Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 Perubahan Kecepatan Pertumbuhan Larva Lalat Chrysomya sp. pada Bangkai Tikus yang Mengandung Berbagai Kadar Morfin Bayu Primahatmaja*, Teguh W Sardjono**, Ngesti Lestari*** ABSTRAK Penentuan waktu minimum sejak kematian dapat dilakukan dengan mengidentifikasi umur larva lalat pada jenazah. Pertumbuhan larva lalat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk iklim, geografi, dan obat-obatan yang terkandung di tubuh jenazah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek berbagai dosis morfin terhadap pertumbuhan larva Chrysomya sp. Sampel penelitian adalah 4 ekor tikus (Rattus norvegicus) yang masing-masing diinjeksi dengan 5 mg, 10 mg, dan 20 mg morfin secara intraperitoneal serta 1 tikus sebagai kontrol. Dua jam kemudian keempat tikus dimatikan dengan cara membiusnya terlebih dulu dengan kloroform. Dinding perut tikus dibuka pada posisi terlentang dan organ dalamnya dibuka kemudian dimasukkan ke dalam kandang pertama yang berisi 120 ekor lalat Chrysomya sp. agar lalat meletakkan telurnya pada bangkai tikus tersebut. Setelah 12 jam bangkai tikus dikeluarkan dari kandang pertama dan dimasukkan ke dalam empat kandang lain yang terpisah. Lima larva diambil dari masingmasing perlakuan dan diukur panjang, keliling, dan berat tubuhnya setiap 12 jam, yaitu pagi (p) dan sore (s) hingga menjadi pupa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa panjang maksimum larva lalat pada bangkai tikus yang mengandung morfin 5 mg, 10 mg, 20 mg dan kontrol masing-masing dicapai pada H6p, H4s, H4s, dan H5p. Keliling maksimal dicapai pada H5p, H4s, H5p dan H5p, berat maksimal dicapai pada H5s, H4s, H4s dan H4s. Sementara larva lalat menjadi pupa pada H6s, H6p, H5p dan H6p. Pengaruh paling nyata didapat pada dosis 20 mg (ANOVA, p < 0,05), yang mempercepat proses larva menjadi pupa. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan larva lalat Chrysomya sp. menjadi lebih cepat pada morfin dosis tinggi, sebaliknya akan timbul perlambatan pada morfin dosis rendah. Kata kunci : Larva Chrysomya sp., Morfin, PMI (post mortem inteval). Changes in Growth Rate of Blow Flies (Chrysomya sp.) Larvae on Rats Carcasses Containing Morphine ABSTRACT The minimum post mortem interval can be determined by information about age of larvae on a corpse. However, it can be affected by climates, geographic, and drugs contained in the corpse. This study was to find out the effect of morphine on growth rate of blow flies (Chrysomya sp). Four rats (Rattus norvegicus) were injected with 5 mg, 10 mg, and 20 mg morphine intraperitoneally as a model and one rat as a control. Two hours later, all rats were simultaneously killed using chloroform and the abdominal was dissected on the supine position. The viscera were exposed out, then they were put into a cage containing 120 blow flies (Chrysomya sp.) to let the flies laying their eggs on the rat carcasses equally. After 12 hours, the caracasses were taken out and splitted into four separated cages. Then, five larvae were taken in the morning (p) and evening (s) from each cages to determine the length, circumference, weight and day of pupariation. The maximum length of larvae on carcasses containing morphine 5 mg, 10 mg, 20 mg and control were achieved on D6p, D4s, D4s, and D5p, respectively. Maximum circumference were achieved on D5p, D4s, D5p and D5p. Maximum weight of each group were reached on the D5s, D4s, D4s and D4s. The day of pupariation were achieved at D6s, D6p, D5p and D6p. The effect of morphine dosage is shown at 20 mg treatment (ANOVA, p < 0,05) that accelerate pupariation. It can be concluded that high dose of morphine can accelerate growth rate of blow flies (Chrysomya sp.) but