Adaptasi Gedung Museum Kota Makassar - Seminar

advertisement
SEMINAR HERITAGEIPLBI 2017 | PENELITIAN
Adaptasi Gedung Museum Kota Makassar Terhadap Iklim
Tropis Lembab
Andi Eka Oktawati(1), W asilah Sihabuddin (1)
eka_oktaw ati@y ahoo.co.id
(1)
Teknik A rsitektur, F akultas S ains dan Teknologi, U niv ersitas Islam N egeri (U IN ) A lauddin M akassar.
Abstrak
Iklim merupakan faktor terpenting dalam perancangan arsitektur, dimana iklim sangat
mempengaruhi bentuk dan tampilan bangunan. Bangunan kolonial termasuk bangunan yang telah
mengalami pencampuran arsitekur eropa dengan proses adaptasi setempat termasuk iklim di
Indonesia, salah satunya yaitu gedung Museum Kota Makassar. Indonesia termasuk dalam wilayah
yang memiliki iklim tropis lembab, dimana iklim tropis memiliki karakter tertentu yang disebabkan
oleh panas matahari, kelembapan yang cukup tinggi, curah hujan, pergerakan angin, dan
sebagainya. Metode penelitian dilakuan adalah metode deskrptif-analisis dengan pendekatan
kualitatif, yaitu mengkaji penyesuaian rancangan elemen gedung Museum Kota terhadap iklim tropis
lembab di Kota Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adaptasi Gedung
Museum Kota Makassar terhadap iklim tropis sebagai wujud arsitektur tropis. Hasil penelitian ini
adalah museum kota cenderung mampu beradaptasi dengan iklim setempat walaupun bentuk dan
syle dari bangunan tersebut berasal dari bangsa eropa yang dikenal dengan neo klasik. Walaupun
demikian beberapa bagian elemen bangunan masih perlu diperhatikan seperti perletakan sun
shading, ketebalan dinding dan penggunaan material.
Kata-kunci : iklim, tropis lembab, museum kota, makassar
Pendahuluan
Pada dasarnya semua Cagar Budaya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak tidak ada yang
bersifat abadi. Karena pengaruh faktor lingkungan Cagar Budaya tersebut akan mengalami
perubahan. Perubahan yang terjadi bisa berupa kerusakan (damage) maupun pelapukan
(weathering) dan akhirnya menjadi tanah (soiling process). Mengingat Indonesia memil iki iklim tropis
lembab, maka keberadaan cagar budaya tersebut sangat rentang terhadap terjadinya proses
kerusakan dan pelapukan.
Pujantara (2013) dalam penelitiannya dengan judul “Karakteristik Fasade Bangunan Peninggalan
Kolonialisme dan Sebaran Spasialnya di Kota Makassar, menyimpulkan bahwa fasade bangunan
kolonialisme umumnya telah beradaptasi dengan lingkungan dan iklim tropis di Indonesia khususnya
di Kota Makassar. Berujuk pada penelitian tersebut, maka dikembangkan melalui penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses adaptasi bangunan kolonial terhadap iklim tropis
lembab di Makassar dengan objek penelitian Museum Kota Makassar.
Museum Kota Makassar adalah salah satu bangunan cagar budaya di Kota Makassar sebagai
bangunan peninggalan sejarah pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Bangunan tetap berdiri
kokoh sampai sekarang walaupun telah beralih fungsi menjadi museum kota yang sebelumnya
berfungsi sebagai kantor wali kota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adaptasi Gedung Museum Kota Makassar terhadap
kondisi iklim Kota Makassar yaitu iklim tropis lembab. Masalah umum dan masalah bangunan yang
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 001
Adaptasi Gedung Museum Kota Makassar Terhadap Iklim Tropis Lembab
akan timbul pada daerah yang beriklim tropis lembab adalah panas yang sangat tidak
menyenangkan, penguapan sedikit karena gerakan udara lambat, dan perlu perlindungan terhadap
radiasi matahari, hujan, dan serangga (Lippsmeier, 1997).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis dengan pendekatan kualitatif. Metode
deskriptif analisis yaitu suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau member gambaran
terhadap objek yang dit eliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya.
