Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005 BEBERAPA PENYAKIT PENTING PADA KELINCI DI INDONESIA TOLIBIN ISKANDAR Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRAK Ternak kelinci merupakan salah satu aset petani yang sangat berharga. Di samping sebagai tabungan, kelinci juga sebagai penghasil daging yang tinggi kandungan protein dan rendah kolesterol dan trigeliserida dan dapat dibuat dalam bentuk produk olahan, seperti abon, dendeng, sosis, burger, dan bentuk cepat saji seperti sate. Selain itu sebagai penghasil kulit bulu (fur), juga menghasilkan wool, sebagai hewan coba dalam dunia kedokteran dan farmasi, menjadi idola atau kelinci kesayangan dengan harga jual relatif tinggi, kotoran dan urine sebagai pupuk organik yang bermutu tinggi untuk tanaman sayuran dan bunga. Berbagai jenis ternak kelinci yang sudah dikembangkan di Indonesia seperti Lops, Fuzzy, Tan, Jersey Wooly, New Zealand White, Netherland Dwarf, Yamamoto, Silver Fox, Dwarf Hotot, Rex, Satin, Angora, Tris Mini Rex. Kelinci mampu melahirkan 10–11 kali per tahun dengan rataan 6–7 anak per kelahiran oleh sebab itu kelinci mudah berkembang biak dan tumbuh dengan cepat. Salah satu kendala yaitu penyakit. Penyakit yang menyerang kelinci di Indonesia yaitu Kudis, Koksidiosis, Pasteurellosis, Mukoid Enteritis, Penyakit Tyzzer, Sifilis, Ring worm, Kecacingan, Mastitis, Radang mata. Keberadaan penyakit eksotik perlu diwaspadai mengingat lebih banyak beternak kelinci impor daripada kelinci lokal. Kudis disebabkan Sarcoptes scabiei perlu perhatian khusus karena menular ke manusia, seperti Pasteurellosis. Penyakit Koksidiosis, Mukoid Enteritis dan Penyakit Tyzzer sangat mudah menyebar ke koloni kelinci. Beberapa penyakit kelinci dipaparkan mengenai diagnosis, gejala klinis, isolasi ternak sakit dan pengobatannya. Kata kunci: Kelinci, penyakit hewan, pengendalian penyakit PENDAHULUAN Kelinci adalah hewan percobaan yang penting, dan juga penting untuk produksi daging. Oleh karena itu, informasi di bawah ini berguna juga untuk peternak kelinci dan untuk mereka yang menggunakan kelinci di laboratorium. Disamping itu kelinci merupakan satwa harapan, binatang kesayangan karena menarik dan lucu, kulit bulunya dan kotorannya bisa dijadikan pupuk organik yang sangat baik. Berbagai faktor teknis yang menghambat dalam pengembangan kelinci antara lain (1) kurangnya ketersediaan bibit bermutu, (2) tingginya mortalitas, (3) harga pakan yang mahal untuk skala komersial, (4) terbatasnya teknologi produksi yang tersedia dan (5) kurang sosialisasi dan promosi peranan kelinci di masyarakat (INOUNU dan RAHARJO, 2005). Kendala mortalitas yang tinggi salah satu diantaranya yaitu penyakit, menurut HAGEN (1976) penyakit disebabkan bakteri seperti: Pateurellosis, Listeriosis, Necrobacillocillosis, Salmonellosis, Staphylococcosis, 168 Sphirochetosis, Tularemia, dan Tyzzer′s Disease. Penyakit disebabkan virus seperti: Myxomatosis, Rabbit Pox, Fibroma, Herpes Virus Rabbit, Rabbit Papilloma. Penyakit disebabkan cendawan seperti: Ring worm, dan Pavus. Penyakit disebabkan parasit yang termasuk Ekto parasit (Ekternal parasites) yaitu kudis pada daun telinga dan kulit karena Psoroptes cuniculi, Fleas dan Ticks seperti: lalat Spilopsyllus cuniculi, Ctenocephalides canis, dan C. felis, juga caplak Haemaphysalis leporispalustris. Penyakit karena Endo parasit (Internal parasites) seperti: Koksidiosis, Nosematosis, Roundworms, Tapeworms. Sedangkan penyakit yang menyerang kelinci di daerah tropis menurut SMITH dan MANGKOEWIDJOJO (1988) yaitu: Salmonellosis, Pasteurellosis (Haemorrhagic