Review Mata Kuliah Rezim Keuangan Internasional Nama : Muti Dewitari NPM : 0706165570 Sumber : A. Prasetyantoko, Teori Kontemporer, dalam Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), hal. 137-160. Financial Crisis: Micro’s Perspective Pemikiran konservatif, yang didasarkan pada model Modigliani-Miller, selalu mengatakan bahwa tidak ada kaitannya sama sekali antara sisi finansial dengan fluktuasi ekonomi secara keseluruhan (irrelevant finance). Sektor mikro (perusahaan) juga tidak memiliki pengaruh terhadap dinamika makro ekonomi secara keseluruhan, dan bergerak sendiri-sendiri. Hal inilah yang kemudian dibantah oleh Keynes dan Minsky yang mengatakan bahwa sektor mikro dan sektor makro tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Krisis dalam prakteknya dibagi menjadi tiga generasi. Generasi pertama (1970-an) merujuk kepada fenomena kesalahan manajemen ekonomi makro oleh pemerintah. Generasi kedua (1980-an) merujuk kepada krisis sebagai bagian dari kepanikan para pemegang likuiditas. Generasi ketiga (1999) menunjukkan keterkaitan antara sektor korporasi dan perbankan dengan sektor pemerintah dan dinamika makro ekonomi. Fenomena ini sering disebut dengan istilah balance sheet effect di mana krisis bisa terjadi karena efek dari buruknya kondisi neraca sektor-sektor ekonomi yang merembet saling mempengaruhi satu sama lain. Krisis Asia pada akhir tahun 1990-an merupakan sebuah krisis yang sangat menarik untuk diteliti akar permasalahannya. Ada dua pendekatan penting mengenai krisis, yakni fundamental view dan panic view. Corsetti, Pesenti, dan Roubini, sebagai penganut fundamental view mengatakan bahwa krisis terjadi karena ketidakseimbangan struktural yang telah mengakar dalam jangka panjang di negara-negara Asia sejak lama. Sedangkan Radelet dan Sachs dari kalangan panic view mempercayai bahwa kepanikan para pemegang likuiditas itulah faktor utama yang menyebabkan kekacauan perekonomian Asia. Di sisi lain Kumar dan Debroy mempercayai kedua aspek itu yang kemudian mendorong terjadinya krisis. Selain yang disebutkan di atas, krisis sering kali juga disebabkan oleh moral hazzard. Pemerintah yang menerapkan nilai tukar yang terpatok membuat pengusaha secara leluasa meminjam uang dari luar negeri tanpa memperhatikan fluktuasi nilai tukar dalam transaksi keuangan. Akibatnya pengusaha menjadi tidak terkendali dalam peminjaman uang. Sementara itu, pemerintah memberikan garansi secara eksplisit terhadap pengusaha dengan memberikan suntikan langsung berupa pasokan likuiditas pada perbankan yang mengalami masalah. Ada pula faktor-faktor pendorong krisis baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal adalah faktor yang dipercayai oleh para pemberi kredit berasal dari internal perekonomian, seperti tidak adanya regulasi, buruknya tata kelola korporasi, dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal mengatakan bahwa negara Asia hanyalah korban dari modal asing dan perilaku investor asing dengan hot money-nya. 1 Ketimpangan informasi dikatakan sebagai penyebab krisis finansial. Akerlof menyebutkan bagaimana pada negara maju akses terhadap informasi lebih mudah didapatkan daripada pada negara berkembang, inilah yang menyebabkan bisnis di negara berkembang cenderung lebih sulit dibandingkan dengan di negara maju. Kualitas informasi menjadi salah satu faktor penting yang akan menentukan efisien tidaknya kinerja ekonomi. Hal ini terlihat dari keengganan kreditor untuk memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang karena tingkat ketidakpastian yang tinggi. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa ketimpangan informasi juga tetap terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat sendiri. Selain ketimpangan informasi antara pemberi kredit dan penerima kredit, masalah yang muncul adalah masalah keagenan (agency problem). Mishkin menjelaskan bagaimana ketimpangan informasi dapat menyebabkan terjadinya instabilitas finansial, di mana sistem finansial tidak lagi dapat berfungsi secara efisien menyalurkan kredit. Spiral efek adalah situasi di mana goncangan-goncangan yang berpotensi mengganggu sistem finansial kemudian dapat mempengaruhi sistem produksi. Goncangan tersebut adalah suku bunga, memburuknya kondisi neraca perdagangan, keruntuhan pasar saham, dan meningkatnya ketidakpastian. Hal ini