PURNAMA SALURA 1 / 27 I L U S T R A S I 2 / 27 Tempat Berteduh Matahari sudah melewati garis ketinggiannya; Perkiraan saya temperatur udara di sini berkisar sekitar duapuluh derajat celsius. Hawanya dingin tapi nyaris tak berpolusi. Kami berjalan ditengah perkebunan. Sejauh mata memandang yang kasat hanya hijau daun lettuce. Lima orang pekerja tampak sedang menyiangi tanaman. Ia berjalan cepat di depan saya. Lincah, melewati baris-baris tanaman yang teratur kemudian berbincang-bincang beberapa saat dengan para pekerja. Pengetahuannya tentang lettuce jauh dari cukup, bahkan boleh dikata ia ahli benar. Tanaman ini masuk dalam keluarga sayuran yg disajikan dengan sandwich atau burger. Restoran cepat saji yang ouletnya mendunia sering memesan lettuce di sini. Untuk seorang desainer interior yang biasanya berhadapan dengan layar komputer dan furniture yang jauh dari kotornya tanah, agak aneh melihat tangannya berlumuran tanah berbau pupuk kandang. Ia adalah pemilik sekaligus manajer kebun lettuce ini. Kami berada di kebun ini cukup lama juga. Melihat hamparan kebun yang luas ini saya merasakan adanya ruang yang mengalir, lepas. Inilah landscape (bentang) alam. Apakah panorama ini dapat kita sebut arsitektur? Jika jawabnya ya. Berarti kebun lettuce ini termasuk dalam kategori arsitektur. Saya tak sempat berpikir jauh, ia mengajak saya bergegas pergi dari kebun. Entah mengapa. Tampaknya mendung mulai menggantung di atas sana. Langit yang baru saja bersinar cerah, 3 / 27 I L U S T R A S I 4 / 27 warnanya mulai berubah menjadi abu-abu tua di sana sini. Karena kebunnya berada pada daerah lembah, terpaksa kami harus berjalan menanjak untuk sampai ke villa. Ia berjalan cepat dengan nafas yang biasa saja di depan. Sementara nafas saya agak terengah-engah mengikuti langkahnya. Malu rasanya. Kebugaran saya kalah dengan wanita cantik ini. Butiran hujan yang turun mulai terasa mengganggu. Makin lama rasanya semakin banyak jumlahnya. Dan perkiraan saya benar. Hujan semakin deras. Kami terpaksa berteduh di sebuah saung yang berada di area pertengahan antara kebun dan villanya. Pada saung ini ada balok kayu melintang setinggi sekitar setengah meter dari tanah untuk tempat duduk. Panjang balok ada sekitar dua meter. Empat buah tiang kayu jenis kina menunjang atap rumbia yang berbentuk pelana. Saung ini berukuran tiga kali dua meter. Tak besar memang, tapi cukup lega untuk tempat berteduh berdua. Hujan turun deras sekali, bagai sengaja ditumpahkan dari langit. Berlagak gentleman, jaket saya buka dan saya sampirkan dipundaknya. Ia tersenyum, seakan menertawakan kelakuan saya. Dia benar. Tentu tanpa jaket menutup tubuh, akhirnya gigi saya tak bisa diam. Bergemeletuk kedinginan. Ini tidak heran, karena temperatur di sini sekarang mungkin turun. Pasti berada di bawah duapuluh derajat celcius. Selain karena hujan, anginpun bertiup sangat kencang seakan seia sekata bermain dengan hujan. Sore ini mungkin temperatur akan berkisar limabelas derajat. Malam hari biasanya mungkin turun 5 / 27 I L U S T R A S I 6 / 27 sampai berkisar sampai sepuluh derajat celcius. Malu rasanya hati ini ingin meminta kembali jaket itu. Agar hangat, kami duduk agak berdekatan. Ia bertanya. Apakah saung ini arsitektur? Saya terdiam lalu teringat akan beberapa hipotesa antropolog dan arsitek asing tentang gubuk Adam. Mereka semua membuat analisis rinci mengenai bentuk gubuk tempat Adam dan Hawa tinggal. Marc Antoine-Laugier seorang antropolog Perancis menuliskan pendapatnya dalam buku berjudul An Essay on Architecture. Ia merekonstruski bahwa kolom pada gubuk Adam terdiri dari empat buah pohon yang jaraknya tumbuhnya cukup dekat. Tentu tidak persegi benar. Jika pandangan ini tepat, berarti pondasi tiang itu merupakan akar pohon. Bagian