Konstipasi pada Pasien Geriatri

advertisement
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PB IDI–2 SKP
Konstipasi pada Pasien Geriatri
Nicholas Benedictus Sianipar
Alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis I, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RS Saiful Anwar, Malang, Indonesia
ABSTRAK
Dua mekanisme terpenting konstipasi pada pasien geriatri adalah dismotilitas dan disfungsi dasar pelvis. Strategi penatalaksanaan utama
gangguan defekasi fungsional dan transit lambat adalah perubahan gaya hidup, diet tinggi serat, dan laksatif osmotik serta stimulan.
Sedangkan untuk dissinergi pelvis, biofeedback harus dipertimbangkan lebih dahulu.
Kata kunci: Konstipasi, dismotilitas, disfungsi dasar pelvis
ABSTRACT
The two most important mechanisms of constipation in geriatric patients are dysmotility and pelvic floor dysfunction. For functional
defecation disorders and slow transit, changes in lifestyle, diet high in fiber, osmotic and stimulant laxatives are the main strategies. As for
the pelvis dissynergy, biofeedback should be considered first. Nicholas Benedictus Sianipar. Constipation in Geriatric Patients.
Keywords: Constipation, dysmotility, pelvic floor dysfunction
PENDAHULUAN
Perubahan Traktus Gatrointestinal
Bawah yang Berkaitan dengan Usia
Perubahan-perubahan
anatomis
yang
berkaitan dengan usia pada traktus gastrointestinal bawah berkontribusi terhadap
lama transit dan berkurangnya kandungan air
dalam feses. Perubahan-perubahan tersebut
meliputi atrofi dinding usus, berkurangnya
suplai darah, dan perubahan-perubahan
neuronal intrinsik. Walaupun demikian, tidak
terdapat perubahan-perubahan fungsional
yang signifikan pada traktus gastrointestinal
yang menua; sekresi, dan absorpsi relatif
konstan. Hal ini mungkin akibat proses
repetisi setiap segmen traktus intestinal.3,4
Waktu transit saluran cerna dan motilitas
kolon serupa pada usia tua dan muda yang
sehat. Usia tua yang menderita penyakit
kronis dan mengalami konstipasi memiliki pemanjangan waktu transit saluran cerna total
sampai 4-9 hari (normal < 3 hari), evakuasi
tertunda saat melalui bagian terbawah usus
besar dan rektum. Fungsi kolon tampaknya
lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
Alamat korespondensi
572
berhubungan dengan penuaan (penyakit
kronis,
imobilisasi,
dan
pengobatan)
dibanding usia itu sendiri.3 Perubahanperubahan neurodegeneratif sistem saraf
enterik atau enteric nervous system (ENS)
yang berkaitan usia mungkin merupakan
kunci perubahan-perubahan fungsional
pada usia lanjut. Pada kolon orang berusia
lebih dari 65 tahun didapatkan kehilangan
37% neuron-neuron enterik dibandingkan
pada usia dewasa muda. Para peneliti
menyimpulkan bahwa penurunan densitas
neuron sesuai usia akan disertai dengan
peningkatan komponen-komponen fibrosa
ganglion mesenterikus. Temuan-temuan
tersebut menunjukkan bahwa perubahanperubahan neurodegeneratif berkontribusi
pada gangguan motilitas kolon pada populasi
usia lanjut.3,4
Orang tua mengalami penurunan tekanan
sfingter anal internal dan kekuatan otot
pelvis, begitu juga perubahan sensitivitas
rektum dan fungsi anal. Wanita mengalami
penurunan tekanan pemerasan lebih besar
berkaitan dengan usia, terutama setelah
menopause dan akibat cedera persalinan
per vaginam. Perubahan-perubahan ini meningkatkan risiko ataupun potensi terjadinya
konstipasi.3
DIAGNOSIS
Diagnosis menurut kriteria diagnosis
konstipasi fungsional dari Rome III (Lampiran
1).
