I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gizi merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan yang dapat memberikan konstribusi dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga mampu berperan secara optimal dalam pembangunan (Yayuk Farida, dkk, 2004). Sebagai salah satu SDM, kualitas remaja harus diperhatikan karena remaja berperan penting dalam pembangunan nasional pada masa yang akan datang. Remaja mengalami masa pertumbuhan cepat dan sangat aktif yang disebut “adolescence growth spurt” sehingga memerlukan zat gizi yang relatif besar jumlahnya (Sediaoetama, 1996). Selama periode remaja, massa tulang meningkat dan terjadi pembentukan tulang, jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran (DiMeglio, 2000). Remaja membutuhkan mineral kalsium, besi, dan seng untuk pendukung pertumbuhan fisik juga vitamin A dan C untuk menjaga agar sel serta jaringan baru tidak cepat rusak (Khomsan, 2004). Defisiensi mineral seperti zat besi, seng, dan kalsium merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh remaja (Ruel, 2001). Menurut Soekatri (2004), zat gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak remaja yaitu zat besi, kalsium, seng, vitamin A, dan vitamin C. Namun, masalah gizi kurang dalam bentuk defisiensi vitamin dan mineral seperti vitamin A, kalsium, yodium, zat besi, dan seng masih menimpa dua milyar manusia termasuk remaja (Arisman, 2004). Konsumsi zat besi pada sebagian remaja Indonesia masih berada di bawah standar konsumsi seharusnya. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, ditemukan ada sebanyak 26.5% remaja Indonesia yang berusia 15-19 tahun mengalami anemia atau kekurangan zat besi (Subeno, 2007). Penelitian yang dilakukan pada 106 mahasiswa Universitas Andalas Padang berusia 17-22 tahun menunjukkan rata-rata asupan zat besi remaja tersebut adalah 6.56 mg/hari (Purnakarya, dkk, 2009), sedangkan berdasarkan ALG (Acuan Label Gizi) remaja seharusnya mendapat asupan zat besi sebanyak 26 mg/hari (BPOM, 2007). Menurut Soekirman (2000) dan Dillon (2005), anemia gizi besi pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada daya tahan tubuh, kemampuan fisik, prestasi belajar, prestasi olahraga, produktivitas, proses pertumbuhan, serta kematangan organ-organ reproduksi. Kalsium merupakan salah satu zat gizi yang kurang diperhatikan remaja Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan hariannya. Asupan kalsium untuk masyarakat Indonesia masih rendah. Setiap orang diperkirakan hanya mengkonsumsi susu sekitar 0.5 gelas dalam satu minggu (Khomsan, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya pada mahasiswa Andalas di Padang menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalsium adalah 278.59 mg/hari (Purnakarya, dkk, 2009). Data lainnya yang berasal dari Departemen Kesehatan RI tahun 2002 menunjukkan bahwa asupan rata-rata kalsium orang Indonesia hanya 254 mg/hari (Sulaiman, 2009 dan Syamsir, 2008), sedangkan berdasarkan ALG (Acuan Label Gizi), asupan harian kalsium untuk kelompok konsumen umum termasuk remaja seharusnya adalah 800 mg/hari (BPOM, 2007). Massa tulang yang dibentuk secara optimal di usia anak-anak dan remaja akan menjadi senjata ampuh untuk mencegah osteoporosis (Syamsir, 2008). Menurut Sulaiman (2009), defisiensi kalsium menyebabkan prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) di Indonesia mencapai 41.7%. Berikutnya, zat gizi lainnya yang belum diperhatikan sebagai asupan harian yang penting bagi remaja di Indonesia adalah seng. Asupan harian seng pada remaja di Indonesia masih kurang karena menu konsumsi remaja yang mengandung seng masih di bawah konsumsi seharusnya yaitu sebanyak 12 mg/hari (BPOM, 2007). Berdasarkan penelitian Aryani, dkk (2010) pada 21 anak usia sekolah dasar di Bandung dapat dilihat bahwa asupan harian seng pada anak cukup rendah. Sebesar 85.71% data berada di bawah nilai Estimated Average Recommended (EAR) dan menunjukkan bahwa setengah dari populasi ini yaitu 42.85% mengalami gejala defisiensi. Nilai asupan harian seng yang tertinggi adalah 8.74 mg/hari dan terendah adalah 2.04 mg/hari (Aryani dkk, 2010). Defisiensi seng dapat menyebabkan penundaan kedewasaan, perkembangan reproduktif, pelemahan perkembangan dan fungsi otak, kerdil pada anak-anak, serta melemahkan sistem imun terhadap berbagai penyakit patogenik (Grusak, 1999 dan Cakmak, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi di pedesaan Bogor menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi seng pada remaja sebesar 44.3% (Riyadi, 1995). Zat gizi mikro lainnya yang masih kurang dikonsumsi remaja Indonesia adalah vitamin A. Defisiensi vitamin seperti masalah kurang vitamin A (KVA) dialami lebih dari 40% anak-anak di dunia (World Bank, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya pada mahasiswa Andalas di Padang menunjukkan bahwa terdapat 94.3% remaja yang belum memenuhi kebutuhan asupan vitamin A hariannya (Purnakarya, dkk, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elnovriza, dkk (2008) menunjukkan bahwa asupan rata-rata vitamin A pada 107 mahasiswa asrama dengan rata-rata umur 19.1 tahun di Andalas padang adalah 513.50 IU, sedangkan kebutuhan vitamin A konsumen umum termasuk remaja tercantum pada Acuan Label Gizi sebesar 600 RE atau 2000 IU (BPOM, 2007). Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan buta senja (niktalopia), perubahan pada mata (xerosis konjungtiva, bercak bitot, dan keratomalasia), perubahan pada kulit (kering dan kasar), keratinisasi sel-sel rasa pada lidah, keterlambatan pertumbuhan, mempertinggi resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti penyakit saluran pencernaan dan diare, meningkatnya angka kematian karena campak (Almatsier, 2006). Vitamin C yang merupakan zat gizi penting untuk kekebalan tubuh ternyata masih kurang dikonsumsi oleh remaja Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya pada mahasiswa di Padang ini juga menunjukkan bahwa rata-rata asupan vitamin C adalah 25.58 mg per hari (Purnakarya, dkk, 2009), sedangkan asupan vitamin C yang memenuhi kebutuhan remaja berdasarkan Acuan Label Gizi adalah 90 mg/hari (BPOM, 2007). Defisiensi vitamin C tampak pada kadarnya dalam serum remaja yang cukup rendah terutama remaja dengan asupan buah dan sayur yang rendah (Arisman, 2004). Selain itu, vitamin C juga dibutuhkan untuk meningkatkan penyerapan zat besi. Suplementasi zat besi dan vitamin C pada anak usia 17-19 tahun dapat meningkatkan kecepatan pertambahan berat badan. Vitamin C dengan perbandingan minimal dua bagian vitamin C dan satu bagian senyawa besi ditambahkan untuk meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus (Soekatri, 2004). Kekurangan asupan harian beberapa zat gizi mikro pada remaja Indonesia perlu diatasi dengan memperkaya zat gizi pada makanan yang dikonsumsi. Hal ini penting karena remaja Indonesia mengalami gangguan tumbuh kembang dan penurunan tingkat kecerdasan (Untoro, 2004). Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah fortifikasi. Fortifikasi dipilih untuk meningkatkan status gizi remaja Indonesia karena jumlah asupan makanan remaja tidak sesuai dengan jumlah yang diperlukan sehingga terjadi defisiensi zat gizi (Soekatri, 2004). Teknologi fortifikasi telah berkembang pesat, tidak hanya digunakan untuk keperluan menanggulangi masalah kekurangan gizi (Wirakartakusumah dan Hariyadi, 2 1998), tetapi juga untuk pengembangan formula makanan fungsional untuk tujuan pemeliharaan dan peningkatan status kesehatan (Elliot, 1999 dan Anonim1, 2000). Formulasi pada proses fortifikasi zat besi, kalsium, seng, vitamin A, dan vitamin C dilakukan pada wafer krim karena remaja menyukai produk yang mudah dibawa dan dapat dikonsumsi kapan saja. Wafer yang digolongkan sebagai biskuit dalam kategori pangan, dikonsumsi di Indonesia sebanyak 695 gram per kapita selama kurun waktu tertentu yang tidak disebutkan spesifik dalam literatur (Murdono, 2003). Meski hanya makanan camilan, market size wafer secara total diperkirakan senilai Rp 3 triliun untuk tahun 2009 dengan proporsi wafer cream masih mendominasi 55%, dan wafer stick sebesar 45% (Mubarak, 2010). Selain dari target konsumen, produk wafer krim juga dipilih karena dapat menjadi pembawa fortifikan yang tahan terhadap suhu tinggi (pada wafer) dan yang rusak karena suhu tinggi (pada krim). Proses pembuatan krim dan pembuatan wafer merupakan proses terpisah yang dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan tahap penambahan fortifikan sesuai karakteristik masingmasing vitamin dan mineral. Penetapan umur simpan wafer krim fortifikasi dipilih untuk mengetahui waktu penyimpanan produk hingga kadar fortifikan yang paling cepat rusak tidak dapat diterima lagi. Vitamin C dipilih sebagai rejection point dalam uji umur simpan karena vitamin ini paling tidak stabil dan mudah mengalami kerusakan dibanding fortifikan lain dalam wafer krim. Rejection point yang ditetapkan untuk penelitian ini sebesar 10% Acuan Label Gizi yaitu 9 mg vitamin C per sajian kemasan 25 gram. Hal ini berkaitan dengan target pembuatan wafer krim fortifikasi untuk memenuhi kebutuhan asupan vitamin C remaja sebesar 10% Angka Label Gizi. B. TUJUAN PENELITIAN 1. 2. 3. 4. Penelitian ini bertujuan untuk: Menentukan jenis senyawa kalsium pada wafer krim yang paling disukai secara organoleptik Menentukan flavor yang paling disukai secara organoleptik untuk wafer krim fortifikasi Menganalisis sifat organoleptik dan beberapa kandungan gizi mikro (kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) pada wafer krim fortifikasi dibandingkan dengan kontrol Melihat pengaruh kemasan terhadap umur simpan wafer krim dengan Accelerated Shelf Life Test C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini bermanfaat untuk menghasilkan produk wafer krim fortifikasi yang memenuhi kebutuhan zat gizi mikro (kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) untuk remaja yang diterima dengan tingkat penerimaan organoleptik yang baik dan zat gizi mikro sesuai dengan jumlah klaim selama umur simpan dengan dua jenis kemasan. 3