BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Manajemen Keselamatan

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Sistem Manajemen Keselamatan dan kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian
dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian
risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman,
efisien dan produktif (Peraturan Pemerintah RI No. 50 Tahun 2012). Pelaksanaan
SMK3 dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tersebut dilakukan dengan
tujuan :
1. Untuk meningkatkan efektifitas perlindungan K3 dengan cara : terencana,
terukur, terstruktur, terintegrasi.
2. Untuk mencegah kecelakaan kerja dan mengurangi penyakit akibat kerja, dengan
melibatkan : manajemen, tenaga kerja/pekerja dan serikat pekerja.
SMK3 diwajibkan bagi perusahaan, mempekerjakan lebih dari 100 orang dan
mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. Untuk itu perusahaan diwajibkan
menyusun rencana K3, dalam menyusun rencana K3 tersebut, pengusaha melibatkan
Ahli K3, Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3), Wakil Pekerja
dan Pihak Lain yang terkait. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 50 Tahun 2012
yaitu Penetapan kebijakan K3, perencanaan K3, pelaksanaan rencana K3,
pemantauan dan evaluasi kinerja K3 dan peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3.
14
Universitas Sumatera Utara
Penerapan SMK3 berdasarkan prinsip standar OHSAS 18001:2008 yang
terdiri dari lima prinsip.
a. Komitmen dan Kebijakan K3
Manajemen perusahaan memiliki komitmen untuk patuh terhadap peraturan
perundangan K3, mencegah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan pencemaran.
Wewenang yang dimiliki manajemen puncak adalah memberi sanksi kepada
karyawan yang bekerja dan investor di area pabrik tidak menggunakan alat
keselamatan kerja.
b. Perencanaan K3
Perencanaan yang dilakukan perusahaan adalah membuat jadwal rencana
kegiatan yang terdiri dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh divisi yang terkait
untuk menerapkan SMK3 di perusahaan. Perusahaan melakukan identifikasi bahaya,
penilaian risiko, dan pengendalian risiko K3 serta menanggulangi limbah terhadap
pengendalian dampak lingkungan.
c. Pelaksanaan K3
Struktur dan tanggung jawab pelaksanaan SMK3 di perusahaan dengan
dibentuknya tim P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang
merupakan bagian dari divisi keselamatan lingkungan dan damkar. Tim P2K3 adalah
tim yang memiliki kewenangan, tanggung jawab, menyediakan sumber daya manusia,
sarana dan prasarana yang berkaitan tentang pelaksanaan SMK3 dengan manajemen
perusahaan. Program-program yang dilakukan perusahaan sebagai pelaksanaan
SMK3 dan keselamatan lingkungan diantaranya program kesehatan, program
Universitas Sumatera Utara
keselamatan, dan program lingkungan. Program keselamatan yang dilakukan
diantaranya memasang rambu-rambu penggunaan alat pelindung diri di setiap area
kerja, rambu-rambu peringatan akan bahaya kerja yang akan terjadi, menerapkan
toolbox meeting, memberikan dan menyediakan alat pelindung diri bagi tenaga kerja
secara gratis, sosialisasi dan rapat panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja
(P2K3), mengadakan pelatihan K3 tentang P3K dan pelatihan tanggap darurat,
melakukan patroli control setiap pagi selama jam kerja, dan penyedian alat pemadam
kebakaran di setiap area kerja serta pemberian jalur evakuasi atau jalur hijau.
Program peduli lingkungan yang diterapkan meliputi pengolahan limbah cair dan
penggunaan kembali hasil limbah cair, penyediaan tempat sampah dan area
penghijauan.
d. Pemeriksaan dan tindakan perbaikan K3
Pemeriksaan SMK3 yang dilakukan adalah dengan memantau dan mengukur
faktor lingkungan kerja termasuk peralatan yang digunakan dan dampak terhadap
lingkungan. Pemantauan dan pengukuran meliputi pencatatan informasi dan kejadian
yang terjadi di lapangan secara kualitatif dan kuantitatif, melaksanakan audit K3
secara periodik. Tindakan perbaikan yang dilakukan meliputi patroli kontrol,
mengevaluasi peraturan SMK3 yang diterapkan, melaporkan insiden yang terjadi
dilapangan, mengidentifikasi pelaksanaan perbaikan seperti mendatangkan tim dari
luar untuk pengujian emisi dan sertifikasi peralatan pabrik, melaporkan, perawatan
alat keselamatan seperti alat pemadam kebakaran, dan mengevaluasi tentang
penggunaan alat pelindung diri.
