ABSTRAK CITRA KONTRUKSI KEKUASAAN MASYARAKAT JAWA

advertisement
ABSTRAK
CITRA KONTRUKSI KEKUASAAN MASYARAKAT JAWA
DALAM CERPEN “PATUNG TAK BERMUKA”
KARYA TJAHYONO WIDARMANTO
Oleh Umi Nurhidayati, S.Pd.
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa
karya sastra selalu mentransformasikan kehidupan.
Lucian Godman menyebutnya sebagai fakta kemanusiaan
sekaligus fakta cultural. Sebagai fakta kemanusiaan dan
fakta cultural, maka kesusastraan selalu memproyeksikan
hidup, kehidupan, manusia, dan kemanusiaan. Dipandang
dari culutran studies, salah satu persoalan besar dalam
kehidupan adalah usaha pemenuhan keinginan manusia.
Cerpen ini mekonstruksikan citra kekuasaan pada
masyarakat Jawa. Berdasarkan pengkajian atas cerpen
“Patung Tak Bermuka” diketahui bahwa keinginan
menguasai dan mendominasi antarmasyarakat adalah
sebuah kultur pada masayarakat Jawa. Hal tersebut
tekonstruksi di dalamnya meliputi pertikaian untuk
memperebutkan kekuasaan yang dalam analisis
diperlakukan sebagai bentuk sintomisasi terhadap
kekuasaan masyarakat Jawa, citra konstruksi dari subjek
dan realitas serta adanya kekuatan ekonomi politik yang
terlibat dalam konstruksi tersebut.
Kata kunci : cultural sutdies, kekuasaan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tahun tujuh puluhan menjadi era yang amat penting bagi kesusasteraan
Indonesia karena pada masa itu terjadi berbagai macam pendobrakan dalam
segala aspeknya. Para sastrawan melakukan berbagai eksperimentasi, seperti
yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kembali ke akar salah salah satu
bagian dari eksplorasi yang dilakukan, seperti pada tema, gaya berbahasa dan
teknik bercerita.
Perkembangan karya sastra tahun tujuh pulhan telah merambah ke dunia
politik sosial dalam melantangkan ketidakadilan dalam bentuk karya puisi,
prosa, dan drama. Melihat beberapa karya WS Rendra, Goenawan Mohamad
adalah representasi realitas sosial yang mengarah pada permasalahan politik
sosial. Dalam pandangan realisme sosial, Marx dan Lennin (dalam Luxemburg
1986:24) menyatakan bahwa susunan masyarakat bawah
dalam bidang
ekonomi akan menentukan kehidupan sosial, politik intelektual, dan kultural
bangunan atas. Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus
menerus, daya kekuatan di dalamnya sangat profresif menuju masyarakat ideal
tanpa kelas. Evolusi tersebut berjalan
dengan tersendat-sendat. Hubungan
ekonomi menimbulkan berbagai kelas yang saling bermusuhan.
Terlihat
bagaimana pertentangan antra kaum borjuis dengan kaum proletar. Dalam hal
tersebut perubahan yang terjadi pada kelas bawah akan mengubah kelas atas.
Realitas sosial tersebut juga tampak di tahun tujuh puluhan dalam karya
drama. Arifin C Noer yang tidak lagi mementingkan adanya pentas dengan
dekorasi yang indah sehingga pentas yang terasa tanpa dekor
membawa
kekaburan makna antara realitas dan imajinasi. Perubahan yang lebih radikal
dilakukan oleh Putu Wijaya yang menambahkan dimensi lain pada dramanya
yang berjudul
“Anu”. Dramanya seakan dikuasai oleh dunia yang tidak
rasional (Umar Junus, 1986:51)
Karya sastra yang dianggap mewakili periode tahun tujuh puluhan antara
lain, Merahnya Merah (Iwan Simatupang, 1968), Kerng (Iwan Simatupang,
1972), Ziarah (Iwan Simatupang, 1969), Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (A.A
Navis, 1970), Telegram (Putu Wijaya, 1972), Stasiun (Putu Wijaya, 1975), dan
karya sastra novel lain. Novel-novel Indonesia tahun tujuh puluhan banyak
menggambarkan pengalaman kegelisahan, baik berupa kegelisahan sosial
2
politik, batin, dan rumah tanggaa. Gambaran sosial yang dibawa pengarang
tersebut bertujuan untuk perubahan kondisi sosial politik yang masih dalam
gerak perubahan (Sumardjo, 1982). Gambaran tersebut sejalan dengan
pemikiran Lenin mengenai realisme sosial bahwa terdapat hubungan dialektik
antara sastra dan kenyataan. Sastra dianggap menyajikan suatu tafsiran yang
tepat mengenai hubungan-hubungan di dalam masyarakat, begitu pula sastra
juga mendampingi masyarakat untuk menjadi lebih baik.
Namun demikian, seperti halnya ciri khas sastra mutakhir, kegelisahan
tersebut disusun sedemikian rupa sehingga tidak menampakkan kesan politis
(Heriyanto, dalam Luxembrug 1986: 170). Kecenderungan novel tahun tujuh
puluhan , pengarang lebih mempersoalkan bagaimana menyampaikan sesuatu
lebih penting dari persoalan ketersampaian suatu pesan kepada pembaca.
Persoalan dalam novel yang kompleks mencakup persoalan politik dan kuasa,
perbedaan nilai moral dan kehidupan, penilaian pribadi dan sosial tetapi
berbagai konflik yang saling berkaitan dan membentuk suatu kompleks
kekacauan yang tidak jelas alur ceritanya.
Sebagai produk budaya, karya sastra merupakan teks yang tidak dapat
dilepaskan dari praktik kehidupan berbudaya. Karya sastra menyuguhkan
wacana sejarah kehidupan, terilhami budaya lampau, teraktualisasi pada masa
kini, serta menawarkan inspirasi yang akan datang. Aspek waktu dan situasi
menempatkan karya sastra sebagai produk budaya yang mengikuti dan
memiliki kemungkinan mendahului zaman. Karya sastra berada dalam
pengaruh dan sekaligus berpotensi mempengaruhi perjalanan praktik budaya.
Karya sastra selalu berada dalam ketegangan budaya. Masa lampau, masa kini,
dan masa mendatang berada dalam proses tawar menawar untuk representasi
sebuah identitas. Tema-tema yang tertentu yang diproduksi karya sastra, seperti
korupsi, tindak kriminal
adalah bagian dari ketegangan identitas budaya.
Identitas tersebut diproduksi, disodorkan, serta diatur hingga representasi
kembali pada identitas sirkuit budaya.
Karya sastra merupakan konstruksi yang rumit
dan memerlukan
perhatian saksama. Sulit untuk mengajukan jawaban tunggal terhadap
pertanyaan bagaimana sastra dapat memberi sumbangan terhadap pemahaman
masalah-masalah penting yang filosofis, melainkan menuntut jawaban yang
bersifat plural. Melalui karya sastra manusia berpeluang untuk melakukan
objektifikasi penghayatannya yang subjektif. Karya sastra bagi pengarang
adalah sarana untuk mengungkapkan
berbagai permasalahan
dalam
3
kehidupan, di samping fungsi lainya. Semakin kompleks permasalahan
kehidupan, maka semakin kompleks pula fungsi dan muatan karya sastra.
1.2 Fokus penelitian
Berpijak pada fokus studi kajian budaya atau cultural studies (CS) ini
adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam
budaya masyarakat. Penelitian dalam cerpen ini mengarah citra kontruksi
kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada (1) penanda kekuasaan dalam
cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (2) pelaku
kekuasaan dalam cerpen“Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto,
(3) sebab-sebab
kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya
Tjahyono Widarmanto, (4) efek kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak
Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, dan (5) sanksi kekuasaan dalam
cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto
1.3 Tujuan Penulisan
Studi yang menggunakan pendekatan cultural studies ini bertujuan
memberikan alternatif kajian terhadap karya sastra yang dilihat sebagai produk
budaya terhadap kekuasaan. Pendekatan ini membuka peluang yang lebih luas
kepada kritikus sastra untuk menelaah konsep cultural studies ke dalam (1)
penanda kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono
Widarmanto, (2) pelaku kekuasaan dalam cerpen“Patung Tak Bermuka” karya
Tjahyono Widarmanto, (3) sebab-sebab kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak
Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (4) efek kekuasaan dalam cerpen
“Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, dan (5) sanksi kekuasaan
dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto
1.4 Manfaat Teoritis
1. mengukuhkan cultural studies sebagai displin yang relativf baru dalam
perkembagan ilmu pengetauan
2. membagun sinergi antara kajian budaya dengan kajian sastra
3. menghasilkan temuan, kaidah, dn implikasi teoretis yang berkaitan
dengan cultural studies dalam
cerpen Indonesia, khususnya dalam
konsep kesenjangan ekonomi politik
4. juga diharapkan dapat dirumuskan model penelitian interdisipliner
dalam berbagai kemungkinan pada waktu selanjutnya, dan
5. menerapkan parallel reading antara teksastra ( tema ekonomi sosial
politik) dan cultural studies (teks nonsastra).
4
1.5 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis dalam
kehidupan nyata terkait dengan masalah sosial ekonomi politik dan budaya di
Indonesia. Berdasarkan penelitian ini diharapkan dapat:
1. menimbulkan kesadaran (awareness)
ekonomi politik
terhadap persoalan
sosial
dan budaya bagi generasi muda dengan
mengggunakan sastra sebagai medium.
2. isi cerpen secara sosiologis adalah representasi kehidupan masyarakat.
3. memberi inspirasi dan dorongan agar pembelajaran sastra juga memiliki
kepedulian terhadap isu-isu actual sebagai realisasi
pendidikan
berkeadilan dan pendidikan karakter.