kemudian digabung dengan adanya adversed selection dan moral hazzard akan menyebabkan krisis terjadi pada tingkat mikro hingga makro. Kesehatan neraca perusahaan juga merupakan faktor penting dalam mempengaruhi kesehatan finansial itu sendiri. Neraca perusahaan didefinisikan sebagai kemampuan membayar kembali kewajibankewajibannya serta peringkat keuangannya (creditworthiness). Neraca perusahaan yang baik akan berimplikasi terhadap penurunan biaya agensi sehingga nilai investasi yang ditanamkan pun akan lebih tinggi. Prinsip financial accelerator menjelaskan bagaimana perkembangan pasar kredit akan mempengaruhi makro ekonomi. Sistem finansial dengan adanya kesenjangan ekonomi dan kepentingan, kondisi neraca perusahaan pengutang akan mempengaruhi transmisi kebijakan moneter. Gejolak sekecil apa pun juga dikatakan dapat ditransmisikan dan diperbesar melalui mekanisme dalam sistem finansial yang serba tidak sempurna itu sendiri. Dalam hubungannya dengan siklus perekonomian pun faktor internal perusahaan bisa mendorong peningkatan, sebaliknya memperburuk situasi. Balance Sheet Effect adalah pendekatan yang menyatakan bagaimana fluktuasi makro ekonomi juga dipengaruhi oleh kondisi neraca sektor mikro. Allen, Rosenberg, Keller, Setser, dan Roubini menjelaskan bahwa struktur keuangan banyak negara sedang berkembang menjadi sumber dari kerapuhan dan krisis. Struktur keuangan sendiri mengacu kepada komposisi dan besarnya utang dan aset dalam neraca negara tersebut. Masalah yang kemudian muncul adalah kesenjangan dalam hal jatuh tempo utang (maturity mismatch), di mana terjadi gap antara kewajiban jangka pendeknya dengan aset likuid yang bisa digunakan untuk memenuhi komitmennya. Kedua, currency mismatches yang menunjukkan kemampuannya membayar seluruh kewajibannya dalam mata uang asing. Ketiga, capital structure problems yang menunjukkan 2 komposisi utang dan modal sendiri, dan keempat, solvency problems atau seberapa aset yang dimiliki untuk menutup seluruh kewajibannya. Analisis kontemporer mengenai kredit mengakui peran perilaku para agen ekonomi, kesenjangan informasi, dan faktor finansial dalam mendorong terjadinya krisis. Dalam hal ini hubungan berbagai faktor tidak akan pernah mencapai keseimbangan tunggal, melainkan terjadi berbagai titik keseimbangan yang bersifat dinamis, sehingga hubungan antara pilihan sistem nilai tukar, pengawasan perbankan, kebijakan utang perusahaan, dan berbagai masalah lain terkait fluktuasi ekonomi menjadi tidak pernah mudah dianalisis. Jeane dan Wyplosz kemudian menjelaskan lingkaran masalah dari mulai depresiasi nilai tukar, panik dalam perbankan, penurunan sektor produksi yang pada akhirnya diikuti dengan hancurnya perekonomian secara umum. Krisis tahun 1990-an mencerminkan bagaimana peran komposisi utang perusahaan dalam mata uang asing sangat menentukan kualitas perekonomian. Krisis era baru ini menunjukkan hubungan antara neraca perusahaan, perbankan, dan pemerintah. Penulis sendiri setuju dengan teori kontemporer yang menghubungkan sektor mikro terhadap sektor makro. Bagaimana ketidaksempurnaan informasi dan balance sheet effect, didukung dengan adanya adversed selection dan moral hazzard, adalah faktor-faktor pendorong terjadinya krisis finansial, yang kemudian merambat ke krisis ekonomi secara keseluruhan sebagai bentuk krisis generasi terbaru. Lino Sau, pendukung teori kontemporer, menyebutkan bagaimana penting dalam kasus negara berkembang untuk kemudian memfokuskan penelitian terhadap struktur finansial dari bank dan perusahaan, dibandingkan dengan ketidakseimbangan ekonomi makro atau kurangnya transparansi dari pihak pemerintah yang dapat berujung kepada serangan spekulatif dan krisis keuangan. Dalam tulisannya berjudul Banking, Information, and Financial Instability in Asia, Sau menekankan peran penting perbankan selain menjadi mediator serta memberikan kredit, namun juga memproduksi informasi itu sendiri. Bahwa dalam sistem finansial yang tidak lengkap penyebaran informasi di dalamnya, maka perbankan memegang peran penting dalam “memproduksi informasi” mengenai efektivitas maupun efisiensi kerja sebuah perusahaan terhadap aktoraktor lain dalam perekonomian mikro maupun makro sendiri.1 Sehingga perbankan pada dasarnya adalah aktor penting dalam menentukan kondisi finansial di tingkat mikro hingga makro, walaupun