slowing down at small dose of morphine. Keywords: Chrysomya sp. larvae, PMI (post mortem inteval), Morphine. * Program Studi Pendidikan Dokter, FKUB ** Lab Parasitologi, FKUB ***Lab Ilmu Kedokteran Forensik, RSSA-FKUB 190 Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 PENDAHULUAN Perkembangan larva lalat dipengaruhi oleh makanan baik saat stadium larva maupun saat dewasa, suhu lingkungan, panas yang dihasilkan dari pergerakan larva, kontaminan (racun) dan kelembaban.4,5 Pengaruh morfin terhadap larva lalat berbeda-beda. Pertumbuhan larva lalat Calliphora vicina dan Lucilia sericata diperlambat oleh morfin, sedangkan pertumbuhan larva Boettcherisca peregrina menjadi lebih besar secara signifikan,6 sebaliknya pertumbuhan larva lalat Calliphora stygia menunjukkan tidak ada pengaruh bermakna pada panjang dan keliling larva lalat yang diukur.7 Penelitian yang dilakukan pada larva Musca domestica dan Sarcophaga sp. menunjukan bahwa larva yang diberi makan bangkai tikus dengan kandungan morfin dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan control.8 Belum ada penelitian yang membahas pengaruh dosis terhadap pertumbuhan larva lalat. Penelitian kali ini akan mempergunakan larva lalat Chrysomya sp. karena larva lalat ini adalah jenis lalat yang paling banyak ditemukan pada segala jenis tempat kematian dan lingkungan hidupnya yang bervariasi seperti pegunungan, hutan, desa dan kota. Pada kasus-kasus forensik di Malang, ternyata penemuan larva serangga mengerucut pada empat spesies dari ordo Diptera, terutama spesies yang dapat menimbulkan myasis yaitu Chrysomya, Lucillia, Musca, dan Sarcophaga. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu pemecahan masalah dalam bidang kedokteran forensik terutama dalam mengusut kematian akibat penggunaan morfin. Pada penelitian ini akan digunakan bangkai tikus Rattus novergicus strain Wistar sebagai media tumbuh lalat Chrysomya sp. yang dianalogikan sebagai jenazah manusia yang mengalami kematian akibat over dosis morfin. Morfin adalah opioid terpenting dalam keluarga opium yang ditemukan pada lebih dari 10 persen opium.1 Selain khasiat analgetiknya yang kuat, morfin juga memiliki pengaruh di sistem saraf pusat lainnya yang berdasarkan supresi, sedatif, hipnotis, euphoria, penekanan refleks pernafasan dan batuk. Efek morfin yang menstimulasi sistem saraf pusat antara lain: miosis, eksitasi dan konvulsi. Pada sebagian pengguna morfin jangka panjang, ditemukan gejala ketergantungan, baik fisik maupun psikis. Ketergantungan psikis terjadi akibat kebutuhan akan efek psikotropik, berupa euphoria, yang menjadi sangat kuat. Ketergantungan ini membuat proses penghentian obat sukar dilakukan dan dalam beberapa kasus membawa penderita pada kematian.2 Kematian-kematian yang terjadi karena morfin merupakan salah satu kematian yang tidak wajar yang wajib diselidiki. Hal ini berdasarkan UU Kesehatan No. 36/2009 pasal 119 tentang bedah mayat untuk menegakkan diagnosis penyebab kematian. Pada kasus-kasus seperti ini penentuan post mortem interval (PMI) menjadi penting. Post mortem interval (PMI) adalah waktu sejak kematian terjadi pada seorang manusia ataupun hewan sampai dilakukannya pemeriksaan. Untuk penyelidikan mengenai PMI ini diperlukan ilmu forensik. Dalam dunia forensik, berbagai cara dapat dilakukan untuk menentukan saat kematian jenazah, antara lain dengan menentukan umur larva lalat yang terdapat pada jenazah. Salah satu prosedur tetap dalam pemeriksaan jenazah adalah dengan mengirimedia kulturan larva serangga yang ditemukan ke laboratorium parasitologi untuk mengetahui berapa umur larva sebagai penunjang dalam perkiraan waktu kematian.3 191 Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 BAHAN DAN METODE 3. Larva lalat - Diukur panjang dan kelilingnya dengan menggunakan penggaris dalam keadaan mati. - Ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan analitik dalam keadaan mati. - Larva lalat berwarna putih, bentuk lebih mirip kerucut daripada sosis. Tubuh larva ini terdiri dari 12 segmen dan antara segmen dibatasi dengan duri-duri kecil melingkar. Pada ujung posterior dari larva tersebut terdapat cekungan yang dalam dengan satu pasang spirakel posterior yang berbentuk khas untuk setiap spesies. Mulutnya terletak pada ujung anterior dan terdapat kait untuk menempel pada daging mayat. Kait juga digunakan untuk berpindah tempat, bergerak degan memanjangkan dan memendekkan segmen tubuh karena tidak memiliki kaki. Desain Penelitian Penelititan ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium, membandingkan perbedaan pengaruh berbagai dosis kandungan morfin pada media tumbuh berupa bangkai tikus (Rattus novergicus) strain Wistar terhadap panjang, lebar, berat, dan durasi pertumbuhan larva lalat Chrysomya sp. Definisi Operasional 1. Lalat Chrysomya sp. disebut juga blow fly, dengan ciri-ciri: kepala berbentuk oval, antena berbulu pada kedua sisi, bagian mulut disebut probobscis tipe sponging. Lalat berwarna hijau metalik, vertexnya berwarna kuning atau orange, dengan squama berbulu dan pada bagian posterior thoraksnya tidak banyak bristle. Lalat untuk penelitian ini ditangkap di lingkungan Universitas Brawijaya. 2. Media tumbuh yang dipakai adalah berupa bangkai tikus (Rattus novergicus) strain Wistar yang mempunyai berat ratarata 230 g. - Media 1 adalah bangkai tikus strain Wistar tanpa kandungan morfin, dibunuh dengan dibius dengan kloroform. - Media 2 adalah bangkai tikus strain Wistar dengan kandungan morfin 5 mg yang diinjeksi secara intraperitoneal, dibunuh dengan dibius dengan menggunakan kloroform. - Media 3 adalah bangkai tikus strain Wistar dengan kandungan morfin 10 mg yang diinjeksi secara intraperitoneal, dibunuh dengan dibius menggunakan kloroform. - Media 4 adalah bangkai tikus strain Wistar dengan kandungan morfin 20 mg yang diinjeksi secara intraperitoneal, dibunuh dengan dibius menggunakan kloroform. Alur Kerja Penelitian Persiapan Lalat Chrysomya sp. ditangkap di lingkungan Universitas Brawijaya sebanyak 120 ekor, kemudian dimasukkan ke dalam 1 buah kandang yang telah disediakan. Selama aklimatisasi, lalat diberi nutrisi larutan glukosa. Lalu, empat ekor tikus dengan berat rata-rata 200-250 mg ditempatkan pada kandang yang sama dan diberi makan yang sama selama 3 hari untuk menyamakan media bangkai tikus yang akan digunakan nanti. Selanjutnya, menyiapkan kloroform sebagai alat untuk membius dan mematikan tikus. Persiapan Tikus Keempat tikus diberi tanda dengan spidol marker pada bagian tubuhnya untuk membedakannya. Masing-masing tikus diinjeksi sesuai dengan dosis perlakuannya. Setelah proses injeksi selesai, ditunggu selama 1 jam dan dianggap selama itu 192 Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 morfin sudah terdistribusi sempurna ke seluruh tubuh. Setelah itu, semua tikus dibunuh dengan menggunakan kloroform. Kemudian semua bangkai tikus tersebut dibuat irisan pada garis tengah tubuh bagian ventral sepanjang leher sampai dekat anus sampai tampak organ dalam tubuh tikus dan dimasukkan dalam kandang yang sudah berisi lalat tadi. Kandang tersebut diletakkan dalam ruangan dimana suhunya berkisar antara 23 oC – 26 oC. Setelah 24 jam, tikus dikeluarkan dari kandang yang berisi lalat dan dimasukan ke kandang masing-masing untuk mencegah lalat yang baru untuk masuk. Perlakuan Pada penelitian ini, berat rata-rata tikus adalah 230 mg. Pemeriksaan dilakukan setiap pagi hari sekitar pukul 05.00 - 07.00 dan sore hari pada pukul 17.00 - 19.00 WIB. Diambil 