BEBERAPA PENYAKIT PENTING PADA KELINCI DI INDONESIA

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
BEBERAPA PENYAKIT PENTING PADA KELINCI DI
INDONESIA
TOLIBIN ISKANDAR
Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRAK
Ternak kelinci merupakan salah satu aset petani yang sangat berharga. Di samping sebagai tabungan,
kelinci juga sebagai penghasil daging yang tinggi kandungan protein dan rendah kolesterol dan trigeliserida
dan dapat dibuat dalam bentuk produk olahan, seperti abon, dendeng, sosis, burger, dan bentuk cepat saji
seperti sate. Selain itu sebagai penghasil kulit bulu (fur), juga menghasilkan wool, sebagai hewan coba dalam
dunia kedokteran dan farmasi, menjadi idola atau kelinci kesayangan dengan harga jual relatif tinggi, kotoran
dan urine sebagai pupuk organik yang bermutu tinggi untuk tanaman sayuran dan bunga. Berbagai jenis
ternak kelinci yang sudah dikembangkan di Indonesia seperti Lops, Fuzzy, Tan, Jersey Wooly, New Zealand
White, Netherland Dwarf, Yamamoto, Silver Fox, Dwarf Hotot, Rex, Satin, Angora, Tris Mini Rex. Kelinci
mampu melahirkan 10–11 kali per tahun dengan rataan 6–7 anak per kelahiran oleh sebab itu kelinci mudah
berkembang biak dan tumbuh dengan cepat. Salah satu kendala yaitu penyakit. Penyakit yang menyerang
kelinci di Indonesia yaitu Kudis, Koksidiosis, Pasteurellosis, Mukoid Enteritis, Penyakit Tyzzer, Sifilis, Ring
worm, Kecacingan, Mastitis, Radang mata. Keberadaan penyakit eksotik perlu diwaspadai mengingat lebih
banyak beternak kelinci impor daripada kelinci lokal. Kudis disebabkan Sarcoptes scabiei perlu perhatian
khusus karena menular ke manusia, seperti Pasteurellosis. Penyakit Koksidiosis, Mukoid Enteritis dan
Penyakit Tyzzer sangat mudah menyebar ke koloni kelinci. Beberapa penyakit kelinci dipaparkan mengenai
diagnosis, gejala klinis, isolasi ternak sakit dan pengobatannya.
Kata kunci: Kelinci, penyakit hewan, pengendalian penyakit
PENDAHULUAN
Kelinci adalah hewan percobaan yang
penting, dan juga penting untuk produksi
daging. Oleh karena itu, informasi di bawah ini
berguna juga untuk peternak kelinci dan untuk
mereka yang menggunakan kelinci di
laboratorium. Disamping itu kelinci merupakan
satwa harapan, binatang kesayangan karena
menarik dan lucu, kulit bulunya dan
kotorannya bisa dijadikan pupuk organik yang
sangat baik. Berbagai faktor teknis yang
menghambat dalam pengembangan kelinci
antara lain (1) kurangnya ketersediaan bibit
bermutu, (2) tingginya mortalitas, (3) harga
pakan yang mahal untuk skala komersial, (4)
terbatasnya teknologi produksi yang tersedia
dan (5) kurang sosialisasi dan promosi peranan
kelinci di masyarakat (INOUNU dan RAHARJO,
2005).
Kendala mortalitas yang tinggi salah satu
diantaranya yaitu penyakit, menurut HAGEN
(1976) penyakit disebabkan bakteri seperti:
Pateurellosis, Listeriosis, Necrobacillocillosis,
Salmonellosis,
Staphylococcosis,
168
Sphirochetosis, Tularemia, dan Tyzzer′s
Disease. Penyakit disebabkan virus seperti:
Myxomatosis, Rabbit Pox, Fibroma, Herpes
Virus Rabbit, Rabbit Papilloma. Penyakit
disebabkan cendawan seperti: Ring worm, dan
Pavus. Penyakit disebabkan parasit yang
termasuk Ekto parasit (Ekternal parasites) yaitu
kudis pada daun telinga dan kulit karena
Psoroptes cuniculi, Fleas dan Ticks seperti:
lalat Spilopsyllus cuniculi, Ctenocephalides
canis, dan C. felis, juga caplak Haemaphysalis
leporispalustris. Penyakit karena Endo parasit
(Internal parasites) seperti: Koksidiosis,
Nosematosis, Roundworms, Tapeworms.
