RELATIONSHIP AMONG SOCIAL SUPPORT, SELF-ACCEPTANCE, AND ANXIETY DURING PREGNANCY IN BANYUMAS DISTRIC Rahmawati 1 , Koentjoro 2 ABSTRACT The purpose of this study was to determine the relationship among social support, self-acceptance, and anxiety during pregnancy. Respondents of this study were 99 pregnant women in Banyumas. Sampling method based on purposive sampling with restrictions subject pregnant women (trimester 2 and 3), married (living together), husband who gets a job, the minimun education is junior high school, age 17-34, no history of abortion, pregnancy parity 1-2. The date colection method is summating ratings on a scale of social support, self-acceptance, and anxiety during pregnancy. The value of F test is =18.818 , R = 0.531 (> 0.5) with p = 0.001 (< 0.01), there is significant relationship among social support, self-acceptance, and anxiety during pregnancy. Partially from the t-test, the scale of social support on anxiety during pregnancy obtained value of R = -0.473 and p = 0.000 (< 0.01), there is a negative relationship between social support with anxiety during pregnancy. While selfacceptance to anxiety during pregnancy results obtained value of R = 0423 and p = 0.007 (< 0.01), there is a negative relationship between selfacceptance with anxiety during pregnancy . Key Words : social support, self acceptance, anxiety, pregnancy 1 2 Student of Master of Sience at Faculty of Psychology Lecturer, professor in Psychology, lecturer at Faculty of Psychology xvii 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belum lama, di akhir 2013 media gencar memberitakan kasus dr Ayu, dan sejawatnya yang menangani Siska di RS Kandou Manado. Kasus tersebut mengenai proses persalinan anak kedua Siska yang dianggap tidak lancar dan membahayakan sehingga prosedur Caesarian Section (C-Section) dilakukan sebagai tindakan pertolongan darurat (Syarifah, 2013). Kejadian tersebut menjadi kontroversi bagi sejumlah kalangan. Bagi kalangan medis tindakan C-Section yang dilakukan dr. Ayu dan sejawatnya sudah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Tetapi bagi keluarga Siska hal itu dianggap bentuk kelalaian medis berupa pembiaran, karena tidak segera memberikan tindakan medis dari awal masuk rumah sakit selama berjam-jam. Hal itu dipertegas dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa tindakan CSection yang diambil sebagai bentuk kelalaian prosedur. Lain halnya pemberitaan sebagian media yang menyatakan itu sebagai bentuk malpraktek pertolongan persalinan (Panjaitan & Rasuh, 2013). Persalinan sendiri sebagai bagian akhir dari rangkaian proses kehamilan tidak menutup kemungkinan terjadi masalah berupa kegawat daruratan persalinan karena riwayat kehamilan ibu. Seperti yang terjadi pada Siska, pada riwayat pertolongan persalinan anak pertama melalui tindakan vakum. Sedangkan anak ke dua lahir dengan riwayat perawatan 2 di unit perawatan intensif neonatal (incubator) selama 2 minggu karena muntah darah. Asumsi penulis, kegawat daruratan persalinan ibu Siska dikarenakan latar belakang proses perjalanan kehamilan yang dialami ibu. Berdasar data WHO, bahwa 28% penyebab kematian ibu adalah anemia, dan kekurangan energi kronik (KEK) sehingga menjadikan terjadi perdarahan dan infeksi. Data di beberapa negara paling sedikit 25% dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari 10%-60%, meski ibu dapat bertahan hidup tetapi dimungkinkan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan (WHO, dalam Depkes RI, 2008). Kalangan medis menjelaskan bahwa penyebab meninggalnya Siska karena emboli jantung, bisa jadi itu disebabkan karena perdarahan resiko persalinan yang dialami ibu. Karena orang yang memiliki resiko emboli salah satunya karena akibat perdarahan hebat dan dehidrasi. Meskipun C-Section merupakan salah satu prosedur pertolongan persalinan dalam kondisi bersyarat, dari hasil penelitian C-Section tidak menghasilkan penurunan tingkat kematian