Universitas Sumatera Utara
e. Kaji ulang manajemen K3
Pengkajian ulang manajemen yang diterapkan dilakukan untuk menjamin
kesinambungan antara perencananan, pelaksanaan dan perbaikan berjalan sesuai yang
diharapkan. Pengkajian ulang manajemen dilakukan dengan menyelengarakan rapat
dan tinjauan antara tim P2K3 dengan manajemen puncak seperti direksi dan kepala
divisi lainnya.
Lima prinsip penerapan SMK3 yang telah diterapkan untuk terus dilakukan
perbaikan berkelanjutan oleh manajemen perusahaan. Perbaikan berkelanjutan
dilakukan agar kesinambungan penerapan SMK3 dapat ditingkatkan sehingga
mengurangi angka kecelakan kerja atau mendapatkan zero accident. SMK3 yang
diterapkan diberlakukan untuk semua karyawan
secara terintegrasi antara mesin,
manusia, material dan lingkungan, sehingga menghasilkan penghargaan zero
accident.
Potensi bahaya kerja yang teridentifikasi yaitu dengan kategori dominan low
risk atau L menunjukkan bahwa program SMK3 di lingkungan kerja yang sudah
memliki SMK3 dan penghargaan zero accident lebih ditingkatkan dalam
penerapannya agar dapat diminimalisir dan mengantisipasi potensi bahaya yang
akan terjadi. Pengawasan lebih ketat terhadap penerapan SMK3 yaitu dengan
menerapkan juga reward terhadap karyawan yang patuh dan punishment terhadap
karyawan yang melanggar, sehingga karyawan peduli akan
keselamatan dan
kesehatan kerja. Peraturan yang lebih ketat terhadap karyawan yang melanggar
aturan dari penerapan SMK3 seperti penggunaan APD dan bertindak serta bekerja
Universitas Sumatera Utara
dengan peduli keselamatan dan kesehatan bukan karena unsafe behaviour.
Untuk menerapkan
Sistem Manajemen K3, setiap perusahaan diwajibkan
untuk membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). P2K3
adalah badan pembantu di tempat kerja yang merupakan wadah kerjasama antara
pengusaha dan pekerja untuk mengembangkan kerjasama, saling
pengertian
dan
partisipasi efektif dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja. P2K3
mempunyai tugas memberikan saran dan petimbangan baik diminta maupun tidak,
kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Sastrohadiwiryo (2005) menyatakan sistem manajemen Kesehatan dan
Keselamatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen yang mencakup struktur
organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, tata kelola/prosedur, proses
dan sumber daya yang dibutuhkan dalam hal pengembangan, penerapan,
pencapaian, pengkajian, serta pemeliharaan kebijakan kesehatan dan keselamatan
kerja dengan tujuan mengendalikan risiko yang behubungan dengan kegiatan
produksi/kerja untuk menciptakan tempat kerja yang aman, efisien dan produktif
bagi pekerja maupun orang lain yang berada di dalam lingkungan tersebut. Tujuan
dan sistem manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem dengan tujuan untuk
mencegah dan mengurangi kecelakaan serta penyakit yang diakibatkan oleh
pekerjaan, menciptakan lingkungan kerja yang aman, efisien, dan produktif, dimana
program ini merupakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang
melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi, dan lingkungan yang
terintegrasi.
Universitas Sumatera Utara
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menurut Joint Committee ILO dan
WHO ialah: “The promotion and maintenance of the highest degree of physical,
mental, and social well being of in all occupations; the prevention among workers
of departures from health caused bt their working conditions; the protection of
workers in
their employment from
risks resulting from factors adverse to
health; the placing and maintenance of the worker in an occupational environment
adapted to his physiological equipment; to summarize: the adaptation of work to man
and each man to his job” (Dauly, 2010).
Menurut Budiono (2003), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah: “Suatu
ilmu multi disiplin yang menerapkan upaya pemeliharaan dan peningkatan
kondisi lingkungan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi
tenaga kerja terhadap risiko bahaya dalam melakukan pekerjaannya serta mencegah
terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran,
peledakan, dam pencemaran lingkungan.” Sedangkan menurut Depnaker RI (2005),
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah: “Keselamatan dan kesehatan Kerja adalah
segala daya upaya dan pemikiran yang dilakukan dalam rangka mencegah,
mengurangi dan menanggulangi terjadinya kecelakaan dan dampaknya melalui
langkah-langkan identifikasi, analisa, dan pengendalian bahaya secara tepat dan
melaksanakan perundang - undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja”
(Rizky, 2009).
Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa keselamatan
dan kesehatan kerja adalah ilmu (berupa teori) dan seni (berupa aplikasi) dalam
Universitas Sumatera Utara
menangani atau mengendalikan bahaya dan risiko yang ada di atau dari tempat kerja,
yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan atau keselamatan pada pekerja
maupun masyarakat sekitar lingkungan kerja (Tjipto, 2009).