Septicaemia), Koksidiosis, Skabies, Mucoid Enteritis (ME), Penyakit Tyzzer dan Sifilis. Saat ini rata-rata konsumsi daging secara nasional masih rendah yaitu kurang dari 2 kg/kapita/tahun dan diperkirakan akan mencapai 3 kg/kapita/tahun sehingga peningkatan konsumsi dan peningkatan Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci penduduk akan memerlukan pasokan sapi potong sekitar 1,5 juta ekor per tahun (MAKKA, 2005). Produk utama yang yang dihasilkan kelinci adalah daging sehat, yang tinggi kandungan protein, dan rendah kolesterol dan trigleserida dan dapat dibuat dalam berbagai bentuk produk olahan, seperti sosis, abon, dendeng, nugget, burger dan lainnya. Selain itu, jenis kelinci Rex dan Satin menghasilkan kulit bulu (fur) untuk produk kulit bulu ekslusif, dan kelinci Angora menghasilkan wool yang memiliki nilai ekonomi tinggi (RAHARJO, 2005). WIDODO (2005) melaporkan pada saat ini kelinci masih diusahakan secara sambilan dengan kapasitas masing-masing peternak sekitar 25 s/d 50 ekor per kandang, tetapi ada beberapa peternak yang memiliki lebih dari 100 ekor, diternakan di Desa Candi, Pakunden, Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah. Nama kelompoknya yaitu Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) yang berdiri sejak 8 Oktober 2002 dengan jumlah anggota 55 orang mempunyai populasi kelinci dewasa lebih dari 840 ekor dengan jenis yang bermacam-macam seperti: Satin, Rex, Lyon, Vlamsereus, New Zealand White, Giant Chinchilla, American Giant, Lop Dwarf, Polish, Dutch, Chekered Giant. Juga diternakkan kelinci lokal dan semi lokal. Pola pengembangan usaha ternak kelinci dilaksanakan dengan wawasan agribisnis yang diselaraskan dengan potensi riil dari permintaan pasar yang ada. Sejak tahun 1981 Ditjen Peternakan melaksanakan penyebaran dan pengembangan ternak kelinci di 10 propinsi yaitu Sumut, Lampung, Sumsel, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Sulsel, NTB, dan NTT sebanyak 5 juta ekor dengan pola bergulir dari Village Breading Centre untuk kemudian disebarkan kepada peternak. Kemudian pada tahun 1998/1999 menyebarkan ternak kelinci Rex untuk tujuan produksi kulit bulu (fur) di Kabupaten Tabanan, Bali dan Banjarnegara serta Brebes, Jawa Tengah. Pola yang dikembangkan juga dengan sistem bergulir dengan membentuk Rabbit Multiplication Centre (RMC) sebagai tempat perbanyakan untuk kemudian disebarkan kepada masyarakat (MAKKA, 2005). Dengan berkembangnya peternakan kelinci maka perlu dipertimbangkan adanya penyakit sebagai salah satu kendala dari angka mortalitas yang tinggi (ISKANDAR et al., 1989). BEBERAPA PENYAKIT PENTING PADA KELINCI Kudis (mange) Kudis pada kelinci umumnya disebabkan oleh tungau Psoroptes cuniculi, Chorioptes cuniculi, Notoedres cati, dan Sarcoptes scabiei, juga kutu Haemodipsus ventricosus. Berdasarkan lokasi, penyebab, dan tanda-tanda klinis dibedakan: Kudis pada liang telinga Penyebabnya adalah tungau Psoroptes cuniculi dan atau Chorioptes cuniculi (SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988; MANURUNG et al., 1986; ISKANDAR et al., 1989). Tungau ini memulai serangannya di dasar rambut liang telinga, parasit mengisap cairan kulit, membentuk lepuh-lepuh berisi cairan yang apabila pecah menimbulkan kegatalan. Dengan tanda-tanda klinis kelinci selalu menggoyanggoyangkan kepala, menggaruk-garuk daun telinga mengakibatkan lepuh akan pecah, sering disertai infeksi sekunder lama kelamaan timbul keropeng-keropeng hal ini dapat menyumbat liang telinga bila dibiarkan akan menimbulkan meningitis ditandai dengan kepala berputar (torticolis), gerak-gerakannya