Sedangkan penyakit yang menyerang
kelinci di daerah tropis menurut SMITH dan
MANGKOEWIDJOJO
(1988)
yaitu:
Salmonellosis, Pasteurellosis (Haemorrhagic
Septicaemia), Koksidiosis, Skabies, Mucoid
Enteritis (ME), Penyakit Tyzzer dan Sifilis.
Saat ini rata-rata konsumsi daging secara
nasional masih rendah yaitu kurang dari 2
kg/kapita/tahun dan diperkirakan akan
mencapai
3
kg/kapita/tahun
sehingga
peningkatan konsumsi dan peningkatan
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci
penduduk akan memerlukan pasokan sapi
potong sekitar 1,5 juta ekor per tahun (MAKKA,
2005).
Produk utama yang yang dihasilkan kelinci
adalah daging sehat, yang tinggi kandungan
protein, dan rendah kolesterol dan trigleserida
dan dapat dibuat dalam berbagai bentuk produk
olahan, seperti sosis, abon, dendeng, nugget,
burger dan lainnya. Selain itu, jenis kelinci Rex
dan Satin menghasilkan kulit bulu (fur) untuk
produk kulit bulu ekslusif, dan kelinci Angora
menghasilkan wool yang memiliki nilai
ekonomi tinggi (RAHARJO, 2005).
WIDODO (2005) melaporkan pada saat ini
kelinci masih diusahakan secara sambilan
dengan kapasitas masing-masing peternak
sekitar 25 s/d 50 ekor per kandang, tetapi ada
beberapa peternak yang memiliki lebih dari
100 ekor, diternakan di Desa Candi, Pakunden,
Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang
Propinsi Jawa Tengah. Nama kelompoknya
yaitu Kelompok Peternak Kelinci Mandiri
(KPKM) yang berdiri sejak 8 Oktober 2002
dengan jumlah anggota 55 orang mempunyai
populasi kelinci dewasa lebih dari 840 ekor
dengan jenis yang bermacam-macam seperti:
Satin, Rex, Lyon, Vlamsereus, New Zealand
White, Giant Chinchilla, American Giant, Lop
Dwarf, Polish, Dutch, Chekered Giant. Juga
diternakkan kelinci lokal dan semi lokal.
Pola pengembangan usaha ternak kelinci
dilaksanakan dengan wawasan agribisnis yang
diselaraskan dengan potensi riil dari
permintaan pasar yang ada. Sejak tahun 1981
Ditjen Peternakan melaksanakan penyebaran
dan pengembangan ternak kelinci di 10
propinsi yaitu Sumut, Lampung, Sumsel, Jabar,
Jateng, DIY, Jatim, Sulsel, NTB, dan NTT
sebanyak 5 juta ekor dengan pola bergulir dari
Village Breading Centre untuk kemudian
disebarkan kepada peternak. Kemudian pada
tahun 1998/1999 menyebarkan ternak kelinci
Rex untuk tujuan produksi kulit bulu (fur) di
Kabupaten Tabanan, Bali dan Banjarnegara
serta Brebes, Jawa Tengah. Pola yang
dikembangkan juga dengan sistem bergulir
dengan membentuk Rabbit Multiplication
Centre (RMC) sebagai tempat perbanyakan
untuk kemudian disebarkan kepada masyarakat
(MAKKA, 2005).
Dengan berkembangnya peternakan kelinci
maka perlu dipertimbangkan adanya penyakit
sebagai salah satu kendala dari angka
mortalitas yang tinggi (ISKANDAR et al., 1989).
