NILAI-NILAI RELIGIUS SEBAGAI SUMBER KARAKTER Oleh: Ajat Sudrajat [email protected] SEMINAR NASIONAL UNY KAMPUS WATES 22 Maret 2014 AGAMA DAN NILAI-NILAI MUTLAK Tujuan hidup yang paling mulia bagi umat manusia adalah selalu berbuat kebajikan (Sayyid Sabiq). Q.S. al-Baqarah (2):148 menyatakan: “dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan…”). Manusia memerlukan nilai-nilai mutlak (ultimate) untuk menjawab persoalan kehidupannya baik di dunia ini maupun setelah kematiannya (Milton Yinger). Nilai-nilai mutlak tersebut meliputi hal-hal yang bersifat relasional (baik-buruk dan benar-salah) antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Dalam hal relasi manusia dengan manusia disebut dengan ‘etika sosial’ (Toshihiko Izutsu). TUHAN SUMBER NORMATIVITAS Dalam pandangan Islam¸ Allah swt, selain merupakan inti pengalaman keagamaan, Dia juga merupakan sumber normativitas (sunnatullah), yakni sumber tata-nilai dan tataaturan bagi ciptaan-Nya, sehingga tercipta keteraturan, kenyamanan, kedamaian, ketenteraman, dan keselamatan, itulah arti Islam dalam pengertian generik (Ismail Raji al-Faruqi dan Nurcholish Madjid). TUHAN SUMBER NORMATIVITAS Dalam etika rasional Immanuel Kant yang coraknya imperative untuk mencapai kebaikan bersama ternyata tetap mensyaratkan kehadiran Tuhan. Ada tiga postulat yang harus dipenuhi, yaitu kehendak bebas, ganjaran moral, dan adanya Tuhan. Tuhan ditempatkan sebagai dzat yang maha adil; Tuhan yang dapat memenuhi dan menyediakan keadilan sempurna di akhirat kelak (Lili Tjahyadi, 1991: 55-56). TUHAN INTI PENGALAMAN KEAGAMAAN Pengalaman keagamaan (perjumpaan dengan Tuhan) adalah inti dan jantung hati agama. Dalam hal ini seseorang tidak atau kurang memiliki sikap religius (bermoral) bergantung pada seberapa jauh intensitas pengalaman numinous ini (Rudolf Otto); menjaga dan mengawal dengan ‘niat’ yang konsisten (Islam). Fungsi terpenting agama adalah memberikan dasar yang mutlak bagi tatanan moral masyarakat: memperkuat, mempertahankan, menjustifikasi, dan melegitimasi ketaatan terhadap tatanan moral tersebut (Peter Berger). AGAMA DAN MORALITAS Bagi Talcott Parsons agama menjadi ‘referensi transendetal’, yaitu mentransendensikan pengalaman sehari-hari (O’Dea, 1985: 7), atau dalam istilah Kingsley Davis, agama mensucikan nilai-nilai dan norma-norma yang telah terbentuk dalam masyarakat (O’Dea, 1985: 26); mengawal perbuatan dengan ‘niat’ secara konsisten (Islam). Pentingnya moralitas ini ditunjukan oleh misi Nabi Muhammad s.a.w., yang tidak lain adalah mengawal moralitas manusia, yaitu membimbing manusia untuk terus melakukan pendakian sehinga mencapai derajat akhlak al-karimah (Muhammad al-Mishri, 2011: 3). AGAMA DAN MORALITAS Kesadaran akan nilai, dalam kontek relasionalitas (Izutsu), sesunguhnya merupakan sesuatu yang bersifat imperative (Kant) dan kemudian mendapatkan kepastian dengan adanya wahyu Allah swt (al-Faruqi). Hadis Nabi saw yang menyatakan: “tidak disebut beriman seseorang, sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri’ merupakan contoh dari legitimasi agama atas moralitas. AGAMA DAN MORALITAS Agama, yang secara harfiah berarti tidak kacau, mengandung pengertian bahwa dalam agama terdapat seperangkat aturan (nilai dan norma) yang akan menjadikan para penganutnya hidup dalam suasana keteraturan, ketenteraman, kedamaian, dan keselamatan. Pada hampir semua masyarakat, nilai-nilai keagamaan ini, menempati posisi sentral karena memberikan aturan yang paling luhur berkenaan dengan kehidupan penganutnya (Nottingham, 1985: 45). Bagi