2.2. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja adalah suasana dimana karyawan melakukan aktivitas
setiap harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan
memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja optimal. Lingkungan kerja dapat
mempengaruhi emosional karyawan. Jika karyawan menyenangi lingkungan kerja
dimana dia bekerja, maka karyawan tersebut akan betah di tempat kerjanya,
melakukan aktivitasnya sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif.
Palin (2012) menyatakan bahwa: “Lingkungan kerja adalah faktor- faktor
di luar manusia baik fisik maupun non fisik dalam suatu organisasi. Faktor fisik ini
mencakup peralatan kerja, suhu di tempat kerja, kesesakan dan kepadatan,
kebisingan, luas ruang kerja sedangkan non fisik mencakup hubungan kerja yang
terbentuk di perusahaan antara atasan dan bawahan serta antara sesama karyawan”.
Lingkungan kerja itu mencakup hubungan kerja yang terbentuk antara sesama
karyawan dan hubungan kerja antara bawahan dan atasan serta lingkungan fisik
tempat karyawan bekerja. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja
karyawan adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang menyenangkan menjadi
kunci pendorong bagi para karyawan untuk menghasilkan kinerja yang optimal.
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan kerja menurut Nitisemito, dalam Rodhiah (2008) adalah segala
sesuatu yang ada disekitar pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Sementara itu, menurut Fieldman dalam
Rodhiah (Jurnal Manajemen, 2008) menjelaskan bahwa lingkungan kerja merupakan
faktor - faktor di luar manusia baik fisik maupun non fisik dalam suatu organisasi
yang pembentukannya terkait dengan kemampuan manusia. Berdasarkan definisi
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja adalah sebuah hal yang
berada di sekitar pekerjaan yang dapat mempengaruhi karyawan
dalam
melaksanakan tugas, kondisi kerja, hubungan karyawan di dalam perusahaan dan
kinerja karyawan tersebut.
2.2.1. Lingkungan Kerja Sosial
Lingkungan kerja sosial mencakup hubungan yang terbina dalam perusahaan.
Seorang pegawai bekerja di dalam perusahaan tidak sendiri. Di dalam melakukan
aktivitas, pegawai pasti membutuhkan orang lain. Dengan demikian pegawai wajib
membina hubungan yang baik antara rekan kerja, bawahan maupun atasan karena
pegawai saling membutuhkan. Hubungan kerja yang terbentuk sangat mempengaruhi
psikologis karyawan. Mello (2002) menyatakan bahwa “labor relations is key
strategic issue for organizations because the nature of the relationship between the
employeer
and can have a significant inpact on morale,motivation and
productivity”. (Hubungan kerja adalah isu strategis kunci bagi organisasi karena sifat
hubungan antara pemberi kerja dan dapat memiliki impact signifikan terhadap moral,
motivasi dan produktivitas).
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi yang baik merupakan kunci untuk membangun hubungan kerja.
Komunikasi yang buruk dapat menyebabkan kesalahpahaman karena gagal
menyampaikan pikiran dan perasaan satu sama lain. Komunikasi yang baik dapat
digunakan
sebagai
alat
untuk
memotivasi
prestasi
kerja
karyawan
dan
membangun tim kerja yang solid. Untuk membangun hubungan kerja yang baik,
menurut Mangkunegara (2003) diperlukan: “(1) pengaturan waktu, (2) tahu
posisi
diri, (3) adanya kecocokan, (4) menjaga keharmonisan, (5) pengendalian
desakan dalam diri, (6) memahami dampak kata-kata atau tindakan anda pada
diri orang lain, (7) jangan mengatur orang lain sampai anda mampu mengatur diri
sendiri, (8) tidak mengumbar kemarahan pada orang lain, (9) besikap bijak dan
bijaksana”. Hal ini menunjukkan bahwa untuk membangun hubungan kerja yang
baik diperlukan pengendalian emosional dengan baik di tempat kerja.
Mangkunegara (2009) menyatakan bahwa “untuk menciptakan hubungan
relasi kerja yang harmonis dan efektif, pimpinan dan manajer perlu (1) meluangkan
waktu untuk mempelajari aspirasi-aspirasi emosi karyawan dan bagaimana mereka
berhubungan dengan tim kerja serta (2) menciptakan suasana, memperhatikan dan
memotivasi kreativitas”. Dari pernyataan ini dapat kita simpulkan bahwa pengelolaan
hubungan kerja dan pengendalian emosional di tempat kerja itu sangat perlu untuk
diperhatikan karena akan memberikan dampak terhadap prestasi kerja karyawan. Hal
ini disebabkan karena manusia itu bekerja bukan sebagai mesin.
