ABSTRAK CITRA KONTRUKSI KEKUASAAN MASYARAKAT JAWA DALAM CERPEN “PATUNG TAK BERMUKA” KARYA TJAHYONO WIDARMANTO Oleh Umi Nurhidayati, S.Pd. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa karya sastra selalu mentransformasikan kehidupan. Lucian Godman menyebutnya sebagai fakta kemanusiaan sekaligus fakta cultural. Sebagai fakta kemanusiaan dan fakta cultural, maka kesusastraan selalu memproyeksikan hidup, kehidupan, manusia, dan kemanusiaan. Dipandang dari culutran studies, salah satu persoalan besar dalam kehidupan adalah usaha pemenuhan keinginan manusia. Cerpen ini mekonstruksikan citra kekuasaan pada masyarakat Jawa. Berdasarkan pengkajian atas cerpen “Patung Tak Bermuka” diketahui bahwa keinginan menguasai dan mendominasi antarmasyarakat adalah sebuah kultur pada masayarakat Jawa. Hal tersebut tekonstruksi di dalamnya meliputi pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan yang dalam analisis diperlakukan sebagai bentuk sintomisasi terhadap kekuasaan masyarakat Jawa, citra konstruksi dari subjek dan realitas serta adanya kekuatan ekonomi politik yang terlibat dalam konstruksi tersebut. Kata kunci : cultural sutdies, kekuasaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahun tujuh puluhan menjadi era yang amat penting bagi kesusasteraan Indonesia karena pada masa itu terjadi berbagai macam pendobrakan dalam segala aspeknya. Para sastrawan melakukan berbagai eksperimentasi, seperti yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kembali ke akar salah salah satu bagian dari eksplorasi yang dilakukan, seperti pada tema, gaya berbahasa dan teknik bercerita. Perkembangan karya sastra tahun tujuh pulhan telah merambah ke dunia politik sosial dalam melantangkan ketidakadilan dalam bentuk karya puisi, prosa, dan drama. Melihat beberapa karya WS Rendra, Goenawan Mohamad adalah representasi realitas sosial yang mengarah pada permasalahan politik sosial. Dalam pandangan realisme sosial, Marx dan Lennin (dalam Luxemburg 1986:24) menyatakan bahwa susunan masyarakat bawah dalam bidang ekonomi akan menentukan kehidupan sosial, politik intelektual, dan kultural bangunan atas. Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus menerus, daya kekuatan di dalamnya sangat profresif menuju masyarakat ideal tanpa kelas. Evolusi tersebut berjalan dengan tersendat-sendat. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas yang saling bermusuhan. Terlihat bagaimana pertentangan antra kaum borjuis dengan kaum proletar. Dalam hal tersebut perubahan yang terjadi pada kelas bawah akan mengubah kelas atas. Realitas sosial tersebut juga tampak di tahun tujuh puluhan dalam karya drama. Arifin C Noer yang tidak lagi mementingkan adanya pentas dengan dekorasi yang indah sehingga pentas yang terasa tanpa dekor membawa kekaburan makna antara realitas dan imajinasi. Perubahan yang lebih radikal dilakukan oleh Putu Wijaya yang menambahkan dimensi lain pada dramanya yang berjudul “Anu”. Dramanya seakan dikuasai oleh dunia yang tidak rasional (Umar Junus, 1986:51) Karya sastra yang dianggap mewakili periode tahun tujuh puluhan antara lain, Merahnya Merah (Iwan Simatupang, 1968), Kerng (Iwan Simatupang, 1972), Ziarah (Iwan Simatupang, 1969), Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (A.A Navis, 1970), Telegram (Putu Wijaya, 1972), Stasiun (Putu Wijaya, 1975), dan karya sastra novel lain. Novel-novel Indonesia tahun tujuh puluhan banyak menggambarkan pengalaman kegelisahan, baik berupa kegelisahan sosial 2 politik, batin, dan rumah tanggaa. Gambaran sosial yang dibawa pengarang tersebut bertujuan untuk perubahan kondisi sosial politik yang masih dalam gerak perubahan (Sumardjo, 1982). Gambaran tersebut sejalan dengan pemikiran Lenin mengenai realisme sosial bahwa terdapat hubungan dialektik antara sastra dan kenyataan. Sastra dianggap menyajikan suatu tafsiran yang tepat mengenai hubungan-hubungan di dalam masyarakat, begitu pula sastra juga mendampingi masyarakat untuk menjadi lebih baik. Namun demikian, seperti halnya ciri khas sastra mutakhir, kegelisahan tersebut disusun sedemikian rupa sehingga tidak menampakkan kesan politis (Heriyanto, dalam Luxembrug 1986: 170). Kecenderungan novel tahun tujuh puluhan , pengarang lebih mempersoalkan bagaimana menyampaikan sesuatu lebih penting dari persoalan ketersampaian suatu pesan kepada pembaca. Persoalan dalam novel yang kompleks mencakup persoalan politik dan kuasa, perbedaan nilai moral dan kehidupan, penilaian pribadi dan sosial tetapi berbagai konflik yang saling berkaitan dan membentuk suatu kompleks kekacauan yang tidak jelas alur ceritanya. Sebagai produk budaya, karya sastra merupakan teks yang tidak dapat dilepaskan dari praktik kehidupan berbudaya. Karya sastra menyuguhkan wacana sejarah kehidupan, terilhami budaya lampau, teraktualisasi pada masa kini, serta menawarkan inspirasi yang akan datang. Aspek waktu dan situasi menempatkan karya sastra sebagai produk budaya yang mengikuti dan memiliki kemungkinan mendahului zaman. Karya sastra berada dalam pengaruh dan sekaligus berpotensi mempengaruhi perjalanan praktik budaya. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan budaya. Masa lampau, masa kini, dan masa mendatang berada dalam proses tawar menawar untuk representasi sebuah identitas. Tema-tema yang tertentu yang diproduksi karya sastra, seperti korupsi, tindak kriminal adalah bagian dari ketegangan identitas budaya. Identitas tersebut diproduksi, disodorkan, serta diatur hingga representasi kembali pada identitas sirkuit budaya. Karya sastra merupakan konstruksi yang rumit dan memerlukan perhatian saksama. Sulit untuk mengajukan jawaban tunggal terhadap pertanyaan bagaimana sastra dapat memberi sumbangan terhadap pemahaman masalah-masalah penting yang filosofis, melainkan menuntut jawaban yang bersifat plural. Melalui karya sastra manusia berpeluang untuk melakukan objektifikasi penghayatannya yang subjektif. Karya sastra bagi pengarang adalah sarana untuk mengungkapkan berbagai permasalahan dalam 3 kehidupan, di samping fungsi lainya. Semakin kompleks permasalahan kehidupan, maka semakin kompleks pula fungsi dan muatan karya sastra. 