Bab Tiga Mengungkap Realitas Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku Permasalahan Penelitian Dalam perkembangan sosiologi, diskursus tentang gambaran mengenai pokok perdebatan studi sosiologi pernah berlangsung antara kelompok aliran filsafat yang menganut paham realisme sosial atau sering juga disebut esensialisme, dengan aliran filsafat yang menganut paham nominalisme. 1 Dari diskursus-diskursus tersebut antara lain muncul dua kelompok komunitas ilmiah, yakni kaum objektif mewakili aliran realisme atau esensialisme, dan kaum subjektivis mewakili aliran nominalisme. Kedua aliran tersebut cukup berpengaruh dalam perkembangan sosiologi, dan dalam beberapa hal konflik paradigma yang terjadi di antara keduanya ikut merangsang perkembangan studi kritis mengenai sosiologi. 2 Salah satu nama yang diberikan untuk kedua aliran ini adalah paradigma Fakta Sosial untuk para pendukung realisme sosial dan paradigma Definisi Sosial untuk para pendukung Lihat Karl R. Poper, Gagalnya Historisisme, terjemahan Nena Suprapto, LP3ES, 1985, hal.33-34. 2 Tentang nominalisme lihat Max Weber, From Max Weber: Essays in Sociology, translated, edited and with a introduction by Hans Gerth and C.Wright Mills, New York: Oxford University Press,1985, hal. 55-59. Tentang realisme sosial yang mendasari Emile Durkheim, lihat Steven Lukes, Emile Durkheim, His life and Work: A Historical and Critical Study, New York:Harper & Row, 1981, hal. 79-85. Realisme dalam hubungannya dengan holisme dan elementarisme, lihat Don Martindale, The Nature and Types of Sociology Theory, Boston: Hughton Mifllin, 1960, hal.206-208. 1 25 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku nominalisme dalam sosiologi. 3 Kecenderungan metodologis yang ditimbulkan karena perbedaan asumsi dasar ini cukup besar dalam sosiologi, sehingga tidak begitu saja dapat digabungkan tanpa menimbulkan permasalahan validitas penelitian. Pendekatan Kualitatif Pendekatan apa pun yang digunakan dalam penelitian, harus tunduk pada hakikat pokok permasalahan studi yang sedang dipelajari, dan bukan sebaliknya 4. Hakikat pokok permasalahan studi yang dimaksud di sini merupakan gambaran tentang pokok permasalahan mengenai apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan masyarakat, atau lebih khusus lagi reintegrasi sosial itu. Perbedaan mendasar antara kecenderungan penggunaan metode kuantitatif oleh para penganut aliran objektivis dan kecenderungan penggunaan metode kualitatif oleh para penganut subjektivis, tidak dibahas di sini. Yang penting untuk dijelaskan adalah jawaban atas pertanyaan mengapa pokok permasalahan studi reintegrasi sosial dalam penelitian ini lebih tepat dilihat sebagai kenyataan subjektif daripada sebagai kenyataan objektif. 5 Saya sependapat dengan aliran sosiologi fenomenologis atau interaksionisme (keduanya sering ditukarbalikan6) yang menekankan pentingnya kehidupan sehari-hari sebagai pokok permasalahan studi sosiologi umumnya dan reintegrasi sosial khususnya. Pertanyaan kritis yang perlu dijawab adalah, mengapa kehidupan sehari-hari itu sangat Tentang pengelompokan kedua macam paradigma ini, lihat antara lain Piotr Sztompak, Sociological Dilemmas: Toward a Dialectic Paradigm, hal. 30-31, 51-54, 189-190. 4Lihat Robert M.Z. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, FISIPUI Press, 2004. 5Lihat pengelompokkan George Ritzer, Sociology A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and Bacon, 1975. 6 Lihat Randall Callins, Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science, New York: Academic Press,1975, hal. 49-160. Ini merupakan pertanyaan inti yang dikemukakan Randall Collins yang dikembangkannya dengan memberikan sejumlah proposisi yang dapat langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bahaya reifikasi dapat dihindari. 