tidak terkontrol (ataxia) dan akhirnya mati. Penyakit ini dilaporkan MANURUNG et al. (1986) tetapi mendapat infeksi campuran dengan Notoedres cati di Bogor. Kudis kulit Tungau ini mulai menyerang sekitar mata, pipi, hidung, kepala, jari kaki kemudian meluas ke seluruh permukaan tubuh. Penyebabnya Sarcoptes scabiei dan Notoedres cati juga kutu Haemodipsus ventricosus (SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988; MANURUNG et al., 1986; ISKANDAR et al., 1989). Pada infestasi S. scabiei dan N. cati memperlihatkan gejala: kelinci menggaruk-garuk terus sehingga bulu muka, kepala, pangkal telinga, sekeliling mata dan kaki rontok. Pada infestasi berat, kulit di 169 Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci sekeliling telinga dan hidung dapat berubah bentuk. Tungau ini cepat menyebar ke seluruh koloni kelinci. S. scabiei dapat menginfestasi ke manusia karena bersifat zoonosis, jika menyerang sudut mulut kelinci maka kelinci sulit makan sehingga menimbulkan kematian. Penyakit ini menyerang kelinci di Lombok (ANONIMOUS, 1993). Sedangkan ISKANDAR et al. (1989) melaporkan skabies di Sumedang (Jawa Barat). Diagnosis dan pemeriksaan laboratorik Dasar diagnosis kudis adalah gejala klinis seperti gatal-gatal seperti yang diuraikan di atas. Cara diagnosa kudis pada gambaran gejala klinik dalam prakteknya sulit ditetapkan karena berbagai penyakit kulit lainnya memberikan gambaran klinis yang mirip dengan kudis (SUNGKAR, 1991). Diagnosis infestasi kutu dibuat dengan identifikasi kutu pada kelinci. Tungau dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopis dengan kerokan kulit kemudian diletakkan di gelas obyek dan dijernihkan dengan larutan KOH 5−10%, kemudian ditutup dengan kaca tutup, selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop (ISKANDAR, 1982; ISKANDAR et al., 1984; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988). Membuat tes tinta terowongan dengan cara menggosok papula yang terdapat pada kulit menggunakan ujung pena yang mengandung tinta. Etelah papula tertutup oleh tinta dan didiamkan selama 20−30 menit, tinta kemudian diusap/diharus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes ini dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis-garis zig-zag (HOEDOJO, 1989; ISKANDAR, 2000). Pengobatan dan pengendalian kudis Peninggalan sejarah menunjukkan bahwa kudis dan cara pengobatannya telah dikenal sejak kira-kira tiga ribu tahun yang lalu (RONCALL, 1987). Penyakit kudis pada kelinci dapat disembuhkan dengan Neguvon 0,15% dan Asuntol 0,05–0,2% (MANURUNG et al., 1986). Salep Asuntol 0,1% dapat menyembuhkan scabies pada kelinci (ISKANDAR et al., 1989). Kelinci yang kena infestasi tungau harus diasingkan dan diobati 170 campuran belerang dengan kapur 5 berbanding 3 atau Pirantel pamoat (Canex) dicampur vaselin (SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988). Bisa diobati Ivermectin dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan diberikan sub kutan dengan selang waktu 7 hari. Kudis pada liang telinga dibersihkan dengan H2O2 3%, keropengkeropeng dibuang, tetesi dengan tetes telinga yang dicampur antibiotik dan fungisida (ISKANDAR et al., 1989). Dalam melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit kudis perlu diperhatikan pola hidup, sanitasi, pemindahan kelinci, karantina, dan pengobatan. Pola dan kebiasaan hidup yang kurang bersih dan kurang benar memungkinkan berlangsungnya siklus hidup tungau (S. scabiei) dengan baik. Sanitasi termasuk kualitas penyediaan air yang kurang dan ternak yang terlalu padat perlu dihindari (SARDJONO et al., 