BEBERAPA PENYAKIT PENTING PADA
KELINCI
Kudis (mange)
Kudis pada kelinci umumnya disebabkan
oleh tungau Psoroptes cuniculi, Chorioptes
cuniculi, Notoedres cati, dan Sarcoptes scabiei,
juga
kutu
Haemodipsus
ventricosus.
Berdasarkan lokasi, penyebab, dan tanda-tanda
klinis dibedakan:
Kudis pada liang telinga
Penyebabnya adalah tungau Psoroptes
cuniculi dan atau Chorioptes cuniculi (SMITH
dan MANGKOEWIDJOJO, 1988; MANURUNG
et al., 1986; ISKANDAR et al., 1989). Tungau
ini memulai serangannya di dasar rambut liang
telinga, parasit mengisap cairan kulit,
membentuk lepuh-lepuh berisi cairan yang
apabila pecah menimbulkan kegatalan. Dengan
tanda-tanda klinis kelinci selalu menggoyanggoyangkan kepala, menggaruk-garuk daun
telinga mengakibatkan lepuh akan pecah,
sering disertai infeksi sekunder lama kelamaan
timbul keropeng-keropeng hal ini dapat
menyumbat liang telinga bila dibiarkan akan
menimbulkan meningitis ditandai dengan
kepala berputar (torticolis), gerak-gerakannya
tidak terkontrol (ataxia) dan akhirnya mati.
Penyakit ini dilaporkan MANURUNG et al.
(1986) tetapi mendapat infeksi campuran
dengan Notoedres cati di Bogor.
Kudis kulit
Tungau ini mulai menyerang sekitar mata,
pipi, hidung, kepala, jari kaki kemudian meluas
ke seluruh permukaan tubuh. Penyebabnya
Sarcoptes scabiei dan Notoedres cati juga kutu
Haemodipsus
ventricosus
(SMITH
dan
MANGKOEWIDJOJO, 1988; MANURUNG et al.,
1986; ISKANDAR et al., 1989). Pada infestasi S.
scabiei dan N. cati memperlihatkan gejala:
kelinci menggaruk-garuk terus sehingga bulu
muka, kepala, pangkal telinga, sekeliling mata
dan kaki rontok. Pada infestasi berat, kulit di
169
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci
sekeliling telinga dan hidung dapat berubah
bentuk. Tungau ini cepat menyebar ke seluruh
koloni kelinci. S. scabiei dapat menginfestasi
ke manusia karena bersifat zoonosis, jika
menyerang sudut mulut kelinci maka kelinci
sulit makan sehingga menimbulkan kematian.
Penyakit ini menyerang kelinci di Lombok
(ANONIMOUS, 1993). Sedangkan ISKANDAR et
al. (1989) melaporkan skabies di Sumedang
(Jawa Barat).
Diagnosis dan pemeriksaan laboratorik
Dasar diagnosis kudis adalah gejala klinis
seperti gatal-gatal seperti yang diuraikan di
atas. Cara diagnosa kudis pada gambaran
gejala klinik dalam prakteknya sulit ditetapkan
karena berbagai penyakit kulit lainnya
memberikan gambaran klinis yang mirip
dengan kudis (SUNGKAR, 1991).
Diagnosis infestasi kutu dibuat dengan
identifikasi kutu pada kelinci. Tungau dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopis
dengan kerokan kulit kemudian diletakkan di
gelas obyek dan dijernihkan dengan larutan
KOH 5−10%, kemudian ditutup dengan kaca
tutup, selanjutnya diperiksa di bawah
mikroskop (ISKANDAR, 1982; ISKANDAR et al.,
1984; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988).
Membuat tes tinta terowongan dengan cara
menggosok papula yang terdapat pada kulit
menggunakan ujung pena yang mengandung
tinta. Etelah papula tertutup oleh tinta dan
didiamkan selama 20−30 menit, tinta kemudian
diusap/diharus dengan kapas yang dibasahi
alkohol. Tes ini dinyatakan positif bila tinta
masuk ke dalam terowongan dan membentuk
gambaran khas berupa garis-garis zig-zag
(HOEDOJO, 1989; ISKANDAR, 2000).