atas pohon kemudian disatukan dengan pokok-pokok kayu, lalu ditutupi dedaunan. Mirip saung ini. Tapi itu tentu dahulu kala. Wanita sebelah saya ini tentu bukan Hawa, dan saya pastinya bukan Adam. Walau kami berteduh pada saung yang mirip hipotesa Laugier. Tulisan Laugier sering dijadikan risalah utama dalam kajian arsitektur yang datang dari pemikiran Barat. Bahkan sampai sekarang masih banyak pengajaran arsitektur yang menjadikan tulisan ini sebagai landasan. Jika dicermati seksama, tulisan Laugier sangat pro akan arsitektur Yunani klasik yang cenderung lebih simpel ketimbang aliran Baroque atau aliran eklektik yang sarat dengan dekorasi. Pemikiran dibalik tulisan Laugier sangat mendukung pemikiran yang mengedepankan “back to nature” yang populer pada pertengahan abad 18. Gaung pemikiran ini lalu 7 / 27 I L U S T R A S I 8 / 27 merambah pada segala bidang, sebut saja susastra, seni, musik dan tentu pada arsitektur. Ada juga tulisan yang membandingkan gubuk Adam versi Laugier ini dengan gubuk yang dikedepankan Vitruvius seorang arsitek Yunani. Vitruvius sangat terkenal karena menulis buku seputar perencanaan dan pelaksanaan bangunan. Bukunya merupakan buku tertua yang pernah ditemukan didunia. Diperkirakan dibuat tahun 25 sebelum masehi. Para arsitek di Indonesia tentu tak asing lagi dengan Vitruvius. Bahkan hampir seluruh sekolah arsitektur di dunia selalu mengajarkan diktumnya yang sangat terkenal yaitu : utilitas-firmitas-venustas. Saya sendiri selalu mempertanyakan kesahihan diktum ini. Saya berpendapat bahwa aspek dalam arsitektur bukanlah : fungsi-bentuk-keindahan, melainkan fungsi-bentuk-makna. Lain lagi halnya dengan hipotesa Joseph Rykwert dalam bukunya On Adam’s house in Paradise : The Idea of Primitive Hut in Architectural History. Ia juga seorang antropolog; Ia bertesis bahwa konstruksi rumah Adam pada awalnya terdiri batangbatang pohon yang ramping lalu ujung bagian atasnya diikat menjadi berbentuk kerucut. Mirip “teepee” tenda milik Winnetou kepala suku Indian Apache. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa penelusuran tentang rumah Adam bukanlah untuk mencari apa saja yang telah hilang dari rumah itu, tetapi justru harus berfokus pada apa yang tidak bisa hilang. Dengan kata lain carilah struktur (bangun) dasarnya yang cenderung tetap, bukan struktur (bangun) luarnya yang dapat berubah-ubah atau hilang. Rumah Adam 9 / 27 I L U S T R A S I 10 / 27 itu bukanlah sekedar sebuah ingatan akan obyek yang telah lalu. Tapi lebih kepada kondisi kesadaran yang melahirkan suatu pemikiran. Tentu pemikiran yang dikemukakan bukan dengan cara arkeologi yang fokus kajiannya pada artifak benda semata. Melainkan harus juga mengidentifikasi upacara-upacara ritual yang dilakukan oleh komunitas yang masih primitif. Berdasar pencaharian yang mendalam terhadap rumah Adam, Rykwert berpendapat bahwa hal yang paling esensial dari arsitektur bukanlah rumah Adamnya tetapi pada naturalness-nya. Pada pilihan hidup dengan penuh kesederhanaan yang tidak berorientasi pada keduniawian. Pilihan yang selalu dijalani oleh para pertapa dalam pencaharian akan arti hidup. Jika disejajarkan dengan paham kesederhanaan ini, maka dapat dikatakan bahwa rumah Adam adalah perwujudan dari pilihan gaya hidup tersebut. Tentu masih banyak lagi spekulasi tentang rumah Adam yang dikemukakan oleh para pakar antropolog. Hal yang wajar. Karena penelitian semacam ini memang merupakan fokus penelitian antropologi. Saya sendiri berpendapat bahwa yang penting adalah benang merah dari semua tesis para pakar tadi. Benang merah menunjukkan bahwa saung tempat berteduh ini dapat diklasifikasikan sebagai arsitektur. Hujan semakin deras, sekarang ditambah dengan angin yang makin kencang bertiup. Air hujan mulai