1997). Pemindahan hewan dari satu tempat ke tempat lain perlu penanganan yang serius. Perlu diperhatikan Surat Keputusan Menteri Pertanian no. 422/kpts/LB-720/6/1988 yaitu peraturan karantina tentang penyakit kudis yang menyatakan bahwa penyakit kudis, skabies, mange dan demodekosis termasuk penyakit golongan 2 nomor 51. Hewan yang peka adalah ruminansia, kuda, babi, dan kelinci dengan masa inkubasi 14 hari, lama hewan di karantina 14–30 hari. Setiap hewan tersangka skabies harus diisolasi dan diobati. Jika ada hewan terkena skabies, sebelum memulai terapi sebaiknya peternak diberi penjelasan yang lengkap mengenai penyakit dan cara pengobatannya, sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi. Mengingat masa inkubasi yang lama, maka semua ternak kelinci yang berkontak dengan hewan penderita perlu diobati meskipun tidak ada gejala klinis atau hewan penderita diisolasi. Hewan penderita yang berada di tengah keluarga sulit untuk diisolasi. Pakaian yang dicurigai harus dicuci dengan air panas atau disetrika, alat rumah tangga dan kandang juga harus dibersihkan, meskipun tungau tidak lama bertahan hidup di luar kulit hewan maupun manusia (HAGEN, 1982; HARTADI, 1988; SUNGKAR, 1991; SOEDARTO, 1994; ISKANDAR, 2000). Penyakit ini sering dikacaukan dengan Ringworms dan Pavus. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci Koksidiosis Pada kelinci terdapat dua bentuk koksidiosis yaitu bentuk hati disebabkan oleh Eimeria stidae dan bentuk usus disebabkan oleh E. magna, E. media, E. irresidua atau E. perforans. Eimeria spp lain jarang ditemukan di usus kelinci (HAGEN, 1976; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988; ISKANDAR, 2001). Hewan yang sudah sembuh dari penyakit ini sering menjadi karier. Berbagai bentuk koksidiosis tersebut tidak selalu menimbulkan gejala mencret. Penyakit bisa tanpa memperlihatkan gejala, atau kematian dapat terjadi hanya sesudah beberapa hari setelah infestasi. Kelinci muda lebih sering terjadi terkena oleh koksidiosis bentuk hati dengan gejala-gejala berupa mencret, nafsu makan hilang, dan bulu kasar. Kelinci tidak tumbuh normal, badan kurus dan tidak tampak sehat. Pada bentuk usus, gejala biasanya tumbuh lambat, nafsu makan hilang dan perut kelihatan buncit. Siklus hidup Eimeria bisa dilihat pada Gambar 1. Diagnosis dapat dibuat dengan identifikasi ookista pada pemeriksaan tinja atau dengan pemeriksaan histopatologi usus dan hati. Pada pemeriksaan pascamati. Lesi koksidiosis disebabkan oleh E. stiedae menunjukkan bintik-bintik putih atau kista di hati seperti pada Gambar 2. Pada kasus akut, lesi ini mempunyai tepi jelas tetapi kemudian lesi akan bergabung satu sama lain pada kasus kronis. Pada pemeriksaan histopatologik bintik-bintik tersebut tampak hiperplasia saluran empedu dan banyak ditemukan ookista. Lesi pada bentuk usus bervariasi, kasus akut jarang memperlihatkan lesi, sedang kasus kronis tampak usus menebal dan pucat. Koksidiosis dapat dikendalikan dengan pengelolaan koloni hewan yang baik dan mengobati kelinci dengan 0,05% Sulfakuinoksalin dalam air minum selama 30 hari. Bisa juga Amprolium 30–250 mg/kg pakan. Nitrofurason dapat dipakai dengan dosis 0,5–2,0 g/kg berat badan untuk pengobatan, atau 0,5–1,0 g/kg untuk pencegahan koksidiosis usus (HARKNESS dan WAGNER, 1983). Eimeria sp ini tidak dapat menginfeksi manusia. Penyakit ini dapat dikacaukan dengan Enteritis, Diare, Bloat atau Kembung perut (Timpani). Gambar 1. Daur hidup koksidia Sumber: HAGEN (1976) 171 Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci Gambar 2. Hati kelinci yang menderita koksidiosis