4. sebagai konsekuensi, penerbitan dan pengadaan cerpen-cerpen yang
berkaitan dengan tema sosial ekonomi politik dan budaya diharapkan
dapat disebarluaskan ke masyarakat dan institusi pendidikan sebagai
sarana pembelajaran
5. sebagai inspirasi rekonstruksi berpikir antara sosial ekonomi politik
dan budaya dan cultural studies
1.6 Definisi Istilah
a. Pencitraan
Pencitraan adalah wacana dan inskripsi yang menjadi sejarah mentalitas
dalam kerangka espisteme
sebagai tampilan hayatan, renungan, ingatan,
pikiran, gagasan, dan pandangan tentang konstruksi realitas budaya di tengah
konteks dan proses dialektika budaya tertentu. Oleh karena itu, karya sastra
selalu menghadirkan kisah dan berita tentang konstruksi realitas budaya yang
dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, digagas, dan dipandang oleh sastrawan.
b. Kontruksi Kekuasaaan
Kontruksi kekuasaan adalah paradigma yang menyatukan kehidupan
sosial, kekuasaan yang menekan dan menempatkan sekelompok orang di
bawah orang lain. Kajian budaya menunjukkan perhatian khusus terhadap
kelompok-kelompok pinggiran, pertama-tama karena soal kelas, ras, gender,
kebangsaan, kelompok umur. Etnis jawa dengan ideologi kekuasaan tecermin
dalam konteks sosial politik masyarakat Indonesia yang dominan menjadi tema
dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto.
5
c. Cultural Studies
Cultural studies (kajian budaya) adalah studi tentang ilmu budaya sebagai
pemaknaan masyarakat terhadap parktik kehidupan yang mempelajari
produksi, distribusi, pertukaran, dan penerimaan pemaknaan secara tekstual.
Dengan demikian kajian penelitian interdisipliner yang mengeksplorasi atau
menguraikan pembentukan dan pemakaian gugus peta makna. Kajian budaya
adalah proses pembentukan wacana yang berkaitan dengan kebudayaan dan
dikelola dengan cara tertentu yang terkait dengan isu kekuasaan dalam praktik
pemaknaan dalam kehidupan manusia
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Cultural Studies (Kajian Budaya)
Kajian budaya atau cultural studies adalah disiplin ilmu baru yang
memiliki konsep dan metodologi tersendiri sedangkan studi tentang budaya
adalah studi tentang kebudayaan yang berlaku secara umum dan dilakukan
oleh berbagai disiplin akademik yang telah ada. Kajian budaya memberikan
pengertian budaya sebagai “teks” dan praktik hidup sehari-hari (Storey,
2008:2). Budaya adalah kumpulan praktik sosial yang melaluinya makna
diproduksi, disirkulasikan, dan dipertukarkan. Lebih kompleks Stuart Hall
memberikan pengertian budaya adalah lingkungan aktual untuk berbagai
praktik, representasi, bahasa, dan adat istiadat masyarakat tertentu.
Juga
berbagai bentuk akal sehat yang saling kontradiktif yang berakar dan
membantu membentuk dalam kehidupa rang banyak. (Barker, 2009:8). Adapun
kajian budaya dimaknai sebagai studi sosial
yang mempelajari produksi,
distribusi, pertukaran, dan penerimaan pemaknaan secara tekstual.
Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan
universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna
ini terpusat pada makna sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis,
norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks,
praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka (Barker, 2000:
50-55). Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya’
sebagai keseluruhan cara hidup.
Kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama, institusi-institusi
yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-formasi
pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga,
bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi
dan
bentuk-bentuk
kebudayaan,
termasuk
kekhususan
produk-produk
kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan
ruang dan waktu, serta cara pengorganisasiannya.
Jika dibandingkan dengan pendapat John Storey, konsep budaya lebih
diartikan sebagai secara politis ketimbang estetis. Dan Storey beranggapan
‘budaya’ yang dipakai dalam CS ini bukanlah konsep budaya seperti yang
didefinisikan dalam kajian lain sebagai objek keadiluhungan estetis (‘seni
tinggi’) atau sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spritual,
7
melainkan budaya sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari (Storey, 2008: 2).
Dalam hal ini nampaknya Storey setuju dengan definisi ‘budaya’ menurut
Raymonds Williams, lain halnya dengan Stuart Hall yang lebih menekankan
‘budaya’ pada ranah politik.
To say that two people belong to the same culture is to say that
they interpret the world in roughly the same ways and can express
themselves, their thoughts and feelings about the world, in ways
which will be understood by each other. Thus culture depends on
its participants interpreting meaningfully what is happening
around them, and `making sense’ of the world, in broadly similar
ways.(Hall, 1997: 2)
Menurut Bennet istilah culture digunakan sebagai payung istilah
(umbrella term) yang merujuk pada semua aktivitas dan praktek-praktek yang
menghasilkan pemahaman (sense) atau makna (meaning). Baginya budaya
berarti :
"Kebiasaan dan ritual yang mengatur dan menetukan hubungan
sosial kita berdasarkan kehidupan sehari-hari sebagaimana
halnya dengan teks-teks tersebut-sastra, musik, televisi, dan
film-dan melalui kebiasaan serta ritual tersebut dunia sosial
dan natural ditampilkan kembali atau ditandai-dimaknaidengan cara tertentu yang sesuai dengan konvensi
tertentu.”(Bennet 1980: 82-30)
Kajian budaya, segala aktivitas dianggap sebagai “teks” sehingga
segala objek yang dijadikan kajian dapat dipahami dan dianalisis sebagaimana
kita membaca teks. Yang berbeda adalah bagaimana membacanya sehingga
aspek-aspek yang diberikan perhatian juga berbeda-beda (Ratna, 2007:27),
membaca dalam konteks ini berada dalam sebuah transaksi yang tidak hanya
melibatkan naskah kesusastraan yang verbal, namun dapat pla berupa karya
dalam media visual. Kajian budaya merupakan suatu pembentukan wacana,
yaitu bangunan-baguna gagasan, citra-citra, dan praktik yang menyediakan
cara untuk mebicarakan topik, aktivitas sosial atau arena institusional dalam
masyarakat. Cara-cara tersebut dapat berbentuk pengetahuan dan tindakan
yang terkait dengannya. Barker merinci unsur yang harus ada dalam kajian
pengertian budaya adalah (1) arena interdisipliner, (2) terkait dengan semua
praktik, (3) bentuk kekuasaan yang dieksplorasi kajian budaya, dan (5)
berhubungan dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam
institusi kultural, dan manajemen kultural.
Bertolak dari unsur-unsur di atas, dapa disimpulkan bahwa kajian
budaya adalah sebuah kajian penelitian interdisipliner yang mengeksplorasi
8
atau menguraikan pembentukan dan pemakaian gugus peta makna. Dengan
kata lain, kajian budaya adalah proses pembentukan wacana yang berkaitan
dengan kebudayaan dan dikelola dengan cara tertentu yang terkait dengan isu
kekuasaan dalam praktik pemaknaan dalam kehidupan manusia (Barker
2009:36)
2.2 Kebudayaan dan Praktik Pemaknaan
Elemen inti kajian budaya adalah kebudayaan. Konsep kebudayaan
adalah lingkuangan aktual dalam berbagai praktik, representasi, bahasa, adat
istiadat masyarakat tertentu, serta berbagai bentuk pemikiran yang berakar dan
membentuk kehidupan masyarakat. Dalam pandangan kajian budaya, bahasa
bukanlah media netral bagi pembentukan makna dan pengetahuan tentang
objek independen yang ada di luar bahasa tapi merupakan bagian utama dari
makna dan pengetahuna tersebut. Bahasa memberi makna pada objek material
dan praktik sosial ang dibeberkan sehingga kita dapat memikirkan nya dalam
konteks yang dibatasi oleh bahasa.
Memahami kebudayaan berarti
mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis dalam bahasa
sebagai suatu sistem signifikansi.
Dalam buku Cultural Studies:Theory and Practice (Barker,2009:200)
menjelaskan konsep-konsep penting dalam kajian budaya meliputi kebudayaan,
praktik pemaknaan, representasi, politik kultural, posisionalitas, materialisme
kultural, formasi sosial, kekuasaan, ideologi, hegemoni teks, identitas, wacana
dan pembentukan wacana.
2.3 Representasi
Representasi merpakan pusat permasalahan terbesar dalam kajian
budaya, yaitu bagaimana dunia ini dikontruksi dan disajikan secara sosial
kepada dan oleh diri kita. Unsur utama kajian budaya dapat dipahami sebagai
sebagai studi atas kebudayaan sebagai praktik signifikansi representasi.
Representasi menjelaskan suatu proses bahwa arti (meaning) diproduksi
dengan
menggunakan
bahasa
dan
dipertukarkan
oleh
antaranggota
kelompkmda;am sebuah kebudayaan. Bahasa merupakan praktik simbolik
dengan menggunakan berbagai konsep dan tanda
yang dibangun oleh
masyarakat pemakainya. Konstruksi makna dapat dibentuk oleh masyarakat
melalui bahasa sebagai sistem semiotik dan yang lebih luas sebagai sistem
wacana.
9
2.4 Kontruksi Kekuasaan
Konstruksi kekuasaaan adalah pikiran, gagasan, dan pandangan tentang
realitas budaya yang dikongkretisasi (peristiwa-sebagaimana-ia-dikisahkan),
bukanlah (dan memang tidak dimaksudkan sebagai) salinan lengkap dan murni
tentang realitas budaya Jawa (peristiwa-sebagaimana-ia-terjadi). Jadi, kontruksi
kekuasaan di sini adalah wujud realitas budaya dalam karya sastra
yang
mengacu pada konstruksi literer .