3 26 Mengungkap Realitas Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku penting bagi sosiologi? Pertama, kehidupan sehari-hari itu sangat riil, tidak dapat disangkal, dapat diamati langsung dalam interaksi sosial atau kegiatan orang-orang tertentu dalam suatu kelompok sosial tertentu. Kedua, dalam tindakan atau interaksi sosial yang terjadi seharihari itu [dan mungkin] akan muncul kembali dalam tindakan atau interaksi sosial di masa yang akan datang. Konsep tindakan (action) dan tindakan sosial (social action) dalam sosiologi Max Weber atau intersubjektivitas dalam pandangan A. Shutz tepat menggambarkan makna ini. 7 Ketiga, walaupun bagi subjek atau aktor yang bersangkutan, dunia kehidupan sehari-hari itu pada umumnya dianggap biasa saja (takenfor-granted), namun bagi seorang peneliti masyarakat dunia seperti itu sangat penting artinya, karena dengan cara itulah masyarakat mempertahankan hubungan sosial dan kelompoknya. Di sinilah letak jawaban atas pertanyaan yang selalu dikemukakan ahli sosiologi dari semua aliran: bagaimana suatu masyarakat dapat bertahan? (how society is possible?). 8 Keempat, reintegrasi sosial menyatu dengan kehidupan manusia. Dia dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari yang terwujud dalam tindakan, dalam percakapan, dan dalam apa saja yang orang sedang kerjakan, dalam senda-gurau, dalam pembicaraan yang bernada gosip, dalam pembicaraan intim dapat menjadi dasar untuk membangun teori 9 integrasi sosial. Dalam percakapan-percakapan seperti inilah mereka yang terlibat di dalamnya menampakkan makna tindakannya, menawarkannya kepada teman bicara, dan bersama-sama membangun makna yang bersifat intersubjektif. Di sinilah letak konstruksi sosial sebagaimana yang di-kemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman serta sejumlah penganut aliran fenomenologi lainnya dalam sosiologi. 10 Meskipun posisi subjektif itu cukup jelas dalam sosiologi fenomenologis dan dalam interkaisonisme simbolik, tekanan mereka tidaklah Lihat Robert M.Z. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, FISIPUI Press, 2004. Sepanjang kehidupan sehari-hari yang merupakan pokok permasalahannya, maka antara interaksionisme simbol dan sosiologi fenomenologis tidak terdapat perbedaan. 8 Lihat Alfred Schutz dalam G. Ritzer, op.cit., ha. 112. 9 Ibid., hal. 113. 10 Randall Collins, op. cit., hal. 111-160. 7 27 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku sama kuatnya. Studi etnometodologi H. Garfinkel menunjukkan posisi yang sangat ekstrim menekankan kenyataan sosial yang bersifat subjektif. Sekalipun pandangan Garfinke dinilai kurang tepat untuk menanyakan bagaimana kenyataan sosial atau masyarakat itu dipertahankan, melainkan bagaimana pengertian atau kesadaran akan keteraturan sosial itu tidak memiliki eksistensi yang sama sekali terlepas dari orang-orang yang mengkonstruksikannya. 11 Pertanyaan yang perlu dijawab untuk menentukan apakah proses reintegrasi sosial itu memiliki eksistensinya sendiri adalah ‘seberapa jauh tindakan dan interaksi sosial itu dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat eksternal’. Tindakan yang paling individual sekalipun bukanlah sesuatu yang baru sama sekali setiap kali tindakan itu dilakukan. Dalam melakukan tindakan-tindakan itu orang cenderung untuk mengulang kembali cara yang digunakannya kemarin, apabila menurut perhitungan mereka cara itu menguntungkan. Apa yang terjadi dalam kehidupan individu dari waktu ke waktu adalah pembiasaan. Dalam hubungan inreraksional atau tindakan sosial, pembiasaan yang ada pada seseorang itu dimunculkan, diperkenalkan dan malah diuji dalam hubungan interaksional. Dari hubungan interaksional itu berkembanglah suatu tipe tindakan sosial, yang berlaku paling kurang untuk dua orang yang terlibat. Inilah yang disebut tipifikasi. Dalam kehidupan sosial selanjutnya tipifikasi ini berkembang tidak saja dia dimunculkan dalam interaksi sosial (asumsi subjektivitas) melainkan juga ikut mempengaruhi interaksi sosial itu sendiri. Dari sisi ini, kita melihat bahwa kenyataan sosial seperti itu benar-benar memiliki eksistensi objektif sui-generis. 12 Walaupun demikian, Peter L Berger dan Thomas Luckman dalam pendekatannya tetap memberikan perhatian yang lebih besar pada bentuk kehidupan sosial sehari-hari. Bagaimana pun juga, kehidupan seharihari inilah yang memberikan makna kepada proses reintegrasi sosial. Karena itu, posisi subjektif yang diperlihatkan Rendall Collins, sebaiknya dimengerti dalam konteks ini, sebagaimana terlihat dari kutipan berikut. ”Untuk mendeskripsikan sebagian struktur sosial, khususnya 11Peter L. Berger and Thomas Luckman, The Social Construction of Reality, Garden City, N. Y: Doubleday, 1966. 