Bintik-bintik putih adalah sarang E. Stiedae Sumber: ISKANDAR (2001) Pasteurellosis (Haemorrhagic septicaemia) Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Nama lain adalah Bacterium leptiseptica, Bacillus leptiseptica, Pasteurella leptiseptica dan Pasteurella septica (HAGEN, 1976; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988). Penyakit ini sering ditemukan dalam koloni kelinci laboratorium dan sangat menular. Pasteurellosis dapat menyebar secara langsung jika kelinci sehat kontak dengan yang sakit atau tidak langsung yaitu kelinci sehat dipindahkan ke kandang penderita tanpa di sterilisasi. Pada kelinci sering menimbulkan kekebalan ringan sesudah kelinci terinfeksi. Beberapa hewan dapat menjadi karier meskipun tampak sehat, dan mungkin hewan ini menjadi sumber infeksi dalam koloni kelinci. Penyakit ini biasanya bersifat kronik dengan gejala ke luar eksudat encer atau nanah dari hidung dan mata. Bulu kaki depan terutama di sekeliling kuku tampak kusut dan banyak eksudat kering. Kadang-kadang disertai pneumonia, pyometra, orchitis, otitis media, conjunctivitis, subcutaneus abces dan septicemia (HAGAN, 1976; HARKNESS dan WAGNER, 1983). Kelinci yang sakit biasanya bersin dan batuk bisa diakhiri dengan kematian. Dalam bentuk akut, kelinci sakit 172 tiba-tiba mati. Jika kelinci sembuh bisa sebagai karier. Diagnosis penyakit Penyakit ini dapat diagnosis dengan isolasi dan identifikasi bakteri dari paru-paru kelinci sakit (HAGAN, 1976; HARKNESS dan WAGNER, 1983). Jika diadakan pemeriksaan pascamati, ditemukan radang akut sampai kronik di selaput lendir saluran pernapasan dan paruparu. Biasanya lesi disertai rinitis, sinusitis, otitis, meningitis dan bronkhopneumonia. Abses dapat ditemukan di tubuh kelinci terutama di kepala. Dalam keadaan akut terjadi septisemia biasanya kelinci mati dalam waktu 48 jam. Pemeriksaan pascamati pada bentuk akut tampak kongesti pembuluh darah sistim pernapasan, trakeaitis, kelenjar pertahanan membesar dan perdarahan di bawah kulit. Hewan yang terinfeksi P. multocida sebaiknya dibinasakan biasanya diobati tidak akan berhasil. Seluruh kandang dan kamar kelinci juga peralatannya harus disterilkan. Penyakit ini bisa menular ke manusia, tetapi sangat menular ke kelinci lain dan hewan percobaan lain. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci Mucoid enteritis (ME) Penyakit ini menimbulkan radang usus dengan mortalitas yang tinggi terutama menyerang kelinci umur 7–10 minggu. Penyebabnya belum bisa dipastikan (HAGEN, 1976; SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988). Beberapa bakteri bisa diisolasi dari kelinci penderita yaitu Coliform bacilli dan anaerobic bacteria, juga virus dan koksidia. Gejala-gejala ME adalah napsu makan hilang, polidipsia (banyak minum) dan suhu badan di bawah normal (37–38°C). Kelinci kelihatan depresi dengan sikap merangkakrangkak dan bulu kasar, mencret, kurus, lambung menggembung, usus kecil dan usus besar menggembung isinya gas dan cairan usus. Kulit disekitar anus kotor dengan lendir atau tunja kuning dan cair. Pada pemeriksaan pascamati, tidak ditemukan lesi yang jelas. Lambung dan usus biasanya banyak ditemukan gas dan cairan, juga bisa isi sekum gas dan kering, kolon berisi lendir yang kental dan jernih, katong empedu membesar. Pemeriksaan histopatologis pada usus kecil banyak ditemukan hiperplasia sel goblet. Diagnosis penyakit ME Dengan melihat gejala klinis yaitu dehidrasi, mencret berlendir, perut kembung dan pemeriksaan pascamati. Penyaki ini pernah menyerang kelinci pada kandang hewan coba di Balai Penelitian Veteriner Bogor (ISKANDAR