Skoring Longo Obstructed Defecation
Syndrome (ODS) yang dimodifikasi atau
Modified ODS (MODS) (Lampiran 2) adalah
sistem skoring yang paling sering digunakan
untuk memutuskan strategi terapi pasien
ODS, juga untuk menilai perubahan setelah
intervensi baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Sampai saat ini, belum ada
konsensus mengenai nilai cut off.2 Beberapa
ahli mengambil nilai 9 sebagai nilai cut
off untuk intervensi, sedangkan yang lain
menggunakan nilai 7.
Anamnesis
Anamnesis lengkap dibutuhkan untuk
mengidentifikasi obat-obat yang meng-
email: [email protected]
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
induksi konstipasi dan untuk menyingkirkan
penyebab-penyebab konstipasi lainnya.
Kebanyakan pasien konstipasi idiopatik
tidak memiliki keluhan lain. Konstipasi onset
baru atau yang memberat, darah dalam feses,
penurunan berat badan, demam, anoreksia,
mual, muntah, atau riwayat keluarga dengan
inflammatory bowel disease (IBD) atau kanker
kolon memerlukan pemeriksaan kolon
menyeluruh, terutama pada usia lebih dari 50
tahun.5
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan menyeluruh
untuk menyingkirkan berbagai etiologi
konstipasi. Inspeksi daerah perianal dapat
menunjukkan bekas luka/parut, fistula, fisura,
dan hemoroid eksternal. Ukur penurunan
perineum dengan mengukur penurunan
dasar pelvis (X) saat mengejan dan istirahat
seperti gambar 1 (normalnya 1,0-3,5
cm). Berkurangnya penurunan (<1,0 cm)
dapat mengindikasikan ketidakmampuan
merelaksasi otot-otot dasar pelvis. Penurunan perineum eksesif (>3,5 cm) dapat
mengindikasikan kelemahan perineum dan
dapat menyebabkan evakuasi tidak komplit.5
Selanjutnya pengukuran penurunan perineum
dikonfirmasi menggunakan defekografi atau
MRI pelvis dinamik, sekaligus untuk menilai
perubahan sudut anorektal.
Pemeriksaan digital rektum penting untuk
mengakses impaksi feses, striktur anal, atau
adanya massa rektum. Sfingter anal yang
terbuka dan rusak berat atau patulous anal
sphincter mungkin disebabkan trauma atau
kelainan neurologis; tekanan sfingter anal
Saat Istirahat
BRISTOL STOOL CHART
Gambar 2. Grafik feses Bristol.5
saat istirahat juga harus dinilai menggunakan manometri anal. Diskontinuitas dinding
anterior rektum disebabkan oleh rektokel.5
Inspeksi Feses
Tipe konsistensi feses berdasarkan grafik
feses Bristol atau the Bristol stool chart
bermanfaat untuk mengestimasi waktu
Saat Mengejan
Pubis
Puborectalis
Sfingter Anal
Eksternal
Tulang
Ekor
Sudut
Anorektal
Sfingter Anal Internal
Gambar 1. Perubahan saat mengejan13
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
Sudut
Anorektal
Penurunan Dasar Panggul
x
transit kolon (Gambar 2). Feses tipe 1
menggambarkan waktu sekitar 100 jam
(transit lambat), sedangkan tipe 7 sekitar 10
jam (transit cepat). Grafik feses Bristol telah
divalidasi berkorelasi dengan jumlah feses
yang dikeluarkan, mengejan, dan urgensi.5
Pemeriksaan Laboratorium
The British Society of Gastroenterology
merekomendasikan agar investigasi di pelayanan primer terbatas pada pemeriksaan
darah rutin/darah lengkap (hemoglobin,
hitung leukosit, dan trombosit) terutama
untuk menyingkirkan kemungkinan anemia,
dan tes fungsi tiroid (TSH/thyroid stimulating
hormone, jika perlu ditambah fT4) untuk
menyingkirkan kemungkinan hipotiroid. Tes
yang lebih kompleks umumnya dikerjakan
di pelayanan sekunder.5
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan proses akut
yang dapat menyebabkan ileus atau untuk
mengevaluasi penyebab konstipasi kronis.
Nyeri abdomen akut, demam, leukositosis,
573
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
atau gejala-gejala lain mungkin disebabkan
proses-proses sistemik atau intra-abdomen,
pemeriksaan radiologi digunakan untuk
menyingkirkan sumber-sumber sepsis atau
masalah-masalah intra-abdomen.
