Aspek-aspek keuangan yang harus diperhatikan dalam

advertisement
Aspek-aspek keuangan yang harus diperhatikan dalam pengembangan
dan implementasi TI di perusahaan
Sejak pertengahan tahun 1990-an kita menyaksikan munculnya internet yang disebut media
sebagai lahirnya ekonomi baru (new economy). Lahirnya new economy itu telah mengubah secara
mendasar manajemen dari sebuah perusahaan besar yang ada didunia terutama dalam memberikan value
kepada pelanggan. Terutama pada Teknologi Informasi yang menggerakkan nilai ekonomi secara cepat,
informasi berjalan begitu hebat dengan produk-produk yang bahkan bisa dipajangkan secara didigitalkan.
Kertas-kertas brosur yang masih laris di negara kita kini, di negara-negara maju telah berganti
dengan iklan-iklan elektronik yang biasanya dikirimkan secara serempak kepada ribuan bahkan jutaan
pasar potensial mereka lewat internet. Walaupun tindakan ini sekarang tengah mengalami polemik dan
dianggab menganggu privasi orang dan dikategorikan sebagai gangguan atau spammer, namun target
utama yang ingin dicapai oleh produsen yaitu informasi produk kepada konsumen telah tercapai dengan
sukses.
Saat ini, penggunaan Teknologi Informasi di perusahaan semakin meningkat tidak hanya untuk
proses operasional sehari-hari, tetapi sudah pada proses membantu pengambilan keputusan. Bahkan, pada
beberapa sektor industri, ketergantungan terhadap Teknologi Informasi sudah sangat besar seperti pada
sektor perbankan dan keuangan. Namun demikian, perusahaan juga tidak bisa secara gegabah
mengeluarkan
investasi
untuk
implementasi
Teknologi
Informasi,
karena
tentu
saja
harus
memperhitungkan cost dan benefit yang dihasilkannya. Oleh karena itu, perusahaan membutuhkan
semacam blue print yang sering disebut sebagai IT Master Plan sebagai dasar perusahaan dalam melakukan
implementasi Teknologi Informasi. IT Master Plan pada intinya berisi rencana strategis perusahaan dalam
mengimplementasikan dan membangun sistem informasi di Perusahaan. Di dalamnya berisi pedoman
kebutuhan sistem informasi seperti apa yang diperlukan perusahaan. Maka ditinjau dari aspek keuangan,
langkah awal yaitu sdimulai dengan melakukan kajian biaya dan manfaat atau yang lebih dikenal sebagai
“cost and benefit analysis”.
Pada masa-masa awal perkembangan komputer di dunia bisnis, memang sejumlah praktisi
manajemen merasa “cukup puas” dengan penggunaan instrumen analisa keuangan seperti ROI (Return On
Investment) dalam memperbandingkan biaya dan manfaat. Hal ini disebabkan karena pada saat itu, “value”
atau manfaat yang diberikan oleh komputer bagi dunia bisnis masih terbatas pada peningkatan efisiensi
proses kerja atau penggunaan sumber daya. Karena formula matematis perhitungan efisiensi tersebut cukup
mudah – dengan memperbandingkan output dan input dari sebuah proses tertentu – maka dapat dilakukan
komparasi antara kinerja perusahaan sebelum dan sesudah aplikasi diterapkan. Selisih tingkat efisiensi
itulah yang kemudian dianggap sebagai manfaat yang diperoleh perusahaan karena perbedaannya dapat
dengan mudah dikonversikan ke dalam satuan finansial seperti mata uang rupiah atau dolar. Maka ROI
dapat dengan mudah dihitung dengan cara membandingkan hasil perhitungan tersebut dengan total biaya
investasi pengembangan aplikasi yang dikeluarkan.