Hal tersebut menunjukkan bahwa karya sastra — baik puisi maupun
prosa fiksi adalah wacana sekaligus inskripsi yang selalu mengkonstruksikan
realitas budaya
yang mencerminkan dominasi kekuasaan berlandaskan
espisteme tertentu. Yang terkonstruksi di dalam karya sastra adalah realitas
nilai budaya tertentu sehingga episteme realitas nilai budaya dalam ideologi
kekuasaa hadir dalam teks sastra. Dikatakan demikian karena (1) sebagai
sistem lambang budaya, sastra bersangkutan dengan dunia hayatan, renungan,
ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan yang membentuk episteme makna
dan nilai tertentu dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu;dan (2)
sebagai sejarah mentalitas, sastra bersangkutan dengan gagasan, ideologi
kekuasaan, orientasi nilai, dan mitos;serta (3) sebagai wacana dalam kerangka
episteme tertentu, sastra selalu bersangkutan dengan konstruksi pengetahuan
budaya tertentu (Damono, 1984; 1993; Kleden, 1986). Hal ini mengimplikasikan bahwa sastra selalu terlekati nilai budaya tertentu karena keberadaan
dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya membuatnya selalu
terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu tak
terkecuali dalam hal mengkontruksi kekuasaan.
Berdasarkan hal tersebut sastra Indonesia dapat disebut sebagai sistem
lambang budaya bangsa dan masyarakat-bangsa Indonesia (bukan kerumunan
etnis semata-mata). Ia merupakan wacana sekaligus inskripsi yang menjadi
fakta mentalitas, fakta kesadaran kolektif budaya, dan atau fakta sosial dari
bangsa dan masyarakat-bangsa Indonesia. Secara niscaya ia berpangkal dan
berhulu pada realitas budaya Indonesia (bandingkan Teeuw, 1980). Di sini
karya sastra Indonesia menyiratkan episteme tertentu tentang realitas nilai
budaya dan ideologi di Indonesia. Dengan kata lain, karya sastra Indonesia
dapat dipandang sebagai wacana sekaligus inskripsi yang menjadi sejarah
mentalitas yang dikerangkai oleh episteme tentang realitas nilai budaya dari
bangsa dan masyarakat-bangsa Indonesia. Ia terikat oleh konteks dan proses
dialektika budaya Indonesia. Di sinilah tampil atau hadir hayatan, renungan,
10
ingatan, pikiran, gagasan, danideologi kekuasaan sebagai cara pandang tentang
konstruksi realitas budaya (di) Indonesia khususnya konstruksi realitas
kekuasaan (di) Indonesia dalam paradigma keindonesiaan (budaya Indonesia).
Konstruksi realitas nilai budaya yang mencakup aspek kekuasaan di
Indonesia dalam sastra Indonesia tersebut tampak dalam sejarah perkembangan
sastra Indonesia. Ini dapat disimak dalam teks sastra Indonesia, misalnya Salah
Asuhan, Layar Terkembang, Sitti Nurbaya, dan Belenggu. Keempat prosa fiksi
penting dalam sejarah sastra Indonesia ini merupakan wacana sekaligus
inskripsi yang menghadirkan kisah dan berita hayatan, renungan, ingatan,
pikiran, gagasan dan ideologi kekuasaan pengarang, dan pandangan tentang
pergulatan dan perjuangan mencari nilai budaya baru dalam konteks semangat
zaman, budaya bangsa, dan masyarakat Indonesia. Sampai sekarang, prosa
fiksi Indonesia tetap mengkonstruksikan pencarian identitas dan sosok nilai
budaya Indonesia dalam paradigma kekuasaan dan dominasi politik
keindonesiaan baik keindonesiaan masyarakat maupun keindonesiaan budaya
(bandingkan Kayam, 1991; 1992; Sastrowardoyo, 1989; Mohamad, 1993).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa wacana sastra Indonesia telah menjadi
konstruksi perubahan tata nilai budaya dan ideologi kekuasaan di Indonesia.
Hal
tersebut
mengimplikasikan
bahwa
sastra
Indonesia
mengkonstruksikan nilai budaya dan ideologi kekuasaan di Indonesia dalam
paradigma
keindonesiaan.
Mengingat
bangsa
dan
masyarakat-bangsa
Indonesia--tempat asal, berangkat, dan berkembang para sastrawan Indonesia-demikian majemuk budaya tradisi-etnisnya, tentulah sastra Indonesia
mengkonstruksikan hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan dan ideologi
kekuasaan, dan pandangan tentang beraneka ragam nilai budaya tradisi-etnis di
Indonesia (bandingkan Sastrowardoyo, 1989). Nilai budaya dari berbagai
tradisi-etnis di Indonesia tentulah dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan,
digagas,
dan
dipandang
oleh
sastrawan
Indonesia
untuk
kemudian
dikonstruksikan ke dalam wacana sastra Indonesia terutama teks prosa fiksi
Indonesia (simak Teeuw, 1980; 1994; Kuntowijoyo, 1987; 1994). Jadi, teks
sastra Indonesia terutama teks prosa fiksi Indonesia tentulah merupakan
wacana sekaligus inskripsi yang menjadi konstruksi nilai budaya dan ideologi
kekuasaan tradisi-etnis di Indonesia.
Salah satu budaya tradisi-etnis di Indonesia adalah budaya Jawa.
Sekarang, nilai-nilai budaya tradisi-etnis Jawa sedang bertransformasi
sedemikian hebat dan besar. Berbagai fenomena wacana sastra Indonesia
terbukti menunjukkan bahwa nilai budaya tradisi-etnis Jawa tampak
11
terkonstruksi dengan kekuasaan yang dominan dalam teks sastra Indonesia.
Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya), tetralogi Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca (Pramoedya Ananta Toer),
Kothbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo), Canting (Arswendo Atmowiloto),
Asmaradana (Goenawan Mohamad), Ki Blaka Suta Bla Bla (Darmanto
Jatman),
dan
Pengakuan
Pariyem
(Linus
Suryadi
A.G.),
misalnya,
mekonstruksikan transformasi kekuasaan dalam nilai budaya. Konstruksi nilai
budaya jawa ini terjadi karena banyak sastrawan Indonesia yang berangkat
dari dan dibesarkan dalam asuhan budaya tradisi-etnis Jawa serta berminat
pada fenomena budaya Jawa dan pola kekuasaan yang dianutnya.
Dengan demikian kontruksi konsep kekuasaan
pada nilai budaya
masyarakat jawa dipandang pada setiap level hubungan sosial. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Barker (2008:11) bahwa kekuasaan adalah perekat
yang
menyatukan
kehidupan
sosial,
kekuasaan
yang
menekan
dan
menempatkan sekelompok orang di bawah orang lain. Kajian budaya
menunjukkan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pinggiran,
pertama-tama karena soal kelas, ras, gender, kebangsaan, kelompok umur.
Etnis jawa dengan ideologi kekuasaan tecermin dalam konteks sosial politik
masyarakat Indonesia.
2.5 Teks dan Pembaca (Hermeneutika dan Interpretasi)
Makna yang dibaca kritikus dalam teks kultural tidak sama yang
diproduksi oleh audiens atau pembaca. Teks sebagai bentuk representasi
bersifat polisemis yang mengandung beragam kemungkinan makna yang harus
disadari oleh pembaca aktual yang memberi kehidupan pada kata-kata dan
citra-citra. Meski kita dapat menelaah cara kerja suatu teks, kita tidak dapat
hanya membacaproduksi mana audiens berdasarkan analisis tekstual. Makna
diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga momen
konsumsi juga momen produksi yang penuh makna. Interpretasi merupakan
proses yang unik. Interpretasi hadir sebagai langkah pemaknaan pembaca
terhadap teks yang sedang dikaji dengan menggayutkan tafsiran dalam teks dan
realita. Pemkanaan teks dan konteks menjadi sangat penting agar menghasilkan
dominasi pola pikir yang sempurna terhadap pemaknaan teks.
2.6 Karya Sastra Sebagai Dokumen Sosial Budaya
Dalam sosiologi sastra pembicaraan yang memfokuskan karya sastra
sebagai dokumen sosial budaya adalah model yang paling banyak dikenali.
12
Karya sastra sebagai dokumen sosial budaya mencatat kenyataan sosiobudaya
suatu masyarakat pada masa tertentu. Karya sastra tidak dilihat secara
keseluruhan. Kesatuan karya sastra sebagai kesemestaan sosial berlangsung
sepanjang sejarah. Tidak ada karya sastra yang sama sekali terlepas dari
kehidupan sosial, termasuk karya sastra yang paling absurd. Representasi karya
sastra mencakup 1) karya yang lebih melaporkan suatu peristiwa, 2) karya
yang berusaha menghubungkan suatu cerita dengan peristiwa tertentu, 3) karya
yang lebih memindahkan ceritanya dengan suatu peristiwa tertentu, 4) karya
yang lebih memberikan reaksi terhadap suatu keadaan sehingga penulisn ya
boleh menentukan sendiri arahnya, dan 5) katya ang dihasilkan melalui suatu
proses sehingga yang lahir adalah suatu peristiwa yang tak berhbubgan dengan
peristiwa yang menjadi sumber ceritanya.
2.7 Sosiologi sastra
Sosiologi sastra sebagai suatu ilmu
metodologi. Wellek dan Warren
memiliki sebuah teori dan
dalam Damono (1978:3) menyusun
klasifikasi sebagai berikut: 1) sosiologi pengarang yang memasalahkan status
sosial, ideology sosial, dasn pengarang yang menyangkut pengarang sebagai
penghasil sastra. 2) sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu
sendiri; apa yang tersirat dan apa yang menjadi tujuan dalam karya sastra. 3)
sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Wellek mengartikan sosialogi sastra hadir untuk masyarakat sebagai
aktualisasi dan pola pikir diri dengan melihat kompleksitas permasalahan di
masyarakat.