1.2 Fokus penelitian Berpijak pada fokus studi kajian budaya atau cultural studies (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya masyarakat. Penelitian dalam cerpen ini mengarah citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada (1) penanda kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (2) pelaku kekuasaan dalam cerpen“Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (3) sebab-sebab kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (4) efek kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, dan (5) sanksi kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto 1.3 Tujuan Penulisan Studi yang menggunakan pendekatan cultural studies ini bertujuan memberikan alternatif kajian terhadap karya sastra yang dilihat sebagai produk budaya terhadap kekuasaan. Pendekatan ini membuka peluang yang lebih luas kepada kritikus sastra untuk menelaah konsep cultural studies ke dalam (1) penanda kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (2) pelaku kekuasaan dalam cerpen“Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (3) sebab-sebab kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (4) efek kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, dan (5) sanksi kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto 1.4 Manfaat Teoritis 1. mengukuhkan cultural studies sebagai displin yang relativf baru dalam perkembagan ilmu pengetauan 2. membagun sinergi antara kajian budaya dengan kajian sastra 3. menghasilkan temuan, kaidah, dn implikasi teoretis yang berkaitan dengan cultural studies dalam cerpen Indonesia, khususnya dalam konsep kesenjangan ekonomi politik 4. juga diharapkan dapat dirumuskan model penelitian interdisipliner dalam berbagai kemungkinan pada waktu selanjutnya, dan 5. menerapkan parallel reading antara teksastra ( tema ekonomi sosial politik) dan cultural studies (teks nonsastra). 4 1.5 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis dalam kehidupan nyata terkait dengan masalah sosial ekonomi politik dan budaya di Indonesia. Berdasarkan penelitian ini diharapkan dapat: 1. menimbulkan kesadaran (awareness) ekonomi politik terhadap persoalan sosial dan budaya bagi generasi muda dengan mengggunakan sastra sebagai medium. 2. isi cerpen secara sosiologis adalah representasi kehidupan masyarakat. 3. memberi inspirasi dan dorongan agar pembelajaran sastra juga memiliki kepedulian terhadap isu-isu actual sebagai realisasi pendidikan berkeadilan dan pendidikan karakter. 4. sebagai konsekuensi, penerbitan dan pengadaan cerpen-cerpen yang berkaitan dengan tema sosial ekonomi politik dan budaya diharapkan dapat disebarluaskan ke masyarakat dan institusi pendidikan sebagai sarana pembelajaran 5. sebagai inspirasi rekonstruksi berpikir antara sosial ekonomi politik dan budaya dan cultural studies 1.6 Definisi Istilah a. Pencitraan Pencitraan adalah wacana dan inskripsi yang menjadi sejarah mentalitas dalam kerangka espisteme sebagai tampilan hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya tertentu. Oleh karena itu, karya sastra selalu menghadirkan kisah dan berita tentang konstruksi realitas budaya yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, digagas, dan dipandang oleh sastrawan. b. Kontruksi Kekuasaaan Kontruksi kekuasaan adalah paradigma yang menyatukan kehidupan sosial, kekuasaan yang menekan dan menempatkan sekelompok orang di bawah orang lain. Kajian budaya menunjukkan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pinggiran, pertama-tama karena soal kelas, ras, gender, kebangsaan, kelompok umur. Etnis jawa dengan ideologi kekuasaan tecermin dalam konteks sosial politik masyarakat Indonesia yang dominan menjadi tema dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto. 5 c. Cultural Studies Cultural studies (kajian budaya) adalah studi tentang ilmu budaya sebagai pemaknaan masyarakat terhadap parktik kehidupan yang mempelajari produksi, distribusi, pertukaran, dan penerimaan pemaknaan secara tekstual. Dengan demikian kajian penelitian interdisipliner yang mengeksplorasi atau menguraikan pembentukan dan pemakaian gugus peta makna. Kajian budaya adalah proses pembentukan wacana yang berkaitan dengan kebudayaan dan dikelola dengan cara tertentu yang terkait dengan isu kekuasaan dalam praktik pemaknaan dalam kehidupan manusia 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Cultural Studies (Kajian Budaya) Kajian budaya atau cultural studies adalah disiplin ilmu baru yang memiliki konsep dan metodologi tersendiri sedangkan studi tentang budaya adalah studi tentang kebudayaan yang berlaku secara umum dan dilakukan oleh berbagai disiplin akademik yang telah ada. Kajian budaya memberikan pengertian budaya sebagai “teks” dan praktik hidup sehari-hari (Storey, 2008:2). Budaya adalah kumpulan praktik sosial yang melaluinya makna diproduksi, disirkulasikan, dan dipertukarkan. Lebih kompleks Stuart Hall memberikan pengertian budaya adalah lingkungan aktual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa, dan adat istiadat masyarakat tertentu. Juga berbagai bentuk akal sehat yang saling kontradiktif yang berakar dan membantu membentuk dalam kehidupa rang banyak. (Barker, 2009:8). Adapun kajian budaya dimaknai sebagai studi sosial yang mempelajari produksi, distribusi, pertukaran, dan penerimaan pemaknaan secara tekstual. Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka (Barker, 2000: 50-55). Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya’ sebagai keseluruhan cara hidup. Kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu, serta cara pengorganisasiannya. Jika dibandingkan dengan pendapat John Storey, konsep budaya lebih diartikan sebagai secara politis ketimbang estetis. Dan Storey beranggapan ‘budaya’ yang dipakai dalam CS ini bukanlah konsep budaya seperti yang didefinisikan dalam kajian lain sebagai objek keadiluhungan estetis (‘seni tinggi’) atau sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spritual, 7 melainkan budaya sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari (Storey, 2008: 2). Dalam hal ini nampaknya Storey setuju dengan definisi ‘budaya’ menurut Raymonds Williams, lain halnya dengan Stuart Hall yang lebih menekankan ‘budaya’ pada ranah politik. To say that two people belong to the same culture is to say that they interpret the world in roughly the same ways and can express themselves, their thoughts and feelings about the world, in ways which will be understood by each other. Thus culture depends on its participants interpreting meaningfully what is happening around them, and `making sense’ of the world, in broadly similar ways.(Hall, 1997: 2) Menurut Bennet istilah culture digunakan sebagai payung istilah (umbrella term) yang merujuk pada semua aktivitas dan praktek-praktek yang menghasilkan pemahaman (sense) atau makna (meaning). Baginya budaya berarti : "Kebiasaan dan ritual yang mengatur dan menetukan hubungan sosial kita berdasarkan kehidupan sehari-hari sebagaimana halnya dengan teks-teks tersebut-sastra, musik, televisi, dan film-dan melalui kebiasaan serta ritual tersebut dunia sosial dan natural ditampilkan kembali atau ditandai-dimaknaidengan cara tertentu yang sesuai dengan konvensi tertentu.”(Bennet 1980: 82-30) Kajian budaya, segala aktivitas dianggap sebagai “teks” sehingga segala objek yang dijadikan kajian dapat dipahami dan dianalisis sebagaimana kita membaca teks. Yang berbeda adalah bagaimana membacanya sehingga aspek-aspek yang diberikan perhatian juga berbeda-beda (Ratna, 2007:27), membaca dalam konteks ini berada dalam sebuah transaksi yang tidak hanya melibatkan naskah kesusastraan yang verbal, namun dapat pla berupa karya dalam media visual. Kajian budaya merupakan suatu pembentukan wacana, yaitu bangunan-baguna gagasan, citra-citra, dan praktik yang menyediakan cara untuk mebicarakan topik, aktivitas sosial atau arena institusional dalam masyarakat. Cara-cara tersebut dapat berbentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait dengannya. Barker merinci unsur yang harus ada dalam kajian pengertian budaya adalah (1) arena interdisipliner, (2) terkait dengan semua praktik, (3) bentuk kekuasaan yang dieksplorasi kajian budaya, dan (5) berhubungan dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam institusi kultural, dan manajemen kultural. Bertolak dari unsur-unsur di atas, dapa disimpulkan bahwa kajian budaya adalah sebuah kajian penelitian interdisipliner yang mengeksplorasi 8 atau menguraikan pembentukan dan pemakaian gugus peta makna. Dengan kata lain, kajian budaya adalah proses pembentukan wacana yang berkaitan dengan kebudayaan dan dikelola dengan cara tertentu yang terkait dengan isu kekuasaan dalam praktik pemaknaan dalam kehidupan manusia (Barker 2009:36) 2.2 Kebudayaan dan Praktik Pemaknaan Elemen inti kajian budaya adalah kebudayaan. Konsep kebudayaan adalah lingkuangan aktual dalam berbagai praktik, representasi, bahasa, adat istiadat masyarakat tertentu, serta berbagai bentuk pemikiran yang berakar dan membentuk kehidupan masyarakat. Dalam pandangan kajian budaya, bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan makna dan pengetahuan tentang objek independen yang ada di luar bahasa tapi merupakan bagian utama dari makna dan pengetahuna tersebut. Bahasa memberi makna pada objek material dan praktik sosial ang dibeberkan sehingga kita dapat memikirkan nya dalam konteks yang dibatasi oleh bahasa. Memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis dalam bahasa sebagai suatu sistem signifikansi. Dalam buku Cultural Studies:Theory and Practice (Barker,2009:200) menjelaskan konsep-konsep penting dalam kajian budaya meliputi kebudayaan, praktik pemaknaan, representasi, politik kultural, posisionalitas, materialisme kultural, formasi sosial, kekuasaan, ideologi, hegemoni teks, identitas, wacana dan pembentukan wacana. 2.3 Representasi Representasi merpakan pusat permasalahan terbesar dalam kajian budaya, yaitu bagaimana dunia ini dikontruksi dan disajikan secara sosial kepada dan oleh diri kita. Unsur utama kajian budaya dapat dipahami sebagai sebagai studi atas kebudayaan sebagai praktik signifikansi representasi. Representasi menjelaskan suatu proses bahwa arti (meaning) diproduksi dengan menggunakan bahasa dan dipertukarkan oleh antaranggota kelompkmda;am sebuah kebudayaan. Bahasa merupakan praktik simbolik dengan menggunakan berbagai konsep dan tanda yang dibangun oleh masyarakat pemakainya. Konstruksi makna dapat dibentuk oleh masyarakat melalui bahasa sebagai sistem semiotik dan yang lebih luas sebagai sistem wacana. 