12Lihat George Ritzer, op. cit., hal. 116-117, dan Randall Collins, op. cit., hal. 112. 28 Mengungkap Realitas Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku struktur kekuasaan, persahabatan, pandangan-pandangan dunia yang sudah berpola, yang membentuk struktur sosial.”13 Pendekatan kualitatif dalam sosiologi masih tetap memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan teori sosiologi. Emile Durkheim, 14 Max Weber, George Herbert Mead dan sebagian besar tokoh sosiologi modern, sudah mengembangkan sejumlah teori sosiologi yang didasarkan pada pendekatan kualitatif. Diskusi James Coleman mengenai sumbangan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam menganalisa bagian-bagian yang bekerja dari suatu sistem menunjukkan dengan jelas bahwa elemen-elemen dalam teori sosiologi sering diperoleh dari kondisi-kondisi struktural, konsekuensi-konsekuensi, penyimpangan-penyimpangan, normanorma, proses-proses, pola-pola dan sistem-sistem, dengan menggunakan metode kualitatif. 15 Dengan demikian, maka kedalaman dan kepadatan informasi mengenai proses reintegrasi sosial, memang lebih tepat apabila diperoleh dengan jalan menggunakan pendekatan kualitatif. • Wilayah Riset Memilih latar penelitian yang cocok dengan pokok permasa- lahan reintegrasi sosial antar komunitas yang pernah terlibat konflik merupakan keputusan yang penting dalam penelitian ini, mengingat peneliti perlu melakukan penelitiannya di tempat kejadian sesungguhLihat Peter L. Berger and Thomas Luckman, ibid. , hal. 63-146. Lihat Hans-George Gadamer dalam K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: InggerisJerman, PT. Gramedia, 1983, hal.226-232. Dalam Studi tentang Integrasi Sosial khususnya dan studi lainnya tentang masyarakat, Durkheim menggunakan pendekatan kualitatif, kecuali studinya tentang bunuh diri yang menggunakan pendekatan kuantitatif. 15Lihat Emile Durkheim, The Division of Labour in Society, translated by George Simpson, New York: Free Press, 1964; Education and Sociology, translated by Sherwood D.Fox, New York: Free Press, 1956; Elementary From of Religious Life, translated by Joseph Ward Swain, New York: Free Press, 1947; Moral Education, translated by Everett K. Wilson, New York: Free Press, 1961; On Morality and Society; selected writings, edited and with an introduction by Robert N.Bellah, Chicago: University of Chicago Press 1973, dan lain-lain. Lihat Max Weber, op.cit., dan Barney G. Glaser and Anslem L. Straus, The Discovery of Grounded Theory: Strategies For Qualitative Research, Chicago: Aldine Publishing, 1967, hal. 18. 13 14 29 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku nya berlangsung guna mengamati dan mencatat berbagai aktivitas sehari-hari subjek yang diteliti dan lingkungan tempat subjek berada. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa, pemilihan latar penelitian akan mempengaruhi keabsahan data. Dengan dasar pertimbangan seperti ini, maka penelitian ini akan dilakukan pada dua komunitas yang memiliki hubungan gandong yang sama, yakni di negeri Siri Sori Salam [Islam] dan negeri Siri Sori Serani [Kristen] di pulau Saparua; dua komunitas yang berbeda hubungan gandong, yakni di negeri Waai [Kristen] dan negeri Tulehu [Islam] di pulau Ambon; serta dua komunitas yang tidak memiliki hubungan gandong di kota Ambon. Peta Wilayah Riset Asumsi yang mendasari pilihan tersebut adalah, dalam penelitian ini tidak ada batasan yang pasti mengenai jumlah tempat penelitian yang dibutuhkan. Segalanya bergantung pada pokok permasalahan yang diteliti. Dengan pertimbangan seperti ini, masalah jumlah bukan tujuan utama dan bukan sebagai penentu absah tidaknya penelitian, tetapi bagaimana pokok permasalahan yang diteliti dapat memperoleh jawaban yang mendalam atau tidak di tempat yang sudah dipilih, baik di satu tempat atau di beberapa tempat. 