Dalam perkembangannya, ternyata teknologi informasi tidak sekedar memberikan manfaat
efisiensi semata, namun lebih jauh lagi menawarkan beragam jenis “value” yang lain, seperti: peningkatan
efektivitas, perbaikan kontrol internal, penciptaan keunggulan kompetitif, pembentukan citra atau “image”
usaha, pemutakhiran proses kerja, percepatan pengambilan keputusan, penghapusan kesalahan operasional,
dan lain sebagainya. Ketika aplikasi telah menyentuh manfaat yang “intangible” dan “unquantifiable”
inilah maka model analisis keuangan konvensional dirasa tidak memadai lagi. Oleh karena itulah
ditemukan dan diperkenalkan sejumlah pendekatan atau model lain ke dalam dunia usaha untuk mengukur
keberhasilan sekaligus manfaat dari penerapan sebuah aplikasi teknologi informasi, seperti: Strategic
Analysis and Evaluation, Value Chain Assessment, Relative Competitive Performance, Proportion of
Management Vision Achieved, Return On Management, Information Economics, Multi-Objective MultiCriteria Method, dan lain sebagainya.
Bagaimana mungkin laporan-laporan perusahaan seperti keuangan dapat memberikan arahan
keputusan yang tepat apabila laporan yang disajikan masih berada dalam bentuk angka-angka baku dan
tidak up to date. Karena berbagai fungsi dan proses bisnis membutuhkan data/informasi, maka bagaimana
informasi tersebut diciptakan dan didistribusikan merupakan hal yang krusial untuk dikelola perusahaan.
Dilain pihak, perusahaan-perusahaan dinegara-negara maju bahkan beberapa BUMN di Republik ini telah
menjalankan budaya paperless dan pengolahan data elektronik (PDE) secara baik.
Yang diperlukan sebuah perusahaan diera new economy saat ini adalah satu solusi pengolahan data
yang terkoneksi satu dengan lainnya, atau dikenal sebagai Aplication Databased Driven Technology.
Dengan terintegrasinya data-data perusahaan antar unit yang satu dengan unit yang lainya, maka data aktual
dalam bentuk efile yang dibutuhkan secara cepat dapat dianalisa untuk kepentingan perusahaan.
Untuk sebuah bisnis ritel misalnya, diperlukan Flow of Information untuk memenuhi kebutuhan
data mulai dari ketersediaan barang di setiap toko. Karena setiap barang material yang dibutuhkan oleh satu
gerai dengan gerai lainnya tidaklah sama. Kebutuhan barang setiap toko ditentukan oleh lokasi toko
tersebut. Misalnya toko anda yang berada di cabang toko 1 berbeda dengan toko yang berada di cabang 2,
karena target pasar dari kedua toko yang berada di dua mal tersebut berbeda.
Maka dengan solusi bisnis yang terintegrasi ini diharapkan tak akan pernah terjadi kekurangan
stok barang di dua toko tersebut. Sistem akan mengolah data sehingga kebutuhan barang disatu toko terus
terpantau yang artinya perusahaan dapat secara mudah perusahaan mengatur stok barang ke toko. Jika
sistem ini berjalan lancar, maka tak lagi diperlukan pengecekan berkali-kali dan gudang dalam jumlah
banyak.
Sebagai enabler, TI memang kian dibutuhkan perusahaan. Tak heran jika semakin banyak
perusahaan yang rela merogoh koceknya lebih dalam lagi untuk melengkapi operasional perusahaannya
dengan dukungan TI. Tapi, dalam setiap investasi TI, sebuah pertanyaan sederhana hampir selalu muncul.
Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapat manfaat yang dijanjikan oleh implementasi TI itu?
Banyak cara yang digunakan untuk menghitung besarnya investasi TI. Yang paling sering dan paling
mudah dilakukan adalah mengkalkulasi harga pembelian hardware hingga biaya perijinan penggunaannya.
Harga proyek-proyek IT biasanya termasuk biaya konvegersi ke hardware atau software baru.
Namun, cara yang sangat sederhana itu ternyata sangat tidak relevan dengan realita yang dihadapi.
Pasalnya, setelah seluruh proses pembelian dilakukan, perusahaan masih harus mengeluarkan biaya-biaya
tambahan, baik saat implementasi dilakukan maupun setelah proyeknya berjalan. Belum lagi biaya yang
harus dikeluarkan kala terjadi masalah saat atau sesudah implementasi.
