bergabung dengan program ini. Kemudian, karena alasan pekerjaan yang dilakukannya dengan peserta lain mengharuskannya untuk berkomunikasi dengan para peserta yang berbeda budaya yang menjadi rekannya. Selain dua hal tersebut ia merasa, bahwa ia dan para peserta lain berada pada posisi yang sama pada waktu itu, di mana mereka semua merupakan pendatang di sebuah negara dan akan hidup dalam jangka waktu tertentu secara bersama-sama, sehingga mereka semua akan saling membutuhkan untuk saling bekerja sama dalam beradaptasi akan kehidupan yang baru bagi mereka. “Saya merasa saya ingin, saya butuh, dan saya perlu karena saya akan bekerja dengan mereka. Seperti misalnya, ketika pertama kali tiba, saya tidak dijemput oleh pendamping saya atau siapapun dari AIESEC, maka saya harus menangani segalanya sendiri. Ketika saya sampai di satu apartemen, saya bertemu dengan Xristina (Yunani) dan kami sama-sama baru disitu, tetapi dia menolong saya untuk mendapatkan kartu SIM yang baru. Di saatsaat seperti itu saya merasa perlu bantuan dari peserta lain” (Adil – Oman) Dalam sebuah komunikasi antarbudaya, hambatan tentunya merupakan sebuah hal yang tidak mungkin dapat dihindari oleh seseorang yang melakukan komunikasi antarbudaya. Begitu juga yang dialami oleh para informan. Walaupun merasakan euforia akan pengalaman baru yang mereka rasakan, tetapi tidak dapat dipungkiri jika mereka juga sempat mengalami hambatan ataupun kesulitan selama melakukan komunikasi antarbudaya dengan peserta lain. 70 Hambatan ataupun kekecewaan yang dialami oleh para informan pun bermacam-macam. Pada tahap awal program berlangsung, beberapa informan sempat mengalami perasaan cemas dan gugup dalam menghadapi kenyataan bahwa ia akan memasuki lingkungan baru dan ditambah dengan orang-orang yang sama sekali asing dan berbeda darinya. Beberapa bahkan merasakan kesulitan pada awal-awal masa proses mereka. Hambatan ataupun konflik yang mereka rasakan diantaranya adalah: kecemasan dan ketidakpastian, culture shock akan hal-hal baru dan budaya-budaya yang baru mereka ketahui, prasangka dan stereotip, perbedaan pandangan atau kesalahpahaman, serta hambatan bahasa. Ryszhan (Kazakhstan), Matheus (Brazil), dan Sarah (Perancis) sempat merasakan perasaan cemas dalam diri mereka. “Anxiety! Namun kemudian saya merasa mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah saya temui.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Saya sempat merasa anxiety ketika pertama kali berkomunikasi dengan teman-teman disini, dan sempat merasa tidak mudah untuk bisa berkomuunikasi dengan baik dengan mereka.” (Matheus – Brazil) “Saya sangat senang sekaligus khawatir dan penasaran karena saya bisa bertemu dengan orang yang memiliki berbagai macam kehidupan” (Sarah – Perancis) “Menarik, karena saya akan mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan saya, dan akan menghadapi perbedaan dan saya penasaran bagaimana saya akan mengatasinya.” (Muhammad – Nigeria) Selain perasaan cemas, perasaan lain berupa ketidakpastian juga sempat dialami oleh beberapa informan. Mereka merasa tidak pasti apakah mereka bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan baik atau tidak, dan bahkan Lynn (Tiongkok) sempat tidak yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat baginya untuk bisa masuk dalam komunitas internasional yang global. 71 Dalam pengalamannya, Ioana (Rumania) dan Lynn (Tiongkok) sempat merasakan perasaan ketidakpastian ini. Mereka merasa tidak pasti akan kemampuan dirinya dan orang lain dalam melakukan komunikasi antarbudaya ini, terutama pada saat awal-awal mereka mengikuti program Global Citizen ini. Namun, mereka kemudian menjadikan perasaan ketidakpastian yang mereka alami ini sebagai tantangan, apakah mereka dan peserta lain mampu untuk berkomunikasi antarbudaya dengan baik atau tidak. “Saya juga penasaran untuk melihat apakah kami bisa beradptasi dan menerima perbedaan yang lain dan benar-benar menjadi teman, jadi saya melihat ini juga sebagai sebuah tantangan.” (Ioana – Rumania) “Saya sangat senang dengan hal ini. Terkadang saya merasa tidak yakin jika saya memilih cara yang benar untuk berintegrasi dengan komunitas internasional. Tetapi kemudian saya yakin menjadikan hal ini sebagai sebuah „misi‟ selama melakukan exchange ini.” (Lynn – Tiongkok) Selain dari rasa cemas dan ketidakpastian (anxiety/uncertainty) yang sempat dialami oleh beberapa peserta, rasa keterkejutan akan perbedaan-perbedaan budaya yang ada juga sempat menjadi pengalaman bagi beberapa orang informan. Gegar budaya yang dialami oleh para informan pun beragam bentuknya. Mulai dari keterkejutan akan orang dengan suatu budaya tertentu yang sangat baru dan tidak pernah disangka sebelumnya, hingga keterkejutan akan lingkungan baru yang menjadi tempat tinggal para informan. “Ketika saya tiba di apartemen dan saya melihat campuran yang menakjubkan disana: Indonesia, Kazakhstan, Italia, Rumania. Itu keren! Dan mereka juga keren. Akan tetapi saya sempat merasakan culture shock juga pada awaln-awal kedatangan saya” (Montse – Meksiko) “Ini kerap terjadi ketika saya melakukan program ini terutama ketika saya bertemu dengan orang lokal. Beberapa tingkah laku mereka cukup mengejutkan bagi saya, sehingga saya harus berhati-hati dalam 72 berkomunikasi dengan mereka. Sebagai seseorang yang datang dari negara lain, tentu saya sudah memperkirakan ini.” “beberapa kebudayaan cukup membuat saya terkejut pada awalnya. Orangorang Italia sangat mengejutkan bagi saya, karena mereka hidup dengan begitu bebas tanpa peduli dengan apapun, dan itu sangat menarik dan menjadi hal yang baru bagi saya.” (Galia – Rusia) “Pertana kali, saya tidak terbiasa melihat kemiskinan dan gelandangan di jalang mengemis makanan dan juga uang. Hal itu adalah culture shock bagi saya. Dan juga akan kemacetan di sebuah negara yang besar. Hal ini sangat berbeda dengan yang ada di negara saya.” (Adil – Oman) Dalam pengalaman para informan ketika bergabung dengan program Global Citizen, beberapa informan sempat merasakan adanya stereotip dan juga prasangka yang mereka tujukan pada budaya-budaya tertentu. Hal ini terjadi terutama pada saat masa-masa awal mereka. “Permasalahan stereotype juga cukup menjadi masalah dalam komunikasi ini. Kita memiliki stereotype-stereotype tertentu akan sebuah budaya, yang terkadang menghambat kita untuk berkomunikasi dengan lebih efektif dengan mereka.” (Matheus – Brazil) Hampir semua dari informan ini memiliki pengalamannya tersendiri mengenai prasangka dan konfilk yang dialaminya akan tetapi, yang menarik adalah ketika hampir dari kesemua informan memiliki prasangka tertentu dengan orang-orang Asia Timur yang mereka asosiasikan/generalisasikan sebagai orang Tiongkok. Bagi Galia (Rusia), Adil (Oman), Montse (Meksiko), dan bahkan Ryszhan (Kazakhstan), mereka memiliki penilaian-penilaian tertentu mengenai orang Asia. Akan tetapi, terdapat perbedaan di antara dalam menilai orang Asia itu sendiri. Galia sebagai seorang Eropa mengerucutkan orang-orang Asia hanya kepada orang-orang dari timur Asia, seperti Tiongkok, Taiwan, dan Korea. Ia bahkan 73 tidak mengkategorikan orang-orang dari Indonesia dan India sebagai bagian dari Asia yang sama seperti Tiongkok. Hongkong, Taiwan, maupun Korea yang tergolong dalam ras kaukasoid. Galia menganggap orang-orang Asia (dalam persepsinya) sebagai orang yang aneh. “Ya, tentu, sebelum berkomunikasi dengan beberapa orang saya memiliki stereotip tentang mereka, seperti misalnya orang Asia, saya melihat mereka sebelumnya „aneh‟ dan berbeda, sehingga saya melihat dulu bagaimana cara mereka berkomunikasi.” (Galia – Rusia) Selain Galia, Adil (Oman) juga sempat memberi penilaian yang buruk terhadap orang-orang dari Asia terutama Asia Timur. “Mereka hampir seperti alien bagi saya.” (Adil – Oman) Lain halnya dengan Adil dan Galia, Ryszhan (Kazakhstan) dan Montse (Meksiko) justru memiliki penilaian tertentu mengenai orang-orang Eropa. Montse menganggap orang-orang Eropa bersikap lebih dingin daripada orang Asia, dan justru menganggap bahwa berkomunikasi dengan orang-orang Asia lebih mudah dibandingkan dengan berkomunikasi dengan orang-orang Eropa. Sedangkan Ryszhan, yang juga seorang Asia, menganggap bahwa orang-orang Asia, bahkan termasuk dirinya lebih pemalu, sehingga tidak terlalu banyak bicara dibanding orang-orang Eropa. “Saya rasa orang-orang Eropa agak sedikit lebih dingin dibandingkan dengan orang Asia seperti Nurin, dan Ita (Indonesia), dan juga Sudipto atau Arkoalo (India).” (Montse – Meksiko) “Selain itu bisa saya katakan bahwa budaya Asia dan Eropa cukup berbeda. Orang Asia lebih pemalu daripada orang Eropa, kami mencoba untuk tidak terlalu banyak bicara dan lebih mendengarkan yang lain.” (Ryszhan – Kazakhstan) 74 Prasangka-prasangka serta stereotip yang mereka miliki sebenarnya adalah sebuah presepsi yang sebelumnya justru tidak mereka ketahui kebenarannya. Maka, pada saat mereka mengikuti program ini, dan melakukan komunikasi antarbudaya dengan peserta lain yang berbeda budaya dengan mereka, mereka mulai menyadari kesalahan akan persepsi yang sebelumnya mereka sematkan pada beberapa orang atau budaya tertentu. “tentunya saya memiliki stereotype tertentu walaupun saya rasa itu bukan hal yang baik. Seperti misalnya, saya pikir orang Tiongkok lebih banyak tidur dan makan banyak menu ayam, gadis-gadis Rumania suka dengan telenovela, dan saya kira pemuda Mesir baik-baik dan ganteng, tetapi ternyata salah.” (Montse – Meksiko) “saya memiliki beberapa stereotype tertentu, seperti misalnya saya tidak menyangka bahwa orang-orang Mesir sangat baik dan ramah. Saya pikir karena kehidupan yang keras dan juga revolusi dan tentunya populasi yang banyak mereka akan kasar dan tidak menghargai tetapi ternyata tidak semua seperti itu. Saya juga sempat merasa bahwa orang-orang Turki sangat individual dan egois serta kasar, tetapi ternyata hanya sebagian. Dan ternyata mereka akan berubah ketika sudah dekat dengan kita.” (Adil – Oman) “Ya, harus saya akui saya sempat memiliki penilaian tertentu dan juga sempat mempengaruhi cara saya berkomunikasi dengan mereka. Saya begitu optimis dengan orang-orang Mesir dan pesimis dengan orang-orang Tiongkok. Akan tetapi kemudian saya ingat bahwa saya harus menghargai mereka.” (Ryszhan – Kazakhstan) Dari wawancara yang dilakukan terhadap para informan, diketahui bahwa prasangka-prasangka serta stereotip-stereotip yang ada sebenarnya sudah mereka miliki sebelum mereka bergabung dengan program ini dan sebelum mereka melakukan komunikasi antarbudaya dengan beberapa orang dari suatu budaya tertentu. Stereotip dan prasangka yang terjadi dalam penelitian ini menariknya tidak hanya terjadi pada diri mereka terhadap orang lain maupun peserta lain. Akan 75 tetapi sebuah pengalaman menarik sempat dirasakan oleh Galia, di mana ia juga sempat merasakan bagaimana ia merasa terganggu akan stereotip-stereotip yang dikemukakan oleh orang lain akan kultur ataupun negaranya. “Kemudian, saya sempat merasa beberapa orang bersikap „tidak sopan‟ kepada saya karena mereka mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang orang-orang Rusia, dan itu sempat membuat saya marah.” (Galia – Rusia) Selain sempat dibuat kesal oleh stereotip-stereotip yang dikemukakan oleh orang-orang yang baru dikenalnya tentang negaranya, Galia ternyata memiliki pengalaman lain tentang prasangka ataupun stereotip ini. Karena ketika ia bertemu dengan Adil (Oman), ia merasa sangat nyaman untuk berkomunikasi dengannya, maka ia kemudian merasa memiliki stereotip baru mengenai orang muslim dan terlebih lagi terhadap orang Oman. “Saya juga menilai seseorang berdasarkan penampilan mereka, dan itu kemudian membentuk stereotip baru bagi saya. Seperti misalnya, ketika saya bertemu dan berteman dengan Adil (Oman), saya merasa dia adalah orang muslim terbaik di