1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan serta keselamatan kerja merupakan masalah penting dalam setiap proses operasional di tempat kerja. Dengan berkembangnya industrialisasi di Indonesia maka sejak awal disadari tentang kemungkinan timbulnya dampak baik terhadap tenaga kerja maupun pada masyarakat di lingkungan sekitarnya. Faktor-faktor penyebab penyakit akibat kerja dapat digolongkan menjadi golongan fisik, kimia, infeksi, fisiologis dan mental psikologis. Bising, yang termasuk dalam golongan fisik, dapat menyebabkan kerusakan pendengaran/tuli (Soemonegara,1975, Miller,1975). Kurang pendengaran akibat bising terjadi secara perlahan, dalam waktu hitungan bulan sampai tahun. Hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya, sehingga pada saat penderita mulai mengeluh kurang pendengaran, biasanya sudah dalam stadium yang tidak dapat disembuhkan (irreversibe). Kondisi seperti ini akan mempengaruhi produktivitas tenaga kerja yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya derajat kesehatan masyarakat pekerja. Hal ini maka cara yang paling memungkinkan adalah mencegah terjadinya ketulian total (Ballantyne, 1990; Beaglehole, 1993). Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri 2 di Amerika dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih (Soetjipto, 2007). Di indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sundari (1994) yang menemukan 31,55% pekerja pabrik peleburan besi di Jakarta menderita tuli akibat bising dengan intensitas bising antara 85-105 dB, dengan masa kerja rata-rata 8,99 tahun (Soetjipto, 2007). Penelitian lain dilakukan oleh Lusianawaty (1998) yang menemukan bahwa 7 dari 22 pekerja (31,8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising lingkungan antara 84,9-108,2 dB (Soetjipto, 2007). Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising ini tidak hanya dilakukan di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar tahun 1971, mendapatkan bising jalan raya (Jl. M.H Thamrin, Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk (Soetjipto, 2007). Fakta bahwa paparan bising yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pendengaran mulai dikenali sejak abad kedelapan belas. Pada awal abad keduapuluh, gangguan pendengaran akibat bising ini dikenal dengan nama Boilermaker’s Deafness (Arts, 1999). Istilah ini muncul mungkin karena pada saat itu ketulian ini ditemukan pada para pekerja pabrik yang bising. Sebagian besar paparan bising akan menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural sementara yang dapat pulih dalam 24 sampai 48 jam. Keadaan reversibel ini disebut sebagai kenaikan ambang dengar sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS) (Arts, 1999). Apabila 3 bising tersebut memiliki intensitas yang cukup tinggi atau waktu paparan yang cukup lama bahkan keduanya, maka akan terjadi kenaikan ambang dengar permanen, Permanent Threshold Shift (PTS) (Arts, 1999). Sedangkan trauma akustik adalah suatu paparan bising dalam tingkat yang berbahaya dimana akan mengakibatkan keadaan PTS tanpa melalui proses TTS dalam satu kali paparan (Arts, 1999). Stadium dini dari tuli akibat paparan bising ditandai dengan kurva ambang pendengaran yang curam pada frekuensi diantara 3000 dan 6000 Hz, biasanya pertama kali muncul pada 4000 Hz. Pada fase dini ini penderita mungkin hanya mengeluh tinitus, suara yang teredam, rasa tidak nyaman di telinga, atau penurunan pendengaran yang temporer. Keluhan-keluhan ini dirasakan pada saat berada ditempat bising, atau sesaat setelah meninggalkan tempat bising. Keluhan kemudian akan berangsur menghilang setelah beberapa jam jauh dari lingkungan bising. Gangguan pendengaran biasanya tidak disadari sampai ambang pendengaran bunyi nada percakapan yaitu 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz lebih dari 25 dB. Awal dan perkembangan tuli syaraf akibat bising lambat dan tidak jelas. Ketulian selalu bertipe sensorineural dan serupa baik kualitas maupun kuantitasnya pada kedua telinga. Secara otoskopik, membran timpani