30 Mengungkap Realitas Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku • Metode yang Digunakan Dengan mengacu pada cara berpikir George Ritzer, maka metode pengamatan terlibat dan tidak terlibat, wawancara, merupakan metode utama dalam mengumpulkan data di lapangan. Di samping itu, penggunaan metode hermeneutika juga dipergunakan di sini, khususnya dalam rangka memahami naskah-naskah tentang realitas kehidupan orang Ambon yang cukup banyak jumlahnya.16 Penggunaan metode-metode ini akan disesuaikan dengan kebutuhan akan data mengenai proses-proses sosial, khususnya yang berkaitan dengan inti tesis, yakni reintegrasi sosial. Disadari bahwa untuk memperoleh data yang valid dan reliable khususnya terkait dengan konteks penelitian yang berlatar belakang reintegrasi sosial [antar dua komunitas] pasca konflik Maluku, tentu bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah. Untuk memperoleh data yang berkualitas, maka berbagai faktor holistik yang ada pada kedua komunitas senantiasa diutamakan. Mendahului pengambilan data lapang, saya melakukan berbagai tahapan kegiatan sebagai berikut: Tahap persiapan. Pada tahap ini, saya melakukan penyusunan pedoman wawancara, mengidentifikasi karakteristik informan kunci yang akan diwawancarai, mengidentifikasi ruang publik [field atau arena] yang akan didatangi, dan merekrut enam orang asisten 17 yang akan membantu saya dalam pengumpulan data lapang. Rekrutmen terhadap enam orang asisten tersebut dilakukan karena beberapa pertimbangan: pertama, kesamaan agama yang dianut dan kesamaan hubungan gandong akan menciptakan suasana keterbukaan pada saat Lihat Randall Collins, op. cit., hal. 113. Tiga orang asisten membantu saya di kota Ambon, satu diantaranya beragama Islam [bergelar Magister Sosial] dan dua orang lainnya beragama Kristen [bergelar Magister Sosial]; sedangkan tiga orang lainnya membantu saya di Pulau Saparua dan Pulau Ambon, ketiga orang asisten tersebut satu di antaranya adalah Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Program Pascasarjana Universitas Pattimura-Ambon yang sementara dalam tahap penyusunan Tesis. Sedangkan dua orang asisten lainnya baru menyelesaikan studi Sarjana pada Jurusan Sosiologi FISIP-UNPATTI. Ketiganya beragama Kristen, salah seorang asisten memiliki hubungan gandong dengan komunitas Islam di Negeri Sirisori Salam [Islam], dan seorang asisten lain baru saja [tiga bulan sebelumnya] selesai mengumpulkan data lapang di Negeri Tulehu [Islam] untuk penulisan Skripsinya. 16 17 31 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku berlangsungnya wawancara, sehingga kualitas data yang diperoleh akan lebih baik sebagaimana yang diharapkan; kedua, pengalaman penulis [saya] dan salah seorang teman pernah mengalami kesulitan pada saat pengumpulan data lapang di komunitas Islam ketika melakukan penelitian tahun 2004 tentang Dampak Konflik Maluku terhadap Kehidupan Masyarakat di Pulau Ambon; saya sendiri adalah salah seorang korban konflik 18. Oleh karena itu, pelibatan para asisten akan membantu mengatasi tiga masalah, yakni: pertama, mengeliminasi kemungkinan subjektivitas saya dalam proses pengumpulan data lapang; kedua, menghindari kemungkinan ketertutupan selama wawancara berlangsung; dan ketiga, menghindari adanya kemungkinan munculnya anggapan dari para informan kunci bahwa saya sebetulnya sudah mengetahui sebagian dari realitas yang terjadi di kota Ambon [Pariela, 2008]. Setelah itu, saya mengajak keenam orang asisten tersebut berdiskusi, untuk: pertama, menyamakan persepsi sekaligus memperdalam orientasi dan pemahaman mereka tentang substansi masalah yang akan diteliti; kedua, agar mereka menguasai pedoman wawancara yang telah disiapkan sehingga tidak mengganggu pada saat proses pengambilan data lapang; ketiga, mengingat tingkat sensitivitas masalah yang diteliti relatif tinggi, maka saya menjelaskan tentang pentingnya keterlibatan mereka membantu saya. Tahap ini berlangsung selama awal bulan Oktober hingga pertengahan bulan Nopember [tanggal 13 Nopember] tahun 2009. Tahap pengumpulan data lapang. Pada tahap ini, pengumpulan data lapang dilakukan di tiga lokasi yakni di Kota Ambon, Pulau Ambon dan di Pulau Saparua. Informan kunci yang diwawancarai secara mendalam di ketiga lokasi tersebut adalah, baik informan yang terlibat maupun yang tidak terlibat dalam konflik, seperti tokoh pemuda, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, aktivis LSM dan masyarakat biasa meliputi; para pedagang di pasar, para penjual jasa angkutan umum, siswa dan mahasiswa, pegawai [Negeri dan Swasta], petani dan nelayan serta informan lain yang diKetika Universitas Pattimura dihancurkan tanggal 4 Juli tahun 2000, seluruh rumah dan harta benda penduduk [termasuk Penulis] yang tinggal di daerah lingkar Kampus, ikut dibakar dan dijarah oleh para perusuh. 