seluruh dunia dan (karena dia orang Oman, maka) saya menilai bahwa orang-orang Oman sebaik dia.” (Galia – Rusia) Dalam penelitian ini, para informan yang berasal dari wilayah-wilayah dan negara-negara yang berbeda tentu memiliki latar belakang yang berbeda pula. Hal tersebut tentunya membuat mereka memiliki perbedaan dalam hal cara pandang, memaknai, dan menyikapi suatu hal. Hal yang sama juga terjadi pada pengalaman komunikasi antarbudaya yang dialami oleh para informan selama mengikuti program Global Citizen ini. Beberapa perbedaan pandangan sempat menjadi hambatan dalam komunikasi antarbudaya yang mereka lakukan dengan orang lain. 76 Pada pengalaman Adil dan Galia, perbedaan pendapat mereka temui dalam masalah perawatan apertemen yang harus mereka tinggali dengan peserta lain. Mereka menginginkan apartemen yang mereka tinggali selalu dalam keadaan bersih sehingga nyaman untuk ditempati, tetapi teman mereka tidak peduli dengan kebersihan apartemen seperti mereka. “Saya sempat merasa perbedaan pandangan, seperti misalnya ketika saya ingin apartemen kami bersih, salah seorang teman tinggal saya benar-benar tidak pengertian. Sebagian tempat sangatlah kotor, berdebu dan berantakan hingga kamu tidak bisa beraktivitas bahkan untuk jalan dan bernapas denngan benar. Dan pada saat itu dia sempat marah karena kami beradu argumen. Saya bahkan harus membuat seolah-olah itu adalah salah saya, dan akhirnya meminta maaf untuk berbaikan.” (Adil – Oman) “Dan beberapa sikap mereka cukup membuat saya dan teman-teman saya terkejut dan kesal, karena ketika kami tinggal dalam satu apartemen yang sama maka kami memutuskan untuk membersihkan apartemen bersamasama, tetapi yang terjadi adalah mereka hanya membersihkan barangbarang mereka.” (Galia – Rusia) Berbeda dengan Adil dan Galia yang memiliki perbedaan pandangan dengan peserta lain dari Tiongkok mengenai kebersihan apartemen, Matheus memiliki perbedaan pandangan dengan peserta lain mengenai keamanan dirinya ketika mengikuti program tersebut. Karena terbiasa hidup di Brazil yang merupakan sebuah negara dengan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi, Matheus merasa jika tidak aman bagi seseorang untuk berada di luar rumah saat larut malam. Akan tetapi peserta lain ternyata menganggap hal itu biasa saja, dan tidak perlu dikhawatirkan berlebihan. “perbedaan pandangan juga bisa jadi menimbulkan konflik di antara kami. Saya pernah suatu saat, pergi ke sebuah acara dengan kawan-kawan hingga larut malam. Pada saat itu, saya ingin pulang lebih dulu karena sudah lelah. Saat itu, saya mengajak teman-teman serumah saya pulang duluan, akan tetapi mereka tidak mau dan menyuruh saya untuk pulang sendiri. Bagi saya itu cukup menyinggung, karena saya merasa mereka menganggap saya lemah 77 atau yang lain. Tapi bagi kami, warga Brazil, merupakan hal yang wajar jika kami meminta seseorang untuk menemani kami pulang, dan tidak pulang sendirian karena di Brazil tidak aman.” (Matheus – Brazil) Galia memiliki banyak pengalaman mengenai perbedaan yang sempat menjadi penghambat bagi dirinya dalam melakukan komunikasi antarbudaya dengan orang lain. Salah satu perbedaan pandangan yang dimilikinya dengan orang lain adalah dalam hal membentuk kelompok pertemanan yang lebih dekat (peer group). Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan peer group adalah suatu hal yang wajar untuk terjadi dalam sebuah hubungan pertemanan terutama dalam kelompok yang lebih besar. Dalam pengalamannya mengikuti program Global Citizen ini, seseorang bisa bertemu dan berkenalan dengan lebih dari 100 orang yang asing baginya sebelumnya, maka keberadaan peer group tidak bisa dihindari pasti terjadi karena seseorang tidak mungkin untuk berteman dekat dengan 100 orang di saat yang bersamaan. Dalam pengalamannya akan peer group ini, Galia sempat memiliki beberapa perbedaan pandangan dengan teman-teman peer group nya. Menurutnya, dalam kebudayaan Rusia, jika seseorang sudah berteman dan membentuk sebuah peer group, maka yang terjadi adalah ia akan terus berada dalam kelompok yang sama dengan orang tersebut. Tetapi, ternyata ia menemui jika teman-teman peer groupnya tidak berada dalam satu kelompok saja, tetapi juga bergabung dengan kelompok-kelompok lain. Galia pun sempat merasa ‘dikhianati’ oleh temantemannya. “Kemudian dalam hal berteman, ternyata beberapa orang tidak berteman dengan orang yang sama dalam satu waktu, jadi saya sempat merasa „ditinggalkan‟ atau kasarnya „dikhianati‟ oleh teman saya itu, karena itu 78 sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Rusia, tapi pada akhirnya saya yang mengikuti pola tersebut.” (Galia – Rusia) Selain dengan teman-teman peserta lain, ternyata Galia juga sempat merasakan perbedaan pandangan dengan warga lokal yang juga merupakan tetangga satu gedung apartemennya. Tetangganya sempat merasa jika Galia melakukan seesuatu tindakan yang tidak sopan karena berpakaian tidak pantas dan pulang larut malam dengan diantar oleh laki-laki. Dalam kultur Rusia, Galia merasa hal itu sebagai hal yang biasa di mana pemuda seusianya keluar dengan teman-temannya ke club untuk sekedar nongkrong dan minum-minum. “Selain dengan para peserta, saya juga sempat bermasalah dengan warga lokal, terutama dengan tetangga di tempat di mana saya tinggal. Saya dianggap berperilaku yang tidak sopan sebagai seorang wanita, karena saya pulang pada dini hari dan diantar oleh pria, dan pakaian saya dinilai tidak pantas. Tetangga-tetangga saya mengeluhkan hal tersebut kepada teman saya yang lain, yang memiliki hubungan yang cukup baik dengan mereka, bahwa apa yang saya lakukan itu tidak baik, bahkan parahnya mereka mencap bahwa apartemen tempat kami tinggal adalah tempat prostitusi, dan mereka akan melakukan tindakan jika mereka menemukan saya atau yang lain melakukan hal tersebut lagi (pulang pada dini hari dan diantar lakilaki). Padahal menurut saya hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh, saya sebagai anak muda merasa wajar untuk pergi ke club di malam hari, dan saya diantar oleh teman-teman pria untuk menghindari hal-hal yang buruk karena Mesir terkenal dengan kasus pelecehan seksualnya, sehingga saya merasa lebih aman. Tetapi kemudian untuk menghindari hal yang tidak-tidak, saya memutuskan untuk berpakaian yang lebih sopan ketika meninggalkan gedung, dan berganti pakaian ketika sampai di tujuan, dan ketika pulang, saya hanya akan diantar sampai di depan gedung apartemen.” (Galia – Rusia) Pengalaman lain diutarakan oleh Lynn. Selama ia mengikuti program Global Citizen ini, ia memang sempat merasakan adanya pelecehan yang dilakukan oleh para peserta lain terhadap para peserta dari Tiongkok. Ia juga merasakan adanya perbedaan pandangan antara ia dan para peserta dari Tiongkok ataupun negaranegara Asia Timur lainnya. 79 “Ketika itu kami semua pergi untuk mendaki sebuah gunung. Akan tetapi hanya beberapa teman dari Tiongkok yang sampai ke puncaknya, dan menariknya, seluruhnya berasal dari Tiongkok ataupun Taiwan. Temanteman dari negara lain hanya berada di bawah. Ketika itu, mereka semua ingin kembali ke hotel, tetapi teman-teman dari Tiongkok tidak mau turun karena mereka merasa sudah sulit untuk mendaki maka mereka ingin menikmati suasana dan pemandangan itu lebih lama lagi. Maka argumen dan negosiasi juga sempat terjadi disitu diantara dua pihak. Pada akhirnya, saya berhasil membujuk mereka untuk turun. Dan mereka pun berusaha lagi untuk turun dari bukit berbatu itu. Tetapi yang terjadi adalah teman-teman yang lain hanya berdiri dan seperti menonton sebuah pertunjukkan. Kamu tahu, tidak mudah untuk menuruni bukit berbatu, dan beberapa dari mereka sempat terpeleset dan hampir jatuh. Tetapi teman-teman yang lain hanya mentertawakan hal tersebut. Saat itu, itu cukup menyinggung saya sebagai orang Tiongkok, karena di Tiongkok, kami akan mengulurkan tangan untuk membantu mereka.” (Lynn – Tiongkok) Perbedaan pandangan yang menarik terjadi pada pengalaman Ryszhan. Karena ia memiliki sikap yang terbuka dan mudah bergaul dengan siapa saja, maka ia pun dengan santai mencoba untuk berteman dengan para pemuda dari Mesir dan bersikap baik dengan mereka. Akan tetapi setelah beberapa waktu, Ryszhan kemudian menyadari bahwa terjadi salah paham diantara mereka, di mana sikap baik Ryszhan kepada para pemuda Mesir tersebut dianggap sebagai rasa suka terhadap mereka. 80 “Sebenarnya saya tipe orang yang terbuka, saya sangat senang berteman, tetapi ketika saya melakukan program exchange ini di Mesir, saya akhirnya sadar jika saya berkomunikasi dengan laki-laki, mereka mungkin saja mengira saya menyukai mereka. Dan menurut saya itu menjijikkan.” (Ryszhan – Kazakhstan) Perbedaan pandangan lainnya yang dialami oleh Ryszhan adalah dalam hal tanggungjawab dengan panitia lokal program ini. Ia menggangap bahwa panitia lokal tidak memandang beberapa hal sebagai urgensi dan sering mengabaikan tanggungjawab mereka, padahal menurutnya hal-hal tersebut adalah hal yang penting dan sudah sepatutnya mereka bertanggungjawab atas para peserta karena merupakan bagian dari tugas dan kewajiban mereka sebagai panitia. “saya lebih merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang local dan AIESECer tempat saya bekerja. Mereka seringkali tidak bertanggungjawab dengan tugas mereka. Ketika kami membutuhkan mereka, mereka bahkan tidak menjawab. Dan ternyata memang banyak di antara mereka yang seperti itu. Ketika kami butuh sesuatu tentang apartemen kami, dan kami menghubungi mereka untuk membantu kami mengatasi masalah tersebut, mereka bahkan tidak menjawabnya. Kemudian saat kami butuh seseorang dari mereka untuk membantu teman kami yang bermasalah dan perlu untuk pergi ke kedutaan negaranya, mereka bahkan tidak membantu. Jadi hal-hal seperti itu yang membuat komunikasi kami dan hubungan kami dengan para AIESECer tidak berjalan baik.” (Ryszhan – Kazakhstan) Dalam sebuah program pertukaran antar pemuda yang berasal dari berbagai negara di dunia, bahasa internasional yaitu bahasa inggris wajib dan mutlak untuk dikuasai oleh para peserta. Akan tetapi kemampuan seseorang dalam berbahasa inggris tentunya berbeda-beda, belum lagi variasi bahasa seperti dialek dan aksen yang dimiliki oleh setiap orang yang seringkali memengaruhi cara seseorang berkomunikasi. Dalam wawancara yang dilakukan terhadap para informan, hampir kesemua informan mengatakan jika bahasa merupakan permasalahan atau hambatan utama 81 yang mereka temui ketika melakukan komunikasi antarbudaya selama mengikuti program Global Citizen tersebut. “Saya rasa perbedaan bahasa menjadi masalah utama, bahkan ketika kita berbicara bahasa internasional, aksen dan cara kita mengucapkannya juga bisa menjadi masalah tersendiri. Selain itu bisa saya katakan bahwa budaya Asia dan Eropa cukup berbeda. Orang Asia lebih pemalu daripada orang Eropa, kami mencoba untuk tidak terlalu banyak bicara dan lebih mendengarkan yang lain.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Hambatan paling utama adalah bahasa inggris. Ketika kita tidak menemukan kata yang kita maksud dalam bahasa inggris, dan sangat sulit pada awalnya untuk berbahasa inggris setiap saat.” (Sarah – Perancis) “saya rasa bahasa terkadang menjadi permasalahan utama untuk bisa berkomunikasi dengan lebih baik.” (Montse – Meksiko) “Permasalahan bahasa menjadi masalah utama. Terkadang kita menilai suatu hal berbeda dengan yang orang lain nilai. Bisa saja kita mengucapkan kalimat yang sama namun diartika berbeda.”