tertiup dari samping. Saung ini ternyata hanya dapat dipakai untuk berteduh terhadap hujan dan matahari yang datangnya dari arah atas. Bukan tiupan dari samping. Badan bagian bawah kami mulai agak basah. Saya mengajukan usul bagaimana jika kita 11 / 27 I L U S T R A S I 12 / 27 berlari sampai ke villa. Basah kuyup sudah pasti karena akan melewati hujan deras. Tapi saya pikir tak apalah karena pakaian sudah tanggung kuyub. Kami sampai di villa miliknya. Ruangan dalam tak besar benar tapi ada dinding pelingkup ruangnya. Ada juga kamar mandi. Saya memasukkan potongan kayu kering yang tersusun dipinggir perapian dan mulai membakarnya di dalam perapian. Udara mulai terasa agak hangat. Gemeletuk gigi agak reda. Villa ini terletak pada ketinggian seribu limaratus meter dari muka laut. Pantaslah jika hawa dingin terasa menusuk tulang. Agaknya villa ini dibangun pada jaman Belanda, mungkin sekitar tahun seribu sembilanratus tigapuluh-an. Ini dapat dilihat dari tipe dan jenis materialnya. Saat itu Belanda sudah mulai menggunakan material beton untuk konstruksi bangunan. Sambil menjerang air panas untuk minum ia bertanya kembali. Apakah villa ini arsitektur? Lalu apa bedanya kebun lettuce dengan saung dan dengan villa dan bangunan pada umumnya? Dia terus berceloteh mempertanyakan. Menerangkan kebun lettuce-saung-villa tentu mudah. Tapi menjawab apa beda bangunan dengan arsitektur, butuh penjelasan yang panjang. Bayangkan saja seorang Nikolaus Pevsner, ahli sejarah arsitektur Eropa abad 20 sampai berujar : A bicycle shed is a building, Lincoln Cathedral is a piece of architecture. Jadi bisa dipastikan buat sang pakar, saung itu bukan arsitektur, apalagi kebun lettuce. Saya pikir yang pasti, tugas awal arsitektur adalah sebagai shelter untuk tempat berteduh 13 / 27 I L U S T R A S I 14 / 27 manusia. Walau saung tadi tidak nyaman dengan hujan yang terbawa angin dari samping, tapi ia sudah dapat berfungsi sebagai tempat berteduh. Meskipun tentu tak ada aktivitas penting lain yang dapat kita kerjakan di saung itu. Kegiatan yang tadi kami lakukan adalah duduk berdua berdekatan sambil menunggu hujan reda. Untungnya kami dihibur oleh kodok yang bercengkerama riang sambil berbunyi sahut-menyahut menyambut turunnya hujan. Saya bersependapat dengan para pakar antropologi yang namanya telah disebut pada bagian sebelumnya. Saya juga sejalan dengan pakar arsitektur Christian Norberg-Schulz yang selalu menggunakan pendekatan fenomenologi dalam bukunya. Ia bahkan bertesis dalam salah satu bukunya bahwa tugas yang disandang arsitektur ada empat rupa. Keempatnya adalah: kontrol fisik atau menaungi, mengakomodasi kegiatan, mengekspresikan tingkat sosial dan mengekspresikan simbol budaya. Villa ini sudah jauh dari sekedar nyaman. Kami berdua dapat duduk menghadapi perapian dan menyeruput kopi hangat. Villa ini sudah berfungsi sebagai sebuah ruangan dimana di dalamnya kami berdua dapat melakukan banyak kegiatan. Makan, membaca, duduk, bersenda-gurau, dan tidur tanpa kehujanan dan kedinginan. Villa ini bukan lagi shelter tapi sudah jauh lebih berkembang. Villa ini sudah dapat dikatakan sebagai rumah kecil. Atap, dinding sertai lantai pelingkupnyalah yang berfungsi sebagai filter dari lingkungan sekitarnya. Berlandas pengalaman berteduh pada saung lalu mengalami villa ini, terasa adanya perubahan 15 / 27 I L U S T R A S I 16 / 27 pengalaman kualitas ruang yang signifikan. Dari saung yang kegiatan dan kenyamanannya terbatas sampai pada villa yang kegiatannya lebih beragam dan sangat nyaman. Walau berbeda, bukankah keduanya mengandung ruang untuk digunakan manusia di dalamnya? Bukankah arsitektur selalu berangkat dari ruang? Tempat Beraktivitas Kali ini saya berada disebuah ruangan besar; Penghuninya ada kurang lebih