kemudian harus terbentur dengan adanya moral hazzard dan adversed selection sebagai sebuah keadaan yang akan selalu ada. Pada dasarnya balance sheet effect sangatlah dapat menjelaskan krisis finansial global yang terjadi tahun 2008, di mana hingga saat ini perekonomian dunia belum stabil seperti sebelumnya. Lino Sau menyinggung bagaimana buruknya neraca perbankan di suatu negara dan didukung dengan kerapuhan bank sentral di masing-masing negara akan mendorong terjadinya bank panic khususnya dalam tataran investor atau pemberi kredit asing atau bank asing. Hal ini kemudian menganggu fungsi bank sebagai “produsen Lino Sau, “Banking, Information, and Financial Instability in Asia”, diakses dari http://www.jstor.org/stable/4538842, pada tanggal 23 Februari 2010, pukul 17.34. 1 3 informasi”, sehingga rentan terjadi spill-over information berbentuk information destruction yang kemudian membuat bank-bank pemberi kredit tidak mau memberikan kreditnya kepada perusahaan tertentu yang akan berujung kepada krisis finansial hingga penurunan produktivitas sektor ekonomi. Inilah yang lebih lanjut dijelaskan sebagai konsep contagion dan propagation.2 Paul Krugman dalam tulisannya berjudul The International Finance Multiplier mengenai pengertian global contagion, di mana dalam hal ini Krugman kemudian mencoba menelaah prinsip contagion ini dari level yang lebih tinggi pada tingkat global. Banyak pihak yang mendefinisikannya sebagai informational linkages meliputi aksi brutal investor dalam situasi timpangnya informasi. Sedangkan Krugman sendiri mendefinisikannya sebagai fenomena yang selalu ada, bagaimana ekonomi pada dasarnya bersifat rentan dengan selalu adanya kemungkinan jatuhnya titik keseimbangan pada titik yang salah, serta berujung kepada penurunan yang tiba-tiba.3 Krugman berdasarkan pada hipotesis yang diberikan oleh Calvo menjelaskan bagaimana apabila hedge funds mengalami kerugian di Rusia, maka ia kemudian akan berusaha membenahi neraca perusahaannya dan memotong kredit yang diberikan kepada Brazil. Krugman mengatakan bahwa dalam sistem dunia yang serba terintegrasi ini, seluruh negara menempati posisi yang sama seperti Brazil.4 Sehingga yang dapat disimpulkan bagaimana efek buruknya perekonomian di satu negara terhadap negara lain sangatlah terpengaruh oleh apa yang terjadi di negara tetangga sendiri, contoh paling jelas adalah krisis Asia maupun krisis global beberapa waktu lalu. Menganalisa krisis global tahun 2007 kemarin, maka ketimpangan informasi dan balance sheet effect pada dasarnya dapat dengan komprehensif menjelaskan penyebab krisis itu sendiri. Krisis global dimulai dengan bangkrutnya perusahaan real estate Fannie Mae dan Freddie Mac. Perekonomian Amerika Serikat terbentuk melalui kredit yang dilakukan oleh satu perusahaan ke perusahaan lain dan masyarakat meminjam uang untuk membeli rumah maupun mobil. Instabilitas ekonomi pun terjadi saat terjadi deadlock di mana perusahaan dan perseorangan tidak dapat lagi membayar kredit yang dipinjamnya dari perbankan, sehingga efeknya pun langsung akan berpengaruh terhadap sektor perbankan, seperti jatuhnya Lehman Brothers dan Merrill Lynch, dan tidak lama merembet kepada sektor-sektor yang masih memiliki hubungan seperti AIG.5 Buruknya neraca perusahaan, khususnya di mana tidak adanya kas dan hanya menggantungkan diri pada piutang yang tidak bisa didapatkan sebelum masa jatuh tempo, membuat perusahaan kemudian tidak dapat membayarkan kreditnya kepada bank dan merembet hingga penurunan produktivitas ekonomi secara nasional dan kemudian global, atas dasar hipotesa Calvo di atas. Ketimpangan informasi seperti prinsip global contagion, serta adanya information destruction juga merupakan faktor penting dalam memperburuk krisis yang terjadi sehingga menjadi berkepanjangan dan telah ikut memperburuk sektor-sektor perekonomian yang lain. 2 Lino Sau, op.cit. Paul Krugman, “The International Financial Multiplier”, diakses dari http://www.princeton.edu/~pkrugman/finmult.pdf, pada tanggal 23 Februari 2010, pukul 21.32. 4 Ibid. 5 Patrick Hinton, “The Start of Global Financial Crisis: Timeline of Events in September 2008 Causing the Global Recession”, diakses dari http://mortgagesloans.suite101.com/article.cfm/the_start_of_the_global_financial_crisis_2008, pada tanggal 23 Februari 2010, pukul 23.21. 3 4