Manusia mempunyai perasaan untuk dihargai dan bukan bekerja untuk uang
saja. Manusia bekerja untuk mendapatkan uang tetapi uang bukan merupakan tujuan
Universitas Sumatera Utara
segalanya. Menusia bekerja untuk mendapatkan lebih dari sekedar uang, manusia
memerlukan penghargaan dari perusahaan, memiliki hubungan yang baik dengan
sesama karyawan dan manajer serta memiliki pekerjaan yang layak. Jadi uang bukan
merupakan alat motivasi yang utama untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan
sebaliknya hubungan kerja yang baik di lingkungan perusahaan merupakan kunci
utama untuk mendapatkan kepercayaan dan loyalitas karyawan yang pada akhirnya
memberikan dampak positif terhadap prestasi kerja karyawan.
2.2.2. Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja fisik adalah tempat kerja karyawan melakukan aktivitasnya.
Lingkungan kerja fisik mempengaruhi semangat dan emosi kerja karyawan. Faktor faktor fisik ini mencakup suhu udara di tempat kerja, luas ruang kerja, kebisingan,
kepadatan, dan kesesakan. Faktor-faktor fisik ini sangat mempengaruhi tingkah laku
manusia. Robbins (2002) menyatakan bahwa “faktor-faktor yang mempengaruhi
lingkungan kerja fisik adalah:
a. Suhu
Suhu adalah satu variabel dimana terdapat perbedaan individual yang besar.
Suhu yang nyaman bagi seseorang mungkin merupakan neraka bagi orang lain.
Dengan demikian untuk memaksimalkan produktivitas, adalah penting bahwa
karyawan bekerja di suatu lingkungan dimana suhu diatur sedemikian rupa sehingga
berada di antara rentang kerja yang dapat diterima setiap individu.
b. Kebisingan
Bukti dari telaah - telaah tentang suara menunjukkan bahwa suara-suara yang
Universitas Sumatera Utara
konstan atau dapat diramalkan pada umumnya tidak menyebabkan penurunan kinerja
sebaliknya efek dari suara-suara yang tidak dapat diramalkan memberikan pengaruh
negatif dan mengganggu konsentrasi karyawan.
c. Penerangan
Bekerja pada ruang yang gelap dan samara-samar akan menyebabkan
ketegangan pada mata.
Intensitas cahaya yang tepat dapat membantu karyawan
dalam memperlancar aktivitas kerjanya. Tingkat yang tepat dari intensitas cahaya
juga tergantung pada usia karyawan. Pencapaian kinerja pada tingkat penerangan
yang lebih tinggi adalah lebih besar untuk karyawan yang lebih tua dibanding
yang lebih muda.
d. Mutu Udara
Merupakan fakta yang tidak bisa disangkal bahwa jika menghirup udara
tercemar membawa efek yang merugikan pada kesehatan pribadi. Udara yang
tercemar dapat mengganggu kesehatan pribadi keryawan. Udara yang tercemar di
lingkungan kerja dapat menyebabkan sakit kepala, mata perih, kelelahan, lekas marah
dan depresi.
Faktor lainnya yang mempengaruhi lingkungan kerja fisik adalah rancangan
ruang kerja. Rancangan ruang kerja yang baik dapat menimbulkan kenyaman bagi
karyawan di tempat kerjanya. Faktor - faktor dari rancangan ruang kerja tersebut
menurut Robbins (2002) terdiri atas :
a. Ukuran ruang Kerja
Ruangan kerja mempengaruhi kinerja karyawan. Ruangan kerja yang
Universitas Sumatera Utara
sempit dan membuat karyawan sulit bergerak akan menghasilkan kinerja yang lebih
rendah jika dibanding dengan karyawan yang memiliki ruang kerja yang luas.
b. Pengaturan
Jika ukuran ruang kerja merujuk pada besarnya ruangan per karyawan,
pengaturan merujuk pada jarak antara orang dan fasilitas. Pengaturan ruang kerja itu
penting karena sangat mempengaruhi interaksi sosial. Orang lebih mungkin
berinteraksi dengan individu - individu yang dekat secara fisik. Oleh karena itu lokasi
kerja karyawan mempengaruhi informasi yang ingin diketahui.
c. Privasi
Privasi dipengaruhi oleh dinding, partisi dan sekatan-sekatan fisik lainnya.
Kebanyakan karyawan menginginkan tingkat privasi yang besar dalam pekerjaan
mereka (khususnya dalam posisi manajerial, dimana privasi diasosiasikan dalam
status). Namun kebanyakan karyawan juga menginginkan peluang untuk berinteraksi
dengan rekan kerja, yang dibatasi dengan meningkatnya privasi. Keinginan akan
privasi itu kuat dipihak banyak orang. Privasi membatasi gangguan yang terutama
sangat menyusahkan orang - orang yang melakukan tugas-tugas rumit.
