5 BAB II DASAR TEORI 2.1 Gambaran Umum Ata Ata merupakan sejenis tanaman merambat yang dulunya sering dipakai sebagai bahan untuk tali oleh masyarakat di Bali. Dengan munculnya berbagai tali sintetis saat ini membuat tali ata semakin dilupakan, sehingga ata saat ini dimanfaatkansebagai bahan baku untuk pembuatan kerajinan anyaman. masyarat di Bali dapat mengolahata menjadi berbagai jenis kerajinan yang bernilai seni tinggi dengan kualitas ekspor. Gambar 2.1 merupakan contoh produk yang dihasilkan dari anyaman ata. Gambar 2.1 produk-produk yang dihasilkan dari anyaman ata 2.1.1 Proses Produksi Pembuatan Kerajinan ata Proses produksi adalah suatu kegiatan untukmerubah bahan baku(input produksi) menjadi suatu produk (output produksi). Dalam usaha kerajinan anyaman ata proses produksi yang dilakukan hanya memerlukan peralatan yang cukup sederhana, karena lebih banyak memanfaatkan keterampilan tangan untuk menciptakan karya yang bernilai seni tinggi. Tahapan yang dilalui dalam proses produksi kerajinan ata, seperti terlihat pada gambar diagram alir 2.2 dibawah ini: 6 Pemesanan / Order Persiapan bahan baku Bagian Produksi Pemasaran/toko Penganyaman Pengeringan/pengasapan Pembersihan Pengepakan Pengiriman Barang Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Produksi Kerajinan Ata Secara umum, terdapat 3 tahap penting dalam proses pembuatan kerajinan ata, yaitu persiapan, penganyaman, pengeringan. a) Persiapan Tahap persiapan adalah tahap awal untuk membuat anyamanata seperti, penyiapan bahan baku. Apabila bahan baku telah tersedia maka proses pembuatan anyamanata dapat dilakukan. b) Penganyaman Proses selanjutnya adalah menganyam bahan baku untuk dibentuk menjadi produk yang diinginkan. Jenis produk yang dapat dihasilkan bisa bermacam – macam sesuai dengan pesanan konsumen. Namun ada juga bentuk – bentuk baru yang dihasilkan pengrajin hasil dari kreativitas dari pengerajin. 7 c) Pengeringan Setelah penganyaman selesai, dilanjutkan dengan tahap pengeringan untuk mengurangi kadar air yang terdapat pada anyaman, sehingga produk yang dihasilkan tidak mudah berjamur. Proses pengeringan anyaman ata dilakukan dengan cara pengasapan agar warna dan tekstur yang dihasilkan juga lebih bagus. 2.2 Biomassa Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang berasal dari bahan organik yang terbentuk dari energi matahari yang telah di transformasi menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun limbah. Melalui proses fotosintesis, karbondioksida di udara ditransformasi menjadi molekul karbon lain (misalnya gula dan selulosa) dalam tumbuhan. Energi kimia yang tersimpan dalam tanaman dan hewan (akibat memakan tumbuhan atau hewan lain) atau dalam kotorannya dikenal dengan nama bio-energi. Contoh biomassa antara lain adalah tanaman, pepohonan, rumput, limbah pertanian, limbah hutan, limbah perkebunan, tinja dan kotoran ternak. Umumnya biomassa yang digunakan untuk diambil energinya adalah biomassa yang nilai ekonomisnya rendah atau merupakan limbah setelah diambil produk primernya. Kandungan utama biomassa adalah karbon, oksigen, dan hidrogen. Hal ini ditunjukkan pada tabel 2.1. tentangultimate analysis of biomass. Pada tabel tersebut memperlihatkan komposisi dari 13 biomassa.Rumus kimia dari biomassa umumnya diwakili oleh CxHyOz. Nilai koefisien dari x,y dan z ditentukan oleh masing-masing biomassa. 8 Table 2.1 Ultimate analysis of Biomass (Raveendran et. al. )(Sumber :Raveendran dkk. 1995,Tercantum dalam Badeau Pierre, 2009). 2.2.1 Kayu Albesia Kayu albesia dalam bahasa latin disebut Albazia Falcataria, termasuk famili Mimosaceae atau keluarga petai–petaian.Kayu albesia merupakan tanaman perkebunan yang banyak di budidayakan oleh masyarakat pada saat ini.Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomi pada tanaman albesia adalah kayunya. Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30–45 meter dengan diameter batang sekitar 70 – 80 cm. Bentuk batang albesia bulat dan tidak berbanir. Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Kayu albesia dapat diolah menjadi bahan bangunan dan bahan kerajinan. Seiring meningkatnya permintaan penggunaan kayu albesia, industriindustri pengolahan kayu mengolah kayu albesia terseburt menjadi barang jadi atau barang yang sesuai dengan permintaan konsumen. Limbah serbuk kayu hasil dari pengolahan kayu tersebut akan ikut mengalami peningkatan sesuai dengan permintaan konsumen yang semakin meningkat. Umumnya limbah yang berupa serbuk kayu ini 9 hanya digunakan digunakan sebagai bahan bakar tungku, dibakar atau bahkan tidak dipakai sama sekali, sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Untuk menangulangi hal tersebut maka limbah serbuk kayu albesia dapat digunakan sebagai bahan bakar biomssa berupa briket. Menurut Ervando, dkk (2012) kandungan yang terdapat pada kayu albesia dapat dilihat pada tabel 2.2 bawah ini: Tabel 2.2 hasil pengujian kayu albesia Sampel Kadar air (%) Kadar Volatil (%) Kadar Abu (%) Kadar Kar- Nilai kalor bon Terikat (kal/gram) (%) 1 2 3 Rata-rata 8.525 8.031 7.916 8.158 89.111 90.284 90.624 90.006 1.861 1.502 1.415 1.593 0.503 0.183 0.045 0.243 4202,57 4270,90 4278,43 4250,63 2.2.2Serbuk Kayu AlbesiaSebagai Sumber Energi Alternatif Meningkatnya permintaan kayu albesia untuk dijadikan bahan bangunan maupun untuk bahan kerajinan,maka banyak industri-industri pengolahan kayu mengolah kayu ini menjadi bahan jadi untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Seiring dengan hal tersebut limbah dari hasil pengolahan kayu albesia berupa serbuk kayu juga ikut meningkat. Sebagai limbah dari hasil pengolahan kayu, serbuk kayu seringkali menimbulkan persoalan tersendiri. Di samping penyimpanannya merampas ruang-ruang terbuka dan proses penghancurannya juga lambat, sehingga jika tidak dimanfaatkan, bisa menimbulkan pencemaran lingkungan. Padahal serbuk kayu sangat berpotensi bila dijadikan sebagai sumber energi alternatif yang murah dan ramah lingkungan bagi masyarakat. Gambar 2.3 merupakan limbah serbuk kayu albesia. 10 Gambar 2.3 Limbah serbuk kayu Albesia Dilihat dari segi momentum pada saat ini adalah saat yang paling tepat untuk mempromosikan serbuk kayu albesia sebagai salah satu sumber energi alternatif. Ini dikarenakan masyarakat pada saat ini membutuhkan sumber energi yang murah meriah menyangkut semakin naiknya harga bahan bakar minyak maupun gas.Meningkatnya harga bahan bakar minyak maupun gas, jelas menuntut tambahan biaya rumah tangga. Sementara pada saat yang sama, sumber penghasilan masyarakat pada saat ini cenderung tidak ada perubahan. Ini jelas sangat memberatkan, terutama bagi masyarakat pedesaan yang sangat menghandalkan minyak tanah sebagai sumber bahan bakar utama mereka. Untuk menangani masalah tersebut, sangat tepat jika kemudianmenjadikan serbuk kayu albesia yang masih dianggap limbah dan tersedia melimpah sebagai bahan bakar alternatif, khususnya bagi masyarakat pedesaan. Caranya, dengan memodifikasi serbuk kayu albesiadalam bentuk briket dan sebagai bahan bakar kompor biomassa yang praktis dan murah, sehingga mudah terjangkau oleh masyarakat luas. Fungsi kompor biomassa, bisa sebagai alat substitusi menggantikan 100% minyak tanah.Namun, bisa juga sebagai komplementasi, yang bisa mengurangi biaya pembelian minyak tanah.(Mustika, 2006). 