9 2.4 Kontruksi Kekuasaan Konstruksi kekuasaaan adalah pikiran, gagasan, dan pandangan tentang realitas budaya yang dikongkretisasi (peristiwa-sebagaimana-ia-dikisahkan), bukanlah (dan memang tidak dimaksudkan sebagai) salinan lengkap dan murni tentang realitas budaya Jawa (peristiwa-sebagaimana-ia-terjadi). Jadi, kontruksi kekuasaan di sini adalah wujud realitas budaya dalam karya sastra yang mengacu pada konstruksi literer . Hal tersebut menunjukkan bahwa karya sastra — baik puisi maupun prosa fiksi adalah wacana sekaligus inskripsi yang selalu mengkonstruksikan realitas budaya yang mencerminkan dominasi kekuasaan berlandaskan espisteme tertentu. Yang terkonstruksi di dalam karya sastra adalah realitas nilai budaya tertentu sehingga episteme realitas nilai budaya dalam ideologi kekuasaa hadir dalam teks sastra. Dikatakan demikian karena (1) sebagai sistem lambang budaya, sastra bersangkutan dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan yang membentuk episteme makna dan nilai tertentu dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu;dan (2) sebagai sejarah mentalitas, sastra bersangkutan dengan gagasan, ideologi kekuasaan, orientasi nilai, dan mitos;serta (3) sebagai wacana dalam kerangka episteme tertentu, sastra selalu bersangkutan dengan konstruksi pengetahuan budaya tertentu (Damono, 1984; 1993; Kleden, 1986). Hal ini mengimplikasikan bahwa sastra selalu terlekati nilai budaya tertentu karena keberadaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya membuatnya selalu terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu tak terkecuali dalam hal mengkontruksi kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut sastra Indonesia dapat disebut sebagai sistem lambang budaya bangsa dan masyarakat-bangsa Indonesia (bukan kerumunan etnis semata-mata). Ia merupakan wacana sekaligus inskripsi yang menjadi fakta mentalitas, fakta kesadaran kolektif budaya, dan atau fakta sosial dari bangsa dan masyarakat-bangsa Indonesia. Secara niscaya ia berpangkal dan berhulu pada realitas budaya Indonesia (bandingkan Teeuw, 1980). Di sini karya sastra Indonesia menyiratkan episteme tertentu tentang realitas nilai budaya dan ideologi di Indonesia. Dengan kata lain, karya sastra Indonesia dapat dipandang sebagai wacana sekaligus inskripsi yang menjadi sejarah mentalitas yang dikerangkai oleh episteme tentang realitas nilai budaya dari bangsa dan masyarakat-bangsa Indonesia. Ia terikat oleh konteks dan proses dialektika budaya Indonesia. Di sinilah tampil atau hadir hayatan, renungan, 10 ingatan, pikiran, gagasan, danideologi kekuasaan sebagai cara pandang tentang konstruksi realitas budaya (di) Indonesia khususnya konstruksi realitas kekuasaan (di) Indonesia dalam paradigma keindonesiaan (budaya Indonesia). Konstruksi realitas nilai budaya yang mencakup aspek kekuasaan di Indonesia dalam sastra Indonesia tersebut tampak dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia. Ini dapat disimak dalam teks sastra Indonesia, misalnya Salah Asuhan, Layar Terkembang, Sitti Nurbaya, dan Belenggu. Keempat prosa fiksi penting dalam sejarah sastra Indonesia ini merupakan wacana sekaligus inskripsi yang menghadirkan kisah dan berita hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan dan ideologi kekuasaan pengarang, dan pandangan tentang pergulatan dan perjuangan mencari nilai budaya baru dalam konteks semangat zaman, budaya bangsa, dan masyarakat Indonesia. Sampai sekarang, prosa fiksi Indonesia tetap mengkonstruksikan pencarian identitas dan sosok nilai budaya Indonesia dalam paradigma kekuasaan dan dominasi politik keindonesiaan baik keindonesiaan masyarakat maupun keindonesiaan budaya (bandingkan Kayam, 1991; 1992; Sastrowardoyo, 1989; Mohamad, 1993). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa wacana sastra Indonesia telah menjadi konstruksi perubahan tata nilai budaya dan ideologi kekuasaan di Indonesia. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa sastra Indonesia mengkonstruksikan nilai budaya dan ideologi kekuasaan di Indonesia dalam paradigma keindonesiaan. Mengingat bangsa dan masyarakat-bangsa Indonesia--tempat asal, berangkat, dan berkembang para sastrawan Indonesia-demikian majemuk budaya tradisi-etnisnya, tentulah sastra Indonesia mengkonstruksikan hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan dan ideologi kekuasaan, dan pandangan tentang beraneka ragam nilai budaya tradisi-etnis di Indonesia (bandingkan Sastrowardoyo, 1989). Nilai budaya dari berbagai tradisi-etnis di Indonesia tentulah dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, digagas, dan dipandang oleh sastrawan Indonesia untuk kemudian dikonstruksikan ke dalam wacana sastra Indonesia terutama teks prosa fiksi Indonesia (simak Teeuw, 1980; 1994; Kuntowijoyo, 1987; 1994). Jadi, teks sastra Indonesia terutama teks prosa fiksi Indonesia tentulah merupakan wacana sekaligus inskripsi yang menjadi konstruksi nilai budaya dan ideologi kekuasaan tradisi-etnis di Indonesia. Salah satu budaya tradisi-etnis di Indonesia adalah budaya Jawa. Sekarang, nilai-nilai budaya tradisi-etnis Jawa sedang bertransformasi sedemikian hebat dan besar. Berbagai fenomena wacana sastra Indonesia terbukti menunjukkan bahwa nilai budaya tradisi-etnis Jawa tampak 11 terkonstruksi dengan kekuasaan yang dominan dalam teks sastra Indonesia. Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya), tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca (Pramoedya Ananta Toer), Kothbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo), Canting (Arswendo Atmowiloto), Asmaradana (Goenawan Mohamad), Ki Blaka Suta Bla Bla (Darmanto Jatman), dan Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi A.G.), misalnya, mekonstruksikan transformasi kekuasaan dalam nilai budaya. Konstruksi nilai budaya jawa ini terjadi karena banyak sastrawan Indonesia yang berangkat dari dan dibesarkan dalam asuhan budaya tradisi-etnis Jawa serta berminat pada fenomena budaya Jawa dan pola kekuasaan yang dianutnya. Dengan demikian kontruksi konsep kekuasaan pada nilai budaya masyarakat jawa dipandang pada setiap level hubungan sosial. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Barker (2008:11) bahwa kekuasaan adalah perekat yang menyatukan kehidupan sosial, kekuasaan yang menekan dan menempatkan sekelompok orang di bawah orang lain. Kajian budaya menunjukkan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pinggiran, pertama-tama karena soal kelas, ras, gender, kebangsaan, kelompok umur. Etnis jawa dengan ideologi kekuasaan tecermin dalam konteks sosial politik masyarakat Indonesia. 2.5 Teks dan Pembaca (Hermeneutika dan Interpretasi) Makna yang dibaca kritikus dalam teks kultural tidak sama yang diproduksi oleh audiens atau pembaca. Teks sebagai bentuk representasi bersifat polisemis yang mengandung beragam kemungkinan makna yang harus disadari oleh pembaca aktual yang memberi kehidupan pada kata-kata dan citra-citra. Meski kita dapat menelaah cara kerja suatu teks, kita tidak dapat hanya membacaproduksi mana audiens berdasarkan analisis tekstual. Makna diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga momen konsumsi juga momen produksi yang penuh makna. Interpretasi merupakan proses yang unik. Interpretasi hadir sebagai langkah pemaknaan pembaca terhadap teks yang sedang dikaji dengan menggayutkan tafsiran dalam teks dan realita. Pemkanaan teks dan konteks menjadi sangat penting agar menghasilkan dominasi pola pikir yang sempurna terhadap pemaknaan teks. 2.6 Karya Sastra Sebagai Dokumen Sosial Budaya Dalam sosiologi sastra pembicaraan yang memfokuskan karya sastra sebagai dokumen sosial budaya adalah model yang paling banyak dikenali. 12 Karya sastra sebagai dokumen sosial budaya mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat pada masa tertentu. Karya sastra tidak dilihat secara keseluruhan. Kesatuan karya sastra sebagai kesemestaan sosial berlangsung sepanjang sejarah. Tidak ada karya sastra yang sama sekali terlepas dari kehidupan sosial, termasuk karya sastra yang paling absurd. Representasi karya sastra mencakup 1) karya yang lebih melaporkan suatu peristiwa, 2) karya yang berusaha menghubungkan suatu cerita dengan peristiwa tertentu, 3) karya yang lebih memindahkan ceritanya dengan suatu peristiwa tertentu, 4) karya yang lebih memberikan reaksi terhadap suatu keadaan sehingga penulisn ya boleh menentukan sendiri arahnya, dan 5) katya ang dihasilkan melalui suatu proses sehingga yang lahir adalah suatu peristiwa yang tak berhbubgan dengan peristiwa yang menjadi sumber ceritanya. 2.7 Sosiologi sastra Sosiologi sastra sebagai suatu ilmu metodologi. Wellek dan Warren memiliki sebuah teori dan dalam Damono (1978:3) menyusun klasifikasi sebagai berikut: 1) sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideology sosial, dasn pengarang yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. 2) sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; apa yang tersirat dan apa yang menjadi tujuan dalam karya sastra. 3) sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Wellek mengartikan sosialogi sastra hadir untuk masyarakat sebagai aktualisasi dan pola pikir diri dengan melihat kompleksitas permasalahan di masyarakat. Wellek meyakini bahwa sastra pengarang akan mampu memberikan dampak perubahan dan paradigma berpikir mulai dari budaya yang mencakup sosial, ekonomi, politik, bahkan ideologi. Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme. Kritikus-kritikus Marxis biasanya mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni dan kesusastraan - merupakan 'ideologi-ideologi' dan 'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara 13 dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya (Abrams, dalam Faruk 2012). Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986:2425). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme. Ian Watt (1964:3000-313 dalam Damono 1978) menyusun klasifikasi sosiologi sastra sebagai berikut : 1) konteks sosial pengarang yang mencakup posisi sosial wartawan dalam masyarakat dan kaitannya degan masyarakat, termasuk didalamnya faktor sosial yang mampu mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. 2) sastra sebagai cermin masyarakat; cermin keadaan masyarakat, namun kata “cermin” dapat diartikan lagi tidak mencerminkan kondisi masyarakat saat itu karena keadaan sudah tidak sama dalam waktu proses penulisan karya tersebut. 3) fungsi sosial sastra, sastra berkaitan dengan nilai sosial dan alat edukasi serta hiburan bagi masyarakat. Umur Junus (1986:3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut : 1) karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya, 2) penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra, 3) penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya, dan 4) pengaruh sosio budaya terhadap penciptaan karya sastra, pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Dengan demikian dapat disimpilkan bahsa sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat. Pengarang mengolah daya faktual menjadi sajian sastra yang memberikan ideologi kepada pembaca. Rekap sosial budaya akan terkejawantahkan dalam dunia sastra. Antara sastra dan msyarakat terjadi hubungan kausalitas. Sastra adalah produk budaya dalam masyarakat. 2.8 Dari Mimetik ke Representasi 14 Konsep mimesis ala Aristoteles yang sering ditafsirkan secara sempit (Luxemberg, 1986:18). Mimesis menampilkan yang universal dalam perbuatan manusia lalu ditafsirkan seolah-olah seorang pengarang menciptakan tipe-tipe sosial yang khas bagi suatu tempat atau kurun waktu tertentu. Ini terjadi pada zaman Renaissance. Pada zaman tersebut “imitasi” terhadap suatu gaya hidup tertentu dikaitkan dengan suatu gaya sastra tertentu (Luxemberg, 1986:18). Misalnya, sebuah karya sastra tragedi dituntut ditampilkannya tokoh-tokoh berkedudukan tinggi di dalam masyarakat, sedangkan komedi orang-orang dari rakyat jelata (Luxemberg, 1986:18). Teori mimesis yang mempunyai satu unsur yang sama, yaitu bahwa perhatian diarahkan kepada hubungan antara gambar dan apa yang digambarkan. Tolok ukur estetik pertama adalah sejauh mana gambar itu sesuai dengan kenyataan, apakah kenyataan itu dunia ide, dunia yang universal atau dunia yang khas, itu tidak begitu penting (Luxemberg, 1986:19). Beberapa bahasan tersebut menunjukkan bahwa kausalitas terjadi dalam ruang penulisan sastra. Sastra adalah pengejawantahan fakta dalam daya pemikiran yang intuitif sedangkan fakta adalah dasar penyampaian ekspresi ide dalam diri pengarang. 