Kemudian melakukan analisis terhadap data yang sudah diperoleh untuk mencapai tujuan (Sugiyono,
2009). Selain itu, dalam meneliti dibutuhkan cara dengan mengumpulkan data yang berasal dari
naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dan dokumen resmi lainnya. Penelitian ini mengfokuskan
pada rancangan elemen bangunan, yang meliputi orientasi bangunan, penataan ruang, bukaan
(pintu & jendela) serta ventilasi, dinding, lantai, plafon, dan atap
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a.
Survey data primer, metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi, pengambilan foto
atau gambar, dan melakukan wawancara tidak terstruktur.
b. Survey data sekunder, data sekunder disini yaitu dengan mengumpulkan data-data dari studi
literature. Pengumpulan data tersebut dengan cara mencari literature yang berkenaan dengan
studi permasalahan yang diangkat yaitu menyangkut arsitektur tropis dan bangunan Museum
Kota. Data tersebut diperoleh melalui buku, jurnal, dan dokumen -dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh pihak terkait.
Setelah data dikumpulkan dan dikompilasi, dilakukan analisis data. Metode analisis data yang
digunakan adalah metode komparatif, dimana teori yang didapat dari studi literature menjadi dasar
untuk menganalisa data yang didapat dari lapangan. Pencocokan data antara data primer dan data
sekunder menjadi rujukan dalam proses analisa. Setelah dianalisis, dari hasilnya didapatkan suatu
kesimpulan yang dapat mewadahi tujuan penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Pembahasan
1.
Profil Objek Penelitian
Museum Kota Makassar d ibangun pada tahun 1906 dan selesai pada tahun 1918. Pembangunan
gedung ini beriringan dengan peningkatan status Kota Makassar sebagai kota besar. Museum Kota
Makassar pada awal pembangunannya oleh pemerintah kolonial dimanfaatkan sebagai Kantor
W alikota (Gementeehuis) Makassar, sampai masa kekuasaan Belanda berakhir di Indonesia dan
Jepang masuk menggantikan Belanda, gedung ini tidak berubah fungsinya. Setelah Indonesia
merdeka gedung Gemeentehuis ini tetap dijadikan sebagai kantor walikota tahun 1947-1993. Setelah
tahun 1993 Gementeehuis berubah fungsi oleh Pemerintah Indonesia antara lain sebagai kantor
Kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Kantor Catatan Sipil. Prakarsa
oleh H.B Amiruddin Maula yang merupakan walikota Makassar 1999 -2004 akhirnya pada tanggal 7
Juni 2000 Museum Kota Makassar dibuka secara resmi. Museum Kota Makassar sebagai tempat
penyimpanan berbagai benda bersejarah perkembangan Kota Makassar.
Berdasarkan gambar di bawah, tampilan bangunan sampai sekarang masih terkonservasi dengan
baik. Beberapa perubahan dilakukan sesuai dengan fungsinya yang baru yaitu museum kota, tetapi
perubahan yang dilakukan tidak sampai mengubah bentuk atau tampilan bangunan. Pergantian
material baru diusahakan menggunakan material yang sama atau persis dengan material asli
bangunan.
A 002 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Wasilah Sihabuddin
Gambar 1. Foto Gedung Gemeentehuis tahun 1960 (kiri) dan sekarang (kanan)
Sumber: Ujung Pandang Heritage Society
Bangunan ini memiliki konsep neo klasik campuran antara renaissance dan gotik yang terlihat pada
dinding yang dibatasi oleh pilaster, jendela yang melengkung pada b agian atas dan hiasan pada kaki
pilaster yang berupa molding. Ciri khas gotik juga tampil pada konsol tritisan dan hiasan lainnya
pada gedung utama dan gedung pendukung (Hayati, 2014). Gedung utama terletak di bagian depan,
pada saat masuk terdapat ruangan besar dan untuk memberikan kesan simetris tangga utama
menuju lantai 2 terletak di tengah ruangan. Museum Kota Makassar pada lantai dasar memiliki lima
ruangan pada lantai dasar yaitu hall, ruang pameran, ruang pengelola, dan ruang koleksi.