5 larva dengan ukuran terbesar, diukur panjangnya dan kelilingnya, berat larva ditimbang, dan dicatat waktu pengambilannya. Larva yang tersisa dibiarkan hidup hingga stadium pupa dan menjadi lalat dewasa. HASIL Hasil Pengukuran Panjang Tubuh Larva Tabel 1. Rerata panjang tubuh larva lalat Chrysomya sp. pada setiap kelompok perlakuan Hari Ke1p 1s 2p 2s 3p 3s 4p 4s 5p 5s 6p 6s Kontrol *) *) 3,16 + 0,32 4,00 5,7 + 0,27 9,6 + 0,34 14,7 + 0,45 14,8 + 2,59 17,2+ 0,27**) 14 + 1,00 8,2 + 0,84***) - Panjang (mm) + 1 SD Morfin Morfin 5 mg (p) 10 mg (p) *) *) *) 1,83 + 0,76 3,16 + 0,32 (1,00) 4,2 + 0,45 (0,015) 2,00 (0,00) 4,6 + 0,55 (0,00) 3+ 0,35 (0,00) 5,8 + 0,84 (0,990) 4,3 + 0,45 (0,00) 9 + 0,71 (0,697) 5,2 + 0,84 (0,00) 14,2 + 1,79 (0,874) 5,6 + 0,82 (0,00) 17,4 + 0,89 (0,052)**) 12,7 + 1,56 (0,00) 10,4 + 0,54 (0,014) 12,8 + 1,09 13,8 + 1.09 13,3 + 0,71**) 9,1 + 0,55***) 8 + 0,94***) - Morfin 20 mg (p) *) *) 4,00 + 0,71 (0,57) 4,2 + 0,45 (0,00) 8,7 + 0,45 (0,00) 9 + 0,71 (0,697) 16,6 + 0,55 (0,05) 18,2 + 0,45 (0,009)**) 10,25 + 1,5 (0,00) ***) - Keterangan: p = pagi; s = sore; p = Perbedaan; *) belum ditemukan larva; **) panjang maksimum untuk masing-masing dosis; ***) sudah menjadi pupa 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Kontrol Morfin 5 mg Morfin 10 mg Morfin 20 mg 1p 1s 2p 2s 3p 3s 4p 4s 5p 5s 6p 6s Gambar 1. Rerata panjang tubuh larva pada setiap kelompok perlakuan 193 Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 Dari Gambar 1 dan Tabel 1, didapatkan data bahwa pertumbuhan larva pada media kontrol mampu mencapai panjang maksimal rata-rata 17,2 mm pada hari ke-5 pagi. Saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 sore, memiliki panjang rata-rata 8,2 mm. Kemudian menjadi rata-rata sepanjang 8,2 mm saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 sore. Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg) didapatkan maksimal rata-rata panjang tubuh larva sebesar 13,3 mm pada hari ke-6 pagi. Ukuran rata-rata yang tercatat pada masa pupa adalah sepanjang 8 mm pada hari ke-6 sore. Pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) didapatkan maksimal rata-rata panjang tubuh larva sebesar 17,4 mm pada hari ke-4 pagi. Ukuran rata-rata yang tercatat pada masa pupa adalah sepanjang 9,1 mm pada hari ke-6 pagi. Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg), didapatkan rata-rata panjang maksimum 18,2 mm pada hari ke-4 sore dan menjadi pupa pada hari ke-5 pagi dengan panjang rata-rata 10,25 mm. Analisis one way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) pada data panjang tubuh yang tercatat dari masing-masing kelompok. Perbedaan yang bermakna (p < 0,05) mulai terlihat pada hari ke-2 sore. Pada uji multiple comparisons dengan Tukey HSD didapatkan perbedaan yang signifikan antara perlakuan 2 (morfin 5 mg) terhadap perlakuan 1 (kontrol) hanya pada 2s, 3p, 3s, 4p, 4s, dan 5p. Perlakuan 3 (morfin 10 mg) terhadap pelakuan 1 (kontrol) menunjukan perbedaan hanya pada 2p, 2s dan 5p. Perbedaan panjang perlakuan 4 (morfin 20 mg) dengan perlakuan 1 (kontrol) tercatat pada hari 2s, 3p, 4s dan 5p. Hasil Pengukuran Keliling Tubuh Larva Tabel 2 Rerata keliling tubuh larva lalat Chrysomya sp. pada setiap kelompok perlakuan Hari ke- Kontrol 1p 1s 2p 2s *) *) 2,89 + 0,34 3,45 + 0,70 3p 3s 4p 4s 5p 5s 6p 6s 3,27 + 0,28 7,85 8,16 + 0,70 10,68 + 1,72 12,25 + 1,72**) 11,62 + 0,86 8,79 + 1,40 ***) Morfin 5 mg (p) *) *) 2,89 + 0,34 (1,00) 2,83 + 0,70 (0,556) Keliling (mm) + 1 SD Morfin 10 mg (p) *) 0,52 + 0,18 3,77 + 0,86 (1,00) 3,77 + 0,86 (0,908) 3,45 + 0,70 (0,996) 3,14 (0,00) 3,14 (0,00) 3,77 + 0,86 (0,00) 9,73 + 1,31 (0,168) **) 9,11 + 0,70 8,83 + 0,89 8,79 + 1,79 ***) 5,34 + 2,63 (0,118) 8,16 + 0,70 (0,509) 9,11 + 1,31 (0,305) 11,93 + 