• Enema barium kontras udara atau air
contrast barium enema bermanfaat untuk
menilai kemungkinan kanker kolon obstruktif,
volvulus intermiten, atau striktur kolon pada
kondisi konstipasi kronis.
• Distensi rektum dengan tekanan dikendalikan atau controlled pressure-based
rectal distension dengan pencitraan rektum
fluoroskopik untuk mengukur diameter
rektum pada tekanan distensi minimal
dapat bermanfaat untuk mengidentifikasi
megakolon idiopatik tanpa penyebab
organik lain.
• Waktu transit kolon harus ditentukan
pada kecurigaan gangguan motilitas
kolon. Dilakukan dengan cara mengamati
perjalanan marker radioopak yang diberikan
per oral dengan foto abdomen setiap hari.
Obstruksi saluran keluar intestinal cenderung
menyebabkan penumpukan marker di kolon
kiri dan sigmoid, sedangkan dismotilitas
kolon menyebabkan penumpukan marker di
sepanjang kolon.
• MRI pelvis dinamik dapat menunjukkan
anatomi fungsi selama defekasi, sehingga
dapat mengidentifikasi dissinergi dasar pelvis,
juga defek anatomis yang menjebak atau
menjepit rektum dan menyebabkan obstruksi
dalam proses defekasi.5
Pemeriksaan Penunjang Lain
Kolonoskopi, manometri anorektal, elektromiografi, ekspulsi balon, transit kolon,
dan defekografi dapat digunakan dalam
mengevaluasi konstipasi.
• Kolonoskopi berguna pada konstipasi
akut yang diduga disebabkan oleh obstruksi
usus besar, didapatkan ruang rektum kosong
dan distensi kolon proksimal. Kolonoskopi
sebaiknya tidak dikerjakan pada kecurigaan
perforasi atau divertikulitis akut atau penyakit
infeksi. Biopsi dalam dari rektum dapat
digunakan untuk mendiagnosis penyakit
Hirschsprung.
• Manometri anal dapat menilai sfingter
anal, dasar pelvis, dan saraf-saraf yang
berhubungan. Suatu kateter khusus yang
sensitif terhadap tekanan dimasukkan
ke dalam anus untuk mengukur tekanan
sfingter saat istirahat dan saat mengejan.
Tujuan utamanya adalah untuk mengeksklusi
574
penyakit Hirschsprung onset dewasa atau
segmen pendek. Pada tes ekspulsi balon,
balon diisi air. Alat berbentuk feses yang
diisi silikon atau balon dengan panjang 4
cm yang diisi 50 ml air hangat diletakkan di
rektum, dan pasien diminta mengeluarkan
alat tersebut. Pada relawan sehat, balon dapat
dikeluarkan dalam 1 menit; jika pasien tidak
dapat mengeluarkan alat tersebut dalam 3
menit, dissinergi defekasi harus dicurigai.
• Defekografi mirip MRI pelvis dinamik.
Defekografi mengevaluasi fungsi anorektal,
seperti sudut anorektal dan penurunan
dasar pelvis, begitu juga abnormalitasabnormalitas anatomis.5
PENATALAKSANAAN
Target
Target
penatalaksanaan
konstipasi
kronis adalah untuk mengurangi gejala,
mengembalikan kebiasaan defekasi yang
normal, keluarnya feses yang berbentuk dan
lunak setidaknya 3 kali per minggu tanpa
mengejan, dan meningkatkan kualitas hidup
dengan efek samping minimal.5,7
Non-farmakologis
1. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan
dengan peningkatan dua kali lipat risiko
konstipasi. Tirah baring dan imobilisasi
berkepanjangan juga sering dihubungkan
dengan konstipasi.5
2. Latihan
Sebagian kemampuan defekasi merupakan
suatu refleks yang dikondisikan. Sebagian
besar pasien dengan pola defekasi teratur
melaporkan bahwa pengosongan saluran
cernanya pada saat yang hampir sama setiap
hari. Saat optimal untuk defekasi adalah
segera setelah bangun tidur dan setelah
makan, saat transit kolon tersingkat. Pasienpasien harus mengenali dan merespons
keinginan defekasi, jika gagal dapat mengakibatkan menumpuknya feses yang berlanjut diabsorpsi cairan yang membuatnya
makin sulit dikeluarkan.5
3. Posisi Saat Defekasi
Suatu penelitian yang membandingkan
posisi-posisi defekasi menyimpulkan bahwa
pasien harus dimotivasi untuk mengadopsi
posisi setengah berjongkok atau “semisquatting” untuk defekasi. Kebanyakan orang
tidak terbiasa dengan posisi berjongkok,
tetapi dapat dibantu dengan menggunakan pijakan kaki dan membungkuk
badan ke depan saat di toilet. Bantal juga
dapat digunakan untuk membantu untuk
menguatkan otot-otot abdomen.5
4. Konsumsi Air
Konsumsi air adalah kunci penatalaksanaan,
pasien harus dianjurkan minum setidaknya
8 gelas air per hari (sekitar 2 liter per hari).