Lingkungan Kerja merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan
kinerja karyawan. Karena Lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap
karyawan didalam menyelesaikan pekerjaan yang pada akhirnya akan meningkatkan
kinerja oragnisasi. Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik apabila karyawan
dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Oleh karena
itu penentuan dan penciptaan lingkungan kerja yang baik akan sangat menentukan
Universitas Sumatera Utara
keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya apabila lingkungan kerja yang
tidak baik akan dapat menurunkan motivasi serta semangat kerja dan akhirnya dapat
menurunkan kinerja karyawan.
Sedarmayanti (2001) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan
kerja terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di
sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung
maupun secara tidak langsung (Sedarmayanti, 2001). Menurut Nitisemito (2002)
Lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja
yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang
dibebankan, misalnya penerangan, suhu udara, ruang gerak, keamanan,
kebersihan, musik dan lain-lain. Berdasarkan definisi tersebut bahwa lingkungan
kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar tempat kerja karyawan lebih
banyak berfokus pada benda-benda dan situasi sekitar tempat kerja sehingga
dapat mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Faktor-faktor
lingkungan kerja fisik yaitu pewarnaan, penerangan, udara, suara bising, ruang
gerak, keamanan, kebersihan.
2. Lingkungan Kerja Non Fisik
Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan
dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan dengan
bawahan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan (Sedamayanti,
Universitas Sumatera Utara
2001). Lingkungan kerja non fisik ini tidak kalah pentingnya dengan lingkungan
kerja fisik. Semangat kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
kerja non fisik, misalnya hubungan dengan sesama karyawan dan dengan
pemimpinnya. Apabila hubungan seorang karyawan dengan karyawan lain dan
dengan pimpinan berjalan dengan sangat baik maka akan dapat membuat karyawan
merasa lebih nyaman berada di lingkungan kerjanya.
Ada 5 aspek lingkungan kerja non fisik yang bisa mempengaruhi
perilaku karyawan, yaitu:
1.
Struktur kerja, yaitu sejauh
mana
bahwa
pekerjaan
yang
diberikan
kepadanya memiliki struktur kerja dan organisasi yang baik.
2.
Tanggung jawab kerja, yaitu sejauh mana pekerja merasakan bahwa pekerjaan
mengerti tanggung jawab mereka serta bertanggung jawab atas tindakan mereka.
3. Perhatian dan dukungan pemimpin, yaitu sejauh mana karyawan merasakan
bahwa pimpinan sering memberikan pengarahan, keyakinan, perhatian serta
menghargai mereka.
4.
Kerja sama antar kelompok, yaitu sejauh mana karyawan merasakan ada
kerjasama yang baik diantara kelompok kerja yang ada.
5. Kelancaran komunikasi, yaitu sejauh mana karyawan merasakan adanya
komunikasi yang baik, terbuka, dan lancar, baik antara teman sekerja ataupun
dengan pimpinan.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Perilaku
Geller (2001) menyatakan bahwa perilaku itu mengacu pada tingkah laku atau
tindakan individu yang dapat diamati oleh orang lain. Dengan kata lain, perilaku
adalah apa yang seseorang katakan atau lakukan yang merupakan hasil dari
pikirannya, perasaannya, atau diyakininya. Perilaku manusia menurut Dolores dan
Johnson (dalam Anggraini, 2011) adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh
manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi,
dan atau genetika.
Faktor penentu perilaku terbagi atas 2 bagian yakni faktor internal, yaitu
karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan dan berfungsi untuk
mengolah rangsangan dari luar, misalnya tingkat pengetahuan, kecerdasan, persepsi,
emosi, motivasi, jenis kelamin, dan sebagainya dan faktor eksternal, meliputi
lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik, seperti iklim, manusia, sosial,
budaya, ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering
merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang.
Dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang
dilakukan mahluk hidup dan pada dasarnya perilaku dapat diamati melalui sikap dan
tindakan. Namun demikian tidak berarti bahwa perilaku hanya dapat dilihat dari
sikap dan tindakannya. Perilaku juga bersifat potensial, yakni dalam bentuk
pengetahuan, motivasi dan persepsi. Perilaku
sebagai
perefleksian faktor-faktor
kejiwaan seperti : keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap, motivasi,
reaksi sebagainya dan faktor lain seperti : pengalaman, keyakinan, sarana-sarana
Universitas Sumatera Utara
fisik, sosio, masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia
cenderung bersifat holistik (menyeluruh). Hal ini dapat diartikan bahwa sulit untuk
dibedakan yang
mana faktor yang mempengaruhi dan berkontribusi dalam
pembentukan perilaku manusia.