seorang Muslim, agama beserta nilai yang terdapat di dalamnya, bahkan menjadi pedoman bagi semua aspek kehidupannya. TAQWA DALAM AL-QUR’AN Dalam Islam, ‘ketaqwaan’ merupakan nilai tunggal terpenting yang disebut dalam kitab suci al-Qur’an (Fazlur Rahman). Taqwa pada tingkatan tertinggi menunjukkan kepribadian yang benar-benar utuh dan integral (Fazlur Rahman); ‘inna akramakum ‘indallaahi atqaakum’ (QS al-Hujurat (49):13). TAQWA DALAM ISLAM ‘Taqwa’ secara terminologis: ‘menjalankan semua perintah Allah swt dan meninggalkan semua larangannya’; dalam arti generik yang berakar dari kata ‘wqy’ (waqaya), punya arti ‘menjaga atau melindungi diri dari segala sesuatu yang bisa berakibat buruk bagi diri sendiri’. Dalam konteks ini, seseorang tidak akan berbuat sesuatu yang bisa menyakiti orang lain karena akan berakibat buruk bagi dirinya. Contoh hadis Nabi saw : “seseorang disebut Muslim, apabila Muslim lainnya selamat dari lisan dan lidahnya”. TAQWA DALAM ISLAM Semua nilai yang terdapat dalam al-Qur’an, yang meliputi akhlak kepada Allah, kepada Rasul, akhlak pribadi, akhlak dalam keluarga, masyarakat, dan akhlak bernegara (seperti alikhlas, al-tawakkal, al-syukr, al-ridha, al-shidq, al-amanah, al-fathanah, al-tabligh, al-shabar, al-istiqamah, al-‘afwu, al-syaja’ah, al-‘iffah, al-haya, birrul walidain, ikram alajrah, al-dhuyuf, musyawarah, ‘adl dan seterusnya) adalah dalam rangka menuju puncak pendakian kepribadian yang utuh dan integral yang disebut taqwa. TAQWA DALAM ISLAM Puncaknya, ‘taqwa’ harus menjadi ‘pakaian’ para individu (secara mandiri) dalam memainkan perannya sebagai khalifatullah filardhi dengan penuh kecendikiaan. Q.S. al-Baqarah (2): 197: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (ulul albab)”; Q.S. al-Maidah (5): 100: “Katakanlah: “tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyak yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal (ulul albab), agar kamu mendapat keberuntungan”. NILAI-NILAI RELIGIUS & KARAKTER Di antara sekian banyak Hadis Nabi saw, mengenai akhlak al-Karimah, baik yang sifatnya umum maupun yang khusus, sekedar contoh, antara lain: Rasulullah saw ditanya: “Perbuatan apakah yang paling banyak memasukkan manusia ke surga?”; beliau menjawab: “Bertakwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik” (Tirmidzi). Rasulullah saw bersabda: “Orang Mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya” (Tirmidzi). NILAI-NILAI RELIGIUS & KARAKTER Nabi saw bersabda: “Sebaik-baik orang Mu’min adalah orang yang paling baik akhlaknya” (HR. Abu Dawud). Nabi saw bersabda: “Tidak disebut beriman seseorang yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”(HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasai). Nabi saw bersabda: “Seorang Muslim adalah apabila Muslim lainnya selamat dari perbuatan lidah dan tangannya”( HR. Bukhari dan Muslim). NILAI-NILAI RELIGIUS & KARAKTER Nabi saw bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang apabila tetangganya selamat dari perbuatan tangannya dan lidahnya”( HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah saw bersabda: “Orang Mu’min dengan Mu’min yang lain bagaikan satu bangunan, satu bagian dengan yang lain saling mengokohkan; sambil memperagakan dengan menyusupkan jari-jemarinya” (Bukhari-Muslim). Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan orang yang beriman yang saling mencintai dan saling menyayangi serta saling mengasihi bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota menderita sakit, maka yang lain ikut merasakan hingga tidak bisa tidur dan merasa demam” (Bukhari-Muslim). NILAI-NILAI RELIGIUS & KARAKTER Nabi saw bersabda: “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, jangan suka menyakiti tetangganya”(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah). ). Nabi saw bersabda: “Kebaikan adalah akhlak mulia”(HR. Muslim dan Ahmad).Wabisah mendatangi Rasulullah saw dan beliau bertanya: “Kamu ingin menanyakan kebaikan”, lalu Rasulullah bersabda “tanyakanlah pada hatimu sendiri” (HR Ahmad dan al-Darimi). Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kalian berlaku jujur, sebab kejujuran itu memimpin kepada kebaikan, dan kebaikan itu memimpin ke surga; … ” (Bukhari-Muslim). NILAI-NILAI RELIGIUS & KARAKTER Nabi saw bersabda: “Pegang teguhlah enam perkara, niscaya akan memberimu jaminan masuk surga, yaitu: (1) berbicara dengan jujur bila kamu berbicara, (2) tepatilah janji bila kamu berjanji, (3) sampaikan amanat bila kamu diamanati, (4) jagalah kemaluanmu dari perbuatan zina, (5) pejamkan matamu dari perbuatan maksiat, dan (6) jagalah tanganmu dari meminta-minta” (Ahmad dan Ibn Hibban). Nabi saw menyatakan: “Tidaklah beriman seseorang apabila ia tidak dapat memegang amanah, dan tidaklah beragama seseorang apabila tidak memegang janji” (Ahmad). NILAI-NILAI RELIGIUS & KARAKTER Nabi saw bersabda: “Bertutur kata yang baik adalah sadaqah” (Bukhari-Muslim). Rasulullah saw bersabda: “Tiada dua orang Muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan diampunkan dosa keduanya sebelum berpisah” (Abu Daud). Nabi saw bersabda: “Seseorang bisa terpengaruh oleh agama dan sahabat karibnya. Oleh sebab itu, perhatikanlah salah seorang di antara kamu dengan siapa dia bergaul” (Abu Daud dan Tirmidzi). MANUSIA Mmanusia adalah homo duplex, yaitu makhluk dengan dua motif yang berbeda dan berlawanan: hasrat nafsu hewaninya dan keharusan moralnya(Durkheim). Q.S. al-Syams (91):7-10: “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya; maka, Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaannya; sungguh beruntung orang yang mensucikan (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”. FUNGSI AGAMA Masih ada ‘gap’ di kalangan pemeluk agama, karena keberagamaannya ‘tidak berbanding lurus dengan perilaku moralnya’?. Agama, baru ditempatkan pada fungsi identitas dan sosialitas, dan belum sampai pada fungsi maknawi (Weber). Masih ada ‘gap’, karena agama ‘baru sampai pada tingkat kesalehan ritual-individual dan belum berimplikasi pada kesalehan sosial. Peribadatan mestinya kontinum dengan perilaku sosialnya, misal “shalat itu akan mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar” (QS al ‘Ankabut (29): 45). STRATEGI IMPLEMENTASI Strategi implementasi pendidikan karakter meliputi empat hal, yang disebut dengan strategi TaRHiM (Cinta-Kasih), yaitu Teaching, Reinforcing, Habituating, dan Modeling. Strategi implementasi al-Ghazali: Pertama, metode pembiasaan (i’tiyad), yang meliputi mujahadah (menahan diri) dan riyadhah (melatih diri). Kedua, metode pertemanan atau pergaulan. Karena kecenderungan nafsu amarah yang kuat maka diperlukan kombinasi tiga unsur, yaitu ilmu, amal, dan sabar (Abul Quasem). STRATEGI IMPLEMENTASI Strategi implementasi Ibn Miskawaih: kehidupan utama pada anak-anak memerlukan dua syarat: syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat kejiwaan, dengan menumbuhkan watak cinta kepada kebaikan, yang dapat dilakukan dengan melatih dan membiasakan diri pada kebaikan. Syarat sosial, dengan cara memilihkan temanteman yang baik, menjauhkan dari temantemannya yang berperangai buruk.