tampak normal (Fox, 1997). Dobie, R.A (2001) dalam Head and Neck Surgery-Otolaryngology, menjelaskan bahwa gangguan pendengaran akibat bising mengakibatkan kerusakan pada organon corti. Didapatkan kesulitan dalam menemukan kelainan anatomis sehubungan dengan TTS, tetapi diyakini bahwa kelainan ini disebabkan oleh stereocilia dari sel rambut yang berkurang 4 ketegangannya yang mengakibatkan turunnya respon terhadap rangsangan. Ketidakteraturan stereocilia ini dapat kembali normal dalam jangka waktu tertentu. Sejalan dengan meningkatnya intensitas dan durasi paparan bising, maka kerusakan akan semakin berat sampai akhirnya terjadi hilangnya stereocilia tersebut. Ketika stereocilia telah hilang, maka sel rambut sendiri akan mengalami kerusakan. Dengan bertambahnya paparan, maka sel rambut dan sel-sel pendukung dalam organon corti akan turut rusak. Selain itu juga dilaporkan adanya degenerasi syaraf pendengaran dan nukleus pendengaran. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa nada murni dengan frekuensi dan intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah basal (mid basal end) koklea dan frekuensi rendah akan merusak struktur dekat apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar dan intensitas tinggi akan menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah yang melayani nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputusnya dan degenerasi sel-sel rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan yang lebih berat menunjukkan adanya degenerasi, baik sel rambut luar maupun sel rambut dalam dan atau hilangnya seluruh organon corti (Fox, 1997). Beberapa teori telah diajukan mengenai mengapa daerah yang melayani frekuensi 4000 Hz lebih rentan terhadap pemaparan bising. Teori yang paling populer adalah bahwa struktur anatomi di daerah tersebut lebih lemah. Kelemahan struktur anatomi tersebut adalah sebagai akibat ketajaman pendengaran dan spektrum dari stimulus suara. Didapatkan bahwa ketulian yang paling dini terjadi pada sekitar satu sampai satu 5 setengah oktaf diatas skala frekuensi nada stimulator. Karena ambang pendengaran lebih peka pada nada diantara 1000 dan 3000 Hz, beralasan untuk menduga bahwa bising industri, karena spektrumnya, akan menyebabkan kerusakan paling dini pada frekuensi antara 3000 sampai 4000 Hz (Fox, 1997). Bising adalah suara yang tidak diinginkan yang berasal dari sumber suara, yang merupakan arus energi yang berbentuk gelombang suara dan mempunyai tekanan yang berubah-ubah tergantung pada sumbernya (kebisingan) hingga sampai pada telinga dan merangsang pendengaran. Kebisingan adalah semua suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. PT. Jakarta International Container Terminal adalah terminal petikemas terbesar di Indonesia dan merupakan perusahaan gabungan antara Hutchison Port Holdings (HPH) dan PT. Pelabuhan Indonesia II. Dengan lokasi yang strategis di daerah pusat industri DKI Jakarta, JICT menjadi pelabuhan penghubung utama di Indonesia. PT. JICT memiliki dua masalah utama di lingkungan kerja yaitu masalah udara dan kebisingan. Berdasarkan penelitian observasi lapangan, khususnya pada beberapa area kerja, bahwa kebisingan merupakan salah satu faktor utama masalah kesehatan lingkungan. Penambahan mitra kerja dari tahun 2009 hingga 2012, mengharuskan PT. JICT menambah alat bongkar muat petikemas agar pelayanan menjadi lebih cepat dan efisien. Namun penambahan alat bongkar muat petikemas 6 pun memiliki resiko lain yaitu meningkatnya intensitas kebisingan di area kerja. Nilai kebisingan di PT. JICT berdasarkan Laporan Kegiatan Pemantauan Kualitas Lingkungan (Udara) PT. JICT pada tahun 2009, area kerja yang mengalami nilai kebisingan tertinggi yaitu Gate – In T-1 dengan nilai kebisingan 80,6 dB sedangkan pada tahun 2012, area kerja yang mengalami nilai kebisingan tertinggi yaitu Gate Out T-2 dengan nilai kebisingan mencapai 84,4 dB. Kebisingan yang terjadi di PT. JICT lebih dominan disebabkan oleh penambahan alat bongkar muat petikemas. Nilai kebisingan di area Koridor Billing pada tahun 2009 yaitu 45,2 dB namun pada tahun 2012 nilai kebisingan mengalami kenaikan mencapai 71,2 dB. Kenaikan nilai kebisingan yang terjadi di Koridor Billing mencapai 26 dB. Dengan adanya ungkapan yang terjadi di atas, peneliti ingin mengetahui adakah kaitan Perbedaan Tingkat Kebisingan dengan Penambahan Alat Bongkar Muat Petikemas dengan mengadakan penelitian dengan judul Perbedaan Tingkat Kebisingan Antara Tahun 2009 dan 2012 dengan Penambahan Alat Bongkar Muat Petikemas di Beberapa Area Kerja PT. JICT . 