Pengobatan dan pengendalian kudis
Peninggalan sejarah menunjukkan bahwa
kudis dan cara pengobatannya telah dikenal
sejak kira-kira tiga ribu tahun yang lalu
(RONCALL, 1987). Penyakit kudis pada kelinci
dapat disembuhkan dengan Neguvon 0,15%
dan Asuntol 0,05–0,2% (MANURUNG et al.,
1986).
Salep
Asuntol
0,1%
dapat
menyembuhkan
scabies
pada
kelinci
(ISKANDAR et al., 1989). Kelinci yang kena
infestasi tungau harus diasingkan dan diobati
170
campuran belerang dengan kapur 5 berbanding
3 atau Pirantel pamoat (Canex) dicampur
vaselin (SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988).
Bisa diobati Ivermectin dengan dosis 0,2
mg/kg berat badan diberikan sub kutan dengan
selang waktu 7 hari. Kudis pada liang telinga
dibersihkan dengan H2O2 3%, keropengkeropeng dibuang, tetesi dengan tetes telinga
yang dicampur antibiotik dan fungisida
(ISKANDAR et al., 1989).
Dalam melakukan pencegahan dan
pengendalian penyakit kudis perlu diperhatikan
pola hidup, sanitasi, pemindahan kelinci,
karantina, dan pengobatan. Pola dan kebiasaan
hidup yang kurang bersih dan kurang benar
memungkinkan berlangsungnya siklus hidup
tungau (S. scabiei) dengan baik. Sanitasi
termasuk kualitas penyediaan air yang kurang
dan ternak yang terlalu padat perlu dihindari
(SARDJONO et al., 1997). Pemindahan hewan
dari satu tempat ke tempat lain perlu
penanganan yang serius. Perlu diperhatikan
Surat Keputusan Menteri Pertanian no.
422/kpts/LB-720/6/1988
yaitu
peraturan
karantina tentang penyakit kudis yang
menyatakan bahwa penyakit kudis, skabies,
mange dan demodekosis termasuk penyakit
golongan 2 nomor 51. Hewan yang peka
adalah ruminansia, kuda, babi, dan kelinci
dengan masa inkubasi 14 hari, lama hewan di
karantina 14–30 hari. Setiap hewan tersangka
skabies harus diisolasi dan diobati.
Jika ada hewan terkena skabies, sebelum
memulai terapi sebaiknya peternak diberi
penjelasan yang lengkap mengenai penyakit
dan cara pengobatannya, sehingga dapat
meningkatkan keberhasilan terapi. Mengingat
masa inkubasi yang lama, maka semua ternak
kelinci yang berkontak dengan hewan
penderita perlu diobati meskipun tidak ada
gejala klinis atau hewan penderita diisolasi.
Hewan penderita yang berada di tengah
keluarga sulit untuk diisolasi. Pakaian yang
dicurigai harus dicuci dengan air panas atau
disetrika, alat rumah tangga dan kandang juga
harus dibersihkan, meskipun tungau tidak lama
bertahan hidup di luar kulit hewan maupun
manusia (HAGEN, 1982; HARTADI, 1988;
SUNGKAR, 1991; SOEDARTO, 1994; ISKANDAR,
2000).
Penyakit ini sering dikacaukan dengan
Ringworms dan Pavus.
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci
Koksidiosis
Pada kelinci terdapat dua bentuk
koksidiosis yaitu bentuk hati disebabkan oleh
Eimeria stidae dan bentuk usus disebabkan
oleh E. magna, E. media, E. irresidua atau E.
perforans. Eimeria spp lain jarang ditemukan
di usus kelinci (HAGEN, 1976; SMITH dan
MANGKOEWIDJOJO, 1988; ISKANDAR, 2001).
Hewan yang sudah sembuh dari penyakit ini
sering menjadi karier.