18 32 Mengungkap Realitas Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku pandang penting untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang sedang diteliti. • Proses Penelitian di Kota Ambon Setelah memperoleh izin resmi dari Walikota Kota Ambon tanggal 3 Oktober 2009, kemudian dilakukan tiga kali pengumpulan data lapang di kota Ambon, yakni: Pertama, yang dimulai pada tanggal 1 hingga 15 Desember 2009, di mana saya mewawancarai secara mendalam informan kunci tokoh pemuda yang berdomisili di empat lokasi pemukiman [Kelurahan Kudamati dan, Benteng di Kecamatan Nusaniwe, serta Kelurahan Rijali-Belakang Soya dan Negeri Batu Merah di Kecamatan Sirimau], tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk memperoleh informasi tentang sejarah 19 konflik yang terjadi antar dua komunitas. Kemudian mewawancarai Walikota Kota Ambon20. Sedangkan ketiga asisten melakukan wawancara mendalam dengan para informan kunci tokoh perempuan, pimpinan LSM Lokal, dan pimpinan organisasi sosial kepemudaan [termasuk organisasi keagamaan]. Kedua, dimulai pada tanggal 15 Januari hingga tanggal 15 Maret tahun 2010, di mana saya melakukan wawancara dengan tokoh perempuan, pimpinan LSM Lokal, dan pimpinan organisasi sosial kepemudaan [termasuk organisasi keagamaan]. Sedangkan ketiga asisten mewawancarai tokoh pemuda, tokoh pendidik [Guru dan Dosen], siswa dan mahasiswa, pedagang di pasar, pengunjung pusat perbelanjaan, restoran, penumpang dan supir mobil angkot, pengemudi becak, pengemudi ojek [motor], serta pegawai baik pemerintah maupun Lihat Dreyfus, Hubert L & Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, Chicago: The University of Chicago Press, 1982. Sejarah bagi Foucault 19 adalah arena, perjuangan-perjuangan dan diskursus-diskursu yang tak berkelanjutan. Hal yang terpenting adalah proses inklusi, eksklusi, dan kekuasaan yang terpusat pada proses historis dan pertanyaan tentang kemungkinan universal, kebenaran sejarah yang melampaui perspektif dan yang mencakup seluruh pengalaman manusia. Selain itu, diskontinuitas [keterputusan] dalam sejarah, merupakan hal penting bagi Foucault. 20Wawancara dengan Walikota kota Ambon [M.J.Papilaya] untuk memperoleh informasi tentang berbagai kebijakan publik yang telah diambil Pasca Konflik. 33 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku swasta. Setelah data awal terkumpul dan para asisten menyerahkan kepada saya maka proses selanjutnya mereka tidak lagi membantu saya. Ketiga, data awal yang saya peroleh kemudian didalami dan dilakukan wawancara ulang dengan informan kunci yang sama, sambil membuat dokumentasi serta melakukan pengamatan langsung di ruang-ruang publik [meeting poin] untuk memahami dinamika interaksi yang terjadi antar warga kedua komunitas. Setelah sebagian besar data sudah terkumpul, maka sejak bulan Mei 2010 saya melakukan edit dan kategorisasi data untuk memastikan peruntukan data dengan substansi penelitian ini. Mengingat kompleksnya masalah yang diteliti, maka untuk melengkapi data yang masih kurang, saya secara insidentil masih melakukan wawancara hingga bulan Desember 2010. • Proses Penelitian di Pulau Saparua Setelah memperoleh izin 21 resmi dari Gubernur Provinsi Maluku tanggal 15 September 2010, kemudian dilakukan pengumpulan data lapang di Negeri Sirisori Serani [Kristen] dan Negeri Sirisori Salam [Islam] di Pulau Saparua. Untuk memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang sedang diteliti, saya memutuskan untuk tinggal di daerah penelitian, kemudian melakukan pengumpulan data lapang yang dimulai sejak tanggal 19 September hingga 19 Oktober 2010: Pertama, saya mendatangi Kepala Kecamatan [Camat] Pulau Saparua dan pimpinan negeri [Raja] kedua komunitas menyampaikan surat izin penelitian dari Gubernur Provinsi Maluku sekaligus melakukan perkenalan. Kemudian saya melakukan wawancara dengan informan kunci tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat baik yang terlibat maupun tidak dalam konflik, untuk memperoleh informasi tentang sejarah konflik yang terjadi dan kondisi saat ini yang berhubungan dengan reintegrasi sosial. Kemudian mewawancarai 21Surat izin penelitian dari Gubernur Provinsi Maluku untuk dua Kecamatan, yakni Kepala Kecamatan Pulau Saparua di Saparua dan Kepala Kecamatan Salahutu di Tulehu. 