1.2 Identifikasi Masalah Pada dasarnya ada berbagai macam bahaya di tempat kerja yang bisa mengancam kesehatan pekerja maupun orang-orang yang berada di sekitar lingkungan perusahaan. Ada 5 faktor lingkungan kerja yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja yaitu : 7 a. Faktor kimia : Gas, uap, debu, fume, asap kabut, cairan dan benda padat, serat. b. Faktor biologi : Baik dari golongan Hewan dan Tumbuhan. c. Faktor fisiologi : Sikap dan cara kerja, tata letak mesin atau kendaraan. d. Faktor psikologis : Suasana kerja, hubungan antara pekerja atau dengan pengusaha. e. Faktor Fisik : Getaran, tekanan panas, tekanan dingin, gelombang elektro magnetik, ultraviolet, radiasi pengion, pencahayaan dan kebisingan. PT. JICT memiliki berbagai masalah yang terjadi di perusahaan. Dari faktor kimia, faktor biologi, faktor fisiologi, faktor psikologi dan faktor fisik terjadi di perusahaan ini. Namun yang terjadi di terminal hanya terdapat masalah udara, udara emisi, udara dalam ruang dan kebisingan. 1.3 Pembatasan Masalah Dengan adanya banyak masalah yang terjadi di terminal dan batasan waktu yang ditentukan maka peneliti membatasi masalah hanya pada kebisingan. Adanya kebisingan di beberapa area kerja merupakan problematik, maka penelitian terfokus pada permasalahan yang akan diteliti dan dibatasi pada Perbedaan Tingkat Kebisingan Antara Tahun 2009 dan 2012 dengan Penambahan Alat Bongkar Muat Petikemas di Beberapa Area Kerja PT. JICT. 8 1.4 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada peningkatan pengukuran kebisingan antara tahun 2009 dan 2012 dengan penambahan alat bongkar muat petikemas di beberapa area kerja PT. JICT. 1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui Perbedaan Tingkat Kebisingan Antara Tahun 2009 dan 2012 dengan Penambahan Alat Bongkar Muat Petikemas di Beberapa Area Kerja PT. JICT. 1.5.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi kebisingan di beberapa area kerja PT.JICT b. Mengidentifikasi penambahan alat bongkar muat petikemas di PT. JICT c. Mengidentifikasi penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) di beberapa area bising PT.JICT d. Mengidentifikasi penyebab terjadinya tingkat kebisingan di beberapa area kerja PT. JICT e. Menganalisis perbedaan tingkat kebisingan antara tahun 2009 dan 2012 dengan adanya penambahan alat bongkar muat petikemas di beberapa area kerja PT. JICT. 9 1.5.3 Manfaat Penelitian a. Bagi Perusahaan Melakukan tindakan pencegahan terhadap meningkatnya nilai kebisingan di area kerja PT. JICT Diharapkan dapat mengkaji ulang penerapan manajemen keselmatan kerja yang berkaitan dengan resiko kebisingan agar lebih baik Diharapkan dapat melakukan tindakan perbaikan terhadap kebisingan di beberapa area kerja PT. JICT b. Bagi Karyawan Diharapkan sebagai masukan bagi pekerja di PT. JICT untuk lebih waspada terhadap kebisingan Memberikan pemahaman terhadap area yang mengandung bahaya kebisingan Memastikan peralatan mempunyai tingkat kebisingan di bawah ambang batas c. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan dan wawasan tentang kebisingan seperti penyebab dan cara pengendalian kebisingan Menambah pengalaman, semakin banyak berinteraksi dengan orang lain dan menjadi referensi baru dalam dunia kerja 10 d. Bagi Intitusi Pendidikan Diharapkan sebagai masukan dan referensi daftar pustaka bagi Jurusan Kesehatan Masyarakat peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Industri Dapat terjalinnya hubungan yang baik antara perusahaan dan institusi pendidikan