seratus orang. Wanita semua. Masing-masing duduk didepan meja; Ada meja potong, meja jahit, meja pasang kancing, dan meja seterika sampai meja kemas. Ia mengajak saya melihat interior yang ia rancang. Pabrik garment. Saya pikir ia memang seorang desainer interior handal. Pabrik ini terasa tak panas walau tak menggunakan penghawaan buatan. Tak ada langitlangit yang mendatar di sini. Langit-langit yang ada rupanya dirancang mengikuti kemiringan bentuk atapnya. Konstruksinya terbuat dari kayu dengan atap bersusun dua. Diantara susunan atap itu ada lubang cahaya dan udara memanjang sepanjang garis panjang atap. Nyaman, terasa bahwa udara panas cenderung bergerak keatas. Puncak atap atau nok tingginya lebih kurang berjarak delapan meter dari lantai. Mungkin ruang yang relatif tinggi inilah yang menjamin adanya perputaran sirkulasi udara. Ia menempelkan cat dengan warna-warna pastel pada dinding dan pada balok-balok atap. Efek yang ditimbulkan terasa segar 17 / 27 I L U S T R A S I 18 / 27 dan ceria. Kali ini saya yang bertanya: apakah pabrik ini arsitektur? Kegiatan yang dilakukan disini jauh lebih banyak dan beragam ketimbang kala kami berdua di villanya yang sangat dingin. Ekspresi pabrik ini menjanjikan kehangatan dan itu memang benar. Hangat didalam ruangan, tapi tak panas. Ia berbicara lirih, tapi saya sulit mendengarnya. Saya mendekatkan telinga pada bibirnya. Rupanya hal ini berakibat kami berdua menjadi pusat perhatian para pekerja. Ini adalah ruangan yang sifatnya jauh berbeda dengan villa. Ruang ini bersifat sangat publik, sedangkan di villa tak ada yang perduli. Disini, semua mata tampaknya ingin ikut tahu. Semua telinga seperti ingin ikut mendengar. Di bagian luar gedung pabrik, terhampar area yang cukup luas. Diantaranya ditempatkan kolam air tempat mencuci kain. Belasan wanita sedang asik mencuci dan menjemur kain sambil bersenda-gurau. Tak ada pelingkup atap. Untuk menahan panasnya sinar matahari, mereka semua memakai caping (topi berbentuk kerucut). Dinding pelingkup pun tak ada, yang ada hanya ada dinding batas pagar setinggi dua meter. Ini juga dapat disebut ruang beraktivitas. Apakah ini bangunan? Apakah ini arsitektur? Pabrik tadi suasananya nyaman dan dapat menampung kegiatan publik dalam jumlah pekerja yang relatif banyak. Tentu berbeda dengan villa. Sebaliknya pelataran tempat mencuci kain ini jauh dari nyaman. Pekerja harus memakai caping jika tak mau tersengat panas sang surya. Yang mana bangunan? Yang manakah arsitektur? 19 / 27 I L U S T R A S I 20 / 27 Tempat yang Khusus Rumah ibadah ini sangat sederhana. Ukuran yang tertutup dinding hanya delapan kali enam meter. Diluar ada emperan yang ditutup atap sederhana. Ada mimbar diujung ruangan dan ada salib kayu menempel di tembok belakang mimbar. Suasana sejuk dalam kesakralan. Ia berlutut didepan sana. Tampaknya ia sedang berdoa. Saya melihat dari kejauhan. Berdiri dekat pintu. Mata saya berkelana, berputar. Saya makin yakin bahwa ia punya kualitas tinggi dalam merancang interior, karena citra etnik selalu dilekatkannya pada elemen-elemen furniture. Unik. Setelah ia selesai berdoa, kami berdiskusi di emperan kapel kecil ini sambil bersila. Ia berencana ingin membangun mesjid dekat kebun lettucenya. Ia bertanya apakah saya bersedia untuk merancang mesjid tersebut. Tentu saya menyambut gembira tawarannya. Sontak saat itupun saya membuat sketsa pada tablet yang saya bawa. Ia menyimak dengan seksama. Seperti bangunan peribadatan lainnya mesjid harus punya nilai simbolik yang kuat. Saya mengoceh lagi. Pertama, bangunan harus dapat melayani kebutuhan gerak aktivitas pengguna dengan nyaman. Kemudian barulah nilai-nilai lain seperti nilai simbolik diintegrasikan kedalam bangunan tadi. Ia tersenyum. Pada sayakah senyum itu atau pada ocehan saya? Selepas siang, ketika sore menjelang ia membawa saya ke sebuah gedung bertingkat. Kami naik lift sampai lantai delapanbelas. Ini apartemennya. 