Wellek meyakini
bahwa sastra pengarang akan mampu
memberikan dampak perubahan dan paradigma berpikir mulai dari budaya
yang mencakup sosial, ekonomi, politik, bahkan ideologi.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra
adalah Marxisme. Kritikus-kritikus Marxis biasanya mendasarkan teorinya
pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan
Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi
historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar
dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan perombakan dalam
struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi
kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Kehidupan agama, intelektual,
dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni dan kesusastraan - merupakan
'ideologi-ideologi' dan 'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara
13
dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan
kelas dalam jamannya (Abrams, dalam Faruk 2012).
Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan
pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di
dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti
jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986:2425). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar bagi
kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana
penting dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme.
Ian Watt (1964:3000-313 dalam Damono 1978) menyusun klasifikasi
sosiologi sastra sebagai berikut : 1) konteks sosial pengarang yang mencakup
posisi sosial wartawan dalam masyarakat dan kaitannya degan masyarakat,
termasuk didalamnya faktor sosial yang mampu mempengaruhi diri pengarang
sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. 2) sastra
sebagai cermin masyarakat; cermin keadaan masyarakat, namun kata “cermin”
dapat diartikan lagi tidak mencerminkan kondisi masyarakat saat itu karena
keadaan sudah tidak sama dalam waktu proses penulisan karya tersebut. 3)
fungsi sosial sastra, sastra berkaitan dengan nilai sosial dan alat edukasi serta
hiburan bagi masyarakat.
Umur
Junus
(1986:3)
mengemukakan
bahwa
yang
menjadi
pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut : 1) karya
sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya, 2) penelitian mengenai
penghasilan dan pemasaran karya sastra, 3) penelitian tentang penerimaan
masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa
sebabnya, dan 4) pengaruh sosio budaya terhadap penciptaan karya sastra,
pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas.
Dengan demikian dapat disimpilkan bahsa sastra tidak terlepas dari
kehidupan masyarakat. Pengarang mengolah daya faktual menjadi sajian sastra
yang memberikan ideologi kepada pembaca. Rekap sosial budaya akan
terkejawantahkan dalam dunia sastra. Antara sastra dan msyarakat terjadi
hubungan kausalitas. Sastra adalah produk budaya dalam masyarakat.
2.8 Dari Mimetik ke Representasi
14
Konsep mimesis ala Aristoteles yang sering ditafsirkan secara sempit
(Luxemberg, 1986:18). Mimesis menampilkan yang universal dalam perbuatan
manusia lalu ditafsirkan seolah-olah seorang pengarang menciptakan tipe-tipe
sosial yang khas bagi suatu tempat atau kurun waktu tertentu. Ini terjadi pada
zaman Renaissance. Pada zaman tersebut “imitasi” terhadap suatu gaya hidup
tertentu dikaitkan dengan suatu gaya sastra tertentu (Luxemberg, 1986:18).
Misalnya, sebuah karya sastra tragedi dituntut ditampilkannya tokoh-tokoh
berkedudukan tinggi di dalam masyarakat, sedangkan komedi orang-orang dari
rakyat jelata (Luxemberg, 1986:18).
Teori mimesis yang mempunyai satu unsur yang sama, yaitu bahwa
perhatian diarahkan kepada hubungan antara gambar dan apa yang
digambarkan. Tolok ukur estetik pertama adalah sejauh mana gambar itu sesuai
dengan kenyataan, apakah kenyataan itu dunia ide, dunia yang universal atau
dunia yang khas, itu tidak begitu penting (Luxemberg, 1986:19).
Beberapa bahasan tersebut menunjukkan bahwa kausalitas terjadi
dalam ruang penulisan sastra. Sastra adalah pengejawantahan fakta dalam daya
pemikiran yang intuitif sedangkan fakta adalah dasar penyampaian ekspresi
ide dalam diri pengarang.
15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berada dalam naungan Kajian budaya (cultural studies)
yang memperlakukan budaya sebagai teks kehidupan dan tempat teks hidup.
Novel adalah teks budaya yang “mempermainkan bahasa” dengan kode
fiksionalnya. Di sisi lain, novel juga mempresentasikan konteks atau praktik
kehidupan. Teks dan praktik merekonstruksikan berbagai fenomena yang harus
diinterpretasikan, dianalisis, dbiandingkan, dan dideskripsikan oleh peneliti.
Sebagai penelitian teks, secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif eksploratif karena sesuai dengan karakteristik atau data atau objek
penelitian.
Penggunaan pendekatan wacana dan pendekatan realita juga diterapkan
dalam penelitian ini; menggunakan metode parallel reading. Pendekatan
wacana menekankan pada penelitian pustaka dan pendekatan realita
menekankan penelitian lapangan. Kajian
budaya
berhubungan dengan
permasalahan masyarakat kecil tepatnya kaum proletar yang menjadi
konsumen karya karya populer itu dengan cara produsi indudtrial yang
memproduksi karya-karya tersebut. Hal tersebut mengacu pada penerapan
kritik sastra struktural dan diskursif yang akan membuktikan sifat konstruktif
dari subjek (identitas) dan realitas, serta adanya kekuatan ekonomi politik
yang terlibat dalam kontruksi tersebut.
Data penelitian ini berupa teks novel yang diungkapkan dalam bentuk
kata-kata atau kalimat. Data ini bersifat permukaan atau simbolis yang analisis
tekstualnya secara satu arah. Data
atau objek penelitian ini bersifat
kontekstual. Peneliti memegang peran penting dalam menentukan kontruks
teks dan simpulannya. Dengan menggunakan analisis eksploratif dengan media
kritik pragmatik, masalah kekuasaan
tersebut akan dibandingkan dengan
konteks/praktik sehingga ditemukan
aspek pemasik dan pengawas norma
masyarakat, fenomena sosial budaya, ekonomi politik, serta pranata sosial.
3.2 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah cerpen yang berjuduk “Patung Tak
Bermuka” Karya Tjahyono Widarmanto yang mengangkat kontuksi kekuasaan
masyarakat Jawa dengan tema utama ekonomi politik.
3.3 Data Penelitian
16
Data penelitian ini merupakan fragmentasi atau penyeleksian ketat dari
data yang berkaitan dengan kekuasaan
dalam konsep citra konstruksi
kekuaaaan dari teks cerpen maupun konteks/praktik yang menyertainya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengmpulan data penelitian ini dilakukan dengan teknik dokumentasi.
Data yang dikumpulkan berasal dari sumber-sumber tertulis atau pustaka
berupa teks novel dan konteks/praktik yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan data
yang akurat pada penelitian ini. Tahapan pertama adalah membaca dan
memahami alur cerita teks novel dan kemudian menentukan topik yang akan
diteliti, kemudian peneliti mulai memilih, memilah, dan mengklasifikasikan
data yang dibutuhkan dalam penelitian. Setelah semua data yang dibutuhkan
terkumpul, penulis melakukan evaluasi atau pemeriksaan kembali terhadap
data-data tersebut.
Dalam tahapan pengkajian data, penulis mengawali dengan mengkaji
hal-hal yang menyiratkan adanya fakta-fakta tentang penanda kekuasaan
kemudian mengidentifikasi fakta-fakta tersebut dengan memberikan buktibukti yang relevan dengan teori. Dalam hal ini peneliti lebih menekankan pada
aspek citra kontruksi kekuasaan yang menjadi dasar penelitian dalam ranah
cultural studies yakni
(1) penanda kekuasaan dalam
cerpen, (2) pelaku
kekuasaan kekuasaan dalam cerpen, (3) sebab-sebab kekuasaan kekuasaan
dalam cerpen kekuasaan dalam cerpen, (4) efek kekuasaan, dan (5) sanksi
kekuasaan kekuasaan dalam cerpen.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menggunakan modifikasi lingkar hermeneutik
yang ditawarkan oleh Ricoucer (2078:152) diawali dengan perenggutan makna
teks untuk sementara, dilanjutkkan tahap validasi,komprehensi, dan mencari
kaitan antara teks dengan konteks/praktik dalam kehidupan.
Adapun Teknik analisis data tersebt dalam langkah-langkah deskriptifinterpretatifnya adalah sebagai berikut:
(1) memahami novel-novel secara struktural sebagai modal anaisis tematis.
Citra konstruksi kekuasaan yang yang menjadi dasar penelitian dalam
ranah cultural studies yakni (1) penanda kekuasaan dalam cerpen, (2)
pelaku kekuasaan kekuasaan dalam cerpen, (3) sebab-sebab kekuasaan
kekuasaan dalam cerpen kekuasaan dalam cerpen, (4) efek kekuasaan,
dan (5) sanksi kekuasaan kekuasaan dalam cerpen.
17
(2) menentukan untuk sementara unsu-unsur yang menjadi dasar penelitian
dalam ranah cultural studies yakni (1) penanda kekuasaan dalam cerpen,
(2) pelaku kekuasaan kekuasaan dalam
cerpen, (3) sebab-sebab
kekuasaan kekuasaan dalam cerpen kekuasaan dalam cerpen, (4) efek
kekuasaan, dan (5) sanksi kekuasaan kekuasaan dalam cerpen.
(3) melakukan validasi dan komprehensi unsur-unsur lingkungan yang
terkandung dalam teks cerpen secara timbal balik dan berulang sehingga
ditemukan hubungan antarunsur-unsurnya dengan konteks citra kontruksi
kekuasaan tokoh.
(4) menemukan hubungan timbal balik citra kontruksi kekuasaan mencakup
(1) penanda kekuasaan dalam cerpen, (2) pelaku kekuasaan kekuasaan
dalam
cerpen, (3) sebab-sebab
kekuasaan kekuasaan dalam
cerpen
kekuasaan dalam cerpen, (4) efek kekuasaan, dan (5) sanksi kekuasaan
kekuasaan dalam cerpen dengan dalam ranah sosial ekonomi dan politik
di kalangan masyarakat.
(5) menarik simpulan berdasarkan dengan konsep sastra yang berwawasan
culture studies dan mengkomparasikan dengan realita dalam ranah sosial
ekonomi dan politik di kalangan masyarakat.