Skinner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan
proses atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena
perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian
organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau
Stimulus-Organisme-Respons. Skinner membedakan adanya dua respons, yaitu:
1. Respondent response atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut
elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
Respondent response ini juga mencakup perilaku emosional.
2. Operant response atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang, kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
Perangsang ini disebut reinforcing stimulation karena memperkuat atau
reinforce, karena memperkuat respon.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua:
1. Perilaku Tertutup (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
Universitas Sumatera Utara
persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang
menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku Terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.3.1. Pembentukan Perilaku
Notoatmodjo (2003) menyebutkan faktor yang memegang peranan didalam
pembentukan perilaku, yaitu: faktor intern dan ekstern. Faktor intern berupa
kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi, dan sebagainya untuk mengolah
pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor ekstern meliputi objek, orang, kelompok dan
hasil-hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk
perilakunya. Kedua faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras
dengan lingkungan apabila perilaku tersebut dapat diterima oleh lingkungannya dan
dapat diterima oleh individu yang bersangkut an.
Reason (1997) mengungkapkan bahwa adanya saling mempengaruhi antara
faktor psikologis dan faktor situasi dalam perilaku
manusia dimana faktor
manusia dipengaruhi faktor internal yaitu: faktor yang berkaitan dengan diri perilaku,
seperti : kebutuhan, motivasi, kepribadian, harapan, pengetahuan, persepsi, dan faktor
eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri perilaku atau dari lingkungan
sekitarnya, seperti: kelompok, organisasi, atasan, teman, orang tua, dan lain-lain
(Rizky, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Proses Perubahan Perilaku
Terbentuknya dan perubahan perilaku manusia terjadi dikarenakan adanya
proses interaksi antara individu dengan lingkungan melalui suatu proses yakni proses
belajar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku dan proses belajar itu sangat erat
kaitannya. Perubahan perilaku merupakan hasil dari proses belajar (Soekidjo, 2003).
Proses pembelajaran yang terjadi pada diri individu terjadi dengan baik
apabila proses pembelajaran tersebut menghasilkan perubahan perilaku yang relativ
permanen. Dengan demikian dikatakan bahwa proses pembelajaran terjadi bila
individu tersebut berperilaku, bereaksi dan menanggapi sebagai hasil dari
pembelajarannya dengan cara yang berbeda dari individu tersebut berperilaku
sebelumnya. Pada proses pembelajaran perubahan perilaku tersebut mencakup tiga
komponen:
1. Pembelajaran melibatkan perubahan. Pada proses ini perubahan perilaku yang
bersifat sementara akan mengembalikannya perilaku seperti semula.
2. Perubahan harus relatif permanen. Dalam perubahan perilaku sifat yang relatif
permanen ini sangat diperlukan dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja agar
perilaku tidak aman yang biasanya dilakukan tidak diulangi lagi.
3. Perubahan menyangkut perilaku (Robbin dalam Rizky, 2009).
2.3.3. Faktor Penentu Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun
respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap
stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Faktor internal, yaitu karekteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan,
misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Faktor eksternal, yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang
dominan mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).
2.3.3.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti
bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Faktor- faktor
yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang adalah pendidikan, pekerjaan dan
usia (Mubarak, 2006).
Notoatmodjo
(2003) membagi pengetahuan kedalan enam tingkatan
pengetahuan manusia yaitu : Pertama yaitu tahu (know), diartikan sebagai
pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelum terhadap sesuatu yang spesifik
dari seluruh yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Setelah tahu,
kemudian sesorang akan memahami (compherension). Memahami diartikan sebagai
suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar. Orang yang telah paham objek-
Universitas Sumatera Utara
objek atau materi harus dapat menjelaskan, dengan menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan dari terhadap objek yang dipelajari. Selanjutnya, apa
yang telah dipahami akan diaplikasikan (Aplication). Aplikasi diartikan sebagai
kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan
kondisi yang sebenarnya. Aplikasi juga merupakan penggunaan
hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan dalam konteks atau situasi lain. Kemudian, materi
atau objek yang telah diplikasikan selanjutnya diartikan untuk dijabarkan ke
dalam komponen-komponen, tetapi dalam struktur organisasi
dan
masih ada
kaitannya satu sama lain (Analysis). Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, dapat menjabarkan, membedakan, mensyahkan dan
mengelompokkan. Materi atau objek yang telah dianalisis, digabungkan untuk
menyusun formulasi-formulasi yang ada (Syntesis). Kemudian dinilai berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang ada (Evaluasi).