Berbagai bentuk koksidiosis tersebut tidak
selalu menimbulkan gejala mencret. Penyakit
bisa tanpa memperlihatkan gejala, atau
kematian dapat terjadi hanya sesudah beberapa
hari setelah infestasi. Kelinci muda lebih sering
terjadi terkena oleh koksidiosis bentuk hati
dengan gejala-gejala berupa mencret, nafsu
makan hilang, dan bulu kasar. Kelinci tidak
tumbuh normal, badan kurus dan tidak tampak
sehat. Pada bentuk usus, gejala biasanya
tumbuh lambat, nafsu makan hilang dan perut
kelihatan buncit. Siklus hidup Eimeria bisa
dilihat pada Gambar 1.
Diagnosis dapat dibuat dengan identifikasi
ookista pada pemeriksaan tinja atau dengan
pemeriksaan histopatologi usus dan hati. Pada
pemeriksaan pascamati. Lesi koksidiosis
disebabkan oleh E. stiedae menunjukkan
bintik-bintik putih atau kista di hati seperti
pada Gambar 2.
Pada kasus akut, lesi ini mempunyai tepi
jelas tetapi kemudian lesi akan bergabung satu
sama lain pada kasus kronis. Pada pemeriksaan
histopatologik bintik-bintik tersebut tampak
hiperplasia saluran empedu dan banyak
ditemukan ookista. Lesi pada bentuk usus
bervariasi, kasus akut jarang memperlihatkan
lesi, sedang kasus kronis tampak usus menebal
dan pucat.
Koksidiosis dapat dikendalikan dengan
pengelolaan koloni hewan yang baik dan
mengobati
kelinci
dengan
0,05%
Sulfakuinoksalin dalam air minum selama 30
hari. Bisa juga Amprolium 30–250 mg/kg
pakan. Nitrofurason dapat dipakai dengan dosis
0,5–2,0 g/kg berat badan untuk pengobatan,
atau 0,5–1,0 g/kg untuk pencegahan
koksidiosis usus (HARKNESS dan WAGNER,
1983).
Eimeria sp ini tidak dapat menginfeksi
manusia. Penyakit ini dapat dikacaukan dengan
Enteritis, Diare, Bloat atau Kembung perut
(Timpani).
Gambar 1. Daur hidup koksidia
Sumber: HAGEN (1976)
171
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci
Gambar 2. Hati kelinci yang menderita koksidiosis
Bintik-bintik putih adalah sarang E. Stiedae
Sumber: ISKANDAR (2001)
Pasteurellosis (Haemorrhagic septicaemia)
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri
Pasteurella multocida. Nama lain adalah
Bacterium leptiseptica, Bacillus leptiseptica,
Pasteurella leptiseptica dan Pasteurella septica
(HAGEN, 1976; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO,
1988). Penyakit ini sering ditemukan dalam
koloni kelinci laboratorium dan sangat menular.
Pasteurellosis dapat menyebar secara langsung
jika kelinci sehat kontak dengan yang sakit
atau tidak langsung yaitu kelinci sehat
dipindahkan ke kandang penderita tanpa di
sterilisasi. Pada kelinci sering menimbulkan
kekebalan ringan sesudah kelinci terinfeksi.
Beberapa hewan dapat menjadi karier meskipun
tampak sehat, dan mungkin hewan ini menjadi
sumber infeksi dalam koloni kelinci.
Penyakit ini biasanya bersifat kronik
dengan gejala ke luar eksudat encer atau nanah
dari hidung dan mata. Bulu kaki depan
terutama di sekeliling kuku tampak kusut dan
banyak eksudat kering. Kadang-kadang disertai
pneumonia, pyometra, orchitis, otitis media,
conjunctivitis,
subcutaneus
abces
dan
septicemia (HAGAN, 1976; HARKNESS dan
WAGNER, 1983). Kelinci yang sakit biasanya
bersin dan batuk bisa diakhiri dengan
kematian. Dalam bentuk akut, kelinci sakit
172
tiba-tiba mati. Jika kelinci sembuh bisa sebagai
karier.