Konsumsi kopi, teh, dan alkohol dikurangi
semaksimal mungkin atau konsumsi segelas
air putih ekstra untuk setiap kopi, teh, atau
alkohol yang diminum.5
5. Serat
Meningkatkan konsumsi serat umum direkomendasikan sebagai terapi awal
konstipasi. Rekomendasi makanan tinggi
serat (buah dan sayur) atau suplemensuplemen serat Psyllium (kulit ari ispaghula/
ispaghula husk, metilselulosa, polycarbophil,
atau kulit padi/bran) perlu dilanjutkan selama
2-3 bulan sebelum ada perbaikan gejala
yang bermakna. Pendekatan ini hanya efektif
pada sebagian pasien dan masih sedikit bukti
penelitian klinis yang mendukung cara ini.5
Farmakologis
Tabel 1 mencantumkan agen-agen yang
tersedia untuk meredakan konstipasi. Tabel 2
menunjukkan onset kerja, dosis, efek samping
agen-agen utama pereda konstipasi yang
didukung bukti.5,7
Gambar 3. Posisi setengah berjongkok atau “semisquatting” untuk defekasi.5
Laksatif serat meningkatkan berat feses
karena mengabsorpsi air, sehingga mempercepat propulsi. Peningkatan motilitas
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Tabel 1. Golongan agen pereda konstipasi.5
Tabel 3. Ringkasan efek-efek beberapa laksatif terhadap fungsi usus.12
Laksatif bulk
Psyllium (ispaghula husk), methylcellulose, polycarbophil,
bran
Laksatif osmotik
Gula yang sulit diabsorpsi: laktulosa, sorbitol, mannitol:
produk saline; garam magnesium, sulphate, phosphate,
polyethylene glycol
Laksatif stimulan
Surface acting docusates, garam empedu;
Anthraquinolone (Sena, cascara); derivat
Diphenylmethane (misalnya bisacodyl); Ricinoleic acid
(Castor oil)
Enema
Phosphate
Usus Kecil
Agen
Waktu
Transit
Kolon
Kontraksi
Campuran
?
Serat dalam diet
Magnesium
-
Laktulosa
?
?
?
?
Metoclopramide
?
?
?
?
Erythromycin
?
?
?
-
-
?
?
-
?
Diphenylmethane
Docusate
?
gastrointestinal menghasilkan waktu transit
kolon yang lebih cepat dan meningkatkan
frekuensi gerakan usus.5 Laksatif osmotik
merupakan agen hiperosmolar yang
Lubiproston
Agonis reseptor 5HT-4
Prucalopride
Tabel 2. Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology, onset kerja, dosis, dan efek samping dari terapi
farmakologis konstipasi.5
Rekomendasi
ACG
Mula Kerja
Dosis
Bulk-forming laxatives
Psyllium
B
3-4 hari
Methylcellulose
B
3-4 hari
Polycarbophil calcium
B
3-4 hari
10-20 g malam hari
dengan air
3-6 g/hari
dengan air
4-8 g/hari
Laksatif osmotik
Magnesium hydroxide
B
1-3 jam
30-60 mL/hari
Laktulosa
A
24-48 jam
Propylene glycol (PEG
3350)
A
24-48 jam
10-30 mL/hari,
sampai 2 kali sehari
10-30 g/hari,
sampai 2 kali sehari
B
8-12 jam
12-30 mg/hari
B
6-12 jam
5-10 mg/hari
sampai 3 kali seminggu;
10 mg/hari per rektal
-
Beberapa menit
Jika diperlukan
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
-
Ket: meningkat; menurun; ? data tidak tersedia; - tidak terdapat efek pada parameter ini
Agen
Aktivator saluran chloride
Enema
Phosphate enema
Air
Tinja
Anthraquinone
Lainnya
Probiotik: misalnya Lactobacillus rhamnosus GG, L.