Dalam penelitian yang dilakukan Bart (1994) dikatakan bahwa perilaku yang
dilakukan atas dasar pengetahuan akan lebih bertahan dari pada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan. Jadi pengetahuan sangat dibutuhkan agar
masyarakat dapat mengetahui mengapa mereka harus melakukan suatu tindakan
sehingga perilaku masyarakat dapat lebih mudah untuk diubah kearah yang lebih
baik.
2.3.3.2 Sikap
Sikap merupakan aksi atau respon seseorang yang masih tertutup Menurut
Notoatmodjo (2007), sikap manusia terhadap suatu rangsangan adalah perasaan
Universitas Sumatera Utara
setuju (favorablere) ataupun perasaan tidak setuju (non favorable) terhadap
rangsangan tersebut. Selain itu Allport (1935 dalam Notoatmodjo, 2003) menjelaskan
bahwa sikap mempunyai 3 (tiga) komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan)
yang merupakan ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau
evaluasi emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga
komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).
Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting.
2.3.3.3 Tindakan
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan
nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
nyata atau terbuka (Notoatmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut sudah
jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat
diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga over behavior.
Empat tingkatan tindakan adalah:
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
diambil.
2. Respon Terpimpin (Guided Response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.
Universitas Sumatera Utara
3. Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis
atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.
4. Adaptasi (Adaptation)
Adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya
tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
2.3.4. Perilaku Keselamatan
Borman dan Motowidlo dalam Wijayanti (2008) membedakan perilaku
keselamatan di tingkat individu ke dalam dua kategori, yaitu kepatuhan keselamatan
(safety compliance) dan partisipasi keselamatan (safety participation). Kepatuhan
keselamatan didefinisikan sebagai aktivitas utama yang harus dilakukan individu
untuk mempertahankan keselamatan di tempat kerja, termasuk didalamnya kepatuhan
akan prosedur kerja dan menggunakan peralatan pelindung diri (personal protective
equipment-PPE). Di sisi lain partisipasi keselamatan didefinisikan sebagai perilaku
yang tidak secara langsung berkontribusi terhadap aktivitas keselamatan, tetapi akan
membantu lingkungan kerja untuk tetap selamat. Beberapa contoh partisipasi
keselamatan adalah mengikuti rapat- rapat keselamatan, dan membantu rekan kerja
untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan keselamatan kerja.
Dari definisi-definisi di atas dapat dilihat bahwa perilaku berkaitan dengan
faktor internal seperti pikiran dan emosi serta adat atau budaya, karena itulah ada
istilah safety culture. Selain itu juga dapat dilihat bahwa salah satu faktor internal
Universitas Sumatera Utara
yakni pengetahuan sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia, karena itu ada
program safety awareness untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan manusia
mengenai keselamatan. Selain itu dapat dilihat bahwa perilaku berhubungan dengan
faktor eksternal dan stimulus, oleh karena itu program-program yang dapat
memberikan stimulus terhadap perilaku pekerja seperti kampanye, observasi, bahkan
reward dan punishment itu memang harus diterapkan. Faktor perilaku memang
penting bahkan sangat amat penting. Namun bukan berarti tidak perlu fokus ke desain
tempat kerja dan teknologi atau aspek engineering untuk safety saat bekerja, karena
teknologi sedikit banyak dapat “menutupi” faktor perilaku manusia dan perlu diingat
bahwa terdapat banyak sekali kesalahan yang diakibatkan perilaku manusia dalam
sistem termasuk sistem kerja.
Penerapan teknologi yang melibatkan perilaku manusia (human behavior)
termasuk juga human factors harus diterapkan untuk mengurangi kesalahan yang
disebabkan oleh faktor perilaku. Karena seperti yang telah disebutkan di atas,
perilaku selain ditentukan dari faktor eksternal juga ditentukan dari faktor internal
yang sudah melekat pada diri manusia tersebut. Faktor-faktor internal biasanya
berupa karakteristik atau kapasitas seperti kognisi, kecerdasan, persepsi, jenis
kelamin yang dapat menimbulkan perilaku manusia yang tidak diinginkan ketika
desain lingkungan kerja melebihi kapasitas manusia tersebut.
Dari penjelasan di atas diambil kesimpulan bahwa perilaku merupakan hasil
dari usaha seseorang yang dicapai dengan kemampuan dan perbuatan dalam situasi
tertentu, sehingga perilaku tersebut merupakan hasil keterkaitan antara usaha perilaku
Universitas Sumatera Utara
keselamatan dan kemampuan dalam menjalankan tugasnya.