34 Mengungkap Realitas Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku Kepala Kecamatan Pulau Saparua 22. Sedangkan oleh asisten melakukan wawancara mendalam dengan para informan kunci tokoh perempuan, dan pimpinan organisasi sosial kepemudaan [termasuk organisasi keagamaan]. Kedua, dimulai pada tanggal 11 hingga tanggal 20 September tahun 2010, di mana saya melakukan wawancara dengan tokoh perempuan, dan pimpinan organisasi sosial kepemudaan [termasuk organisasi keagamaan], sekaligus ke Saparua melakukan wawancara dengan pedagang dan warga kedua komunitas yang sementara beraktivitas di pasar, serta penumpang dan sopir angkot di terminal. Sedangkan ketiga asisten mewawancarai tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat dan beberapa orang informan anggota masyarakat biasa baik di Negeri Sirisori Serani, Sirisori Salam, negeri Ouw [Kristen] dan Negeri Haria [Kristen]. Setelah data awal terkumpul dan para asisten menyerahkan kepada saya maka proses selanjutnya mereka tidak lagi membantu saya. Data awal yang saya peroleh kemudian didalami dan dilakukan wawancara ulang dengan informan kunci yang sama, sambil membuat dokumentasi serta melakukan pengamatan langsung di ruang-ruang publik [meeting poin] untuk memahami dinamika interaksi yang terjadi antar warga kedua komunitas. Ketiga, setelah kembali ke Ambon, saya melakukan wawancara dengan aktivis LSM [yang pernah menjadi staf pada LSM lokal maupun internasional] yang pernah melakukan intervensi program pada kedua komunitas pasca konflik. Setelah sebagian besar data sudah terkumpul, maka sejak bulan Nopember 2010 saya melakukan edit dan kategorisasi data untuk memastikan peruntukan data dengan substansi penelitian ini. Untuk melengkapi data yang masih kurang, saya secara insidentil masih melakukan wawancara hingga bulan Desember 2010 dengan tokoh masyarakat kedua komunitas yang berada di kota Ambon. Wawancara dengan Kepala Kecamatan Pulau Saparua untuk memperoleh informasi tentang berbagai kebijakan publik yang telah diambil Pasca Konflik. 22 35 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku • Proses Penelitian di Pulau Ambon Pengumpulan data lapang di pulau Ambon dilakukan di Negeri Waai [Kristen] dan Negeri Tulehu [Islam]. Karena jaraknya dekat [24 km] dengan kota Ambon dan dapat dijangkau dengan kendaraan, saya memutuskan untuk tidak tinggal di daerah penelitian. Aktivitas pengumpulan data lapang dimulai pada tanggal 5 Nopember hingga 5 Desember 2010: Pertama, proses yang dilakukan di Pulau Saparua, saya gunakan juga pada saat pengumpulan data di Pulau Ambon. Selesai menyampaikan surat izin penelitian dari Gubernur Provinsi Maluku kepada Kepala Kecamatan Salahutu dan pimpinan negeri kedua komunitas, saya melakukan wawancara secara mendalam dengan para informan kunci, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, baik yang terlibat maupun tidak dalam konflik, untuk memperoleh informasi tentang sejarah konflik yang terjadi dan kondisi saat ini yang berhubungan dengan reintegrasi sosial. Kemudian mewawancarai Kepala Kecamatan Salahutu 23. Sedangkan ketiga asisten melakukan wawancara mendalam dengan para informan kunci tokoh perempuan, dan pimpinan organisasi sosial kepemudaan [termasuk organisasi keagamaan], informan pedagang dan warga kedua komunitas yang sementara beraktivitas di atas dermaga, serta penumpang dan sopir angkot, tukang ojek di terminal penumpang. Kedua, dimulai pada tanggal 11 hingga tanggal 19 Nopember tahun 2010, di mana saya melakukan wawancara dengan tokoh perempuan, dan pimpinan organisasi sosial kepemudaan [termasuk organisasi keagamaan], sekaligus ke Negeri Liang dan Morela [Islam] untuk mewawancarai tokoh pemuda, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Setelah itu, melakukan wawancara dengan pedagang dan warga kedua komunitas yang sementara beraktivitas di atas dermaga, serta penumpang dan sopir angkot di terminal penumpang. Sedangkan ketiga asisten mewawancarai informan tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat, serta beberapa orang Wawancara dengan Kepala Kecamatan Salahutu untuk memperoleh informasi tentang berbagai kebijakan publik yang telah diambil Pasca Konflik. 