3.6 Pemeriksaan Keabsahan (Data, Metode, Teori)
Menurut Lincoln & Guba (1985:300) beberapa cara dapat digunakan
untuk menguji kepercayaan penelitian, yaitu dilakukan baik secara formal
maupun informal dan secara terus-menerus.
Gambar 3.1 Uji Kepercayaan (Credibility) Data Penelitian Kualitatif
Uji kepercayaan (credibility) penelitian, yaitu: a) membaca secara tekun
berulang-ulang sumber data sehingga diperoleh data penelitian yang sahih
(tidak diragukan lagi keabsahannya) untuk mengungkap kedalaman, keluasan,
dan keajegan data, b) membaca secara cermat kata demi kata, frase demi frase,
kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragrafagar diperoleh makna yang
18
pasti, c) uji triangulasi. Trianggulasi yang dilakukan penulis dalam penelitian
sastra ini adalah dengan pemerhati lingkungan serta para akademisi kuliah
yaitu: a) diskusi secara rutin dengan teman sejawat (focus group discussion)
mahasiswa pascasarjana jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk membahas
setiap tahapan penelitian; c) analisis kasus negatif, yang dilakukan penulis
yaitu mencari data yang bertentangan dengan data yang telah penulis temukan.
Apabila penulis tidak menemukan lagi data yang berbeda atau bertentangan
dengan hasil temuan maka hasil temuan tersebut sudah dapat dipercaya; d)
member chek. Penulis selalu melakukan pengecekan informasi dan data terpilih
kepada cerita pendek dan novel yang dijadikan sumber data, secara bersamaan
(bolak-balik) sejak pengumpulan data, analisis data, dan penyimpulan.
Untuk menguji keteralihan (transferbility) dalam penelitian gerakan
sastraIndonesia, yang dilakukan penulis dengan teknik triangulasi konteks dan
waktu, serta teknik audit melalui membaca intensif dalam rentang waktu yang
panjang (dari tahun 2013-2015). Sedangkan untuk menguji kebergantungan
(dependenbility) penulis meminta kepada seorang ahli metode penelitian sastra
(selain promotor, kopromotor, dan penguji) untuk menilai apakah seluruh
rangkaian proses penelitian yang dilakukan penulis mulai dari penentuan fokus,
pengumpulan data, analisis data, sampai penyimpulan telah melalui langkahlangkah penelitian atau prosedur yang benar.
Paradigma naturalistik memandang realitas itu ganda, dalam arti
memiliki banyak perspektif, dan erat kaitannya dengan keterikatan pada
konteks dan waktu (Lincoln & Guba, 1985:300). Dalam hal ini, pengujian
kepastian (corfirmability) dilakukan dengan cara membicarakan hasil
penelitian ekokritik dengan orang yang tidak terlibat dan tidak berkepentingan
dalam penelitian ini, dengan tujuan agar hasil penelitian lebih objektif.
Corfirmability dilakukan secara bersamaan sejak penentuan fokus penelitian,
pengumpulan data, analisis data, dan penyimpulan dalam penelitian kualitatif
deskriptif , para peneliti dapat dinyatakan sebagai instrument utama (key
instrument).
Pemeriksaan keabsahan data menggunakan model trianggulasi waktu.
Data yang pertama dijaring pada tahap pertama diuji konsistensinya dengan
cara membaca kembali sumber data semua untuk mendapatkan data kedua.
Data yang diperoleh pada tahap kedua dibandingkan dengan data yang
diperoleh
pada pengumpulan data pertama.
Proses tersebut dilakukukan
beberapa kali secara berselang hingga didapatkan data yang sah.
19
Dalam hal ini pengujian dilakukan secara berulang-ulang dalam proses
melingkar secara metodologis sesuai dengan mengambil teori hermeunetik
dalam ranah ekokritik dan ecoimperialime (ekopolitik). Data yang tidak
konsisten disisihkan, atau ditambahkan agar validitasnya dapat dipertahankan.
Data yang konsisten akan bermuara pada fokus penelitian yaitu Citra
konstruksi kekuasaan yang yang menjadi dasar penelitian dalam ranah cultural
studies yakni (1) penanda kekuasaan dalam cerpen, (2) pelaku kekuasaan
kekuasaan dalam cerpen, (3) sebab-sebab kekuasaan kekuasaan dalam cerpen
kekuasaan dalam
cerpen, (4) efek kekuasaan, dan (5) sanksi kekuasaan
kekuasaan dalam cerpen. Prinsip ini sejalan dengan hermeuniotik dan resepsi
literer yang menekankan pemaknaan teks secara terpadu dan timbal balik
antara bagian-bagiannya beserta totalitas teks tersebut. Pada tahap awal peneliti
juga menggunakan resepsi para ahli sastra dalam memilih sumber data antara
lain, Prof Dr. Haris Supratna, Dosen Pascasarjana Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia di UNESA. Peneliti juga melakukan pengecekan keabsahan data
kepada mereka yang memiliki keahlian di bidang sastra.
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Penelitian ini pada dasarnya adalah eksplorasi pengetahuan mengenai dunia
fiksi cerpen dengan fenomena kekuasaan ekonomi politik yang berlaku dalam
masyarakat Jawa. Kekuasaan menjadi topik yang sangat dan masih relevan
dalam kehidupan bermasyarakat. Alih dan fungsi jabatan menjadi penting
dalam keberlangsungan hidup masyarakat. Akibat kekuasaan yang dimiliki
seseorang dalam komunitas akan menjadi single power dan menjadikan
seseorang selalu terobsesi untuk memberikan penekanan terhadapa keluarga
dan pihak lain yang dianggap akan bertentangan dengan niat penguasa tersebut.
Beberapa hal itulah yang tampak dalam cerpen citra kontruksi kekuasaan
masyarakat jawa yang mengacu pada (1) penanda kekuasaan dalam cerpen
“Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (2) pelaku kekuasaan
dalam cerpen“Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (3) sebabsebab
kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono
Widarmanto, (4) efek kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya
Tjahyono Widarmanto, dan (5) sanksi kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak
Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto. Kajian yang dikembangan untuk
menganalisis beberapa fokus penelitian tersebut adalah cultural studies atau
kajian budaya.
4.1 Penanda Kekuasaan dalam Cerpen “Patung Tak Bermuka” Karya
Tjahyono Widarmanto
Kehidupan suami istri masyarakat Jawa adalah identik dengan
bagaimana menghormati suami dengan penuh tanggung jawab. Sosok Bune di
hadapan Bapak adalah wanita yang seta dengan kehidupan dalam hal apapun.
Tidak ada dalam wajah sosok yang njawani
tersebut terlihat menentang,
malas, dan merasa capek dengan tokoh Bapak sebagai seorang suami dan
penguasa.
“Bu…Bu…Bune!” tiba-tiba laki-laki itu berteriak keras sambil
terbatuk. “Ada apa to Pak?”, terdengar lembut dai seorang wanita yang
muncul dari balik pintu…”tengkuk lelaki tua itu.”
“…Tidur, bagaimana aku bisa tidur kalau kedudukanku
terancam begini!” Jawab lelaki tua dengan nada tinggi, nyaris berteriak,
sambil memukulkan tinjunya di lengan kursi goyang itu.”
“Sudahlah Pakne, malam makin larut. Kita pikirkan hal itu
besok. Bapak kan kudu istirahat. Apalagi sejak tadi Bapak ngeses terus.
Bukankah kata Dokter Herman Bapak disuruh untuk ngurangi ngeses.”
Kata perempuan itu halus, sambil memijit –mijit.
21
Kutipan tersebut menunjukkan kontruksi kekuasaan pada perempuan
hanya berorientasi budaya spiritual, tradisi/tradisional, dan dalam batas-batas
masih mitis-ontologis meskipun mereka sudah hidup di tengah zaman yang
sedang mengalami perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan politis yang cukup
mendasar dan cepat. Perempuan sebagai istri dalam konteks masyarakat Jawa
harus memiliki sikap bijak dan cenderung mempertahankan satstus sosial
suami sebagai pimpinan dalam keluarga. Secara ideologi tokoh “Bune”
mencoba mengadakan perlawanan ide, namun nila dalam budaya jawa yang
akan mengkontruksi pembatasan kebebasan berkuasa.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa dalam cerpen ini masih mendukung dan berpihak kepada
konteks suami yag perlu dihormati.
Adapun citra kontruksi ideologi kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak
Bermuka” ini mencakup (1) menganggap rendah orang lain, (2) menggunakan
multistrategi melalui kolega dan KKN, dan (3) konsep Hasta Brata. Pertama,
pola pikir menanggap rendah orang lain adalah salah satu ciri bahwa dalam
konteks masyarakat telah terjadi budaya dominasi. Penekenan terhadap subjek
tertentu dan penguasaan dominasi jabatan kelas atas berdampak pada
kesenjangan terhadap kelas bawah. Stratifikasi sosial baik dari aspek ekonomi,
politik, pendidikan sampai pada usia digunakan sebagai cara pandang yang
memiliki kekuatan. Tampak pada kutipan berikut
“Anak-anak muda itu memang ndak tahu diri. Ndak mau
matur suwun. Bukankah selama ini, selama aku menjadi gubernur di
propinsi ini, aku selalu mendanai semua organisasi mereka. Aku beri
semua fasilitas yang mereka inginkan. Aku beri kemudahan atau apa
saja yang mereka mau. Tapi, kenapa mereka tiba-tiba membuat
gerakan menolak kembali pencalonanku menjadi gubernur. Sungguh
tak tahu berterima kasih,” cerocos mulut lelaki itu sampai berbusabusa.”dan celakanya Bune, Titis, ragilmu itu lho, kok ya ikutikutan,”keluh lelaki itu dengan kesal.