11 2.3 Pengenalan Sistem Pengeringan 2.3.1 Prinsip Dasar Pengeringan Pengeringan adalah suatu proses pemindahan uap air dari material yang dikeringkan ke media pengering yang biasanya berupa udara panas. Biasanya proses pengeringan merupakan suatu proses akhir dari suatu rangkaian pembuatan produk yang bertujuan untuk pengawetan produk dan setelah pengeringan bahan siap untuk disimpan atau dijual. Berdasarkan atas proses kontak antara media pengering dengan bahan yang akan dikeringkan, maka pengeringan dapat dibedakan menjadi: 1. Pengeringan langsung (Direct drying), disini bahan yangdikeringkan langsung berhubungan dengan bahan yang dipanaskan. 2. Pengeringan tidak langsung (Indirect drying), udara panas berhubungan dengan bahan melalui perantara, umumnya berupa dinding – dinding atau tempat meletakkan bahan. Bahan akan kontak langsung dengan panas secara konduksi. Berdasarkan sumbernya, faktor yang mempengaruhi pengeringan dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Faktor internal, yaitu faktor yang mempengaruhi pengeringan yang berasal dari material itu sendiri, faktor-faktor tersebut ialah ukuran material dan kadar awal air material. 2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang mempengaruhi pengeringan yang berasal dari luar material. Faktor-faktor tersebut ialah perbedaan suhu, kelembaban antara material dan udara pengering dan kecepatan aliran udara pengering. 12 Berdasarkan cara pemindahan bahan yang dikeringkan,maka proses pengeringan dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Pengeringan Kontinyu (Continuous Drying) Bahan yang dikeringkan dilewatkan pada alat pengering secara berkesinambungan dengan kapasitas dan kecepatan tetap. Jenis-jenis alat pengering dengan metode kontinyu antar lain pengering terowongan (tunnel dryer), pengeringan drum (drum dryer), pengeringan putar (rotary dryer), pengering semprot (spray dryer). 2. Pengeringan Tumpukan (Batch Drying) Pada proses ini bahan yang dikeringkan ditampung dalam suatu wadah, kemudian baru dikeringkan dan bahan dikeluarkan setelah mencapai keadaan kering, kemudian dilanjutkan dengan memasukkan bahan berikutnya. Pada prinsipnya pengeringan merupakan suatu proses pemindahan panas dan perpindahan massa uap air secara simultan. Panas sensibel diperlukan untuk menaikkan temperature material yang dikeringkan, sedangkan panas laten diperlukan untuk menguapkan kandungan air yang terdapat pada material. Uap air dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas. T Pemanasan Pembuangan uap Perubahan fase V Gambar 2.4 T-V diagram (sumber : Yunus, A. Cengel. 1997) 13 Secara singkat proses yang terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Proses Pemanasan, pada tahap ini terjadi kenaikan temperature substansi yang dipanaskan sebagai akibat adanya penambahan energy kalor dari luar. Sekalipun sebenarnya terjadi proses penambahan volume, namun perubahan volume yang terjadi sangat kecil maka dianggap bahwa kondisi volume konstan. Adapun energy yang ditambahkan pada proses ini adalah berupa sensibel heat. 2. Proses perubahan fase, sekalipun pada tahapan ini memerlukan banyak energy (latent heat), namun seluruh energy yang diterima oleh substansi tidak menimbulkan perubahan temperature karena dimanfaatkan untuk terjadinya proses penguapan cairan yang terkandung dalam substansi yang dipanaskan (perubahan fase dari cair menjadi uap air). 3. Proses pembuangan uap bersamaan dengan udara buang, pada tahap ini uap air dibuang keluar ruangan pengering bersamaan dengan aliran udara buang. Pada dasarnya rangkaian proses yang terjadi selama pengeringan meliputi dua proses sebagai berikut: • Proses perpindahan massa. • Proses perpindahan panas. 