Gambar 2. Denah Museum Kota Makassar Lantai 1 dan 2
Sumber: Dokumen Museum Kota
Keterangan :
A : Hall
B : Ruang Pameran
C : Ruang Pengelola
D : Ruang Sidang/Rapat
Pada lantai dua bangunan Museum Kota Makassar fungsi ruangan dulu dan saat ini masih sama
yaitu ruang siding atau ruang rapat . Ruangan pameran lantai 2 diberi nama Patompo Memorial
Room memiliki fungsi sebagai tempat pameran foto, seragam dan barang-barang Walikota Makassar
H.M Daeng Patompo (1965-1978) selama masa jabatannya. Ruang C adalah ruang pertemuan yang
dimanfaatkan bagi pengelola Museum Kota Makassar memberikan informasi kepada tamu
rombongan.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| A 003
Adaptasi Gedung Museum Kota Makassar Terhadap Iklim Tropis Lembab
2.
Iklim Tropis Lembab
Ciri-c iri iklim tropis lembab dan pengaruhnya pada masalah umum mengenai bangunan yang
dihadapi seperti dikatakan oleh Karyono (1999). Adalah sebagai berikut:
a. Curah hujan relative tinggi (tidak merata sepanjang tahun) sekitar 2000 -3000 mm/tahun.
b. Radiasi matahari relative tinggi sekitar 1500 hingga 2500 kW h/m2/tahun
c. Suhu udara relative tinggi
d. Kelembaban tinggi
e. Kecepatan angin relative rendah
Oleh karena itu, secara garis besar masalah terbesar pada kondisi iklim tropis lembab yaitu radiasi
matahari dan kelembaban yang relative tinggi sedangkan kecepatan angin yang sangat rendah.
Elemen iklim tropis lembab yaitu :
a.
Radiasi matahari
Radiasi matahari adalah elemen iklim yang sangat berpengaruh dalam rancangan bangunan.
Pengaruh radiasi matahari pada suatu tempat tertentu dapat ditentukan terutama oleh: durasi
radiasi, intensitas, dan sudut jatuh (Lippsmeier,1980). Radiasi panas dapat terjadi oleh sinar
matahari yang langsung masuk ke dalam bangunan dan dari permukaan yang lebih panas dari
sekitarnya, untuk mencegah hal itu dapat digunakan alat -alat peneduh (Sun Shading Device).
Untuk orientasi bangunan dan perlindungan terhadap cahaya matahari, berlaku aturan dasar
berikut:
1.
2.
b.
Sebaiknya fasade terbuka menghadap selatan atau utara, untuk menghindari matahari
langsung.
Di daerah iklim tropis lembab diperuntukan pelnindung untuk semua bukaan bangunan
terhadap cahaya langsung dan tidak langsung.
Angin
Ventilasi silang merupakan faktor yang sangat penting bagi kenyamanan ruang. Oleh karena itu,
pada daerah iklim tropika basah, posisi bangunan yang melintang terhadap arah angin utama
lebih penting dibandingkan dengan perlindungan terhadap sinar matahari. Pengudaran ruangan
yang kontinyu di daerah tropis terutama untuk memperbaiki iklim ruangan. Udara yang
bergerak menghasilkan penyegaran terbaik, dank arena penyegaran baik terjadi proses
penguapan, yang berarti penurunan temperat ure pada kulit (Lippsmeier,1980).
c.
Presipitasi
Presipitasi terbentuk oleh kondensasi atau sublimasi uap air. Presipitasi di daerah iklim tropis
jatuh berupa hujan. Di daerah tropis presipitasi turun pada umumnya selama musim hujan,
yang dikhatulistiwa terjadi dua kali setahun. Orientasi bangu nan sebaiknya tegak lurus terhadap
arah angin, tetapi ini sekaligus berarti, tanpa pelindungan yang tepat, hujan yang dibawa angin
akan mudah masuk ke dalam ruangan. Pada prinsipnya, konstruksi yang ,melindungi dinding,
jendela, pintu terhadap cahaya matahari juga berfungsi sebagai pelindung hujan
(lippsmeier,1980). Selain itu kemiringan atap sangat berperan untuk menyalurkan air hujan,
oleh karena itu atap datar dan kemiringan kecil sangat dihindari untuk bangunan di daerah
tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi.
d.