Kutipan tersebut menunjukkan adanya bangunan-bagunan gagasan dan
pencitraan yang selama ini dianggap telah dilakukan oleh tokoh Bapak.
Aktivitas sosial yang melingkupi tindakan selama menjadi gubernur dalam
perspektif culture studies adalah sebagai bentuk kekuasaan kultural yang
dimiliki. Dengan demikian citra kontruksi kekuasaan masyarakat Jawa dapat
ditandai dengan adanya anggapan bahwa dalam kelompok masyarakat harus
ada pamrih budi untuk keberlangsungan kehidupan bermasyarakat.
Studi realita menunjukkan hal itu terlihat sebagai fakta sosial yang
lintas batas. Masyarakat Jawa dengan sistem feodalnya masih mewarnai dunia
masyarakat sebagai pemicu terbentuknya dominasi penguasa dan yang
22
dikuasai. Intensitas pemahaman terhadap cerpen ini teruji dengan dasar
perhatian bahwa dalam masyarakat Jawa
dan umumnya adalah budaya
kolonial yang masih tumbuh di kalangan masyarakat.
Kedua adalah penggunaan multistrategi. Budaya ingin mempertahankan
kekuasaan
menimbulkan
dampak adanya penyusunan strategi untuk
mewujudkan keinginan pihak penguasa. Strategi itu dapat berupa bingkaian
aktivitas sosial
dalam berbagai bidang. Pelaku strategi adalah kelompok
terdekat dari pihak pemegang kekuasaa.
“…Baik, baik aku tidur Bune, tapi tolong panggil Susetyo
sekarang juga!” jawabnya masih sarat nada kesal.
“Tapi ini sudalam malam…?” jawab istrinya
“Sekarang Bune!” potong lelaki itu makin kalap
… tak lama kemudian, istrinya masuk ke ruangan besar itu
bersama lelaki muda yang mengenakan baju batik warna coklat
tua, ajudan Sang Mayor Jenderal.
Kutipan tersebut menunjukkan adanya praktik bentuk kekuasaan yang
dicitrakan dengan sikap memerintah dari atasan kepada bawahan tanpa
mengenal syarat. Hal tersebut erat dengan gerakan sosial dan gerakan politik,
para pekerja dalam institusi kultural, dan manajemen kultural. Tampak pula
institusi kultural menjadi media yang ampuh untuk mendapatkan jabatan.
“Dan Bune, interlekol juga anak sulungmu, Si Triadji Sunarwibowo
untuk seger pulang menemui Bapaknya. Ingat Bune, besok. Suruh
dia terbang dengan pesawat paling pagi,” perintahnya pada
istrinya….”
Praktik tersebut adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan secara
mudah. Institusi internal dalam realita dominan digunakan sebagai gerakan
laten untuk menguasai
kelompok tertentu dengan tujuan menyejahterakan
pribadi, kelompok, dan juga golongan terdekat sebagai mitra pelaku strategi
mendapatkan keuntungan berupa kenaikan status sosial di masyarakat.
“…inggih pak! Jawab mereka serentak.
“It sudah kewajiban kami sebagai putra Bapak. Sebagai putra
Bapak tentu saja kami akan membantu Bapak. “Saya sebagai Jaksa
akan menggunakan jabatan dan wibawa saya untuk menyukseskan
Bapak…”ujar Triadi Sunarwibowo, sang putra sulung angkat suara.
Usman Winoto, si menantu yang kolonel itu, mengangkat
tangannya berpendapat, “Saya sependapat dengan Mas Adji. Saya
akan gunakan pengaruh saya di mabes untuk mendukung pencalonan
Bapak.”
23
…tak kalah semangatnya Bagas Semedhi, putra ketiga,
melontarkan dukungannya. “Bapak tidak usah cemas. Saya total
mendukung Bapak. Akan saya siapkan dana berapapun Bapak
membutuhkan karena money politik masih merupakan jrus yang
ampuh untuk mendulang suara”.
Kompleksitas institusi internal dan eksternal banyak digunakan sebagai
celah aktivitas dan peran sosial yang dengan sendirinya akan menguntungkan
pihak-pihak tertentu. Cerpen ini adalah cerminan topik yang terjadi dalam
alam fakta. Hubungan kausalitas untuk mendapatkan kekuasaan dan
kesempatan untuk hidup lebih layak dapat dilaksaakan dengan mudah.
Ketiga adalah pelaksanaan Hasta Brata. Konsep ini berkaitan erat
dengan penggunaan multistrategi untuk menysun masyarakat yang sinergis.
Pencitraan penguasa yang baik perlu diberlakukan. Dlam hal ini pengertian
pencitraan sebagai simbol negatif adalah sebagai mitos para penguasa. Jika
mereka sebagai penguasa mampu mengayomi masyarakat maka tidak
diperlukan mitos hasta Brata. Tokoh Sadiroen dengan keinginan yang kuat
untuk mejadi seorang Gubernur akan meyakinkan masyarakat sebagai sosok
yang paling tepat untuk menempati jabatan Gubernur. Nama Yudho Kuntjara
memiliki makna Yudho adalah perang dan Kuntjara adalah bersinar.
Gerakan politik pencitraan dengan konsep Hasta Brata relevan sangat
faktual. Beberapa calon pengusa negeri pun menggunakan cara jitu menjelang
pemungutan suara. Masyarakat diperlihatkan wajah “klise” calon pemimpin
yang akan menurunkan cara dan budaya seperti mereka kepada generasi
berikutnya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
“… ya kita buat patung Bapak dengan gagah di pusat kota. Dan
semua orang akan berdecak kagum. Lalu di setiap kepala orang
akan muncul citra Bapak. Pemimpin dan prajurit yang tulen.”
“…maka terpilihlah sebuah foto untuk diwujudkan sebagai bentuk
patung: Sadiroen Yudho Kuntjara mengenakan baju seragam
mayor jenderalnya, lengkap dengan segala tanda jasa di bahu dan
dadanya, pedang dan tongkat komando.”
Fakta sosial yang membudaya di masyarakat sebagai bahan pencitraan
sangat bermunculan di masyarakat sebagaimana dalam cerpen ini. Penanda
kontruksi calon penguasa akan dimulai dengan sesuatu yang tidak dapat
dipertanggungjwabakan secara mutlak. Konsep pencitraan sejatinya harus
dimunculkan sebelum para penguasa ini
dalam perspektif kajian budaya
dikatakan mendapat simpati. Hal yangperlu dibenahi oleh kelompok pelaku
budaya adalah manajemen kultural.
24
Beberapa uraian mengenai praktik sosial yang menyediakan cara
untuk mebicarakan topik, aktivitas sosial atau arena institusional dalam
masyarakat haru s mempu mendidik asyarakat menjadi agen of change. Caracara tersebut dilakukan dalam bentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait
dengannya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Barker kekuasaamn
budaya adalah (1) arena interdisliner, (2) terkait dengan semua praktik dan (3)
berhubungan dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam
institusi kultural, dan manajemen kultural.
4.2 Pelaku Kekuasaan dalam Cerpen“Patung Tak Bermuka” Karya
Tjahyono Widarmanto
Cerpen
“Patung Tak Bermuka” Karya Tjahyono Widarmanto
menunjukkan hakekat kehidupan manusia yang meliputi tiga segi, yaitu yang
bersifat personal, sosial, dan relegius. Setiap sifat memiliki titik tolak yang
berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa sastra memiliki keterkaitan
dengan
fenomena dan institusi sosial. Aspek kekuasaan merupakan ciptaan realitas
sosial yang mangsu pada tercitpanya kesenjangan sosial. Realitas sosial dan
ketimpangan sosial digerakkan oleh pelaku kekuasaan.
Pelaku yang menciptakan adanya kekuasaan dalam cerpen ini adalah
(1) Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro, (2) Empat anak
Mayor
meliputi
sulung;Triadi Sunarwibowo adalah seorang jaksa di
kejaksaan tinggi pusat. Memiliki sifat dan watak seperti bapaknya; berani,
penuh perhitungan, cerdik, licin, pandai memanfaatkan situasi dan culas. (3)
Anak kedua, Prahayu Langen Anggraeni, seperti ibunya menganut keyakinan
bahwa perempuan haruslah nurut dan manut dengan suami. Ia beristrikan
seorang tentara yang dulu ajudan Bapaknya, Usman Winoto, berpangkat
kolonel di Mabes. Sebagai seorang ajudan dan menantu, tentu saja
kesetiaannya
pada
Mayor
Jenderal
Purnawirawan
Sadiroen
Yudho
Kuntjorotidak diragukan lagi. (4) Bagus Semedhi, anak ketiga. Profesinya
sebagai pengusaha dan direktur minyak negara. Dalam pikirannya hanyalah
25
laba dan uang. Keberanian berspekulasi dan kemampuannya melakukan lobilobi merupakan senajta ampuh untuk meraih karier.
Tokoh utama dalam cerpen, Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen
Yudho Kuntjoro, adalah citra kontruksi kekuasaan fudamental yang
mengilhami
masyarakat sekelilingnya memiliki budaya untuk saling
mendominasi dan memiliki rasa berkuasa.
“… “kalian sudah tahu bahwa jabatan Bapak sebagai untuk
periode ini akan berakhir. Untuk itu Bapak akan berencana dan
bertekad bulat untuk kembali mencalonkan diri menjadi gubernur
untuk periode empat tahun mendatang. Keputusan ini Bapak ambil,
karena Bapak sadar bahwa yang namanya pembangunan
merupakan sebuah proses berkelanjutan. Oleh karena itu
pembangunan yang Bapak lakukan harus dilanjutkan…Bisa kalian
bayangkan jika Gubernurnya bukan Bapak, orang baru, apalagi
yang muda-muda itu, bocah kemarin sore yang belum becus itu,
yang ndak pernah makan asam garam perjuangan untuk negeri ini.
Pastilah tujuan dari pembangnan ini tak akan tercapai. Akan putus
mata rantainya.”