23 36 Mengungkap Realitas Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku anggota masyarakat biasa. Setelah data awal terkumpul dan para asisten menyerahkan kepada saya maka proses selanjutnya mereka tidak lagi membantu saya. Data awal yang saya peroleh kemudian didalami dan dilakukan wawancara ulang dengan informan kunci yang sama, sambil membuat dokumentasi serta melakukan pengamatan langsung di ruang-ruang publik [meeting poin] untuk memahami dinamika interaksi yang terjadi antar warga kedua komunitas. Ketiga, setelah sebagian besar data sudah terkumpul, maka sejak bulan Desember tahun 2010 saya melakukan edit dan kategorisasi data untuk memastikan peruntukan data dengan substansi penelitian ini. Untuk melengkapi data yang masih kurang, saya secara insidentil masih melakukan wawancara hingga bulan Januari 2011 bersamaan dengan proses penulisan dan analisis sudah dilakukan sejak bulan Desember 2010. Selain data primer dari lapang, juga data sekunder dikumpulkan baik berupa dokumen dan laporan-laporan penelitian yang pernah dilakukan [khususnya tentang konflik Maluku], serta dari media massa cetak [kliping] sebanyak dua belas jilid yang dipinjam dari Sekretaris Sinode GPM [Bapak Pendeta A. Werinussa]. • Masalah yang Dihadapi Untuk memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang diteliti, sering kali saya menjumpai berbagai permasalahan ketika mewawancarai para informan kunci khususnya yang beragama Islam maupun Kristen. Permasalahanpermasalahan tersebut, antara lain: Kota Ambon Ketika untuk pertama kali menjumpai para informan kunci 24 dari komunitas Islam, setelah selesai memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan, ternyata saya disambut dengan positif oleh mereka. Namun, ketika memulai wawancara yang diawali dengan meminta ijin untuk mencatat nama, umur, dan nomor kontak, para Tidak semua informan kunci 24 37 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku informan sangat merasa keberatan untuk memberikannya. Rata-rata mereka bersedia untuk memberikan informasi, namun satu permintaan dari mereka adalah untuk tidak menyebut identitas mereka secara jelas dalam laporan [Disertasi]. Pada saat mendengar permintaan tersebut, saya mengajukan pertanyaan balik dengan menanyakan apa yang menjadi alasan sehingga identitas mereka tidak boleh dicantumkan secara lengkap. Karena mereka lama untuk memberikan jawaban dan saya tidak ingin hal tersebut mengganggu kelancaran proses pengambilan data, maka saya mengatakan setuju untuk mengabulkan permintaan mereka. Ketika mewawancarai mereka tentang konflik, ternyata saya mengalami kesulitan yang cukup berarti. Para informan kunci [tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan tokoh agama] umumnya sangat sulit memberikan jawaban yang pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Saya sangat mengerti dan menyadari sikap kehati-hatian mereka, karena kehadiran saya bukan saja sebagai peneliti untuk memperoleh informasi tentang konflik [penyebab, eskalasi dan bentuk, intensitas dan fluktuasi konflik, peran aktor dan lembaga, serta dinamika konflik yang terjadi dalam beberapa kasus di kota Ambon], tetapi saya beragama Kristen. Untuk mengalihkan perhatian mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah saya ajukan, saya menyodorkan rokok dan permen [bahan kontak] bagi mereka, kemudian saya mengajukan beberapa pertanyaan di luar substansi penelitian ini; misalnya, selain melakukan pekerjaan pokok yang ditekuni saat ini, adakah jenis pekerjaan lain [sampingan] yang dilakukan untuk menambah penghasilan keluarga?, apakah punya keluarga yang tinggal dan bekerja di luar Maluku ?, apakah sering membuat perjalanan ke luar kota Ambon?, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut saya ajukan semata-mata hanya untuk mencairkan kebekuan yang terjadi saat itu. Setelah itu, saya mencoba lagi mengajukan beberapa pertanyaan tentang substansi pokok penelitian, namun saya tidak berhasil memperoleh informasi sebagaimana yang saya harapkan. Melihat kenyataan tersebut, saya kemudian mohon pamit, dan meninggalkan informan tersebut. 