Diagnosis penyakit
Penyakit ini dapat diagnosis dengan isolasi
dan identifikasi bakteri dari paru-paru kelinci
sakit (HAGAN, 1976; HARKNESS dan WAGNER,
1983).
Jika diadakan pemeriksaan pascamati,
ditemukan radang akut sampai kronik di
selaput lendir saluran pernapasan dan paruparu. Biasanya lesi disertai rinitis, sinusitis,
otitis, meningitis dan bronkhopneumonia.
Abses dapat ditemukan di tubuh kelinci
terutama di kepala. Dalam keadaan akut terjadi
septisemia biasanya kelinci mati dalam waktu
48 jam. Pemeriksaan pascamati pada bentuk
akut tampak kongesti pembuluh darah sistim
pernapasan, trakeaitis, kelenjar pertahanan
membesar dan perdarahan di bawah kulit.
Hewan yang terinfeksi P. multocida sebaiknya
dibinasakan biasanya diobati tidak akan
berhasil. Seluruh kandang dan kamar kelinci
juga peralatannya harus disterilkan.
Penyakit ini bisa menular ke manusia,
tetapi sangat menular ke kelinci lain dan hewan
percobaan lain.
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci
Mucoid enteritis (ME)
Penyakit ini menimbulkan radang usus
dengan mortalitas yang tinggi terutama
menyerang kelinci umur 7–10 minggu.
Penyebabnya belum bisa dipastikan (HAGEN,
1976; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988).
Beberapa bakteri bisa diisolasi dari kelinci
penderita yaitu Coliform bacilli dan anaerobic
bacteria, juga virus dan koksidia.
Gejala-gejala ME adalah napsu makan
hilang, polidipsia (banyak minum) dan suhu
badan di bawah normal (37–38°C). Kelinci
kelihatan depresi dengan sikap merangkakrangkak dan bulu kasar, mencret, kurus,
lambung menggembung, usus kecil dan usus
besar menggembung isinya gas dan cairan
usus. Kulit disekitar anus kotor dengan lendir
atau tunja kuning dan cair.
Pada pemeriksaan pascamati, tidak
ditemukan lesi yang jelas. Lambung dan usus
biasanya banyak ditemukan gas dan cairan,
juga bisa isi sekum gas dan kering, kolon berisi
lendir yang kental dan jernih, katong empedu
membesar. Pemeriksaan histopatologis pada
usus kecil banyak ditemukan hiperplasia sel
goblet.
Diagnosis penyakit ME
Dengan melihat gejala klinis yaitu
dehidrasi, mencret berlendir, perut kembung
dan pemeriksaan pascamati. Penyaki ini pernah
menyerang kelinci pada kandang hewan coba
di Balai Penelitian Veteriner Bogor (ISKANDAR
et al., 1989).
Tidak ada pengobatan spesifik untuk
penyakit ME Dapat dicoba dengan antibiotik
agar tidak terjadi infeksi bakteri, juga diberi
rumput kering dalam ransum yang bergizi.
Penyakit ini tidak menular ke manusia.
Penyakit Tyzzer
Penyakit ini disebabkan oleh Bacillus
piliformis. Penyakit jarang terjadi pada koloni
kelinci, kadang-kadang dikacaukan dengan
penyakit ME. Sebagai paktor disposisi timbul
penyakit ini yaitu stres.
Gejala penyakit yaitu diare, dehidrasi dan
kematian yang cepat, biasanya dalam 24–48
jam. Morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
lebih dari 50% koloni kelinci menderita sakit
dan lebih dari 90% kelinci yang sakit dapat
mati. Kelinci yang bertahan hidup tumbuhnya
lambat dan nafsu makan menurun.