15 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini berada dalam naungan Kajian budaya (cultural studies) yang memperlakukan budaya sebagai teks kehidupan dan tempat teks hidup. Novel adalah teks budaya yang “mempermainkan bahasa” dengan kode fiksionalnya. Di sisi lain, novel juga mempresentasikan konteks atau praktik kehidupan. Teks dan praktik merekonstruksikan berbagai fenomena yang harus diinterpretasikan, dianalisis, dbiandingkan, dan dideskripsikan oleh peneliti. Sebagai penelitian teks, secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif eksploratif karena sesuai dengan karakteristik atau data atau objek penelitian. Penggunaan pendekatan wacana dan pendekatan realita juga diterapkan dalam penelitian ini; menggunakan metode parallel reading. Pendekatan wacana menekankan pada penelitian pustaka dan pendekatan realita menekankan penelitian lapangan. Kajian budaya berhubungan dengan permasalahan masyarakat kecil tepatnya kaum proletar yang menjadi konsumen karya karya populer itu dengan cara produsi indudtrial yang memproduksi karya-karya tersebut. Hal tersebut mengacu pada penerapan kritik sastra struktural dan diskursif yang akan membuktikan sifat konstruktif dari subjek (identitas) dan realitas, serta adanya kekuatan ekonomi politik yang terlibat dalam kontruksi tersebut. Data penelitian ini berupa teks novel yang diungkapkan dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Data ini bersifat permukaan atau simbolis yang analisis tekstualnya secara satu arah. Data atau objek penelitian ini bersifat kontekstual. Peneliti memegang peran penting dalam menentukan kontruks teks dan simpulannya. Dengan menggunakan analisis eksploratif dengan media kritik pragmatik, masalah kekuasaan tersebut akan dibandingkan dengan konteks/praktik sehingga ditemukan aspek pemasik dan pengawas norma masyarakat, fenomena sosial budaya, ekonomi politik, serta pranata sosial. 3.2 Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah cerpen yang berjuduk “Patung Tak Bermuka” Karya Tjahyono Widarmanto yang mengangkat kontuksi kekuasaan masyarakat Jawa dengan tema utama ekonomi politik. 3.3 Data Penelitian 16 Data penelitian ini merupakan fragmentasi atau penyeleksian ketat dari data yang berkaitan dengan kekuasaan dalam konsep citra konstruksi kekuaaaan dari teks cerpen maupun konteks/praktik yang menyertainya. 3.4 Teknik Pengumpulan Data Pengmpulan data penelitian ini dilakukan dengan teknik dokumentasi. Data yang dikumpulkan berasal dari sumber-sumber tertulis atau pustaka berupa teks novel dan konteks/praktik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat pada penelitian ini. Tahapan pertama adalah membaca dan memahami alur cerita teks novel dan kemudian menentukan topik yang akan diteliti, kemudian peneliti mulai memilih, memilah, dan mengklasifikasikan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul, penulis melakukan evaluasi atau pemeriksaan kembali terhadap data-data tersebut. Dalam tahapan pengkajian data, penulis mengawali dengan mengkaji hal-hal yang menyiratkan adanya fakta-fakta tentang penanda kekuasaan kemudian mengidentifikasi fakta-fakta tersebut dengan memberikan buktibukti yang relevan dengan teori. Dalam hal ini peneliti lebih menekankan pada aspek citra kontruksi kekuasaan yang menjadi dasar penelitian dalam ranah cultural studies yakni (1) penanda kekuasaan dalam cerpen, (2) pelaku kekuasaan kekuasaan dalam cerpen, (3) sebab-sebab kekuasaan kekuasaan dalam cerpen kekuasaan dalam cerpen, (4) efek kekuasaan, dan (5) sanksi kekuasaan kekuasaan dalam cerpen. 3.5 Teknik Analisis Data Teknik analisis data menggunakan modifikasi lingkar hermeneutik yang ditawarkan oleh Ricoucer (2078:152) diawali dengan perenggutan makna teks untuk sementara, dilanjutkkan tahap validasi,komprehensi, dan mencari kaitan antara teks dengan konteks/praktik dalam kehidupan. Adapun Teknik analisis data tersebt dalam langkah-langkah deskriptifinterpretatifnya adalah sebagai berikut: (1) memahami novel-novel secara struktural sebagai modal anaisis tematis. Citra konstruksi kekuasaan yang yang menjadi dasar penelitian dalam ranah cultural studies yakni (1) penanda kekuasaan dalam cerpen, (2) pelaku kekuasaan kekuasaan dalam cerpen, (3) sebab-sebab kekuasaan kekuasaan dalam cerpen kekuasaan dalam cerpen, (4) efek kekuasaan, dan (5) sanksi kekuasaan kekuasaan dalam cerpen. 17 (2) menentukan untuk sementara unsu-unsur yang menjadi dasar penelitian dalam ranah cultural studies yakni (1) penanda kekuasaan dalam cerpen, (2) pelaku kekuasaan kekuasaan dalam cerpen, (3) sebab-sebab kekuasaan kekuasaan dalam cerpen kekuasaan dalam cerpen, (4) efek kekuasaan, dan (5) sanksi kekuasaan kekuasaan dalam cerpen. (3) melakukan validasi dan komprehensi unsur-unsur lingkungan yang terkandung dalam teks cerpen secara timbal balik dan berulang sehingga ditemukan hubungan antarunsur-unsurnya dengan konteks citra kontruksi kekuasaan tokoh. (4) menemukan hubungan timbal balik citra kontruksi kekuasaan mencakup (1) penanda kekuasaan dalam cerpen, (2) pelaku kekuasaan kekuasaan dalam cerpen, (3) sebab-sebab kekuasaan kekuasaan dalam cerpen kekuasaan dalam cerpen, (4) efek kekuasaan, dan (5) sanksi kekuasaan kekuasaan dalam cerpen dengan dalam ranah sosial ekonomi dan politik di kalangan masyarakat. (5) menarik simpulan berdasarkan dengan konsep sastra yang berwawasan culture studies dan mengkomparasikan dengan realita dalam ranah sosial ekonomi dan politik di kalangan masyarakat. 