bayi, tapi justru sebaliknya C-Section meningkatkan resiko ibu kehilangan darah, pembekuan darah, cedera organ perut, kebutuhan histerektomi, shok anafilaktik karena anastesi. (Homer, 2011, dalam Harnowo, 2011). Homer juga menjelaskan bahwa salah satu pendorong dibalik meningkatnya jumlah C-Section adalah adanya rasa takut wanita hamil saat akan menghadapi persalinan (Homer, 2011, dalam Harnowo, 2011). Seperti yang terjadi di Amerika Serikat selama 25 tahun terakhir ada 3 peningkatan jumlah permintaan C-Section sebesar 46% sejak tahun 1985 dari semua kelahiran. Meskipun sebenarnya hal tersebut melebihi standar WHO yang menyatakan “there is no justification for any region to have CSection rates higher than 10-15%” (WHO, 1985). Selain dari penelitian Madhavanprabhakaran, Kumar, Ramasubramaniam, dan Akintola (2013) dari 30 operasi caesar terdapat 28 tidak direncanakan, dan 12 (42,9%) dari 28 itu melakukan caesar atas permintaan ibu. Dari kasus diatas bahwa peristiwa menghadapi kelahiran dapat sebagai peristiwa traumatis dan berpotensi stress berupa gejala post traumatik stress disorder (PTSD) pada beberapa wanita (Mayour & Smith, 1997, Bect, 2004, dalam Ross & Mc.Lean, 2006). Hal tersebut dikarena prosedur medis dan bedah (Fisch & Tadmor, 1989; dalam Ross & Mc.Lean, 2006) prosedur medis invasif (Shaley, 1993; dalam Ross, & Mc.Lean, 2006) dan prosedur obstetri ginekologi (Menage,1993; dalam Ross & Mc.Lean, 2006) yang melibatkan rasa sakit dan stress. Meskipun demikian keadaannya kehamilan tetap menjadi kodrat wanita. Karena kehamilan merupakan kemampuan yang hanya dianugrahkan pada wanita. Kehamilan sendiri merupakan salah satu dari 3 perubahan hormonal yang penting dalam proses hidup wanita. Dimana periode pertamanya adalah menarche (yaitu masa pertumbuhan hingga usia mengandung), kedua adalah masa kehamilan (yang juga biasa terjadi pada usia muda) dan yang ketiga adalah masa menopause (Widdowson, 2004). Didalam Al Qur’an surat Az-Zumar ayat 6 juga telah dijelaskan 4 mengenai proses kehamilan “... Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan...”. Senada disampaikan William (1984) bahwa kehidupan dalam rahim memiliki tiga tahapan yaitu pre-embrionik (dua setengah minggu pertama), embrionik (sampai munggu kedelapan), dan janin (minggu kedelapan sampai kelahiran). Brooker (2005) juga menyampaikan bahwa kehamilan dimulai dari gestasi periode menstruasi sampai sebelum persalinan (40 minggu atau 280 hari) yang terbagi menjadi 3 periode (trimester, masing-masing berlangsung 3 bulan). Pada masa proses kehamilan tersebut wanita bisa mengalami berbagai perubahan baik fisik maupun emosi (Matlin, 2004). Adapun perubahan fisik yang dialami antara lain mual, muntah (Zhou 1999 dalam Matlin, 2004), bertambahnya berat badan, perut membuncit, sering buang air kecil, dan kelelahan (Matlin, 2004). Sedangkan perubahan emosi yang dialami antara lain sensitif, mood yang sering berubah, depresi, cemas, dan takut (Miller, 2001; dalam Matlin 2004). Itu sesuai hasil penelitian Kurki, Hilesma, Raitasalo, Mattila, Ylikorkala (2000) terhadap 623 wanita dengan kehamilan tunggal diperoleh data bahwa pada hari kehamilan ke10 sampai ke-17 minggu terdapat 28 (4,5%) mengalami preeklamsia, 185 (30%) mengalami depresi dan 99 (16%) mengalami kecemasan di awal kehamilan. Disamping itu, 15,9% memiliki kecemasan dan depresi sementara pada masa 3 bulan postpartum hanya 9,3% (Heron, O’Connor, Evans, Holding & Glover, 2004., Andersson, Sundstrom- 5 Poromaa, Wulff, Astrom, & Bixo, 2006., Breitkopf, Primeau, Levine, Olson, Wu & Berenson 2006., Limlomwongse & Liabsuetrakul, 2006., Figueiredo, & Conde, 2011). Kecemasan selama kehamilan merupakan salah satu dari perubahan emosi wanita hamil yang disampaikan Miller (2001; dalam Matlin 2004) dan Kurki, dkk. (2000). Kecemasan tersebut merupakan perasaan khas yang disebabkan oleh dugaan akan bahaya atau frustasi yang mengancam dan membahayakan rasa aman (Prasodjo, 2008). Apabila rasa ketidak nyamanan fisik yang meningkat dan kecemasan dibiarkan akan mengancam kesehatan dan keselamatan janin (Susanti, 2009). Kecemasan juga dapat menyebabkan terjadinya aborsi spontan (Sugiura-Ogasawara, Furukarawa, Nakano, Hori, Aoki, & Kitamura, 2002; Nakano, Oshima, Sugiura-Ogasawara, Aoki, Kitamura, & Furukawa, 2004) dan lebih mungkin untuk melahirkan bayi prematur (Hedegaard, Henriksen, Sabroe & Secher, 1993; Wadhwa, Garite, Porto, Glynn, ChiczDemet, Dunkel-Schetter, & Sandman, 2004) atau bayi kecil untuk usia kehamilan normal (Sandman, Wadhwa, Chicz-Demet, Dunkel-Schetter, & Porto, 1997; Rondo, Ferreira, Nogueira, Riberiro, Lobert, & Artes, 2003). Rendahnya berat lahir juga akan berakibat memunculkan gangguan metabolisme (Barker, 1998; Phillips, 2002), gangguan kardiovaskular (Poulter, Chang & Macgregor, 1999) dan psikologis (Thompson, Syddal, Rodin, Osmond, & Baker, 2001) dalam kehidupan anak setelah dewasa. 6 Penelitian dampak kecemasan tidak hanya pada manusia, bahkan penelitian pada hewan juga menunjukkan keterlibatan pusat hipotalamus, hipofisis, dan adrenal pada induk mengenai efek yang ditimbulkan dari stress kehamilan pada perkembangan janin (Weinstock, Matlina, Maor, Rosen, & Mcewen, 1992; Henry, dkk, 1994; Clarke, Whitwer, Abbot, & Schneider, 1994; Barbazanges, Piazza, Le Moal & Maccari, 1996; Maccari & Morley-Fletcher, 2007). Kecemasan selama kehamilan akan berdampak negatif bagi ibu (Eagle, Scrimshaw, Zambrana, & DunkelSchetter,1990; Goldstein, Diener & Mangelsdorf, 1996, Zachariah, 2004) dan anak (Lobell, Dunkel-Schetter, & Scrimshaw, 1992; Huizink, RoblesDe Medina, Mulder, Visser & Buitclaar, 2002; Davis, Snidman, Wadhwa, Glynn, Schetter, & Sandman, 2004; Mancuso,Schetter, Rini, Roesch, & Hobel, 2004). Dampak negatif pada ibu yaitu cenderung memiliki wellbeing psikologi yang rendah (Zachariah, 2004), kecemasan postpartum (Eagle, dkk, 1990), resiko timbulnya depresi postpartum (Evans, dkk, 2001, dalam Pawby, Sharp, Hay & O’Keane, 2008). Akhirnya jika dibiarkan akan mengakibatkan ibu kurang memiliki interaksi terhadap anaknya sendiri (Goldstein,dkk, 1996). Dampak negatif bagi anak akan berpengaruh pada timbulnya masalah pada perilaku dan emosi anak (O'connor, Heron, Goldin, Beveridge & Glover, 2002; Weinstock, 2001). Resiko lainnya adalah gangguan perkembangan otak janin (Weinstock, 2001), yang ternyata berpengaruh pada perkembangan kognitif, neurologis dan perilaku seksual atipikal. (Schneider dkk, 1999, dalam 7 Mulder, Robles- De Medina, Heizing, Van Den Bergh, Buetelaar & Dan Visser, 2002). Dampak lain yang dapat terjadi adalah adanya risiko gangguan keturunan berupa pendeknya masa kehamilan (bayi prematur) dan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR sendiri memiliki resiko morbiditas, gangguan perhatian, defisit hiperaktif dan skizofrenia (Hultman, dkk, 1999, dalam Glover & O'connor, 2002). Kajian tentang morbiditas dan resiko morbiditas bayi di kabupaten Banyumas ditemukan pada data angka kematian bayi baru lahir, bayi lahir dengan berat lahir rendah (BBLR), kematian bayi dan balita, dan neonatal resiko tinggi di tiga tahun terakhir (2010-2012), sebagai berikut : Table : 1 Data kematian Neonatal, BBLR, kematian bayi dan balita, dan neonatal resiko tinggi di Kabupaten Banyumas Keterangan Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Kematian bayi baru lahir 1,56/1000KH 10,31/1000KH 10,6/1000KH BBLR 3,46% 5,13% 5,44% Kematian bayi dan balita Neonatal resiko tinggi 978 dari KH 0,27% 77 dari KH 3,07% 867 dari KH 1389 dari HK 3,19% 862 dari KH 15% 4059 dari KH 1528 dari KH 2,01% 565 dari KH 14,94% 4194 dari KH Note : Kelahiran Hidup (KH) 2010 = 28250 Kelahiran Hidup (KH) 2011 = 27058 Kelahiran Hidup (KH) 2012 = 28080 Data Dinas kesehatan kabupaten Banyumas, 2011 dan 2012 Data tersebut menjadi pertanyaan besar, ketika melihat data keberhasilan pemberian maternal care pada tahun 2010 didapatkan