Akhirnya, karena begitu banyaknya biaya (lanjutan) yang harus dikeluarkan, perusahaan pun merasa
bosan dan enggan untuk melanjutkan investasinya. Walhasil, investasi TI telah memakan banyak biaya itu
tidak memberikan manfaat sesuai dengan yang dijanjikan atau malah menjadi sia-sia.
Beberapa pakar mengajukan sejumlah metode yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan
implementasi TI. Yang tradisional antara lain return on investment, net present value, dan internal rate of
return. Pendekatan ini dikatakan tradisional karena menganggap investasi TI hanya sebatas investasi
infrastruktur. Dan bagi sebagian kalangan dianggap kurang pas karena mengabaikan berapa nilai dari
informasi (information value) yang diperoleh perusahaan, yang sifatnya intangible dan tidak dapat diukur
dengan metode-metode di atas.
Pendekatan lain adalah Total Cost of Ownership (TCO). TCO adalah salah satu cara perhitungan yang
didisain untuk membantu baik konsumen maupun manajer perusahan dalam meng-evaluasi biaya langsung
dan tidak langsung, termasuk keuntungan yang terkait dengan pengadaan software atau hardware.
Sejatinya TCO menghasilkan sebuah statement final yang merefleksikan tidak hanya nilai beli saja, tapi
mencakup semua aspek penggunaan dan pemeliharaan komponen pengadaan komputer. Dalam kaitan itu
termasuk pelatihan untuk teknisi dan pengguna sistem tersebut. Karena itu TCO acapkali dikaitkan dan
disebut sebagai Total Cost of Operation.
Analisa TCO dibuat untuk pertama kalinya oleh Gartner Group pada tahun 1987, kemudian
dikembangkan menjadi sejumlah metodologi dan software tools yang beragam. Pengadaan sebuah sistem
komputer dapat diartikan kecuali pembelian produk diperhitungkan termasuk: repairs, maintenance,
upgrades, service and support, networking, security, user training, and software licensing. “Sayangnya
banyak eksekutif TI di Indonesia yang tidak mempertimbangkan itu. Mereka sudah terpesona oleh janjijanji yang diberikan oleh vendor, ungkap seorang konsultan TI yang enggan disebut namanya.
Sebenarnya support merupakan elemen yang sangat penting dalam sebuah proses implementasi TI. Jadi,
harga sebuah investasi TI tidak bisa dilihat dari mahal murahnya software atau hardware yang dibeli
perusahaan. Boleh jadi hardware yang harganya lebih murah akan memakan biaya yang lebih besar
dikemudian harinya.
Selain itu, TCO juga menyediakan analisa keuangan yang rinci dan dapat mengetahui pengeluaran
selama 3 tahun dalam berbagai skenario IT dan mengukur metrik investasi yang utama, termasuk
discounted return of investment, ketika mengupgrade dari satu versi ke versi berikutnya.
Namun, mengihitung TCO bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Perencanaan strategi tentang apa value
yang ingin dicapai dalam proses value creation dari investasi TI. Setidaknya ada empat value yang bisa
dipertimbangkan buat penentuan strategi bisnis berikut outcomes yang ingin diraih. Pertama, economic
value. Implementasi TI diharapkan menyumbang pada profitabilitas perusahaan dengan cara menekan
biaya, mendongkrak kinerja finansial dan tingkat layanan.
Kedua, architectural value. Aplikasi peranti TI diharapkan mengatrol kapabilitas perusahaan dalam
kerangka memenuhi kebutuhan pelanggan di masa kini dan mendatang. Ketiga, operational value.
Sementara architectural value cenderung membicarakan aspek kapabilitas infrastruktur TI, operational
value lebih banyak menyoal aspek delivery. Tepatnya, kemampuan memenuhi persyaratan proses bisnis
mutakhir dalam operasional perusahaan sehari-hari. Keempat, regulatory and compliance value artinya,
penerapan TI demi memenuhi regulasi yang berlaku.
Karenanya menjadi sangat penting untuk memilih vendor yang tepat sebelum memutuskan untuk
menerapkan aplikasi tertentu diperusahaan agar tidak terjebak pada biaya-biaya tambahan yang tidak
terdeteksi sebelumnya.
Note:
Referensi disertakan dalam CD-ROM.
Download