ANALISIS PRAKTIK IUU (ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED) FISHING DAN UPAYA PENANGANANNYA MELALUI ADOPSI MEKANISME PORT STATE MEASURES DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA DESIMA RAMALIA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Praktik Perikanan IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Desima Ramalia ABSTRAK DESIMA RAMALIA, C44080042. Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta. Dibimbing oleh DARMAWAN dan AKHMAD SOLIHIN. Praktik perikanan yang diklasifikasikan sebagai kegiatan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated fishing – IUU Fishing) terjadi di banyak wilayah perairan dunia dalam skala besar-besaran. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat lebih dari 100 negara berperkara dengan masalah pencurian ikan. Praktik perikanan seperti ini mengakibatkan kerusakan habitat sumberdaya ikan akibat tindakan yang destruktif, terganggunya pengelolaan pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan, dan menimbulkan kerugian ekonomi yang merugikan banyak negara berkembang sekitar 2 – 15 milyar dolar Amerika tiap tahunnya. Sesuai kategori PBB yang diacu pada dokumen International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing tahun 2001, suatu negara dapat dikategorikan sebagai Negara Bendera (negara yang memberikan perijinan penangkapan kepada suatu unit penangkapan ikan), Negara Pantai (negara yang memiliki pantai dan tempat terjadinya perkara IUU fishing), dan Negara Pelabuhan (negara tujuan pendaratan hasil tangkapan). Penelitian ini fokus pada peran Negara Pelabuhan dalam upaya menangani IUU Fishing sesuai dengan dokumen perjanjian yang dirancang oleh Food and Agriculture Organization mengenai Port State Measures (PSM) Agreement. Sebagai negara anggota FAO, Indonesia wajib menelaah kemungkinan melakukan adopsi terhadap dokumen tersebut. Oleh sebab itu penelitian ini menganalisis kesiapan Indonesia dalam menerapkan kebijakan pengaturan PSM untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas praktik IUU fishing dengan menggunakan studi kasus di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta. Penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan metoda yuridis komparatif. Adapun penentuan sampel diakukan secara purposive. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hukum dan peraturan di Indonesia telah mengakomodasikan enam dari tujuh butir kewajiban negara pelabuhan sesuai dengan dokumen PSM dan telah diterapkan di PPS Nizam Zachman Jakarta. Namun demikian masih terdapat beberapa kekurangan di dalam pelaksanaanya yang meliputi pemahaman, sumberdaya manusia, kegiatan preventif, serta sarana dan prasarana penunjang. Kata kunci: IUU fishing, port state measures, yuridis komparatif ABSTRACT DESIMA RAMALIA, C44080042. Analysis of IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing and the Eforts of Handling by Port State Measures Adoption Mecanism at Oceanic Fishing Port Nizam Zachman Jakarta. Guicancing by DARMAWAN and AKHMAD SOLIHIN. Practice of IUU fishing is occurring in many fishing grounds around the world in vast scale. United Nations notes that there were more than a hundred countries have issues with these kinds of practices. IUU fishing damages fish habitats due to its destructive methods, disrupts sustainable fisheries management, and loss financial benefits for many developing coutries (aproxinately 2-15 billion dollars every year). Based on UN classification in International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing (2001), nations can be categorized into Flag State (issued fishing license), Coastal State (have coasts and fishing grounds) and Port State (owned ports to facilitate logistics and landings). This research focused on the role of Port State to cope with IUU Fishing in accord with FAO convention in the Port State Measures Agreement (PSM). As an FAO member, Indonesia has obligation to asses and evaluate possibility to adopt the Agreement. Therefore this reasearch analyzed the state of readiness of Indonesia to deter, prevent and eliminate IUU Fishing thorugh the implementation of Port State Measures (PSM). Fishing port Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Nizam Zachman Jakarta was used as the case study. The research used decriptive analysis and employed juridis comparative method. Interview was conducted to several fishing key stakeholders selected by purposive sampling method. Result shows that Indonesia has accommodated six out of seven measure substances for Port State in accord with the Agreement. All of those measures have been implemented in the PPS Nizam Zachman with various conditions or shortages, especially in general understanding of the concept, human resources, preventif actions, tools and other supporting infrastructures. There are shortage to realize PSM in future include comprehension, resource of human, preventable action, tools, and infrastucture that be support. Keywords: IUU fishing, port state measures, yuridis komparatif © Hak Cipta IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan tersebut hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB. ANALISIS PRAKTIK IUU (ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED) FISHING DAN UPAYA PENANGANANNYA MELALUI ADOPSI MEKANISME PORT STATE MEASURES DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA DESIMA RAMALIA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Judul Penelitian : Analisis Praktik Perikanan IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta Nama Mahasiswa : Desima Ramalia NRP : C44080042 Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Disetujui: Komisi Pembimbing Ketua, Anggota, Dr. Ir. Darmawan, MAMA NIP. 19630306 198903 1 007 Akhmad Solihin, S.Pi, M.H NIP. 19790403 200701 1 001 Diketahui: Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP. 19621223 198703 1 001 Tanggal lulus: 13 Maret 2012 PRAKATA Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, untuk dapat menyelesaikan laporan akhir skripsi atas penelitian yang berjudul “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada bulan Juli 2011 hingga Januari 2012. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Maret 2012 Desima Ramalia UCAPAN TERIMA KASIH Skripsi ini hadir atas anugerah Allah Yang Maha Kuasa, selain itu pula banyak pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini. Bantuan tersebut sangat berharga untuk penulis sebagai penguat dan penyemangat untuk terus berkarya. Adapun pihak-pihak tersebut adalah: 1. Segenap keluarga inti penulis yang tidak hentinya memberi segalanya untuk penulis hingga meraih hasil ini; 2. Pembimbing skripsi yaitu Bapak Darmawan dan Bapak Akhmad Solihin yang dengan ikhlas memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 3. Pembimbing akademik, Ibu Vita Rumanti yang terus memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis dari awal mengemban ilmu di PSP; 4. Komisi pendidikan PSP dan dosen penguji pada saat sidang, Bapak Moh.Imron dan Bapak Thomas Nugroho yang memberikan koreksian dan wawasan lebih luas kepada penulis; 5. Sahabat-sahabat kecilku (Seilen, Sri, Soraya, Ika, Tami, Nelly, Gita, Icha, Dini, Sheilla, Elly, Tika, Nova, Arlan, Ridhu, Rio, Syafiq, Yoyo, Eja, Syarif) yang telah mengisi lebih dari separuh kedewasaanku; 6. Tim PPS Nizam Zachman Jakarta (Pak Rouf, Pak Nimrot, Pak Akmala, kak Joko, Kak Icha, Kak Daffa, Kak Jazuli, kak Gareng) dan Tim KKP (Pak Eko, Pak Rusmana, Pak Pandapotan, Mba Yani) yang sangat membantu penelitian di lapang; 7. Dua suadara baik hati (Anugrah Adityayuda dan Dendi Ahmad Patrayuda); 8. Mereka yang meluangkan waktu lebih untuk membantu penulis saat terjatuh (Eka Septiana, Lina Yuni Kurnia, Aditya Setianingtyas, Ngesti Dyah); 9. Keluarga yang berjumlah 61 (PSP 45) yang mampu memberikan stimulus baik positif dan negatif yang menjadikan penulis tetap survive, you’re never end; 10. Seluruh civitas PSP, dari Tata Usaha (Pak Gigih dan Mba Vina), senior dan alumni, serta PSP 46 dan PSP 47, you’re stay in my memories; dan 11. Special thanks untuk mereka yang mampu berada di sampingku pada hari penting itu (Cut, Lina, Ocil, Ana, Ina, Ani, Insun, Ema, Kusnadi, Tommy, Okta). RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan tanggal 10 Desember 1990 dari Bapak Firdaus dan Ibu Sunsilawati. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan tahun 2008 di SMA Negeri 16 Palembang. Selanjutnya, penulis melanjutkan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis memilih Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di IPB, penulis mengikuti banyak kegiatan organisasi dan meraih beberapa prestasi. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Eksplorasi Penangkapan Ikan tahun ajaran 2010/2011 dan mata kuliah Manajemen Operasi Penangkapan Ikan tahun ajaran 2011/2012. Organisasi yang pernah diikuti penulis yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK IPB tahun 2009/2010 sebagai anggota Divisi Informasi dan Komunikasi, Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Himafarin) selama 2 tahun, pada tahun 2009/2010 sebagai anggota Departemen Pengembangan Minat dan Bakat serta tahun 2010/2011 sebagai anggota Departemen Penelitian, Pengembangan, dan Keprofesian. Selain itu, penulis juga pernah menjadi Duta Lingkungan Hidup FPIK IPB tahun 2010. Prestasi bidang olahraga yang pernah diraihnya yaitu juara 1 Lomba Catur Pekan Olahraga dan Seni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Porikan) tahun 2010 dan juara 3 Lomba Catur Olimpiade Mahasiswa IPB tahun 2010. Beasiswa yang pernah diterima penulis saat menempuh pendidikan di IPB yaitu Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di jenjang sarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta”. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Tujuan ...................................................................................................... 5 1.3 Manfaat .................................................................................................... 5 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur ...... 8 2.2 Aturan Internasional ............................................................................... 11 2.2.1 IPOA-IUU fishing ..................................................................... 11 2.2.2 Port state measures ................................................................... 13 2.3 Hukum Indonesia .................................................................................. 19 2.3.1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ...... 19 2.3.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikat Hasil Tangkapan........... 20 2.3.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.12/MEN/2009 Jo. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan ..................... 21 2.3.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan ................................................................................... 22 2.3.5 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan ................................................................................... 24 2.4 Negara Pelabuhan .................................................................................. 25 2.5 Teknik Pengambilan Sampel ................................................................. 38 III METODOLOGI 3.1 3.2 3.3 3.3. Waktu dan Tempat ................................................................................. 31 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................................... 31 Metode Analisis Data ............................................................................. 33 Metode Pembahasan .............................................................................. 34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komparasi Port State Measures dengan Aturan Indonesia.................... 36 4.1.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan ....................... 52 4.1.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan .......................................... 53 4.1.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan ..................................................... 60 x 4.1.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil wawancara ........................................................................ 61 4.1.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan ...................................... 62 4.1.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa ................... 62 4.1.7 Penggunaan sistem informasi kode internasional ..................... 63 4.2 Kesiapan Pelaksanaan Hukum dan Peraturan Perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta ........................................................................ 67 4.2.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan ...................... 80 4.2.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan ......................................... 82 4.2.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan ..................................................... 88 4.2.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil wawancara ........................................................................ 89 4.2.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan ...................................... 90 4.2.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa ................... 91 4.2.7 Penggunaan sistem informasi kode internasional ..................... 92 V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan............................................................................................. 93 5.2 Saran .................................................................................................... 95 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 97 LAMPIRAN ....................................................................................................... 101 xi DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia menurut kelas tahun 2010 .............. 7 2 Produksi perikanan tangkap dunia menurut negara asal tahun 2004-2008 ....... 7 3 Data primer penelitian .................................................................................... 31 4 Data sekunder penelitian ................................................................................ 32 5 Komparasi port state measures dengan aturan Indonesia. .............................. 37 6 Batas-batas area PPS Nizam Zachman Jakarta ............................................... 67 7 Rekapitulasi data kegiatan kapal di PPS Nizam Zachman Jakarta ................ 69 8 Pelaksanaan butir port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta ........ 77 9 IOTC IUU vessel list Maret 2011 ................................................................... 85 10 WCPFC IUU vessel list tahun 2011 ............................................................... 86 xii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Prosedur kapal keluar pelabuhan .................................................................... 72 2 Prosedur kapal Indonesia masuk Pelabuhan ................................................... 75 xiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Draft Naskah Terjemahan ............................................................................ 102 2 Annex A Port State Measures ....................................................................... 124 3 Annex B Port State Measures ....................................................................... 125 4 Annex C Port State Measures ...................................................................... 127 5 Annex D Port State Measures ...................................................................... 129 6 Annex E Port State Measures ........................................................................ 130 xiv 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) fishing. Laporan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada tahun 2006 menyatakan bahwa menurut FAO (Food and Agriculture Organization) secara global diduga jumlah ikan yang didaratkan melalui praktik IUU fishing kira-kira tiga kali jumlah ikan yang didaratkan secara resmi (Nikijuluw, 2008). Laporan CCSBT (Commision for the Conservation of Southern Bluefin Tuna) mengungkapkan bahwa tuna yang didarakan di kawasan yang dikelolanya, sepertiga atau sekitar 4.000 ton ditangkap secara ilegal. Sedangkan IOTC (Indian Ocean Tuna Commision) menjelaskan pula bahwa 10% atau sekitar 14.000 ton tuna yang didaratkan pertahunnya diduga berasal dari proses produksi yang ilegal. Data dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mencatat lebih dari 100 negara berperkara dengan pencurian ikan (Fauzi, 2005). Asumsi yang disampaikan MRAG (Marine Resource Assessment Group) bahwa praktik IUU fishing berlangsung marak dan signifikan di tiga kawasan utama yaitu sub-Sahara Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan, serta Asia Tenggara. Isu IUU fishing yang terjadi di Indonesia contohnya, yaitu di Laut Arafura. Studi IUU fishing di daerah tersebut dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (PRPT DKP) bekerjasama dengan FAO pada tahun 2007-2008. Hasilnya menunjukkan bahwa pada periode tahun 2001-2005, penangkapan ikan secara ilegal adalah sekitar 1,258 juta ton setiap tahunnya. Jumlah ini terdiri dari 239,7 ribu ton ikan yang dibuang (by-catch); 364,4 ton hasil tangkapan yang tidak dilaporkan; dan 654,6 ribu ton ikan yang ditangkap secara ilegal (Nikijuluw, 2008). IUU fishing berdampak buruk dalam aspek ekonomi. Nikijuluw (2008) menambahkan bahwa dalam laporan lembaga The Environment Justice Foundation tahun 2005, mengemukakan biaya yang IUU fishing yang dibebankan ke negara-negara berkembang sekitar $2 miliar hingga $15 miliar (setara Rp 20 2 triliun hingga Rp 150 triliun) per tahunnya. Paragraf pertama menjelaskan bahwa menurut OECD, praktik IUU fishing mendaratkan ikan kira-kira tiga kali jumlah ikan yang didaratkan secara resmi. Nilai total ikan hasil tangkapan dunia secara resmi adalah $70 miliar per tahun, maka nilai praktik IUU fishing yaitu tiga kalinya ($210 miliar per tahun). Ancaman terhadap sumberdaya ikan dan terganggunya upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan juga merupakan dampak dari praktik IUU fishing. Perikanan ilegal (illegal fishing) dengan menggunakan teknologi penangkapan ikan yang maju dapat mengakibatkan terjadinya penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) di kawasan tertentu. Adapun praktik penangkapan ilegal dengan peralatan sederhana, umumnya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan bersifat destruktif seperti penggunaan bom, dinamit, racun, arus listrik, jaring dengan ukuran mata jaring yang kecil, dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan tidak saja kondisi sumberdaya ikan semakin berkurang tetapi juga disertai dengan rusaknya habitat sumberdaya ikan (Fauzi, 2005). Penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) atau dilaporkan dengan nilai yang tidak sesuai dengan kenyataan (umumnya lebih rendah) akan menyebabkan masalah dalam pemantauan pemanfaatan sumberdaya ikan. Perkiraan ketersediaan sumberdaya ikan akan salah dan mengganggu pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (Nikijuluw, 2008). FAO (2001) menjelaskan bahwa IUU fishing telah merusak upaya konservasi sumberdaya ikan dan manajemen stok ikan yang berkelanjutan. Ketika dunia dihadapkan dengan IUU fishing, situasi ini diperparah dengan terganggunya kehidupan secara sosial-ekonomi dan yang paling mengkhawatirkan adalah mengganggu ketahanan pangan secara global. IUU fishing dapat merusak dunia perikanan secara serius dan mengganggu rencana rebuild stocks terhadap sumberdaya ikan yang kini telah terjadi penurunan. Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa rencana aksi internasional (Internasional Plan of Action, IPOA) dalam mengatasi IUU fishing dikembangkan sebagai instrumen sukarela dalam rangka CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries) pada tahun 2000. Draft IPOA ini dibahas dalam forum konsultasi ahli di Sydney, Australia pada bulan Oktober 2000, diikuti dengan 3 Forum Konsultasi Teknis pada Februari 2001. IPOA-IUU fishing diadopsi pada sidang ke-24 Komite Perikanan FAO pada bulan Maret 2001 dan selanjutnya diterima secara resmi pada sidang ke-120 FAO Council pada 23 Juni 2001. FAO (2001) menjelaskan bahwa kegiatan CCRF secara keseluruhan difokuskan untuk menjaga keberlanjutan perikanan, mengatasi isu IUU fishing secara global yang amat serius dan mengalami peningkatan. Selain itu, kegiatan CCRF juga difokuskan pada kesepakatan internasional dalam IPOA-IUU (International Plan of Action to Illegal Unreported and Unregulated) Fishing yang mengupayakan untuk dilakukannya pencegahan, penghalangan, dan penghapusan IUU fishing. Dokumen IPOA-IUU fishing menerangkan adanya peran negara pelabuhan (port state) sebagai kontrol yang sangat relevan untuk konservasi dan pengelolaan ikan dengan menargetkan standar dari kapal penangkap ikan, agar tetap menjadi armada penangkapan yang sesuai dengan tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan berkelanjutan. FAO mengeluarkan suatu instrumen yang memposisikan negara pelabuhan dalam pencegahan praktik IUU fishing yaitu melalui instrumen port state measures (PSM). PSM dinilai sebagai suatu langkah yang efektif dalam menghadapi praktik IUU fishing dan hemat dalam segi ekonominya. Nilai lebih yang dapat dirasakan melalui PSM ini, yaitu dapat dilakukan pencegahan masuknya hasil tangkapan dari IUU fishing ke dalam perdagangan internasional dan pencegahan pelanggaran serius lainnya melalui pelabuhan dengan penargetan standar kapal penangkap ikan agar sesuai dengan konservasi dan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (FAO, 2008). Secara geografis posisi Indonesia sangat strategis, yaitu terletak di antara dua benua (Benua Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Pasifik dan Samudera Hindia). Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) menjelaskan bahwa Indonesia memiliki luas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 2.981.211 km2. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menjelaskan bahwa jumlah Pelabuhan Perikanan (PP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Indonesia sampai tahun 2010 (Tabel 1) adalah 968 pelabuhan dengan tingkat produksi perikanan tangkap terbesar ketiga di dunia pada tahun 2004 hingga tahun 2008 (Tabel 2). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 4 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menjabarkan bahwa pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan untuk tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan bongkar muat ikan yang di lengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Dasar hukum yang berlaku di Indonesia dalam menaungi dunia perikanan nasional yaitu antara lain Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan, dan beberapa aturan lainnya. Dari keseluruhan dasar hukum perikanan tersebut, perlu pengkajian terkait apakah dasar hukum tersebut sudah cukup mampu untuk memposisikan Indonesia sebagai negara pelabuhan dalam penanggulangan praktik IUU fishing. Selama ini Indonesia masih menggunakan dasar hukum yang disebutkan di atas dan ditambah dengan dasar hukum Indonesia lainnya serta kesepakatan kerjasama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional. Kedua aturan tersebut, baik internasional maupun nasional perlu dilihat kesesuaian dan korelasi aturannya, untuk menegaskan peran negara pelabuhan (port state) terhadap praktik IUU fishing. Perlu suatu penelitian yang menjawab apakah aturan (regulasi) yang sudah ada di Indonesia telah cukup mengacu dengan instrumen port state measures dan bagaimana pula persiapan Indonesia ke arah ratifikasi serta adopsi terhadap instrumen tersebut. Komparasi dan aplikasi pelaksanaan yang telah ada di Indonesia tersebut akan memperlihatkan gambaran kesiapan Indonesia dalam menghadapi praktik IUU fishing. PPS Nizam Zachman Jakarta 5 merupakan salah satu dari lima pilot project pelabuhan perikanan untuk penerapan PSM. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta merupakan salah satu dari enam PPS yang ada di Indonesia. Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, menjelaskan bahwa Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) merupakan klasifikasi pelabuhan perikanan yang melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas. PPS Nizam Zachman Jakarta memiliki letak yang strategis, yaitu berlokasi di wilayah ibukota Negara Indonesia, di Muara Baru (Teluk Jakarta), Jakarta Utara. Lubis, dkk (2010) menjelaskan bahwa berdasarkan kategorinya, kapal yang bongkar muat pada pelabuhan perikanan kategori PPS adalah kapal ukuran besar yaitu sekurangkurangnya 60 GT (Gross Tonnage) dan mampu menampung sekurang-kurangnya 100 kapal atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 6000 GT kapal perikanan sekaligus. Oleh karena itu, PPS Nizam Zachman Jakarta dapat dipilih sebagai lokasi studi kasus untuk analisis kesiapan penerapan port state measures di Indonesia dengan pertimbangan kapasitas pelayanan, posisi yang strategis, dan merupakan salah satu pilot project pelabuhan perikanan untuk penerapan PSM. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesiapan Indonesia dalam menerapkan kebijakan pengaturan port state measures untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas praktik IUU fishing. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan melakukan studi kasus di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini yaitu : 1. Mengidentifikasi kesiapan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta dalam mengadopsi port state measures; 6 2. Menyampaikan rekomendasi strategi Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta dalam mengadopsi dan melaksanakan port state measures; dan 3. Menyampaikan hasil pembelajaran studi kasus di PPS Nizam Zachman sebagai masukan dalam penyempurnaan persiapan adopsi port state measures di Indonesia. 7 Tabel 1 Jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia menurut kelas tahun 2010 No. Kelas –Class Jumlah-Total 1. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) - Oceanic Fishing Port 2. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) – Archipelagic Fsihing Port 3. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) – Coastal Fishing Port 4. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) – Fish Landing Place 5. Pelabuhan Perikanan Swasta Satuan : unit Sumber : KKP 2010 JumlahTotal 968 6 13 47 900 2 Tabel 2 Produksi perikanan tangkap dunia menurut negara asal tahun 2004-2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. NegaraCountry Jumlah – Total China Peru Indonesia USA Japan India Chile Russian Federation Philippines Thailand Lainnya Satuan Sumber Tahun-Year 2004 2005 2006 2007 2008 92,369,917 92,056,682 89,712,133 89,898,882 89,740,919 Kenaikan Rata-rata (%) – Increasing Average (%) 2004- 20072008 2008 -0,71 -0,81 14,464,803 9,604,527 4,653,888 4,959,826 4,315,734 3,391,009 4,926,741 2,941,551 14,588,940 9,388,488 4,709,074 4,892,967 4,389,206 3,691,362 4,328,732 3,197,564 14,631,018 7,017,491 4,823,587 4,852,283 4,344,513 3,844,837 4,160,848 3,284,285 14,659,036 7,210,544 4,936,629 4,767,596 4,211,201 3,953,476 3,806,085 3,454,214 14,791,163 7,362,907 4,957,098 4,349,853 4,248,697 4,104,877 3,554,814 3,383,724 0,56 -5,66 1,59 -3,17 -0,37 4,92 -7,79 3,64 0,90 2,11 0,41 -8,7 0,89 3,83 -6,60 -2,04 2,211,245 2,839,612 38,060,999 2,269,668 2,814,295 37,786,386 2,318,981 2,689,803 37,735,487 2,499,634 2,468,784 37,931,683 2,561,192 2,457,184 37,969,410 3,77 -3,50 -0,06 2,46 0,47 0,10 : ton : Yearbook, FAO November 2010 dalam KKP 2010 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur Praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur saat ini telah menjadi perhatian dunia. Beberapa terminologi yang digunakan FAO (Food and Agriculture Organization) untuk praktik tersebut, yaitu perikanan illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) yang kemudian disebut IUU fishing. Definisi IUU fishing secara internasional, menurut alenia 3.1, 3.2, dan 3.3 IPOA-IUU fishing dalam Darmawan (2006) dibedakan tiap terminologi. Terminologi yang pertama yaitu illegal fishing atau penangkapan ikan secara tidak sah, mengacu pada beberapa tindakan yaitu: 1. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal nasional atau kapal asing di perairan yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara yang memiliki yurisdiksi atau bertentangan dengan hukum dan peraturan negara tersebut; 2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan oleh RFMO tersebut ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku lainnya yang relevan; atau 3. Tindakan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau kewajiban internasional, termasuk yang diambil oleh negaranegara yang menyatakan bekerjasama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional terkait atau RFMO. Terminologi unreported fishing atau kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, dapat didefinisikan sebagai berikut : 1. Tindakan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, atau melaporkan dengan data yang salah pada institusi nasional relevan, yang bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut; atau 2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan dikawasan kewenangan RFMO tertentu, yang tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan RFMO tersebut. 9 Sedangkan terminologi unregulated fishing atau penangkapan ikan yang tidak diatur, dapat didefinisikan sebagai berikut : 1. Tindakan penangkapan ikan di kawasan kewenangan RFMO yang dilakukan oleh kapal tanpa identitas kebangsaan atau oleh kapal berbendera negara yang bukan merupakan anggota RFMO tersebut atau oleh suatu entitas (negara yang belum diakui Perhimpunan Bangsa Bangsa) perikanan, dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan RFMO tersebut; atau 2. Tindakan penangkapan ikan di suatu area atau terhadap stok ikan yang tidak diatur pengelolaan dan konservasinya, yang bertentangan dengan tanggung jawab negara (bendera) terhadap ketentuan hukum internasioanl mengenai konsevasi sumberdaya hayati laut. Modus praktik IUU fishing yang umumnya terjadi di perairan Indonesia (DKP, 2002 dalam Latar, 2004) antara lain dikategorikan dalam 4 (empat) golongan, meliputi: 1. Kapal Ikan Asing (KIA), kapal murni berbendera asing melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia; 2. Kapal ikan berbendera Indonesia eks kapal asing banyak memalsukan dokumen; 3. Kapal Ikan Indonesia (KII) dengan dokumen palsu yang didapat dari pihak yang tidak berwenang mengeluarkan ijin; atau 4. Kapal Ikan Indonesia (KII) tanpa dokumen sama sekali (tanpa ijin). Aturan Indonesia yang menjadi regulasi perikanan adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 ini mengatur pokok-pokok pembangunan perikanan terkait penataan, pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, pengolahan, dan pemasaran sumberdaya perikanan. Pemberdayaan nelayan, perbuatan pidana dan sanksi atasnya, tercantum pula di dalamnya. Namun masih terdapat aturan turunan lain yang menunjang secara detil pola aturan yang berlaku. Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa perbuatan pidana pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kejahatan perikanan dan pelanggaran 10 perikanan. Pidana kejahatan serta hukuman dan dendanya tersebut, dapat terjadi dikarenakan sebagai berikut : 1. Penggunaan metode dan teknologi produksi yang destruktif. Hukuman terlama 10 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar; 2. Penggunaan teknologi produksi yang menyimpang dari ketentuan. Hukuman terlama 5 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar ; 3. Kejahatan dalam hal perijinan usaha dan ijin penangkapan ikan. Denda dan hukumannya tergantung dari jenis perijinan yang dilanggar; 4. Kejahatan dalam hal pengangkutan ikan. Hukuman terlama 5 tahun dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar; 5. Perusakan lingkungan perikanan. Hukuman terlama 10 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar; 6. Kejahatan yang berkaitan dengan karantina ikan. Hukuman terlama 6 tahun dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar; dan 7. Kejahatan yang berkaitan dengan kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan. Hukuman terlama 6 tahun dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar. Nikijuluw (2008) juga menjelaskan mengenai aturan dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 untuk pidana pelanggaran dapat terjadi disebabkan oleh: 1. Membangun, mengimpor, dan memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan menteri. Hukuman maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 600 juta; 2. Pengoperasian kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia tanpa kapal tersebut didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia. Hukuman maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 800 juta; 3. Mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang tidak memiliki ijin penangkapan ikan, tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka, atau menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan ijinnya. Hukuman pidana denda maksimal Rp 500 juta; 4. Melakukan penangkapan ikan tanpa ijin berlayar dari syahbandar; 5. Melakukan penelitian perikanan tanpa ijin pemerintah; dan/atau 11 6. Pelanggaran dalam hal jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan serta alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan musim penangkapan ikan; ukuran berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap (total allowable catch); serta sistem pemantauan kapal perikanan. Tindakan pidana kejahatan dan pidana pelanggaran telah diatur denda dan hukumannya secara variatif, tergantung dari jenis kejahatan dan pelanggarannya. Ketentuan tersebut dituangkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, sehingga dalam pelaksanaannya dapat diklasifikasikan antara bentuk kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan hukuman serta denda apa yang harus dikenakan terhadap pelaku praktik kejahatan atau pelanggaran tersebut. Kapasitas pengawasan dan penengakan aturan ini harus jelas dan tegas di lapangan. Sinergitas para aparatur penegak hukum dan pihak terkait harus adil untuk menegakkan aturan yang telah tercantum dalam undang-undang. Semua ini diupayakan untuk menanggulangi dan mengurangi serta memberantas praktik IUU fishing di Indonesia. 2.2 Aturan Internasional 2.2.1 IPOA-IUU fishing Praktik IUU fishing yang kian marak diisukan, melatarbelakangi FAO Committee on Fisheries (COFI) mengadopsi Internasional Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter, and Eliminate IUU fishing pada tahun 2001. IPOA-IUU fishing merupakan sebuah instrumen hukum internasional yang diharapkan menjadi acuan negara-negara dalam memerangi IUU fishing. IPOA-IUU fishing menjelaskan tanggung jawab dan tindakan yang harus diambil oleh Negara Bendera, Negara Pantai, dan Negara Pelabuhan terkait dengan IUU fishing. Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa IUU fishing mendapatkan perhatian dalam World Summit tentang pembangunan berkelanjutan, di Johanesburg, Afrika Selatan pada September 2002. Keputusannya bahwa IPOA-IUU fishing harus dilaksanakan oleh negara-negara di dunia paling lama akhir tahun 2004. Peran pemerintah dalam suatu negara sangat penting dan dijelaskan dalam IPOA-IUU fishing yang dikeluarkan FAO. Upaya mencegah, menghalangi, dan memberantas praktik IUU fishing, harus dilaksanakan pemerintah dengan tetap memperhatikan 12 norma dan kaidah hukum laut internasional khususnya yang termuat dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982. Tujuan IPOA-IUU fishing adalah untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing dengan menyediakan suatu alat atau langkah yang komprehensif, transparan, dan efektif bagi semua negara dalam bertindak, termasuk melalui pengelolaan perikanan yang tepat sesuai dengan hukum internasional dan regional. FAO mengembangkan IPOA-IUU fishing melalui upaya koordinasi dengan negara-negara dunia, FAO, RFMO dan lembagalembaga internasional yang terkait seperti IMO (International Maritime Organization). IPOA-IUU fishing diupayakan membahas semua dampak ekonomi, sosial dan lingkungan. Akses pelabuhan bagi kapal asing di suatu pelabuhan atau dermaga lepas pantai untuk tujuan, antara lain meliputi pengisian bahan bakar, perbekalan, lintas pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya dan Konvensi PBB tahun 1982 serta hukum internasional lainnya yang relevan (FAO, 2001). IPOA-IUU fishing juga menjelaskan tindakan negara pelabuhan (port state measures) dalam penanggulangan praktik IUU fishing dengan dasar pengaturan terkait mekanismenya sebagai berikut1: 1. Pemberitahuan terlebih dahulu sebelum memasuki pelabuhan; 2. Penolakan untuk memasuki pelabuhan; 3. Mempublikasikan pelabuhan yang boleh dimasuki; 4. Pengumpulan data dan informasi; 5. Penyampaian pemberitahuan kepada negara bendera, negara pantai, dan RFMO tentang kegiatan IUU fishing; 6. Prosedur dan strategi port state control; 7. Integrasi pengaturan mengenai port state control; 8. Tindakan terhadap praktik IUU fishing oleh negara bukan anggota RFMO; dan 9. Kerjasama antar negara dan antar RFMO. 1 Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Draft Naskah penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing, Bogor, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 6 Desember 2011, hlm 23. 13 FAO (2001) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan aturan pemeriksaan, negara pelabuhan harus memeriksa kelengkapan informasi kapal dan hasil pemeriksaannya dikirimkan ke negara bendera dan, jika diperlukan termasuk organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Hal-hal yang diperiksa yaitu sebagai berikut: 1. Negara bendera dan rincian identifikasi kapal termasuk di dalamnya data pemilik kapal dan nahkoda kapal; 2. Nama, kewarganegaraan, dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan; 3. Alat penangkapan ikan; 4. Jumlah hasil tangkapan di atas kapal, termasuk asal, jenis, dan kondisi serta kuantitas; 5. Informasi lainnya yang diwajibkan oleh RFMO; dan 6. Total volume pendaratan hasil tangkapan dan transshipment. Nikijuluw (2008) menjelaskan beberapa kewajiban pemerintah menurut IPOA-IUU fishing adalah sebagai berikut: 1. Tidak mengijinkan kapal ikan negaranya menggunakan bendera negara asing yang tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab untuk memerangi IUU fishing; 2. Menyikapi dan mengambil tindakan yang sesuai dengan hukum laut internasional terhadap kapal ikan yang menangkap ikan secara IUU di laut lepas; 3. Menghindari memberikan bantuan ekonomi dan subsidi kepada perusahaan atau kapal yang terlibat IUU fishing, sesuai dengan hukum dan kebijakan nasionalnya; dan 4. Menetapkan sanksi yang berat bagi kapal pelaku IUU fishing secara transparan dan konsisiten. 2.2.2 Port state measures FAO megadopsi skema model FAO Port State Measures untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing (FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing) pada pertemuan komite perikanan FAO (Committee on Fisheries, COFI FAO) ke-26 14 tahun 2005. FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing memuat standar minimum aktivitas dan persyaratannya, seperti: 1. Informasi yang diperlukan saat memasuki pelabuhan; 2. Pedoman dan prosedur inspeksi atas kapal saat di pelabuhan; 3. Tindakan yang dapat diambil ketika pengawas menemukan bukti yang cukup bahwa kapal perikanan asing telah melakukan atau membantu melakukan praktik IUU fishing; 4. Program pelatihan untuk pengawas dari negara pelabuhan; dan 5. Sistem informasi mengenai pengawasan oleh negara pelabuhan. Keberadaan IPOA-IUU fishing maupun Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU fishing dirasa masih belum cukup menjadi instrumen hukum dalam menghadapi IUU fishing. Kondisi ini dikarenakan oleh sifat nonbinding dari IPOA-IUU fishing yang belum memiliki keseragaman standar dan sistem hukum serta kurang melibatkan partisipasi aktif dari negara pelabuhan dalam menghadapi IUU fishing. Selanjutnya, pada pertemuan pertemuan komite perikanan FAO ke-27 Maret 2007, negara-negara anggota FAO telah berhasil merumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing. Draft Agreement on Port State Measures (kemudian disebut PSM Agreement) tersebut, diharapkan menjadi suatu instrumen hukum internasional yang mengikat. PSM Agreement ditujukan untuk meningkatkan peran negara pelabuhan (port states) dalam mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. PSM Agreement mampu menciptakan sarana yang kuat dan ekonomis untuk memerangi IUU fishing2. Konferensi FAO ke-36 tanggal 22 November 2009, telah berhasil mengadopsi dokumen PSM Agreement tersebut. Sebanyak 106 negara dari 118 negara yang hadir, mendukung penerimaan resolusi terkait perjanjian ini, dua negara menolak dan 10 abstain. PSM Agreement telah ditandatangani sembilan negara yaitu Indonesia, Angola, Brazil, Chile, Uni Eropa, Islandia Norwegia, Samoa, Amerika Serikat, dan Uruguay. Pasal 26 PSM Ageement menjelaskan bahwa persetujuan tersebut harus segera diratifikasi, diterima, atau disetujui oleh pihak yang menandatangani perjanjian. PSM Ageement akan mulai berlaku 30 2 Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Ibid, hlm 3. 15 hari setelah tanggal depositori atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan, sesi oleh 25 negara. PSM Agreement terdiri atas 10 (sepuluh) Bagian dan 37 Pasal, yang memuat pengaturan mengenai penerapan ketentuan negara pelabuhan untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. Selanjutnya PSM Agreement juga memuat tentang hubungannya dengan instrumen internasional lainnya; integrasi dan koordinasi pada tingkat nasional; kerja sama dan pertukaran informasi dengan negara lain; prosedur pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dan penindaklanjutan terhadap kapal masuk ke pelabuhan; peran negara bendera; persyaratan bagi negara berkembang; penyelesaian sengketa; keberlakukan agreement bagi non-pihak; serta pemantauan, peninjauan ulang, dan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam PSM Agreement3. PSM Ageement menjelaskan suatu alat yang efektif memposisikan negara pelabuhan untuk melawan IUU fishing melalui posisinya sebagai tujuan dari kapal asing untuk masuk ke pelabuhan contohnya seperti larangan masuk pelabuhan, larangan pendaratan, larangan transshipment, dan penolakan jasa pelabuhan lainnya untuk kapal yang melakukan praktik IUU fishing. Selain itu negara pelabuhan dapat pula diposisikan sebagai pengawas langsung terhadap kapal dan sebagai penyelenggara aturan (Fabra et al., 2011). Lobach (2004) menjelaskan bahwa kontrol negara pelabuhan sangat relevan untuk konservasi dan pengelolaan perikanan. Negara pelabuhan harus menargetkan standar dari kapal yang dianggap mampu mendukung tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan. Kontrol negara pelabuhan pada sistem regional wilayah membutuhkan suatu prosedur umum untuk pemeriksaan, persyaratan kualifikasi bagi pemeriksa, dan konsekuensi yang disepakati untuk kapal penangkap ikan yang ditemukan tidak patuh aturan. Setiap pihak yang ingin mendapatkan akses pelabuhan harus meregistrasikan nelayan dan kapal yang terlibat. Selanjutnya diharuskan pula memberikan informasi tujuan masuk kapal, salinan otoritas hasil tangkapan, rincian perjalanan penangkapan, jumlah serta jenis hasil tangkapan. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui terlibat atau tidaknya suatu kapal dalam praktik IUU fishing. 3 Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Term of Reference, Surabaya, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 2011, hlm 1. 16 Pengaturan dalam PSM Agreement akan diadopsi pada level regional dan nasional. Pengadopsian di tingkat regional yaitu melalui Regional Plan of Actionm (RPOA) to promote responsible fishing practices including combating illegal, unreported and unregulated fishing, serta ketentuan yang dibuat oleh Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Beberapa RFMO yang telah mengadopsi prinsip-prinsip PSM Agreement yaitu The South East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO), The Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), The Commission for the Conservation of Antartic Living Marine Resources (CCAMLR), dan The International Commission for Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT). Implementasi PSM Ageement pada level nasional yaitu melalui peraturan perundang-undangan nasional negara peserta. Beberapa negara (meskipun belum menjadi pihak pada agreement tersebut) saat ini telah menerapkan pengaturan mengenai PSM Ageement dalam peraturan perundangundangan nasionalnya, seperti Kanada, Amerika, Islandia, dan Afrika Utara4. Indonesia saat ini telah menjadi anggota dari 2 (dua) RFMO, yaitu IOTC (diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission) dan CCSBT (diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna)5. FAO (2009) menjelaskan bahwa PSM Ageement diaplikasikan dengan tidak mengurangi hak, yurisdiksi, dan tugas nasional suatu negara, sehingga dalam pelaksanaannya akan diintegrasikan atau dikoordinasikan dengan sistem yang lebih luas dari kontrol negara pelabuhan. Negara anggota nantinya akan saling berkoordinasi dan bertukar informasi dengan FAO, organisasi internasional lain dan RFMO. FAO ataupun RFMO akan memberikan daftar kapal yang terlibat IUU fishing (IUU vessel list) untuk diantisipasi di negara pelabuhan. FAO (2009) menjelaskan aturan yang diberlakukan untuk masuk ke pelabuhan dicantumkan dalam tabel Annex A PSM Ageement (terlampir). Namun 4 Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Ibid, hlm 2. 5 Pembahasan Pending Issues Draft Agreement Port State Measures to Prevent, Deter, Eliminate IUU Fishing, Bahan Diskusi Terbatas, Jakarta, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 28 Juli 2009, hlm 1. 17 untuk pengecualian yaitu pada saat berbahaya, setiap kapal dapat diijinkan masuk pelabuhan untuk mendapatkan pertolongan dan bantuan. Selain itu, akan dilakukan pula pemeriksaan kapal sesuai dengan standar minimum ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Annex B PSM Ageement (terlampir). Pemeriksaan dilakukan terhadap semua dokumen terkait, semua ruang di kapal, dan semua peralatan di kapal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tetap menjamin bahwa kapal tidak akan mendapatkan gangguan, ancaman politik, dan penundaan yang akan berakibat pada penurunan mutu hasil tangkapan. Hasil pemeriksaan akan didokumentasikan sebagai laporan dengan ketentuan yang terdapat dalam tabel Annex C PSM Ageement (terlampir). Laporan ini akan dikirim kepada negara terkait (negara pantai dan negara bendera), RFMO, dan FAO serta organisasi internasional relevan lainnya dengan menggunakan sistem informasi sesuai aturan dalam Annex D dalam dokumen PSM Ageement (terlampir). Pengawas akan mendapatkan pelatihan dengan panduan yang terdapat dalam Annex E dalam dokumen PSM Ageement (terlampir). Selain itu, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan negara pelabuhan jika mendapati kapal dengan praktik IUU fishing yaitu dilaporkan pada negara bendera, negara pantai, RFMO, dan organisasi internasional lain atau ditolak masuk pelabuhan. Penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi dapat dilakukan dengan perundingan semua negara anggota; atau diajukan negoisasi, penyelidikan, mediasi, perdamaian, arbitration, penyelesaian hukum, ganti rugi (uang damai) dan cara damai lainnya; atau diserahkannya kepada pengadilan internasional. Dokumen PSM Ageement menerangkan adanya perlakuan khusus kepada negara berkembang yang merupakan negara anggota. Perlakuan tersebut yaitu meliputi pemberian bantuan seperti bantuan peningkatan kualitas sumberdaya manusia untuk peningkatan kesadaran dalam implementasi PSM Ageement, bantuan fasilitas pendukung dan fasilitas teknik, serta bantuan finansial terutama pada wilayah tertinggal dan pulau kecil. Dokumen PSM Ageement diterbitkan dengan 6 (enam) bahasa sebagai naskah otentik yaitu dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol (FAO, 2009). FAO (2009) menerangkan butir-butir yang diwajibkan kepada negara pelabuhan dalam dokumen PSM Ageement adalah sebagai berikut: 18 1. Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi); 2. Melakukan pemeriksaan yaitu: 1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan; 2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor identifikasi IMO); 3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda lainnya serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau RFMO; 4) pemeriksaan logbook; 5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan; 6) pemeriksaan daftar awak kapal; 3. Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan; 4. Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal; 5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh pengawas dan kapten kapal; 6. Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan 7. Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil tangkapan) seperti berikut. countries/territories: ISO-3166 3-alphaCountry Code species: FAO 3-alpha code vessel types: FAO alpha code gear types: FAO alpha code devices/attachments: FAO 3-alpha code ports: UN LO-code 19 2.3 Hukum Indonesia 2.3.1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menjelaskan bahwa Indonesia memiliki produksi perikanan tangkap 4.957.098 ton pada tahun 2008. Nilai ini adalah bukti yang nyata bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar dalam perikanan tangkap. Hal ini tergambar bahwa produksi perikanan tangkap tersebut merupakan terbesar ketiga di dunia (Tabel 2). Namun, nilai tersebut menuntut suatu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat berkelanjutan. Salah satunya dapat dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan pengelolaan perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada Pasal 5 ayat (2) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pengelolaan perikanan di luar wilayah perikanan Republik Indonesia, didasarkan pada peraturan perundangundangan, persyaratan, dan/standar internasional yang diterima secara umum. Hal ini menerangkan bahwa Indonesia sangat mendukung suatu kegiatan perikanan yang memperhatikan konservasi dan pengelolaannya. Sedangkan, pada Pasal 6 ayat (1) menjelaskan bahwa upaya pengelolaan perikanan tersebut dimaksudkan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Keikutsertaan pemerintah dalam keanggotaan lembaga atau organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional adalah langkah yang dijelaskan pada Pasal 10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 hadir sebagai antisipasi dan solusi yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern. Namun kemudian undang-undang tersebut dianggap perlu dilakukannya perubahan karena dirasa terdapat kekurangan dengan berjalannya waktu, sehingga ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 20 tentang Perikanan. Perubahan tersebut dilakukan untuk lebih meningkatkan regulasi dan kinerja dalam pelaksanaan undang-undang tersebut. Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, bahwa pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, memposisikan Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas yang dalam pelaksanaannya didasarkan pada persyaratan atau standar internasional yang berlaku, sehingga perlu dasar hukum untuk pengelolaan sumberdaya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dan teknologi. 2.3.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Nomor Indonesia sangat menentang dan berupaya untuk melawan praktik IUU fishing. Hal ini tergambar dari aturan Indonesia yang mengarah ke regulasi yang memperkecil kemungkinan terjadinya IUU fishing. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan adalah salah satu aturan Indonesia yang berupaya melawan praktik IUU fishing. Pasal 1 dalam keputusan menteri tersebut menjelaskan bahwa Sertifikat Hasil Tangkapan (Catch Certificate) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh kepala pelabuhan perikanan yang ditunjuk oleh yang menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari kegiatan IUU fishing. Batasan pemberlakuan atau penggunaan Sertifikat Hasil Tangkapan tersebut dijelaskan pada pasal 2 bahwa setiap produk perikanan laut yang merupakan hasil tangkapan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor baik langsung maupun tidak langsung ke Uni Eropa dilengkapi dengan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan. 21 2.3.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 Jo. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 1 menjelaskan pengertian beberapa surat ijin yaitu SIUP, SIPI, dan SIKPI. SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan) adalah ijin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam ijin tersebut. SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) adalah ijin tertulis setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan. SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) adalah ijin tertulis setiap kapal perikanan untuk melakukan pengumpulan dan pengangkutan ikan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, yaitu Pasal 46 menjelaskan tentang pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam mengurus SIPI atau SIKPI. Penerbitan perizinan kapal sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 pada Bab VII tentang kewenangan penerbitan perizinan yaitu SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI. Menteri dapat mendelegasikan penerbitan perizinan tersebut kepada Gubernur (untuk kapal berukuran di atas 10 GT (Gross Tonnage) sampai dengan 30 GT) dan Bupati atau Walikota (untuk kapal berukuran di atas 5 GT sampai dengan 10 GT) dengan pertimbangan aturan tertentu seperti penggunaan tenaga kerja di kapal baik asing atau kapal Indonesia, wilayah domisili, dan wilayah operasi penangkapannya. Selain itu, untuk kapal yang berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT diatur dalam Bab II Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2010. Pemberian kewenangan penerbitan SIPI dan SIKPI untuk kapal perikanan berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT kepada Gubernur (yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan), namun didasarkan pada Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Tata cara penerbitan perizinan usaha perikanan tangkap telah diatur pula pada Bab VIII Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008. 22 Pengawasan dan pengendaliannya di lapang, diatur Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 78 yaitu melalui sistem pemantauan, pengendalian, dan pemeriksaan lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI (Unit Penangkapan Ikan), dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Hal lainnya yang diwajibkan, seperti kewajiban kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera asing memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system atau VMS) serta mengisi logbook perikanan yang kemudian diserahkan Direktur Jenderal melalui kepala pelabuhan perikanan setempat atau pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI, diatur dalam pasal 88. mengeluarkan Peraturan terbarunya Menteri Kelautan dan Perikanan pada juni tahun 2011 yaitu PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap akan menggantikan PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Namun dalam waktu penelitian ini PER.14/MEN/2011 masih belum diberlakukan secara efektif karena mulai berlakunya yaitu setelah 6 (enam) bulan sejak tanggal pengundangan (6 Juni 2011). 2.3.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan menjelaskan bahwa setiap kapal perikanan milik orang atau badan hukum Indonesia yang dioperasikan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pendaftaran kapal perikanan adalah kegiatan pencatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku kapal perikanan. Buku kapal perikanan sekurang-kurangnya memuat informasi: 1) nama kapal; 2) nomor register; 3) tempat pembangunan kapal; 23 4) tipe kapal; 5) jenis alat tangkap; 6) tonnage; 7) panjang kapal; 8) lebar kapal; 9) kekuatan mesin; 10) foto kapal; 11) nama dan alamat pemilik; 12) nama pemilik sebelumnya; dan 13) perubahan-perubahan yang terjadi dalam buku kapal perikanan Penandaan kapal perikanan adalah kegiatan untuk memberi tanda atau notasi kapal perikanan. Kapal perikanan yang telah dilengkapi dengan buku kapal perikanan dan SIPI atau SIKPI diberi tanda pengenal kapal perikanan. Tanda pengenal kapal perikanan sebagaimana yang dimaksud meliputi: 1) tanda selar; 2) tanda daerah penangkapan ikan; 3) tanda jalur penangkapan ikan; dan/atau 4) tanda alat penangkapan ikan. Spesifikasi tanda tersebut disesuaikan dengan kondisi kapal dan lain hal sebagainya. Sedangkan untuk kapal yang beroperasi di wilayah organisasi pengelolaan perikanan regional atau RFMO akan diberikan tanda khusus yang diatur oleh organisasi pengelolaan perikanan regional atau RFMO tersebut. Hal ini diharapkan mampu untuk memberikan perbedaan antara kapal yang memang terdaftar secara legal di negara tertentu dengan kapal yang terindikasi melakukan praktik IUU fishing. Selain keseluruhan aturan yang telah disebutkan diatas, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang Penyelengaraan Sistem Pemantauan Kapal, juga merupakan aturan yang dapat mengontrol kapal perikanan untuk tidak melakukan praktik IUU fishing. 24 2.3.5 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan juga menjelaskan kewajiban kapal perikanan untuk memberikan laporan pada pihak pelabuhan. Hal ini tercantum dalam Bab V tentang pelaporan dalam Pasal 5. Adapun pada saat akan dimulai maupun setelah selesai melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan nahkoda atau pengurus kapal perikanan wajib melapor kedatangan dan/atau keberangkatannya kepada kepala pelabuhan perikanan atau petugas yang ditunjuk di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk: 1) pemeriksaan dokumen perijinan kapal perikanan; 2) pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan; 3) menerima formulir logbook Perikanan; 4) pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. 2) Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk: 1) pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut; 2) menyerahkan formulir log book Perikanan yang telah diisi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tersebut, telah jelas hal-hal apa saja yang harus dilaporkan oleh nahkoda atau pengurus kapal perikanan kepada pihak pelabuhan. Sanksi atas pelanggaran kewajiban tersebut, tercantum pula pada Bab VI Sanksi, Pasal 6 dengan sanksi terberat yaitu pembekuan atau pencabutan SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) atau SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengankut Ikan). Surat ijin dan 25 regulasi pelaporan masuk dan keluarnya kapal dari atau ke pelabuhan ini, merupakan langkah yang menjaga keberlanjutan perikanan dan melawan praktik Proses pelaporan masuk dan keluarnya kapal akan dilanjutkan IUU fishing. dengan pemeriksaan menyeluruh terkait ijin, kondisi, dan muatan kapal. Setiap data hasil tangkapan dari kegiatan penangkapan yang diperlukan untuk dipergunakan dalam pertimbangan keadaan potensi sumberdaya ikan ke depannya. Keseluruhan aturan nasional yang disebutkan diatas tersebut mengarahkan pada tindakan untuk mengatasi dan mengurangi praktik IUU fishing. Proses perijinan, pengawasan, pelaporan, dan pemeriksaan kapal di pelabuhan perikanan diharapakan dapat memperkecil kemungkinan akan berlangsungnya IUU fishing. 2.4 Negara Pelabuhan Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan (Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004). Pasal 7 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, menjelaskan fungsi pelabuhan perikanan yaitu salah satunya sebagai pelaksana pengawasan terhadap penangkapan, penanganan, pengolahan, pemasaran, dan mutu hasil perikanan. Negara pelabuhan adalah negara dalam kapasitasnya yang memiliki pelabuhan di wilayah teritorinya, memiliki hak untuk memutuskan aturan yang diberlakukan dalam pelabuhan tersebut. Darmawan (2006) menjelasakan bahwa terdapat 6 (enam) program atau kewajiban yang direkomendasikan oleh FAO kepada Indonesia dalam cakupan sebagai negara pelabuhan dan 4 (empat) diantaranya dianalisis telah dijalankan di Indonesia. Enam kewajiban tersebut adalah sebagai berikut (butir pertama sampai butir keempat adalah yang telah dijalankan): 26 1. Mewajibkan kapal ikan asing untuk menyediakan minimal pemberitahuan awal kedatangan ke pelabuhan yang cukup, salinan ijin penangkapan ikan, rincian operasi penangkapan yang dilakukan dan jumlah hasil tangkapan di kapal; 2. Mewajibkan kapal jenis lain tetap terkait dengan usaha penangkapan untuk menyediakan laporan yang sama; 3. Memberikan akses hanya pada pelabuhan yang memiliki kapabilitas untuk melakukan inspeksi dan mengumpulkan data berikut yaitu : 1) identifikasi kapal dan asal negara, 2) nama, kebangsaan dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan ikan, 3) alat tangkap yang digunakan, 4) jumlah hasil tangkapan, asal, spesies dan bentuk produk, 5) total penangkapan dan yang telah dipindahkan ke kapal lain; 4. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di wilayah perairannya; 5. Bila terdapat kecurigaan terhadap kapal yang dimaksud, maka: 1) melarang kapal untuk merapat atau memindahkan hasil tangkapannya, 2) segera mengirim laporan pada negara asal kapal, 3) segera mengirim laporan pada negara dimana kapal tersebut melakukan pelangaran; 6. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di luar yurisdiksi dengan persetujuan negara asal (pemberi bendera). Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa pelaku praktik IUU fishing akan mendaratkan hasil tangkapannya di suatu pelabuhan. Suatu negara pelabuhan memiliki wewenang untuk memberikan ijin akses pelabuhan oleh suatu kapal di wilayah yurisdiksinya. Suatu negara pelabuhan mampu membatasi dan mengatur penggunaan pelabuhannya untuk mengatasi praktik IUU fishing. Setiap negara memiliki otoritas penuh atas pelabuhannya. Pemerintah atau pihak negara pelabuhan memiliki beberapa kewajiban dalam memanfaatkan pelabuhan perikanannya, yaitu : 1. Mencegah masuknya kapal asing ke pelabuhan terkecuali dalam situasi yang darurat; 27 2. Melarang kapal asing mendaratkan atau melakukan transshipment hasil tangkapan di pelabuhannya; 3. Mewajibkan kapal yang ingin berlabuh untuk menyiapkan informasi tentang identitas dan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan; 4. Melakukan inspeksi kapal di pelabuhan; dan 5. Mewajibkan kapal melengkapi salinan surat ijin penangkapan ikan, uraian rinci tentang trip, dan volume ikan yang akan didaratkan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam Pasal 41 menjelaskan bahwa pelabuhan perikanan merupakan tempat mendaratkan ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan maupun kapal pengangkut ikan. Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara pelabuhan yang memiliki akses pelabuhan perikanan. FAO (2001) menjelaskan, akses pelabuhan dapat diartikan sebagai ijin masuknya kapal penangkap ikan asing kepelabuhan atau dermaga lepas pantai untuk tujuan, antara lain pengisian bahan bakar, perbekalan, lintas pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya dan Konvensi PBB tahun 1982 serta hukum internasional lainnya yang relevan. Analisis Darmawan dilakukan sebelum hadirnya dokumen PSM Ageement (tahun 2009) yaitu pada tahun 2006. Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing hadir baru pada tahun 2007, sedangkan PSM Ageement di adopsi pada tahun 2009 oleh FAO. Namun sebelumnya peran negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing telah dimuat dalam dokumen IPOA-IUU fishing tahun 2000. Hal yang sama terkait peran negara pelabuhan juga pernah dijelaskan oleh Nikijuluw pada tahun 2008. Kesemuaan penjabaran tersebut, tidak begitu mengalami perbedaan yang nyata dalam kurun waktu pembahasannya. Hanya saja terdapat pengembangan secara mendetail pada beberapa poin pada peran negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing tersebut. Kehadiran PSM Ageement tentu sangat mendetail untuk setiap kewajiban negara pelabuhan. Pengesahan PSM Ageement merupakan upaya untuk melindungi kekayaan laut dari penjarahan nelayan asing dan sekaligus melengkapi penguatan rezim nasional (khususnya hukum laut dan perikanan). Setiap pihak atau negara 28 anggota nantinya wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan yang memungkinkan masuknya kapal perikanan ke pelabuhan. Daftar pelabuhan yang ditunjuk tersebut, diserahkan kepada FAO untuk dipublikasikan. Negara pelabuhan adalah pelaku pemeriksaan terhadap kapal di pelabuhannya. Setelah melakukan pemeriksaan, negara pelabuhan memiliki kuasa untuk menolak masuk dan menolak penggunaan pelabuhan bagi kapal yang terlibat IUU fishing. Hal ini harus diberitahukan kepada Negara Bendera (apabila perlu negara pantai, RFMO, dan organisasi lainnya). Negara pelabuhan harus (jika memungkinkan) membangun mekanisme komunikasi elektronik secara langsung dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan6. 2.5 Teknik Pengambilan Sampel Sampel adalah suatu contoh yang merupakan himpunan bagian dari populasi. Suatu penelitian akan memiliki keterbatasan untuk dapat menampung semua anggota populasi, sehingga diperlukan pengambilan sampel yang dapat mewakili populasi tersebut. Gulo (2000) menjelaskan bahwa teknik pengambilan sampel dibagi atas dua kelompok besar yaitu probability sampling dan nonprobability sampling. Probability sampling (random sample) adalah pengambilan sampel yang tidak didasarkan pada pertimbangan pribadi tetapi tergantung kepada aplikasi kemungkinan. Derajat keterwakilannya dapat diperhitungkan pada peluang tertentu. Sampel yang diperoleh dapat dipergunakan untuk melakukan generalisasi terhadap populasi. Beberapa cara yang tergolong dalam probability sampling yaitu simple random samplimg, stratified random sampling, cluster random sampling, dan multistage random sampling. Random sampling memberikan peluang yang sama besar terhadap setiap anggota populasi untuk dapat diambil sebagai sampel. Nonprobability sampling (non-random sample) adalah suatu teknik pengambilan sampel yang dapat dilakukan apabila tidak dibutuhkan generalisasi dan penelitian perlu dilakukan secara cepat (Abadi, 2006). menambahkan bahwa nonprobability sampling Eriyanto (2007) cenderung subjektivitas peneliti yang sesuai dengan subjektivitas peneliti. 6 menghasilkan Pihak yang Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 8-10. 29 diwawancarai bukan sampel yang terpilih lewat prinsip hukum probabilitas, melainkan karena alasan-alasan subjektivitas. Teknik nonprobability sampling (non-random sample) dibagi ke dalam beberapa metode sebagai berikut: 1. Convenience Convenience adalah teknik penarikan sampel yang dilakukan tanpa mekanisme tertentu (sembarang). Penarikan sampel tidak membebani berapa dan siapa sampelnya. Kelebihan teknik ini adalah dapat dilakukan dengan waktu yang cepat dan biaya yang murah, namun kelemahannya yaitu di sisi metodologi yaitu berkemungkinan terjadi penumpukan disuatu titik. sangat berkemungkinan untuk bias, karena Sampel yang ditemukan ada kemungkinan peneliti mendapatkan respon yang sangat tidak mencerminkan karakteristik populasi. Hal ini terjadi karena teknik ini terlalu praktis dan tanpa prosedur. Sampel ini sebaiknya digunakan dalam keadaan tertentu seperti: 1) keperluan penjajakan (penjaringan pendapat) yang hanya merupakan bahan rancangan pembuatan kuisioner untuk studi lain; 2) keperluan deskripsi yang hanya untuk merumuskan pendapat masyarakat untuk membuat suatu kesimpulan; dan 3) situasi yang tidak tersedia kerangka sampel yang memadai atau tidak ada infomasi yang cukup mengenai populasi yang diteliti. 2. Quota (kuota) Teknik quota adalah perbaikan dari teknik Convenience. Teknik kuota memberikan batasan kriteria dan jumlah sampel yang akan diambil. Terdapat dua langkah penarikan sampel kuota. Langkah pertama, membuat kategori dan jumlah pihak yang akan menjadi sampel yang dituangkan ke dalam matriks. Hal inilah yang menjadi dasar pemilihan responden. Sampel kuota mirip gabungan antara sampel stratifikasi (Stratified sampling) dan sampel sembarangan (Convenience sampling). Peneliti membuat pengelompokan agar sesuai dengan stratifikasi dalam populasi, namun pemilihan sampe dapat dipilih siapapun asal sesuai dengan karakteristik yang ditentukan. Proses penting dari sampel ini adalah saat menentukan kategori dan jumlah orang dalam masing-masing kategori. Penentuan kategori ini sebisa mungkin ditunjang dengan riset kepustakaan agar kategori yang dibuat sesuai dengan kategori populasi. 30 3. Purposive Sampel purposive dilakukan melalui pemilihan sampel dengan pertimbangan tertentu dari peneliti yang secara sengaja namun dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Populasi sampel dianggap memiliki karakter yang homogen. 4. Snowball Sampel snowball yaitu sesuai dengan definisi kata ‘snowball’ artinya mengelinding dengan bulatan kecil dan terus-menerus hingga menjadi besar. Dalam perkembangannya jumlah orang yag dijadikan sampel akan terus berkembang sampai jumlah terpenuhi. Teknik sampel ini dipakai pada kondisi survei yang sangat spesifik, tidak ada kerangka sampel, dan tidak ada informasi yang digunakan untuk mendata populasi. Asumsinya bahwa anggota dari populasi saling berhubungan dan berjaringan. Penentuan beberap sampel akan secara langsung dapat menentukan sampel berikutnya. 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dengan judul “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta” dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Januari 2012 di PPS Nizam Zachman Jakarta dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia. Penelitian ini bersifat studi kasus dengan lokasi kasus di PPS Nizam Zachman Jakarta. Penelitian diarahkan untuk melihat kesiapan PPS Nizam Zachman Jakarta terhadap rencana Indonesia dalam meratifikasi dokumen port state measure agreement. Kesiapan ini menitikberatkan pada teknis inspeksi yang dilakukan oleh negara pelabuhan dalam mencegah, menghalangi, dan memberantas praktik IUU fishing. Kesiapan ini dilihat melalui butir-butir yang telah dirangkum dari dokumen port state measure agreement (kemudian disebut PSM Agreement). 