data kunjungan ibu yang mendapat tablet Fe1=97,13% dan Fe3=92,50%. Kemudian ditahun 2011 data kunjungan ibu hamil yang mendapatkan Fe1=94,56% dan Fe3=92,10%. Pada tahun 2012 data kunjungan ibu 8 hamil yang mendapatkan Fe1=99,23% dan Fe3=91,63% (Dinas kesehatan kabupaten Banyumas, 2011; 2012). Dari data kematian bayi baru lahir, kematian bayi dan balita, kasus BBLR, dan neonatal resiko tinggi yang meningkat 2 tahun terakhir di kabupaten Banyumas bisa dimungkinkan adanya salah satu faktor penyebabnya yaitu kecemasan selama kehamilan. Karena dari jumlah ibu yang mendapatkan maternal care cukup berhasil. Kecemasan kehamilan penting diperhatikan karena dapat mempengaruhi ibu dan kehamilannya juga pada janin (Bale, 2005; Ruiz & Avant, 2005). Karena dari model biopsikososial menurut Sarafino (2005), faktor biologis berperan terhadap kesehatan dan penyakit pada seseorang. Dimana secara fisiologis saat kecemasan terjadi stimulasi sistem saraf otonom yang menyebabkan peningkatan pelepasan katekolamin seperti noradrenalin, meningkatnya ketahanan arteri rahim dan tekanan arteri, sehingga terjadi gangguan aliran darah di rahim dan pengiriman sebelumnya menyampaikan bahwa oksigen ke janin. Penelitian kadar noradrenalin tinggi pada kehamilan berkorelasi negatif dengan kepala janin dan lingkar perut (Diego, Jones, Field, Hernandez-Reif Schanberg & Kuhn, 2006). Berdasarkan penjelasan diatas mengenai dampak kecemasan terhadap kesehatan ibu dan janinnya, berdasar model biopsikososial tidak hanya adanya interaksi secara biologis tetapi ada keterlibatan faktor sosial dan psikologis (Sarafino, 2005). Dimana secara konsep model biopsikososial dari luar individu yaitu faktor sosial yang melibatkan 9 masyarakat, kelompok, dan keluarga berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Melalui perilaku lingkungan yang berhubungan dengan kesehatan (Diehr, dkk. 1993 dalam Sarafino dan Smith, 2011) dukungan sosial selama kehamilan sangat diperlukan agar ibu bisa kuat secara mental dalam menghadapi kehamilannya (Suryaningsih, 2007). Hal tersebut juga disampaikan Ramli (2003) bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan kecemasan kehamilan primipara, dengan sumbangan efektifnya sebesar 72,27% di Balai Kesehatan Muhammadiyah Malang. Begitu pula dengan Aprianawati (2003) antara menyampaikan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan dukungan sosial keluarga dengan kecemasan ibu dalam menghadapi kelahiran anak pertama pada triwulan ketiga. Sebelumnya Collins, Dunkel-Schetter, Lobel dan Scrimshaw (1993) telah menyampaikan bahwa wanita yang memperoleh dukungan yang lebih dari lingkungan sosialnya memiliki persalinan yang lebih baik, bayi lahir dengan skor Apgar (tanda-tanda kelahiran sehat) yang lebih tinggi, rendahnya depresi postpartum, dan berat badan bayi lahir lebih tinggi. Keadaan ini juga berkontribusi pada kesehatan ibu dan bayi (Bragonier, Cushner, & Hobel, 1984, Istvan, 1986). Adanya keterkaitan dukungan sosial sebagai salah satu faktor sosial dari model biopsikososial yang mempengaruhi kecemasan juga didapatkan dari hasil studi lapangan terhadap responden “S” sebagai berikut : 10 “...ya beda la mba, la mbiyen pas meteng sepisanan, hem... keluargaku karo keluargane mase emane pol, saben dina dikirimi panganan. Kadangkadang diwei duit nggo priksa. Mengko nek bar panen dikirimi apa bae kesenangane aku. Wis kue bojoku emane pol mba, la ora kena telat madang karo ngumbe vitamin. Ben wulane ya ora tau telat njujugna priksaa”... ...”Aku ya terus terange waktu semeno madan ayem, kepenak lach mba, ora patiya kuatir banget. Kabeh-kabeh pada ngguyubi. Nek bar priksa ya mbiyungku mesti teka, nakoknya kepriwe anakku...” “...pancen beda koh mba, anakku sing mbarep kayane lewih pengerten, lewih pinter, dongan mba nek dikon apa-apa ya maksud, disinauni ya ora angel. Alhamdulillahe pinter...” Dari pernyataan yang disampaikan Subjek “S”, dukungan sosial yang ia dapatkan membuatnya