plantarum 299v, L. casei Shirota
Misoprostol, Colchicine, toksin botulinum
Laksatif stimulan
Anthraquinolone (senna,
cascara)
Derivat diphenylmethane
Kerja
Massa
Cisapride
Naloxone
Lubrikan
Cairan paraffin
Golongan/Obat
Kontraksi
Propulsif
Efek Samping
Flatulens, kram perut, reaksi
alergi (jarang)
Sama seperti Psyllium, tetapi
flatulens lebih jarang
Flatulens lebih jarang
dibandingkan bulk-forming
laxative lainnya
Flatulens, hipermagnesemia
pada pasien dengan gagal
ginjal, hipokalemia
Flatulens, kram dan tidak
nyaman di perut, hipokalemia
Flatulens (jarang), nyeri perut
menyebabkan sekresi air ke dalam lumen
intestinal. Laksatif osmotik yang paling
sering digunakan adalah garam-garam
magnesium. Laksatif hiperosmolar alternatif
adalah sorbitol, laktulosa, dan polyethylene
glycol (PEG) 3350. Pada penelitian multisenter
atas 164 pasien, laktulosa terbukti lebih
efektif menghasilkan feses normal pada hari
ke-7 dibandingkan laksatif stimulan (laksatif
mengandung senna, derivat antraquinone,
atau bisacodyl). Pada penelitian atas 99 pasien
konstipasi kronis, PEG 3350 terbukti lebih
efektif dan efek samping kembung lebih
sedikit dibanding laktulosa.5,11
Laksatif stimulan meningkatkan motilitas
dan sekresi intestinal. Agen ini bekerja dalam
hitungan jam dan dapat menyebabkan efek
samping nyeri/kram abdomen. Agen ini
direkomendasikan apabila laksatif osmotik
gagal. Cara kerjanya melalui perubahan
transpor elektrolit oleh mukosa intestinal,
sehingga meningkatkan aktivitas motor
intestinal.5
Kram perut, hipokalemia
Kram perut, flatulens, rasa
terbakar pada rektal dengan
bentuk suppository
Perlu pemantauan gangguan
keseimbangan air dan
elektrolit yang bermakna,
bahkan fatal, yang dapat
terjadi dengan penggunaan
sodium phosphate enema
pada pasien yang rentan,
seperti pasien dengan
gangguan ginjal dan penyakit
jantung
Enema dan suppositoria rektum menginduksi defekasi dengan meregang rektum
dan kolon. Pasien geriatri dengan masalah
mobilisasi mungkin membutuhkan enema
sesekali untuk menghindari impaksi feses.5
Probiotik memperbaiki frekuensi defekasi
pasien konstipasi, karena bakteri menghasilkan asam laktat yang akan meningkatkan
motilitas intestinal dan mengurangi waktu
transit. Meskipun demikian, hasil penelitianpenelitian tidak signifikan.5
575
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Tabel 4. Klasifikasi dan perbandingan antar laksatif.12
Efek dan Interval Waktu Laksatif pada Dosis Klinis Lazim
Melembutnya Feses,
1-3 hari
Feses Lunak atau Semi-cair,
6-8 jam
Feses Cair,
1-3 jam
Bulk-forming laxative
Bran
Preparat Psyllium
Methylcellulose
Calcium polycarbophil
Laksatif Stimulan
Derivat Diphenylmethane
Bisacodyl
Laksatif Osmotik
Sodium phosphate
Magnesium sulfate
Susu magnesia
Magnesium citrate
Laksatif Surfaktan
Docusate
Poloxamer
Laktulosa
Derivat Anthraquinone
Senna
Cascara sagrada
Castor oil
Salah satu agen baru, yaitu lubiprostone,
merupakan suatu aktivator kanal klorida
bekerja lokal meningkatkan sekresi cairan
intestinal kaya klorida. Agen ini bekerja
dengan mengaktifkan kanal klorida tipe 2
di permukaan sel-sel epitel intestinal untuk
meningkatkan sekresi cairan intestinal dan
integritas epitel. Lubiprostone adalah satusatunya agen untuk konstipasi kronis yang
direkomendasikan oleh FDA untuk pasienpasien diatas usia 65 tahun.5
Konstipasi kronik (kriteria Rome III)
•
Konstipasi yang diinduksi obat – tinjau obat &
perubahan
•
Teliti penyebab-penyebab sekunder sebagaimana
dianjurkan red flags
•
Konstipasi yang diinduksi obat
•
Penyebab sekunder
Terapi IBS
•
Gejala IBS-C
•
Riwayat dan Pemeriksaan – mencari
Ya
Tidak
Ya
•
Pertimbangkan suppositoria, enema, tingkatkan asupan
serat, dan biofeedback
Apakah ada disinergi dasar panggul?