3.2 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian kali ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Berikut disajikan data primer dan data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini. Tabel 3 Data primer penelitian No. 1. Data Kesesuaian kewajiban negara pelabuhan mengacu dari dokumen port state measure agreement terhadap adopsi aturan nasional Sumber data Cara pengumpulan Referensi pustaka Referensi Dokumen internasional dan aturan hukum Indonesia Kepala pelabuhan, Wawancara kepala syahbandar dan pengawas perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan Cara pengolahan Daftar periksa (check list) dan analisis deskriptif 32 Tabel 3 Data primer penelitian (lanjutan) No. 2. Data Kesesuaian kewajiban negara pelabuhan mengacu dari dokumen port state measure agreement di PPS Nizam Zachman Jakarta Sumber data Cara pengumpulan Kepala Wawancara pelabuhan, kepala syahbandar dan pengawas perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta Cara pengolahan Daftar periksa (check list) dan analisis deskriptif Tabel 4 Data sekunder penelitian No. 1. Data Data IUU Vessel list Sumber data Situs resmi RFMO terkait Cara pengumpulan Referensi dokumen Cara pengolahan Analisis deskriptif Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Tujuan penelitian melalui studi pustaka atau kepustakaan adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertianpengertian pokok dalam hukum seperti subjek hukum, objek hukum, peristiwa hukum, hubungan hukum dan lain-lain (Amalia dan Putri, 2008). Studi kepustakaan ini ditelusuri melalui sumber buku, artikel jurnal, hasil seminar atau workshop, dan beberapa kajian pemerintah yang terkait dengan port state mesures dan IUU fishing. Selain itu identifikasi tersebut juga dapat diperkuat melalui pengamatan (observasi) dan wawancara (interview). Wawancara dilakukan pada sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Penelitian ini menjelaskan suatu regulasi hukum internasional yang ada pada dokumen port state measure agreement dalam mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. Penelitian ini juga menguraikan regulasi yang ada di Indonesia sebagai suatu hubungan yang menggambarkan kesiapan Indonesia dalam rencana ratifikasi dokumen tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif. Absah (2007) menjelaskan bahwa penelitian eksploratif adalah jenis penelitian yang berusaha mencari ide-ide atau hubunganhubungan yang baru, sedangkan penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan menguraikan sifat-sifat atau karakteristik dari suatu fenomena tertentu. Abadi (2006) menjelaskan bahwa penelitian eksploratif dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dan penjelasan awal tentang suatu fenomena 33 secara kualitatif. Pemahaman dan penjelasan suatu fenomena secara kualitatif tersebut, dapat didukung dengan teknik pengambilan sampel melalui non-random sample. Non-random sample (nonprobability sampling) adalah suatu teknik pengambilan sampel yang dapat dilakukan apabila tidak dibutuhkan generalisasi dan penelitian perlu dilakukan secara cepat. Non-random sample memiliki unsur populasi yang dipilih atas dasar ketersediannya atau karena menurut penilaian peneliti sampel tersebut cukup mewakili populasi, sesuai tuntutan penelitiannya. Penelitian ini memilih sampel yaitu pada instansi atau pihak tertentu yang merupakan pelaku intinya. Pelaku inti ini mampu mewakili populasi dan sesuai dengan tuntutan penelitian sebagai pelaku dunia perikanan. Pelaku tersebut antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu Direkorat Jenderal Perikanan Tangkap (Direktorat Pelabuhan Perikanan dan Direktorat Sumberdaya Ikan), Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, serta Biro Hukum dan Organisasi. Sedangkan pelaku inti di PPS Nizam Zachman Jakarta yaitu Kepala PPS Nizam Zachman Jakarta, Kepala Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta, Pengawas Perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta, dan beberapa pihak lainnya. Pelaku inti tersebut mempunyai karakteristik kunci yang memungkinkan untuk dikaji dan diambil berdasarkan pertimbangan yang bersifat ilmiah. Sampel acak (random sample) tidak diperlukan jika peneliti ingin menjelaskan kondisi-kondisi yang khusus dengan pendekatan eksploratif (Losh 2000 dalam Abadi, 2006). adalah purposive sampling. Teknik non-random sample dalam penelitian ini Purposive sampling akan memilih sampel berdasarkan pada kondisi khusus yang dianggap mampu mengindikasikan karakter populasi atau dengan kata lain populasi tersebut bersifat homogen (sama). Kesamaan dalam penelitian ini diasumsikan bahwa pemahaman suatu aturan atau regulasi hukum adalah sama dalam lingkup suatu instansi negara, sehingga hanya cukup diwakili oleh beberapa pihak saja (pelaku inti). Data yang diperoleh akan diolah melalui daftar periksa (check list) dan analisis deskriptif. 34 3.3 Metode Analisis Data Penelitian “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta” menggunakan analisis deskriptif terhadap data yang diperoleh. Analisis deskriptif dalam penelitian ini dilakukan dengan alat analisis yaitu yuridis komparatif. Lambang (2009) menjelaskan bahwa yuridis komparatif adalah pendekatan berdasarkan pertimbangan atau perbandingan hukum. Penggunaan pendekatan yuridis komparatif erat kaitannya dari usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Data berupa informasi hukum akan dianalisis dengan membandingkan butir demi butir atau pasal demi pasal ketentuan yang terkait parameter dalam port state measures dengan hukum Indonesia. Kemudian dilakukan pula analisis atas perbandingan tersebut dengan pelaksanaannya di PPS Nizam Zachman Jakarta. 3.4 Metode Pembahasan Data yang diperoleh dan telah dianalisis akan dibahas secara deskriptif. Hal ini diharapkan dapat menjawab dari tujuan dilaksanakannnya penelitian ini, yaitu menganalisis kesiapan hukum Indonesia dalam menerapkan kebijakan port state measure agreement (PSM Agreement) untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas praktik IUU fishing. Selain itu, kesiapan PPS Nizam Zachman Jakarta dapat ditentukan melalui analisis berbagai butir kewajiban negara pelabuhan yang disyaratkan dalam suatu port state measure agreement pada pelaksanaannya di lapang. Analisis ini akan memberikan penjelasan dan mengoreksi pelaksanaan yang telah ada serta memberikan rekomendasi perbaikan atau peningkatan kinerja ke arah yang lebih baik lagi. Butir-butir yang diwajibkan, menurut FAO (2009) kepada negara pelabuhan yaitu sebagai berikut: 1. Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi); 2. Melakukan pemeriksaan yaitu: 1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan; 35 2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor identifikasi IMO); 3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda lainnya serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau RFMO; 4) pemeriksaan logbook; 5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan; dan 6) pemeriksaan daftar awak kapal; 3. Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan; 4. Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal; 5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh pengawas dan kapten kapal; 6. Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan 7. Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil tangkapan), seperti berikut. countries/territories: ISO-3166 3-alphaCountry Code species: FAO 3-alpha code vessel types: FAO alpha code gear types: FAO alpha code devices/attachments: FAO 3-alpha code ports: UN LO-code 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komparasi Port State Measures dengan Aturan Indonesia Indonesia telah memiliki aturan hukum dalam mengatur kegiatan perikanan, pelabuhan perikanan, dan hal lain terkait perikanan yaitu meliputi: Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Unit Perikanan Tangkap dan perubahannya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan, dan lain sebagainya merupakan aturan yang dianut Indonesia. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, sebenarnya butir-butir yang terkandung di dalam aturan hukum Indonesia telah mengarah pada langkah melawan dan mengantisipasi praktik IUU fishing. FAO telah berhasil merumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing. Draft Agreement on Port State Measures (kemudian disebut PSM Agreement) diharapkan menjadi suatu instrumen hukum internasional yang ditujukan untuk meningkatkan peran negara pelabuhan (port states) dalam mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. Butir-butir yang ada dalam hukum Indonesia telah jelas mengarah ke aturan PSM Agreement tanpa melalui suatu proses adopsi. Berikut tabel komparasi butir-butir dalam PSM Agreement terhadap regulasi perikanan Indonesia dan penjabarannya atas akan dijelaskan pada Sub-sub Bab selanjutnya (Sub-sub Bab 4.1.1 sampai Sub-sub Bab 4.1.6) Melakukan pemeriksaan: a. Pemeriksaan dokumen UU No.45 Tahun 2009 perijinanan atau otoritas penangkapan 2. Peraturan perundangundangan*) Kegiatan perikanan harus UU No.31 Tahun 2004 menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan SDI (kegiatan pengelolaan dan konservasi) Permen KP No. PER.14/ MEN/2011 Butir dalam Port State Measure 1. No. Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia Pasal 66C “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, pengawas perikanan berwenang: a. memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha perikanan; b. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan; c. memeriksa kegiatan usaha perikanan; d. memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan perikanan; e. memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI; f. mendokumentasikan hasil pemeriksaan; g. mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk keperluan pengujian laboratorium; h. memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal perikanan; i. menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dana menangkap kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan tindak pidana Pasal 44 Direktur Jenderal, gubernur, bupati/walikota dalam memberikan persetujuan pengadaan kapal wajib mempertimbangkan ketersediaan dan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya, serta kapasitas produksi UPI bagi usaha perikanan tangkap terpadu. Pasal 6 ayat (1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjamin kelestarian sumber daya ikan. Aturan Indonesia Keterangan*) 37 No. Butir dalam Port State Measure Kepmen KP No.KEP.11/MEN/2004 Peraturan perundangundangan*) Aturan Indonesia Keterangan*) Pasal 5 Pada saat akan dimulai maupun setelah selesai melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, nahkoda atau pengurus kapal wajib melaporkan kedatangan dan/atau keberangkatan kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat/singgah sebagaimana tercantum dalam SPI atau SIKPI dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkpaan dan/atau pengangkutan ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk: 1. Pemeriksaan dokumen perizinan kapal perikanan; 2. Pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan; 3. Menerima formulir Log Book Perikanan; 4. Pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang- perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia j. sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan tempat perkara tersebut diproses lebih lanjut oleh penyidik; k. menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; l. melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan; dan/atau mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 1) 38 No. Peraturan perundangundangan*) b. Pemeriksaan dokumen UU No.45 Tahun 2009 identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor identifikasi IMO) Butir dalam Port State Measure Aturan Indonesia Keterangan*) Pasal 42 ayat (2) (2) Syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai tugas dan wewenang: a. menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar; b. mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan; c. memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan; d. memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan; e. memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut; f. memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan; g. mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan; h. mengawasi pemanduan; i. mengawasi pengisian bahan bakar; j. mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan; k. melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan; memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan; -undangan di bidang perikanan. b. Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengankutan ikan, kapla perikanan wajib masuk pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat/singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk: 1. Pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut; 2. Menyerahkan formulir Log Book Perikanna yang telah diisi. Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 2) 39 No. c. Pemeriksaan komunikasi penanda Permen KP No.PER.05/MEN/2008 Peraturan perundangundangan*) radio UU No.45 Tahun 2009 Butir dalam Port State Measure Aturan Indonesia Keterangan*) Pasal 66C (sama seperti sebelumnya) Pasal 48 ayat (2) (2) Permohonan pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan dokumen kapal pengangkut ikan berbendera asing yang disewa diajukan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan: a. fotokopi SIUP atau surat izin usaha pelayaran angkutan laut yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; b. fotokopi perjanjian sewa kapal dengan menunjukkan aslinya; c. fotokopi surat ukur internasional dengan menunjukkan aslinya; d. fotokopi surat tanda kebangsaan kapal dengan menunjukkan aslinya; dan e. fotokopi cetak biru rancang bangun kapal. Pasal 78 ayat (1) dan (2) (1) Pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha perikanan tangkap dilakukan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penangkapan ikan, pengangkutan ikan, dan/atau pengolahan ikan serta ketentuan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha perikanan tangkap. (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan sistem pemantauan, pengendalian, dan pemeriksaan lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI, dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 3) 40 No. e. Pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan d. Pemeriksaan logbook internasional, dan penanda lainnya serta data VMS dari negara bendera atau RFMO Butir dalam Port State Measure Pasal 18 ayat (1) (1) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI dan/atau SIKPI. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dapat melakukan penitipan Permen KP No.PER.05/MEN/2008 Pasal 6 ayat (1) Kepala Pelabuhan Perikanan atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 melakukan verifikasi dan/atau pengisian data (entry data) log book penangkapan ikan yang diserahkan oleh Nakhoda. Permen KP No.PER.18/MEN/2010 Pasal 42 ayat (2) (sama seperti sebelumnya), terkait dengan tugas dan wewenang syahbandar perikannan yaitu salah satunya memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan. Pasal 42 ayat (2) (sama seperti sebelumnya) UU No.45 Tahun 2009 UU No.45 Tahun 2009 Pasal 88 (1) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera asing wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (VMS). (2) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) GT wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (VMS). Aturan Indonesia Keterangan*) Permen KP No.PER.05/MEN/2008 Peraturan perundangundangan*) Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 4) 41 No. Butir dalam Port State Measure Peraturan perundangundangan*) Aturan Indonesia Keterangan*) (3) ikan ke kapal penangkap ikan lainnya dalam satu kesatuan manajemen usaha termasuk yang dilakukan melalui kerja sama usaha, dan didaratkan di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI kapal penangkap ikan yang menerima penitipan ikan, serta wajib dilaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan dan kepada pengawas perikanan. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan syarat: a. telah ada perjanjian kerja sama usaha yang diketahui atau disahkan oleh kepala pelabuhan perikanan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Direktur Jenderal; b. nakhoda kapal penangkap ikan yang menerima penitipan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan nama kapal, jumlah, jenis, dan asal ikan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut kepada kepala pelabuhan pangkalan tempat ikan di daratkan; dan c. daftar nama kapal yang dapat melakukan penitipan dan menerima penitipan ikan hasil tangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam masing-masing SIPI. (4) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang beroperasi di laut lepas, sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan internasional. (5) Nakhoda kapal penangkap ikan wajib melaporkan nama kapal, jumlah, jenis, dan asal ikan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada kepala pelabuhan pangkalan tempat ikan didaratkan dan kepada pengawas perikanan. Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 5) 42 3. No. Pasal 46 (1) Untuk memperoleh SIPI baru dan perpanjangan SIPI tahun ketiga kapal penangkap ikan wajib terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan dan alat penangkapan ikan. (2) Untuk memperoleh SIKPI baru dan perpanjangan SIKPI tahun ketiga kapal pengangkut ikan wajib terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik kapal pengangkut ikan. Pasal 42 ayat (2) (sama seperti sebelumnya) Pemeriksaan seluruh bagian UU No. 45 Tahun 2009 kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas kapal, dan Permen KP dimensi kapal) serta alat No.PER.12/MEN/2009 penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkpan ikan (6) Direktur Jenderal menerbitkan daftar kapal yang menjadi satu kesatuan (7) manajemen usaha atas dasar rekomendasi kepala pelabuhan perikanan atau pejabat yang diberi kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan permohonan yang bersangkutan. Pasal 48 (1) Permohonan pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia diajukan kepada Direktur Jenderal dengan memuat jenis dan ukuran alat penangkapan ikan yang akan digunakan dengan melampirkan: a. fotokopi SIUP; b. fotokopi grosse akte atau buku kapal perikanan yang asli; c. fotokopi surat kelaikan dan pengawakan kapal; d. fotokopi gambar rencana umum kapal dan alat penangkapan ikan; dan surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang disampaikan. Peraturan perundangundangan*) Aturan Indonesia Keterangan*) f. Pemeriksaan daftar awak Permen KP No.PER.12/MEN/2009 kapal Butir dalam Port State Measure Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 6) 43 4. No. Peraturan perundangundangan*) Memastikan bahwa hasil Permen KP Nomor pemeriksaan fisik sesuai PER.07/MEN/2010 dengan keterangan yang terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten/ pihak kapal Butir dalam Port State Measure Aturan Indonesia Keterangan*) Pasal 6 ayat (2) (2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal perikanan yang akan melakukan penangkapan ikan, meliputi: a. kesesuaian fisik kapal perikanan dengan yang tertera dalam SIPI, terdiri dari bahan kapal, merek dan nomor mesin utama, tanda selar, dan nama panggilan/call sign; b. kesesuaian jenis dan ukuran alat penangkapan ikan dengan yang (3) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dimensi kapal, merek dan nomor mesin kapal, jenis dan ukuran alat penangkapan ikan. (4) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi dimensi kapal, merek dan nomor mesin kapal, jumlah dan volume palkah. (5) Dimensi kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) meliputi ukuran panjang kapal dan lebar kapal. (6) Setiap perubahan spesifikasi teknis kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan, dan/atau kapal pengangkut ikan wajib dilakukan pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan dan/atau kapal pengangkut ikan. (7) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh tim yang dibentuk dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (8) Petunjuk teknis pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan, dan/atau kapal pengangkut ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Direktur Jenderal, yang pelaksanaannya dilaporkan secara tertulis kepada Menteri. Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 7) 44 Melakukan pelatihan untuk Undang-Undang Nomor Pasal 57 pengawas atau pemeriksa 31 Tahun 2004 (1) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan. (2) Pemerintah menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) satuan pendidikan dan/atau pelatihan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf internasional. c. tertera pada SIPI; dan d. keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal perikanan yang dipersyaratkan. 6. Peraturan perundangundangan*) Aturan Indonesia Keterangan*) laporan hasil UU No.45 Tahun 2009 Pasal 66C (sama seperti sebelumnya) Membuat pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh pengawas Permen KP Nomor Pasal 13 dan kapten kapal PER.07/MEN/2010 (1) Pengawas Perikanan berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) melakukan pemeriksaan persyaratan administrasi dan kelayakan teknis kapal perikanan. (2) Hasil pemeriksaan persyaratan administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam form HPK (Hasil Pemeriksaan Kapal). (3) Form HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh Pengawas Perikanan dan Nakhoda, pemilik, operator, kapal perikanan dan/atau penanggung jawab perusahaan perikanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan mekanisme pengisian Form HPK ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Butir dalam Port State Measure 5. No. Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 8) 45 Butir dalam Port State Measure Permen KP No.PER.09/MEN/2008 Peraturan perundangundangan*) Aturan Indonesia Keterangan*) Pasal 1 ayat (1) Pendidikan dan Pelatihan, yang selanjutnya disebut Diklat adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar atau kegiatan untuk meningkatkan kemampuan, keahlian dan ketrampilan. Pasal 1 ayat (7) Pendidikan dan Pelatihan Aparatur, yang selanjutnya disebut Diklat Aparatur adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Pegawai Negeri Sipil (PNS) Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait. Pasal 1 ayat (8) Pelatihan Non-Aparatur adalah proses penyelenggaraan kegiatan untuk meningkatkan serta mengembangkan kompetensi profesi, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian di bidang kelautan dan perikanan. - Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil tangkapan) *) tidak menutup kemungkinan terdapat dalam aturan Indonesia lainnya 7. No. Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 9) 46 47 Tabel diatas telah cukup menjelaskan bagaimana butir atau parameter dalam PSM Agreement sebenarnya telah sesuai dengan aturan yang berlaku di dunia perikanan Indonesia. Namun, untuk spesifikasi dan detail aturan memang masih ada yang belum sesuai secara keseluruhan. Contohnya, Indonesia belum mengizinkan adanya kegiatan penangkapan ikan oleh kapal asing, selain di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) (setelah memperoleh perizinan) seperti yang disebutkan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang berbunyi: 1) Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. 2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas Pasal 5 ayat (2) pada butir I menjelaskan secara lugas bahwa Indonesia menentang praktik IUU fishing. Hal ini diterangkan dalam bunyinya bahwa setiap orang atau badan hukum Indonesia yang belum memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) dan akan melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan di laut wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dengan melampirkan (salah satunya) yaitu surat pernyataan bahwa kapal yang dipergunakan tidak tercantum dalam daftar kapal yang melakukan penangkapan ikan secara tidak sah, tidak tercatat, dan tidak diatur (IUU fishing) pada organisasi pengelolaan perikanan regional. Surat pernyataan bebas dari IUU fishing tersebut merupakan tindakan kerjasama antar negara yang tergabung dalam suatu organisasi pengelolaam perikanan regional atau RFMO dalam melawan kemungkinan praktik IUU fishing. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas dalam Pasal 17 juga menjelaskan bahwa setiap kapal penangkap dan kapal pengangkut ikan di 48 laut lepas akan dikenakan tindakan kepelabuhanan (port state measures) di pelabuhan Indonesia berdasarkan persyaratan dan/atau standar internasional yang berlaku secara umum dan untuk kapal berbendera asing yang perizinannya dikeluarkan bukan oleh pemerintah Republik Indonesia, maka sebelum memasuki atau singgah di pelabuhan Indonesia, wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari kepala pelabuhan setempat. Indonesia telah berperan aktif dalam pembahasan Draft PSM Agreement di FAO. Indonesia menjadi salah satu dari 9 (sembilan) negara penandatangan Draft PSM Agreement pada tanggal 22 November 2009. Indonesia sedang mempersiapkan langkah-langkah untuk meratifikasi PSM Agreement. Adapun dasar-dasar Indonesia untuk melakukan ratifikasi PSM Agreement adalah sebagai berikut7: 1. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS (United Nation Convention the Law of the Seas) 1982, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Hal ini merupakan payung hukum yang wajib diimplementasikan ke dalam peraturan hukum nasional; 2. Ketentuan dalam PSM Agreement sangat relevan dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982, seperti dalam Pasal 62 tentang Pemanfaatan Sumber Kekayaan Hayati di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan Bagian 2 tentang Konservasi dan Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas; 3. Pasal 26 PSM Agreement bahwa perjanjian harus diratifikasi, diterima, atau disetujui oleh pihak yang telah menandatangani perjanjian; 4. Pasal 29 PSM Agreement bahwa perjanjian berlaku 30 hari setelah tanggal penyimpanan di depositori atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi yang ke-25; 5. Bagi setiap penandatangan yang meratifikasi, menerima, atau menyetujui perjanjian ini setelah perjanjian ini berlaku, perjanjian akan berlaku 30 hari setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan; 7 Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Pointer, Surabaya, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 2011, hlm 5-6. 49 6. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bahwa pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden; 7. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: 1) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; 2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; 3) kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5) pembentukan kaidah hukum baru; dan/atau 6) pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Apabila materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden. 8. Langkah persiapan ratifikasi: 1) persiapan mekanisme ratifikasi PSM Agreement; 2) pesiapan konsep awal dokumen pendukung pelaksanaan proses ratifikasi PSM Agreement melalui Peraturan Presiden; dan 3) kesepakatan bahwa ratifikasi akan dilaksanakan melalui Peraturan Presiden, dengan pertimbangan bahwa PSM Agreement merupakan implementasi dari UNCLOS dan UNIA (Universal Negro Improvement Association) dan mekanisme tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 9. Naskah yang telah disiapkan: 1) naskah asli Bahasa Inggris; 2) naskah terjemahan Bahasa Indonesia; 3) naskah rancangan Peraturan Presiden; dan 4) naskah rancangan penjelasan. 10. Tindak lanjut 1) pembentukan panitia antar departemen untuk menentukan penetapan mekanisme ratifikasi PSM Agreement; 50 2) penyempurnaan naskah rancangan Peraturan Presiden; 3) penyempurnaan naskah rancangan penjelasan; dan 4) penyempurnaan naskah terjemahan PSM Agreement. Seluruh naskah yang diperlukan diatas sudah dipersiapkan pemerintah. Namun untuk naskah terjemahan Bahasa Indonesia masih dalam perundingan mendalam terkait definisi kata yang harus disesuaikan. Naskah Rancangan Peraturan Presiden sudah dipersiapkan dan dibahas melalui pertemuan kordinasi dengan beberapa pihak. Naskah rancangan penjelasan telah dipersiapkan dan masih dalam perundingan untuk dibahas lebih mendalam. Pembahasan rencana ratifikasi PSM Agreement sudah dikordinasikan dengan pihak terkait seperti Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap; Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan; Bagian Perundang-undangan Lintas Sektor dan Pengembangan Hukum Laut, Biro Hukum dan Organisasi; Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan; Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan; Pusat Analisis Kerja Sama Internasional dan Antar lembaga; pihak akademisi; Kementerian Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia); Sekretriat Kabinet; Kepala Pelabuhan terkait; dan lain-lainnya8. Pengesahan PSM Agreement akan memberikan keuntungan bagi Indonesia, khususnya dalam hal sebagai berikut9: 1. mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya hayati di laut lepas sehingga dapat membantu pemerintah untuk mensejahterakan warga negaranya; 2. ikut serta dalam pencegahan praktik IUU fishing; 3. meningkatkan efektifitas penanganan IUU fishing khususnya di bidang pengawasan; 4. mengefektifkan penanganan terhadap masalah transhipment hasil tangkapan IUU fishing di laut lepas; 5. memperoleh bantuan teknis, pelatihan dan kerja sama ilmiah, transfer teknologi dalam rangka penerapan Perjanjian ini; dan 8 Disampaikan dalam Diskusi Pembahsan Finalisasi Penyusunan Pengesahan PSM diselenggarakan oleh Biro Hukum dan Organisasi KKP, Bogor, 6 Desember 2011. 9 Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 14. yang 51 6. meningkatkan program pencitraan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan internasional yang berkelanjutan. Ratifikasi PSM Agreement diharapakan dapat menekan pencurian di wilayah perairan Indonesia oleh pihak asing (khususnya terhadap sumberdaya ikan tuna); pertukaran data dan informasi perikanan secara murah, akurat, tepat waktu melalui kerja sama dengan internasional; penetapan kuota internasional setiap jenis ikan bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh untuk distribusi tangkapan; Pengembangan armada perikanan Indonesia yang akan beroperasi di ZEE dan Laut Lepas yang tetap harus tunduk pada ketentuan internasional; dan memberikan hak dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan Laut Lepas10. Pengesahan PSM Agreement akan menimbulkan konsekuensi yang harus diterima Indonesia, yaitu11: 1. menyiapkan perangkat hukum yang selaras dengan perjanjian ini yang mempunyai sanksi yang tegas dalam rangka memberantas praktik IUU fishing; 2. menerapkan secara adil, transparan dan non-diskriminatif perjanjian ini kepada kapal Indonesia dan asing; 3. menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan kapal-kapal asing; 4. menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-pelabuhan yang ditujukan untuk pelaksanaan perjanjian ini; 5. mengidentifikasi kapal perikanan Indonesia yang masuk ke negara lain; 6. menyampaikan informasi terkait dengan kegiatan sebagaimana dimaksud perjanjian ini kepada FAO; 7. berpartisipasi aktif dalam kerja sama dalam penegakan hukum baik regional maupun internasional; 8. menyiapkan dan meningkatkan sarana dan prasarana serta kemampuan sumber daya manusia yang terkait dengan persetujuan ini. 10 Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Op Cit, hlm 3. 11 Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 14-15. 52 4.1.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan Butir pertama yang dikomparasikan dari PSM Agreement yaitu bahwa kegiatan perikanan harus menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi). Indonesia mengupayakan untuk tercapainya pengelolaan perikanan yang optimal dan berkelanjutan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI), serta harus dapat menjamin kelestraian sumberdaya ikan. Hal ini sebagaimana yang dituangkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. Pengelolaan perikanan tersebut juga harus memperhatikan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran masyarakat. Semua ini untuk memberikan perlindungan jangka panjang dan untuk menjaga keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan. Beberapa ketentuan yang yang mendukung pengelolaan perikanan ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Ketentuan tersebut diantaranya, penetapan jumlah tangkapan yang dibolehkan; penetapan jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan; penetapan rencana pengelolaan perikanan; penetapan potensi dan alokasi sumberdaya ikan; dan lain sebagainya. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 menerangkan bahwa untuk kepentingan kerjasama internasional, pemerintah menjalin kerjasama dengan negara tetangga atau negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan di laut lepas. Hal lain yang dilakukan adalah saling menginformasikan jika mendapati suatu tindakan yang mencurigakan dan dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan. Selain itu, aturan lain mengenai harus adanya kegiatan konservasi dan pengelolaan yaitu dalam Pasal 44 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Hal tersebut berbunyi bahwa Direktur Jenderal, gubernur, bupati/walikota dalam memberikan persetujuan pengadaan kapal wajib mempertimbangkan ketersediaan dan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya, serta kapasitas produksi UPI (Unit Pengolahan Ikan) bagi usaha perikanan tangkap terpadu. Artinya bahwa, Indonesia telah menyiapkan regulasi hukum untuk menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan 53 sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan) dalam memberikan persetujuan kegiatan perikanan. Pengelolaan perikanan ini dilakukan secara optimal dan berkelanjutan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI) dengan memperhatikan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta peran masyarakat dan juga melalui kerjasama dengan negara lain atau internasional untuk konservasinya. 4.1.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan Pemeriksaan yang dilakukan oleh negara pelabuhan (dalam hal ini Negara Indonesia) yaitu sebagai berikut: 1. Pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan Butir kedua yang dikomparasikan dari PSM Agreement yaitu dilakukan pemeriksaan. Salah satunya yaitu pemeriksaan dokumen perijinan atau otoritas penangkapan. Kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan wajib dilaporkan kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk untuk dilakukan beberapa pemeriksaan, salah satunya adalah pemeriksaan dokumen perizinan kapal perikanan. Pasal 42 sampai Pasal 45 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, menjelaskan adanya kewajiban kapal perikanan untuk memiliki beberapa surat perizinan. Pasal 42 dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa syahbandar perikanan memiliki tugas dan wewenang mengeluarkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Surat Persetujuan Berlayar yang dimaksud adalah yang sebelumnya disebut sebagai Surat Izin Berlayar (SIB). Namun, SPB tersebut hanya dapat dikeluarkan jika kapal perikanan telah mendapatkan Surat Laik Operasi (SLO) yang diterbitkan pengawasan perikanan pelabuhan setempat (tanpa dikenakan biaya). Selain itu, dalam Pasal 66 C dijelaskan bahwa pengawas perikanan juga memiliki wewenang yang salah satunya memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan serta memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI. Selain itu, diatur pula dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan pada Pasal 5 bahwa kapal perikanan wajib memberikan laporan pada pihak pelabuhan. Adapun pada saat akan dimulai maupun setelah selesai melakukan 54 penangkapan dan/atau pengangkutan ikan nahkoda atau pengurus kapal perikanan wajib melapor kedatangan dan/atau keberangkatannya kepada kepala pelabuhan perikanan atau petugas yang ditunjuk di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk: (1) pemeriksaan dokumen perijinan kapal perikanan; (2) pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan; (3) menerima formulir logbook Perikanan; (4) pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan di bidang perikanan. 2) Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk: (1) pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut; (2) menyerahkan formulir log book Perikanan yang telah diisi. Kesimpulannya bahwa hukum Indonesia telah mengatur kewajiban kapal perikanan untuk memiliki beberapa surat atau dokumen perizinan terkait kegiatan penangkapan dan penangkutan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI). Dokumen ini akan diperiksa oleh Kepala Pelabuhan atau petugas yang ditunjuk (seperti pihak syahbandar dan pengawas perikanan) untuk setiap kali kedatangan dan keberangkatan dari dan ke pelabuhan perikanan dengan sebelumnya dilakukan pelaporan kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk. 2. Pemeriksaan dokumen identitas kapal PSM Agreement menerangkan perlunya pemeriksaan terkait identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, dan nomor identifikasi International Maritime Organization). 55 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 pada Pasal 42 ayat (2) menjelaskan bahwa dalam syahbandar perikanan memiliki tugas dan wewenang salah satunya yaitu memeriksa ulang kelengkapan dan dokumen kapal perikanan. Pasal 78 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 menerangkan dilakukannya pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha perikanan tangkap yaitu terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, Unit Penangkapan Ikan (UPI), dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Pasal 48 menambahkan bahwa dalam pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan dokumen kapal pengangkut ikan berbendera asing salah satunya diharuskan melampirkan fotokopi surat tanda kebangsaan kapal dengan menunjukkan aslinya dan fotokopi surat ukur internasional dengan menunjukkan aslinya. Pasal 6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 menjelaskan bahwa pada lembar awal sertifikat hasil tangkapan ikan dan lembar turunan sertifikat hasil tangkapan ikan memuat beberapa informasi kapal. Informasi tersebut diantaranya seperti nama kapal, bendera pelabuhan asal dan nomor registrasi, kode panggil, nomor International Maritime Organization (IMO) (jika ada), nomor izin penangkapan dan masa berlaku, nomor immarsat, nomor faksimile, nomor telepon, dan alamat surat elektronik (e-mail) jika ada. Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia telah mengatur adanya pemeriksaan dokumen kapal yang kemudian terlampir pula fotokopi surat tanda kebangsaan kapal dan fotokopi surat ukur internasional (pada pemeriksaan fisik kapal) aslinya. Selain itu, informasi lainnya (nama kapal, bendera pelabuhan asal dan nomor registrasi, kode panggil, nomor IMO, nomor izin penangkapan dan masa berlaku, nomor immarsat, nomor faksimile, nomor telepon, dan alamat surat elektronik atau e-mail) dimuat dalam lembar awal dan lembar turunan sertifikat hasil tangkapan ikan. 56 3. Pemeriksaan radio komunikasi dan VMS (Vessel Monitoring System) PSM Agreement menerangkan perlunya negara pelabuhan untuk melakukan pemeriksaan keberadaan radio komunikasi penanda internasional, dan pengendalian serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau RFMO (Regional Fisheries Management Organization). Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009, yang merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, pada Pasal 66 C menjelaskan bahwa pengawas perikanan memiliki beberapa kewenangan yaitu salah satunya memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 Pasal 88 mewajibkan setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera asing memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System), namun untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia hanya diwajibkan untuk kapal yang berukuran lebih dari 30 GT. Hal ini dikarenakan untuk nelayan Indonesia yang beroperasi dengan kapal yang berukuran kurang dari 30 GT adalah nelayan kecil yang terbatas dalam teknologi dan jangkauan perlayaran/penangkapan. Selain itu, Pasal 26 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 menjelaskan bahwa Direktur Jenderal akan menerbitkan SIPI dengan salah satu syaratnya yaitu telah terpenuhinya ketentuan pemasangan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System) untuk kapal penangkap ikan berbendera Indonesia berukuran 100 GT ke atas. Sedangkan untuk penerbitan SIKPI salah satu syaratnya jika telah dipenuhi ketentuan pemasangan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System) untuk semua kapal pengangkut ikan berbendera asing dan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia berukuran 100 GT ke atas. Hukum Indonesia telah mengatur pelaksanaan pemeriksaan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System) hanya untuk kapal penangkap ikan Indonesia dan kapal pengangkut ikan Indonesia serta kapal pengangkut asing. Jika nantinya proses ratifikasi PSM Agreement telah dilaksanakan, maka perlu penambahan aturan untuk kapal penangkap ikan asing 57 dalam hal pemeriksaan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System). 4. Pemeriksaan Logbook Pemeriksaan logbook perikanan diterangkan dalam dokumen PSM Agreement untuk dilakukan oleh negara pelabuhan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dalam Pasal 42 menjelaskan bahwa syahbandar perikanan memiliki tugas dan wewenang yang salah satunya yaitu memeriksa logbook penangkapan dan pengangkutan ikan. Pasal 5 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.18/MEN/2010 menambahkan bahwa logbook penangkapan ikan adalah laporan harian tertulis nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan yang berisikan informasi data kapal perikanan, data alat penangkapan ikan, data operasi penangkapan ikan, dan data ikan hasil tangkapan. Sedangkan masih dalam Peraturan Menteri yang sama namun pada Pasal 6 ayat (1), dijelaskan bahwa Kepala Pelabuhan Perikanan atau pejabat yang ditunjuk akan melakukan verifikasi dan/atau pengisian data (entry data) log book penangkapan ikan yang diserahkan oleh Nakhoda. Pengisiannya dilakukan sesuai data yang sebenarnya dan tepat waktu. Logbook ini wajib diserahkan oleh nahkoda kepada Direktur Jendral Perikanan Tangkap melalui Kepala Pelabuhan Perikanan sebagaimana tercantum dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) sebelum dilakukannya pendaratan ikan hasil tangkapan. Selain itu dijelaskan pula dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 bahwa setelah kapal perikanan selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, maka diwajibkan masuk ke pangkalan atau pelabuhan dengan melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk untuk dilakukan pemeriksaan hasil tangkapan dan formulir logbook perikanan yang telah diisi oleh nahkoda atau pihak kapal. Aturan Indonesia yang berlaku untuk mengatur pemeriksaan logbook telah sangat jelas menerangkan bahwa logbook tersebut diserahkan ke nahkoda atau pihak kapal saat keberangkatan dari pelabuhan perikanan dan diserahkan kembali serta diperiksa saat kedatangan ke pelabuhan. 58 5. Pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, dan perdagangannya Pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, dan perdagangannya perlu dilakukan oleh negara pelabuhan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 pada Pasal 42 ayat (2) menerangkan bahwa syahbandar perikanan memiliki tugas dan wewenang, salah satunya yaitu melakukan pemeriksaa terhadap sertifikat ikan hasil tangkapan. Pemeriksaan ini akan mengacu pada pemeriksaan kondisi fisik dari hasil tangkapan tersebut yang kemudian dijelaskan dalam Peraturan Menteri. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 Pasal 16 menjabarkan bahwa nakhoda kapal pengangkut ikan yang menerima penitipan (kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia dalam satu kesatuan manajemen usaha termasuk yang dilakukan melalui kerja sama usaha) wajib melaporkan nama kapal, jumlah, jenis, dan asal ikan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut kepada kepala pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan/atau Surat Ijin Kapal Pengakut Ikan (SIKPI). Pengawas perikanan memiliki wewenang melakukan pemeriksaan fisik terhadap ikan hidup, tuna untuk sashimi, dan/atau ikan lainnya yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan yang dijelaskan dalam Pasal 18. Hasil pemeriksaan tersebut akan mennetukan dikeluarkannya surat persetujuan tidak didaratkan atau dapat dipindahkannya ikan jenis tertentu ke kapal lain atau pula surat perintah didaratkannya seluruh ikan hasil tangkapan. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 Pasal 5, juga menjelaskan adanya pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut setelah kapal melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan dan masuk ke pelabuhan pangkalan. Sedangkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 Pasal 1, menjelaskan bahwa Sertifikat Hasil Tangkapan (Catch Certificate) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Kepala Pelabuhan Perikanan yang ditunjuk oleh otoritas Kompeten yang menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari kegiatan IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) Fishing. Hal ini diharuskan untuk hasil tangkapan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor baik langsung maupun tidak langsung ke Uni Eropa. Sertifikasi hasil tangkapan tersebut akan 59 menjamin diterimanya hasil tangkapan tersebut dalam suatu target pasar tertentu. Sertifikat Hasil Tangkapan tersebut diperiksa oleh syahbandar perikanan yang dijelaskan sebagai tugas dan wewenangnya dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Pengaturan tentang transshipment dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor.PER/14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Penjelasan yaitu, dalam Peraturan Menteri ini yang dikategorikan pemindahan dan/atau penerimaan ikan hasil tangkapan di daerah penangkapan (transhipment) yang dilarang, meliputi: a) pemindahan ikan hasil tangkapan dari daerah penangkapan untuk dibawa langsung ke luar negeri atau ke pelabuhan perikanan di dalam negeri yang bukan merupakan pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI dan/atau SIKPI; dan b) pemindahan dan/atau penerimaan ikan hasil tangkapan di daerah penangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal penangkap ikan lainnya atau ke kapal pengangkut ikan yang bukan dalam satu kesatuan manajemen usaha, kerja sama usaha, satuan armada, dan kemitraan. Hukum Indonesia telah mengatur pemeriksaan hasil tangkapan dan hasil angkutan (transshipment) pada satu kesatuan usaha perikanan tangkap, serta mengatur Sertifikat Hasil Tangkapan yang diperlukan untuk perdagangan hasil tangkapan ke Uni Eropa. 6. Pemeriksaan daftar awak kapal Negara pelabuhan, dijelaskan dalam dokumen PSM Agreement harus melakukan pemeriksaan daftar awak kapal yang terlibat dalam kegiatan penengkapan atau pengangkutan ikan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 Pasal 75 menjelaskan bahwa jika dalam usaha perikanan akan mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) di atas kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan, wajib terlebih dahulu mendapatkan surat rekomendasi penggunaan TKA dari Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan yang beberapa diantaranya yaitu harus melampirkan Rencana Penggunaan Tenaga 60 Kerja Asing (RPTKA), sertifikat kompetensi Anak Buah Kapal (ABK) yang telah disahkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, dan fotokopi paspor dan/atau buku saku pelaut (seaman book) TKA yang akan dipekerjakan. Proporsi penggunaan TKA telah diatur komposisinya dalam Pasal 75A Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 dengan ketentuan berikut: 1) Tahun pertama maksimal 50% dari jumlah keseluruhan awak kapal; 2) Tahun kedua maksimal 30% dari jumlah keseluruhan awak kapal; dan 3) Tahun ketiga dan seterusnya maksimal 10% dari jumlah keseluruhan awak kapal. Selain itu, pada Pasal 48 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 menjelaskan bahwa dalam permohonan pemeriksaan fisik kapal diharuskan untuk melampirkan fotokopi surat kelaikan dan pengawakan kapal. Hukum Indonesia belum secara lugas menerangkan adanya pemeriksaan khusus daftar awak kapal, waktu pelaksanaan pemeriksaan, dan pihak pelaksana pemeriksaan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun secara umum daftar awak kapal terlampirkan ketika nahkoda atau pihak kapal mengajukan permohonan pemeriksaan fisik. 4.1.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan Butir selanjutnya yang diwajibkan PSM Agreement kepada negara pelabuhan yaitu dilakukan pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruang di atas kapal, dan dimensi kapal), alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan. Pemeriksaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan dilakukan oleh pihak syahbandar perikanan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 pada Pasal 42 ayat (2). Pasal 42 tersebut menjelaskan bahwa pihak syahbandar perikanan memiliki tugas dan wewenang memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan; memeriksa alat penangkapan ikan; dan alat bantu penangkapan ikan. Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dapat diperoleh atau diperpanjang setelah dilakukannya pemeriksaan fisik kapal. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan dimensi kapal (ukuran panjang dan lebar kapal), merek dan 61 nomor mesin kapal, jumlah dan volume palkah. Hal ini dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 Pasal 46. Hukum Indonesia telah mengatur regulasi pemeriksaan fisik kapal, dimensi kapal (ukuran panjang dan lebar kapal), merek dan nomor mesin kapal, jumlah dan volume palkah serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan. Namun pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal tersebut umumnya hanya dilakukan saat mengurus penerbitan dan perpanjangan SIPI dan SIKPI saja. 4.1.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil wawancara Setiap hasil pemeriksaan fisik harus disesuaikan dengan keterangan yang terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal. Hal inilah yang diwajibkan PSM Agreement kepada negara pelabuhan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 Pasal 80 menjelaskan bahwa jika penyampaian data dalam Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), dan/atau Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) berbeda dengan fakta yang ada di lapangan maka SIUP, SIKPI, dan SIPI akan dicabut. Hal ini diupayakan untuk kesesuaian hasil pemeriksaan fisik dengan data dalam dokumen perizinan. Selain itu pada Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2010 menjelaskan bahwa persyaratan kelayakan teknis untuk kapal perikanan yang akan melakukan penangkapan ikan, meliputi: 1) kesesuaian fisik kapal perikanan dengan yang tertera dalam SIPI, terdiri dari bahan kapal, merek dan nomor mesin utama, tanda selar, dan nama panggilan atau call sign; 2) kesesuaian jenis dan ukuran alat penangkapan ikan dengan yang tertera pada SIPI; dan 3) keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal perikanan yang dipersyaratkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum Indonesia telah mengatur adanya kesesuaian hasil pemeriksaan fisik dengan data dalam dokumen perizinan. 62 Namun kesesuaian terhadap hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal belum diatur dalam hukum Indonesia. 4.1.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan PSM Agreement mengatur adanya pembutan laporan hasil atas pemeriksaan yang kemudian diketahui atau ditandatangani oleh pihak yang melakukan pemeriksaan dan kapten kapal atau pihak kapal. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 66C menjabarkan salah satu wewenang pengawas perikanan setelah melakukan pemeriksaan yaitu mendokumentasikan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Selain itu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2010 Pasal 12 menjelaskan bahwa nahkoda, pemilik, operator kapal atau penanggung jawab perusahaan perikanan wajib melaporkan rencana keberangkatan kepada Pengawas perikanan paling lambat 1 (satu) hari sebelum keberangkatan. Selanjutnya pada Pasal 13, akan dilakukan pemeriksaan administrasi dan teknis yang hasilnya dituangkan dalam form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) yang ditandatangani oleh pengawas perikanan dan nahkoda, pemilik, operator kapal atau penanggung jawab perusahaan perikanan. Hal ini dilakukan untuk penerbitan Surat Laik Operasi (SLO). Hukum Indonesia telah mengatur bahwa setelah dilakukan pemeriksaan administrasi dan teknis, hasilnya akan dituangkan dalam form HPK yang ditandatangani oleh pengawas perikanan dan nahkoda, pemilik, operator kapal atau penanggung jawab perusahaan perikanan. 4.1.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 57 sampai Pasal 59 menerangkan bahwa pemerintah akan menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumberdaya manusia di bidang perikanan. Hal ini dapat bekerjasama dengan lembaga terkait di tingkat nasional maupun internasional yang diatur oleh peraturan pemerintah. Selain itu dalam Pasal 68 juga menjelaskan bahwa pemerintah akan mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya suatu pelatihan untuk pengawas perikanan dalam peningkatan kinerja. 63 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.09/MEN/2008 pada pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa Pendidikan dan Pelatihan, yang selanjutnya disebut Diklat adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar atau kegiatan untuk meningkatkan kemampuan, keahlian dan ketrampilan. Pelatihan dan pendidikan tersebut diselenggarakan dalam beberapa bentuk, beberapa diantaranya dijelaskna pada Pasal 1 ayat (7) dan ayat (8). Pasal 1 ayat (7) menambahkan bahwa Pendidikan dan Pelatihan Aparatur, yang selanjutnya disebut Diklat Aparatur adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Pegawai Negeri Sipil (PNS) Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait. Sedangkan Pasal 1 ayat (8) menerangkan Pelatihan Non-Aparatur adalah proses penyelenggaraan kegiatan untuk meningkatkan serta mengembangkan kompetensi profesi, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian di bidang kelautan dan perikanan. Hukum Indonesia belum jelas menerangkan adanya pelatihan khusus untuk petugas pengawasan dan pemeriksa khususnya kedatangan kapal. Hukum yang ada hanya menyampaikan secara umum bahwa akan diselenggarakan pelatihan, pendidikan atau pengembangan sumberdaya manusia di bidang perikanan. 4.1.7 Pengunaan sistem informasi kode internasional Belum adanya regulasi hukum Indonesia yang mengatur penggunaan sistem informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, dan jenis hasil tangkapan) di pelabuhan perikanan. Oleh karena itu, perlu pengadaan regulasi menyangkut hal tersebut, untuk nantinya dalam penerapan PSM (Port State Measures) Agreement di Indonesia. 64 Prosedur kedatangan kapal perikanan yang berlaku di pelabuhan perikanan Indonesia adalah12: 1) Setiap kapal perikanan yang akan memasuki pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu memberitahukan kedatangan kapal kepada Syahbandar di Pelabuhan Perikanan; 2) Pemberitahuan sekurang-kurangnya 2 (dua) jam sebelum kapal memasuki pelabuhan perikanan; 3) Pihak pelabuhan (dalam hal ini syahbandar di pelabuhan perikanan) akan mengatur tempat tambat atau labuh kapal perikanan; 4) Nakhoda atau pengurus kapal wajib menyerahkan dokumen kapal perikanan kepada syahbandar di pelabuhan perikanan selambat-lambatnya 2 jam setelah masuk pelabuhan. Hal ini dilakukan untuk kemudian diperiksa dan disimpan selama kapal berada di pelabuhan perikanan (baik tambat maupun labuh); 5) Pihak pelabuhan (dalam hal ini syahbandar di pelabuhan perikanan) akan memberikan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK); 6) Pemberitahuan kedatangan kapal di pelabuhan perikanan untuk kapal lebih dari 30 GT, pada umumnya dilakukan oleh nakhoda kapal perikanan melalui agen perusahaan untuk selanjutnya agen atau pengurus kapal menyampaikan rencana kedatangan kapalnya kepada syahbandar di pelabuhan perikanan; 7) Pemberitahuan dimaksud mencakup: (1) identitas kapal (meliputi nama kapal, jenis kapal, pemilik kapal, ukuran kapal); (2) tujuan pendaratan atau masuk pelabuhan; (3) asal kapal/kebangsaan kapal; (4) jumlah awak kapal; (5) call sign kapal; (6) jenis ikan yang akan didaratkan; (7) alat penangkap ikan; dan (8) wilayah penangkapan. 12 Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Penerapan Port State Measures di Pelabuhan Perikanan, Surabaya, Direktorat Jenderal PSDKP, 2011, slide 11. 65 Prosedur keberangkatan kapal yang berlaku di pelabuhan perikanan Indonesia sebagai berikut13: 1) Setiap kapal perikanan yang akan berangkat dari pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu memberitahukan rencana keberangkatannya kepada syahbandar di pelabuhan perikanan paling lambat 1 x 24 jam sebelum kapal perikanan berangkat dari pelabuhan perikanan; 2) Syahbandar di pelabuhan perikanan segera memeriksa dokumen kapal perikanan dan memeriksa kelengkapan di atas kapal, setelah menerima pemberitahuan; 3) Pemeriksaan ulang alat penangkap ikan dan pemeriksaan teknis dan nautis kapal perikanan serta persyaratan ABK; 4) Hasil pemeriksaan merupakan dasar pertimbangan untuk menerbitkan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB); dan 5) Setiap kapal perikanan yang telah menerima Surat Ijin Berlayar (SIB) dalam waktu 2 x 24 jam wajib segera berangkat atau meninggalkan pelabuhan perikanan, jika dalam waktu tersebut tidak juga berangkat maka Surat Ijin Berlayar (SIB) tidak berlaku lagi. Penerapan ketentuan port state measures (PSM) hanya diberlakukan bagi kapal perikanan asing dan kapal kontainer asing yang mengangkut ikan. Hal terkait yang harus disiapkan kepala pelabuhan perikanan dalam penerapan port state measures (PSM) yaitu petugas yang dilatih untuk melaksanakan penerapan PSM di pelabuhan masing-masing dan ketersediaan jaringan (networking) untuk penerapan Monitoring Control System (MCS) termasuk hardware dan software. Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam penerapan port state measures di pelabuhan perikanan adalah14: 1) Pengembangan fasilitas dan sarana di 5 (lima) Pelabuhan Perikanan; Adapun kelima pelabuhan perikanan tersebut adalah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Pelabuhan Perikanan 13 Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 13. 14 Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 8. 66 Nusantara (PPN) Ambon, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. 2) Sosialisasi port state measures, termasuk kepada pemilik kapal berbendera Indonesia (karena sudah ada yang ditengarai melakukan IUU fishing dan mendaratkan hasil tangkapan di luar Indonesia); 3) Pelatihan sumberdaya manusia di pelabuhan perikanan; 4) Peningkatan sistem informasi di pelabuhan perikanan; dan 5) Penyusunan standar operasional dan prosedur port state measures. Kegiatan yang telah dilakukan pasca penandatanganan port state measures 15 yaitu : 1) Melakukan sosialisasi port state measures kepada pihak terkait; 2) Studi banding kepala pelabuhan calon lokasi penerapan port state measures ke Pelabuhan di Amerika Serikat; dan 3) Melakukan kerjasama dengan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) untuk mempersiapkan penerapan port state measures di Indonesia (Amerika Serikat termasuk 16 negara yang telah menandatangani port state measures agreement). Kegiatan yang akan dilakukan pasca penandatanganan port state measures 16 yaitu : 1) Persiapan dan proses ratifikasi perjanjian port state measures; 2) Seminar nasional lintas instansi terkait (bekerjasama dengan NOAA); 3) Pelaksanaan TOT (Training of Trainer) untuk petugas port state measures di lapangan (bekerjasama dengan NOAA); 4) Sosialisasi port state measures kepada para pihak terkait; 5) Penyusunan SOP (Standar Operasioanal Prosedur) penerapan port state measures; 6) Penguatan kerjasama dengan negara-negara yang telah meratifikasi port state measures agreement; 7) Pengembangan sistem informasi antar pelabuhan perikanan (PIPP); dan 8) Peningkatan sarana dan prasarana pendukung. 15 Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 17. 16 Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 18. 67 Permasalahan dalam penerapan port state measures di pelabuhan perikanan antara lain sebagai berikut17: 1) Terbatasnya kolam dan dermaga untuk kapal asing di pelabuhan perikanan; 2) Terbatasnya kapasitas untuk kebutuhan logistik; 3) Belum meratanya pemahaman aparat atau masyarakat termasuk pelaku usaha (stakeholder) tentang port state measures; 4) Terbatasnya jumlah dan kemampuan port state measures, serta terbatasnya fasilitas dan jaringan kerja terkait dengan port state measures; 5) Belum memadainya ketentuan dan peraturan, termasuk prosedur standar dalam pelaksanaan port state measures; dan 6) Masih kurangnya sistem informasi (nasional, regional, dan internasional). 4.2 Kesiapan Pelaksanaan Hukum dan Peraturan Perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta terletak di Jalan Muara Baru Ujung, Penjaringan, Jakarta Utara. Letak geografis PPS Nizam Zachman Jakarta yaitu 106°48'11"BT dan 06°05'40"LS. Secara geografis PPS Nizam Zachman Jakarta berbatasan sebagai berikut. Adapun batas-batas area PPS Nizam Zachman Jakarta. Tabel 6 Batas-batas area PPS Nizam Zachman Jakarta Batas area Wilayah perbatasan Posisi koordinat Utara Teluk Jakarta di Laut Jawa 106Ëš48’15’’BT dan 6Ëš6’18’’LS Selatan Jalan Muara Baru 106Ëš47’54’’BT dan 6Ëš6’20’’LS Timur Pelabuhan Sunda Kelapa 106Ëš48’14’’BT dan 6Ëš5’32’’LS Barat Waduk Pluit/ Pantai Mutiara 106Ëš47’44’’BT dan 6Ëš5’34’’LS (Sumber: PPS Nizam Zachman, 2011) PPS Nizam Zachman Jakarta (2011) menjelaskan bahwa terdapat beberapa fungsi yang dijalankan oleh pelabuhan yaitu: 1) Perencanaan, pembangunan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan, dan pengendalian serta pendayagunaan sarana dan pasarana pelabuhan perikanan; 2) Pelayanan teknis kapal perikanan dan kesyahbandaran di pelabuhan perikanan; 17 Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 15. 68 3) Pelayanan jasa dan fasilitasi usaha perikanan; 4) Pengembangan dan fasilitasi penyuluhan serta pemberdayaan masyarakat perikanan; 5) Pelaksanaan fasilitas dan koordinasi di wilayahnya untuk peningkatan produksi, distribusi, dan pemasaran hasil perikanan; 6) Pelaksanaan fasilitas publikasi hasil riset, produksi, dan pemasaran hasil perikanan di wilayahnya; 7) Pelaksanaan fasilitas pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari; 8) Pelaksanaan pengawasan penangkapan sumberdaya ikan, penanganan, pengolahan, pemasaran, serta pengendalian mutu hasil perikanan; 9) Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perikanan, serta pengelolaan sistem informasi; dan 10) Pelaksanaan urusan keamanan, ketertiban, dan pelaksanaan kebersihan kawasan pelabuhan serta pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Menurut PPS Nizam Zachman Jakarta (2011), terdapat 7 (Tujuh) fasilitas pokok, 17 fasilitas fungsional, dan 18 fasilitas penunjang di pelabuhan. PPS Nizam Zachman Jakarta memiliki luas dermaga 2224 m dengan kolam dan alur pelayaran seluas 40 Ha. PPS Nizam Zachman Jakarta memiliki beberapa fasilitas yang membantu pengawasan perikanan yaitu seperti menara pengawasan seluas 1.096 m2, 2 unit rambu navigasi, kantor pelayanan terpadu seluas 690 m2, pos Keamanan Laut (yang dikelola TNI-AL) seluas 69,5 m2, dan 3 sudut CCTV (Closed Circiut Televison) serta speaker di dermaga timur. Kolam pelabuhan yang dimiliki PPS Nizam Zachman Jakarta adalah 3 m sampai 4 m. Hal ini sudah cukup menunjang akses masuknya kapal asing nanti yang umumnya memiliki draft 3 m sampai 4 m. Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta memiliki 1 (satu) unit kapal patroli untuk mengawasi Wilayah Kerja Operasional Pelabuhan Perikanan (WKOPP). Hal lain terkait fasilitas yang telah dimiliki, dianggap masih perlu adanya peningkatan kapasitas dan pengadaan fasilitas yang belum dimiliki lainnya. Berikut beberapa yang dianggap perlu ditingkatkan dan diadakan di PPS Nizam Zachman Jakarta18: 1) Sarana komunikasi radio; 18 Hasil wawancara dengan Kepala Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta, 5 Januari 2012. 69 2) Pengadaan faksimile untuk komunikasi dari kapal ke syahbandar perikanan; 3) Perlengkapan petugas pemeriksa seperti jaket hangat, senter, masker, helm, kacamata, mantel hujan, boot, dan lain sebagainya; 4) Radio komunikasi HT (Handy Talky); 5) Peningkatan jumlah CCTV (Closed Circiut Televison) ke 10 sudut lainnya; 6) Speaker di seluruh wilayah pelabuhan; 7) Kendaraan penunjang roda empat; dan 8) Kapal tug boat atau fire boat yang membantu jika terjadi kebakaran. Lubis, dkk (2010) menerangkan kategori Pelabuhan Perikanan Samudera merupakan pelabuhan yang dapat diakses kapal perikanan yang melakukan bongkar muat yaitu sekurang-kurangnya 60 GT (Gross Tonnage) dan mampu menampung sekurang-kurangnya 100 kapal atau jumlah keseluruhan sekurangkurangnya 6000 GT kapal perikanan sekaligus. Terjadi fluktuasi jumlah kegiatan kapal dari tahun 2006 2010 di PPS Nizam Zachman Jakarta. Berikut rekapitulasi jumlah aktivitas kapal tersebut. Tabel 7 Rekapitulasi data kegiatan kapal di PPS Nizam Zachman Jakarta Jenis kapal Tahun Rerata 2006 2007 2008 2009 2010 Masuk 3793 3528 3272 3400 3478 3494 Tambat 3787 3528 2383 3318 3478 3299 Labuh 5 - - - - - Dock 172 327 231 122 381 247 Floating repair 127 58 36 86 159 93 Bongkar ikan 2029 1644 1493 2704 2983 2171 Isi perbekalan 2581 2706 2200 2112 314 1983 Keluar 3046 2916 3239 3370 3383 3191 (Sumber: PPS Nizam Zachman, 2011) PPS Nizam Zachman Jakarta merupakan salah satu pelabuhan perikanan yang ditunjuk sebagai pilot project penerapan PSM Agreement. Hal ini disampaikan pada tanggal 11 Agustus 2009 oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap yang menerbitkan keputusannya No. 18/DJ-PT/2009 tentang Penetapan Pelabuhan Perikanan sebagai pilot project penerapan PSM Agreement. Adapun 4 (empat) pelabuhan perikanan lainnya yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) 70 Bungus, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) 19 Palabuhanratu . Aturan Indonesia secara langsung diberlakukan di PPS Nizam Zachman Jakarta untuk mengatur kegiatan perikanan yang ada. PPS Nizam Zachman Jakarta juga berupaya melawan praktik IUU fishing. Namun aturan yang berlaku hingga saat ini (belum diratifikasinya PSM Agreement) hanya sebatas pengaturan keluar dan masuknya kapal Indonesia atau kapal lokal. Aturan keluar dan masuknya kapal Indonesia atau kapal lokal tersebut menjadi acuan untuk penerapan PSM Agreement. Karena dari aturan tersebut dapat dilihat sebatas apa pelaksanaan yang telah ada di PPS Nizam Zachman, untuk kemudian dilakukan pengoreksian dan rekomendasi penerapan aturan jika nantinya telah diratifikasi PSM Agreement. Adapun untuk setiap keberangkatan kapal dan kedatangan kapal Indoensia telah diatur prosedurnya disesuaikan dengan aturan perikanan Indonesia. Prosedur kapal keluar pelabuhan di PPS Nizam Zachman ditunjukkan dalam Gambar 4. Pihak kapak (nahkoda, pemilik, agen kapal) yang akan keluar dari PPS Nizam Zachman Jakarta harus menyampaikan rencana kapal keluar kepada Kepala Pelabuhan dengan tembusan kepada Syahbandar PPS Nizam Zachman. Kemudian Kepala Pelabuhan akan mengeluarkan persetujuan atau tidaknya pada lembar rekomendasi. Jika permohonan rencana tersebut disetujui, maka prosedur lanjutan yang harus dilakukan yaitu: 1) Menyelesaikan urusan tambat atau labuh, kegiatan dock, dan perbekalan di Perum PPS Nizam Zachman Jakarta; 2) Menjalani pemeriksaan kesehatan ABK (Anak Buah Kapal) dan pemeriksaan kesehatan kapal oleh pihak karantina atau pos kesehatan; 3) Menjalani pemeriksaan imigrasi yaitu tehadap dokumen ABK kapal (jika terdapat orang asing); dan 4) Menyelesaikan urusan retribusi pelelangan dan pembinaan mutu kepada dinas perikanan. 19 Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Op Cit, hlm 1. 71 Setelah prosedur lanjutan tersebut dilakukan, maka kapal yang akan keluar akan berurusan terlebih dahulu dengan pengawas perikanan dan syahbandar perikanan. Pengawas perikanan akan melakukan pemeriksaan perijinan kapal, alat penangkapan, jumlah hasil tangkapan dan jenis hasil tangkapan. Setelah semua selesai maka akan dikeluarkan SLO (Surat Layak Operasi) oleh pengawas perikanan. Syahbandar perikanan akan menindaklanjuti isi rekomendasi yang dikeluarkan Kepala PPS Nizam Zachman (dengan tembusan kepada Syahbandar PPS Nizam Zachman). Setelah itu, pihak Syahbandar pelabuhan akan melakukan pemeriksaan antara lain yaitu: 1) pemeriksaan dokumen perijinan; 2) pemeriksaan daftar ABK; 3) pemeriksaan nautis, teknis, dan admin; 4) pemeriksaan alat penangkap ikan bagi kapal penangkap ikan; 5) pemeriksaan kelengkapan standar kapal pengangkut ikan; dan 6) pemeriksaan pelunasan retribusi kapal. Setelah semua pemeriksaan selesai, maka kesyahbandaran pelabuhan akan menerbitkan surat ijin berlayar (SIB) untuk kapal yang akan keluar. Berikut gambaran prosedur kapal keluar pelabuhan di PPS Nizam Zachman. 72 PROSEDUR KAPAL KELUAR PELABUHAN Perum PPS • Retribusi tambat labuh Nahkoda/pemilik/ pengurus/agen Pos kesehatan pelabuhan • Pemeriksaan kapal • Lapor status kapal yang akan keluar ke instansi terkait • Menyelesaikan seluurh kewajiban kesehatan ABK • Pemeriksaan kesehatan di kapal Pengawas perikanan • Memeriksa perijinan perikanan Dinas perikanan • Memeriksa alat penangkapan, • Retribusi retribusi jumlah dan jenis hasil tangkapan Imigrasi • Pemeriksaan • Menerbitkan Surat dokumen ABK Layak Operasi (SLO) Kesyahbandaran pelabuhan • Memeriksa dokumen perijinan • Memeriksa daftar ABK Kapal keluar • Memeriksa nautis, teknis, dan admin • Memeriksa alat penangkap ikan bagi kapal penangkap ikan • Memeriksa kelengkapan standar kapal pengangkut ikan • Memeriksa pelunasan retribusi kapal • Menerbitkan Surat Ijin Berlayar (SIB) Gambar 1 Prosedur kapal keluar pelabuhan. 