merasa tenang dan tidak cemas. Dari ketenangan yang ia dapatkan, ia merasakan hasil berupa anak lahir normal, sehat, lebih pintar dari anaknya yang lain dan mudah menangkap informasi. Hal tersebut sesuai hasil penelitian bahwa bahwa dukungan sosial mengurangi tekanan psikologis seperti depresi atau kecemasan selama masa stress (Fleming, dkk, 1982; Sarason, dkk, 1997; Lin, dkk 1999; oleh Taylor, dalam Friedman & Silver, 2007). Adanya persepsi bahwa dukungan yang tersedia juga berhubungan dari segi keuntungan dan dampak langsung terhadap kesehatan fisik dan mental (Wethington dan Kessler, 1986; oleh Taylor, dalam Friedman & Silver, 2007). Sumber dukungan untuk ibu hamil berasal dari orangtuanya (ibunya), pasangan, atau anggota keluarga (Devereux, Weigel, Ballard-Reisch, Leigh & Cahoon, 2009). Sesuai itu Cutrana (1984,dalam Sarason, Sarason & Pierce,1990) menyampaikan bahwa dukungan ibu dalam memberikan pendampingan pada putrinya selama kehamilan dan persalinan menurunkan resiko terjadinya depresi pasca melahirkan. 11 Dukungan instrumental dan informasi yang diberikan oleh ibu terhadap putrinya yang hamil dapat meningkatkan efek positif terhadap kehamilannya (Giblin, Poland & Ager, 1990), selain itu juga dapat menurunkan tekanan pada wanita hamil (Ariestianie, 2012). Tetapi di kesempatan yang lain subjek “S” juga menyampaikan pengalaman akan kehamilannya yang ketiga sebagai berikut : Ya emang sih mba pas ngerti hamil, ya keluarga tanggapane “salahe kue ora KB”... kalo dari keluargaku ya ora secara langsung ngomong mung ngomong “la kue ya repot, lagi seneng laris-lari dodole malah meteng maning”... nek bojoku ya mung ngomong “ya wis kepriwe maning” Dadine hamil anak ketiga kiye ya madan males mba, la paling normal, aku be ora priksa, priksa ya nembe wingi mba pas wis pitung wulan. Ya paling sebelume kadang-kadang minum susu, tapi ya nek ana bae duwite ora kaya mbiyen pas anak pertama tah diperlok-perloknya. Dari penyampaian pengalaman kehamilanya yang ketiga ini, bahwa keluarganya tidak mendukung sepenuhnya akan kehamilannya. Kondisi tersebut secara tidak langsung berdampak pada penerimaan diri akan kehamilannya. Ia menganggap kehamilannya sebagai suatu yang biasa, normal, dan menurutnya tidak perlu mengusahakan pemeriksaan secara rutin seperti dulu saat kehamilan pertama dan kedua. Pemerikasaan kehamilan juga baru dilaksanakan saat kehamilan sudah ke tujuh bulan. Hampir sama dengan pendapat yang disampaikan subjek “S”, dari subjek “K” didapatkan data wawancara sebagai berikut : “la kepriwe ya mba, jane aku ya urung siap meteng maning, soale sing mbarep isih 11 wulan. Ujarku ne ya nek nyusuni bisa ora meteng, tapi aku malah kebobolan. Mertuwaku maning ngocehe “La kuwe gara-gara meteng dadi tambah repot, wis bojone nyambut gawene senen kemis”... Wong tuwaku dewek kan adoh ora tau tilik, tapi sekaline telpon mung nyalahna bae nek aku dadi repot karo biayane dadi tambah akeh... 12 Emang mba, pas meteng sing keloro kiye ora patiya kerumat, soale aku ya kuatir mba mbok gara-gara ana sing nang weteng dadi marekna tambah biaya karo ngerepoti wong tuwa. La makane aku ya mangane ya biasa bae ora kemaruk kaya jamane meteng sepisanan, padahal aku ya kesel, priksa hamil ya sering telat, ya priksane ya dong-dongan nek ana wektu ya nek ana duwite juga... La wong pas-pasan, boro-boro ngumbe susu mba, disamping kuatir juga mbok danane ora cukup soale sing mbarep juga kudu tuku susu to mba, ya aku ngalahi... jane nek dipikir mangan sehat ya bisa si mba la kan aku duwe pekarangan sayuran, juga duwe ingon-ingon ayam akeh nggo pahalan, tapi ya kuwe gara-gara bojoku karo wong tuwaku juga ora patiya setuju nyong meteng, dadi saanane bae mba pas hamil anakku sing keloro”... Dari uraian yang disampaikan responden “K” pada kehamilan yang kedua, didapatkan data bahwa ia belum siap menerima akan kehamilan yang keduanya, karena tanpa perencanaan dan masih memiliki anak balita. Selain itu