Konteks pararel reading dalam ranah realita menunjukkan hal yang
terjadi di atas adalah sebuah fakta yang membudaya. Faktor pembentukny
adalah kelompok yang memiliki kepeningan dominan dan yang berkuasa untuk
menyejahterakan golongan penguasa. Tokoh-tokoh
penguasa yang sudah
disebut di atas sebagian dilukiskan berpandangan dunia kosmosentris,
integratif, holistis-totalistis, statis, siklis, spiritual, dan hierarkis, sedangkan
sebagian lagi dilukiskan berpandangan dunia lebih antroposentris, dinamis,
linier, material, dan egaliter, dan yang tak kalah penting adalah dalih memiliki
pemikiran sumbangan pemikiran untuk negara sebagai aasan untuk
memperkuat kekuasaan. Sebagai contoh, Triadi Sunarwibowo, Usman Winoto,
suami Prahayu Langen Anggraeni, dan
Bagus Semedhi, yang tergolong
keturunan priyayi penguasa dari generasi Sadiroen Yudha Kuntjara, masih
berpandangan dunia sosial politik akan terus menjadi bagian dari budaya
mendominasi kekuasaan untu saling menguasai peran dalam ranah aktivitas
sosial yang kosmosentris, integratif, spiritual, siklis, dan hierarkis.
4.3 Sebab-Sebab
Kekuasaan dalam Cerpen “Patung Tak Bermuka”
karya Tjahyono Widarmanto
Penyebab kekuasaan dalam suatu kelompok masyarakat ditinjau dari
aspek kajian budaya dapat berbentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait
dengannya. Barker merinci unsur yang harus ada dalam kajian pengertian
budaya adalah (1) arena interdisipliner, (2) terkait dengan semua praktik, (3)
bentuk kekuasaan yang dieksplorasi kajian budaya, dan (3) berhubungan
26
dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam institusi
kultural, dan manajemen kultural.
Pendapat Barker di atas dapat diterima apalagi dikaitkan dengan
konteks penyebab kekuasaan yang berhubungan dengan gerakan sosial dan
politik, para pekerja dalam institusi sosial dan manajemen kultural. Beberapa
penyebab kekuasaan dalam suatu komunitas adalah (1) sikap berambisi untuk
menekan dan menguasai pihak lain, (2) adanya dukungan dari sebagian besar
keluarga yang memiliki pengaruh di masayarakat dan (3) fakta klise
“perhitungan logis”.
Sikap berambisi untuk menekan dan menguasai pihak lain tampak pada
tokoh Sadiroen yang selalu mengendalikan setiap agenda kegiatan dalam
internal rumah tangga ataupun dalam kerangka politisasi massa. Alasan kedua
didukung oleh ketiga anaknya dari empat bersaudara. Anak pertama akan
berkiprah untuk citra kekuasaan dalam bidang hukum yang akan menutup
kasus Bapak dalam tindak korupsi sebagai bentuk pencitraan yang bagus.
“… saya sebagai jaksa akan menggunakan jabatan dan
wibawa saya untuk menyukseskan Bapak. Apalagi saya dengar
Bapak telah melontarkan isu tentang manipulasi penggunaan
pendidikan. Saya akan menutup semua permasalahan…“
Menantu kedua, Usman Winoto, sosok ini akan menunjukkan
kepedulian akan pencalonan Sadiroen untuk menjadi Gubernur yakni dengan
menggunakan pengaruh Mabes unk manghalai demonstra yang tidak
mendukung pencalonan Bapak.
“…saya akan gunakan pengaruh saya di Mabes untuk
manangkap para demonstran yang menolak pencalonan Bapak.
Saya juga akan mengkoordinasi demo-demo tandingan untuk
mendukung pencalonan Bapak. Banyak organisasi-organisasi
pemuda dan massa yang bisa saya gerakkan.”
Putra ketiga, Bagas Semedi telah melaksanakan ranah kajian budaya
menurut Barker mengacu pada konsep perwujudan (1) terkait dengan semua
praktik, (2) bentuk kekuasaan yang dieksplorasi kajian budaya adalah jabatan,
dan (3) berhubungan dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja
dalam institusi kultural, dan manajemen kultural. Tampak pada kutipan berikut.
“Bapak tidak usah cemas, saya total mendukung Bapak,
akan saya siapkan dana kucuran berapapun yang Bapak minta.
Money politik masih merupakan jurus yang ampuh untuk
mendulang suara.”
Bertolak dari unsur-unsur di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya
kekuasaan bersifat interdisipliner dan bertujuan untuk mengeksplorasi atau
27
menguraikan pembentukan dan pemakaian gugus peta makna dalam konteks
memperebutkan kekuasaan dalam pemilihan Gubenur.
Dengan kata lain
budaya kekuasaan untuk saling menunjukkan kekuatan adalah proses
pembentukan wacana yang berkaitan dengan kebudayaan dan dikelola dengan
cara tertentu yang terkait dengan isu kekuasaan dalam praktik pemaknaan
dalam kehidupan manusia (Barker 2009:36)
4.4. Efek kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya
Tjahyono Widarmanto
Budaya kekuasaan untuk saling menunjukkan kekuatan adalah proses
pembentukan wacana yang berkaitan dengan kebudayaan dan dikelola dengan
cara tertentu yang terkait dengan isu kekuasaan dalam praktik pemaknaan
dalam kehidupan manusia memiliki efek. Beberapa efek atau dampak tersebut
adalah (1) memberikan penekanan kepada orang lain , (2) perempuan Jawa
yang manut dengan kehendak dan pemikiran lelaki, (3) Pertolongan dan usaha
yang telah dilakukan kepada orang lain adalah pamrih, serta (4) membentuk
opini publik atau usaha sentralisasi tokoh.
Pertama adalah sikap memberikan penekanan kepada orang lain.
Budaya perilaku tersebut dimiliki oleh Sadiroen dalam memberlakukan istri,
komandan, dan beberapa putra. Tokoh Bune dengan segala upaya menciptakan
prilaku harmonis dalam kehidupan rumah tangga dengan cara mendukung
setiap ketentuan yang berlaku. Pemberian tekanan Sadiroen dari perspektif
budaya tampak pada kultur pemaksaan.
“…Mbok
jangan diam aja to Bune, Beri aku solusi
menghadapi masalah ini” Pinta lelaki itu,
… “Apa, Bune, Mundur! Itu usul gila! Apa Bune gak malu
nanti, kalau tiap-tiap orang-orang di pasar, di kantor-kantor akan
ngrasani kalau aku, aku Bune, Mayor Jenderal Sadiroen Yudha
Kuntjara, tinggal glanggang colong playu, mundur. Kalah dengan
mereka-mereka, anak kemaren sore itu. Tidak, Bune! Tidak! Jaab
lelaki itu meradang.
Tokoh Bune berada dalam posisi yang harus tunduk pada penekanan
suami. Pola kekuasaan dalam praktik pemaknaan dalam kehidupan manusia
terjadi dalam diri Sadiroen dan istri. Pola tersebut beimbasa pada cara didik
Bune terhadap putri perempuannya. Efek kekuasaan tersebut
berdampak
pada budaya jawa bahwa perempuan harus memiliki sikap dan perilaku
mengikuti dan menerima kehendak suami. Tampak pada kutipan berikut.
“Anak keduanya, Prahayu langen Anggraeni, seperti
ibunya menganut keyakinan bahwa perempuan haruslah nurut dan
28
manut pda suami. Suami bagi mereka adalah dewa yang
ngejawantah, yang tak bleh dibantah. Apa kata suami adalah yang
terbaik baginya….”
Pemikiran dan pandangan tersebut akan menumbuhsuburkan perilaku
penekanan kepada pihak perempuan dalam konteks kekuasaan. Perempuan
hampir tidak menjadi subjek penguasa. Perempuan menyumbangkan
pemaknaan gugus peta makna bahwa dalam konteks masyarakat hanya peran
domestik yang dinggulkan dan ditempatkan skala tertinggi. Pemaknaan taks
bagi pembaca juga akan melahirkan representasi budaya jawa tidak mampu
menggeser pola kehidupan moderen.
Selain itu, Pertolongan dan usaha yang telah dilakukan kepada orang
lain adalah pamrih dapat menjadikan efek kekuasaan. Citra kekuasaan akan
menjadikan seseorang atau kelompok yang berkuasa dalam setiap aktivitas
sosial memiliki asumsi aktivitas dengan pamrih. Kekuasaan dapat terbentuk
karena adanya ketimpangan penguasa dengan rakyat biasa. Kompleksitas
proses kekuasaan akan berlangsung dalam pemaknaan konteks sosial yang
lebih luas. Hal tersebut akan mengakibatkan adanya dominasi pihak penguasa
yang akan menyebabkan semua kebijakan berpihak pada kepentingan
golongan.
Keputusan ini Bapak ambil, karena Bapak sadar bahwa
yang namanya pembangunan merupakan sebuah proses
berkelanjutan. Oleh karena itu pembangunan yang Bapak lakukan
harus dilanjutkan…Bisa kalian bayangkan jika Gubernurnya bukan
Bapak, orang baru, apalagi yang muda-muda itu, bocah kemarin
sore yang belum becus itu, yang ndak pernah makan asam garam
perjuangan untuk negeri ini. Pastilah tujuan dari pembangnan ini
tak akan tercapai. Akan putus mata rantainya.”
Efek kekuasaan yang lain adalah keinginan untuk membentuk opini
publik atau usaha sentralisasi tokoh. Dominasi tokoh dapat dibentuk dengan
bottom up. Hal tersebut harus dilakukan karena dengan adanya pemusatan
publik figur adalah strategi tuntuk mendekatkan masyarakat pada pilihannya.