2.3.2 Perpindahan Massa Proses pengeringan utamanya ditentukan dari besarnya perpindahan massa dari material yang dikeringkan ke fluida pengering, adapun proses perpindahan massa ini tergantung dari beberapa faktor antara lain: a) Koefisien perpindahan massa (hm) 14 Perpindahan massa yang berhubungan dengan proses pengeringan adalah secara konveksi. b) Perbedaan konsentrasi air (ΔCA) antara fluida pengering dan material yang dikeringkan. Perpindahan massa pada material dapat terjadi secara difusi, yaitu proses perpindahan massa dari bagian dalam material ke bagian permukaan material dan dilanjutkan dengan perpindahan massa secara konveksi, yaitu proses perpindahan massa dari material ke fluida pengering (udara) yang mengalir. Sehingga perpindahan massa secara konveksi dirumuskan sebagai berikut: Na = hm.A. (CAS - CA∞) (kmol/s)...............................................................(2.1) Dimana: hm =koefisien perpindahan massa konveksi (m/s) A = luas penampang material (luas permukaan perpindahan massa) (m2). CAS =Konsentrasi molar air (uap air) di permukaan material (kmol/m3). CA∞ =Konsentrasi molar uap air di udara pengering (kmol/m3) Laju pengeringan tergantung pada besarnya laju perpindahan massa konveksi dari permukaan material menuju udara pengering. Laju perpindahan massa konveksi tergantung pada koefisien perpindahan massa konveksi (hm), dimana besar kecilnya hm tergantung pada temperature rata – rata udara pengering dan kecepatan aliran fluida (udara) pengering. Makin besar kecepatan dan semakin tinggi temperatur udara pengering maka semakin besar hm, semakin besar pula laju perpindahan massa konveksi. 15 2.4 Perpindahan Panas Perpindahan panas adalah proses perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan temperatur di antara material, dimana energi yang berpindah tersebut dinamakan kalor atau panas (heat). Panas akan berpindah dari medium yang bertemperatur lebih tinggi ke medium yang temperaturnya lebih rendah. Perpindahan panas ini berlangsung terus sampai ada kesetimbangan temperatur diantara kedua medium tersebut. Perpindahan panas dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu perpindahan panas secara konveksi, konduksi, dan radiasi. 2.4.1 Perpindahan Panas konveksi Perpindahan panas konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi akibat adanya perbedaan temperatur dari suatu permukaan media padat menuju fluida yang mengalir (bergerak) atau sebaliknya. Suatu fluida memiliki temperatur, T, yang bergerak dengan kecepatan, u, di atas permukaan media padat (Gambar 2.5). Temperatur media padat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka akan terjadi perpindahan panas konveksi dari media padat ke fluida yang mengalir. Gambar 2.5 Perpindahan panas konveksi dari permukaan media padat ke fluida yang mengalir Sumber: (Incropera dan DeWitt, 3rd ed.) Laju perpindahan panas konveksi adalah merupakan Hukum Newton tentang pendinginan (Newton’s Law of Cooling) yaitu: qkonv = h.As.(Ts - T) .......................................................................... (2.2) 16 dimana: qkonv = Laju perpindahan panas konveksi (W) h = Koefisien perpindahan panas konveksi ( W/m2.K) As = Luas permukaan perpindahan panas (m2) Ts = Temperatur permukaan (K) T = Temperatur fluida (K) Menurut aliran fluidanya, perpindahan panas konveksi dapat diklasifikasikan menjadi: a. Konveksi paksa (forced convection), terjadi bila aliran fluidanya disebabkan oleh gaya luar, seperti : blower, pompa, atau kipas angin. b. Konveksi alamiah (natural convection), terjadi bila aliran fluidanya disebabkan oleh efek gaya apungnya (buoyancy forced effect). Pada fluida, temperatur berbanding terbalik/berlawanan dengan massa jenis (density). Dimana, makin tinggi temperatur fluida maka makin rendah massa jenis fluida tersebut, sebaliknya makin rendah temperatur maka makin tinggi massa jenisnya. Fluida dengan temperatur lebih tinggi akan menjadi lebih ringan karena massa jenisnya mengecil maka akan naik mengapung di atas fluida yang lebih berat. 