Pada pemeriksaan pascamati mukosa usus
kecil dan usus besar berkaca-kaca tandanya ada
peradangan dan ditemukan perdarahan
berbintik. Pada hati sering ditemukan masa
foki pucat sebesar kepala jarum pentul. Pada
pemeriksaan histopatologis tampak nekrosis
berat di mukosa epitel usus besar khususnya di
sekum. Dengan pewarnaan khusus, yaitu
Giemsa atau Periodic acid Schiff, dapat dilihat
kumpulan organisme berbentuk filamen,
terutama dalam sel epitel usus yang tidak
berlesi. Pada hati ditemukan banyak fokal
nekrotik, dan di tepi lesi dapat ditemukan
kumpulan organisme dalam sel.
Diagnosis penyakit
Penyebab penyakit dapat ditemukan pada
organ usus atau hati dengan cara mengisolasi
bakteri dengan cara in ovo yaitu menyuntikan
ke dalam kuning telur ayam tertunas.
Pengobatan
Penyakit Tyzerr sulit untuk diobati. Kalau
penyakit ini menyerang koloni kelinci, seluruh
koloni kelinci harus dibinasakan dan memulai
koloni baru dengan kelinci yang bebas dari
penyakit ini. Koloni baru ini harus ditempatkan
dalam gedung terisolasi dari koloni mencit,
hewan mencit lebih mudah tertular penyakit
Tyzerr. Penyakit ini tidak bersifat zoonosis
(SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988).
Sifilis
Penyakit ini disebabkan oleh Treponema
cuniculi dan sering ditemukan dalam koloni
kelinci yang higienenya sangat jelek. Kedua
jenis kelamin kelinci ini dapat terinfeksi pada
saat kopulasi.
Gejala klinis bulu disekitar kemaluan luar
rontok dan berbintik-bintik seperti kudisan.
Kelinci sakit tidak boleh dikawinkan.
Pengobatan mengunakan antibiotik seperti
penisilin 50.000 unit tiap hari sampai sembuh
(10–14 hari). Kelinci yang sembuh tidak
bersifat karier dan bisa dikawinkan lagi.
Penyakit ini tidak menular ke manusia
(WIDODO, 2005).
173
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci
Mastitis (radang ambing)
Penyakit ini disebabkan Staphylococus sp,
biasanya menyerang kelinci yang menyusui
terutama kelinci ras pernah terjadi kasus di
Kabupaten Magelang (WIDODO, 2005).
Gejala klinis bagian putting susu
membengkak dan mengeras berwarna merah
muda. Bila diraba terasa panas dan keras, jika
tidak diobati warna kulit sekitar putting susu
berwarna gelap kemudian pecah.
Pencegahan: lingkungan kandang harus
tenang jauh dari kebisingan agar induk tidak
gelisah.
Penyapihan
jangan
dilakukan
mendadak dan cukup waktunya, periode sapih
antara 40–45 hari. Induk yang sedang
menyusui jangan dipindah tempat dari kandang
saat melahirkan agar tidak stres. Penyakit ini
tidak menular ke manusia.
Conjunctivitis (radang mata)
Penyakit mata ini penyebabnya Moraxella
sp. Tanda-tanda penyakit yaitu mata merah dan
mengeluarkan cairan (eksudat) pernah di
laporkan
(ISKANDAR
et
al.,
1989).
Pengobatannya dengan pemberian Sulfathiazole
5% Opthalmia Ointment, Salep mata yang
mengandung antibiotik. Penyakit lain yang
dilaporkan WIDODO (2005) di Magelang yaitu
Kecacingan karena cacing pita (Taenia
pisiformis). Pengobatan bisa menggunakan
Thiabendazole.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Penyakit koksidiosis merupakan penyakit
yang umum di peternakan kelinci yang banyak
menimbulkan kematian dapat bersifat akut dan
fatal. Perlu pencegahan dan pengobatan dengan
menggunakan koksidiostat baik melalui air
minum, pakan yang paling efektif koksidiostat
dalam
keemasan
kapsul.
Seperti
Sulfakuinoksalin, Nitrofurason, Robenidin,
Clopidol. Kelinci yang sembuh dari penyakit
ini sering menjadi karier.