(Matheus – Brazil) “Saya rasa permasalahan bahasa menjadi masalah utama, terlebih lagi jika mereka tidak berusaha untuk menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa utama yang menyatukan kita semua. Ada beberapa peserta yang tidak berbahasa inggris dengan baik dan sulit dimengerti namun mereka masih tetap berusaha, dan itu cukup membantu. (Muhammad - Nigeria) “Permasalahan bahasa dan juga kesalahpahaman di antara orang yang berbeda budaya.” (Lynn – Tiongkok) “yang mungkin menjadi masalah utama adalah permasalahan bahasa dan juga culture shock.” (Karim – Mesir) “Terkadang bahasa bisa menjadi masalah,beberapa orang bahkan mungkin malu untuk berkomunikasi karena kemampuan berbahasa mereka.” (Janet – USA) “Saya rasa yang paling sering adalah permasalahan bahasa yang menjadi masalah utama. Di saat yang sama, mungkin saja mereka tidak terbiasa dengan begitu banyak orang asing di area tersebut, sehingga mereja tidak terbiasa untuk berkomunikasi dengan orang yang tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan mereka.” (Ioana – Rumania) “Permasalahan bahasa menjadi hal yang utama menurut saya, seperti misalnnya ketika teman-teman yang lain bercanda dengan serunya, saya 82 merasa minder untuk bergabung karena kemampuan bahasa saya yang kurang, dan itu membuat saya tidak bisa berbaur dengan baik dengan mereka.” (Galia – Rusia) Permasalahan mengenai bahasa ini dikarenakan mayoritas dari peserta program tersebut tidak menggunakan bahasa inggris, yang dalam hal ini merupakan bahasa internasional pemersatu, sebagai bahasa utama mereka. Bahasa inggris hanyalah bahasa kedua atau bahkan ketiga bagi mereka selain bahasa nasionalnya atau mungkin bahasa daerah yang mereka milik i. Karena bukan sebagai bahasa utama, maka bahasa inggris bukanlah bahasa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Maka wajar, jika setiap peserta memiliki tingkatan kemampuan berbahasa inggris yang berbeda-beda. Kemampuan yang dimaksud dalam hal ini adalah seberapa banyak kosakata yang mereka kuasai, bagaimana pengucapannya, dan juga bagaimana tata bahasa mereka dalam merangkai suatu kalimat sehingga mampu dimengerti oeh orang lain. Belum lagi ditambah dengan aksen ataupun dialek yang berbeda-beda yang dimiliki oleh setiap peserta, yang bahkan dimiliki oleh peserta dengan bahasa utamanya bahasa inggris, sehingga menambah permasalahan dalam berkomunikasi. Permasalahan akan kemampuan bahasa inggris yang tidak begitu baik rupanya sempat mempengaruhi tingkat kepercayaan diri beberapa informan. Karena mereka merasa kemampuan bahasa inggris mereka tidak begitu baik, maka merekapun menjadi malu untuk berkomuunikasi dengan peserta lain ataupun orang lain dengan bahasa utama yang berbeda dengannya. “Pada awalnya saya sempat merasa malu untuk berinteraksi dengan peserta lain karena saya merasa kemampuan bahasa inggris saya tidak sebagus yang 83 lain dan juga karena mereka sudah akrab terlebih dahulu satu sama lain, akan tetapi karena keinginan untuk memiliki teman dan melihat teman-teman lain berteman dengan akrab dan seru maka akhirnya saya percaya diri untuk berkomunikasi dengan peserta yang lain.” (Galia – Rusia) “Saya sempat merasa malu awalnya karena bahasa inggris saya yang tidak begitu baik, dan saya khawatir orang tidak akan mengerti yang saya maksud. Tetapi begitu saya bertemu dengan Miriam, teman satu apartemen saya yang juga berasal dari Meksiko dan berbicara dengan bahasa spanyol, saya merasa lebih percaya diri entah mengapa. Kemudian, saya semakin sering berkomunikasi dengan mereka.” (Montse – Meksiko) Rasa tidak percaya diri yang mereka miliki pada saat awal-awal mereka mengikuti program ini memang disadari sendiri oleh mereka bisa menjadi penghambat bagi mereka untuk berkomunikasi dengan peserta lain terutama yang berasal dari negara yang berbeda dengan mereka. Akan tetapi mereka cukup beruntung karena bahasa utama mereka yaitu bahasa rusia bagi Galia dan bahasa spanyol bagi Montse juga digunakan sebagai bahasa utama oleh beberapa negara, sehingga ada juga peserta lain yang membantu mereka dalam berkomunikasi. Selain itu, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin seringnya mereka berinteraksi dengan peserta dan orang lain, hal tersebut ternyata dirasa mampu meningkatkan kemampuan mereka untuk berbahasa inggris, seperti yang disampaikan oleh Sarah berikut ini. “...(mengikuti program ini) membuat saya bisa meningkatkan kemampuan bahasa inggris saya (dengan cara berkomunikasi dengan peserta lain)” (Sarah – Perancis). Akan tetapi berbeda dengan Adil, hambatan untuk berkomunikasi dengan orang yang berbeda bahasa dengannya bukan dikarenakan kemampuan bahasa inggrisnya yang dirasa kurang bagus, tetapi ia merasa jika perbedaan bahasa 84 membuat ia merasa membutuhkan waktu lebih untuk menjalin pertemanan dengan orang lain yang berbeda bahasa dengannya. “Kebanyakan dari peserta tidak berbahasa arab, hanya beberapa dari Maroko, Bahrain, dan Aljazair serta orang lokal yang berbahasa arab, maka berteman dengan mereka dapat saya lakukan dengan instan dan cepat.” (Adil – Oman) Yang menarik dalam penelitian ini adalah, hampir semua dari informan mengalami masalah komunikasi dengan para peserta dari Tiongkok. “Yang menjadi masalah hanyalah ketika saya bertemu dengan orang-orang Tiongkok. Mereka hampir seperti alien bagi saya. Bahkan ketika mereka berbicara, sangat sulit untuk dimengerti.” (Adil – Oman) “Kemudian, dengan teman-teman yang berasal dari Tiongkok, saya merasa tidak mengerti lagi harus bagaimana, karena mereka begitu tertutup dan beberapa dari mereka tidak bisa berbahasa inggris dengan baik, dan itu sangat menyulitkan bagi kami semua untuk berkomunikasi dengan mereka. Dan buruknya, hal tersebut menjadikan beberapa peserta untuk mengejek atau menjadikan mereka sebagai bahan bercandaan.” (Galia – Rusia) “Saya pribadi tidak menemui kesulitan, akan tetapi saya melihat beberapa peserta dari Tiongkok hanya berkumpul dengan teman-teman senegara mereka karena mereka tidak berbahasa inggris dengan cukup baik. Dan saya juga merasa ini bagian dari budaya mereka (untuk berkumpul dengan temanteman senegaranya).” (Karim – Mesir) “Permasalahan bahasa dan tidak mengerti bahasa inggris. Bahkan terkadang ketika kita mengerti, kita tetap sering salah mengartikan satu sama lain. Beberapa sangat kesulitan untuk mengerti apa yang kamu katakan, dan mereka terus berkata “Apa?” bukannya “Ya, saya mengerti”, terlebih lagi dengan orang-orang Tiongkok.” (Muhammad – Nigeria) “Saya pernah mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan temanteman yang lain, terutama dengan teman-teman yang berasal dari Tiongkok. Saya merasa mereka tertutup dan sulit untuk diajak berkomunikasi.” (Matheus – Brazil) “Menurut saya kesulitan terbesar saya adalah ketika saya berteman dengan teman-teman dari Tiongkok yang tidak bisa berbahasa inggris dengan begitu baik, itu menjadi masalah buat saya.” (Sarah – Perancis) 85 Ketika ditanyakan mengenai masalah ini, para informan menceritakan pengalaman mereka ketika berkomunikasi ataupun melihat bagaimana orangorang Tiongkok berkomunikasi, di mana rata-rata peserta dari Tiongkok memiliki kemampuan bahasa inggris yang tidak terlalu baik, dan hal tersebut dikarenakan oleh aksen dan dialek yang mereka miliki, sehingga menghambat mereka untuk mengerti kata-kata yang dimaksud. Sayangnya, kekurangan yang ada pada kemampuan berbahasa inggris para peserta dari Tiongkok, membuat mereka menjadi malu dan tidak percaya diri untuk berani berkomunikasi dengan peserta dari negara lain. Para peserta dari Tiongkok itu pun akhirnya lebih senang untuk berkumpul dengan teman-teman senegaranya. Akan tetapi tidak semua peserta dari Tiongkok memiliki masalah yang sama. Beberapa dari mereka juga ternyata bisa untuk berbaur dengan peserta dari negara lain, dan membantu menjelaskan mengapa peserta dari Tiongkok yang lain bersikap seperti itu. “Ada beberapa orang dari mereka yang cukup keren dan bisa berbaur dengan yang lainnya. Peserta dari Italia yang tahu bagaimana caranya bersenang-senang, kemudian mengambil beberapa dari mereka dan memasukkannya ke kelompok yang senang berpesta dan bersenang-senang. Salah seorang teman dari Tiongkok yang menurut saya cukup keren dan bisa berbaur dengan peserta lain mengatakan hal ini dikarenakan kehidupan mereka di tempat asalnya, di mana mereka tidak memiliki saudara (dalam satu keluarga inti), sehingga mereka menjadi lebih „egois‟ dan „individualis‟.” (Galia – Rusia) Permasalahan bahasa ini tidak hanya dialami oleh peserta dengan peserta lain selama mereka mengikuti program ini. Akan tetapi ternyata juga mereka alami dengan warga lokal yang tidak bisa berbahasa inggris dengan baik. Seperti 86 pengalaman Ioana yang sempat merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan pengendara taksi atau bis disana. “Salah satu contoh terbaik dalam hal ini walaupun mungkin tidak terkait dengan pengalaman saya dengan peserta lain adalah dengan pengemudi taksi atau bus di Kairo, yang tidak berbahasa inggris. Ketika saya harus pergi ke suatu tempat dengan taksi atau bus, sangat sulit untuk membuat supir tersebut mengerti saya. Bahkan ketika saya sudah menyebutkan nama tempat yang harus saya tuju, mereka tetap salah. Mungkin karena mereka menyebutkan tempat yang sama dengan nama yang berbeda dan saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya dengan lebih baik dalam bahasa Arab. Permasalahan yang lain adalah ketika saya bertanya arah atau alamat. Sangat sulit untuk menemukan orang yang mengerti apa yang saya katakan dan bisa memberikan saya petunjuk yang benar.” (Ioana – Rumania) Pengetahuan mereka akan keberadaan kultur ataupun budaya lainnya pun sudah cukup baik, sehingga hal tersebut berpengaruh kepada sensitifitas dan karakter mereka. Mereka mengerti bahwa dalam kehidupan bersosialisasi yang global dan internasional, ada perbedaan-perbedaan tertentu dalam beberapa hal, sehingga mereka berusaha untuk mengerti dan menghargainya. “Saya rasa tidak perlu untuk menilai orang lain, tetapi mencoba untuk mengerti orang tersebut dari kebudayaannya, untuk mengerti mengapa mereka melakukan sesuatu yang berbeda dengan kita dan mengapa mereka tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan kita. Hal ini bisa dilakukan melaui percakapan normal sepanjang keduanya berpikiran terbuka untuk mengerti bahwa tidak semua orang berpikir dan bertindak seperti kita dan tentunya hal ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk meniai orang lain.” (Ioana – Rumania) “Saya menyadari bahwa semua orang berbeda dan datang dengan berbagai macam latar belakang. Tetapi saya tidak akan memberikan penilaian tertentu tentang mereka, karena tentunya hal itu tidak baik bagi kami.” (Janet – Rumania) Dalam meningkatkan kompetensi komunikasi antarbudaya, seseorang tidak hanya harus memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi juga juga harus memperhatikan orang lain yang menjadi lawan komunikasinya. Akan tetapi dalam 87 perjalanan nya, para informan juga memiliki keinginan untuk dimengerti kultur dan kebudayaannya oleh peserta dan orang lain yang memiliki latar belakang kebudayaan berbeda dengannya. “Saya rasa ini hal yang penting. Tiongkok dihantui oleh politiknya. Imej Tiongkok pun diputar oleh politik itu sendiri, sementara kebudayaan tidak bisa melakukan hal yang sama. Saya rasa kebudayaan Tiongkok cukup mempesona untuk membuat semua orang melupakan tentang partai ataupun hal-hal politik lainnya.” (Lynn – Tiongkok) “Ada beberapa hal yang berbeda dalam budaya saya dengan budaya orang lain. Seperti misalnya ketika teman-teman saya berhubungan dengan teman yang lain dan sempat „meninggalkan‟ saya, saya merasa itu hal yang tidak sopan dan tidak seharusnya dilakukan, karena dalam budaya saya, ketika kami bersama maka sudah seharusnya saya tetap bersama mereka begitu juga sebaliknya, dan saya merasa cukup sedih dan kesal ketika melihat mereka juga bermain dengan peserta lain. Selain itu ketika beberapa orang mulai „sok tahu‟ dengan kebudayaan Rusia, dan mengatakan beberapa hal tentang Rusia, saya merasa bahwa mereka seharusnya tidak seperti itu dan lebih mengerti kebudayaan Rusia, karena apa yang mereka katakan tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.” (Galia – Rusia) “Saya tentunya ingin memberitahu yang lain tentang kebudayaan saya karena saya yakin ada banyak hal menarik yang kebanyakan dari mereka tidak pernah dengar dan mereka mungkin akan tertarik untuk lebih tahu dan siapa tahu, mungkin mereka akan mengunjungi negara saya nantinya dan merasakan sendiri hal-hal yang saya ceritakan kepada mereka. Kami memiliki kebudayaan yang luar biasa dan penting untuk membiarkan orang lain tahu akan hal ini.” (Ioana – Rumania) “Saya selalu berusaha untuk menjawab setiap pertanyaan yang mungkin dimiliki orang lain tentang negara dan juga kebudayaan saya. Terkadang apa yang media gambarkan tentang sebuah budaya tidak sepenuhnya benar dan saya ingin menghilangkan stereotype tersebut.” (Janet – USA) “Ya, saya sangat senang jika orang lain berusaha untuk mengerti dan menghargai kebudayaan saya, karena ada beberapa yang tidak peduli akan hal itu dan itu justru menimbulkan kesulitan bagi mereka sendiri.” (Karim – Mesir) “Saya rasa jika saya ingin lebih mengerti tentang kultur mereka, maka saya juga ingin mereka untuk mengerti tentang kultur saya. Ini lebih ke arah menghargai satu sama lain, bukan karena saya egois.” (Sarah – Perancis) 88 Dalam pengalaman yang terjadi dilakukan oleh para informan, perbedaan memang mutlak tidak dapat dihindari. Yang bisa dilakukan oleh para informan hanyalah menyesuaikan diri dalam menghadapi segala hal yang terjadi, termasuk hambatan dan konflik. Jika menemui hambatan dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi selama mengikuti program ini, para informan akan mencoba untuk memperbaiki masalah tersebut dan menginginkan agar komunikasi antarbudaya terus berjalan dengan baik, semaksimal mungkin bahkan ketika komunikasi hanya bisa dilakukan dengan minimal, seperti misalnya dalam hal perbedaan bahasa, mereka akan menggunakan bantuan seperti gerakan tangan, gesture, atau bahkan tulisan atau gambar. Akan tetapi jika mereka merasa sudah tidak bisa untuk saling mengerti maka mereka akan menarik diri dari komunikasi tersebut, atau setidaknya mengurangi komunikasi tersebut dan hanya berkomunikasi seperlunya. “Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya merasa tidak perlu untuk berhenti berkomunikasi. Walaupun saya hanya berkomunikasi seperlunya saja. Saya ada disana untuk menikmati setiap halnya termasuk perbedaan ini.” (Adil – Oman) “Umm.. hal ini tergantung pada siapa saya berkomunikasi. Seperti misalnya, terhadap orang-orang Italia saya merasa oke-oke saja walaupun saya merasa budaya mereka sangat berbeda dengan budaya saya. Mereka berbicara dan bersikap dengan bebasnya, dan walaupun itu mengejutkan bagi saya, tetapi saya melihat itu sebagai sesuatu yang keren dan saya tetap berkomunikasi dan berteman dengan mereka. Akan tetapi dengan beberapa peserta dari Tiongkok, saya merasa „cukup‟, saya tidak bisa berteman lagi dengan mereka, karena dalam beberapa hal saya merasa mereka melakukan hal-hal yang tidak asik dan tidak sesuai dengan kepribadian saya dan umumnya dilakukan oleh anak-anak seusia kami, selain itu mereka tidak berusaha untuk berkomunikasi dan membentuk hubungan yang baik dengan saya, maka saya memutuskan untuk tidak perlu berteman dengan mereka. Walaupun kami tinggal dalam satu kamar, saya hanya ke kamar untuk tidur dan berganti baju tanpa merasa perlu untuk berkomunikasi dengan mereka.” (Galia – Rusia) 89 “Pada awalnya sedikit mengesalkan untuk berkomunikasi dengan orang dan menyadari jika kami tidak saling mengerti dengan baik, tetapi hal ini tidak membuat saya berhenti untuk berinteraksi dengan orang tersebut. Selalu ada cara ain untuk berkomunikasi dengan seseorang, seperti misalnya menggambar atau menunjuk arah dengan menggunakan gerakan tangan atau dengan bantuan dari orang yang bisa mengerti kami berdua dan membantu kita untuk saling mengerti dan berkomunikasi dengan lebih baik. Dengan cara ini, kita bisa memahami bagaimana caranya kita menghadapi situasi sulit dan tidak menyerah dalam berinteraksi dengan orang dari negara yang berbeda, dengan budaya yang berbeda hanya karena pada awalnya mungkin terlihat sangat sulit.” (Ioana – Rumania) “Saya akan tetap berkomunikasi dengan mereka tetapi tergantung juga dengan orang tersebut. Jika dia tidak ada keinginan untuk mengerti saya, maka saya tidak akan berkomunikasi lagi dengan mereka.” (Janet – USA) “Jika saya tertarik dengan orang itu, maka saya akan tetap berkomunikasi walaupun menemui kesulitan. Tetapi juga tergantung dengan mood, jika saya sedang malas, maka saya hanya akan membiarkan itu pergi begitu saja.” (Lynn – Tiongkok) “Mungkin saya hanya akan berkomunikasi seperlunya jika saya merasa sulit berkomunikasi dengan seseorang.” (Muhammad – Nigeria) “Hal itu tergantung pada siapa saya berbicara, yang saya maksud adalah ketika kita kesulitan dalam berkomunikasi dengan seseorang, akan tetapi di antara kita masih ada rasa keinginan untuk saling berkomunikasi, maka saya akan tetap berkomunikasi jika saya rasa perlu. Akan tetapi jika lawan bicara saya tidak menunjukkan rasa ketertarikan yang sama seperti saya maka saya rasa saya tidak perlu lagi untuk berkomunikasi dengannya.” (Matheus – Brazil) “Seringkali yang membuat frustasi adalah hal-hal yang kedua belah pihak tidak mengerti satu sama lain untuk menyebutkannya dalam suatu bahasa yang bisa sama-sama saling kami mengerti, maka saya perlu orang lain yang lebih paham untuk menjelaskan hal tersebut. Tapi saya rasa tidak perlu untuk sampai tidak berkomunikasi lagi.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Ya, jika kita memiiliki pandangan yang berbeda sehingga tidak ada keinginan untuk berkomunikasi dengan orang tersebut saya tidak akan berkomunikasi lagi dengannya.” (Sarah – Perancis) Akan tetapi, dari para informan sendiri sudah menyadari sebelumnya jika mereka akan bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda dari budaya mereka sendiri, sehingga mereka sudah mengantisipasi akan 90 kemungkinan adanya perbedaan-perbedaan dan hambatan-hambatan selama mereka melakukan komunikasi antarbudaya. Karena hal tersebut, maka para informan sedari awal sudah berusaha untuk melihat perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara yang lebih terbuka. Melihat perbedaan dengan cara yang lebih terbuka ini membuat mereka menjadi lebih mengerti akan suatu hal dan bisa melihat hal tersebut dengan perspektif yang berbeda. Dengan berusaha melihat perbedaan dengan cara yang lebih terbuka tersebut, maka mereka akan lebih menghargai orang lain dan kebudayaan lai yang berbeda dengan kebudayaan mereka. “Entah mereka orang asing atau bukan, tetapi menurut saya mutual respect adalah hal yang sangat penting. Hal tersebut juga termasuk dengan banyak menghargai keyakinan, agama, dan juga tradisi negara lain.” (Karim – Mesir) “Saya tidak bisa mengingat begitu jelas, yang pasti saya hanya mengumpulkan keberanian untuk mulai berkomunikasi dengan mereka. Dan sudah menjadi aturan dasar bagi orang Tiongkok untuk menghargai orang lain.” (Lynn – Tiongkok) “Bersikap saling terbuka selalu menjadi awal yang baik untuk memulai suatu hubungan dengan orang yang berbeda budaya.” (Janet – USA) “Saya rasa kami hanya perlu untuk saling menghargai satu sama lain. Walaupun ada beberapa masalah yang terjadi, tetapi lebih baik saling menghargai satu sama lain agar bisa menghindari hal-hal buruk.” (Montse Meksiko) “Berusaha untuk berbicara dengan mereka dengan cara yang lebih terbuka, dan jika saya tidak mengerti suatu hal, saya akan bertanya dengan cara yang paling baik menurut saya.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Menghargai kebudayaan ataupun kebiasaan orang-orang yang berbeda budaya dengan hal kita adalah hal yang sangat penting. Mencoba mengerti perbedaan-perbedaan yang adalah cara yang sangat baik untuk kita mampu berkomunikasi dengan baik dengan mereka dan bisa saling memahami sehingga membentuk satu hubungan yang sangat baik di antara kita.” (Matheus – Brazil) 91 B. Analisa Data Komunikasi merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan hidup manusia, di mana manusia harus berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhannya yang lain. Komunikasi sendiri tidak dapat dipisahkan dari budaya, seperti yang disebutkan Edward T. Hall (1959) bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan (Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, 2009) oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna apa yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Menurut Stewart dalam Liliweri (2007:11), komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma, adat istiadat, dan kebiasaan. Maka dari itu, komunikasi yang dilakukan oleh para peserta program Global Citizen AIESEC adalah komunikasi antarbudaya, karena dilakukan oleh orang-orang yang berbeda budaya, bahasa, norma, adat istiadat, serta kebiasaan. Dalam program Global Citizen AIESEC, seseorang dari suatu negara akan pergi dan tinggal di negara lain selama kurang lebih antara 6-12 minggu dan bekerja sebagai relawan sosial. Selama mengikuti program tersebut, orang tersebut akan tinggal dan bekerja sama dengan relawan lain yang berasal dari negara yang berbeda dengan negaranya,dan harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tentu hal tersebut menjadi salah satu pengalaman menarik bagi para peserta program Global Citizen AIESEC ini. Memasuki suatu budaya yang baru tentunya 92 bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi jika dilakukan oleh anak-anak muda yang mayoritas baru pertama kali pergi keluar negeri dan hidup di lingkungan yang asing. Secara umum, proses komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam program ini bisa dikaitkan dengan tahap-tahap kejutan budaya (culture shock) yang dikemukakan Samovar, Porter, dan McDaniel dalam bukunya Komunikasi Lintas Budaya (2010: 477), walaupun jangka waktunya tidak selama yang disebutkan dalam kurva tersebut, akan tetapi secara umum para informan juga mengalami hal-hal tersebut. Dalam buku tersebut, terdapat empat fase yang dilewati seseorang dalam masalah kejutan budaya, dan menggambarkannya dalam sebuah Kurva U (U-curve) yang dikemukakan oleh Sverre Lysgaard. Gambar 3.1 Kurva U Sverre Lysgaard 93 Keempat fase dalam kejutan budaya tersebut adalah: • Fase kegembiraan atau fase honeymoon, di mana dalam fase ini penuh dengan rasa gembira, gairah, harapan dan euforia seperti yang telah diantisipasi seseorang ketika berhadapam dengan budaya baru. • Fase kekecewaan atau fase culture shock, di mana pada fase ini seseorang mulai menyadari kenyataan yang berbeda dari lingkungannya sekarang dengan lingkungannya sebelumnya. Beberapa masalah mulai terjadi disini, seperti misalnya kesulitan beradaptasi dan juga masalah komunikasi. • Fase penyembuhan, di mana pada fase ini seseorang mulai paham akan beberapa hal yang ia dapat dari budaya yang baru. Disini ia mampu memprediksi apa yang akan terjadi dan tingkat stress-nya mulai menurun. • Fase penyesuaian, di mana pada fase terakhir ini seseorang mulai mengerti elemen kunci akan budayanya yang baru. Ryan dan Twibell dalam bukunya Samovar dkk (2014) mengatakan, pada tahap ini orang kemudian merasa nyaman dalam budayanya yang baru dan mampu bekerja dengan baik. Dengan berdasarkan kepada fase-fase dalam kurva-U, maka data-data pada bagian ini dibagi kedalam tiga bagian, yaitu: (a) Fase kegembiraan, yang mewakili pengalaman mereka akan Program Global Citizen AIESEC dan interaksi awal di antara para peserta, (b) Fase kekecewaan, yang akan menjelaskan tentang hambatan dan masalah yang terjadi, dan (c) Fase penyesuaian, yang akan 94 menjelaskan tentang bagaimana atau upaya-upaya apa yang mereka lakukan sehingga komunikasi berjalan dengan baik dan efektif di antara mereka yang berasal dari negara-negara yang berbeda. 