Kelembaban
Kadar kelembaban udara, berbeda dengan unsur-unsur yang lain, dapat mengalami fluktuasi
yang tinggi dan tergantung terutama pada perubahan temperatur udara. Semakin tinggi
temperature, semakin tinggi pula kemampuan udara menyerap air. Kondisi iklim di tropis
A 004 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Wasilah Sihabuddin
mempunyai karakteristik yaitu temperature udara tinggi, kelembaban relative tinggi dan
kecepatan angin rendah yang membuat kondisi lingkungan tidak nyaman.
Hasil Penelitian
a.
Orientasi Bangunan
Orientasi bangunan harus sesuai dengan faktor-faktor lain, agar memperoleh keuntungan yang
sebanyak-banyaknya dari teknik pemanasan dan penyejukan alami (Snyder & Anthony, 1985).
Menurut W ijaya (1988), adanya pengaruh orientasi terhadap sesuatu menyebabakan harus
dapat mengantisipasi hal-hal negatif yang berkaitan dengan masalah fisika bangunan, antara
lain masalah thermal, tempias air hujan, silau dan sebagainya.
Gambar 3. Orientasi Bangunan
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Berdasarkan gambar di atas, orientasi bangunan mengarah timur-barat. Bagian sisi bangunan
yang menghadap timur-barat dengan utara-selatan yaitu hampir sama. Bagian sisi bangunan
yang menghadap timur-barat akan mendapatkan cahaya matahari langsung. Cahaya matah ari
langsung akan memberikan efek silau dan panas apabila tidak dilengkapi dengan sun shading
seperti kondisi pada ruang sidang dilantai 2. Jendela yang menghadap timur barat pada lantai 2
tidak dilengkapi dengan sun shading, Sehingga kondisi ruangan pada sisi barat timur sangat
silau dan panas.
Orientasi terhadap garis edar matahari merupakan salah satu tipe orientasi yang berpengaruh
terhadap penerangan alami. Namun pada daerah iklim tropis penyinaran dalam jumlah yang
berlebihan akan menimbulkan suatu masalah, sehingga diperlukan adanya elemen-elemen yang
dapat mengurangi efek terik matahari (Soetiadji S, 1986). Sun Shading merupakan salah satu
elemen yang mampu mengurangi efek terik matahari sehingga mampu menghadirkan
pencahayaan alami untuk memberikan kenyamanan dalam ruangan bagi pengguna bangunan.
Menurut Olgyay (1957), untuk menggunakan sinar matahari sebagai sumber pencahayaan,
bukaan harus diberi penangkal untuk mengontrol silau dan panas.
Gambar 4. Tampilan luar dan dalam ruang sidang
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| A 005
Adaptasi Gedung Museum Kota Makassar Terhadap Iklim Tropis Lembab
b.
Penataan ruang bangunan
Untuk merancang suatu tata ruang bangunan, perlu dipikirkan suatu organisasi dan pola
perletakan ruang yang mengikuti pola pergerakan pemakai yang selalu bersambung ( continous
space ), sehingga di samping melancarkan arus sirkulasi pergerakan, juga memperlancar
sirkulasi udara di dalam ruang. Tata letak ruang Gedung Museum Kota disusun dengan
pertimbangan karakteristik dan persyaratan yang dibutuhkan oleh sebuah ruang. Ruang -ruang
yang memiliki tingkat kebutuhan pencahayaan yang tinggi, diletakkan pada bagian tepi
bangunan, sedangkan yang tidak begitu membutuhan pencahayaan, diletakan di tengah
bangunan. Melihat dari denah (lihat gambar 2), Posisi semua ruang memiliki peluang
memperolah pencahayaan dan penghawaan alami, dan tidak ada ruang di dalam ruang. Di
samping itu, peletakan ruang sangat diperhatikan untuk mendukung sistem ventilasi silang agar
penghawaan alami di dalam ruang bisa tercapai. Aliran udara bukan hanya dari ruang ke ruang
tetapi dari lantai 1 ke lantai 2 sampai atap. Hal ini berlangsung karena adanya keberadaan void
yang terletak di dekat tangga (lihat Gambar 2).
c.