3.6 Pemeriksaan Keabsahan (Data, Metode, Teori) Menurut Lincoln & Guba (1985:300) beberapa cara dapat digunakan untuk menguji kepercayaan penelitian, yaitu dilakukan baik secara formal maupun informal dan secara terus-menerus. Gambar 3.1 Uji Kepercayaan (Credibility) Data Penelitian Kualitatif Uji kepercayaan (credibility) penelitian, yaitu: a) membaca secara tekun berulang-ulang sumber data sehingga diperoleh data penelitian yang sahih (tidak diragukan lagi keabsahannya) untuk mengungkap kedalaman, keluasan, dan keajegan data, b) membaca secara cermat kata demi kata, frase demi frase, kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragrafagar diperoleh makna yang 18 pasti, c) uji triangulasi. Trianggulasi yang dilakukan penulis dalam penelitian sastra ini adalah dengan pemerhati lingkungan serta para akademisi kuliah yaitu: a) diskusi secara rutin dengan teman sejawat (focus group discussion) mahasiswa pascasarjana jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk membahas setiap tahapan penelitian; c) analisis kasus negatif, yang dilakukan penulis yaitu mencari data yang bertentangan dengan data yang telah penulis temukan. Apabila penulis tidak menemukan lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan hasil temuan maka hasil temuan tersebut sudah dapat dipercaya; d) member chek. Penulis selalu melakukan pengecekan informasi dan data terpilih kepada cerita pendek dan novel yang dijadikan sumber data, secara bersamaan (bolak-balik) sejak pengumpulan data, analisis data, dan penyimpulan. Untuk menguji keteralihan (transferbility) dalam penelitian gerakan sastraIndonesia, yang dilakukan penulis dengan teknik triangulasi konteks dan waktu, serta teknik audit melalui membaca intensif dalam rentang waktu yang panjang (dari tahun 2013-2015). Sedangkan untuk menguji kebergantungan (dependenbility) penulis meminta kepada seorang ahli metode penelitian sastra (selain promotor, kopromotor, dan penguji) untuk menilai apakah seluruh rangkaian proses penelitian yang dilakukan penulis mulai dari penentuan fokus, pengumpulan data, analisis data, sampai penyimpulan telah melalui langkahlangkah penelitian atau prosedur yang benar. Paradigma naturalistik memandang realitas itu ganda, dalam arti memiliki banyak perspektif, dan erat kaitannya dengan keterikatan pada konteks dan waktu (Lincoln & Guba, 1985:300). Dalam hal ini, pengujian kepastian (corfirmability) dilakukan dengan cara membicarakan hasil penelitian ekokritik dengan orang yang tidak terlibat dan tidak berkepentingan dalam penelitian ini, dengan tujuan agar hasil penelitian lebih objektif. Corfirmability dilakukan secara bersamaan sejak penentuan fokus penelitian, pengumpulan data, analisis data, dan penyimpulan dalam penelitian kualitatif deskriptif , para peneliti dapat dinyatakan sebagai instrument utama (key instrument). Pemeriksaan keabsahan data menggunakan model trianggulasi waktu. Data yang pertama dijaring pada tahap pertama diuji konsistensinya dengan cara membaca kembali sumber data semua untuk mendapatkan data kedua. Data yang diperoleh pada tahap kedua dibandingkan dengan data yang diperoleh pada pengumpulan data pertama. Proses tersebut dilakukukan beberapa kali secara berselang hingga didapatkan data yang sah. 19 Dalam hal ini pengujian dilakukan secara berulang-ulang dalam proses melingkar secara metodologis sesuai dengan mengambil teori hermeunetik dalam ranah ekokritik dan ecoimperialime (ekopolitik). Data yang tidak konsisten disisihkan, atau ditambahkan agar validitasnya dapat dipertahankan. Data yang konsisten akan bermuara pada fokus penelitian yaitu Citra konstruksi kekuasaan yang yang menjadi dasar penelitian dalam ranah cultural studies yakni (1) penanda kekuasaan dalam cerpen, (2) pelaku kekuasaan kekuasaan dalam cerpen, (3) sebab-sebab kekuasaan kekuasaan dalam cerpen kekuasaan dalam cerpen, (4) efek kekuasaan, dan (5) sanksi kekuasaan kekuasaan dalam cerpen. Prinsip ini sejalan dengan hermeuniotik dan resepsi literer yang menekankan pemaknaan teks secara terpadu dan timbal balik antara bagian-bagiannya beserta totalitas teks tersebut. Pada tahap awal peneliti juga menggunakan resepsi para ahli sastra dalam memilih sumber data antara lain, Prof Dr. Haris Supratna, Dosen Pascasarjana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di UNESA. Peneliti juga melakukan pengecekan keabsahan data kepada mereka yang memiliki keahlian di bidang sastra. 20 BAB IV PEMBAHASAN Penelitian ini pada dasarnya adalah eksplorasi pengetahuan mengenai dunia fiksi cerpen dengan fenomena kekuasaan ekonomi politik yang berlaku dalam masyarakat Jawa. Kekuasaan menjadi topik yang sangat dan masih relevan dalam kehidupan bermasyarakat. Alih dan fungsi jabatan menjadi penting dalam keberlangsungan hidup masyarakat. Akibat kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam komunitas akan menjadi single power dan menjadikan seseorang selalu terobsesi untuk memberikan penekanan terhadapa keluarga dan pihak lain yang dianggap akan bertentangan dengan niat penguasa tersebut. Beberapa hal itulah yang tampak dalam cerpen citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada (1) penanda kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (2) pelaku kekuasaan dalam cerpen“Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (3) sebabsebab kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, (4) efek kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto, dan (5) sanksi kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto. Kajian yang dikembangan untuk menganalisis beberapa fokus penelitian tersebut adalah cultural studies atau kajian budaya. 