73 Kedatangan kapal Indonesia untuk masuk ke PPS Nizam Zachman Jakarta diatur dengan prosedur yang hampir sama dengan prosedur kapal keluar, yaitu melalui pemeriksaan beberapa pihak. Namun perbedaannya terdapat pada runtun alur pemeriksaannya. Awal kedatangan kapal Indonesia akan dilakukan pemeriksaan oleh syahbandar perikanan dan pengawas pelabuhan. Prosedur masuknya kapal Indonesia ke PPS Nizam Zachman diterangkan dalam Gambar 5. Syahbandaran perikanan akan memeriksa beberapa hal antara lain: 1) memeriksa dokumen dan daftar ABK; 2) memeriksa nautis, teknis, dan admin kapal; 3) memeriksa Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) terakhir; 4) memeriksa Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI); 5) memeriksa logbook; 6) penempatan sandar, labuh, tambat kapal; 7) mengisi form memorandum kedatangan; 8) menyimpan dokumen kapal; dan 9) penerbitan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK). Sedangkan pengawas perikanan akan melakukan beberapa pemeriksaan lainnya yaitu: 1) memeriksa SLO (Surat Layak Operasi) dan LBP (Logbook Perikanan); 2) memeriksa perijinan perikanan; 3) memeriksa alat tangkap, hasil tangkap, jumlah hasil tangkap, dan jenis hasil tangkap; dan 4) memeriksa bila terdapat penyimpangan/pelanggaran dan membuat laporan kejadian sampai proses penyidikan. Jika terdapat penyimpangan atau pelanggaran perikanan dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh syahbandar perikanan dan pengawas pelabuhan, maka akan dibuat laporan kejadian dan dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan untuk mendukung pembuktian. Hal tersebut berpedoman dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.02/MEN/2002 tentang Pedoman Pengawasan dan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.03/MEN/2002 tentang LBP (Logbook Perikanan). Setelah itu 74 penyidikan atau pemberkasan menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk ditindaklanjuti oleh kepolisian, TNI-AL (Tentara Negara Indonesia - Angkatan Laut), dan kejaksaan. Kemudian hal tersebut akan diproses oleh penuntut umum dan pengadilan negeri. Namun jika tidak terdapat permasalahan dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh syahbandar perikanan dan pengawas pelabuhan maka pihak kapal akan melanjutkan beberapa pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan tersebut antara lain dilakukan oleh pihak bea cukai, pihak imigrasi, Dinas Perikanan, pihak karantina kesehatan, dan pihak Perum PPS Nizam Zachman Jakarta. Pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak beacukai yaitu terkait muatan yang menyangkut kepabeanan. Selanjutnya pihak imigrasi akan memeriksa kewarganegaraan orang atau ABK (Anak Buah Kapal) yang ada di kapal. Sedangkan pihak Dinas Perikanan akan melakukan pemeriksaan terhadap pelelangan dan pembinaan mutu terhadap hasil tangkapan. Selain itu ada pula pemeriksaan yang dilakukan oleh pos kesehatan pelabuhan yang memeriksa kesehatan ABK (Anak Buah Kapal) dan kesehatan di kapal. Sedangkan Perum (Perusahaan umum) PPS akan melakukan mengatur tamat labuh, perbekalan, docking. Berikut Gambar 5 diagram alir prosedur kapal Indonesia masuk pelabuhan. No: 2/MEN/2002 ttg pedoman pengawasan • Memeriksa alat tangkap, hasil tangkapan, laporan kejadian sampai proses penyidikan penyimpangan/pelanggaran membuat • Memeriksa jika ada Jika bermasalah No: 3/MEN/2002 ttg LLO/LBP SK.Menteri Kelautan dan Perikanan • Memeriksa perijinan perikanan jumlah dan jenis hasil tangkapan Pedoman : mendukung pembuktian. • Melakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk • Membuat laporan kejadian Bila ada penyimpangan/pelanggaran perikanan Penyidikan (SPDP) Menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan/pemberkasan • TNI AL • Kejaksaan • Kepolisian • Memeriksa SLO dan LBP Pengawas perikanan Kedatangan Kapal (STBLKK) • Menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor • Menyimpan dokumen kapal • Mengisi form memorandum kedatangan • Penempatan sandar, labuh, tambat • Memeriksa SIB terakhir • Memeriksa nautis, teknis, dan admin • Pengadilan Negeri • Memeriksa dokumen dan daftar ABK Gambar 5 Prosedur kapal Indonesia masuk pelabuhan. Jika tidak bermasalah • Bea cukai • Dinas perikanan • Imigrasi pelabuhan • Pos kesehatan • Perum PPS Pemeriksaan di : Kapal masuk • Penuntut Umum Kesyahbandaran pelabuhan PROSEDUR KAPAL INDONESIA MASUK PELABUHAN 75 76 Jika dilihat dari diagram alir prosedur kapal masuk dan keluar PPS Nizam Zachman Jakarta, aturan Indonesia masih belum sesuai dalam pelaksanaannya dengan butir-butir dalam port state measures. Seperti halnya pemeriksaan dokumen identitas kapal tidak secara mendetil dijelaskan berkemungkinan dilakukan oleh syahbandar perikanan atau pengawas perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta. Sama halnya dengan pemeriksaan radio komunikasi, penanda internasional atau vessel monitoring system. Pemeriksaan hasil tangkapan, alat penangkapan telah dicantumkan walaupun belum mendetil. Alat bantu penangkapan belum tertulis akan dilakukan pemeriksaannya. Kesesuaian antara pemeriksaan dengan dokumen terlampir telah tertera dalam prosedur kapal masuk. Namun belum dijelaskan adanya pembuatan hasil pemeriksaan yang ditandatangani oleh pihak kapal dan pihak yang melakukan pemeriksaan, hanya sebatas laporan pemeriksaan saja. Komparasi tiap butir yang diwajibkan kepada negara pelabuhan dalam port state measures terhadap pelaksanaan yang ada di PPS Nizam Zachman akan dimuat dalam Tabel 9 berikut. Penjabaran atas komparasi tersebut akan dijelaskan pada Sub-sub Bab selanjutnya (Sub-subbab 4.2.1 sampai Sub-subbab 4.2.6) Rutin melalui pelayanan kapal masuk dan kapal kelur pelabuhan Stastus kegiatan Rutin saat masuk dan keluar kapal Rutin saat masuk dan keluar kapal 3. Pemeriksaan VMS kapal dan radio komunikasi penanda 4. Pemeriksaan logbook perikanan c. Radio komunikasi penanda internasional, dan penanda lain serta data VMS dari negara bendera atau RFMO d. Dokumen logbook perikanan Rutin saat masuk dan keluar kapal Rutin saat masuk dan keluar kapal 2. Pemeriksaan dokumen kapal 1. Pemeriksaan SIUP, SIPI atau SIKPI Patroli laut gabungan (Syahbandar perikanan, pengawas perikanan, dan polisi air) 1. Pengawasan dan kontrol melalui pelayanan umum Langkah yang dilakukan Syahbandar perikanan b. Dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor identifikasi IMO) Kegiatan perikanan harus menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi) Melakukan pemeriksaan: a. Dokumen perijinanan/ otoritas penangkapan 1. 2. Butir dalam Port State Measure No. Tabel 8 Pelaksanaan butir port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta Stastus kegiatan Dilakukan saat pengisian form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) kapal akan berangkat melaut dan yang akan bongkar hasil tangkapan Rutin dilakukan setiap kapal perikanan akan berangkat ke laut dan yang akan bongkar hasil tangkapan Apabila ada laporan dari masyarakat atau POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) Terjadwal (telah lama tidak dilakukan) Operasi Laut dan Pengawasan Sumberdaya Kelautan Langkah yang dilakukan Pengawas Perikanan 77 4. 3. No. Pemeriksaan saat kedatangan kapal dan keberangkatan kapal 6. Memeriksa daftar Anak Buah Kapal (ABK) Pemeriksaan saat kedatangan kapal dan keberangkatan kapal f. Dokumen daftar awak kapal Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan Setiap pemeriksaan fisik akan disesuaikan dengan keterangan yang terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal 5. Memeriksa hasil tangkapan, jumlah, jenis, sertifikat hasil tangkapan, surat keterangan satu badan usaha (untuk transshipment ). Langkah yang dilakukan Rutin saat masuk dan keluar kapal Rutin saat masuk dan keluar kapal Tidak rutin dilakukan karena mengacu pada rujukan SLO (Surat Laik Operasi) yang dikeluarkan pegawas perikanan Rutin saat masuk dan keluar kapal Stastus kegiatan Syahbandar perikanan e. Dokumen hasil tangkapan, transshipment, perdagangan Butir dalam Port State Measure Dilakukan saat pengisian form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) kapal akan berangkat melaut Dilakukan saat pengisian form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) kapal akan berangkat melaut Dilakukan saat pengisian form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) kapal akan berangkat melaut dan yang akan bongkar hasil tangkapan Rutin dilakukan setiap kapal perikanan akan berangkat ke laut dan yang akan bongkar hasil tangkapan Rutin dilakukan setiap kapal perikanan akan berangkat ke laut dan yang akan bongkar hasil tangkapan Rutin dilakukan setiap kapal perikanan akan berangkat ke laut dan yang akan bongkar hasil tangkapan. Stastus kegiatan Pengawas Perikanan Langkah yang dilakukan Tabel 8 Pelaksanaan butir port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta (lanjutan 1) 78 Butir dalam Port State Measure Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh pengawas dan kapten kapal Melakukan pelatihan untuk pengawas atau petugas inspeksi Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil tangkapan) No. 5. 6. 7. Stastus kegiatan 1. Pelatihan ke BPPI (Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan) Semarang 2. Kunjungan (skala hari) dan diklat (1,5-2 bulan) ke instansi perikanan - Terjadwal dan tidak menentu Rutin saat kapal akan Terdapat dalam form keluar dan masuk HPK, daftar pelabuhan pemeriksaan (check list) dalam rangka penerbitan SIB kapal perikanan, dan daftar Anak Buah Kapal (ABK). Langkah yang dilakukan Syahbandar perikanan - Terjadwal dan tidak menentu Dilakukan saat pengisian form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) kapal akan berangkat melaut dan yang akan bongkar hasil tangkapan - Rutin dan wajib dilakukan setiap tahun bagi pengawas perikanan yang baru Rutin dilakukan setiap kapal perikanan akan berangkat ke laut dan yang akan bongkar hasil tangkapan Stastus kegiatan Pengawas Perikanan Langkah yang dilakukan Tabel 8 Pelaksanaan butir port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta (lanjutan 2) 79 80 4.2.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan Kegiatan pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan dilakukan oleh syahbandar perikanan dan pengawas perikanan. Contoh nyatanya yaitu diadakan kegiatan patroli laut gabungan antara syahbandar perikanan, pengawas perikanan, dan polisi air. Namun sangat disayangkan bahwa kegitan ini pernah dilakukan beberapa tahun lalu dan sekarang sudah tidak terlaksana lagi. Kegiatan pengelolaan dan konservasi yang dilakukan oleh pengawas perikanan yaitu melalui operasi laut dan pengawasan sumberdaya kelautan yang meliputi pengawasan pencemaran, perusakan terumbu karang, dan pencurian pasir laut. Namun hal yang disayangkan dari kegiatan ini yaitu terlaksana hanya ketika adanya laporan dari masyarakat atau dari kelompok POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas). Kegiatan pengelolaan dan konservasi juga dapat tercermin dari pelaksanaan kontrol pengawasan yang dilakukan syahbandar perikanan melalui pelayanan umum bagi kapal. Pelayanan ini dianggap mampu memantau kegiatan kapal masuk dan keluar pelabuhan yang merupakan. Rekomendasi dari kepala pelabuhan ataupun syahbandar perikanan sebagai tindak lanjut pengajuan rencana kapal dari nahkoda atau pihak kapal merupakan suatu kotrol diperbolehkan atau tidaknya kegiatan penangkapan di suatu perairan. Hal ini akan disetujui jika diketahui bahwa sumberdaya ikan di perairan tersebut memang masih berkemungkinan untuk dilakukannya penangkapan. Selain itu, melalui pelaporan atau pemeriksaan logbook perikanan, akan diperoleh data jumlah hasil tangkapan. Data tersebut akan diperhitungkan untuk menggambarkan potensi sumberdaya ikan suatu perairan untuk kemudian akan menjadi pertimbangan rekomendasi persetujuan rencana melaut. Ironisnya terkadang masih terdapat tindakan unreported fishing, yaitu bahwa jumlah hasil tangkapan yang dilaporkan tidak sesuai dengan jumlah hasil tangkapan nyatanya (palkah kapal atau pendaratan). Pelaporan jumlah hasil tangkapan suatu armada ternyata memiliki pengaruh terhadap besar kecilnya biaya PHP (Pungutan Hasil Perikanan) untuk pengurusan SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan). Semakin besar jumlah hasil tangkapan suatu armada dalam satu tahunnya maka semakin besar pula nilai PHP yang harus dibayar kepada pemerintah. Hal inilah yang secara tidak langsung 81 melatarbelakangi ketidaksesuaian atau diperkecilnya pelaporan jumlah hasil tangkapan. Jika dilihat dari segi konservasi, hal ini dapat merusak keberlangsungan atau kelestarian sumberdaya ikan. Tindakan unreported fishing terjadi karena kurangnya kesadaran diri nelayan dan kurangnya tindakan tegas dari inspector (pihak yang melakukan inspeksi atau pemeriksaan). Nelayan masih belum sadar bahwa tindakan unreported fishing akan merugikan usaha penangkapan mereka dikemudian hari. Perkiraan potensi sumberdaya ikan di suatu perairan yang dikeluarkan oleh instansi perikanan akan salah, sehingga nelayan pun akan memperoleh informasi yang salah untuk kegiatan penangkapannya. Kegiatan penangkapan ke suatu perairan yang diperkirakan masih potensial ternyata tidak sesuai dengan hasil tangkapan yang diperoleh (semakin berkurang) nantinya. Hal tersebut tidak akan terjadi seandainya data jumlah hasil tangkapan dilaporkan sesuai dengan yang didaratkan. Pelaporan yang benar akan memberikan perkiraan potensi perairan yang benar pula. Ketika suatu perairan memang mengalami penurunan potensi, maka akan dilakukan penutupan area penangkapan dan dilakukannya restocking perairan. Hal inilah yang diharapakan mampu menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan. pemeriksaan-pun (inspector) harusnya pelanggaran seperti unreported fishing. mampu Pihak yang melakukan menindaktegas terjadinya Itulah mengapa perlunya tindakan pengelolaan dan konservasi yang didukung oleh semua pihak melalui kesadaran diri, pengawas rutin, pemeriksaan, dan penindakan tegas suatu aturan. Indonesia belum secara detail mengulas makna IUU fishing. Sehingga masih sulitnya pihak-pihak yang bermain dalam dunia perikanan Indonesia ini menyamakan pemahaman tersebut. Pengertian praktik IUU fishing hingga sekarang masih mengadopsi dari definisi menurut FAO. Indonesia harusnya perlu menyeimbangkan antara kultur masyarakat nelayan Indonesia, yang umumnya kurang akan pendidikan namun harus dihadapkan dengan regulasi dan aturan tertentu. Butir pertama yang termasuk sebagai kewajiban negara pelabuhan yang disebutkan dalam dokumen PSM Agreement, yaitu kegiatan perikanan harus menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan 82 sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi). PPS Nizam Zachman telah melakukan kewajiban tersebut dalam pemberian rekomendasi ijin penangkapan atau penangkutan ikan dan dalam pelayanan umum terhadap administrasi kapal serta melalui patroli gabungan. Namun hal yang perlu diperbaiki adalah pemahaman dilarangnya praktik IUU fishing, pengawasan yang lebih siaga dan rutin, ketegasan pihak pengawas atau pemeriksa, sinergisitas pengelolaan perikanan dengan pihak terkait lainnya (seperti syahbandar perikanan, pengawas perikanan, TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut), polisi air dan lain-lainnya. 4.2.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan Pemeriksaan terkait dokumen perijinan atau otoritas penangkapan; dokumen identitas kapal; radio komunikasi penanda internasional dan penanda lain, serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau RFMO (Regional Fisheries Management Organization); logbook perikanan; hasil tangkapan, transshipment; dan perdagangan; dan pemeriksaan daftar awak kapal, telah dijalankan di PPS Nizam Zachman Jakarta. Aliran pemeriksaan tersebut tergambar dalam Gambar 4 dan Gambar 5. Kesemuaan pemeriksaan yang direkomendasikan dalam PSM Agreement, secara umum sesuai dengan pemeriksaan yang dilakukan pihak syahbandar perikanan dibantu oleh bagian data dan informasi dari bidang tata operasional UPT (Unit Pelaksana Teknis) PPS Nizam Zachman Jakarta terhadap kapal Indonesia yang masuk dan keluar pelabuhan. Selain itu, pemeriksaan ini dilakukan pula oleh pengawas perikanan pada pengisian form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) saat keberangkatan melaut dan bongkar hasil tangkapan. Setiap unit kapal yang melapor telah dilengkapi dengan berbagai berkas atau dokumen. Hasil yang diperoleh bahwa dokumen tersebut antara lain SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan), SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) atau SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan), SLO (Surat Laik Operasi), catch sertificate, SIB (Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar), logbook perikanan Indonesia (berbeda untuk tiap alat tangkap), surat pernyataan nahkoda tentang pemberangkatan kapal perikanan, dafar periksa (check list) dalam rangka 83 penerbitan SIB kapal perikanan, daftar Anak Buah Kapal (ABK), STBLKK (Surat Tanda Bukti Lapor Kapal Keluar), surat pernyataan nahkoda (untuk kapal pengangkut ikan), dokumen hasil tangkapan untuk ekspor (seperti packing list, surat pengesahan dokumen RFMO, dan pas tahunan kapal yang diterbiitkan oleh Dinas Perhubungan). Terkait dengan surat atau dokumen yang dikeluarkan tersebut, dilakukan oleh beberapa pihak atau instansi perikanan. SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan), SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) atau SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. SLO (Surat Laik Operasi) dikeluarkan oleh pengawas perikanan di pelabuhan setempat setelah dilakukannya pemeriksaan fisik kapal. Setelah SLO (Surat Laik Operasi) diperoleh nahkoda atau pihak kapal mengajukan rencana berangkat yang dituangkan dalam surat pernyataan nahkoda tentang pemberangkatan kapal perikanan ke kepala pelabuhan dengan tembusan ke syahbandar perikanan. SIB (Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar) dikeluarkan setelah diperiksanya kepemilikan SLO (Surat Laik Operasi) dan memastikan kapal perikanan tersebut layak tangkap dan layak simpan. SIB (Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar) dikeluarkan setelah dilakukan pemeriksaan kapal yang dituangkan kedalam daftar pemeriksaan (check list) dalam rangka penerbitan SIB kapal perikanan yang ditandatangani oleh nahkoda atau pihak kapal dan pengawas yang melakukan pemeriksaan. STBLKK (Surat Tanda Bukti Lapor Kapal Keluar) dikeluarkan oleh Kepala Pelabuhan untuk menyetujui rencana pemberangkatan tersebut. Kemudian dilakukan pemeriksaan ABK yang tercantum dalam daftar ABK yang memuat jabatan, ijazah, dan keterangan kebangsaan. Daftar ABK diketahui oleh pihak syahbandar perikanan, pihak kesehatan pelabuhan, dan nahkoda atau pihak kapal. Dokumen hasil tangkapan untuk ekspor (seperti packing list, surat pengesahan dokumen RFMO, dan pas tahunan kapal (diterbiitkan oleh Dinas Perhubungan) terlampir sebagai dokumen yang telah diurus sebelumnya. Logbook perikanan diberikan dalam keadaan belum diisi (kosong) kepada kapal yang akan keluar. Logbook perikanan akan diperiksa ketika kapal akan masuk ke pelabuhan. 84 PPS Nizam Zachman merupakan pelabuhan yang di dalamnya terdapat armada yang melakukan ekspor hasil tangkapan ke luar negeri terutama Uni Eropa. PPS Nizam Zachman berkoordinasi dengan beberapa Regional Fisheries Management Organisation (RFMO) seperti Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC), International Commission for the Conservation Atlantic Tunas (ICCAT), dan Inter American Tropical Tuna Commission (IATTC). RFMO terkait akan mengeluarkan daftar kapal yang terlibat IUU fishing (IUU vessel list). Kapal yang terdaftar dalam IUU vessel list akan ditolak masuk, mendaratkan, dan memperdagangkan hasil tangkapannya ke pelabuhan negara anggota. Adapaun IUU vessel list yang dikeluarkan oleh IOTC dan WCPFC tahun 2011 yaitu pada Tabel 10 dan Tabel 11. Setiap RFMO tersebut memiliki kesepakatan yang harus diberlakukan oleh setiap negara anggota. Pada umumnya setiap hasil tangkapan wajib dilengkapi dengan Sertifikat Hasil Tangkapan (SHT) ataupun melalui tagging (penandaan) tertentu. Hasil tangkapan yang tidak memenuhi hal tersebut akan ditolak dalam perdagangan antar wilayah negara anggota. Unknown (Equatorial Guinea) Unknown (Georgia) Unknown Unknown (Malaysia) Ocean Lion Yu Maan Won Gunuar Melyan 21 Hoom Xiang Current flag (previous flags) Current name of vessel (previous names) June 2008 March 2010 May 2007 Date first included on IOTC IUU Vessel Lists June 2005 Tabel 9 IOTC IUU vessel list Maret 2011 7826233 Lioyds/ IMO number Yes Refer to Report IOTC-S14CoC13-add[E] Photo Call sign (previous call signs) Operator (previous operators) Contravention of IOTC Resolution 02/04, 02/05, 03/05 Summary of IUU activities Contravention of IOTC Resolution 09/03 Sumber: http://iotc.org/files/iuu/IOTC_iuu_list[E].pdf Hoom Xiang Industries Sdn. Bhd Owner/ beneficial owners (previous operators) 85 Chinese Taipei Panama (Japan) Jinn Feng Tsair No 1 Senta Note : now renamed Sun Fu Fa (Shin Takara Maru) Yu Fong 168 Chinese Taipei Georgia Fu Lien No 1 Neptune Current flag (previous flags Georgia Current name of vessel (previous names) 1 Jul 2009 4 Jun 2008 7 Des 2007 2 July 2010 Date first included on draft WCPFC IUU Vessel List 2 July 201 Tabel 10 WCPFC IUU vessel list tahun 2011 IMO No.8221947 CT4-2444 IMO No 7355662 Flag State Registration Number/ IMO Number C-00545 BJ4786 HOFG BJ4444 4LIN2 4LOG Call Sign (previous call signs) Chin Fu Fishery, Chinese Taipei (as Senta) Now: Shine Year Fishery (Nisshin Kisen Co.Ltd, Japan) Chang Lin PaoChun 161 Sanmin Rd., Liouciuo Township, Pingtung Country 929, Chinese Taipei Hung Ching Chin Pingtung, Chinese Taipei Fu Lien Fishery Co.Georgia Space Energy Enterprises Co.Ltd Owner/ beneficial owners (previous owners) Fishing in Exclusive Economic Zone of the Republic of the Marshall Islands without permission and in contravention of Republic of the Marshall Islands’s laws and regulations. (CMM 2007-03, para 3b) Fishing on the high seas of the WCPFC Convention Area without being on the WCPFC Record of Fishing Vessels (CMM 2007-03-para 3a) Is without nationality and harvested species covered by the WCPFC Convention Area (cmm 2007 03, para 3h) Fishing in the Exclusive Economic Zone of the Federated States of Micronesia without permission and in contravention of Federated States of Micronesia’s laws and regulations (CMM 2007-03, para 3b) Transhipping on the high seas of the WCPFC Conventioan Area without being on the WCPFC Record of Fishing Vessels (CMM 2007-03-para 3 a) Alleged IUU activities Sumber: http://wcpfc.int/doc/wcpfc-iuu-vessel-list-2011 Marshall Islands Email: [email protected] [email protected] France (Frenc Polynesia) Email Federated States of Micronesia Email: [email protected] USA France for French Polynesia Notifying CCM/ Contact Detail 86 87 Kendala yang terjadi, bahwa pada semua prosedur ini masih kurangnya sumberdaya manusia atau petugas pemeriksaan dalam bentuk kuantitas dan kualitas. Sumberdaya manusia di syahbandar PPS Nizam Zachman yang ada masih belum mencukupi pembagian waktu untuk pemeriksaan kapal masuk dan keluar. Petugas yang ada diperkerjakan menjadi 3 (tiga) shift waktu. Setiap shiftnya dilakukan oleh 3 (tiga) orang petugas. Satu dari tiga petugas tersebut adalah bersifat tetap, yaitu Kepala Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta. Hal inilah yang dianggap kurang mendukung pelaksanaan tugas oleh pihak syahbandar perikanan. Perlu peningkatan hingga 3 (tiga) kali lipat jumlah petugas dari jumlah yang ada, dengan begitu pembagian waktu dianggap cukup memungkinkan. Selain itu, masih kurangnya pemahaman tugas dan fungsi oleh petugas pemeriksaan. Hal ini dikarenakan tidak semuanya petugas yang ada memiliki basic perikanan. Perhatian untuk peningkatan kuantitas dan kuliatas sumberdaya dari pelaku perikanan di pelabuhan khususnya petugas pemeriksa kapal perlu ditopang. Kualifikasi untuk penerimaan petugas inspeksi untuk ke depannya, ditekankan memiliki basic perikanan atau dapat pula diberikan pembekalan terkait perikanan untuk menunjang pemahaman tugas dan fungsi kerja. Tiap tahap prosedur pemeriksaan yang ada dalam aturan sebenarnya sudah sangat menunjang puntuk melawan dan mengantisipasi praktik IUU fishing. Penerapan atas aturan tersebutlah yang harus dipertegas. Butir pemeriksaan yang harus dilakukan oleh negara pelabuhan menurut PSM Agreement telah terealisasi dalam berkas yang dilaporkan setiap unit kapal ketika kedatangan dan keberangkatannya. Dokumen tersebut antara lain SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan), SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) atau SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan), SLO (Surat Laik Operasi), catch sertificate, SIB (Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar), logbook perikanan Indonesia (berbeda untuk tiap alat tangkap), surat pernyataan nahkoda tentang pemberangkatan kapal perikanan, dafar periksa (check list) dalam rangka penerbitan SIB kapal perikanan, daftar Anak Buah Kapal (ABK), STBLKK (Surat Tanda Bukti Lapor Kapal Keluar), surat pernyataan nahkoda (untuk kapal pengangkut ikan), dokumen hasil tangkapan untuk ekspor (seperti packing list, surat pengesahan dokumen RFMO, dan pas tahunan kapal yang diterbiitkan oleh 88 Dinas Perhubungan). Hal yang perlu diperhatikan yaitu kurangnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia yang bertugas dalam hal pemeriksaan atau inspeksi ini. 4.2.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan memang telah sesuai dengan pelaksanaan di PPS Nizam Zachman, namun belum dijalankan sepenuhnya. Pemeriksaan terhadap seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas kapal, dan dimensi kapal), alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan dilakukan oleh pengawas perikanan. Pemeriksaan tersebut dilakukan ketika pengisian form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) saat keberangkatan melaut dan bongkar hasil tangkapan kapal. Sedangkan pihak syahbandar perikanan melakukan pemeriksaan hanya pada alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan. Syahbandar perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta melakukan pemeriksaan tersebut jika kapal perikanan telah memiliki SLO (Surak Laik Operasi) yang dikeluarkan pengawas perikanan. SLO tersebut dikeluarkan pengawas perikanan setelah dilakukannya pemeriksaan kapal. Hal inilah yang dianggap syahbandar perikanan, bahwa pemeriksaan bagian kapal tidak wajib dilakukan. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa pemeriksaan seluruh bagian kapal umumnya dilakukan hanya pada saat nahkoda atau pihak kapal mengurus penerbitan atau perpanjangan SIPI atau SIKPI. Selain itu, untuk penentuan GT (Gross Tonage) dan pengukuran dimensi kapal (untuk kapal baru, yang ingin membuat dokumen kapal), masih dilakukan oleh Syahbandar Hubungan Laut (dokumen tersebut disebut PAS tahunan) sebagai keterangan bahwa kapal tersebut layak laut. Syahbandar perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta masih belum mampu menentuan GT kapal. Hal ini dikarenakan masih kurangnya sumberdaya manusia yang ahli terutama dalam dalam melakukan pengukuran dimensi kapal. Data pengukuran dimensi itulah yang nantinya digunakan dalam penentuan GT kapal. 89 Pemeriksaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan meliputi pemeriksaan jenis, dimensi, ukuran, spesifikasi (seperti mata jaring), dan kesesuaian dengan daerah penangkapan. Pemeriksaan kapal dan bagiannya meliputi nama kapal, nomor gross akte, berat kapal (berat bersih dan berat kotor), kekuatan mesin, nomor seri mesin, dan bahan kapal. Hal tersebut kemudian dimuat dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Sedangkan hasil pemeriksaan tambahan seperti tempertaur ruang penyimpan ikan ruang penyimpanan ikan (jumlah dan kapasitas) akan dimuat dalam Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Pemeriksaan yang dimaksudkan dalam dokumen PSM Agreement adalah pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruang di atas kapal, dan dimensi kapal), alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan. PPS Nizam Zachman Jakarta telah mengupayakan dilakukannya pemeriksaan ini. Namun hal yang masih dianggap kurang dalam pelaksanaannya adalah ketegasan petugas pengawas atau pemeriksa untuk bertanggung jawab menyeluruh atas perihal yang ditugaskan. Kurangnya pemahaman tentang objek pemeriksaan menghambat keefektifan inspeksi. Hal klasik lainnya yaitu kurangnya kualitas dan kuantitas petugas inspeksi. 4.2.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil wawancara Pemeriksaan fisik yang dilakukan akan disesuaikan dengan keterangan yang dimuat dalam dokumennya. Syahbandar perikanan dan pengawas perikanan akan memperhatikan dengan seksama keseuaian pemeriksaan yang dilakukan secara langsung dengan keterangan pada dokumen dan hasil wawancara yang dilakukan pada nahkoda atau pihak kapal. Namun tidak menutup kemungkinan tidak terjadinya koreksi kesesuaian yang mendetail, karena anggapan bahwa pemeriksaan sebelumnya terhadap hal yang sama pernah dilakukan. Sama halnya seperti pemeriksaan kapal dijelaskan pada subsub bab sebelumnya, bahwa SLO (Surat Laik Operasi) dikeluarkan pengawas perikanan setelah dilakukannya pemeriksaan kapal sehingga syahbandar perikanan hanya memeriksa keberadaan SLO dan melanjutkan pemeriksaan lainnya. Hal tersebut dirasa masih kurang efektif, dikarenakan tidak ter-monitor-nya kekurangan atau perubahan terkait 90 semua yang berhubungan dengan kegitan usaha penangkapan dan pengangkutan ikan. Hal tersebut berkemungkinan kecil terjadi jika pemeriksaan dikoordinasikan untuk tiap tahap dan tiap pihak yang seharusnya. Setiap pemeriksaan harus disesuaikan dengan keterangan yang terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal. PPS Nizam Zachman Jakarta telah mengatur hal tersebut. Namun hambatan yang masih dirasakan yaitu keterbatasan pendidikan dan pengetahuan nahkoda dan pemilik kapal serta pemahaman tugas dan wewenang petugas pemeriksa atau pengawas. 4.2.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan Laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak syahbandar perikanan dimuat dalam dokumen daftar periksa (check list) dalam rangka penerbitan SIB (Surat Ijin Berlayar) kapal perikanan. Dokumen tersebut diabsahkan dengan tanda tangan dari nahkoda kapal dan petugas pemeriksa dari syahbandar perikanan. Selain itu, pemeriksaan ABK (Anak Buah Kapal), yang dimuat dalam dokumen daftar ABK juga ditandatangani oleh nahkoda kapal dan syahbandar perikanan serta pihak dari kesehatan pelabuhan. Pengawas perikanan juga mengeluarkan form Hasil Pemerikasaan Kapal (HPK) sebagai berita acara pemeriksaan. Form HPK ditandatangani oleh pengawas perikanan yang bersangkutan dan nahkoda, pemilik, operator kapal dan/atau penanggung jawab perusahaan perikanan. Namun terkadang untuk pengurusan dokumen hasil pemeriksaan dan dokumen lainnya, seringkali bukan nahkoda ataupun pemilik kapal yang mengurus semua perijinan dokumen tersebut. Terdapat pihak yang mengurusnya yaitu agen. sampai ratusan kapal. Satu agen dapat mengurus dokumen dari puluhan Hal ini yang sebenarnya belum diatur oleh peraturan perikanan Indonesia, apakah boleh diberikan kuasa pada pihak lain seperti ini. Namun tidak pula terdapat aturan yang menyalahkannya. Kasus semacam itu bukan hal yang tabu bagi pelaku perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta. Hal tersebut pulalah yang kadang menjadi hambatan, ketika nahkoda atau pemilik kapal tidak mampu memberikan kejelasan dokumen ataupun keterangan spesifik kapal atau lain hal terkaitnya. Karena dalam pengurusan regulasinya, 91 nahkoda atau pemilik kapal terkadang tidak mengetahui apa-apa. Nahkoda hanya diinstruksikan untuk wajib membawa satu map atau berkas yang berisikan dokumen terkait kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan. Keterbatasan pendidikan dan pengetahuan nahkoda dan pemilik kapal terkadang menjadi hambatan pelaksanaan aturan hukum Indonesia. Panjang dan sulitnya birokrasi yang ada di Indonesia (khususnya perikanan) termaksud hal yang dieluhkan oleh nelayan atau pemilik kapal. Pembuatan laporan hasil atas pemeriksaan harus diketahui atau ditandatangani oleh pihak yang melakukan pemeriksaan dan kapten kapal atau pihak kapal. Contohnya melalui form HPK, daftar pemeriksaan (check list) dalam rangka penerbitan SIB kapal perikanan, dan daftar ABK. Hal ini menjadi kewajiban yang harus dijalankan negara pelabuhan. PPS Nizam Zachman Jakarta telah mengatur hal tersebut, namun diharapkan hal ini dicantumkan secara jelas dalam bagan alir prosedur pemeriksaan kedatangan dan keberangkatan kapal. Hambatan pelaksanaan aturan ini yaitu ketegasan birokrasi hukum dan keterbatasan pendidikan atau pengetahuan pihak kapal. 4.2.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa Pelatihan terkait tugas pemeriksaan yang dilakukan oleh syahbandar perikanan dilakukan secara terjadwal. Pelatihan ini umumnya dilakukan melalui kunjungan (dalam kurun beberapa hari) dan diklat (dalam kurun waktu 1,5-2 bulan) yang menerangkan tugas syahbandar perikanan. Selain itu, diadakan pula pelatihan di Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang terkait dengan pengenalan kapal dan operasionalnya. Namun pelatihan yang diselenggarakan umunya hanya melibatkan syahbandar perikanan, tidak melibatkan staff syahbandar perikanan untuk keahlian pemeriksaan kapal perikanan. Pelatihan pengawas PSM Agreement pernah diadakan dalam rangka kerjasama internasional di Malaysia. Pihak Syabandar PPS Nizam Zachman Jakarta ikut berpartisipasi dalam pelatihan pengawas PSM Agreement yang dilakukan di Malaysia pada awal tahun 2011. Pelatihan untuk pengawas perikanan dilakukan rutin dan wajib setiap tahunnya bagi pengawas perikanan yang baru. Pelatihan ini disebut sebagai pembekalan teknis pengawas perikanan. 92 Pelatihan untuk petugas inspeksi atau pemeriksa PPS Nizam Zachman Jakarta perlu diberikan secara menyeluruh kepada petugas pelaksana inspeksi atau pengawas. Hal ini harus lebih diperhatikan lagi mengingat persiapan aplikasi PSM Agrrement yang bertaraf internasional. Hal yang perlu diperhatikan (terutama setelah berpartisipasinya Indonesia dalam pelatihan pengawas PSM Agreement di Malaysia) diperlukannya pemeriksaan dan pengawasan yang bersifat lebih dinamis. Selain itu, perlunya kemampuan bahasa asing (minimal Bahasa Inggris) dan pengetahuan dunia perikanan yang sesuai dengan pemahaman internasional bagi seluruh pelaku perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta (perlu sosialisasi menyeluruh). 4.2.7 Penggunaan sistem informasi kode internasional Indonesia belum mengatur regulasi hukum untuk penggunaan sistem informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, dan jenis hasil tangkapan). Oleh karena itu, PPS Nizam Zachman belum melaksanakan sistem informasi kode internasional tersebut. Selain itu, PPS Nizam Zachman Jakarta belum memiliki sumberdaya manusia yang kompeten dan belum ditunjangnya sarana dan prasarana terkait sistem informasi kode internasional tersebut. 