L.W.Green dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu :
1. Faktor-faktor Predisposisi ( Predisposing Factors)
Adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, kayakinan, nilai-nilai dan
juga variasi demografi, seperti : status ekonomi, umur, jenis kelamin dan susunan
keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu tersebut, seperti
pengetahuan, keyakinan, nilai dan sikap.
2. Faktor-faktor Pemungkin (Enambling Factors)
Adalah
faktor
pendukung
yang
terwujud
dalam
lingkungan
fisik,
termasuk di dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, misal : dana,
transportasi, fasilitas, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya seperti: sarana,
Prasarana, dana, transportasi, fasilitas dan kebijakan pemerintah.
3. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors)
Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,
tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, undangundang peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait
dengan kesehatan seperti sikap, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan.
Pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja pada dasarnya
merupakan tanggung jawab para manajemen yang wajib memelihara kondisi kerja
yang selamat sesuai dengan ketentuan pabrik (Ridley, 2003). Penerapan Manajemen
Universitas Sumatera Utara
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (MK3) secara komprehensip merupakan cara
pencegahan yang efektif. MK3 merupakan suatu proses kegiatan yang dimulai
dengan tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang
bertujuan untuk membudayakan K3. Keselamatan dan kesehatan kerja yang telah
membudaya bagi para pekerja menjadi faktor predisposisi bagi perubahan perilaku
keselamatan demikian juga dengan persepsi pekerja terhadap lingkungan pekerjaan.
Kebijakan K3 di perusahaan menjadi salah satu faktor pemungkin dalam terjadinya
perilaku keselamatan.
2.4. Landasan Teori
Secara konseptual teori Ramsey adalah teori yang menjelaskan hubungan
antara faktor individu dengan terjadinya kecelakaan. Ramsey menilai bahwa
terjadinya kecelakaan karena adanya faktor-faktor pribadi yang mempengaruhi
seseorang. Faktor yang dimaksud adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang
yang berpengaruh dalam pembentukan perilaku yang aman. Menurt Ramsey, untuk
dapat terbentuk perilaku yang aman dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu (Sjaaf, 2007) :
a) Pengamatan (Perception)
Faktor ini dipengaruhi oleh kecakapan sensoris, perseptualnya, kesiagaan mental.
b) Kognitif (Cognition)
Faktor ini dipengaruhi oleh pengalaman, pelatihan, kemampuan mental, daya
ingat.
Universitas Sumatera Utara
c) Pengambilan Keputusan (Decision Making)
Faktor ini dipengaruhi oleh pengalaman, pelatihan, sikap, motivasi, keperibadian
dan kecenderungan menghadapi risiko
d) Kemampuan (Ability)
Faktor ini dipengaruhi oleh ciri-ciri fisik dan kemampuan fisik, kemampuan
physikomotorik, dan proses-proses fisiologis.
Keempat faktor di atas adalah suatu tahapan sekunsial mulai dari yang
pertama hingga yang terakhir. Bila semua tahapan ini berlangsung dengan baik maka
akan terbentuk suatu perilaku yang aman. Namun bila semua tahapan ini tidak tidak
berjalan dengan baik maka kecelakaan akan timbul. Teori Ramsey ini dapat
menjelaskan bahwa bahaya bagi karyawan PT PDSI Rantau Aceh Tamiang adalah
kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak aman. Namun dengan penerapan
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja akan membantu pekerja untuk
mengadakan pengamatan bahaya dan pengenalan bahaya sehingga menimbulkan
keputusan untuk menghindari bahaya. Pekerja mempunyai kemampuan untuk
menghindari bahaya sehingga timbul perilaku kerja yang aman. Perilaku kerja yang
aman ini bisa juga berubah menjadi perilaku yang tidak aman dengan adanya faktor
change akan tetapi Ramsey tidak menjelaskan factor change tersebut yang dapat
mengubah perilaku yang sudah aman menjadi perilaku yang aman.
Universitas Sumatera Utara
Bahaya
Pengamatan Bahaya
Pengenalan Bahaya
Keputusan untuk menghindar
Kemempuan untuk
Menghindar
Perilaku Kerja yang Aman
Perilaku Kerja
Tidak Aman
Change
Tidak Terjadi
Kecelakaan
Kecelakaan
Gambar 2.1 Kerangka Teori Ramsey
Sumber: Sjaaf,Ridwan Z.2007, Occuptional Health and Safety Behaviour
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Konsep
Penerapan Manajemen K3
1. Komitmen dan kebijakan K3
2. Perencanaan K3
3. Pelaksanaan K3
4. Pemeriksaan dan tindakan
perbaikan K3
5. Kaji ulang manajemen K3
Perilaku Keselamatan
Kerja
Kondisi Lingkungan Kerja
1. Lingkungan Fisik
2. Lingkungan Non Fisik/Sosial
Gambar. 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download