orang tua suami dan orang tuanya juga tidak mendukung karena keadaan anak yang terlalu dekat dan beratnya biaya. Hal itu mempengaruhi ibu “K” dalam memelihara kehamilan keduanya. Ia merasa cemas akan keadaan dirinya yang akan memberatkan secara ekonomi terhadap orang tuanya dan merasa cemas adanya kehamilan akan tidak tercukupi kebutuhan anak yang pertama. Sehingga ia berusaha tidak mengkonsumsi cukup nutrisi dan pemeriksaan kehamilan yang tidak teratur karena takut akan menambah beban biaya. Berbeda dengan yang disampaian responden “S” dan “K” tentang manfaat dukungan sosial. responden “W” pada kehamilan pertamanya justru menyampaikan bahwa dukungan sosial dari keluarga berupa kontrol pada tiap proses kehamilanya menimbulkan kecemasan tersendiri akan 13 kehamilannya. Berikut kutipan wawancara yang disampaikan oleh responden “W”: “...Ya mba, pertama kali hamil dulu ya aneh mba. Seneng ia mba mau ada keturunan. Tapi jadi mulai banyak ditakutkan mba. Kalau makan, banyak aturan dari keluarga suami yang jadi bikin stress sendiri mau ngapangapain salah. Nanti kalau mau pergi kerja overtime keluarga telpon terus. La aku jadi serba salah gak bebas gitu semua rewel. Ya memang diperhatikan tapi jadi serba salah. Udah gitu telat minum obat, suami rewel juga. Teman-teman dikantor juga selalu bilang jalannya hati-hati, jangan minum kopi dan lain-lain. Banyak hal yang ternyata butuh penyesuaian yang awalnya bikin cemas dan takut juga mba. Nach kalau sudah orangorang jangan ini lakukan ini, itu bikin aku semakin bersalah kalau melakukan pelanggaran. Pernah terjadi flek mba, aku sedih banget rasanya bersalah banget..” Dari pendapat responden “W” justru perhatian lingkungan sosial terhadap dirinya tidak membuat perasaan cemas akan kehamilannya berkurang tetapi ada faktor lain yang mempengaruhi persepsinya akan dukungan sosial yang diberikan. Dimana ia mengganggap perhatian dari lingkungan ditangkapnya sebagai menjadikan keadannya merasa kontrol akan perilakunya yang makin bersalah saat melakukan pelanggaran. Hal tersebut bisa dikarenakan bagaimana responden menerima akan konsep dukungan sosial yang diberikan keluarganya. Sesuai pendapat Norris dan Kaniasty (1996) bahwa dukungan yang diberikan pada individu belum tentu dipersepsikan inidividu sebagai sebuah bantuan yang bermanfaat atau belum tentu sesuai kebutuhannya. Perlu diketahui bahwa tidak semua dukungan sosial pasti diterima, karena dukungan sosial hanya akan diterima dan berarti bila terdapat kesesuaian dengan kebutuhannya. Penelitian mengenai ketepatan dukungan sosial membuktikan bahwa bentuk dukungan yang diberikan sesuai kebutuhan 14 atau situasi yang sedang dihadapi dan diberikan oleh sumber dukungan yang signifikan bagi individu (Cohen & Syme, 1985) akan diterima. Dari itu dapat disimpulkan bahwa dari dalam diri ibu secara psikologis menurut konsep biopsikososial ada faktor kognitif dan emosi dari dalam diri ibu yang mempengaruhinya dalam proses penerimaan diri akan kehamilan yang dijalaninya (Sarafino dan Smith, 2011). Beberapa pendapat diatas telah menjelaskan adanya keterkaitan antara kecemasan kehamilan dan pentingnya dukungan sosial dalam proses kehamilan ibu. Tetapi bagaimana dukungan sosial itu juga bisa sebagai upaya mengatasi kecemasan ternyata dari dua pernyataan yang disampaikan oleh responden “S”, “K” dan “W” bahwa ada keterkaitan dengan penerimaan ibu terhadap kehamilannya. Adanya masalah pada penerimaan diri terhadap kehamilan berkaitan dengan dukungan sosial selain telah disampaikan oleh responden “K” juga responden “S” menyampaikan sebagai berikut : “...Ya hamil anak ketiga ini ya madan berbeda mba. Rasane kaya mendheki, rasane kaya mau keluar. Ya ndeyane karena pengaruh emosi. Awake ya rasa nglungkrah, kesel banget, kaya cape banget lach. Tapi ya tetep kerja, tapi males mangan mba, pandeya pas wulan pertama lach males banget mangan masakane bojone. Arep lunga-lunga be lames banget...” “...Ya emang sih mba pas ngerti hamil, ya keluarga tanggapane “salahe kue ora KB”... kalo dari keluargaku ya ora secara langsung ngomong mung ngomong “la kue ya repot, lagi seneng laris-lari dodole malah meteng maning”... nek bojoku ya mung ngomong “ya wis kepriwe maning...” “...Dadine hamil anak ketiga kiye ya madan males mba, la paling normal, aku be ora priksa, priksa ya nembe wingi mba pas wis pitung wulan. Ya paling sebelume kadang-kadang minum susu, tapi ya nek ana bae duwite ora kaya mbiyen pas anak pertama tah diperlok-perloknya....” 