1. Fase Kegembiraan Fase pertama yang akan dilalui seseorang ketika memasuki dunia ataupun lingkungan yang baru baginya adalah fase kegembiraan, di mana orang tersebut aka merasakan euforia, gembira, dan harapan akan dunia yang baru yang akan ia hadapi. Kehidupan baru ini dianggap dapat menyediakan kesempatan yang baru baginya, yang belum pernah ditemui sebelumnya di tempat asalnya. Dalam program Global Citizen AIESEC, para informan merasakan euforia tersendiri akan pengalaman hidup dalam perbedaan yang global (karena terdiri dari banyak negara di seluruh dunia) yang mereka alami saat itu. Perasaan bahagia dan euforia yang dialami para informan ketika menyadari bahwa mereka akan berada dalam sebuah lingkungan yang global dan terdiri dari berbagai macam budaya ini disertai dengan motivasi yang tinggi pada diri setiap informan. Motivasi yang tinggi ini dilatari antara lain karena keinginan mereka untuk mengetahui bagaimana kutur dan kebudayaan bangsa lain, keinginan untuk menambah jaringan pertemanan secara internasional, dan juga karena keharusan mereka untuk bisa bekerja sama dengan baik dengan teman-teman 95 dari negara yang berbeda dari asalnya dan agar bisa beradaptasi dan berbaur di lingkungan yang baru bagi mereka. Hal ini seperti yang disebutkan sebelumnya, merupakan bagian dari fungsi komunikasi antarbudaya, yaitu fungsi menambah pengetahuan, di mana seringkali komunikasi antarpribadi maupun antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling mempelajari kebudayaan masing-masing antara komunikan dan komunikator. Mereka ingin tahu bagaimana rasanya hidup dalam perbedaan, dan mengetahui budaya, kultur dan kebiasaan dari orang-orang yang berbeda negara dan budaya dari mereka. Selain itu, bagi mereka mengetahui latar belakang, budaya serta kebiasaan dari peserta lain dianggap bisa membantu untuk dapat bekerja sama dengan baik. Seperti yang disampaikan oleh Adil AlJahdami (Oman), Galia Gazizova (Rusia), Ryszhan Khankeldy (Kazakhstan), Sarah Dina ElBanhawy (Perancis), dan juga Matheus Carneiro (Brazil), hal yang paling menarik dari pengalaman ini selain mereka bisa turut andil dalam melakukan kegiatan sosial adalah mereka mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan begitu banyak orang dari berbagai belahan dunia hanya dalam kurun waktu 6-12 minggu durasi mereka mengikuti program tersebut. “Menurut saya hal ini sangat bermanfaat dan sangat sukses bagi saya pribadi. Saya bisa bertemu dengan banyak orang dari berbagai belahan dunia melalui program ini dan bisa membangun jaringan pertemanan internasional yang luas.” (Adil – Oman) “Pengalaman exchange AIESEC ketika di Mesir merupakan pengalaman terbaik yang pernah saya rasakan seumur hidup saya. Sebenarnya ketika itu, project pekerjaan saya tidak berjalan dengan baik sebagaimana 96 seharusnya, akan tetapi saya sangat suka bagian dimana saya bertemu dan berkenalan dengan banyak orang dari berbagai negara.” (Galia – Rusia) “Saya tidak pernah menyesal untuk pernah melakukan kegiatan ini. Saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang dari berbagai negara. Hal ini membuat saya tahu bagaimana mental dan kepribadian mereka.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Setelah pengalaman pertama saya menjadi ketagihan untuk melakukannya lagi. Ini adalah hal yang sangat menarik, dan saya bertemu banyak orang hebat, maka ini adalah pengalaman yang sangat hebat dan merubah hidup bagi saya.” (Sarah – Perancis) “Ini adalah suatu program yang baik dan positif bagi Anda. Anda akan pergi ke suatu negara dan membantu orang-orang disana untuk lebih berkembang lagi dan menciptakan dunia yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Selain itu melalui program ini Anda dapat kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai negara dan itu sangat menarik.” (Matheus – Brazil) Dalam hal ini maka fungsi komunikasi antarbudaya berperan sebagai jembatan bagi para pelakunya. Seperti yang disebutkan dalam kerangka teori sebelumnya, komunikasi antarbudaya memiliki fungsi menjembatani, di mana dalam prosesnya, fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atau pemahaman atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama. 2. Fase Kekecewaan Seperti yang disebutkan sebelumnya, komunikasi antarbudaya menurut Stewart dalam Liliweri (2007) adalah komunikasi yang terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma, adat istiadat, dan kebiasaan. 97 Dalam sebuah proses komunikasi antarbudaya, perbedaan dan hambatan adalah suatu hal yang mutlak terjadi. Dalam kurva-U Lysgaard, fase yang terjadi setelah fase kegembiraan adalah fase kekecewaan atau culture shock. Disini seseorang mulai menyadari akan adanya perbedaan-perbedaan dari kebudayaan aslinya atau sebelumnya, dengan kebudayaan baru yang kini ia hadapi. Seorang antropolog bernama Oberg mengenalkan istilah ini dan menyatakan bahwa gegar budaya atau culture shock merupakan sebuah penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan yang dialami oleh seseorang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke luar negeri. Samovar, dkk, mengatakan jika culture shock ini adalah merupakan keadaan mental yang terjadi ketika seseorang pergi dari lingkungan yang ia kenal ke sebuah lingkungan yang tidak ia kenal dan menemukan jika pola perilakunya yang dulu sudah tidak efektif lagi. Culture shock oleh karena itu adalah suatu yang normal untuk dialami oleh orang-orang yang melakukan proses komunikasi antarbudaya. Derajat atau tingkatan culture shock setiap orang juga berbeda-beda, ada yang tidak bisa tinggal di tempat atau negeri yang asing baginya, dan ada juga yang kemudian mampu dan berhasil untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya. Culture shock juga sempat dialami oleh beberapa informan selama mengikuti program Global Citizen. Culture shock yang dialami para informan pun berbeda-beda, dan terjadi pada beberapa tahap. Seperti yang disebutkan 98 sebelumnya, fase ini adalah fase kekecewaan di mana informan menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan harapannya ataupun hal-hal yang dirasa sebagi konflik dalam komunikasi antarbudaya yang dilakukannya. Dalam hal ini culture shock yang dialami oleh para informan juga diasosiasikan sebagai hambatan dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi selama mereka mengikuti program ini. Hambatan ataupun kekecewaan yang dialami oleh para informan pun bermacam-macam. Pada tahap awal program berlangsung, beberapa informan sempat mengalami perasaan cemas dan gugup dalam menghadapi kenyataan bahwa ia akan memasuki lingkungan baru dan ditambah dengan orang-orang yang sama sekali asing dan berbeda darinya. Beberapa bahkan merasakan kesulitan pada awal-awal masa proses mereka. Hambatan ataupun konflik yang mereka rasakan diantaranya adalah: kecemasan dan ketidakpastian, culture shock akan hal-hal baru dan budaya-budaya yang baru mereka ketahui, prasangka dan stereotip, perbedaan pandangan atau kesalahpahaman, serta hambatan bahasa. a) Anxiety dan uncertainty (kecemasan dan ketidakpastian) Rasa cemas dan ketidakpastian adalah hal-hal yang kebanyakan dialami oleh para informan dalam proses komunikasi antarbudaya yang mereka lakukan. Dan hal ini rata-rata terjadi ketika mereka telah melewati fase excitement dan kemudian mulai menyadari bahwa mereka akan tinggal dengan orang-orang yang berbeda budaya dengan mereka dalam beberapa waktu. 99 Rasa cemas ini harus berada di antara batas ambang minimal dan maksimal agar seseorang bisa berkomunikasi antarbudaya dengan baik. Rasa cemas yang berada di atas batas ambang maksimal membuat seseorang menjadi cuek, dan hanya menggunakan stereotip pribadi dalam memprediksi perilaku seseorang. Sedangkan rasa cemas yang berada pada batas ambang minimal seseorang mengakibatkan orang tersebut tidak berani untuk berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya dengannya. Sedangkan ketidakpastian (uncertainty) sendiri merupakan fenomena kognitif yang berpengaruh pada bagaimana cara berpikir kita akan orang asing. Hal ini terkait dengan kemampuan kita untuk memprediksi pemikiran dan juga perilaku lawan komunikasi kita yang memiliki perbedaan budaya dengan kita. Ketidakpastian yang berada di antara batas ambang maksimal dan minimal seseorang akan membuat seseorang mampu memiliki perasaan nyaman tetapi tidak juga overconfident ketika berkomunikasi antarbudaya. Bagi Ryszhan (Kazakhstan), Matheus (Brazil), Sarah (Perancis), dan Muhammad (Nigeria) rasa cemas yang mereka alami pada saat awal-awal mengikuti program Global Citizen ini berada di bawah batas ambang minimalnya, sehingga sempat mempengaruhi rasa percaya diri dan keberanian mereka untuk bisa berbaur dan berkomunikasi dengan peserta lain yang berasal dari negara lain yang berbeda budaya dengan mereka. Rasa cemas ini terjadi akibat dari karena mereka sempat khawatir akan kemungkinan adanya hasil yang negatif dari interaksi yang akan mereka lakukan dengan orang lain yang berbeda budaya dengan mereka. 100 “Anxiety! Namun kemudian saya merasa mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah saya temui.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Saya sempat merasa anxiety ketika pertama kali berkomunikasi dengan teman-teman disini, dan sempat merasa tidak mudah untuk bisa berkomuunikasi dengan baik dengan mereka.” (Matheus – Brazil) “Saya sangat senang sekaligus khawatir dan penasaran karena saya bisa bertemu dengan orang yang memiliki berbagai macam kehidupan” (Sarah – Perancis) “Menarik, karena saya akan mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan saya, dan akan menghadapi perbedaan dan saya penasaran bagaimana saya akan mengatasinya.” (Muhammad – Nigeria) Beberapa informan juga sempat merasakan rasa ketidakpastian ini, dan hal tersebut membuat mereka minder ataupun tidak percaya diri Mereka merasa tidak pasti akan kemampuan dirinya dan orang lain dalam melakukan komunikasi antarbudaya ini, terutama pada saat awal-awal mereka mengikuti program Global Citizen ini. Namun, mereka kemudian menjadikan perasaan ketidakpastian yang mereka alami ini sebagai tantangan, apakah mereka dan peserta lain mampu untuk berkomunikasi antarbudaya dengan baik atau tidak. Dalam pengalamannya, Ioana (Rumania) dan Lynn (Tiongkok) sempat merasakan perasaan ketidakpastian ini. Mereka merasa tidak pasti akan kemampuan dirinya dan orang lain dalam melakukan komunikasi antarbudaya ini, terutama pada saat awal-awal mereka mengikuti program Global Citizen ini. Namun, mereka kemudian menjadikan perasaan ketidakpastian yang mereka alami ini sebagai tantangan, apakah mereka dan peserta lain mampu untuk berkomunikasi antarbudaya dengan baik atau tidak. 