38 Mengungkap Realitas Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku Sekalipun demikian, para informan kunci lain tidak menunjukkan sikap seperti itu. Memang, identitas mereka diminta untuk dirahasiakan, tetapi semua pertanyaan tentang substansi pokok permasalahan yang saya ajukan ternyata mendapat respons secara baik, meskipun ada beberapa pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban. Setelah itu, saya minta bertemu dengan asisten yang beragama Islam untuk menyampaikan permasalahan yang saya jumpai pada saat pengumpulan data. Setelah asisten saya melakukan kros-cek untuk mewawancarai para informan tersebut, ternyata kesulitan tersebut dapat diatasi secara baik. Pulau Saparua Berbeda dengan di pulau Saparua, memang umumnya para informan minta untuk merahasiakan identitas diri mereka namun semua pertanyaan tentang substansi pokok penelitian yang diajukan senantiasa mendapat jawaban sebagaimana yang saya harapkan. Hanya dua orang informan kunci yang banyak mengetahui informasi tentang konflik yang sangat sulit memberikan jawaban terhadap beberapa pertanyaan prinsip yang saya ajukan, mereka selalu berusaha untuk menghindar. Permasalahan ini dapat teratasi ketika salah seorang asisten saya melakukan wawancara dengan kedua informan kunci tersebut. Permasalahan tersebut dapat diatasi karena, dalam struktur adat asisten saya memiliki hubungan gandong dengan seluruh warga masyarakat negeri Sirisori Salam [Islam], sehingga asisten tersebut tidak boleh dibohongi. Jika dibohongi, akan mendapat sanksi adat dari para leluhur. Pulau Ambon Kehadiran saya pada hari pertama untuk melakukan wawancara dengan para informan kunci [Islam] di negeri Tulehu dan informan kunci [Kristen] di negeri Waai, ternyata disambut dengan baik. Sebelum memperkenalkan diri, saya menanyakan aktivitas apa yang dilakukan sehari-hari, sudah berapa lama melakukan aktivitas tersebut, berapa orang anak yang dimiliki dan lainnya selama kurang lebih lima 39 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku menit. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan tersebut sebenarnya hanya bersifat basa-basi. Untuk menghindari jangan sampai terbuai dengan pembicaraan yang berkembang saat itu, saya langsung memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud kedatangan saya untuk bertemu dengan para informan kunci. Berdasarkan pengalaman di dua wilayah sebelumnya, saya memulai wawancara informan kunci [Islam] dengan mengajukan pertanyaan tentang ‘kondisi saat ini yang berhubungan dengan reintegrasi masyarakat’. Saya cukup puas dengan jawaban yang diberikan para informan. Namun ketika saya mengajukan pertanyaan tentang konflik yang terjadi, para informan kunci mulai berusaha dengan berbagai cara untuk menghindar. Para informan kunci hanya akan bersedia memberikan jawaban, apabila identitas [nama] mereka dirahasiakan, dan saya memberikan jaminan kepada mereka untuk hal tersebut. Permasalahan lain yang dijumpai adalah, para informan kunci di negeri Tulehu [Islam] dan di negeri Waai serta di negeri Sirisori Salam [Islam] dan di negeri Sirisori Sarani [Kristen] umumnya bekerja sebagai petani dan nelayan. Pada saat saya datang, seringkali tidak menemui mereka, karena sementara melakukan aktivitas sebagai petani di kebun dan atau sementara melakukan aktivitas sebagai nelayan di laut. Karena itu, saya putuskan untuk menunggu hingga informan tersebut kembali. Apabila informan yang ditunggu sudah sore menjelang malam hari baru pulang ke rumah, pada saat bertemu, saya hanya membuat kesepakatan dengannya untuk melakukan wawancara pada besok hari. Kesepakatan ini dibangun, dengan pertimbangan, dalam kondisi fisik yang sudah kecapaian kemudian kalau pun saya memaksa melakukan wawancara, sudah pasti saya tidak akan memperoleh informasi yang valid tentang substansi penelitian sebagaimana yang saya harapkan. Setelah itu, saya mohon pamit kemudian meninggalkan informan, dan wawancara baru dapat dilaksanakan keesokan harinya. Pada saat saya datang, mereka sudah menunggu kemudian saya melakukan wawancara secara mendalam hingga selesai. 40