et al., 1989). Tidak ada pengobatan spesifik untuk penyakit ME Dapat dicoba dengan antibiotik agar tidak terjadi infeksi bakteri, juga diberi rumput kering dalam ransum yang bergizi. Penyakit ini tidak menular ke manusia. Penyakit Tyzzer Penyakit ini disebabkan oleh Bacillus piliformis. Penyakit jarang terjadi pada koloni kelinci, kadang-kadang dikacaukan dengan penyakit ME. Sebagai paktor disposisi timbul penyakit ini yaitu stres. Gejala penyakit yaitu diare, dehidrasi dan kematian yang cepat, biasanya dalam 24–48 jam. Morbiditas dan mortalitas yang tinggi, lebih dari 50% koloni kelinci menderita sakit dan lebih dari 90% kelinci yang sakit dapat mati. Kelinci yang bertahan hidup tumbuhnya lambat dan nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan pascamati mukosa usus kecil dan usus besar berkaca-kaca tandanya ada peradangan dan ditemukan perdarahan berbintik. Pada hati sering ditemukan masa foki pucat sebesar kepala jarum pentul. Pada pemeriksaan histopatologis tampak nekrosis berat di mukosa epitel usus besar khususnya di sekum. Dengan pewarnaan khusus, yaitu Giemsa atau Periodic acid Schiff, dapat dilihat kumpulan organisme berbentuk filamen, terutama dalam sel epitel usus yang tidak berlesi. Pada hati ditemukan banyak fokal nekrotik, dan di tepi lesi dapat ditemukan kumpulan organisme dalam sel. Diagnosis penyakit Penyebab penyakit dapat ditemukan pada organ usus atau hati dengan cara mengisolasi bakteri dengan cara in ovo yaitu menyuntikan ke dalam kuning telur ayam tertunas. Pengobatan Penyakit Tyzerr sulit untuk diobati. Kalau penyakit ini menyerang koloni kelinci, seluruh koloni kelinci harus dibinasakan dan memulai koloni baru dengan kelinci yang bebas dari penyakit ini. Koloni baru ini harus ditempatkan dalam gedung terisolasi dari koloni mencit, hewan mencit lebih mudah tertular penyakit Tyzerr. Penyakit ini tidak bersifat zoonosis (SMITH dan MANGKOEWIDJOJO, 1988). Sifilis Penyakit ini disebabkan oleh Treponema cuniculi dan sering ditemukan dalam koloni kelinci yang higienenya sangat jelek. Kedua jenis kelamin kelinci ini dapat terinfeksi pada saat kopulasi. Gejala klinis bulu disekitar kemaluan luar rontok dan berbintik-bintik seperti kudisan. Kelinci sakit tidak boleh dikawinkan. Pengobatan mengunakan antibiotik seperti penisilin 50.000 unit tiap hari sampai sembuh (10–14 hari). Kelinci yang sembuh tidak bersifat karier dan bisa dikawinkan lagi. Penyakit ini tidak menular ke manusia (WIDODO, 2005). 173 Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci Mastitis (radang ambing) Penyakit ini disebabkan Staphylococus sp, biasanya menyerang kelinci yang menyusui terutama kelinci ras pernah terjadi kasus di Kabupaten Magelang (WIDODO, 2005). Gejala klinis bagian putting susu membengkak dan mengeras berwarna merah muda. Bila diraba terasa panas dan keras, jika tidak diobati warna kulit sekitar putting susu berwarna gelap kemudian pecah. Pencegahan: lingkungan kandang harus tenang jauh dari kebisingan agar induk tidak gelisah. Penyapihan jangan dilakukan mendadak dan cukup waktunya, periode sapih antara 40–45 hari. Induk yang sedang menyusui jangan dipindah tempat dari kandang saat melahirkan agar tidak stres. Penyakit ini tidak menular ke manusia. Conjunctivitis (radang mata) Penyakit mata ini penyebabnya Moraxella sp. Tanda-tanda penyakit yaitu mata merah dan mengeluarkan cairan (eksudat) pernah di laporkan (ISKANDAR et al., 1989). Pengobatannya dengan pemberian Sulfathiazole 5% Opthalmia Ointment, Salep mata yang mengandung antibiotik. Penyakit lain yang dilaporkan WIDODO (2005) di Magelang yaitu