101 “Saya juga penasaran untuk melihat apakah kami bisa beradptasi dan menerima perbedaan yang lain dan benar-benar menjadi teman, jadi saya melihat ini juga sebagai sebuah tantangan.” (Ioana – Rumania) “Saya sangat senang dengan hal ini. Terkadang saya merasa tidak yakin jika saya memilih cara yang benar untuk berintegrasi dengan komunitas internasional. Tetapi kemudian saya yakin menjadikan hal ini sebagai sebuah „misi‟ selama melakukan exchange ini.” (Lynn – Tiongkok) b) Culture Shock (Gegar Budaya) Selain dari rasa cemas dan ketidakpastian (anxiety/uncertainty) yang sempat dialami oleh beberapa peserta, rasa keterkejutan akan perbedaanperbedaan budaya yang ada juga sempat menjadi pengalaman bagi beberapa orang informan. Gegar budaya merupakan suatu keadaan mental pada masa transisi ketika seseorang pergi dari lingkungannya dan datang ke suatu lingkungan yang baru dan berbeda baginya. Kalvaro Oberg dalam bukunya Samovar (2014) mendefinisikan gegar budaya ini sendiri sebagai sebuah rasa ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa dihadapi dalam hubungan sosial. Perasaan gegar budaya ini dapat dialami oleh individu yang mengalami hubungan tatap muka dengan anggota kelompok-luar dalam budaya mereka sendiri. Gegar budaya menurut Smith, dapat menghasilkan sejumlah reaksi yang berpotensi mengakibatkan masalah. Ryan dan Twibell mengatakan bahwa gegar budaya membutuhkan beberapa penyesuaian sebelum seseorang akhirnya dapat beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Gegar budaya yang dialami oleh para informan pun beragam bentuknya. Mulai dari keterkejutan akan orang dengan suatu budaya tertentu yang sangat 102 baru dan tidak pernah disangka sebelumnya, hingga keterkejutan akan lingkungan baru yang menjadi tempat tinggal para informan. Seperti misalnya yang dialami seseorang informan ketika ia bertemu kelompok peserta lain yang berasal dari budaya yang sangat berbeda budaya dengannya, itu menimbulkan suatu culture shock bagi dirinya. Lain hal-nya dengan yang dialami oleh Adil, yang berasal dari Oman. Karena ia tinggal di Oman, yang termasuk ke dalam negara teluk, kehidupan orang-orang di Mesir menjadi culture shock bagi dirinya, di mana ia baru melihat orang mengemis makanan di jalan dan juga kemacetan yang sangat aneh baginya. “Ketika saya tiba di apartemen dan saya melihat campuran yang menakjubkan disana: Indonesia, Kazakhstan, Italia, Rumania. Itu keren! Dan mereka juga keren. Akan tetapi saya sempat merasakan culture shock juga pada awaln-awal kedatangan saya” (Montse – Meksiko) “Ini kerap terjadi ketika saya melakukan program ini terutama ketika saya bertemu dengan orang lokal. Beberapa tingkah laku mereka cukup mengejutkan bagi saya, sehingga saya harus berhati-hati dalam berkomunikasi dengan mereka. Sebagai seseorang yang datang dari negara lain, tentu saya sudah memperkirakan ini.” “beberapa kebudayaan cukup membuat saya terkejut pada awalnya. Orang-orang Italia sangat mengejutkan bagi saya, karena mereka hidup dengan begitu bebas tanpa peduli dengan apapun, dan itu sangat menarik dan menjadi hal yang baru bagi saya.” (Galia – Rusia) “Pertana kali, saya tidak terbiasa melihat kemiskinan dan gelandangan di jalan mengemis makanan dan juga uang. Hal itu adalah culture shock bagi saya. Dan juga akan kemacetan di sebuah negara yang besar. Hal ini sangat berbeda dengan yang ada di negara saya.” (Adil – Oman) c) Prasangka dan stereotip Prasangka dan stereotip merupakan bagian dari sebuah komunikasi antarbudaya. Dalam sebuah komunikasi antarbudaya, yang melibatkan orang- 103 orang dengan budaya yang berbeda, perbedaan merupakan sebuah hal yang sangat normal. Kecenderungan kita akan suatu hal yang kita mengerti, yang dapat mengarah pada stereotip dan prasangka, akan dapat memengaruhi persepsi dan sikap kita dalam menyikapi suatu hal yang baru dan berbeda dengan apa yang kita miliki selama ini. Prasangka merupakan perasaan kuat atau perilaku terhadap suatu kelompok tertentu. Sedangkan stereotip merupakan bentuk kompleks dari pengelompokkan pengalaman seseorang mengenai kelompok tertentu dan menjadikannya pedoman yang mengarahkan sikap orang tersebut dalam menghadapi orang-orang tertentu (Samovar, Porter, & McDaniel, 2014). Prasangka dan stereotip menjadi suatu hambatan dalam komunikasi antarbudaya. Kedua hal ini mengubah suatu komunikasi antarkelompok karena mengarahkan pesan mereka, cara penyampaiannya, dan penerimaan kelompok yang berdasarkan kepada suatu asumsi tertentu. Dalam kasus yang paling buruk, prasangka dan stereotip dapat memunculkan suatu sikap diskriminasi pada seseorang. Dalam pengalaman para informan ketika bergabung dengan program Global Citizen, beberapa informan sempat merasakan adanya stereotip dan juga prasangka yang mereka tujukan pada budaya-budaya tertentu. Hal ini terjadi terutama pada saat masa-masa awal mereka. Prasangka-prasangka serta stereotip yang mereka miliki sebenarnya adalah sebuah presepsi yang sebelumnya justru tidak mereka ketahui kebenarannya. Maka, pada saat mereka mengikuti program ini, dan 104 melakukan komunikasi antarbudaya dengan peserta lain yang berbeda budaya dengan mereka, mereka mulai menyadari kesalahan akan persepsi yang sebelumnya mereka sematkan pada beberapa orang atau budaya tertentu. Bagi Galia (Rusia), Adil (Oman), Montse (Meksiko), dan bahkan Ryszhan (Kazakhstan), mereka memiliki penilaian-penilaian tertentu mengenai orang Asia. Akan tetapi, terdapat perbedaan di antara dalam menilai orang Asia itu sendiri. Galia sebagai seorang Eropa mengerucutkan orang-orang Asia hanya kepada orang-orang dari timur Asia, seperti Tiongkok, Taiwan, dan Korea. Ia bahkan tidak mengkategorikan orang-orang dari Indonesia dan India sebagai bagian dari Asia yang sama seperti Tiongkok. Hongkong, Taiwan, maupun Korea yang tergolong dalam ras kaukasoid. Galia menganggap orang-orang Asia (dalam persepsinya) sebagai orang yang aneh. “Ya, tentu, sebelum berkomunikasi dengan beberapa orang saya memiliki stereotip tentang mereka, seperti misalnya orang Asia, saya melihat mereka sebelumnya „aneh‟ dan berbeda, sehingga saya melihat dulu bagaimana cara mereka berkomunikasi.” (Galia – Rusia) Selain Galia, Adil (Oman) juga sempat memberi penilaian yang buruk terhadap orang-orang dari Asia terutama Asia Timur. “Mereka hampir seperti alien bagi saya.” (Adil – Oman) Lain halnya dengan Adil dan Galia, Ryszhan (Kazakhstan) dan Montse (Meksiko) justru memiliki penilaian tertentu mengenai orang-orang Eropa. Montse menganggap orang-orang Eropa bersikap lebih dingin daripada orang Asia, dan justru menganggap bahwa berkomunikasi dengan orang-orang Asia lebih mudah dibandingkan dengan berkomunikasi dengan orang-orang Eropa. 105 Sedangkan Ryszhan, yang juga seorang Asia, menganggap bahwa orangorang Asia, bahkan termasuk dirinya lebih pemalu, sehingga tidak terlalu banyak bicara dibanding orang-orang Eropa. “Saya rasa orang-orang Eropa agak sedikit lebih dingin dibandingkan dengan orang Asia seperti Nurin, dan Ita (Indonesia), dan juga Sudipto atau Arkoalo (India).” (Montse – Meksiko) “Selain itu bisa saya katakan bahwa budaya Asia dan Eropa cukup berbeda. Orang Asia lebih pemalu daripada orang Eropa, kami mencoba untuk tidak terlalu banyak bicara dan lebih mendengarkan yang lain.” (Ryszhan – Kazakhstan) Stereotip dan prasangka yang terjadi dalam penelitian ini menariknya tidak hanya terjadi pada diri mereka terhadap orang lain maupun peserta lain. Akan tetapi ada juga pengalaman di mana seorang informan sempat dibuat kesal karena prasangka ataupun stereotip yang dikemukakan orang lain akan orang-orang dari negaranya. Selain itu, ada pula informan yang justru membentuk stereotip baru akibat pengalamannya dengan informan dari suatu negara selama mengikuti program ini. “Kemudian, saya sempat merasa beberapa orang bersikap „tidak sopan‟ kepada saya karena mereka mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang orang-orang Rusia, dan itu sempat membuat saya marah.” (Galia – Rusia) Selain sempat dibuat kesal oleh stereotip-stereotip yang dikemukakan oleh orang-orang yang baru dikenalnya tentang negaranya, Galia ternyata memiliki pengalaman lain tentang prasangka ataupun stereotip ini. Karena ketika ia bertemu dengan Adil (Oman), ia merasa sangat nyaman untuk berkomunikasi dengannya, maka ia kemudian merasa memiliki stereotip baru mengenai orang muslim dan terlebih lagi terhadap orang Oman. 106 “Saya juga menilai seseorang berdasarkan penampilan mereka, dan itu kemudian membentuk stereotip baru bagi saya. Seperti misalnya, ketika saya bertemu dan berteman dengan Adil (Oman), saya merasa dia adalah orang muslim terbaik di seluruh dunia dan (karena dia orang Oman, maka) saya menilai bahwa orang-orang Oman sebaik dia.” (Galia – Rusia) Maka, dilihat dari penelitian ini, stereotip dan prasangka yang juga merupakan sebuah hal yang normal terjadi dalam sebuah komunikasi antarbudaya, ternyata juga dimiliki oleh kebanyakan dari informan dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dan dalam hal ini, para informan yang memiliki stereotip ataupun prasangka tertentu akan sebuah budaya tertentu juga menyadari bahwa hal ini merupakan hal yang mampu menghambat komunikasi antarbudaya yang mereka lakukan. Dan dalam beberapa hal, interaksi atau komunikasi antarbudaya yang mereka lakukan dengan orang lain yang berbeda budaya dengan mereka justru malah memunculkan suatu stereotip atau prasangka yang baru atau malah memperkuat yang ada sebelumnya. d) Perbedaan Pandangan Perbedaan pandangan dalam sebuah komunikasi antarbudaya juga merupakan suatu hal yang mutlak terjadi. Hal ini dikarenakan perbedaanperbedaan yang dimiliki oleh orang-orang yang melakukan komunikasi antarbudaya itu sendiri. 107 Menurut Peoples dan Bailey dalam bukunya Samovar (2014), cara pandang seseorang adalah cara manusia mengartikan kenyataan dan peristiwa. Sedangkan menurut Walsh dan Middleton dalam buku yang sama, cara pandang menyediakan petunjuk yang menuntun pengikutnya di dunia. Maka cara pandang dianggap sebagai inti dari perilaku manusia, karena menjelaskan pandangan tentang realitas dan mengajarkan seseorang untuk melakukan peranannya secara efektif. Dalam penelitian ini, para informan yang berasal dari wilayah-wilayah dan negara-negara yang berbeda tentu memiliki latar belakang yang berbeda pula. Hal tersebut tentunya membuat mereka memiliki perbedaan dalam hal cara pandang, memaknai, dan menyikapi suatu hal. Beberapa perbedaan pandangan sempat menjadi hambatan dalam komunikasi antarbudaya yang mereka lakukan dengan orang lain. Perbedaan pandangan yang dialami oleh para peserta dimulai dari hal yang sebenarnya cukup sepele seperti misalnya tentang kebersihan tempat tinggal yang mereka tinggali dengan peserta lain, masalah tentang tanggungjawab ataupun rasa solidaritas dan tolong menolong, hingga masalah yang cukup serius di mana sesuatu yang dianggap biasa saja oleh beberapa peserta, seperti main hingga larut dan hubungan antara pria dan wanita, dianggap sebagai suatu hal yang serius dan dianggap melanggar norma setempat oleh warga lokal. Pada pengalaman Adil dan Galia, perbedaan pendapat mereka temui dalam masalah perawatan apertemen yang harus mereka tinggali dengan 108 peserta lain. Mereka menginginkan apartemen yang mereka tinggali selalu dalam keadaan bersih sehingga nyaman untuk ditempati, tetapi teman mereka tidak peduli dengan kebersihan apartemen seperti mereka. “Saya sempat merasa perbedaan pandangan, seperti misalnya ketika saya ingin apartemen kami bersih, salah seorang teman tinggal saya benar-benar tidak pengertian. Sebagian tempat sangatlah kotor, berdebu dan berantakan hingga kamu tidak bisa beraktivitas bahkan untuk jalan dan bernapas denngan benar. Dan pada saat itu dia sempat marah karena kami beradu argumen. Saya bahkan harus membuat seolah-olah itu adalah salah saya, dan akhirnya meminta maaf untuk berbaikan.” (Adil – Oman) “Dan beberapa sikap mereka cukup membuat saya dan teman-teman saya terkejut dan kesal, karena ketika kami tinggal dalam satu apartemen yang sama maka kami memutuskan untuk membersihkan apartemen bersama-sama, tetapi yang terjadi adalah mereka hanya membersihkan barang-barang mereka.” (Galia – Rusia) Berbeda dengan Adil dan Galia yang memiliki perbedaan pandangan dengan peserta lain dari Tiongkok mengenai kebersihan apartemen, Matheus memiliki perbedaan pandangan dengan peserta lain mengenai keamanan dirinya ketika mengikuti program tersebut. Karena terbiasa hidup di Brazil yang merupakan sebuah negara dengan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi, Matheus merasa jika tidak aman bagi seseorang untuk berada di luar rumah saat larut malam. Akan tetapi peserta lain ternyata menganggap hal itu biasa saja, dan tidak perlu dikhawatirkan berlebihan. “perbedaan pandangan juga bisa jadi menimbulkan konflik di antara kami. Saya pernah suatu saat, pergi ke sebuah acara dengan kawankawan hingga larut malam. Pada saat itu, saya ingin pulang lebih dulu karena sudah lelah. Saat itu, saya mengajak teman-teman serumah saya pulang duluan, akan tetapi mereka tidak mau dan menyuruh saya untuk pulang sendiri. Bagi saya itu cukup menyinggung, karena saya merasa mereka menganggap saya lemah atau yang lain. Tapi bagi kami, warga Brazil, merupakan hal yang wajar jika kami meminta seseorang untuk 109 menemani kami pulang, dan tidak pulang sendirian karena di Brazil tidak aman.” (Matheus – Brazil) Galia memiliki banyak pengalaman mengenai perbedaan yang sempat menjadi penghambat bagi dirinya dalam melakukan komunikasi antarbudaya dengan orang lain. Salah satu perbedaan pandangan yang dimilikinya dengan orang lain adalah dalam hal membentuk kelompok pertemanan yang lebih dekat (peer group). Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan peer group adalah suatu hal yang wajar untuk terjadi dalam sebuah hubungan pertemanan terutama dalam kelompok yang lebih besar. Dalam pengalamannya mengikuti program Global Citizen ini, seseorang bisa bertemu dan berkenalan dengan lebih dari 100 orang yang asing baginya sebelumnya, maka keberadaan peer group tidak bisa dihindari pasti terjadi karena seseorang tidak mungkin untuk berteman dekat dengan 100 orang di saat yang bersamaan. Dalam pengalamannya akan peer group ini, Galia sempat memiliki beberapa perbedaan pandangan dengan teman-teman peer group nya. Menurutnya, dalam kebudayaan Rusia, jika seseorang sudah berteman dan membentuk sebuah peer group, maka yang terjadi adalah ia akan terus berada dalam kelompok yang sama dengan orang tersebut. Tetapi, ternyata ia menemui jika teman-teman peer group-nya tidak berada dalam satu kelompok saja, tetapi juga bergabung dengan kelompok-kelompok lain. Galia pun sempat merasa ‘dikhianati’ oleh teman-temannya. “Kemudian dalam hal berteman, ternyata beberapa orang tidak berteman dengan orang yang sama dalam satu waktu, jadi saya sempat merasa „ditinggalkan‟ atau kasarnya „dikhianati‟ oleh teman saya itu, karena itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Rusia, tapi pada akhirnya saya yang mengikuti pola tersebut.” (Galia – Rusia) 110 Selain dengan teman-teman peserta lain, ternyata Galia juga sempat merasakan perbedaan pandangan dengan warga lokal yang juga merupakan tetangga satu gedung apartemennya. Tetangganya sempat merasa jika Galia melakukan seesuatu tindakan yang tidak sopan karena berpakaian tidak pantas dan pulang larut malam dengan diantar oleh laki-laki. Dalam kultur Rusia, Galia merasa hal itu sebagai hal yang biasa dimana pemuda seusianya keluar dengan teman-temannya ke club untuk sekedar nongkrong dan minumminum. “Selain dengan para peserta, saya juga sempat bermasalah dengan warga lokal, terutama dengan tetangga di tempat dimana saya tinggal. Saya dianggap berperilaku yang tidak sopan sebagai seorang wanita, karena saya pulang pada dini hari dan diantar oleh pria, dan pakaian saya dinilai tidak pantas. Tetangga-tetangga saya mengeluhkan hal tersebut kepada teman saya yang lain, yang memiliki hubungan yang cukup baik dengan mereka, bahwa apa yang saya lakukan itu tidak baik, bahkan parahnya mereka men-cap bahwa apartemen tempat kami tinggal adalah tempat prostitusi, dan mereka akan melakukan tindakan jika mereka menemukan saya atau yang lain melakukan hal tersebut lagi (pulang pada dini hari dan diantar laki-laki). Padahal menurut saya hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh, saya sebagai anak muda merasa wajar untuk pergi ke club di malam hari, dan saya diantar oleh temanteman pria untuk menghindari hal-hal yang buruk karena Mesir terkenal dengan kasus pelecehan seksualnya, sehingga saya merasa lebih aman. Tetapi kemudian untuk menghindari hal yang tidak-tidak, saya memutuskan untuk berpakaian yang lebih sopan ketika meninggalkan gedung, dan berganti pakaian ketika sampai di tujuan, dan ketika pulang, saya hanya akan diantar sampai di depan gedung apartemen.” (Galia – Rusia) Pengalaman lain diutarakan oleh Lynn. Selama ia mengikuti program Global Citizen ini, ia memang sempat merasakan adanya pelecehan yang dilakukan oleh para peserta lain terhadap para peserta dari Tiongkok. Ia juga merasakan adanya perbedaan pandangan antara ia dan para peserta dari Tiongkok ataupun negara-negara Asia Timur lainnya. 111 “Ketika itu kami semua pergi untuk mendaki sebuah gunung. Akan tetapi hanya beberapa teman dari Tiongkok yang sampai ke puncaknya, dan menariknya, seluruhnya berasal dari Tiongkok ataupun Taiwan. Temanteman dari negara lain hanya berada di bawah. Ketika itu, mereka semua ingin kembali ke hotel, tetapi teman-teman dari Tiongkok tidak mau turun karena mereka merasa sudah sulit untuk mendaki maka mereka ingin menikmati suasana dan pemandangan itu lebih lama lagi. Maka argumen dan negosiasi juga sempat terjadi disitu diantara dua pihak. Pada akhirnya, saya berhasil membujuk mereka untuk turun. Dan mereka pun berusaha lagi untuk turun dari bukit berbatu itu. Tetapi yang terjadi adalah teman-teman yang lain hanya berdiri dan seperti menonton sebuah pertunjukkan. Kamu tahu, tidak mudah untuk menuruni bukit berbatu, dan beberapa dari mereka sempat terpeleset dan hampir jatuh. Tetapi teman-teman yang lain hanya mentertawakan hal tersebut. Saat itu, itu cukup menyinggung saya sebagai orang Tiongkok, karena di Tiongkok, kami akan mengulurkan tangan untuk membantu merek a.” (Lynn – Tiongkok) Dari pengalaman ini dapat terlihat bahwa beberapa orang memandang suatu hal dengan cara yang berbeda dengan orang lain yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengannya. Seseorang menganggap suatu hal sebagai hal yang normal, wajar, dan biasa saja, akan tetapi bagi orang lain hal tersebut mungkin adalah suatu hal yang aneh, tidak normal atau bahkan tidak sopan. Hal tersebut bisa menjadi sebuah hambatan yang mengacu kepada konfilk diantara orang yang melakukan komunikasi antarbudaya tersebut. e) Bahasa Bahasa merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam sebuah komunikasi antarbudaya. Bahasa sendiri merupaka inti dari interaksi manusia. Bahasa berperan penting dalam komunikasi di mana ia berperan sebagai media untuk seseorang menyatakan atau bertukar pikiran dan pandangan terhadap orang yang lainnya. Perbedaan bahasa, dalam hal ini juga bisa menjadi suatu hambatan dalam komunikasi antarbudaya. 112 Dalam DeVito, prinsip-prinsip bahasa komunikasi antarbudaya yang dikemukakan memegang peranan sangat penting dalam komunikasi antarbudaya. 1) Relativitas Bahasa Karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, maka orang yang menggunakan bahasa yang berbeda kemungkinan juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia. 2) Bahasa Sebagai Cermin Budaya Semakin besar perbedaan budaya, makin berbeda komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan. Dalam sebuah program pertukaran antar pemuda yang berasal dari berbagai negara di dunia, bahasa internasional yaitu bahasa inggris wajib dan mutlak untuk dikuasai oleh para peserta. Akan tetapi kemampuan seseorang dalam berbahasa inggris tentunya berbeda-beda, belum lagi variasi bahasa seperti dialek dan aksen yang dimiliki oleh setiap orang yang seringkali memengaruhi cara seseorang berkomunikasi. Dalam wawancara yang dilakukan terhadap para informan, hampir kesemua informan mengatakan jika bahasa merupakan permasalahan atau hambatan utama yang mereka temui ketika melakukan komunikasi antarbudaya selama mengikuti program Global Citizen tersebut. Bahkan 113 ketika mereka semua menggunakan bahasa internasional sebagai bahasa pemersatu, masalah masih terjadi karena beberapa hal seperti, aksen yang dimiliki oleh tiap-tiap peserta yang dapat memengaruhi pengucapan suatu kata, kurangnya penguasaan kosa kata bahasa inggris, dan terkadang sulitnya menjelaskan apa yang ingin dimaksud dalam bahasa inggris karena tidak menemukan padanan yang tepat. “Saya rasa perbedaan bahasa menjadi masalah utama, bahkan ketika kita berbicara bahasa internasional, aksen dan cara kita mengucapkannya juga bisa menjadi masalah tersendiri. Selain itu bisa saya katakan bahwa budaya Asia dan Eropa cukup berbeda. Orang Asia lebih pemalu daripada orang Eropa, kami mencoba untuk tidak terlalu banyak bicara dan lebih mendengarkan yang lain.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Hambatan paling utama adalah bahasa inggris. Ketika kita tidak menemukan kata yang kita maksud dalam bahasa inggris, dan sangat sulit pada awalnya untuk berbahasa inggris setiap saat.” (Sarah – Perancis) “saya rasa bahasa terkadang menjadi permasalahan utama untuk bisa berkomunikasi dengan lebih baik.” (Montse – Meksiko) “Permasalahan bahasa menjadi masalah utama. Terkadang kita menilai suatu hal berbeda dengan yang orang lain nilai. Bisa saja kita mengucapkan kalimat yang sama namun diartika berbeda.”(Matheus – Brazil) “Saya rasa permasalahan bahasa menjadi masalah utama, terlebih lagi jika mereka tidak berusaha untuk menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa utama yang menyatukan kita semua. Ada beberapa peserta yang tidak berbahasa inggris dengan baik dan sulit dimengerti namun mereka masih tetap berusaha, dan itu cukup membantu. (Muhammad - Nigeria) “Permasalahan bahasa dan juga kesalahpahaman di antara orang yang berbeda budaya.” (Lynn – Tiongkok) “yang mungkin menjadi masalah utama adalah permasalahan bahasa dan juga culture shock.” (Karim – Mesir) 114 “Terkadang bahasa bisa menjadi masalah,beberapa orang bahkan mungkin malu untuk berkomunikasi karena kemampuan berbahasa mereka.” (Janet – USA) “Saya rasa yang paling sering adalah permasalahan bahasa yang menjadi masalah utama. Di saat yang sama, mungkin saja mereka tidak terbiasa dengan begitu banyak orang asing di area tersebut, sehingga mereja tidak terbiasa untuk berkomunikasi dengan orang yang tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan mereka.” (Ioana – Rumania) “Permasalahan bahasa menjadi hal yang utama menurut saya, seperti misalnnya ketika teman-teman yang lain bercanda dengan serunya, saya merasa minder untuk bergabung karena kemampuan bahasa saya yang kurang, dan itu membuat saya tidak bisa berbaur dengan baik dengan mereka.” (Galia – Rusia) Permasalahan mengenai bahasa ini dikarenakan mayoritas dari peserta program tersebut tidak menggunakan bahasa inggris, yang dalam hal ini merupakan bahasa internasional pemersatu, sebagai bahasa utama mereka. Bahasa inggris hanyalah bahasa kedua atau bahkan ketiga bagi mereka selain bahasa nasionalnya atau mungkin bahasa daerah yang mereka miliki. Karena bukan sebagai bahasa utama, maka bahasa inggris bukanlah bahasa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Maka wajar, jika setiap peserta memiliki tingkatan kemampuan berbahasa inggris yang berbeda-beda. Kemampuan yang dimaksud dalam hal ini adalah seberapa banyak kosakata yang mereka kuasai, bagaimana pengucapannya, dan juga bagaimana tata bahasa mereka dalam merangkai suatu kalimat sehingga mampu dimengerti oeh orang lain. Belum lagi ditambah dengan aksen ataupun dialek yang berbeda-beda yang dimiliki oleh setiap peserta, yang 115 bahkan dimiliki oleh peserta dengan bahasa utamanya bahasa inggris, sehingga menambah permasalahan dalam berkomunikasi. Permasalahan akan kemampuan bahasa inggris yang tidak begitu baik rupanya sempat mempengaruhi tingkat kepercayaan diri beberapa informan. Karena mereka merasa kemampuan bahasa inggris mereka tidak begitu baik, maka merekapun menjadi malu untuk berkomunikasi dengan peserta lain ataupun orang lain dengan bahasa utama yang berbeda dengannya, dan membuat mereka hanya bergaul dengan orang-orang dari negara yang sama dengannya ataupun satu komunitas dengan mereka. Hal ini banyak terjadi pada peserta yang berasal dari negara-negara Asia Timur, seperti Tiongkok, Taiwan, ataupun Hong Kong. Selain dengan sesama peserta, permasalahan bahasa juga terjadi pada komunikasi yang dilakukan oleh peserta dan juga warga lokal yang tidak menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa utamanya. “Salah satu contoh terbaik dalam hal ini walaupun mungkin tidak terkait dengan pengalaman saya dengan peserta lain adalah dengan pengemudi taksi atau bus di Kairo, yang tidak berbahasa inggris. Ketika saya harus pergi ke suatu tempat dengan taksi atau bus, sangat sulit untuk membuat supir tersebut mengerti saya. Bahkan ketika saya sudah menyebutkan nama tempat yang harus saya tuju, mereka tetap salah. Mungkin karena mereka menyebutkan tempat yang sama dengan nama yang berbeda dan saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya dengan lebih baik dalam bahasa Arab. Permasalahan yang lain adalah ketika saya bertanya arah atau alamat. Sangat sulit untuk menemukan orang yang mengerti apa yang saya katakan dan bisa memberikan saya petunjuk yang benar.” (Ioana – Rumania) Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, permasalahan bahasa ini normal terjadi dalam sebuah proses komunikasi antarbudaya seperti yang terjadi pada peserta program Global Citizen AIESEC, di mana, karena 116 bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, maka orang yang menggunakan bahasa yang berbeda kemungkinan juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang suatu hal. Dan semakin besar perbedaan budaya, makin sulit komunikasi dilakukan, baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. 