15 Pada pernyataan yang disampaikan oleh responden “S” tentang keadaan kehamilannya yang tidak didukung oleh kelurganya membuat ia merasa malas untuk memeriksakan kehamilan dan mengkonsumsi cukup gizi selama kehamilan. Pada konteks tersebut ada keterkaitan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri. Melalui itu individu dapat melakukan evaluasi diri yaitu penilaian atau keputusan yang dibuat tentang dirinya yang mengarah pada penerimaan secara objektif akan kehamilannya. Jika kehamilan dapat diterima dengan baik oleh ibu, maka gangguan-gangguan yang dideritanya, pembatasan-pembatasan yang dialaminya, serta perubahan-perubahan yang ditimbulkannya akan dapat diterima dengan baik (Detiana, 2010). Karena selama kehamilan, penerimaan diri sangat diperlukan. Melalui Penerimaan diri individu akan memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, sehingga dapat menerima segala kelebihan dan kekurangannya (Hjelle & Siegler, dalam Indrastuti, 1998). Juga ibu dapat mentoleransi terhadap peristiwa-peristiwa yang menimbulkan frustasi (Alport, dalam Indrastuti, 1998). Faktor psikis, kematangan jiwa, dan penerimaan ibu terhadap kehamilan sangat berpengaruh pada berat ringannya gejala yang timbul pada hiperemesis gravidarum. Gejala tersebut ditandai dengan adanya adanya mual dan muntah yang bisa ditemukan 50-70% pada kehamilan usia 16 minggu (Sastrawinata, 2004). Beberapa orang mempunya pandangan positif tentang dirinya tergantung dari reaksi orang lain (Flett, Besser, Davis, & Hewitt, 2003). Rendahnya penerimaan diri diaplikasikan 16 dengan gangguan mental (Macinnes, 2006). Karena menurut Flett, dan kawan-kawan (2003) bahwa kurangnya penerimaan diri tanpa syarat akan mengganggu kesejahteraan individu dan penghargaan diri bersyarat dikaitkan dengan distress psikologis, sedangkan penerimaan diri tanpa syarat merupakan kondisi yang membantu penyesuaian dan kesejahteraan pada individu. Melalui mengembangkan penerimaan diri tanpa syarat membuat individu dengan masalah kesehatan psikologis dapat menerima diri mereka sebagai manusia yang dapat berbuat kesalahan (Macinnes, 2006). Penelitian Levitt, Brown, Orsillo, dan Barlow (2004) tentang efek dari penerimaan terhadap penekanan emosi pada 60 klien dengan gangguan panik. Sebelum menjalani 5,5% tantangan karbon dioksida 15 menit, peserta secara acak ditugaskan untuk 1 dari 3 kondisi a rekaman 10 menit menggambarkan 1 dari 2 strategi emosi-regulasi (penerimaan atau penindasan) atau narasi netral (kelompok kontrol). Hasilnya menunjukkan bahwa penerimaan berguna untuk mengurangi kecemasan subyektif dan penghindaran pada pasien dengan gangguan panik. Perasaan cemas berkaitan dengan penerimaan juga dialami oleh seorang ibu hamil yang bernama “Y” : “ bener mba, mbiyen aku meteng pas umur 16 tahun, aku wedi banget pas kue, aku usaha keriwe carane ben wetengku sing tambah gede ora katon wong liya. Tapi ya terpaksa wong tuaku ngerti. Akhire aku dikawinaken karo bojoku siki. Tapi pas masa-masa aku meteng. Wong tuaku ora seneng. Aku dadi rasa sedih banget, sabesaben dara was-was. Ora mung kuwe sering mikir kayane uripku ora berharga banget, ora ana sing ngarepaken anakku. Aku dadi males maem maning ngumbe susu apamaning vitamin, aku isin lunga ming nggone bu bidan priksa. La wong 17 pas nembe ngerti meteng, aku ya wis usaha ngumbe jamu nglontoraken bayine. Tapi ndilalah koh ora bisa-bisa.” Kesemuanya itu