Bukaan (Pintu & Jendela) serta Ventilasi
Gambar 5. Tampak Depan dan Tampak Samping Museum Kota Makassar
Sumber : Dokumentasi Museum Kota Makassar
Museum Kota Makassar memiliki banyak bukaan dari seluruh tampang bangunan sehingga
dapat mengoptimalkan sirku lasi udara dalam bangunan. Setiap jendela memiliki bukaan yang
terbuat dari kaca sebagai tempat masuknya cahaya matahari dan sebagai ventilasi. Hampir
semua pintu dan jendela yang ada terdiri dari dua lapisan. Lapisan pertama merupakan pintu
A 006 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Wasilah Sihabuddin
atau jendela krepyak sedangkan lapisan kedua berupa pintu atau jendela kaca. Pintu dan
jendela mampu mengurangi kecepatan angin yang berasal dari luar bangunan sehingga saat
angin bertiup kencang, angin yang masuk ke dalam bangunan tetap nyaman dan tidak terlalu
kencang. Perletakan pintu dan jendela pada sisi yang berlawanan mampu mengalirkan angin
yang dapat menggantikan udara panas dalam ruangan dengan udara baru yang sejuk dari luar
ruangan.
Gambar 6. Type pintu dan jendela
Sumber : Dokumentasi pribadi
Di atas p intu terdapat bukaan kaca yang bisa di buka dengan ukuran yang besar yaitu sekitar 1
x 0.7 m sebanyak 2 bukaan tiap pintu. Bukaan ini mampu menyalurkan udara dari ruang satu
dengan ruang yang lainnya walaupun dalam kondisi pintu tertutup. Jendela pada sisi utara
selatan dilengkapi dengan tritisan air hujan terbuat dari material kayu dengan lebar sekit ar 1
meter. Tritisan ini sangat efektif dengan ukuran tersebut sehingga mampu menghalangi air
hujan masuk dalam ruangan. Berbeda dengan jendela yang berada pada sisi barat timur
bangunan tidak dilengkapi dengan tritisan. Hai in i menyebabkan air hujan dapat masuk dalam
ruangan pada sisi barat timur. Selain itu jendela pada sisi barat timur tidak dilengkapi dengan
sun shading, sehingga menyebabkan silau dan panas dari dalam ruangan (lihat gambar 4).
Penggunaan kayu pada tritisan tersebut ternyata tidak cukup awet sampe sekarang, beberapa
sudah diganti karena terjadi pelapukan akibat cuaca dan serangga.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| A 007
Adaptasi Gedung Museum Kota Makassar Terhadap Iklim Tropis Lembab
Gambar 7. Sun shading
Sumber : Dokumentasi pribadi
Sekarang penggunaan jendela dibatasi setelah bangunan berubah fungsi menjadi museum kota.
Mengingat banyak koleksi pameran yang sensitive terhadap cahaya luar. Pengurangan jendela
khususnya pada ruangan koleksi pameran membuat suhu ruangan menjadi panas.
Gambar 8. Ruang pameran
Sumber : Dokumentasi pribadi
d.
Dinding
Dinding pada gedung museum kota memiliki tebal 25 sampai 40 cm. Bagian utama dinding
berukuran tebal 40 cm dengan bahan material batu bata. Bahan yang padat dan berat seperti
batu bata memiliki kemampuan menyerap panas dengan baik dan menyimpannya cukup lama
( time lag tinggi). Selain itu bahan yang padat juga menghambat penembusan panas, hal ini
merugikan bila di dalam ruangan telah terbentuk panas yang tinggi. Oleh karena it u
penggunaan dinding yang terlalu tebal sangat kurang menguntungkan untuk daerah iklim tropis
lembab.
e.