2.4.2 Perpindahan Panas Konduksi Perpindahan panas konduksi adalah perpindahan panas yang terjadi akibat adanya perbedaan temperatur antara permukaan yang satu dengan permukaan yang lain pada suatu media padat atau pada media fluida yang diam. Konsep yang ada pada konduksi adalah merupakan aktivitas atomik dan molekuler. Sehingga peristiwa yang terjadi pada konduksi adalah perpindahan energi dari partikel yang lebih energetik (molekul lebih berenergi/bertemperatur tinggi) menuju partikel yang kurang energetik (molekul kurang berenergi/ bertemperatur lebih rendah), akibat adanya interaksi antara partikel-partikel tersebut. 17 Untuk kondisi perpindahan panas keadaan steady melalui dinding datar satu dimensi seperti ditunjukan pada gambar 2.4. Gambar 2.6 Perpindahan panas konduksi pada dinding datar Sumber : (Incropera, Frank P and DeWitt, David P., 1996) Persamaan laju konduksi dikenal dengan Hukum Fourier tentang Konduksi (Fourier Low of Heat Conduction), yang persamaan matematikanya sebagai berikut: qkond = kA dT ................................................................................ dx (2.3) dimana: qkond = Laju perpindahan panas konduksi (W) k = Konduktivitas thermal bahan (W/m.K) A = Luas penampang tegak lurus terhadap arah aliran panas (m) dT = Gradien temperatur pada penampang tersebut (K/m) dx Tanda negatif (-) diselipkan agar memenuhi Hukum Kedua Termodinamika, yaitu bahwa panas mengalir dari media yang bertemperatur lebih tinggi menuju media yang temperaturnya lebih rendah. 18 2.4.3 Perpindahan Panas Radiasi Proses perpindahan panas secara radiasi adalah suatu proses perpindahan energy panas yang terjadi dari benda yang bertemperatur tinggi menuju benda dengan temperatur lebih rendah dengan tanpa melalui suatu medium perantara. (Kreith 1986). Pada proses perpindahan energy panas secara radiasi ini semua permukaan pada temperature tertentu mengemisikan energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik, proses perpindahan panas secara radiasi dapat pula terjadi pada dua media yang dibatasi oleh media yang bersuhu lebih dingin daripada keduanya (Cengel 1997).Sehingga dapat disimpulkan bahwa perpindahan panas secara radiasi adalah mekanisme perpindahan panas yang terjadi melalui gelombang elektromagnetic yang terjadi pada suatu permukaan dengan emisivitas antara nol dan satu. Laju perpindahan panas radiasi atau panas yang diemisika oleh permukaan suatu benda riil (nyata) adalah : q RADIASI = ε σ Ts4 A..............................................................................(2.4) Dimana: q RADIASI = laju perpindahan panas secara radiasi (Watt) ε σ = emisivitas permukaan benda. = konstanta Stevan – Boltzmann (5,67 . 10-8) (W/ ) Ts =Temperatur permukaan benda, selalu dalamabsolut (K) A = Luas permukaan perpindahan panas radiasi (m2) Tsur = Temperatur surrounding (K) Laju perpindahan panas radiasi netto antara permukaan benda yang bertemperatur lebih tinggi menuju permukaan media yang bertemperatur lebih rendah atau sebaliknya dinyatakan dengan : 19 q RAD. NETTO = ε A σ (Ts4- Tsur4) jika Tsur <Ts........................................(2.5) q RAD. NETTO = ε A σ (Tsur4- Ts4) jika Tsur >Ts........................................(2.6) 2.5 Udara Pengering Fluida merupakan suatu zat yang dapat mengalami perubahan bentuk secara terus menerus bila terkena gaya geserwalaupun gaya geser yang diterimanya tersebut sangat kecil. Fluida yang dimaksud bisa berupa udara, gas dan zat cair. 2.5.1 Aliran Udara Pengeringan Pada proses pengering ini menggunakan proses aliran alami (Natural Flow) yaitu menggunakan cerobong sebagai pengalir udara, sehingga laju aliran massa (mass flow rate) udara dipengaruhi oleh efek gaya apung. (Bouyancy Force Effect). Dengan laju aliran massa udara yang alami memungkinkan udara pengering mencapai temperatur yang lebih tinggi, sehingga udara pengering dapat mengeringkan dengan lebih efisien. Fungsi aliran udara pengering adalah: - Sebagai perantara gelombang panas