Tidak
Pengukuran non-farmakologi
•
Optimalkan asupan cairan
•
Tingkatkan mobilitas
•
Diet (meningkatkan asupan serat harian dalam diet atau
sebagai suplemen)
Tidak ada perbaikan
Pertimbangkan pengukuran farmakologi
•
Pelunak feses (sodium dioctyl sulphosuccinate
dan paraffin cair) dan tegaserod tidak lagi
digunakan. Kolkisin dan misoprostol belum
mendapat rekomendasi FDA sebagai terapi
konstipasi.5
Bulk-forming laxative (jika pasien dapat minum cairan
dengan cukup)
Biofeedback atau pelatihan ulang dasar pelvis
merupakan terapi pilihan untuk dissinergi
defekasi. Pasien dilatih untuk merelaksasi
otot-otot dasar pelvis dan sfingter anal saat
mengejan dan mengkorelasikan relaksasi
dengan mengejan agar mencapai defekasi.
Tiga penelitian, dua di antaranya merupakan
RCT (randomized controlled trial), membuktikan efikasi biofeedback pada dissinergi dasar
pelvis. Stimulasi saraf sakrum saat ini sudah
digunakan secara luas untuk menangani
inkontinensia feses dan beberapa data awal
menyimpulkan kemungkinan perannya untuk
konstipasi yang gagal dengan terapi-terapi
sebelumnya.5
Tidak ada perbaikan
•
Lactulose
•
Laksatif stimulant, misalnya bisacodyl, senna
Tidak ada perbaikan
Lanjutkan regimen
Tidak ada perbaikan
•
PEG (polyethylene glycol 3350)
Tidak ada perbaikan
•
Kombinasi terapi laksatif + enema
Tidak ada perbaikan
•
Pertimbangkan terapi lain, misalnya bedah
Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan non-farmakologis dan farmakologis konstipasi kronis pada pasien geriatri.5
SIMPULAN
Dua mekanisme terpenting penyebab
konstipasi pada pasien geriatri yang masih
diyakini sampai saat ini adalah dismotilitas
dan disfungsi dasar pelvis. Perlu anamnesis
dan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan
konstipasi yang diinduksi obat dan penyebabpenyebab sekunder. Strategi penatalaksanaan
utama untuk gangguan defekasi fungsional
dan transit lambat adalah perubahan gaya
hidup, diet tinggi serat, laksatif osmotik serta
stimulan. Sedangkan untuk dissinergi pelvis,
biofeedback harus dipertimbangkan lebih
dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Drossman DA, Dumitrascu DL. Rome III: New standard for functional gastrointestinal disorders. J Gastrointestin Liver Dis. 2006; 15(3): 237-41.
2.
Sharma S, Agarwal BB. Scoring systems in evaluation of constipation and obstructed defecation syndrome (ODS). JIMSA. 2012; 25(1): 57-9.
3.
Lindsay G, McCrea CM, Stotts NA, Macera L, Varma MG. Pathophysiology of constipation in the older adult. World J Gastroenterol. 2008; 14(17): 2631-8.