21 / 27 I L U S T R A S I 22 / 27 Kamar tidurnya ada tiga. Ada kamar pembantu juga di sana. Anehnya apartemen ini terasa hampa. Padahal penuh dengan furniture modern disana-sini. Tak tampak sama sekali furniture buatan dalam negeri di sini. Semua impor. Lampu kristal, peralatan dapur, sofa, tempat tidur. Bahkan bunga hiasanpun tampaknya bukan dari negeri ini. Selain mewah, ekspresinya juga dingin. Mungkin karena langka digunakan, ruh apartemen ini tak muncul. Menurutnya apartemen ini hanya untuk investasi. Tahun lalu ia membelinya ketika ada penawaran perdana. Bulan lalu ada yang menawar apartemen ini. Nilainya hampir satu setengah kali harga yang ia keluarkan tahun lalu. Bangunan atau arsitektur mulai berubah nilainya menjadi seperti emas atau berlian atau bahkan saham. Tak ada keterlibatan fungsi di sana. Tak muncul ruh di sana. Perubahan nilai ini mungkin bisa dipahami dengan rujukan tentang konsumerisme yang dikedepankan oleh Karl Marx. Ia berbicara tentang proses produksi, kebutuhan manusia dan komoditas. Ia berpendapat bahwa komoditas merupakan produk yang diciptakan lebih untuk komunitas pasar, ketimbang untuk konsumsi perorangan. Jadi komoditas jauh lebih bermakna sebagai nilai-tukar ketimbang nilai-guna. Pendapat Marx ini tampaknya melanjutkan tesis Webber tentang kapitalisme. Menurutnya kapitalisme ditujukan hanya untuk mengejar keuntungan. Perlahan tapi pasti tujuan ini akan melahirkan kehausan manusia terhadap kenikmatan dalam kehidupan. Jalan pikir seperti 23 / 27 I L U S T R A S I 24 / 27 inilah yang lalu menumbuh-kembangkan konsumerisme. Paham ini dapat diidentifikasi sebagai suatu pola pikir yang melahirkan tindakan untuk asal membeli. Alasan membeli suatu barang itu, bukan karena faktor kebutuhan. Tapi lebih melainkan karena keinginan yang dapat memuaskan nafsu duniawi dalam berkehidupan. Keinginan ini lambat laun secara tidak disadari akan menjadi sebuah kebutuhan. Dalam perjalanan konsumerisme, kota dan arsitektur yang merupakan pusat kegiatan sosial, diposisikan sebagai tempat pemuas nafsu pemenuhan keinginan. Sehingga lambat laun konsumerisme mulai merasuk dan secara perlahan mengkonstruksi kehidupan sehari-hari. Cogito Ergo Sum yang dicetuskan Descartes mulai berubah menjadi “saya belanja maka saya ada”. Sebuah panggung sandiwara semu mulai diciptakan sebagai tempat pertemuan antara pembeli dan penjual. Makna pasar yang sebenarnya mulai terhapus. Panggung semu dapat berupa apa saja, di mana salah satunya berwujud apartemen yang berarsitektur super megah. Apartemen semacam ini mulai tumbuh menjamur di kota-kota besar saat ini. Ia bercerita suka mengundang beberapa teman dekatnya ke sini. Kawan-kawannya berkata bahwa apartemen ini sebuah karya arsitektur yang tinggi nilai estetiknya. Ia memandang saya seakan minta pendapat. Saya tak menjawab langsung. Saya hanya berkata bahwa saya lebih suka duduk berdua di villanya yang didominasi unsur kayu, tanpa udara buatan, tanpa barang impor. Perapian yang hanya dibalut bata tahan api, lantai papan jati 25 / 27 yang hangat. Lantai batukali yang dingin di terasnya. Rasanya buat saya itu lebih menyentuh. Saya bilang saya rindu suasana itu. Arsitektur itu. Tentu saya rindu juga pada setiap detik kebersamaan kita. Hanya berdua. Ia tak bereaksi. Mungkin ia tak setuju, mungkin ia tersinggung, atau mungkin juga ia sepakat dengan saya. Saya tak tahu dan tak mau tahu. Lalu saya menggumam sendiri : Apakah ini juga arsitektur? Ia beranjak perlahan, mendekati, lalu memeluk saya dengan erat seakan tak mau lepas. 26 / 27 TUGAS ARSITEKTUR purnamasalura.com 2015 27 / 27