Kecacingan karena cacing pita (Taenia pisiformis). Pengobatan bisa menggunakan Thiabendazole. KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Penyakit koksidiosis merupakan penyakit yang umum di peternakan kelinci yang banyak menimbulkan kematian dapat bersifat akut dan fatal. Perlu pencegahan dan pengobatan dengan menggunakan koksidiostat baik melalui air minum, pakan yang paling efektif koksidiostat dalam keemasan kapsul. Seperti Sulfakuinoksalin, Nitrofurason, Robenidin, Clopidol. Kelinci yang sembuh dari penyakit ini sering menjadi karier. Penyakit kudis sering menyerang kelinci yang diternakkan kurang higienis kelinci yang terserang harus diisolasi dan diobati dengan salep Asuntol 2%, Ivermektin. 174 Tindakan vaksinasi dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit Tyzzer dan atau Pasteurellosis, apabila ada kelinci yang menderita Pasteurellosis dan atau Tyzzer lebih baik dibinasakan untuk penyakit Radang mata dan Kecacingan bisa diobati dengan menggunakan salep mata yang mengandung antibiotik dan obat cacing. Pengendalian penyakit pada kelinci tidak berbeda dengan cara-cara pengendalian pada penyakit hewan menular lainnya. Kewaspadaan dini terhadap penyakit sangatlah penting untuk mengantisipasi kejadian wabah penyakit. DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS. 1993. Skabies menyerang Lombok. Kompas 14 Agustus. HAGEN. 1976. Domestic Rabbits: Disease and Parasites. Veterinarian, Western Region. Agricultural Research Service. Departement of Veterinary Pathology. Iowa State University. Ames. Iowa. HARKNESS, J.E. and J.E. WAGNER. 1983. The Biology and medicine of Rabbits and Rodents. 2nd. Ed, Lea and Febiger, Philadelphia. pp.. 1−112. INOUNU, I. dan Y.C. RAHARJO. 2005. Ketersediaan Teknologi dalam mendukung pengembangan Agribisnis Kelinci. Makalah belum di Publikasi. ISKANDAR, T. 1982. Invasi ulang skabies (Sarcoptes scabiei) pada kerbau lumpur (Bos bubalus) dengan pengobatan aslep asuntol 50 WP konsentrasi 2% dan perubahan patologik kulit. Penyakit Hewan. 23: 21−23. ISKANDAR, T. 2001. Studi Patogenesitas dan Waktu sporulasi Eimeria stiedae galur lapang pada kelinci. Widyariset, LIPI 3: 137−184. ISKANDAR, T., J. MANURUNG dan S.J. SIMANJUNTAK. 1989. Penyakit pada Kelinci. Latihan Keterampilan Budidaya Kelinci. Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian Cihea-Cianjur. ISKANDAR, T., NG. GINTING dan TARMUDJI. 1984. Pemeriksaan penyakit pada domba dan kambing tinjauan patologik di Jawa Barat. Pros. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 262−266. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci ISKANDAR, T. 2000. Masalah skabies pada hewan dan manusia serta penanggulangannya. Wartazoa. hlm. 28−34. MANURUNG, J., S. PARTOUTOMO dan KNOX. 1986. Pengobatan kudis kelinci lokal (Notoedres cati) dengan ivermectin atau neguvon. Penyakit Hewan. 17(29):308−311. RAHARJO, Y.C. 2005. Prospek, Peluang dan Tantangan Agribisnis Ternak Kelinci. Makalah belum di Publikasi. RONCALLI, R.A. 1987. The history of scabies in veterinary and human medicine from biblical to modern times. Vet. Parasitol. 25: 193−198. SARDJONO, T.W. 1997. Faktor-faktor terhadap keberhasilan Penanggulangan Skabies di Pondok Pesantren. Maj. Parasitol. Ind. 11: 33−42. SMITH, J.B. dan MANGKOEWIDJOJO. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI-Press. SOEDARTO, M. 1994. Skabies. Dexa Media. 7: 4−6. SUNGKAR, S. 1991. Cara pemeriksaan kerokan kulit untuk menegakkan diagnosis skabies. Maj. Parasitol. Ind. 61−64. WIDODO, T.H. 2005. Usaha Budidaya Ternak Kelinci dan Potensinya. Makalah belum di Publikasi. 175