4.
Cheskin LJ, Crowell MD, Schuster MM, Whitehead WE. Mechanisms of constipation in older persons and effects of fiber compared with placebo. J Am Geriatr Soc. 1995; 43: 666-9.
5.
Vasanwala FF. Management of chronic constipation in the elderly. SFP. 2009; 35(3): 84-92.
6.
Goldman L, Schafer AI. Goldman’s cecil medicine. 24th ed. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2012.
576
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
7.
Bove A, Battaglia E, Bocchini R, Gambaccini D, Bove V, Pucciani F, et al. Consensus statement AIGO/SICCR diagnosis and treatment of chronic constipation and obstructed defecation (Part
8.
Force ACoGCCT. An evidence-based approach to the management of chronic constipation in North American. Am J Gastroenterol. 2005; 100: 1-4.
II: Treatment). World J Gastroenterol. 2012; 18(36): 4994-5013.
9.
Brandt LJ, Prather CM, Quigley EM, Schiller LR, Schoenfeld P, Talley NJ. Systematic review on the management of chronic constipation in North America. Am J Gastroenterol. 2005; 100:
5-22.
10. Ramkumar D. Efficacy and safety of traditional medical therapies for chronic constipation: Systematic review. Am J Gastroenterol. 2005; 100: 936-71.
11. Dettmar PW. A multi-centre, general practice comparison of ispaghula husk with lactulose and other laxatives in the treatment of simple constipation. Curr Med Res Opin. 1998; 14: 22733.
12. Brunton LL, Parker KL, Blumenthal DK, Buxton IL. Goodman & Gilman’s manual of pharmacology and therapeutics. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.
13. Lembo A, Camilleri M. Current concepts chronic constipation. N Engl J Med. 2003; 349: 1360-8.
Lampiran 1. Kriteria diagnosis konstipasi fungsional dari Rome III
Kriteria diagnosis konstipasi fungsional dari Rome III adalah terpenuhinya 3 kriteria di bawah ini dalam 3 bulan terakhir dengan gejala yang
dimulai setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis:
1. Harus disertai 2 atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Mengejan selama setidaknya 25% defekasi,
b. Feses keras setidaknya 25% defekasi,
c. Sensasi evakuasi yang tidak komplit setidaknya 25% defekasi,
d. Sensasi obstruksi anorektal setidaknya 25% defekasi,
e. Manuver manual untuk memfasilitasi setidaknya 25% defekasi (evakuasi dengan bantuan jari, penekanan dasar pelvis),
f. Kurang dari 3 kali defekasi per minggu,
2. Feses lembek jarang sekali dihasilkan tanpa penggunaan laksatif,
3. Kriteria yang tidak cukup untuk diagnosis irritable bowel syndrome.1
Lampiran 2. Modified ODS Longo score.2
Pertanyaan dan Respons
Skor
Pengobatan untuk membantu evakuasi (enema atau
suppositoria)
0
1
2
3
Kesulitan untuk evakuasi
0
1
2
3
Digitasi untuk evakuasi
0
1
2
3
Kembali ke kamar mandi untuk evakuasi
0
1
2
3
Perasaan evakuasi yang tidak komplit
0
1
2
3
Mengejan untuk evakuasi
0
1
2
3
Waktu yang dibutuhkan untuk evakuasi
0
1
2
3
Perubahan gaya hidup
0
1
2
3
Setiap poin dinilai berdasarkan frekuensi gejala.
Pertanyaan 1-6 : 0 = tidak pernah, 1 = kurang dari 1 kali per minggu, 2 = 1–6 kali per minggu, 3 = setiap hari;
Pertanyaan 7 : 0 = kurang dari 5 menit, 1 = 6-10 menit, 2 = 11-20 menit, 3 = lebih dari 20 menit;
Pertanyaan 8 : 0 = tidak ada perubahan gaya hidup, 1 = perubahan ringan, 2 = perubahan sedang, dan 3 = perubahan gaya hidup yang signifikan.
Total skor ada dalam rentang 0 (terbaik) sampai 24.
CDK-231/ vol. 42 no. 8, th. 2015
577
Download