Penyakit kudis sering menyerang kelinci
yang diternakkan kurang higienis kelinci yang
terserang harus diisolasi dan diobati dengan
salep Asuntol 2%, Ivermektin.
174
Tindakan vaksinasi dapat dilakukan untuk
pencegahan penyakit Tyzzer dan atau
Pasteurellosis, apabila ada kelinci yang
menderita Pasteurellosis dan atau Tyzzer lebih
baik dibinasakan untuk penyakit Radang mata
dan Kecacingan bisa diobati dengan
menggunakan salep mata yang mengandung
antibiotik dan obat cacing.
Pengendalian penyakit pada kelinci tidak
berbeda dengan cara-cara pengendalian pada
penyakit hewan menular lainnya. Kewaspadaan
dini terhadap penyakit sangatlah penting untuk
mengantisipasi kejadian wabah penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
ANONIMOUS. 1993. Skabies menyerang Lombok.
Kompas 14 Agustus.
HAGEN. 1976. Domestic Rabbits: Disease and
Parasites. Veterinarian, Western Region.
Agricultural Research Service. Departement
of Veterinary Pathology. Iowa State
University. Ames. Iowa.
HARKNESS, J.E. and J.E. WAGNER. 1983. The
Biology and medicine of Rabbits and Rodents.
2nd. Ed, Lea and Febiger, Philadelphia. pp..
1−112.
INOUNU, I. dan Y.C. RAHARJO. 2005. Ketersediaan
Teknologi dalam mendukung pengembangan
Agribisnis Kelinci. Makalah belum di
Publikasi.
ISKANDAR, T. 1982. Invasi ulang skabies (Sarcoptes
scabiei) pada kerbau lumpur (Bos bubalus)
dengan pengobatan aslep asuntol 50 WP
konsentrasi 2% dan perubahan patologik kulit.
Penyakit Hewan. 23: 21−23.
ISKANDAR, T. 2001. Studi Patogenesitas dan Waktu
sporulasi Eimeria stiedae galur lapang pada
kelinci. Widyariset, LIPI 3: 137−184.
ISKANDAR, T., J. MANURUNG dan S.J. SIMANJUNTAK.
1989. Penyakit pada Kelinci. Latihan
Keterampilan Budidaya Kelinci. Badan
Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian
Cihea-Cianjur.
ISKANDAR, T., NG. GINTING dan TARMUDJI. 1984.
Pemeriksaan penyakit pada domba dan
kambing tinjauan patologik di Jawa Barat.
Pros. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia
Kecil. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm.
262−266.
Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci
ISKANDAR, T. 2000. Masalah skabies pada hewan
dan manusia serta penanggulangannya.
Wartazoa. hlm. 28−34.
MANURUNG, J., S. PARTOUTOMO dan KNOX. 1986.
Pengobatan kudis kelinci lokal (Notoedres
cati) dengan ivermectin atau neguvon.
Penyakit Hewan. 17(29):308−311.
RAHARJO, Y.C. 2005. Prospek, Peluang dan
Tantangan Agribisnis Ternak Kelinci.
Makalah belum di Publikasi.
RONCALLI, R.A. 1987. The history of scabies in
veterinary and human medicine from biblical
to modern times. Vet. Parasitol. 25: 193−198.
SARDJONO, T.W. 1997. Faktor-faktor terhadap
keberhasilan Penanggulangan Skabies di
Pondok Pesantren. Maj. Parasitol. Ind. 11:
33−42.
SMITH, J.B. dan MANGKOEWIDJOJO. 1988.
Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI-Press.
SOEDARTO, M. 1994. Skabies. Dexa Media. 7: 4−6.
SUNGKAR, S. 1991. Cara pemeriksaan kerokan kulit
untuk menegakkan diagnosis skabies. Maj.
Parasitol. Ind. 61−64.
WIDODO, T.H. 2005. Usaha Budidaya Ternak
Kelinci dan Potensinya. Makalah belum di
Publikasi.
175
Download