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari segi hukum dan peraturan yang ada, Indonesia telah memiliki tingkat kesiapan yang tinggi untuk mengadopsi dokumen perjanjian Port State Measures (PSM). Hal ini terbukti dengan adanya hukum dan peraturan yang mengatur 6 (enam) dari 7 (tujuh) butir kewajiban negara pelabuhan sebagaimana dituntut oleh dokumen Port State Measures. Adapun ketujuh butir tersebut yaitu (enam butir pertama adalah yang telah diatur di Indonesia), 1 Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi); 2 Melakukan pemeriksaan yaitu: 1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan; 2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor identifikasi IMO); 3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda lainnya serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau RFMO; 4) pemeriksaan logbook; 5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan; 6) pemeriksaan daftar awak kapal; 3 Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan; 4 Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal; 5 Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh pengawas dan kapten kapal; 6 Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan 94 7 Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil tangkapan). Adapun butir kewajiban yang belum tersusun adalah penggunaan sistem informasi kode internasional. Namun demikian terdapat secara umum hukum dan peraturan yang ada masih memerlukan adanya rincian lebih mendalam dan perluasan cakupan untuk dapat diterapkan pada kapal-kapal ikan asing. Tingkat kesiapan PPS Nizam Zachman Jakarta untuk menerapkan port state measures adalah sebagai berikut: 1. Secara tertulis, hukum Indonesia yang memuat 6 (enam) dari 7 (tujuh) butir kewajiban negara pelabuhan menurut dokumen port state measures, telah diterapkan di PPS Nizam Zachman Jakarta. Namun masih terdapat kekurangan di beberapa aspek; 2. Hal yang masih dianggap kurang untuk pelaksanaan port state measures nantinya di PPS Nizam Zachman Jakarta: 1) Sosialisasi pemahaman IUU fishing kepada seluruh pelaku perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta; 2) Sumberdaya manusia di PPS Nizam Zachman Jakarta (terutama di syahbandar perikanan) masih kurang dalam segi kuantitas dan kualitas. Kuantitas yang ada belum mampu menunjang pembagian jam kerja dalam pengawasan. Sedangkan kualitas yang ada masih kurang dalam aspek pemahaman terhadap objek pemeriksaan, penindaktegasan penerapan hukum, dan perbaikan sistem pembagian kerja pemeriksaan kapal serta kemampuan berbahasa asing (minimal Bahasa Inggris). 3) Pengawasan dan pemeriksaan (inspeksi) yang masih kurang siaga 24 jam dan dinamis (mobilisasi pengawasan); 4) Sarana dan prasarana yang belum mampu menunjang pelaksanaan tugas inspeksi atau pemeriksaan seperti, sarana komunikasi radio, faksimile, perlengkapan petugas pemeriksa (seperti jaket hangat, senter, masker, helm, kacamata, mantel hujan, boot, dan lain sebagainya), radio komunikasi HT (Handy Talky), CCTV (Closed Circiut Televison), 95 speaker, kendaraan penunjang roda empat, dan kapal tug boat atau fire boat yang membantu jika terjadi kebakaran. 5) PPS Nizam Zachman belum menggunakan sistem informasi kode internasional. Hal ini dikarenakan hukum Indonesia belum mengatur penggunaan sistem informasi kode internasional di pelabuhan perikanan Indonesia. Selain itu, Indonesia belum memiliki sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia yang mampu menunjang penggunaan sistem informasi kode internasional tersebut. Perlu jaringan (networking) untuk penerapan Monitoring Control System (MCS) termasuk hardware dan software untuk mendukung hal tersebut. 5.2 Saran Sesuai dengan hasil penelitian ini, maka saran yang dihasilkan berupa rekomendasi pelaksanaan beberapa aksi untuk memperkuat persiapan penerapan port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta. Rekomendasi tersebut adalah: 1. Peningkatan sosialisasi pemahaman IUU fishing kepada seluruh pelaku perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta (terutama nelayan, syahbandar perikanan, dan pengawas perikanan) yang disesuaikan dengan pemahaman internasional; 2. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam aspek pemahaman terhadap objek pemeriksaan, penindaktegasan penerapan hukum, dan perbaikan sistem pembagian kerja pemeriksaan kapal serta kemampuan berbahasa asing (minimal Bahasa Inggris); 3. Harmonisasi pengelolaan perikanan dengan pihak terkait, seperti syahbandar perikanan, pengawas perikanan, TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut), polisi air, pihak imigrasi, UPT PPS Nizam Zachman Jakarta, dan pihak terkait lainnya; 4. Pelatihan sumberdaya pengawasan dan pemeriksaan (inspeksi) agar lebih siaga 24 jam, dinamis dan rutin; dan 5. Pengadaan atau penambahan sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan port state measures, yaitu: 96 1) Sarana komunikasi radio; 2) Faksimile untuk komunikasi dari kapal ke syahbandar perikanan; 3) Perlengkapan petugas pemeriksa seperti jaket hangat, senter, masker, helm, kacamata, mantel hujan, boot, dan lain sebagainya; 4) Radio komunikasi HT (Handy Talky); 5) Peningkatan jumlah CCTV (Closed Circiut Televison) ke 10 sudut dermaga; 6) Speaker di seluruh wilayah pelabuhan; 7) Kendaraan penunjang roda empat; 8) Kapal tug boat atau fire boat yang membantu jika terjadi kebakaran; serta 9) Jaringan (networking) untuk penerapan Monitoring Control System (MCS) termasuk hardware dan software. 97 DAFTAR PUSTAKA Abadi, AA. 2006. Problematika Penentuan Sampel dalam Penelitian Bidang Perumahan dan Permikuman. Bandung: Departemen Arsitektur. Institut Teknologi Bandung. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/ article/download/16546/16538 [23 Agustus 2011]. Absah, Y. 2007. Pengaruh Kemampuan Pembelajaran Organisasi terhadap Kompetensi, Tingkat Diversifikasi, dan Kinerja Perguruan Tinggi Swasta di Sumatera Utara. [Disertasi]. Surabaya: Program Pascasarjana. Universitas Airlangga. http://www.damandiri.or.id/file/ yeniabsahunaircover.pdf [23 Desember 2011]. Amalia dan Putri. 2008. Urgensi Arbitrase dan Mediasi Sebagai Metode Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan dalam Sengketa Bidang Perbankan. Bandung: Fakultas Hukum. Universitas Pajadjaran. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/11/urgensi_arbitrase _dan_mediasi.pdf [23 Agustus 2011]. Darmawan. 2006. Analisis Kebijakan Penanggulangan IUU-fishing dalam Pengelolaaan Perikanan Tangkap Indonesia. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan. Jakarta: DKP. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan. Jakarta: DKP. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan PerikananNomor PER.05/MEN/2007tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Jakarta: DKP. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas. Jakarta: DKP. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2008. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Unit Perikanan Tangkap. Jakarta: DKP. 98 [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan. Jakarta: DKP [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Jakarta: DKP. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2002. Laporan Tahunan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal 7-13. Eriyanto. 2007. Teknik Sampling (Analisis Opini Publik). Jakarta: LKiS Yogyakarta. Fabra, A., V. Gascon, M. Marrero, S. Lieberman, dan K. Sack. 2011. Closing the gap: Comparing tuna RFMO port state measure with the FAO Agreement on Port State Measure. The PEW Environment Group. http://www.pewenvironment.org/uploadedFiles/PEG/Publications/ Report/Tuna_RFMO_Report_July2011.pdf [23 Agustus 2011]. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Issue, Sintesis, dan Gagasan. Bogor: Gramedia Pustaka Utama. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome: Food and Agriculture Organization. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome: Food and Agriculture Organization. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome: Food and Agriculture Organization. Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo. 99 [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Data Indikator Kinerja Umum Kelautan dan Perikanan Tahun 2010. Jakarta: Pusat data statistik dan informasi. http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/16/Data-IndikatorKinerja-Umum-KKP-2010/?category_id=3 [16 September 2011]. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2010. Jakarta: Pusat data statistik dan informasi. http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/18/Buku-Kelautan-danPerikanan-Dalam-Angka-2010/?category_id=3 [16 September 2011]. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.18/MEN/2010 tentang Logbook Penangkapan Ikan. Jakarta: KKP. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2010 tentang Pemberian Kewenangan Penerbitan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk Kapal Perikanan Berukuran di Atas 30 (Tiga Puluh) Gross Tonnage sampai dengan 60 (Enam Puluh) Gross Tonnage kepada Gubernur. Jakarta: KKP. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2010 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan. Jakarta: KKP. Lambang. 2009. Kebijakan Tindak Pidana Penghinaan terhadap Presiden. [Tesis]. Semarang: Program Magister Ilmu Hukum. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/16144/1/Adhya_Satya_ Lambang_B.pdf [27Agustus 2011]. Latar. 2004. Strategi Kebijakan untuk Penanggulangan Kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia Utara Papua. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Lobach, T. 2004. Port State Measure. Norway: Directorate for Food, Agriculture and Fisheries. Fisheries Committee. Losh, SC. 2000. Types of Error and Basic Sampling Designs. Lecture Handout EDF 5481 Methods of Educational Research. 100 Lubis, E., I. Solihin, T. Nugroho, dan R. Muninggar. 2010. Diktat Pelabuhan Perikanan. Bogor: Bagian Kepelabuhan Perikanan dan Kebijakan Pengelolaan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Nikijuluw, VPH. 2008. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal Blue Water Crime. Jakarta: Pustaka Cidesindo. [PPS] Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta. 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta: PPS Nizam Zachman Jakarta. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Republik Indonesia. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Republik Indonesia. 101 LAMPIRAN 102 Lampiran 1 Draft Naskah Terjemahan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur) 103 Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing PREAMBLE The Parties to this Agreement, Persetujuan Tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur PEMBUKAAN Pihak-pihak dalam Persetujuan ini, Deeply concerned about the continuation of illegal, unreported and unregulated fishing and its detrimental effect upon fish stocks, marine ecosystems and the livelihoods of legitimate fishers, and the increasing need for food security on a global basis, Menaruh perhatian yang mendalam terhadap berlanjutnya penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) serta dampaknya yang merugikan terhadap persediaan ikan, ekosistem kelautan dan mata pencaharian para nelayan yang sah, dan meningkatnya kebutuhan terhadap keamanan pangan di seluruh dunia, Conscious of the role of the port State in the adoption of effective measures to promote the sustainable use and the long-term conservation of living marine resources, Menyadari peran Negara Pelabuhan dalam penerapan langkah yang efektif untuk memajukan pemanfaatan yang berkelanjutan dan konservasi jangka panjang terhadap sumber daya kelautan hayati, Recognizing that measures to combat illegal, unreported and unregulated fishing should build on the primary responsibility of flag States and use all available jurisdiction in accordance with international law, including port State measures, coastal State measures, market related measures and measures to ensure that nationals do not support or engage in illegal, unreported and unregulated fishing, Memahami bahwa langkah-langkah untuk memberantas IUU Fishing sepatutnya berdasar pada tanggung jawab utama dari Negara Bendera dan sepatutnya menggunakan kewenangan yang ada merujuk kepada hukum internasional, termasuk ketentuan Negara Pelabuhan, ketentuan Negara Pantai, ketentuan yang berkaitan dengan pasar dan ketentuan untuk memastikan bahwa warga negara tidak mendukung atau terlibat dalam IUU Fishing, Recognizing that port State measures provide a powerful and cost-effective means of preventing, deterring and eliminating illegal, unreported and unregulated fishing, Memahami bahwa ketentuan Negara Pelabuhan memberikan sarana yang memiliki kekwenangan besar dan berbiaya efektif untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing, Aware of the need for increasing coordination at the regional and interregional levels to combat illegal, unreported and unregulated fishing through port State measures, Menyadari perlunya peningkatan koordinasi di tingkat regional dan antarregional untuk melawan IUU Fishing melalui ketentuan Negara Pelabuhan, Acknowledging the rapidly developing communications technology, databases, networks and global records that support port State measures, Mengakui bahwa cepatnya teknologi komunikasi yang sedang berkembang, basis data, jaringan kerja, dan catatancatatan global yang mendukung ketentuan Negara Pelabuhan, Recognizing the need for assistance to developing countries to adopt and implement port State measures, Mengenali kebutuhan akan bantuan bagi Negara-negara yang sedang berkembang untuk mengadopsi dan menerapkan ketentuan Negara Pelabuhan, Taking note of the calls by the international community through the United Nations System, including the United Nations General Assembly and the Committee on Fisheries of the Food and Agriculture Organization of the United Nations, hereinafter referred to as “FAO”, for a binding international instrument on minimum standards for port State measures, based on the 2001 FAO International Plan of Action to Memperhatikan seruan komunitas internasional melalui PBB, termasuk Sidang Umum PBB dan Komite Perikanan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, yang selanjutnya disebut “FAO”, sebagai dokumen internasional yang mengikat mengenai standar minimum ketentuan Negara Pelabuhan, berdasarkan pada Rencana Aksi Internasional FAO tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan 104 Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing and the 2005 FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, Memberantas IUU Fishing dan FAO Model Scheme tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk melawan IUU Fishing, Bearing in mind that, in the exercise of their sovereignty over ports located in their territory, States may adopt more stringent measures, in accordance with international law, Mengingat bahwa, dalam praktik kedaulatan mereka terhadap pelabuhan–pelabuhan yang berada di wilayahnya, Negara dapat menggunakan ketentuan yang lebih ketat, sesuai dengan hukum internasional. Recalling the relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982, hereinafter referred to as “the Convention”, Mengingat ketetapan yang relevan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, yang selanjutnya disebut sebagai “Konvensi”, Recalling the Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks of 4 December 1995, the Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas of 24 November 1993 and the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries, Mengingat Persetujuan untuk Pelaksanaan Ketetapan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 tentang Konservasi dan Pengelolaan Persediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Persediaan Ikan yang Beruaya Jauh pada tanggal 4 Desember 1995, Persetujuan untuk Meningkatkan Kepatuhan terhadap Ketentuan Pengelolaan dan Konservasi Internasional oleh Kapal Perikanan di Laut Lepas tanggal 4 November 1993 dan Kode Etik FAO tahun 1995 tentang Perikanan yang Bertanggung Jawab, Recognizing the need to conclude an international agreement within the framework of FAO, under Article XIV of the FAO Constitution, Memahami pentingnya memberikan consent terhadap Persetujuan internasional dalam kerangka kerja FAO, di bawah Pasal XIV Konstitusi FAO. Have agreed as follows: Telah menyetujui hal-hal sebagai berikut: BAGIAN 1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Penggunaan Terminologi PART 1 GENERAL PROVISIONS Article 1 Use of terms For the purposes of this Agreement: Demi tujuan Persetujuan ini: (a) “conservation and management measures” means (a) “ketentuan konsevasi dan pengelolaan” yaitu langkahmeasures to conserve and manage living marine langkah untuk melestarikan dan mengelola sumber resources that are adopted and applied consistently with daya kelautan hayati yang diambil dan diterapkan the relevant rules of international law including those secara konsisten dengan peraturan dalam hukum reflected in the Convention; internasional yang relevan termasuk yang tercermin dalam Konvensi; (b) “fish” means all species of living marine resources, (b) “ikan” yaitu seluruh spesies sumber daya kelautan whether processed or not; hayati, baik diproses maupun tidak; (c) “fishing” means searching for, attracting, locating, (c) “penangkapan ikan” yaitu mencari, menarik, catching, taking or harvesting fish or any activity which menempatkan, menangkap, mengambil, atau memanen can reasonably be expected to result in the attracting, ikan atau suatu aktivitas yang secara logika bertujuan locating, catching, taking or harvesting of fish; untuk menarik, menempatkan, menangkap, mengambil, atau memanen ikan; (d) “fishing related activities” means any operation in (d) “kegiatan yang berkenaan dengan penangkapan ikan” support of, or in preparation for, fishing, including the yaitu suatu kegiatan yang mendukung atau dalam landing, packaging, processing, transshipping or persiapan untuk, menangkap ikan, termasuk transporting of fish that have not been previously landed pendaratan, pengepakan, pengolahan, pengalihangkutan at a port, as well as the provisioning of personnel, fuel, atau pengangkutan ikan yang belum didaratkan di suatu gear and other supplies at sea; pelabuhan, juga penyerahan ABK, bahan bakar, alat tangkap, dan kebutuhan lain di laut; (e) “illegal, unreported and unregulated fishing” refers to the (e) “IUU Fishing” mengacu kepada kegiatan-kegiatan yang activities set out in paragraph 3 of the 2001 FAO tertera di paragraph 3 Rencana Aksi Internasional FAO 105 International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, hereinafter referred to as “IUU fishing”; (f) “Party” means a State or regional economic integration (f) organization that has consented to be bound by this Agreement and for which this Agreement is in force; (g) “port” includes offshore terminals and other installations for landing, transshipping, packaging, processing, refueling or resupplying; (g) (h) “regional economic integration organization” means a (i) regional economic integration organization to which its member States have transferred competence over matters covered by this Agreement, including the authority to make decisions binding on its member States in respect of those matters; (j) “regional fisheries management organization” means an (k) intergovernmental fisheries organization or arrangement, as appropriate, that has the competence to establish conservation and management measures; and (j) “vessel” means any vessel, ship of another type or boat (l) used for, equipped to be used for, or intended to be used for, fishing or fishing related activities. Article 2 Objective The objective of this Agreement is to prevent, deter and eliminate IUU fishing through the implementation of effective port State measures, and thereby to ensure the long-term conservation and sustainable use of living marine resources and marine ecosystems. Article 3 Application tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur yang selanjutnya disebut sebagai “IUU Fishing”; “Pihak” yaitu Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang telah setuju untuk tunduk di bawah Persetujuan ini dan dimana Persetujuan ini diberlakukan; “pelabuhan” meliputi terminal-terminal lepas pantai dan instalasi lain untuk pendaratan, pengalihangkutan, pengepakan, pengolahan, pengisian bahan bakar atau pengisian perbekalan; “organisasi integrasi ekonomi regional” yaitu organisasi integrasi ekonomi regional yang Negara anggotanya menyerahterimakan kompetensi terhadap hal-hal yang tersebut dalam Persetujuan ini, termasuk kekuasaan untuk mengambil keputusan yang mengikat Negara anggotanya mengenai hal-hal tersebut; “organisasi pengelola perikanan regional” yaitu organisasi atau lembaga perikanan antarnegara atau yang disamakan, yang memiliki kompetensi untuk menerapkan ketentuan konservasi dan pengelolaan; dan “kapal” yaitu kapal apapun, jenis kapal lain atau perahu yang digunakan untuk, yang dilengkapi untuk, atau dimaksudkan untuk, menangkap ikan atau kegiatankegiatan lain yang berkaitan dengan penangkapan ikan. Pasal 2 Tujuan Tujuan Persetujuan ini adalah untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing melalui penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif, dan dengan demikian untuk memastikan konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya kelautan hayati serta ekosistem kelautan yang berkelanjutan. Pasal 3 Penerapan 1. Each Party shall, in its capacity as a port State, apply this 1. Setiap Pihak wajib, dalam kapasitasnya sebagai Negara Pelabuhan, menerapkan Persetujuan ini bila ada kapalAgreement in respect of vessels not entitled to fly its flag kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang that are seeking entry to its ports or are in one of its ports, akan masuk ke pelabuhan-pelabuhannya atau berada except for: dalam salah satu pelabuhannya, kecuali untuk: (a) vessels of a neighbouring State that are engaged in artisanal fishing for subsistence, provided that the port State and the flag State cooperate to ensure that such vessels do not engage in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing; and (a) kapal-kapal dari negara sekitar yang melakukan penangkapan ikan untuk mencari nafkah, apabila Negara Pelabuhan dan Negara Bendera bekerja sama untuk memastikan bahwa kapal-kapal tersebut tidak terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatankegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan dimaksud; dan (b) container vessels that are not carrying fish or, if carrying fish, only fish that have been previously landed, provided that there are no clear grounds for suspecting that such vessels have engaged in fishing related activities in support of IUU fishing. (b) kapal-kapal kontainer yang tidak sedang mengangkut ikan atau, jika mengangkut ikan, hanya ikan yang sebelumnya telah didaratkan, dalam hal ini tidak terdapat dasar yang jelas untuk mencurigai bahwa kapal tersebut terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan yang berhubungan dengan IUU 106 Fishing. 2. A Party may, in its capacity as a port State, decide not to 2. Pihak dapat, dalam kapasitasnya sebagai Negara Pelabuhan, memutuskan untuk tidak menerapkan apply this Agreement to vessels chartered by its nationals Persetujuan ini kepada kapal-kapal yang disewa oleh exclusively for fishing in areas under its national warga negaranya secara khusus untuk menangkap ikan jurisdiction and operating under its authority therein. di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di Such vessels shall be subject to measures by the Party bawah kekuasaan wilayah tersebut. Kapal yang which are as effective as measures applied in relation to demikian wajib mempertimbangkan ketentuan dari vessels entitled to fly its flag. Pihak sebagaimana halnya ketentuan tersebut diterapkan dalam kaitannya dengan kapal-kapal yang berhak untuk mengibarkan benderanya. 3. This Agreement shall apply to fishing conducted in marine 3. Persetujuan ini wajib diterapkan untuk penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah laut secara ilegal, tidak areas that is illegal, unreported or unregulated, as defined dilaporkan, dan tidak diatur, sebagaimana ditegaskan in Article 1(e) of this Agreement, and to fishing related dalam Pasal 1 (e) Persetujuan ini, dan berlaku untuk activities in support of such fishing. kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung cara penangkapan ikan tersebut. 4. This Agreement shall be applied in a fair, transparent and 4. Persetujuan ini wajib diterapkan secara adil, transparan, dan nondiskriminatif, sesuai dengan hukum non-discriminatory manner, consistent with international internasional. law. 5. As this Agreement is global in scope and applies to all 5. Karena Persetujuan ini mencakup secara global dan berlaku untuk semua pelabuhan, Pihak-Pihak wajib ports, the Parties shall encourage all other entities to mendorong semua entitas yang lain untuk mengambil apply measures consistent with its provisions. Those that langkah-langkah yang konsisten dengan ketetapannya. may not otherwise become Parties to this Agreement may Bagi yang tidak menjadi Pihak dalam Persetujuan ini express their commitment to act consistently with its dapat menunjukkan komitmen mereka untuk secara provisions. konsisten bertindak sesuai dengan ketetapan ini. Article 4 Pasal 4 Relationship with international law and other international Hubungan dengan Hukum Internasional dan Instrumen instruments Internasional Lainnya 1. Nothing in this Agreement shall prejudice the rights, jurisdiction and duties of Parties under international law. In particular, nothing in this Agreement shall be construed to affect: (a) the sovereignty of Parties over their internal, archipelagic and territorial waters or their sovereign rights over their continental shelf and in their exclusive economic zones; 1. Tidak satu pun dalam Persetujuan ini yang bertentangan dengan hak, yuridiksi dan kewajiban – kewajiban PihakPihak dalam hukum internasional. Khususnya, tidak satu pun dalam Persetujuan ini diartikan untuk mempengaruhi: (a) kedaulatan Pihak-Pihak atas perairan dalam, kepulauan, dan perairan territorialnya atau hak-hak yang berdaulat atas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusifnya; (b) the exercise by Parties of their sovereignty over ports in their territory in accordance with international law, including their right to deny entry thereto as well as to adopt more stringent port State measures than those provided for in this Agreement, including such measures adopted pursuant to a decision of a regional fisheries management organization. (b) pelaksanaan oleh Pihak-Pihak terhadap kedaulatannya atas pelabuhan-pelabuhan dalam teritorinya sesuai dengan hukum internasional, termasuk hak untuk menolak masuk kesana sebagaimana juga menerima ketentuan negara pelabuhan yang lebih ketat dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam Persetujuan ini, termasuk diterimanya beberapa ketentuan yang mengikuti keputusan dari organisasi pengelolaan perikanan regional. 2. In applying this Agreement, a Party does not thereby become bound by measures or decisions of, or recognize, 2. Dalam penerapan Persetujuan ini, Pihak tidak kemudian menjadi terikat oleh ketentuan – ketentuan atau 107 any regional fisheries management organization of which it is not a member. keputusan – keputusan, atau mengakui organisasi pengelolaan perikanan regional mana pun yang tidak menjadi anggota di dalamnya. 3. In no case is a Party obliged under this Agreement to give effect to measures or decisions of a regional fisheries management organization if those measures or decisions have not been adopted in conformity with international law. 3. Pihak dalam Persetujuan ini sama sekali tidak boleh memberikan consent terhadap ketentuan atau keputusan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional apabila ketentuan atau keputusan tersebut tidak sesuai dengan hukum internasional. 4. This Agreement shall be interpreted and applied in conformity with international law taking into account applicable international rules and standards, including those established through the International Maritime Organization, as well as other international instruments. 4. Persetujuan ini wajib diartikan dan diterapkan sesuai dengan hukum internasional dengan memperhatikan peraturan dan standar internasional yang berlaku, termasuk yang ditetapkan oleh Organisasi Maritim Internasional, dan instrumen internasional lainnya. 5. Parties shall fulfil in good faith the obligations assumed pursuant to this Agreement and shall exercise the rights recognized herein in a manner that would not constitute an abuse of right. 5. Pihak-Pihak wajib mematuhi kewajiban yang dipikul sesuai dengan Persetujuan ini dengan itikad baik dan wajib menggunakan hak – hak yang ada dalam Persetujuan ini dengan cara yang tidak akan menimbulkan penyalahgunaan hak. Pasal 5 Integrasi dan Koordinasi Pada Tingkat Nasional Article 5 Integration and coordination at the national level Each Party shall, to the greatest extent possible: (a) integrate or coordinate fisheries related port State measures with the broader system of port State controls; Setiap Pihak wajib, dengan sebisa mungkin: (a) mengintegrasikan atau mengkoordinasikan ketentuanketentuan Negara Pelabuhan yang berkaitan dengan perikanan dengan sistem kontrol Negara Pelabuhan yang lebih luas; (b) integrate port State measures with other measures to prevent, deter and eliminate IUU fishing and fishing related activities in support of such fishing, taking into account as appropriate the 2001 FAO International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing; and (b) mengintegrasikan ketentuan-ketentuan Negara Pelabuhan dengan ketentuan lain untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, dengan mempertimbangkan secara tepat Rencana Aksi Internasional FAO tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur; dan (c) take measures to exchange information among relevant national agencies and to coordinate the activities of such agencies in the implementation of this Agreement. Article 6 Cooperation and exchange of information (c) Mengadakan tukar informasi di antara badan nasional yang terkait dan mengkoordinasikan kegiatan badan tersebut dalam pelaksanaan Persetujuan ini. Pasal 6 Kerja Sama dan Pertukaran Informasi 1. In order to promote the effective implementation of this Agreement and with due regard to appropriate confidentiality requirements, Parties shall cooperate and exchange information with relevant States, FAO, other international organizations and regional fisheries management organizations, including on the measures adopted by such regional fisheries management organizations in relation to the objective of this Agreement. 1. Untuk melaksanakan penerapan Persetujuan ini dengan efektif dan atas pertimbangan persyaratan kerahasiaan, Pihak-Pihak wajib bekerja sama dan bertukar informasi dengan Negara terkait, FAO, organisasi internasional lainnya, dan organisasi – organisasi pengelolaan perikanan regional, termasuk dalam ketentuan yang digunakan oleh organisasi pengelolaan perikanan regional lain sehubungan dengan tujuan Persetujuan ini. 2. Each Party shall, to the greatest extent possible, take measures in support of conservation and management 2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, mengambil langkah-langkah dalam mendukung tindakan 108 measures adopted by other States and other relevant international organizations. pengelolaan dan konservasi yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional yang terkait. 3. Parties shall cooperate, at the subregional, regional and global levels, in the effective implementation of this Agreement including, where appropriate, through FAO or regional fisheries management organizations and arrangements. 3. Pihak-pihak wajib bekerja sama, pada tingkat subregional, regional, dan global, dalam penerapan Persetujuan ini secara efektif termasuk, bila perlu, melalui FAO atau organisasi dan lembaga pengelolaan perikanan regional. PART 2 ENTRY INTO PORT Article 7 Designation of ports BAGIAN 2 MASUK KE PELABUHAN Pasal 7 Penunjukkan Pelabuhan 1. Each Party shall designate and publicize the ports to which 1. Setiap Pihak wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-pelabuhan dimana kapal perikanan mungkin vessels may request entry pursuant to this Agreement. meminta izin untuk masuk sesuai dengan Persetujuan Each Party shall provide a list of its designated ports to ini. Setiap Pihak wajib menyerahkan daftar pelabuhan FAO, which shall give it due publicity. yang ditunjuk kepada FAO, yang akan mempublikasikannya. 2. Each Party shall, to the greatest extent possible, ensure 2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, memastikan bahwa setiap pelabuhan yang ditunjuk dan dipublikasikan that every port designated and publicized in accordance sehubungan dengan Paragraf 1 dalam Pasal ini memiliki with paragraph 1 of this Article has sufficient capacity to kapasitas yang cukup untuk melaksanakan pemeriksaan conduct inspections pursuant to this Agreement. sesuai dengan Persetujuan ini. Article 8 Pasal 8 Advance request for port entry Permohonan Awal Untuk Masuk ke Pelabuhan 1. Each Party shall require, as a minimum standard, the information requested in Annex A to be provided before granting entry to a vessel to its port. 1. Setiap Pihak wajib meminta, sebagai standar minimum, informasi yang diminta dalam Annex A untuk diberikan sebelum memberi izin masuk kepada kapal ke Pelabuhan. 2. Each Party shall require the information referred to in paragraph 1 of this Article to be provided sufficiently in advance to allow adequate time for the port State to examine such information. Article 9 Port entry, authorization or denial 2. Setiap Pihak wajib meminta informasi yang tercantum dalam Paragraf 1 dalam Pasal ini untuk diberikan seawal mungkin untuk memberi waktu yang cukup bagi Negara Pelabuhan untuk mempelajari informasi tersebut. Pasal 9 Masuk Pelabuhan, Otorisasi, atau Penolakan 1. After receiving the relevant information required pursuant to Article 8, as well as such other information as it may require to determine whether the vessel requesting entry into its port has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, each Party shall decide whether to authorize or deny the entry of the vessel into its port and shall communicate this decision to the vessel or to its representative. 1. Setelah menerima informasi terkait yang diperlukan sesuai dengan Pasal 8, juga informasi lain yang mungkin diperlukan untuk menentukan apakah kapal yang akan masuk ke pelabuhan terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang terkait penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, setiap Pihak wajib memutuskan apakah mengizinkan atau menolak kapal tersebut untuk masuk ke pelabuhan dan wajib mengkomunikasikan keputusan ini ke kapal tersebut atau yang mewakilinya. 2. In the case of authorization of entry, the master of the vessel or the vessel’s representative shall be required to present the authorization for entry to the competent authorities of the Party upon the vessel’s arrival at port. 2. Dalam hal izin masuk, nakhoda kapal atau yang mewakilinya wajib menyerahkan izin masuk kepada pihak yang berwenang dari Pihak ketika tiba di Pelabuhan. 109 3. In the case of denial of entry, each Party shall communicate its decision taken pursuant to paragraph 1 of this Article to the flag State of the vessel and, as appropriate and to the extent possible, relevant coastal States, regional fisheries management organizations and other international organizations. 3. Dalam hal penolakan masuk, setiap Pihak wajib mengkomunikasikan keputusan yang diambil sesuai dengan Paragraf 1 Pasal ini kepada Negara Bendera kapal tersebut dan, bila perlu dan sebisa mungkin, Negara Pantai, organisasi pengelolaan perikanan regional, dan organisasi internasional lainnya. 