pada akhirnya berdampak seperti pernyataan yang disampaikan “Y” berikut ini : “ya mba, anakku mung lair 1,9 kilo. La mung sebotol gedene. Nafase seseg. Padahal wis dirawat nang bangsal bayi prematur mba. Ya mungkin wis dadi pepestene gusti Allah mba. Anakku mung tahan 12 dina tok. Jerene dokter, ana masalah nang katup jantunge apa priwe la aku ora paham. Padaham pas kuwe bobote ya wis tambah dari 2,4 kg.” Dari yang disampaikan oleh responden “Y” karena keadaan kehamilannya yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan dan kurangnya penerimaan diri ibu akan keadaan kehamilan menyebabkan timbulnya kecemasan akan ketakutan kehamilanya diketahui orang lain sehingga ia melakukan tindakan-tidakan yang membahayakan untuk janinnya, yang pada akhirnya bayi yang dilahirkan mengalami kecacatan dan kematian dini. Berdasar uraian diatas, ibu rentan mengalami kecemasan kehamilan yang berdampak jangka panjang berupa timbulnya masalah pada ibu dan bayinya. Kecemasan selama kehamilan yang terjadi tidak terlepas adari keterlibatan faktor biopsikososial dimana faktor biologis, psikologis dan sosial berkontribusi terhadap kesehatan seseorang tersebut tidak terlepas dari kebutuhan akan dukungan sosial untuk mengatasi kecemasan. Seperti yang disampaikan Durand dan Barlow (2006) bahwa faktor yang menyebabkan individu mengalami kecemasan antar lain biologis, psikologis, dan social. Tidak hanya dukungan sosial, penerimaan diri juga berpengeruh terhadap kecemasan kehamilan. Seperti penelitian Sunardi 18 (2004) terhadap 95 petugas penjaga Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta yang berusia 23-58 tahun, bahwa penerimaan diri dan dukungan sosial secara bersama-sama berperan pada toleransi terhadap stress. Levitt, dkk (2004) juga menyampaikan bahwa penerimaan diri berguna untuk mengurangi kecemasan subyektif dan penghindaran pada pasien dengan gangguan panik. Begitu pula dengan Ramli (2003) dan Aprianawati (2003) yang menyampaikan pengaruh antara dukungan sosial dengan kecemasan kehamilan. Oleh karenanya menarik bagi peneliti untuk melihat hubungan antar dukungan sosial, penerimaan diri dan kecemasan selama kehamilan, melalui penelitian berjudul “Hubungan antara dukungan sosial dan penerimaan dari dengan kecemasan selama kehamilan di kabupaten Banyumas. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut muncul permasalahan, yaitu : apakah ada hubungan antara dukungan sosial dan penerimaan diri dengan kecemasan selama kehamilan kehamilan. C. Keaslian Penelitian Berdasar penelusuran mengenai penelitian sebelumnya didapatkan hasil antara lain hubungan dukungan sosial selama kehamilan dengan korelasi psikologi kelahiran bayi dan depresi postpartum (Collins, dkk, 1993), prevalens dari symptom kecemasan selama kehamilan dan untuk 19 mengidentifikasi faktor-faktor sosiodemografi dan psikososial (MakaraStudzinska, Morylowska, Sygit, Sygit & Gozdzlewska, 2013), efek dari gaya dan type dukungan sosial terhadap kecemasan pada kehamilann pertama pada wanita (Suppaseemanont, 2007). Aprianawati (2003) juga meneliti hubungan dukungan keluarga dengan kecemasan ibu hamil primigravida. Selain dukungan sosial, penerimaan diri diperkirakan mempengaruhi kondisi psikologis karena dapat membantu penyesuaian dan kesejahteraan pada individu dan mengurangi kecenderungan depresi. Rendahnya penerimaan diri berkaitan dengan depresi dan kecemasan (Macinnes, 2006). Levitt, dkk (2004) menyampaikan bahwa penerimaan diri berguna untuk mengurangi kecemasan subyektif dan penghindaran pada pasien dengan gangguan panik. Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian ini akan mencari hubungan antara dukungan sosial dan penerimaan diri dengan kecemasan selama kehamilan. D. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan penerimaan diri dengan kecemasan selama kehamilan. Dengan harapan bisa memberikan masukan kepada ibu, keluarga, dan petugas kesehatan untuk memperhatikan faktor-faktor