3. Fase Penyesuaian Dalam kurva-U Lysgaard, dua fase terakhir yang terjadi dalam sebuah proses komunikasi antarbudaya adalah fase penyembuhan dan fase penyesuaian. Dalam penelitian ini, karena rentang waktunya lebih singkat dibanding dengan rentang waktu yang dikemukakan oleh Lysgaard, dua fase ini dirasa cukup sama dan bisa digabungkan, sehingga dalam bagian terakhir ini bisa dilihat bagaimana para informan melakukan penyesuaian terhadap komunikasi antarbudaya yang terjadi selama mereka mengikuti program Global Citizen tersebut. Memahami budaya lain memang tidak mudah dan pastilah membutuhkan kompetensi komunikasi dalam prosesnya. Menurut Kim dalam bukunya Samovar, Porter, dan McDaniel (2014), kompetensi komunikasi antarbudaya merupakan kemampuan internal suatu individu untuk mengatur fitur utama dari komunikasi antarbudaya: yakni perbedaan budaya dan ketidakbiasaan, postur inter-group, dan pengalaman stress. Dalam proses penyesuaian yang dilakukan oleh para informan ini, kita akan melihat upaya-upaya apa yang dilakukan oleh para informan dalam 117 melakukan komunikasi antar budaya selama bergabung dengan program Global Citizen AIESEC. Para informan memiliki atau melakukan upaya-upaya tertentu agar komunikasi yang ia lakukan dengan orang lain yang berbeda budaya dengannya berjalan dengan baik sehingga mampu menciptakan suatu hubungan yang baik diantara keduanya. Seseorang harus memiliki kompetensi-kompetensi tertentu yang bisa ia gunakan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan-tantangan dan juga perbedaan-perbedaan dalam komunikasi antarbudaya yang ia lakukan. Kompetensi ini akan memengaruhi kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan dan dalam budaya lain. Kompetensi-kompetensi tersebut adalah motivasi, pengetahuan, sensitifitas, dan karakter. Motivasi sebelumnya sudah dijelaskan pada bagian pertama bab ini, di mana motivasi dimiliki oleh hampir semua informan, terutama pada masamasa awal kedatangan mereka. Motivasi para informan begitu tinggi untuk bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda dengannya. Pengetahuan mereka akan keberadaan kultur ataupun budaya lainnya pun sudah cukup baik, sehingga hal tersebut berpengaruh kepada sensitifitas dan karakter mereka. Mereka mengerti bahwa dalam kehidupan bersosialisasi yang global dan internasional, ada perbedaan-perbedaan tertentu dalam beberapa hal, sehingga mereka berusaha untuk mengerti dan menghargainya. 118 Dalam meningkatkan kompetensi komunikasi antarbudaya, seseorang tidak hanya harus memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi juga juga harus memperhatikan orang lain yang menjadi lawan komunikasinya. Akan tetapi dalam perjalanan nya, para informan juga memiliki keinginan untuk dimengerti kultur dan kebudayaannya oleh peserta dan orang lain yang memiliki latar belakang kebudayaan berbeda dengannya. Dalam komunikasi antarbudaya, seseorang berusaha memaksimalkan seperti dalam semua komunikasi, hasil interaksi. DeVito mengutip Sunnafrank dalam bukunya yang menyatakan bahwa terdapat tiga implikasi yang akan penting bagi komunikasi antarbudaya. Pertama, seseorang akan lebih memilih untuk berada dengan orang yang memiliki kemiripan dengannya ketimbang orang yang sangat berbeda dengannya. Kedua, jika seseorang mendapatkan hasil yang positif, maka ia akan terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasinya, dan jika memperoleh hasil yang negatif mereka mungkin akan menarik diri dan mengurangi komunikasi. Sedangkan yang ketiga, seseorang akan membuat prediksi tentang apa-apa yang akan ia lakukan apakah itu berdampak positif atau negatif. Dalam pengalaman yang terjadi dilakukan oleh para informan, perbedaan memang mutlak tidak dapat dihindari. Yang bisa dilakukan oleh para informan hanyalah menyesuaikan diri dalam menghadapi segala hal yang terjadi, termasuk hambatan dan konflik. 119 Jika menemui hambatan dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi selama mengikuti memperbaiki program masalah ini, para informan akan tersebut dan menginginkan mencoba agar untuk komunikasi antarbudaya terus berjalan dengan baik, semaksimal mungkin bahkan ketika komunikasi hanya bisa dilakukan dengan minimal, seperti misalnya dalam hal perbedaan bahasa, mereka akan menggunakan bantuan seperti gerakan tangan, gesture, atau bahkan tulisan atau gambar. Akan tetapi jika mereka merasa sudah tidak bisa untuk saling mengerti maka mereka akan menarik diri dari komunikasi tersebut, atau setidaknya mengurangi komunikasi tersebut dan hanya berkomunikasi seperlunya. Akan tetapi, dari para informan sendiri sudah menyadari sebelumnya jika mereka akan bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda dari budaya mereka sendiri, sehingga mereka sudah mengantisipasi akan kemungkinan adanya perbedaan-perbedaan dan hambatan-hambatan selama mereka melakukan komunikasi antarbudaya. Karena hal tersebut, maka para informan sedari awal sudah berusaha untuk melihat perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara yang lebih terbuka. Melihat perbedaan dengan cara yang lebih terbuka ini membuat mereka menjadi lebih mengerti akan suatu hal dan bisa melihat hal tersebut dengan perspektif yang berbeda. Dengan berusaha melihat perbedaan dengan cara yang lebih terbuka tersebut, maka mereka akan lebih menghargai orang lain dan kebudayaan lai yang berbeda dengan kebudayaan mereka. 120 “Entah mereka orang asing atau bukan, tetapi menurut saya mutual respect adalah hal yang sangat penting. Hal tersebut juga termasuk dengan banyak menghargai keyakinan, agama, dan juga tradisi negara lain.” (Karim – Mesir) “Saya tidak bisa mengingat begitu jelas, yang pasti saya hanya mengumpulkan keberanian untuk mulai berkomunikasi dengan mereka. Dan sudah menjadi aturan dasar bagi orang Tiongkok untuk menghargai orang lain.” (Lynn – Tiongkok) “Bersikap saling terbuka selalu menjadi awal yang baik untuk memulai suatu hubungan dengan orang yang berbeda budaya.” (Janet – USA) “Saya rasa kami hanya perlu untuk saling menghargai satu sama lain. Walaupun ada beberapa masalah yang terjadi, tetapi lebih baik saling menghargai satu sama lain agar bisa menghindari hal-hal buruk.” (Montse - Meksiko) “Berusaha untuk berbicara dengan mereka dengan cara yang lebih terbuka, dan jika saya tidak mengerti suatu hal, saya akan bertanya dengan cara yang paling baik menurut saya.” (Ryszhan – Kazakhstan) “Menghargai kebudayaan ataupun kebiasaan orang-orang yang berbeda budaya dengan hal kita adalah hal yang sangat penting. Mencoba mengerti perbedaan-perbedaan yang adalah cara yang sangat baik untuk kita mampu berkomunikasi dengan baik dengan mereka dan bisa saling memahami sehingga membentuk satu hubungan yang sangat baik di antara kita.” (Matheus – Brazil) Rasa menghargai dan berusaha untuk berpikiran lebih terbuka akan perbedaan yang mereka temui selama mengikuti program Global Citizen ini sesuai dengan teori anxiety/uncertainty yang dikemukakan oleh Gudykunst. Teori ini berusaha untuk menjelaskan bagaiman seseorang yang asing dengan budaya di sekitarnya dapat berkomunikasi secara efektif melalui manajemen mindful. Komunikasi yang efektif ini mampu dicapai seseorang jika ia mampu mengatur tingkat kecemasan dan ketidakpastiannya. Gudykunst dalam bukunya mengutip Langer (1989) yang menyebutkan bahwa jika seseorang ingin menjadi mindful, maka ia harus menyadari bahwa 121 terdapat lebih dari satu pandangan yang dapat digunakan untuk memahami atau menjelaskan bentuk interaksi dengan orang asing. Bahkan menurut Chang (2013), mindful adalah perhatian utama untuk mencapai kompetensi komunikasi antarbudaya. Bisa dikatakan jika mindfulness ini adalah faktor penentu keberhasilan atau suksesnya komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh seseorang. Maka, dalam komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh para peserta program Global Citizen AIESEC, para peserta sudah tahu sebelumnya bahwa mereka akan berinteraksi dengan orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan mereka, sehingga mereka juga sebelumnya sudah mempersiapkan diri dan mengantisipasi hal ini. Kemudian, dalam perjalanannya, ternyata perbedaan-perbedaan dan hambatan yang memengaruhi komunikasi antarbudaya yang mereka lakukan dengan orang lain yang berbeda budaya dengan mereka tetap terjadi dan tidak bisa dihindari. Mereka pun berupaya untuk mengatasi hambatan yang ada ini sehingga dapat berkomunikasi dengan baik dengan peserta lain ataupun orang lain yang berbeda budaya dengannya. Upaya yang paling utama mereka lakukan adalah berusaha untuk menyadari bahwa tidak semua hal dapat dilihat dengan cara yang sama dengan orang lain, sehingga mereka harus melihat perbedaan tersebut dengan cara yang lebih terbuka, dan berusaha untuk menghargai orang lain mengapa mereka melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. Dan jika mereka menemukan masalah atau konflik dengan orang lain, mereka akan berusaha 122 untuk menghindarinya dan menjaga agar komunikasi dan hubungan mereka dengan orang lain berjalan dengan baik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, untuk memaksimalkan komunikasi antarbudaya, harus berangkat dari diri sendiri dan orang lain. Para peserta menyadari akan kebutuhan dan keharusan untuk melakukan komunikasi antarbudaya dengan orang lain, sehingga mereka pun menumbuhkan keberanian dan motivasi mereka terlebih dahulu. Kemudian, mereka akan berani untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda budaya dengannya. Semakin sering komunikasi dilakukan, para peserta pun mulai untuk menikmati hubungan antara mereka dengan peserta lain dan juga orang lain yang berbeda budaya dengannya, dan hubungan itu pun berjalan semakin baik, dan tetap baik bahkan hingga para peserta berpisah dan kembali ke negaranya masing- masing. Dengan terciptanya komunikasi dan hubungan antarbudaya yang baik diantara para peserta program Global Citizen AIESEC ini, maka para peserta sudah menanamkan nilai AIESEC itu sendiri, yaitu living diversity. Living diversity adalah salah satu dari nilai-nilai yang harus ditanam oleh anggota AIESEC (AIESECers), di mana mereka harus bisa hidup bersama dan bersinergi dengan orang yang berbeda dengan mereka, mulai dari etnis, ras, agama, keyakinan, kebudayaan, dan bahkan warna kulit, untuk menciptakan kehidupan dunia yang lebih baik dari sebelumnya.