4. Without prejudice to paragraph 1 of this Article, when a Party has sufficient proof that a vessel seeking entry into its port has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, in particular the inclusion of a vessel on a list of vessels having engaged in such fishing or fishing related activities adopted by a relevant regional fisheries management organization in accordance with the rules and procedures of such organization and in conformity with international law, the Party shall deny that vessel entry into its ports, taking into due account paragraphs 2 and 3 of Article 4. 4. Tanpa mengurangi arti Paragraf 1 Pasal ini, ketika Pihak memiliki bukti yang cukup bahwa suatu kapal yang akan masuk ke Pelabuhan terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan dimaksud, khususnya kapal yang ada dalam daftar kapal yang pernah terlibat dalam penangkapan ikan yang demikian, atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang digunakan oleh organisasi pengelolaan perikanan regional yang terkait sesuai dengan peraturan dan prosedur organisasi tersebut dan sesuai dengan hukum internasional, Pihak tersebut wajib menolak kapal tersebut untuk memasuki pelabuhan, dengan mempertimbangkan Paragraf 2 dan 3 dalam Pasal 4. 5. Notwithstanding paragraphs 3 and 4 of this Article, a Party may allow entry into its ports of a vessel referred to in those paragraphs exclusively for the purpose of inspecting it and taking other appropriate actions in conformity with international law which are at least as effective as denial of port entry in preventing, deterring and eliminating IUU fishing and fishing related activities in support of such fishing. 5. Meskipun Paragraf 3 dan 4 dalam Pasal ini berbunyi demikian, Pihak dapat memberikan izin masuk kepada kapal yang dimaksud dalam Paragraf tersebut ke Pelabuhan khusus untuk tujuan memeriksa kapal tersebut dan mengambil tindakan yang perlu sesuai dengan hukum internasional yang setidaknya berupa penolakan masuk ke Pelabuhan dalam usaha mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan kegiatan yang terkait penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian. 6. Where a vessel referred to in paragraph 4 or 5 of this Article is in port for any reason, a Party shall deny such vessel the use of its ports for landing, transshipping, packaging, and processing of fish and for other port services including, inter alia, refueling and resupplying, maintenance and drydocking. Paragraphs 2 and 3 of Article 11 apply mutatis mutandis in such cases. Denial of such use of ports shall be in conformity with international law. 6. Bila sebuah kapal yang dimaksud Paragraf 4 atau 5 dalam Pasal ini berada dalam pelabuhan untuk alasan tertentu, Pihak wajib menolak kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhan tersebut untuk mendaratkan, mengalih-angkutkan, mengemas, dan mengolah ikan dan untuk layanan pelabuhan lainnya termasuk, mengisi bahan bakar dan mengisi perbekalan, melakukan perawatan dan menggunakan galangan kapal. Paragraf 2 dan 3 Pasal 11 menerapkan mutatis mutandis (mengubah hal yang perlu diubah atau perubahan perlu yang telah dibuat) dalam hal tersebut. Penolakan penggunaan pelabuhan harus sesuai dengan hukum internasional. Pasal 10 Force majeure atau Keadaan Sulit Article 10 Force majeure or distress Nothing in this Agreement affects the entry of vessels to port in accordance with international law for reasons of force majeure or distress, or prevents a port State from permitting entry into port to a vessel exclusively for the purpose of rendering assistance to persons, ships or aircraft in danger or distress. Tidak ada dalam Persetujuan ini yang mempengaruhi masuknya kapal ke pelabuhan yang sesuai dengan hukum internasional atas alasan Force majeure atau keadaan sulit, atau mencegah Negara Pelabuhan memberi izin masuk ke pelabuhan kepada kapal secara khusus untuk memberikan bantuan kepada perorangan, kapal atau pesawat udara dalam bahaya atau kesulitan. 110 PART 3 USE OF PORTS Article 11 Use of ports BAGIAN 3 GUNA PELABUHAN Pasal 11 Guna Pelabuhan 1. Where a vessel has entered one of its ports, a Party shall 1. Ketika sebuah kapal telah masuk ke pelabuhan, Pihak wajib menolak, sesuai dengan hukum dan peraturan dan deny, pursuant to its laws and regulations and consistent sesuai dengan hukum internasional, termasuk with international law, including this Agreement, that Persetujuan ini, kapal tersebut untuk menggunakan vessel the use of the port for landing, transshipping, pelabuhan untuk mendaratkan, mengalihmuatkan, packaging and processing of fish that have not been mengemas, dan mengolah ikan yang sebelumnya belum previously landed and for other port services, including, didaratkan dan untuk menggunakan layanan pelabuhan inter alia, refueling and resupplying, maintenance and lainnya, termasuk diantaranya, mengisi bahan bakar, dan drydocking, if: mengisi perbekalan, melakukan perawatan dan menggunakan kapal, apabila: (a) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak (a) the Party finds that the vessel does not have a valid memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk and applicable authorization to engage in fishing or menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan fishing related activities required by its flag State; dengan penangkapan ikan sebagaimana diminta oleh Negara Bendera; (b) the Party finds that the vessel does not have a valid and applicable authorization to engage in fishing or fishing related activities required by a coastal State in respect of areas under the national jurisdiction of that State; (b) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan sebagaimana diminta oleh Negara Pantai sesuai dengan wilayah di bawah kedaulatan nasional Negara tersebut; (c) the Party receives clear evidence that the fish on board was taken in contravention of applicable requirements of a coastal State in respect of areas under the national jurisdiction of that State; (c) Pihak menerima bukti yang jelas bahwa ikan yang diangkut melanggar hukum yang berlaku di Negara Pantai sesuai dengan wilayah kedaulatan nasional Negara tersebut; (d) the flag State does not confirm within a reasonable period of time, on the request of the port State, that the fish on board was taken in accordance with applicable requirements of a relevant regional fisheries management organization taking into due account paragraphs 2 and 3 of Article 4; or (d) Negara Bendera tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu yang wajar, atas permintaan Negara Pelabuhan, bahwa ikan yang diangkut sesuai dengan peraturan yang berlaku, organisasi pengelolaan perikanan regional terkait dengan mempertimbangkan Paragraf 2 dan 3 Pasal 4; atau (e) the Party has reasonable grounds to believe that the vessel was otherwise engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, including in support of a vessel referred to in paragraph 4 of Article 9, unless the vessel can establish: (e) Pihak memiliki alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa kapal tersebut juga terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, termasuk mendukung kapal sebagaimana dimaksud Paragraf 4 Pasal 9, kecuali jika kapal tersebut dapat menunjukkan: (i) bahwa kapal tersebut bertindak sesuai dengan ketentuan pengelolaan dan konservasi yang terkait; atau (ii) dalam hal penyediaan perlengkapan ABK, bahan bakar, alat tangkap, dan persediaan lain di laut, bahwa kapal yang dibekali tersebut, pada saat melakukan kegiatan dimaksud, bukan kapal yang dimaksud Paragraf 4 Pasal 9. (i) that it was acting in a manner consistent with relevant conservation and management measures; or (ii) in the case of provision of personnel, fuel, gear and other supplies at sea, that the vessel that was provisioned was not, at the time of provisioning, a vessel referred to in paragraph 4 of Article 9. 2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall 2. Meskipun Paragraf 1 Pasal ini berbunyi demikian, Pihak tidak boleh menolak kapal sebagaimana dimaksud dalam not deny a vessel referred to in that paragraph the use of 111 port services: (a) essential to the safety or health of the crew or the safety of the vessel, provided these needs are duly proven, or (b) where appropriate, for the scrapping of the vessel. Paragraf tersebut untuk memperoleh layanan pelabuhan: (a) yang penting bagi keamanan atau kesehatan ABK atau keamanan kapal, jika kebutuhan ini terbukti dibutuhkan, atau (b) bila diperlukan, untuk perbaikan kapal tersebut. 3. Where a Party has denied the use of its port in accordance 3. Apabila Pihak telah menolak penggunaan pelabuhannya sesuai dengan Pasal ini, Pihak wajib segera memberi with this Article, it shall promptly notify the flag State tahu Negara Bendera dan, bila perlu, Negara Pantai and, as appropriate, relevant coastal States, regional terkait, organisasi pengelolaan perikanan regional dan fisheries management organizations and other relevant organisasi internasional terkait atas keputusan itu. international organizations of its decision. 4. A Party shall withdraw its denial of the use of its port 4. Pihak wajib mencabut penolakannya atas penggunaan pelabuhan sesuai dengan Paragraf 1 Pasal ini terhadap pursuant to paragraph 1 of this Article in respect of a suatu kapal hanya jika terdapat bukti bahwa dasar yang vessel only if there is sufficient proof that the grounds on digunakan untuk menolak tidak cukup atau keliru atau which use was denied were inadequate or erroneous or that sudah tidak berlaku. such grounds no longer apply. 5. Where a Party has withdrawn its denial pursuant to 5. Jika Pihak telah mencabut penolakannya sesuai dengan Paragraf 4 Pasal ini, Pihak wajib segera memberi tahu paragraph 4 of this Article, it shall promptly notify those secepatnya kepada Pihak-Pihak dimana pemberitahuan to whom a notification was issued pursuant to paragraph 3 tersebut diberikan sesuai dengan Paragraf 3 Pasal ini. of this Article. BAGIAN 4 PART 4 PEMERIKSAAN DAN PENINDAKLANJUTAN INSPECTIONS AND FOLLOW-UP ACTIONS Pasal 12 Article 12 Tingkat dan Prioritas Pemeriksaan Levels and priorities for inspection 1. Each Party shall inspect the number of vessels in its ports 1. Setiap Pihak wajib memeriksa jumlah kapal di pelabuhannya yang diperlukan untuk memperoleh required to reach an annual level of inspections sufficient tingkat pemeriksaan tahunan yang cukup untuk to achieve the objective of this Agreement. mencapai tujuan Persetujuan ini. 2. Parties shall seek to agree on the minimum levels for 2. Pihak-pihak wajib berupaya untuk menyetujui pada tingkat minimum pemeriksaan kapal melalui, bila perlu, inspection of vessels through, as appropriate, regional organisasi pengelolaan perikanan regional, FAO atau fisheries management organizations, FAO or otherwise. yang lainnya. 3. In determining which vessels to inspect, a Party shall give 3. Dalam menentukan kapal mana yang akan diperiksa, Pihak wajib memberikan prioritas kepada: priority to: (a) kapal-kapal yang telah ditolak masuk atau (a) vessels that have been denied entry or use of a port in menggunakan pelabuhan sesuai dengan Persetujuan accordance with this Agreement; ini; (b) requests from other relevant Parties, States or regional fisheries management organizations that particular vessels be inspected, particularly where such requests are supported by evidence of IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing by the vessel in question; and (b) permohonan-permohonan dari Pihak yang terkait, Negara atau organisasi pengelolaan perikanan regional untuk memeriksa kapal tertentu, khususnya jika permohonan tersebut didukung oleh bukti IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian oleh kapal yang sedang dipermasalahkan; (c) other vessels for which there are clear grounds for suspecting that they have engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing. (c) kapal lain yang dengan dasar jelas dicurigai terlibat IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian. Pasal 13 Pelaksanaan Pemeriksaan Article 13 Conduct of inspections 112 1. Each Party shall ensure that its inspectors carry out the 1. Setiap pihak wajib memastikan bahwa pemeriksa melaksanakan fungsi yang tertera dalam Annex B functions set forth in Annex B as a minimum standard. sebagai standar minimum. 2. Setiap Pihak wajib, dalam melaksanakan pemeriksaan di 2. Each Party shall, in carrying out inspections in its ports: pelabuhan: (i) ensure that inspections are carried out by properly (i) memastikan pemeriksaan dilaksanakan oleh qualified inspectors authorized for that purpose, pemeriksa yang berkualitas yang diberi wewenang having regard in particular to Article 17; untuk tugas tersebut, dengan memperhatikan secara khusus Pasal 17; (ii) memastikan bahwa, sebelum memeriksa, pemeriksa menyerahkan dokumen yang menerangkan identitas pemeriksa kepada nakhoda kapal; (ii) ensure that, prior to an inspection, inspectors are required to present to the master of the vessel an appropriate document identifying the inspectors as such; (iii) ensure that inspectors examine all relevant areas of the vessel, the fish on board, the nets and any other gear, equipment, and any document or record on board that is relevant to verifying compliance with relevant conservation and management measures; (iv) require the master of the vessel to give inspectors all necessary assistance and information, and to present relevant material and documents as may be required, or certified copies thereof; (iv) mewajibkan nakhoda kapal memberikan semua bantuan dan informasi yang diperlukan kepada Pemeriksa, dan apabila diperlukan menyerahkan bahan dan dokumen yang terkait atau semua salinan dokumen yang sah dimaksud; (v) in case of appropriate arrangements with the flag State of the vessel, invite that State to participate in the inspection; (v) (vi) make all possible efforts to avoid unduly delaying the vessel to minimize interference and inconvenience, including any unnecessary presence of inspectors on board, and to avoid action that would adversely affect the quality of the fish on board; (vi) mengusahakan semua kemungkinan untuk menghindari penundaan yang berlebihan kapal tersebut untuk meminimalkan campur tangan dan ketidaknyamanan, termasuk kehadiran pemeriksa di atas kapal yang tidak perlu, dan untuk menghindari tindakan yang secara kontradiktif akan mempengaruhi kualitas ikan di kapal; (iii) memastikan bahwa Pemeriksa memeriksa seluruh bagian kapal, ikan yang diangkut, jaring dan alat tangkap lain, perlengkapan, dan dokumen atau catatan lain di kapal yang relevan untuk menguji kepatuhan terhadap ketentuan pengelolaan dan konservasi yang terkait; dalam hal pengaturan tertentu dengan Negara Bendera kapal tersebut, mengundang Negara itu untuk ikut serta dalam pemeriksaan; (vii) make all possible efforts to facilitate communication with the master or senior crew members of the vessel, including where possible and where needed that the inspector is accompanied by an interpreter; (viii) ensure that inspections are conducted in a fair, transparent and non-discriminatory manner and would not constitute harassment of any vessel; and (ix) not interfere with the master’s ability, in conformity with international law, to communicate with the authorities of the flag State. (vii) mengusahakan segala kemungkinan untuk memfasilitasi komunikasi dengan nakhoda atau ABK senior kapal tersebut, termasuk bila pemeriksa dikawal seorang penterjemah jika mungkin dan jika diperlukan; (viii) memastikan bahwa pemeriksaan dilaksanakan dengan cara yang adil, transparan, dan nondiskriminatif dan tidak akan menimbulkan gangguan terhadap kapal mana pun; dan (ix) tidak mencampuri kemampuan nakhoda kapal, sesuai dengan hukum internasional, untuk berkomunikasi dengan pihak berwenang Negara Bendera. 113 Article 14 Results of inspections Pasal 14 Hasil Pemeriksaan Each Party shall, as a minimum standard, include the information set out in Annex C in the written report of the results of each inspection. Article 15 Transmittal of inspection results Setiap Pihak wajib, sebagai standar minimum, memasukkan informasi yang tertera di Annex C dalam laporan tertulis hasil pemeriksaan. Pasal 15 Penyampaian Hasil Pemeriksaan Each Party shall transmit the results of each inspection to the flag State of the inspected vessel and, as appropriate, to: Setiap Pihak wajib menyampaikan hasil tiap pemeriksaan kepada Negara Bendera kapal yang diperiksa, dan bila perlu, kepada: (a) Pihak dan Negara terkait, termasuk: (i) negara-negara dimana melalui pemeriksaan terdapat bukti bahwa kapal tersebut terlibat IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian dalam perairan di bawah kewenangan nasional mereka, dan (ii) negara dimana nakhoda kapal menjadi warganegara. (b) organisasi pengelolaan perikanan regional yang terkait, dan (a) relevant Parties and States, including: (i) those States for which there is evidence through inspection that the vessel has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing within waters under their national jurisdiction; and (ii) the State of which the vessel’s master is a national. (b) relevant regional fisheries management organizations; and (c) FAO and other relevant international organizations. Article 16 Electronic exchange of information (c) FAO dan organisasi internasional yang terkait. Pasal 16 Pertukaran Informasi Elektronik 1. To facilitate implementation of this Agreement, each Party shall, where possible, establish a communication mechanism that allows for direct electronic exchange of information, with due regard to appropriate confidentiality requirements. 1. Untuk memfasilitasi penerapan Persetujuan ini, setiap Pihak wajib, jika memungkinkan, membangun mekanisme komunikasi yang memungkinkan pertukaran informasi elektronik secara langsung, dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan. 2. To the extent possible and with due regard to appropriate confidentiality requirements, Parties should cooperate to establish an information-sharing mechanism, preferably coordinated by FAO, in conjunction with other relevant multilateral and intergovernmental initiatives, and to facilitate the exchange of information with existing databases relevant to this Agreement. 2. Sebisa mungkin dan dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan, Pihak-pihak wajib bekerja sama untuk membangun mekanisme berbagi informasi, lebih diutamakan dibawah koordinasi FAO, sehubungan dengan inisiatif multilateral dan antarNegara yang terkait, dan untuk memfasilitasi pertukaran informasi dengan basis data yang ada yang relevan dengan Persetujuan ini. 3. Each Party shall designate an authority that shall act as a contact point for the exchange of information under this Agreement. Each Party shall notify the pertinent designation to FAO. 3. Setiap Pihak wajib menunjuk suatu otoritas yang akan bertindak sebagai pusat kontak untuk pertukaran informasi di bawah Persetujuan ini. Setiap Pihak wajib memberi tahu penunjukkan tersebut kepada FAO. 4. Each Party shall handle information to be transmitted through any mechanism established under paragraph 1 of this Article consistent with Annex D. 4. Setiap Pihak wajib menangani informasi yang akan disampaikan melalui mekanisme tertentu yang dibuat di bawah paragraf 1 Pasal ini yang sesuai dengan Annex D. 5. FAO shall request relevant regional fisheries management organizations to provide information concerning the measures or decisions they have adopted and implemented which relate to this Agreement for their integration, to the extent possible and taking due account of the appropriate 5. FAO wajib meminta organisasi pengelolaan perikanan regional terkait untuk memberikan informasi tentang langkah atau keputusan yang telah mereka gunakan dan terapkan yang berhubungan dengan Persetujuan ini demi integrasi mereka, sebisa mungkin dan 114 confidentiality requirements, into the information-sharing mechanism referred to in paragraph 2 of this Article. Article 17 Training of inspectors Each Party shall ensure that its inspectors are properly trained taking into account the guidelines for the training of inspectors in Annex E. Parties shall seek to cooperate in this regard. Article 18 Port State actions following inspection mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan, ke dalam mekanisme berbagi informasi sebagaimana tertuang dalam paragraf 2 Pasal ini. Pasal 17 Pelatihan Pemeriksa Setiap Pihak wajib memastikan bahwa pemeriksanya dilatih sebagaimana mestinya dengan mempertimbangkan pedoman pelatihan pemeriksa dalam Annex E. Pihak-Pihak wajib berusaha untuk bekerja sama dalam hal ini. Pasal 18 Tindakan Negara Pelabuhan Setelah Pemeriksaan 1. Where, following an inspection, there are clear grounds for 1. Apabila, setelah pemeriksaan, terdapat dasar yang jelas untuk meyakini bahwa sebuah kapal telah terlibat IUU believing that a vessel has engaged IUU fishing or fishing Fishing atau kegiatan yag berkaitan dengan related activities in support of such fishing, the inspecting penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan Party shall: yang demikian, Pihak yang memeriksa wajib: (a) segera memberitahu Negara Bendera dan, bila perlu, (a) promptly notify the flag State and, as appropriate, Negara Pantai terkait, organisasi pengelolaan relevant coastal States, regional fisheries perikanan regional dan organisasi internasional management organizations and other international lainnya, dan Negara dimana nakhoda kapal tersebut organizations, and the State of which the vessel’s menjadi warga Negara atas temuan tersebut; dan master is a national of its findings; and (b) menolak kapal tersebut untuk menggunakan (b) deny the vessel the use of its port for landing, pelabuhannya untuk mendaratkan, transshipping, packaging and processing of fish that mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan have not been previously landed and for other port yang belum didaratkan sebelumnya dan layanan services, including, inter alia, refueling and pelabuhan lainnya, termasuk antara lain, pengisian resupplying, maintenance and drydocking, if these bahan bakar dan pengisian perbekalan, melakukan actions have not already been taken in respect of the pemeliharaan dan menggunakan galangan kapal, vessel, in a manner consistent with this Agreement, jika tindakan ini belum dilakukan terhadap suatu including Article 4. kapal, dengan cara yang sesuai dengan Persetujuan ini, termasuk Pasal 4. 2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall 2. Meskipun paragraph 1 Pasal ini berbunyi demikian, Pihak tidak boleh menolak kapal sebagaimana yang not deny a vessel referred to in that paragraph the use of dimaksud dalam paragraf tersebut untuk menggunakan port services essential for the safety or health of the crew layanan pelabuhan yang sangat penting bagi or the safety of the vessel. keselamatan atau kesehatan ABK atau keselamatan kapal. 3. Nothing in this Agreement prevents a Party from taking 3. Persetujuan ini tidak mencegah Pihak untuk mengambil langkah yang sesuai dengan hukum internasional measures that are in conformity with international law in disamping seperti yang dituangkan dalam paragraf 1 dan addition to those specified in paragraphs 1 and 2 of this 2 dalam Pasal ini termasuk ketentuan – ketentuan Article, including such measures as the flag State of the sebagaimana Negara bendera kapal tersebut telah vessel has expressly requested or to which it has meminta atau yang telah menyetujui. consented. Pasal 19 Article 19 Informasi Permintaan Bantuan di Negara Pelabuhan Information on recourse in the port State 1. A Party shall maintain the relevant information available to the public and provide such information, upon written request, to the owner, operator, master or representative of a vessel with regard to any recourse established in accordance with its national laws and regulations concerning port State measures taken by that Party pursuant to Article 9, 11, 13 or 18, including information pertaining to the public services or judicial institutions 1. Pihak wajib menjaga agar informasi yang relevan tersedia bagi masyarakat dan memberikan informasi tersebut, atas permintaan tertulis, kepada pemilik kapal, operator, nakhoda atau perwakilan dari kapal dengan mempertimbangkan permintaan bantuan yang dibuat sesuai dengan hukum dan peraturan nasional tentang ketentuan Negara Pelabuhan dari Pihak tersebut sesuai dengan Pasal 9, 11, 13 atau 18, termasuk informasi yang 115 2. available for this purpose, as well as information on whether there is any right to seek compensation in accordance with its national laws and regulations in the event of any loss or damage suffered as a consequence of any alleged unlawful action by the Party. berkenaan dengan pelayanan umum atau lembaga hukum yang ada untuk tujuan ini, juga informasi mengenai ada tidaknya hak untuk mendapatkan kompensasi sehubungan dengan hukum dan peraturan nasional ketika terjadi kehilangan atau kerusakan yang timbul sebagai akibat dari tindakan ilegal yang dituduhkan oleh pihak tersebut. The Party shall inform the flag State, the owner, operator, master or representative, as appropriate, of the outcome of any such recourse. Where other Parties, States or international organizations have been informed of the prior decision pursuant to Article 9, 11, 13 or 18, the Party shall inform them of any change in its decision. 2. Pihak tersebut wajib memberi tahu Negara Bendera, pemilik, operator, nakhoda, atau perwakilan, bila perlu, mengenai hasil permintaan bantuan. Ketika pihak, Negara atau organisasi interansional lain telah diberi tahu tentang keputusan awal sesuai dengan Pasal 9, 11, 13, atau 18, Pihak tersebut wajib menginformasikan perubahan apapun dalam keputusan itu kepada mereka. BAGIAN 5 PERAN NEGARA BENDERA Pasal 20 Peran Negara Bendera PART 5 ROLE OF FLAG STATES Article 20 Role of flag States 1. Each Party shall require the vessels entitled to fly its flag 1. Setiap pihak wajib meminta kapal yang berhak mengibarkan benderanya untuk bekerja sama dengan to cooperate with the port State in inspections carried out Negara Pelabuhan dalam pemeriksaan yang pursuant to this Agreement. dilaksanakan sesuai dengan Persetujuan ini. 2. When a Party has clear grounds to believe that a vessel 2. Jika Pihak memiliki dasar yang jelas untuk meyakini bahwa suatu kapal yang berhak mengibarkan entitled to fly its flag has engaged in IUU fishing or benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan fishing related activities in support of such fishing and is yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang seeking entry to or is in the port of another State, it shall, mendukung penangkapan ikan yang demikian dan as appropriate, request that State to inspect the vessel or to hendak masuk ke atau berada di pelabuhan Negara lain, take other measures consistent with this Agreement. Pihak tersebut wajib, bila perlu, meminta Negara tersebut untuk memeriksa kapal itu atau mengambil langkah-langkah lain yang sesuai dengan Persetujuan ini. 3. Each Party shall encourage vessels entitled to fly its flag to 3. Setiap Pihak wajib mendorong kapal yang berhak mengibarkan benderanya untuk mendaratkan, land, transship, package and process fish, and use other mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan, dan port services, in ports of States that are acting in menggunakan layanan pelabuhan lainnnya di pelabuhan accordance with, or in a manner consistent with this Negara yang bertindak sesuai dengan, atau dengan cara Agreement. Parties are encouraged to develop, including yang konsisten dengan Perjajian ini. Pihak-Pihak through regional fisheries management organizations and didorong untuk mengembangkan, termasuk melalui FAO, fair, transparent and nondiscriminatory procedures organisasi pengolahan perikanan regional, dan FAO, for identifying any State that may not be acting in prosedur yang adil, transparan, dan nondiskriminatif, accordance with, or in a manner consistent with, this untuk mengidentifikasi Negara manapun yang tidak Agreement. bertindak sesuai dengan, atau cara yang konsisten dengan Persetujuan ini. 4. Where, following port State inspection, a flag State Party 4. Apabila setelah pemeriksaan Negara Pelabuhan, Pihak Negara Bendera menerima laporan pemeriksaan yang receives an inspection report indicating that there are clear menunjukkan adanya dasar yang jelas untuk meyakini grounds to believe that a vessel entitled to fly its flag has bahwa sebuah kapal yang berhak mengibarkan engaged in IUU fishing or fishing related activities in benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan support of such fishing, it shall immediately and fully yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang investigate the matter and shall, upon sufficient evidence, mendukung penangkapan ikan yang demikian, Pihak take enforcement action without delay in accordance with Negara Bendera wajib segera melakukan investigasi its laws and regulations. secara menyeluruh masalah tersebut dan wajib, dan bila 116 bukti cukup, mengambil tindakan penegakan tanpa menunda-nunda sesuai dengan hukum dan peraturan. 5. Each Party shall, in its capacity as a flag State, report to 5. Setiap Pihak wajib dalam kapasitasnya sebagai Negara Bendera, melapor kepada Pihak lain, Negara Pelabuhan other Parties, relevant port States and, as appropriate, other yang terkait dan, bila perlu, Negara lain yang relevan, relevant States, regional fisheries management organisasi pengelolaan perikanan regional dan FAO atas organizations and FAO on actions it has taken in respect of tindakan yang telah dilakukan terhadap kapal yang vessels entitled to fly its flag that, as a result of port State berhak mengibarkan benderanya yang, sebagai hasil measures taken pursuant to this Agreement, have been penerapan ketentuan Negara pelabuhan sesuai dengan determined to have engaged in IUU fishing or fishing Persetujuan ini, telah dinyatakan terlibat dalam IUU related activities in support of such fishing. Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian. 6. Each Party shall ensure that measures applied to vessels 6. Setiap Pihak wajib memastikan bahwa ketentuan yang diterapkan kepada kapal yang berhak mengibarkan entitled to fly its flag are at least as effective in preventing, benderanya setidaknya sama efektifnya, dalam deterring, and eliminating IUU fishing and fishing related mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing activities in support of such fishing as measures applied to atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan vessels referred to in paragraph 1 of Article 3. yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, sebagaimana ketentuan yang diterapkan pada kapal yang tercantum pada paragraf 1 Pasal 3. PART 6 REQUIREMENTS OF DEVELOPING STATES Article 21 Requirements of developing States BAGIAN 6 PERSYARATAN BAGI NEGARA YANG SEDANG BERKEMBANG Pasal 21 Persyaratan bagi Negara yang Sedang Berkembang 1. Parties shall give full recognition to the special requirements of developing States Parties in relation to the 1. Pihak-pihak wajib memberikan pengakuan penuh terhadap persyaratan khusus bagi Pihak negara yang implementation of port State measures consistent with this sedang berkembang dalam hubungannya dengan Agreement. To this end, Parties shall, either directly or penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang konsisten through FAO, other specialized agencies of the United dengan Persetujuan ini. Dalam pada itu, negara – negara Nations or other appropriate international organizations pihak wajib, baik secara langsung atau melalui FAO, and bodies, including regional fisheries management badan khusus lain dari PBB atau organisasi internasional organizations, provide assistance to developing States yang relevan dan lembaga, termasuk organisasi Parties in order to, inter alia: pengelolaan perikanan regional lain, memberikan bantuan kepada pengembangan Negara Pihak untuk, diantaranya: (a) enhance their ability, in particular the least-developed among them and small island developing States, to develop a legal basis and capacity for the implementation of effective port State measures; (b) facilitate their participation in any international organizations that promote the effective development and implementation of port State measures; and (c) facilitate technical assistance to strengthen the development and implementation of port State measures by them, in coordination with relevant international mechanisms. (a) meningkatkan kemampuan mereka, khususnya negara miskin dan negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk membangun basis hukum dan kapasitas demi penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif; (b) memfasilitasi partisipasi mereka dalam organisasi internasional manapun yang mendorong pengembangan dan penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif; dan (c) memfasilitasi bantuan teknis untuk memperkuat pengembangan dan penerapan ketentuan negara Pelabuhan oleh mereka, melalui koordinasi dengan mekanisme internasional yang relevan. 117 2. Parties shall give due regard to the special requirements of 2. Pihak-Pihak wajib memberikan pertimbangan terhadap persyaratan khusus bagi Pihak Negara Pelabuhan yang developing port States Parties, in particular the leastdeveloped among them and small island developing States, berklasifikasi sebagai negara yang sedang berkembang to ensure that a disproportionate burden resulting from the khususnya negara miskin dan Negara yang sedang implementation of this Agreement is not transferred berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk directly or indirectly to them. In cases where the transfer memastikan bahwa beban yang tidak sebanding yang of a disproportionate burden has been demonstrated, muncul dari pelaksanaan Persetujuan ini tidak Parties shall cooperate to facilitate the implementation by dilimpahkan secara langsung atau tidak langsung kepada the relevant developing States Parties of specific mereka. Dalam hal telah terjadi pelimpahan atas beban obligations under this Agreement. yang tidak sebanding, Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk memfasilitasi pelaksanaan dari Pihak Negara yang sedang berkembang terhadap kewajiban – kewajiban khusus di bawah Persetujuan ini. 3. Parties shall, either directly or through FAO, assess the 3. Pihak-Pihak wajib, secara langsung atau melalui FAO, special requirements of developing States Parties menilai persyaratan khusus bagi Pihak Negara yang concerning the implementation of this Agreement. sedang berkembang sehubungan dengan pelaksanaan Persetujuan ini. 4. Parties shall cooperate to establish appropriate funding 4. Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk membentuk mechanisms to assist developing States in the mekanisme pendanaan yang memadai untuk membantu implementation of this Agreement. These mechanisms Negara yang sedang berkembang dalam penerapan shall, inter alia, be directed specifically towards: Perjajian ini. Mekanisme ini wajib, diantaranya ditujukan secara khusus untuk: (a) developing national and international port State (a) Mengembangkan ketentuan Negara Pelabuhan measures; Nasional dan Internasional; (b) developing and enhancing capacity, including for (b) Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas, monitoring, control and surveillance and for training termasuk untuk memantau, mengendalikan dan at the national and regional levels of port managers, mengawasi serta untuk pelatihan bagi manajer inspectors, and enforcement and legal personnel; pelabuhan, pemeriksa, serta aparat penegakan dan pegawai hukum di level nasional dan regional; (c) monitoring, control, surveillance and compliance activities relevant to port State measures, including access to technology and equipment; and (d) assisting developing States Parties with the costs involved in any proceedings for the settlement of disputes that result from actions they have taken pursuant to this Agreement. (c) Memantau, mengendalikan, kegiatan – kegiatan kepatuah dan pengawasan yang relevan dengan ketentuan Negara Pelabuhan, termasuk akses untuk teknologi dan perlengkapan; dan (d) Membantu Pihak Negara yang sedang berkembang dalam hal biaya yang berasal dari sidang – sidang penyelesaian sengketa sebagai akibat dari tindakan – tindakan yang telah mereka lakukan sebagaimana tertuang dalam Persetujuan ini. 5. Cooperation with and among developing States Parties for 5. Kerja sama dengan dan di antara Pihak Negara yang the purposes set out in this Article may include the sedang berkembang untuk tujuan yang tertera dalam provision of technical and financial assistance through Pasal ini dapat berupa ketentuan tentang bantuan teknis bilateral,multilateral and regional channels, including dan keuangan melalui jalur bilateral, multilateral, dan South-South cooperation. regional, termasuk kerja sama selatan-selatan. 6. Parties shall establish an ad hoc working group to 6. Pihak-pihak wajib membentuk kelompok kerja ad hoc periodically report and make recommendations to the untuk melaporkan secara berkala dan membuat Parties on the establishment of funding mechanisms rekomendasi kepada Pihak-Pihak dalam pembentukan including a scheme for contributions, identification and mekanisme pendanaan termasuk sebuah skema untuk mobilisation of funds, the development of criteria and kontribusi, identifikasi, dan mobilisasi dana, procedures to guide implementation, and progress in the pengembangan kriteria dan prosedur untuk memandu implementation of the funding mechanisms. In addition to pelaksanaan dan perkembangan penerapan mekanisme pendanaan. Di samping pertimbangan-pertimbangan the considerations provided in this Article, the ad hoc yang tertera dalam pasal ini, kelompok kerja ad hoc working group shall take into account, inter alia: wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 118 (a) the assessment of the needs of developing States Parties, in particular the leastdeveloped among them and small island developing States; (a) penilaian akan kebutuhan pengembangan Pihak Negara yang sedang berkembang, khususnya negara miskin di antara mereka dan Negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil; (b) the availability and timely disbursement of funds; (b) ketersediaan dari pencairan dana yang tepat waktu; (c) transparency of decision-making and management processes concerning fundraising and allocations; and (c) ketransparanan dalam pengambilan keputusan dan proses pengelolaan pengumpulan dan alokasi dana; dan (d) accountability of the recipient developing States Parties in the agreed use of funds. Parties shall take into account the reports and any recommendations of the ad hoc working group and take appropriate action. (d) akuntabilitas Pihak Negara yang sedang berkembang sebagai penerima dalam penggunaan dana yang disetujui. Pihak wajib mempertimbangkan laporan dan rekomendasi dari kelompok kerja ad hoc dan mengambil langkah – langkah yang diperlukan. BAGIAN 7 PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 22 Penyelesaian Perselisihan secara Damai PART 7 DISPUTE SETTLEMENT Article 22 Peaceful settlement of disputes 1. Any Party may seek consultations with any other Party or 1. Pihak-pihak boleh melakukan konsultasi dengan pihak Parties on any dispute with regard to the interpretation or lain atau Pihak-pihak lain mengenai interpretasi atau application of the provisions of this Agreement with a aplikasi ketentuan – ketentuan Persetujuan ini dengan view to reaching a mutually satisfactory solution as soon maksud untuk mencapai sebuah penyelesaian yang as possible. memuaskan kedua belah pihak sesegera mungkin. 2. In the event that the dispute is not resolved through these 2. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan consultations within a reasonable period of time, the melalui konsultasi ini dalam rentang waktu yang memadai, Pihak-pihak yang sedang bermasalah wajib Parties in question shall consult among themselves as soon berkonsultasi di antara mereka sendiri sesegera mungkin as possible with a view to having the dispute settled by dengan maksud untuk menyelesaikan perselisihan negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, dengan negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, judicial settlement or other peaceful means of their own arbitrasi, penyelesaian hukum atau sarana damai lain choice. sesuai pilihan mereka. 3. Any dispute of this character not so resolved shall, with 3. Perselisihan yang tidak terselesaikan wajib, atas persetujuan seluruh pihak yang bersengketa, diajukan ke the consent of all Parties to the dispute, be referred for Mahkamah Internasional untuk diselesaikan, ke settlement to the International Court of Justice, to the Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut atau International Tribunal for the Law of the Sea or to Arbitrasi. Apabila tidak dapat diselesaikan di Mahkamah arbitration. In the case of failure to reach agreement on Internasional, Pengadilan Internasional untuk Hukum referral to the International Court of Justice, to the Laut atau Arbitrasi, Pihak-pihak tersebut wajib terus International Tribunal for the Law of the Sea or to berkonsultasi dan bekerjasama dengan maksud untuk arbitration, the Parties shall continue to consult and menyelesaikan persengketaan merujuk kepada aturan cooperate with a view to reaching settlement of the dispute Hukum Internasional yang berkenaan dengan konvensi in accordance with the rules of international law relating to sumber daya kelautan hayati. the conservation of living marine resources. PART 8 BAGIAN 8 NON-PARTIES NON-PIHAK Article 23 Pasal 23 Non-Parties to this Agreement Non-pihak Dalam Persetujuan Ini 1. Parties shall encourage non-Parties to this Agreement to 1. Pihak-pihak wajib mendorong Non-Pihak dalam become Parties thereto and/or to adopt laws and Persetujuan ini untuk menjadi Pihak dalam Persetujuan regulations and implement measures consistent with its ini dan/atau untuk mengadopsi hukum dan peraturan provisions. serta menerapkan langkah – langkah yang konsisten dengan ketetapannya. 119 2. Parties shall take fair, non-discriminatory and transparent 2. Pihak-pihak wajib mengambil langkah-langkah yang adil, nondiskriminatif, dan transparan yang konsisten measures consistent with this Agreement and other dengan Persetujuan ini dan hukum internasional lain applicable international law to deter the activities of nonyang berlaku untuk menghalangi kegiatan Non-Pihak Parties which undermine the effective implementation of yang mengurangi keefektifan penerapan Persetujuan ini. this Agreement. BAGIAN 9 PART 9 PEMANTAUAN, PENINJAUAN ULANG, DAN MONITORING, REVIEW AND ASSESSMENT Article 24 PENILAIAN Pasal 24 Monitoring, review and assessment Pemantauan, Peninjauan Ulang, dan Penilaian 1. Parties shall, within the framework of FAO and its 1. Pihak-Pihak wajib, dalam kerangka kerja FAO dan badan terkaitnya, memastikan pemantauan teratur dan relevant bodies, ensure the regular and systematic sistematis dan peninjauan ulang terhadap penerapan monitoring and review of the implementation of this Persetujuan ini serta penilaian perkembangan yang Agreement as well as the assessment of progress made diperoleh dalam mencapai tujuan. towards achieving its objective. 2. Four years after the entry into force of this Agreement, 2. Empat tahun setelah pemberlakuan Persetujuan ini, FAO wajib mengadakan persidangan dari para Pihak untuk FAO shall convene a meeting of the Parties to review and meninjau ulang dan menilai keefektifan Persetujuan ini assess the effectiveness of this Agreement in achieving its dalam mencapai tujuan. Pihak-pihak wajib menentukan objective. The Parties shall decide on further such sidang selanjutnya apabila diperlukan. meetings as necessary. PART 10 BAGIAN 10 FINAL PROVISIONS KETETAPAN AKHIR Article 25 Pasal 25 Signature Penandatanganan This Agreement shall be open for signature at ** from ** until **, by all States and regional economic integration organizations. Article 26 Ratification, acceptance or approval Persetujuan ini terbuka untuk ditandatangani pada. . . dari . . . sampai . . . oleh seluruh Pihak dan organisasi integrasi ekonomi regional. Pasal 26 Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan 1. This Agreement shall be subject to ratification, acceptance 1. Persetujuan ini wajib diratifikasi, diterima atau disetujui or approval by the signatories. oleh yang menandatangani Persetujuan ini. 2. Instruments of ratification, acceptance or approval shall be deposited with the Depositary. Article 27 Accession 2. Instrumen Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan wajib disimpan di Depositari. Pasal 27 Aksesi 1. After the period in which this Agreement is open for 1. Setelah periode di mana Persetujuan terbuka untuk signature, it shall be open for accession by any State or ditandatangani, Persetujuan ini terbuka untuk aksesi oleh regional economic integration organization. Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional manapun. 2. Instruments of accession shall be deposited with the 2. Instrumen aksesi wajib disimpan di Depositari. Depositary. Article 28 Pasal 28 Participation by Regional Economic Integration Keikutsertaan Organisasi Integrasi Ekonomi Regional Organizations 1. In cases where a regional economic integration 1. Dalam hal dimana organisasi integrasi ekonomi regional organization that is an international organization referred yang merupakan organisasi internasional sebagaimana to in Annex IX, Article 1, of the Convention does not have dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1 Konvensi ini competence over all the matters governed by this tidak memiliki kompetensi atas seluruh hal yang diatur Agreement, Annex IX to the Convention shall apply dalam Persetujuan ini, Lampiran IX Konvensi ini 120 berlaku mutatis mutandis terhadap keikutsertaan mutatis mutandis to participation by such regional organisasi integrasi ekonomi regional tersebut dalam economic integration organization in this Agreement, Persetujuan ini, kecuali ketetapan-ketetapan Lampiran except that the following provisions of that Annex shall berikut ini: not apply: (a) Pasal 2, kalimat pertama; dan (a) Article 2, first sentence; and (b) Pasal 3, paragraph 1. (b) Article 3, paragraph 1. 2. In cases where a regional economic integration 2. Dalam hal dimana organisasi kepaduan ekonomi regional yang merupakan organisasi internasional organization that is an international organization referred sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1 to in Annex IX, Article 1, of the Convention has Konvensi ini memiliki kompetensi akan seluruh hal competence over all the matters governed by this yang diatur dalam Persetujuan ini, ketetapan berikut Agreement, the following provisions shall apply to berlaku terhadap keikutsertaan organisasi integrasi participation by the regional economic integration ekonomi regional dalam Persetujuan ini: organization in this Agreement: that, for this reason, its member States shall not become States Parties, except in respect of their territories for which the organization has no responsibility; and (iii) that it accepts the rights and obligations of States under this Agreement; (a) pada saat penandatanganan atau aksesi, organisasi tersebut wajib membuat pernyataan yang menyatakan: (i) bahwa organisasi tersebut memliki kompetensi terhadap hal-hal yang diatur dalam Persetujuan ini; (ii) bahwa, untuk alasan ini, Negara anggotanya tidak wajib menjadi Negara Pihak, kecuali atas wilayah mereka dimana organisasi tidak memiliki tanggung jawab; dan (iii) bahwa organisasi menerima hak dan kewajiban Negara di bawah Persetujuan ini; (b) participation of such an organization shall in no case confer any rights under this Agreement on member States of the organization; (b) keikutsertaan organisasi tersebut sama sekali tidak boleh memberikan hak apapun di bawah Persetujuan ini pada Negara anggota organisasi. (c) in the event of a conflict between the obligations of such organization under this Agreement and its obligations under the Agreement establishing the organization or any acts relating to it, the obligations under this Agreement shall prevail. (c) apabila terjadi pertentangan antara kewajiban organisasi di bawah Persetujuan ini dan kewajiban di bawah Persetujuan yang membentuk organisasi tersebut atau undang – undang apa pun yang berkenaan dengan itu, kewajiban organisasi di bawah Persetujuan ini berlaku. Pasal 29 Pemberlakuan Persetujuan (a) at the time of signature or accession, such organization shall make a declaration stating: (i) that it has competence over all the matters governed by this Agreement; (ii) Article 29 Entry into force 1. This Agreement shall enter into force thirty days after the 1. Persetujuan ini mulai berlaku 30 hari setelah tanggal date of deposit with the Depositary of the twenty-fifth penyimpanan di Depositari atas instrumen ratifikasi, instrument of ratification, acceptance, approval or penerimaan, persetujuan atau aksesi ke dua puluh lima accession in accordance with Article 26 or 27. sesuai dengan Pasal 26 atau 27. 2. For each signatory which ratifies, accepts or approves this 2. Bagi setiap penandatangan yang meratifikasi, menerima, Agreement after its entry into force, this Agreement shall atau menyetujui Persetujuan ini setelah Persetujuan ini enter into force thirty days after the date of the deposit of berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30 hari setelah its instrument of ratification, acceptance or approval. tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan. 3. For each State or regional economic integration 3. Bagi tiap Negara atau organisasi integrasi ekonomi organization which accedes to this Agreement after its regional yang melakukan aksesi Persetujuan ini setelah entry into force, this Agreement shall enter into force Persetujuan ini berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30 thirty days after the date of the deposit of its instrument of hari setelah tanggal penyimpanan instrumen aksesi. accession. 4. For the purposes of this Article, any instrument deposited 4. Demi tujuan Pasal ini, instrumen apa pun yang disimpan by a regional economic integration organization shall not oleh organisasi integrasi ekonomi regional tidak 121 be counted as additional to those deposited by its Member States. Article 30 Reservations and exceptions dianggap sebagai tambahan kepada yang telah disimpan oleh Negara anggota. Pasal 30 Pensyaratan dan Pengecualian No reservations or exceptions may be made to this Agreement. Article 31 Declarations and statements Pensyaratan dan pengecualian tidak diboleh dilakukan terhadap Persetujuan ini. Pasal 31 Deklarasi dan Pernyataan Article 30 does not preclude a State or regional economic integration organization, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to this Agreement, from making a declaration or statement, however phrased or named, with a view to, inter alia, the harmonization of its laws and regulations with the provisions of this Agreement, provided that such declaration or statement does not purport to exclude or to modify the legal effect of the provisions of this Agreement in their application to that State or regional economic integration organization. Pasal 30 tidak menghalangi suatu negara atau organisasi integrasi ekonomi regional, ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi Persetujuan ini, dengan melakukan deklarasi atau pernyataan, atau apapun namanya, dengan maksud untuk antara lain harmonisasi hukum dan peraturan dengan ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini, apabila deklarasi atau pernyataan tersebut tidak bermaksud mengenyampingkan atau untuk mengubah pengaruh hukum ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini dalam penerapannya kepada Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional. Pasal 32 Pemberlakuan Sementara Article 32 Provisional application 1. This Agreement shall be applied provisionally by States or 1. Persetujuan ini berlaku untuk sementara waktu oleh Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang regional economic integration organizations which consent setuju terhadap pemberlakuan sementara dengan to its provisional application by so notifying the memberitahu Depositari secara tertulis. Pemberlakuan Depositary in writing. Such provisional application shall sementara tersebut menjadi efektif dari tanggal become effective from the date of receipt of the penerimaan pemberitahuan tersebut. notification. 2. Provisional application by a State or regional economic 2. Pemberlakuan sementara oleh Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional harus berakhir dengan integration organization shall terminate upon the entry into berlakunya Persetujuan ini bagi Negara itu atau force of this Agreement for that State or regional organisai integrasi ekonomi regional atau atas economic integration organization or upon notification by pemberitahuan oleh Negara tersebut atau organisasi that State or regional economic integration organization to integrasi ekonomi regional kepada Depositari secara the Depositary in writing of its intention to terminate tertulis dengan maksud mengakhiri pemberlakuan provisional application. sementara. Pasal 33 Article 33 Amandemen Amendments 1. Any Party may propose amendments to this Agreement after the expiry of a period of two years from the date of entry into force of this Agreement. 1. Pihak manapun dapat mengajukan amandemen terhadap Persetujuan ini dua tahun setelah berlakunya Persetujuan ini. 2. Any proposed amendment to this Agreement shall be 2. Amandemen yang diajukan terhadap Persetujuan ini wajib disampaikan secara tertulis kepada Depositari transmitted by written communication to the Depositary bersama dengan permohonan untuk menyelenggarakan along with a request for the convening of a meeting of the pertemuan para Pihak untuk mempertimbangkan Parties to consider it. The Depositary shall circulate to all amandemen dimaksud. Depositori wajib Parties such communication as well as all replies to the mengkomunikasikan hal tersebut kepada seluruh Pihak request received from Parties. Unless within six months dan menjawab permohonan yang disampaikan oleh from the date of circulation of the communication one half Pihak-pihak. Kecuali kalau dalam waktu enam bulan of the Parties object to the request, the Depositary shall sejak tanggal pengkomunikasian tersebut, 1 ½ dari Pihak convene a meeting of the Parties to consider the proposed berkeberatan akan permohonan itu, Depositori wajib amendment. mengadakan pertemuan para Pihak untuk 122 mempertimbangkan amandemen yang diajukan. 3. Subject to Article 34, any amendment to this Agreement 3. Mengingat Pasal 34, amandemen terhadap Persetujuan ini hanya akan diadopsi melalui kesepakatan Pihakshall only be adopted by consensus of the Parties present pihak yang hadir dalam sidang dimana amandemen at the meeting at which it is proposed for adoption. tersebut diajukan untuk diadopsi. 4. Subject to Article 34, any amendment adopted by the 4. Mengingat Pasal 34, amandemen yang diadopsi dalam pertemuan para Pihak akan berlaku setelah Pihak-pihak meeting of the Parties shall come into force among the meratifikasi, menerima, atau menyetujuinya 90 hari Parties having ratified, accepted or approved it on the setelah penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan ninetieth day after the deposit of instruments of atau persetujuan oleh 2/3 Pihak dihitung dari jumlah ratification, acceptance or approval by two-thirds of the Pihak pada tanggal adopsi amandemnen tersebut. Parties to this Agreement based on the number of Parties Kemudian, amandemen akan berlaku bagi Pihak yang on the date of adoption of the amendment. Thereafter the lain 90 hari setelah Pihak tersebut menyimpan instrumen amendment shall enter into force for any other Party on the ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan terhadap ninetieth day after that Party deposits its instrument of amandemen tersebut. ratification, acceptance or approval of the amendment. 5. For the purposes of this Article, an instrument deposited 5. Demi tujuan Pasal ini, instrumen yang disimpan oleh organisasi integrasi ekonomi regional tidak dihitung by a regional economic integration organization shall not sebagai tambahan dari yang telah disimpan Negara be counted as additional to those deposited by its Member anggota. States. Article 34 Annexes Pasal 34 Lampiran - lampiran 1. The Annexes form an integral part of this Agreement and a 1. Lampiran - lampiran tersebut membentuk bagian yang reference to this Agreement shall constitute a reference to tidak dapat dipisahkan dari Persetujuan ini dan the Annexes. pengacuan kepada Persetujuan ini merupakan pengacuan kepada lampiran – lampiran. 2. An amendment to an Annex to this Agreement may be 2. Sebuah amandemen terhadap lampiran perjanian ini adopted by two-thirds of the Parties to this Agreement dapat dilaksanakan oleh 2/3 Pihak dalam Persetujuan ini present at a meeting where the proposed amendment to the yang hadir dalam pertemuan dimana amandemen yang Annex is considered. Every effort shall however be made diajukan terhadap lampiran dipertimbangkan. Setiap to reach agreement on any amendment to an Annex by usaha wajib dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan way of consensus. An amendment to an Annex shall be terhadap amandemen kepada lampiran melalui cara incorporated in this Agreement and enter into force for mufakat. Amandemen terhadap sebuah lampiran wajib those Parties that have expressed their acceptance from the dibentuk dalam Persetujuan ini dan berlaku bagi Pihakdate on which the Depositary receives notification of pihak yang telah meyatakan penerimaan mereka pada acceptance from one-third of the Parties to this tanggal Depositori menerima pemberitahuan penerimaan Agreement, based on the number of Parties on the date of dari 1/3 Pihak dalam Persetujuan ini berdasarkan jumlah adoption of the amendment. The amendment shall Pihak pada tangal pelaksanan amandemen. Amandemen thereafter enter into force for each remaining Party upon akan berlaku bagi setiap pihak lainnya setelah Depositori receipt by the Depositary of its acceptance. menerima pernyataan penerimaan. Pasal 35 Article 35 Penarikan Diri Withdrawal Any Party may withdraw from this Agreement at any time after the expiry of one year from the date upon which the Agreement entered into force with respect to that Party, by giving written notice of such withdrawal to the Depositary. Withdrawal shall become effective one year after receipt of the notice of withdrawal by the Depositary. Article 36 The Depositary Pihak mana pun dapat menarik diri dari Persetujuan ini sewaktu-waktu satu tahun setelah tanggal berlakunya Persetujuan ini bagi Pihak-Pihak tersebut, dengan memberikan pemberitahuan penarikan diri secara tertulis kepada Depositori. Penarikan diri berlaku satu tahun setelah Depositori menerima pernyataan penarikan diri. Pasal 36 Depositori The Director-General of the FAO shall be the Depositary of Direktur Jenderal FAO akan menjadi Depositori dari 123 this Agreement. The Depositary shall: a. b. c. Persetujuan ini. Depositori wajib: transmit certified copies of this Agreement to each a. memberikan salinan resmi Persetujuan ini kepada setiap penanda tangan dan Pihak: signatory and Party; register this Agreement, upon its entry into force, with b. mendaftarkan Persetujuan ini, setelah Persetujuan ini berlaku, kepada Sekretariat PBB sesuai dengan Pasal the Secretariat of the United Nations in accordance with 102 Piagam PBB; Article 102 of the Charter of the United Nations; promptly inform each signatory and Party to this c. segera memberitahu setiap penanda tangan dan Pihak dalam Persetujuan ini mengenai: Agreement of all: (i) tanda tangan dan instrumen ratifikasi, penerimaan, (i) signatures and instruments of ratification, persetujuan, dan aksesi di bawah Pasal 25, 26, dan acceptance, approval and accession deposited under 27; Articles 25, 26 and 27; (ii) tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini sesuai (ii) the date of entry into force of this Agreement in dengan Pasal 29; accordance with Article 29; (iii) pengajuan amandemen terhadap Persetujuan ini dan (iii) proposals for amendment to this Agreement and their pelaksanaanya serta mulai berlakunya sesuai dengan adoption and entry into force in accordance with Pasal 33 Article 33; (iv) pengajuan amandemen terhadap lampiran – (iv) proposals for amendment to the Annexes and their lampiran dan pelaksanaannya serta mulai adoption and entry into force in accordance with berlakunya sesuai dengan Pasal 34; Article 34; and (v) Penarikan diri dari Persetujuan ini sesuai dengan (v) withdrawals from this Agreement in accordance with Pasal 35. Article 35. Article 37 Pasal 37 Authentic texts Teks-Teks Otentik The Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts of this Agreement are equally authentic. Teks berbahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol dari Persetujuan ini memiliki keotentikan yang sama. IN WITNESS WHEREOF, the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorized, have signed this Agreement. Saksi Persetujuan, duta yang berkuasa penuh yang bertanda tangan di bawah ini, yang berwenang dengan semestinya telah menandatangani Persetujuan ini. DONE at, on this day of, 2009 Ditandatangani di pada tanggal …. bulan… tahun 2009. 124 Lampiran 2 Annex A Port State Measures Annex A Information to be provided in advance by vessels requesting port entry 1. Intended port of call 2. Port state 3. Estimated date and time of arrival 4. Purpose(s) 5. Port and date of last port call 6. Name of vessel 7. Flage 8. Type of vessel 9. International radio call sign 10. Vessel contact information 11. Vessel owner(s) 12. Certificate of registry ID 13. IMO ship ID, if available 14. External ID, if available 15. RFMO ID, if available No Yes national 16. VMS Length 17. Vessel dimensions 18. Vessel master name and nationality 19. Relevant fishing authorization(s) Identifier Issued by Validity Beam Yes Type: RFMO(s) Darft Fishing Species area 20. Relevant transshipment authorization(s) Identifier Issued by Validity Identifier Issued by Validity 21. Transshipment information concerning donor vessels Date Location Name Flage ID Species Product state number form 22. Total catch on board Species Product form Catch area Quantity Catch area Gear Quantity 23. Catch to be offloaded Quantity 125 Lampiran 3 Annex B Port State Measures Annex B Port State inspection procedures Inspectors shall: a) verify, to the extent possible, that the vessel identification documentation onboard and information relating to the owner of the vessel is true, complete and correct, including through appropriate contacts with the flag State or international records of vessels if necessary; b) verify that the vessel’s flag and markings (e.g. name, external registration number, International Maritime Organization (IMO) ship identification number, international radio call sign and other markings, main dimensions) are consistent with information contained in the documentation; c) verify, to the extent possible, that the authorizations for fishing and fishing related activities are true, complete, correct and consistent with the information provided in accordance with Annex A; d) review all other relevant documentation and records held onboard, including, to the extent possible, those in electronic format and vessel monitoring system (VMS) data from the flag State or relevant regional fisheries management organizations (RFMOs). Relevant documentation may include logbooks, catch, transshipment and trade documents, crew lists, stowage plans and drawings, descriptions of fish holds, and documents required pursuant to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora; e) examine, to the extent possible, all relevant fishing gear onboard, including any gear stowed out of sight as well as related devices, and to the extent possible, verify that they are in conformity with the conditions of the authorizations. The fishing gear shall, to the extent possible, also be checked to ensure that features such as the mesh and twine size, devices and attachments, dimensions and configuration of nets, pots, dredges, hook sizes and numbers are in conformity with applicable regulations and that the markings correspond to those authorized for the vessel; f) determine, to the extent possible, whether the fish on board was harvested in accordance with the applicable authorizations; g) examine the fish, including by sampling, to determine its quantity and composition. In doing so, inspectors may open containers where the fish has been pre-packed and move the catch or containers to ascertain the integrity of fish holds. Such examination may include inspections of product type and determination of nominal weight; 126 h) evaluate whether there is clear evidence for believing that a vessel has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing; i) provide the master of the vessel with the report containing the result of the inspection, including possible measures that could be taken, to be signed by the inspector and the master. The master’s signature on the report shall serve only as acknowledgment of the receipt of a copy of the report. The master shall be given the opportunity to add any comments or objection to the report, and, as appropriate, to contact the relevant authorities of the flag State in particular where the master has serious difficulties in understanding the content of the report. A copy of the report shall be provided to the master; and j) arrange, where necessary and possible, for translation of relevant documentation. 127 Lampiran 4 Annex C Port State Measures Annex C Report of the result of the inspection 2. Port state 1. Inspection report no 3. Inspecting authority 4. Name of principal inspection ID 5. Port inspection YYYY MM DD HH 6. Commencement of inspection YYYY MM DD HH 7. Completion of inspection Yes No 8. Advanced notification received LAN TRX PRO OTH (specify) 9. Purpose(s) YYYY MM DD 10. Port and state and date of last port call 11. Vessel name 12. Flag state 13. Type of vessel 14. International radio call sign 15. Certificate of registry ID 16. IMO ship ID, if available 17. External ID, if available 18. Port of registry 19. Vessel owner(s) 20. Vessel beneficial owner(s), if known and different from vessel owner 21. Vessel operator(s), if different from vessel owner 22. Vessel master name and nationality 23. Fishing master name and nationality 24. Vessel agent No Yes: National Yes: RFMOs Type: 25. VMS 26. Status in RFMO areas where fishing related activites have been undertaken, including any IUU vessel listing Vessel identifier RFMO Flag state Vessel on Vessel on IUU status authorized live vessel list 27. Relevant fishing authorization(s) Identifier Issued by Validity Fishing area(s) Species Gear 128 Lanjutan Annex C 28. Relevant transshipment authorization(s) Identifier Issued by Validity Identifier Issued by Validity 29. Transshipment information concerning donor vessels Name Flage state ID na Species Product Catch form areas(s) 30. Evaluation of offloaded catch (quantity) Species Product Catch Quantity Quantity form area(s) declared offloaded 31. Catch retained onboard (quantity) Species Product Catch Quantity form area(s) declared 32. Examination of logbook(s) and documentation 33. Compliance with applicable docementation scheme(s) 34. Compliance with applicable information scheme(s) 35. Type of gear used 36. Gear examined in accordance with paragraph e) of Annex B 37. Finding by inspector(s) Quantity offloaded Quantity Different between quantity declared and quantity determined, if any Different between quantity declared and quantity determined, if any other Yes No Comments catch Yes No Comments trade Yes No Comments Yes No Comments 38. Apparent infringement(s) noted including reference to relevant ilegal instrument(s) 39. Comments by the master 40. Action taken 41. Master’s signature 42. Inspector’s signature 129 Lampiran 5 Annex D Port State Measures Annex D Information systems on port State measures In implementing this Agreement, each Party shall: a) seek to establish computerized communication in accordance with Article 16; b) establish, to the extent possible, websites to publicize the list of ports designated in accordance with Article 7 and the actions taken in accordance with the relevant provisions of this Agreement; c) identify, to the greatest extent possible, each inspection report by a unique reference number starting with 3-alpha code of the port State and identification of the issuing agency; d) utilize, to the extent possible, the international coding system below in Annexes A and C and translate any other coding system into the international system. countries/territories: ISO-3166 3-alpha Country Code species: ASFIS 3-alpha code (known as FAO 3-alpha code) vessel types: ISSCFV code (known as FAO alpha code) gear types: ISSCFG code (known as FAO alpha code) 130 Lampiran 6 Annex E Port State Measures Annex E Guidelines for the training of inspectors Elements of a training programme for port State inspectors should include at least the following areas: 1. Ethics; 2. Health, safety and security issues; 3. Applicable national laws and regulations, areas of competence and conservation and management measures of relevant RFMOs, and applicable international law; 4. Collection, evaluation and preservation of evidence; 5. General inspection procedures such as report writing and interview techniques; 6. Analysis of information, such as logbooks, electronic documentation and vessel history (name, ownership and flag State), required for the validation of information given by the master of the vessel; 7. Vessel boarding and inspection, including hold inspections and calculation of vessel hold volumes; 8. Verification and validation of information related to landings, transshipments, processing and fish remaining onboard, including utilizing conversion factors for the various species and products; 9. Identification of fish species, and the measurement of length and other biological parameters; 10. Identification of vessels and gear, and techniques for the inspection and measurement of gear; 11. Equipment and operation of VMS and other electronic tracking systems; and 12. Actions to be taken following an inspection.