melintasi permukaan luarmaterial, sehingga yang terkandung pada material terevaporasi. - Membawa uap air yang terevaporasi dari permukaan materialmenuju cerobong pembuangan udara bercampur uap. 2.5.2 Stack Effect Stack efek adalah pergerakan udara ke dan dari cerobong asap, tumpukan gas buang, dan didorong oleh kemampuan mengapung. Apung terjadi karena perbedaan tekanan antara dalam ruangan dorongan kerapatan udara bebas yang disebabkan oleh perbedaan suhu dan kelembapan. Hasilnya adalah positif atau negatif (gaya apung). Semakin besar perbedaan termal dan ketinggian struktur, semakin besar kekuatan daya 20 apung, dan dengan demikian efek tumpukan yang disebut sebagai “efek cerobong asap” akan membantu mendorong ventilasi alami dan infiltrasi. 2.5.3 Kelembaban Udara (Air Humidity) Material memiliki kemampuan untuk menyerap dan melepaskan kandungan air. Oleh karena itu penting untuk dapat mengetahui tingkat kelembaban udara sekitarnya. Adapun macam – macam kelembaban udara, adalah sebagai berikut: a) Kelembaban Udara Absolut (Absolute Humidity, ω) Kelembaban udara absolut adalah nilai jumlah kandungan uap air dalam satu kilogram udara (gr/Kg). Namun nilai kelembaban udara absolut ini sangat dipengaruhi oleh panas termal udara, namun demikian nilainya tidak mengalami perubahan saat mengalami pemanasan ataupun pendinginan. Pada temperatur tinggi, udara cenderung menghisap kelembaban (uap air) b) Kelembaban Udara Relatif (Relative Humidity, Ф)Adalah jumlah persentase kandungan uap air yang dihitung atas dasar udara berkandungan maksimum (udara jenuh). Kelembaban relatif pada udara jenuh harus selalu 100%. Kelembaban udara relatif akan menurun bila udara dipanaskan dan meningkat bila udara didinginkan. Dengan catatan bahwa jumlah kandungan air yang ada pada udara tidak mengalami perubahan. 2.6 Sistem Pengeringan Buatan System pengering buatan berbeda dengan system pengering secara alami (Natural Air Drying), pada system ini proses pengeringan tidak sepenuhnya bergantung pada kondisi cuaca. Sirkulasi gerakan dan arah angin yang mengandung energy panas udara 21 yang mengalir baik proses aliran paksa maupun alami, bila udara dalam ruangan terlalu lembab udara tersebut dapat dibuang melalui saluran pembuangan (damper) untuk kemudian digantikan dengan udara baru yang tidak terlalu lembab. Sifat pengering buatan dibuat untuk mendapatkan beberapa nilai positif yang tidak dapat dicapai oleh sistem pegeringan secara, alami, misalnya: 1.Proses pengeringan tidak sepenuhnya bergantung pada panas matahari atau kondisi musim. 2.Dengan singkatnya proses pengeringan, kapasitas pengeringan dapat ditingkatkan. 3.Proses pengeringan dapat terjadi secara kontinyu dan dapat dilakukan sewaktu – waktu sesuai keinginan. 4.Bahan yang dikeringkan akan lebih aman dari gangguan luar yang dapat merusak bahan atau produk, seperti : debu, hewan, gangguan cuaca dan lain – lain. 5. Penggunaan filter udara pada saluran udara masuk memungkinkan bahwa udara pengeringan benar – benar bersih dari kotaran, debu dan lainnya. 2.7 Nilai Kalor Nilai kalor adalah suatu angka yang menyatakan jumlah panas/kalori yang dihasilkan dari proses pembakaran sejumlah bahan bakar tertentu dengan udara/oksigen menurut Yelina,dkk (2000). Nilai kalor dapat dicari dengan menggunakan alat bomb calorimeteruntuk mengetahui selisih perubahan temperature dalam proses pembakaran dan data tersebut dapat dihitung dengan rumus: 22 ........................................ (2.7) HHV = LHV = Dimana : HHV = Nilai kalor atas bahan bakar (kal/gr) C = Nilai kalor standarisasi dari natrium benzoid acid (kal/˚C) = (T2-T1) selisih antara temperatur akhir dengan temperatur awal (˚C) LHV = Nilai kalor bawah bahan bakar (kal/gr) X = Massa H2O yang terbentuk selama proses pembakaran (gr H2O/gr bb) LH = Panas latent penguapan H2O (kal/gr H2O) 2.8Kesetimbangan Energi Kesetimbangan energi yang terjadi pada sistem pengering (alat pengering dan kompor biomassa) seperti yang ditunjukan pada gambar 2.7 dibawah ini adalah: 23 Gambar 2.7 Sistem Alat Pengering Keterangan: ṁabu = laju massa abu (kg/s) ṁa = laju massa udara (kg/s) ṁfg = laju massa gas buang (kg/s) Ėbb = laju energi bahan bakar (kJ/s) ĖLa = laju energi losses pada abu (kJ/s) ĖLc = laju energi losses pada cerobong (kJ/s) = Laju panas losses pada transmisi dinding kompor (kJ/s) =Laju panas losses pada transmisi dinding pengering (kJ/s) LTS = laju panas losses pada transmisi saluran penghubung kompor dengan alat pemgering (kJ/s) 24 Kesetimbangan energi pada sistem pengering: = + .......................................................................(2.10) Dimana: = Laju energi masuk sistem pengering (kJ/s) = Laju energi tersimpan dalam sistem (kJ/s) = Laju energi keluar sistem (kJ/s) Asumsi : = 0, karena sistem steady state Maka persamaan diatas: = ..............................................................................(2.11) = + ...............................................................(2.12) ̇ = ̇ ̇ .................................(2.13) Maka: = + ...............................................................(2.14) Laju energi losses pada cerobong: = ( + ) Cp. Tc...................................................(2.15) Laju energi losses pada abu: = x LHV...........................................................(2.16) Dimana: = Laju energi losses pada cerobong (kJ/s) = Laju energi losses pada abu (kJ/s) = Laju massa abu (Kg/s) = Laju masssa fluegas (Kg/s) = Laju massa air pada ata yang terbuang/menguap (Kg/s) = Kalor jenis pada tekanan kontas(udara) 25 = Temperatur cerobong (˚C) = Temperatur abu (˚C) Laju panas losses transmisi dinding kompor dapat dihitung dengan rumus: ĖLTK = = Laju panas losses transmisi dinding saluran penghubung kompor dengan alat pengtering: ĖLTS = = Laju panas losses transmisi dinding pengering: ĖLTS = = Rtot = R1 + R2 = + Dimana: LB = ketebalan material glasswool (m) LA = ketebalan material plat besi (m) KB = konduktivitas thermal material glasswool ( ⁄ KA = konduktivitas thermal material plat besi ( ⁄ A = luas penampang (m2) Tsi = temperatur dinding bagian dalam sistem (K) Tso = temperatur dinding bagian luar sistem (K) R1 = tahanan thermal pada plat besi (k/w) ) ) 26 R2 = tahanan thermal pada glasswool (k/w) 2.9Laju Massa Bahan Bakar Laju massa bahan bakar dapat dihitung menggunakan rumus : ̇ bb = .........................................................................................................(2.17) Dimana: ̇ = Laju massa bahan bakar (kg/s) mawal = Massa awal bahan bakar (kg) msisa = Massa sisa bahan bakar (kg) t 2.11 = Waktu Pengeringan (s) Performansi Pengeringan Performansi pengeringan dengan memanfaatkan energi panas dari kompor biomassa meliputi parameter berikut ini : a. Energi panas berguna (Ė ) adalah jumlahenergi panas yang digunakan untuk menguapkan masa uap air pada material yang akan dikeringkan persatuan waktu, dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: Ė =Ė = ̇ (W) ....................................................................(2.18) Dimana: Ė Ė = Laju energi panas berguna (kJ/s) = Laju energi penguapan (kJ/s) ̇ = Laju massa air pada ata yang menguap (kg/s) = (didapat dari tabel saturated water yang dimana diasumsikan suhu material yang dipanaskan) (Kal/gr) 27 b. Sumber energi dari bahan bakar yang memasuki ruang pengering secara matematis ditulis dalam persamaan sebagai berikut ini: Ė = ̇ bb . LHV (W) ..................................................................(2.19) Dimana: Ė = Lajuenergi bahan bakar (kJ/s) ̇ bb= Laju massa bahan bakar yang dipergunakan (kg/s) LHV= Nilai kalor biomassa (kJ/kg)