Lantai
Lantai pada gedung Museum Kota terdiri dari ubin marmer, lantai semen abu -abu atau
berwarna. Lantai keras (lantai batu) sangat dianjurkan untuk daerah tropis lembab dengan
pengudaraan alamiah kerana konstruksinya terbuka, sangat dipengaruhi oleh iklim dan
gangguan binatang kecil. Ketinggian lantai dasar mencapai 54 cm sehingga bangunan ini sudah
A 008 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Wasilah Sihabuddin
memperhitungkan tentang antisipasi akan masuknya air hujan yang berlebih, mengingat daerah
iklim tropis memiliki curah hujan yang tinggi.
Gambar 9. Ketinggian lantai dasar bangunan
Sumber : Dokumentasi pribadi
f.
Plafond
Ketinggian plafon sangat berpengaruh pada sirkulasi udara dalam ruangan. Ruang yang cukup
tinggi akan mempermudah sirkulasi udara. Ketinggian plafon pada gedung Museum kota cukup
tinggi mencapai sekitar 5 meter.
g.
Atap
Bagian atap merupakan bagian terpenting untuk daerah iklim tropis.bruk atap yang digunakan
pada gedung Museum Kota yaitu bentuk perisai. Bentuk atap perisai merupakan contoh model
atap yang cocok beradaptasi iklim tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi. Atap bangunan
dilengkapi dengan pipa saluran air hujan berfungsi untuk mengalirkan air hujan sampai ke
daerah peresapan atau riol kota. Bagian depan dan belakang atap memiliki jendela atau bukaan
yang disebut dormer. Udara panas dari plafond dan atap dapat dikeluarkan melalui dormer,
sehingga penggunaan lubang/bukaan udara pada atap sangat cocok untuk daerah iklim tropis.
Gambar 10. Pipa saluran air hujan
Sumber : Dokumentasi pribadi
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| A 009
Adaptasi Gedung Museum Kota Makassar Terhadap Iklim Tropis Lembab
Gambar 11. Dormer
Sumber : Dokumentasi pribadi
Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, museum kota cenderung mampu beradaptasi dengan
iklim setempat walaupun bentuk dan syle dari bangunan tersebut berasal dari bangsa eropa yang
dikenal dengan neo klasik. W alaupun demikian beberapa bagian elemen bangunan masih perlu
diperhatikan. Tritisan dan pelindung ( sun shading) terhadap pengaruh radiasi matahari yang tepat
pada jendela yang menghadap barat timur sehingga cahaya matahari langsung dapat dihindari.
Penggunaan dinding yang terlalu tebal sangat tidak efektif untuk daerah beriklim tropis lembab.
Selain itu, penggunaan material yang tepat sangat perlu diperhatikan khususnya penggunaan
material kayu pada t ritisan, sangat sensitive terhadap kondisi cuaca dan serangga.
Daftar Pustaka
Olgyay, A. & Olgyay, V. (1957). Solar Control and Shading Devices. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Hayati, R. (2014). Pemanfaatan bangunan Bersejarah Sebagai Wisata Warisan Budaya Di Kota Makassar. Tesis.
Denpasar: Universitas Udayana
Karyono, T.H. (1999). Arsitektur, Kemapanan, Kenyamanan, dan Penghematan Energi, Jakarta: Catur Libra
Optima
Lippsmeier, G. (1980). Bangunan Tropis edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Erlangga
Pujantara, R. (2013). Karakteristik Fasade Bangunan Peninggalan Kolonialisme dan Sebaran Spasialnya di Kota
Makassar, Jurnal Forum Bangunan.
Snyder, J. C. & Anthony J. C. (1985). Pengantar Arsitektur. Jakarta: Erlangga
Soetiadji, S. (1986). Anatomi Tapak. Jakarta: Penerbit Djambatan
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta
www.kebudayaan.kemndikbud.go.id
A 010 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017
Download