Jika ditarik pada realita, konsep sentralisasi tokoh
telah lama diterapkan
dengan barbagai strategi. Pemusatan publik figur sebagai usaha pengenalan
konkret sosok pemimpin yang akan berkuasa. Strategi kelompok Sadiroen
ingin memfokuskan pada konsep diri tokoh yang berjasa karena dianggap
telah berhasil dalam membesarkan masyarakat.
“…dari ketulusan dan cinta yang paling dasar, akan saya
persembahkan uat kota ini, sesuatu yang bisa mengingatkan kita
tentang hakekat kepemimpinan.dalam kitab Ramayana ada sebuah
adegan bagaimana Rama menasehati adiknya Barata tentang laku
kepemimpinan, bagaimana menjadi pemimpin yang baik, yang
29
disebut Hasta Brata atau delapan citra kepemimpinan, bagaimana
menjadi pemimpin yang baik yang disebut Hasta Brata…Hasta Brata
itu, akan saya persembahkan dalam satu wujud. Wujud nyata, yang
menggambarkan citra pemimpin yang kita rindukan.”
Sentralisasi tokoh Sadiroen dilakukan dengan mengambil konsep
“Hasta Brata” dalam cerita Ramayana. Efek kekuasaan ini dilakukan agar
berjalan dalam jangka waktu yang lama. Masyarakat akan menilai kinerja
pemimpin sesuai dengan aktivitas sosial dalam manajemen interdispliner yang
seimbang. Namun karena kekuasaan itu mengambil faktor dominasi sosial dan
politik maka isi hasta brata ini hanya digunakan sebagai sebuah strategi yang
tidak perlu dimaknai secara total oleh Sadiroen. Demikian pula dalam konteks
masyarakat berpolitik, penerapan srategi sentraliasi tokoh sangat bervariasi
dengan ratu tujuan yakni membetuk opini publik dengan potensi natural dan
potensial,
4.5 Sanksi kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya
Tjahyono Widarmanto
Kekuasaan yang mangalami kesenjangan akan menimbulkan sebuah
permasalahan. Permasalahan sosial dalam cerpen “Patung Tak Bermuka “
dapat dianalisis pemberian solusinya.
Adanya sanksi moral menunjukan
bahwa kontrol positif untuk menjawab permasalahan adalah (1) adanya sanksi
kekuasaan dengan status tidak ada kewibawaan tokoh Purnawirawan Sadiroen
Yudho Kuntjoro
dalam keluarga terutama anak, dan (2) adanya sanksi
penghargaan tidak berterimanya tokoh Sadiroen di kalangan masyarakat.
Pertama, tidak ada kewibawaan tokoh Purnawirawan Sadiroen Yudho
Kuntjoro dalam keluarga terutama anak. Di antara empat putra-putri Sadiroen,
putri keempat, ragil, Titis Kinanti Pembayun, perempuan cerdas, kreatif, kritis,
dan keras kepala seperti Bapaknya, mahasiswi sospol universitas ternama yang
selalu
menentang
keinginan
dan
keputusan
Sadiroen.
Hal
tersebut
menimbulkan pemaknaan bahwa masyarakat disajikan kontorl positif pada
tokoh yang mempu menghadirkan progresivitas.
Perubahan paradigma
berpikir dapat terlihat dari sikap tokoh yang selalu menentang orang tua karena
keputusan yang diambil tidak tepat.
Ketidakhadiran tokoh Titis dalam koalisi internal keluarga Sadiroen
adalah bukti bahwa Titis menggunakan daya kritisnya untuk menyampaikan
ketidaksetujuan atas keputsan Sadiroen untuk mencalonkan lagi. Sanksi tidak
30
dihargai oleh anak merupakan sanksi kekuasaan yang harus diterima
tokoh.Titis adalah perwakilan pemberi sanksi yang juga mencerminkan bahwa
dalam konteks masyarakat yang multikultur bahwa perbedaan tersebut ada.
Namun dalam cerita ini sanksi
hanya berhenti pada tataran tidak ada
pendukungan terhadap keputusan yang diambil Sadiroen.
“Terima kasih, sejak semula saya menduga kalian akan
berpihak pada Bapak. Walau Bapak tahu ada diantara putra-putri
Bapak yang berbeda pendapat dengan Bapak,” Kata Sang Mayor
Jenderal, sambil bola matanya melirik ke kiri ke kanan dengan
wajah aak berang, mencari anak paling muda, yang rupa-rupanya
tak hadir dalam pertemuan penting itu.”
Adapun sanksi kekuasaan yang lain adalah tidak berterimanya tokoh
Sadiroen di kalangan masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya janji
Sadiroen yang ingin menjadi pemimpin yang mengemban konsep “Hasta
Brata”.
“…tiba-tiba sorak sorai berhenti. Semua orang ternganga menatap
kelambu yang tersibak itu. Tampak sebuah patung, sosok gagah yang
mengenakan seragam militer lengkap dengan tanda jasa di bahu dan dada,
dengan pedang tongkat komando, namun tak bermuka. Ya, patung itu tak
memiliki mata, hidung, mulut, bahkan tak bertelinga.”
“Dan, brukk! Tubuh tambn Sadiroen Yudha Kunjtara ambruk menimpa
patung itu.”
Kutipan ersebut menunjukkan adany sanksi yang diberikan oleh
masyrakat yakni tidak berterimanya Sadiroen sebagai Purnawirawan. Akhirnya
“Patung Tak Bermuka” merupakan simbol bahwa perubahan pemimpin itu
harus ditata ulang mengenai kompetensi layak atau tidak layknya seorang
pemimpin bangsa. Era kepemimpinan yang akan datang masih dapat dimaknai
sebagai sebuah pencarian pemimpin yang sempurna
pemikirannya. Tidak
sekadar memiliki keinginan untuk memimpin dan rajin dalam kontaks aktivitas
sosial. Pemaknaan dalam dunia teks harus dapat merepresentasikan sosok
pemimpin ideal dalam ranah konkret.
31
BAB V
PENUTUP
Citra Kontruksi Kekuasaan Masyarakat Jawa Dalam Cerpen “Patung
Tak Bermuka” Karya Tjahyono Widarmanto dengan fokus masalah fokus
studi kajian budaya atau cultural studies (CS) ini adalah pada aspek relasi
budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya masyarakat dapat
disimpulkan sebagai berikut.
a. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada penanda
kekuasaan dalam
cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono
Widarmanto terlihat dalam
(1) menganggap rendah orang lain, (2)
menggunakan multistrategi melalui kolega dan KKN, dan (3) konsep
Hasta Brata.
b. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada pelaku
kekuasaan dalam cerpen“Patung Tak
Bermuka” karya Tjahyono
Widarmanto terdeskripsi dalam Pelaku yang menciptakan adanya
kekuasaan dalam cerpen ini adalah (1) Mayor Jenderal Purnawirawan
Sadiroen Yudho Kuntjoro, (2) Empat anak Mayor meliputi sulung;Triadi
Sunarwibowo adalah seorang jaksa di kejaksaan tinggi pusat. Memiliki
sifat dan watak seperti bapaknya; berani, penuh perhitungan, cerdik, licin,
pandai memanfaatkan situasi dan culas. (3) Anak kedua, Prahayu Langen
Anggraeni, seperti ibunya menganut keyakinan bahwa perempuan haruslah
32
nurut dan manut dengan suami. Ia beristrikan seorang tentara yang dulu
ajudan Bapaknya, Usman Winoto, berpangkat kolonel di Mabes. Sebagai
seorang ajudan dan menantu, tentu saja kesetiaannya pada Mayor Jenderal
Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjorotidak diragukan lagi. (4) Bagus
Semedhi, anak ketiga. Profesinya sebagai pengusaha dan direktur minyak
negara.
Dalam pikirannya hanyalah
laba dan uang. Keberanian
berspekulasi dan kemampuannya melakukan lobi-lobi merupakan senajta
ampuh untuk meraih karier.
c. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada sebabsebab kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono
Widarmanto terdeskripsi dalam adalah
(1) sikap berambisi
untuk
menekan dan menguasai pihak lain, (2) adanya dukungan dari sebagian
besar keluarga yang memiliki pengaruh di masayarakat dan (3) fakta klise
“perhitungan logis”.
d. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada efek
kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono
Widarmanto terdeskripsi dalam adalah (1) memberikan penekanan kepada
orang lain , (2) perempuan Jawa yang manut dengan kehendak dan
pemikiran lelaki, (3) Pertolongan dan usaha yang telah dilakukan kepada
orang lain adalah pamrih, serta (4) membentuk opini publik atau usaha
sentralisasi tokoh.
e. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada sanksi
kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono
Widarmanto terdeskripsi dalam (1) adanya sanksi kekuasaan
dengan
status tidak ada kewibawaan tokoh dalam keluarga terutama anak, dan (2)
adanya sanksi penghargaan tidak berterimanya tokoh Sadiroen
di
kalangan masyarakat
33
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies (penerjemah Nurhadi). Yogyakarta :
Kreasi Wacana
Barkers, Chris. 2000. Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage
Publications
Cerpen “Patung tak Bermuka” karya tjahyono widarmanto
Damono, Sapardi.1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa-Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra, Persoalan, Teori dan Metode. Kuala
Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta:Tiara
Wacana.
Lincoln, Yvona dan Egon G. Guba. 1985. Naturaliistic Inquiry. Beverly
Hills: Sage Publications.
Luxembrug, Jan Van dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick
Hartoko. 1986. Jakarta PT Gramedia.
Ricoucer, Paul. 1978. The Rule of Methapor. Toronto ( terjemahan
edisi1975 (X)
Storey, Jhon. 2008. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop
(TerjemhanPenerjemah Layli Rahmawati). Yogyakarta:Jalasutra.
Sumardjo, Yakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta:Nur
Cahya.
Teeuw. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya
Widarmanto, Tjahyono. 2010. Patung Tak Bermuka. Ngawi : Ilalang
34
Download