1,4 (0,482) **) 6,91 + 1,40 (0,002) 6,28 3,14 + 0 ***) Morfin 20 mg (p) *) *) 3,14 (1,00) 3,45 + 0,70 (1,00) 6,28 (0,015) 6,28 (0,00) 10,68 + 0,70 (0,00) 10,68 + 1,31 (1,00) 13,34 + 2,72 (0,801) **)***) Keterangan : p = pagi; s = sore; p = perbedaan; *) belum ditemukan larva; **) keliling maksimum untuk masing-masing dosis; ***) sudah menjadi pupa 194 Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 16 14 12 Kontrol Morfin 1/25mg Morfin 1 10mg Morfin 2 20mg 10 8 6 4 2 0 1p 1s 2p 2s 3p 3s 4p 4s 5p 5s 6p 6s Gambar 2. Rerata panjang tubuh larva pada setiap kelompok perlakuan Dari Gambar 2 dan Tabel 2, dapat diketahui bahwa pertumbuhan larva pada media kontrol mampu mencapai keliling maksimal rata-rata 12,25 mm pada hari ke-5 pagi (5p). Saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 pagi (6p), memiliki keliling 8,79 mm. Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg) didapatkan hasil bahwa keliling maksimal rata-rata yang dapat dicapai larva adalah 9,73 mm pada hari ke-5 pagi (5p). Kemudian menjadi rata-rata 8,79 mm saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 sore (6s). Pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) didapatkan capaian maksimal rata-rata keliling tubuh larva sebesar 11,93 mm pada hari ke-4 sore (4s) dengan ukuran rata-rata keliling yang tercatat pada pupa 3,14 mm pada hari ke-6 pagi (6p). Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg), didapatkan rata-rata keliling maksimum 18,2 mm pada hari ke-4 pagi (4p) dan menjadi 5mg pupa pada hari ke-5 pagi (5p) dengan keliling rata-rata 10,25 mm. Analisis one way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) pada data keliling tubuh yang tercatat dari masing-masing kelompok. Pada uji multiple comparisons dengan Tukey HSD didapatkan hasil dengan perbedaan antara perlakuan 2 (morfn 5 mg) terhadap perlakuan 1 (kontrol) hanya pada 3s, 4p dan 4s. Pelakuan 3 (morfin 10 mg) terhadap pelakuan 1 (kontrol) menunjukan perbedaan hanya pada 5p. Perbedaan perlakuan 4 (morfin 20 mg) dengan perlakuan 1 (kontrol) hanya tercatat pada hari 3p, 4p dan 4s. Hasil Pengukuran Berat Tubuh Larva Tabel 3. Rerata pengukuran berat tubuh pada setiap kelompok perlakuan Hari Ke1p 1s 2p 2s 3p 3s 4p 4s 5p 5s 6p 6s Berat (mm) + 1 SD Morfin 10 mg (p) Kontrol Morfin 5 mg (p) 1,04 +0,207 1,94 + 0,754 4,66 + 0,829 25,46 + 2,092367 33,58 + 27,589 70,88 + 19,209 **) 61,14 + 14,57 29,48 + 17,56 36,84 + 5,018 ***) 1,04 + 0,207 (1,00) 0,34 + 0,152 (0,05) 1,02 + 0,444 (0,016) 2,56 + 0,391152 (0,00) 3,22 + 0,676 (0,989) 4,2 + 1,219 (0,345) 59,68 + 13,226 (0,00) 61,62 + 295,859 **) 56,7 + 7,29 51,88 + 10,48 ***) 0,0011 1,28 + 0,37 (0,787) 3,9 + 0,778 (0,001) 9,02 + 0,286 (0,004) 30,76 + 3,305753 (0,191) 55,42 + 9,77 (0,102) 77,7 + 65,038 (0,00) **) 77,44 + 5,313 (0,00) 69,64 + 4,754 59,88 + 5,204 ***) Morfin 20 mg (p) 2,48 + 0,661 (0,00) 1,44 + 0,539 (0,607) 13,06 + 3,214 (0,00) 22,3 + 5,885855 (0,600) 50,22 + 9,914 (0,998) 65,12 + 3,964 (0,00) **) 20,425 + 5,043 (0,06) ***) Keterangan: p = pagi; s = sore; p = perbedaan; *) belum ditemukan larva; **) berat maksimum untuk masingmasing dosis; ***) sudah menjadi pupa 195 Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 5 mg 10 mg 20 mg Gambar 3. Rerata berat tubuh pada setiap kelompok perlakuan Dari Gambar 3 dan Tabel 3, didapatkan hasil bahwa pertumbuhan larva pada media kontrol mampu mencapai berat maksimal rata-rata 70,88 mg pada hari ke-4 sore (4s). Lalu, saat memasuki masa pupa pada hari ke-6 pagi (6p), memiliki berat 36,84 mg. Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg) didapatkan hasil bahwa rata-rata berat maksimal yang dapat dicapai larva adalah 61,62 mg pada hari ke-5 sore (5s). Kemudian pada hari ke-6 sore (6s), rata-rata berat menjadi 51,88 mg saat memasuki masa pupa. Pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) didapatkan maksimal ratarata berat tubuh larva sebesar 77,7 mg pada hari ke-4 sore (4s). Sementara rata-rata berat yang tercatat pada masa pupa adalah 59,88 mg pada hari ke-6 pagi (6p). Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg), didapatkan ratarata berat maksimum 65,12 g pada hari ke-4 sore (4s). Kemudian menjadi pupa pada hari ke-5 pagi (5p) dengan berat rata-rata 20,425 g. Analisis one way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) pada berat tubuh dari masing-masing kelompok. Perbedaan yang bermakna (p < 0,05) mulai terlihat pada hari ke-3 pagi (3p). Pada uji multiple comparisons dengan Tukey HSD didapatkan perbedaan antara perlakuan 2 (morfn 5 mg) terhadap perlakuan 1 (kontrol) pada 3p, 3s dan 5p. Pelakuan 3 (morfin 10 mg) terhadap pelakuan 1 (kontrol) menunjukan perbedaan hanya pada 2s, 3p, 4s dan 5p. Perbedaan berat pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) dengan perlakuan 1 (kontrol) hanya tercatat pada hari 2p, 3p, 4s dan 5p. PEMBAHASAN Pertumbuhan larva lalat dipengaruhi banyak faktor di antaranya makanan, musim, suhu lingkungan, panas yang dihasilkan dari pergerakan larva, letak geografis, kontaminan (racun), dan kelembaban.6 Pertumbuhan larva lalat dapat dipantau lewat beberapa variabel, di antaranya ukuran panjang tubuh, keliling tubuh, berat tubuh, dan perubahan morfologi yang terjadi pada posterior spiracle. Pada penelitian ini, telah dilakukan pengamatan dan pengukuran panjang, keliling dan berat tubuh larva lalat Chrysomya sp. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa larva kontrol membutuhkan waktu 6 hari untuk tumbuh sampai menjadi pupa. Lamanya waktu ini sesuai dengan waktu yang dibutuhkan larva Chrysomya sp. menjadi pupa yang diketahui sampai saat ini, yaitu 5-7 hari.6 Oleh karena itu, waktu pertumbuhan larva kontrol dapat diambil sebagai waktu kontrol yang dibutuhkan larva Chrysomya sp. untuk tumbuh sampai menjadi lalat dewasa. Waktu kontrol inilah yang akan dibandingkan dengan waktu pertumbuhan perlakuan lain. 196 Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 Pada Gambar 1, kelompok kontrol mencapai panjang maksimal dengan ratarata 17,2 mm yang didapatkan pada hari ke5 pagi. Pada kelompok perlakuan 2 (morfin 5 mg), didapatkan panjang maksimal dengan rata-rata 13,3 mm pada hari ke-6 pagi. Pada kelompok perlakuan 3 (morfin 10 mg), panjang maksimal dengan rata-rata 17,4 mm pada hari ke-4 pagi. Pada kelompok perlakuan 4 (morfin 20 mg), rata-rata panjang maksimal adalah 18,2 mm didapatkan pada hari ke-4 sore. Dari sini dapat kita lihat bahwa perlakuan 4 memiliki panjang maksimal yang paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan pada Gambar 1. Hal yang pertama adalah penyusutan ukuran larva perlakuan 2 (morfin 5 mg), pada hari ke-2 sore. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tidak validnya pengukuran karena larva lalat yang diambil bukan yang paling besar. Selain ada kemungkinan larva lalat yang paling besar telah masuk lebih dalam ke tubuh tikus sehingga tidak dapat ditemukan lagi. Hal kedua adalah panjang maksimal larva pada (morfin 5 mg) perlakuan 2 yang lebih kecil dibandingkan perlakuan 1 (kontrol). Sebaliknya, panjang maksimal dua perlakuan lainnya melebihi perlakuan 1 (kontrol). Hal ini mungkin karena: pertama, dosis morfin 5 mg pada perlakuan ke-2 mengakibatkan efek penghambatan, sebaliknya pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) dan 4 (morfin 20 mg) menimbulkan efek peningkatan. Kedua, nilai panjang yang didapatkan tidak sepenuhnya valid. Hal ini disebabkan oleh proses pengukuran yang menggunakan larva hidup. Pada Gambar 2, dapat kita lihat bahwa perlakuan kontrol mencapai keliling maksimalnya pada hari ke-5 pagi dengan keliling 12,25 mm. Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg), mencapai keliling maksimal 9,73 mm pada hari ke-5 pagi (5p). Sementara pada perlakuan 3 (morfin 10mg) mencapai keliling maksimalnya pada hari ke-4 sore (4s) sebesar 11,93 mm. Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) mencapai keliling maksimal 18,2 pada hari ke-4 pagi. Kesimpulannya, perlakuan 4 (morfin 20 mg) memiliki keliling maksimal yang paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada Gambar 2, dapat dilihat ukuran larva perlakuan 2 yang menurun pada hari ke-2 sore (2s) yaitu 2,89 mm menjadi 2,83 mm. Alasan hal tersebut terjadi masih mengacu pada pembahasan sebelumnya yaitu larva yang diambil bukan yang paling besar. Penyebab yang lain adalah tidak serempaknya waktu pencapaian ukuran keliling dan panjang terbesar. Kecuali perlakuan 1 (kontrol) dan 3 (morfin 10 mg) yang mencapai panjang dan keliling terbesar pada hari ke-5 pagi (5p) dan ke-4 sore (4s), sedangkan perlakuan 2 (morfin 5 mg) dan 4 (morfin 20 mg) tidak mecapainya pada waktu yang sama. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan bukanlah sebuah peningkatan ukuran melalui satu atau dua dimensi melainkan tiga dimensi. Pengukuran panjang atau keliling saja hanya mencatat satu atau dua dimensi dari pertumbuhan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini disertakan pengukuran berat yang mencakup ketiga dimensi. Perbandingan berat tubuh pupa dapat kita lihat pada Gambar 3. Meski pengukuran berat dilakukan pada saat larva masih hidup, nilai berat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pergerakan-pergerakan larva ketika ditimbang. Pada perlakuan 1 (kontrol) rata-rata berat tubuh maksimal 70,88 mg pada hari ke-4 sore (4s). Pada perlakuan 2 (morfin 5 mg) didapatkan data bahwa rata-rata berat maksimal larva adalah 61,62 mg pada hari ke-5 sore (5s). Pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) didapatkan rata-rata berat maksimal sebesar 77,7 mg pada hari ke-4 sore (4s). Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg), didapakan rata-rata berat maksimal 65,12 mg pada hari ke-4 sore (4s). Dari sini dapat dilihat bahwa 197 Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 perlakuan 3 memiliki berat maksimal yang paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa larva yang diambil dari perlakuan 2 (morfin 5 mg) pada hari ke-2 sore (2s) bukan larva dengan berat paling besar. Berat yang menurun menutup kemungkinan bahwa pengukuran panjang tidak valid dan semakin memperbesar kemungkinan bahwa larva yang diambil bukan yang paling besar. Pada Gambar 3, berat maksimal perlakuan 2 (morfin 5 mg) bukan yang terkecil sebagaimana pada Gambar 1. Berat maksimal pada perlakuan 3 (morfin 10 mg) adalah yang terbesar, kemudian perlakuan 1 (kontrol), perlakuan 4 (morfin 20 mg) dan terakhir perlakuan 2 (morfin 5 mg). Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa berat perlakuan 1 (kontrol) yang menempati posisi kedua terbesar. Hal ini mungkin disebabkan sebagian larva terbesar pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) sudah mulai memasuki tahap pupa. Pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) adalah yang paling cepat mencapai tahap pupa, yakni pada hari ke 5 pagi (5p), atau setengah hari setelah panjang dan berat maksimal. Proses membentuk pupa mungkin mempengaruhi penurunan berat perlakuan 4 (morfin 20 mg). Sehingga diharapkan pada penelitian berikutnya, waktu pengamatan lebih diperpendek lagi yaitu selang waktu kurang dari 12 jam. Pada Gambar 1, 2, 3, dapat dilihat bahwa perlakuan 1 (kontrol) mencapai tahap pupa pada hari ke-6 pagi (6p). Perlakuan 2 (morfin 5 mg) mencapai tahap pupa pada hari ke-6 sore (6s). Perlakuan 3 (morfin 10 mg) mencapai tahap pupa pada hari ke-6 pagi (6p). Sementara pada perlakuan 4 (morfin 20 mg) mencapai bentuk pupa pada hari ke-5 pagi (5p). Jika waktu munculnya larva disamakan, maka perlakuan 1 (kontrol) membutuhkan 4,5 hari, perlakuan 2 (morfin 5 mg) memerlukan waktu 5 hari, perlakuan 3 (morfin 10 mg) memerlukan 5 hari sedangkan perlakuan 4 (morfin 20 mg) membutuhkan waktu 3,5 hari. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa larva perlakuan 4 (morfin 20 mg) yang paling cepat perkembangannya. Ada dua hal yang patut diperhatikan. Pertama, perlakuan 4 yang mencapai tahap pupa lebih cepat daripada perlakuan lain menyebabkan waktu pengukuran hari ke 4 sore (4s) menjadi tidak seragam, sehingga tidak bisa menentukan ukuran terbesar pada perlakuan 4 (morfin 20 mg). Kedua, ada korelasi antara dosis dengan perubahan menjadi pupa. Pertumbuhan larva Boettcherisca peregnina (Diptera, Sarcophagidae) yang diberi makan dengan jaringan yang mengandung morfin dengan dosis yang berbeda-beda akan menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dari larva control.6 Pertumbuhan larva Musca domestica dan Sarcophaga sp. yang diberi makan bangkai tikus dengan kandungan morfin akan menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol.8 Pertumbuhan larva lalat Calliphora stygia menunjukkan tidak ada pengaruh bermakna pada panjang dan keliling larva lalat yang diukur.7 Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian kali ini tidak ditemukan linearisasi, baik dalam satu kelompok maupun antar kelompok. KESIMPULAN Pengaruh morfin terhadap pertumbuhan larva Chrysomya sp. pada media tumbuh tikus (Rattus novergicus) strain Wistar tidak menunjukkan linearisasi karena didapatkan efek percepatan pertumbuhan pada dosis tinggi dan perlambatan pertumbuhan terjadi pada dosis rendah. SARAN 198 Perlu dikaji ulang jumlah sampel agar mendapatkan linearisasi. Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 4, Desember 2014 Larva. Malaysian Society of Parasitology and Tropical Medicine: 45th Annual Scientific Seminar, Impact of Animal Host on Disease Transmission and Public Health. Kuala Lumpur Malaysia. 2009. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan dosis morfin yang dapat mempercepat perkembangan larva Chrysomya sp. menjadi fase pupa. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari metode yang tepat dalam pengukuran larva sehingga menghasilkan data yang lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA 1. Dehghan M. The Effect of Morphine Administration on Structure and Ultrastructure of Uterus in Pregnant Mice. Iranian Journal of Reproductive Medicine. 2011; 8(3):111-118.. 2. Shin SW, Eisenach JC. Intrathecal Morphine Reduces the Visceromotor Response to Acute Uterine Cervical Distension in An Estrogen -Independent Manner. J Anesthesiology. 2003; 98: 1467-1471. 3. Anderson GS. Forensic Entomology: the Use of Insects in Death Investigations. Dalam: Fairgreave S (Editor). Case Studies in Forensic Anthropology, Toronto: Charles C.T. 1999; 303–326. 4. Cowan FA. A Study of Fertility in the Blowfly. Phormia Regina Meigen, (Online).http://kb.osu.edu/dspace/bitstre am/_389.pdf. 2003. 5. Hall M, Brandt. Forensic Entomology. Issue 2. 2006; 49-53. 6. Goff ML. Estimation of the Postmortem Interval Using Arthropoda Development and Successional Patterns. Forensic Science Review. 1993; 5:81-94. 7. George KA, Melanie SA, Lauren MG, Xavier AC, Tes T. Effect of Morphine on the Growth Rate of Calliphora stygia (Fabricius) (Diptera: Calliphoridae) and Possible Implications for Forensic Entomology. Forensic Science International 193. 2009; 21–25. 8. Sardjono TW dkk. Morphine Can Precipitate the Growth Rate of Fly 199