4.1 Penanda Kekuasaan dalam Cerpen “Patung Tak Bermuka” Karya Tjahyono Widarmanto Kehidupan suami istri masyarakat Jawa adalah identik dengan bagaimana menghormati suami dengan penuh tanggung jawab. Sosok Bune di hadapan Bapak adalah wanita yang seta dengan kehidupan dalam hal apapun. Tidak ada dalam wajah sosok yang njawani tersebut terlihat menentang, malas, dan merasa capek dengan tokoh Bapak sebagai seorang suami dan penguasa. “Bu…Bu…Bune!” tiba-tiba laki-laki itu berteriak keras sambil terbatuk. “Ada apa to Pak?”, terdengar lembut dai seorang wanita yang muncul dari balik pintu…”tengkuk lelaki tua itu.” “…Tidur, bagaimana aku bisa tidur kalau kedudukanku terancam begini!” Jawab lelaki tua dengan nada tinggi, nyaris berteriak, sambil memukulkan tinjunya di lengan kursi goyang itu.” “Sudahlah Pakne, malam makin larut. Kita pikirkan hal itu besok. Bapak kan kudu istirahat. Apalagi sejak tadi Bapak ngeses terus. Bukankah kata Dokter Herman Bapak disuruh untuk ngurangi ngeses.” Kata perempuan itu halus, sambil memijit –mijit. 21 Kutipan tersebut menunjukkan kontruksi kekuasaan pada perempuan hanya berorientasi budaya spiritual, tradisi/tradisional, dan dalam batas-batas masih mitis-ontologis meskipun mereka sudah hidup di tengah zaman yang sedang mengalami perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan politis yang cukup mendasar dan cepat. Perempuan sebagai istri dalam konteks masyarakat Jawa harus memiliki sikap bijak dan cenderung mempertahankan satstus sosial suami sebagai pimpinan dalam keluarga. Secara ideologi tokoh “Bune” mencoba mengadakan perlawanan ide, namun nila dalam budaya jawa yang akan mengkontruksi pembatasan kebebasan berkuasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam cerpen ini masih mendukung dan berpihak kepada konteks suami yag perlu dihormati. Adapun citra kontruksi ideologi kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” ini mencakup (1) menganggap rendah orang lain, (2) menggunakan multistrategi melalui kolega dan KKN, dan (3) konsep Hasta Brata. Pertama, pola pikir menanggap rendah orang lain adalah salah satu ciri bahwa dalam konteks masyarakat telah terjadi budaya dominasi. Penekenan terhadap subjek tertentu dan penguasaan dominasi jabatan kelas atas berdampak pada kesenjangan terhadap kelas bawah. Stratifikasi sosial baik dari aspek ekonomi, politik, pendidikan sampai pada usia digunakan sebagai cara pandang yang memiliki kekuatan. Tampak pada kutipan berikut “Anak-anak muda itu memang ndak tahu diri. Ndak mau matur suwun. Bukankah selama ini, selama aku menjadi gubernur di propinsi ini, aku selalu mendanai semua organisasi mereka. Aku beri semua fasilitas yang mereka inginkan. Aku beri kemudahan atau apa saja yang mereka mau. Tapi, kenapa mereka tiba-tiba membuat gerakan menolak kembali pencalonanku menjadi gubernur. Sungguh tak tahu berterima kasih,” cerocos mulut lelaki itu sampai berbusabusa.”dan celakanya Bune, Titis, ragilmu itu lho, kok ya ikutikutan,”keluh lelaki itu dengan kesal. Kutipan tersebut menunjukkan adanya bangunan-bagunan gagasan dan pencitraan yang selama ini dianggap telah dilakukan oleh tokoh Bapak. Aktivitas sosial yang melingkupi tindakan selama menjadi gubernur dalam perspektif culture studies adalah sebagai bentuk kekuasaan kultural yang dimiliki. Dengan demikian citra kontruksi kekuasaan masyarakat Jawa dapat ditandai dengan adanya anggapan bahwa dalam kelompok masyarakat harus ada pamrih budi untuk keberlangsungan kehidupan bermasyarakat. Studi realita menunjukkan hal itu terlihat sebagai fakta sosial yang lintas batas. Masyarakat Jawa dengan sistem feodalnya masih mewarnai dunia masyarakat sebagai pemicu terbentuknya dominasi penguasa dan yang 22 dikuasai. Intensitas pemahaman terhadap cerpen ini teruji dengan dasar perhatian bahwa dalam masyarakat Jawa dan umumnya adalah budaya kolonial yang masih tumbuh di kalangan masyarakat. Kedua adalah penggunaan multistrategi. Budaya ingin mempertahankan kekuasaan menimbulkan dampak adanya penyusunan strategi untuk mewujudkan keinginan pihak penguasa. Strategi itu dapat berupa bingkaian aktivitas sosial dalam berbagai bidang. Pelaku strategi adalah kelompok terdekat dari pihak pemegang kekuasaa. “…Baik, baik aku tidur Bune, tapi tolong panggil Susetyo sekarang juga!” jawabnya masih sarat nada kesal. “Tapi ini sudalam malam…?” jawab istrinya “Sekarang Bune!” potong lelaki itu makin kalap … tak lama kemudian, istrinya masuk ke ruangan besar itu bersama lelaki muda yang mengenakan baju batik warna coklat tua, ajudan Sang Mayor Jenderal. Kutipan tersebut menunjukkan adanya praktik bentuk kekuasaan yang dicitrakan dengan sikap memerintah dari atasan kepada bawahan tanpa mengenal syarat. Hal tersebut erat dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam institusi kultural, dan manajemen kultural. Tampak pula institusi kultural menjadi media yang ampuh untuk mendapatkan jabatan. “Dan Bune, interlekol juga anak sulungmu, Si Triadji Sunarwibowo untuk seger pulang menemui Bapaknya. Ingat Bune, besok. Suruh dia terbang dengan pesawat paling pagi,” perintahnya pada istrinya….” Praktik tersebut adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan secara mudah. Institusi internal dalam realita dominan digunakan sebagai gerakan laten untuk menguasai kelompok tertentu dengan tujuan menyejahterakan pribadi, kelompok, dan juga golongan terdekat sebagai mitra pelaku strategi mendapatkan keuntungan berupa kenaikan status sosial di masyarakat. “…inggih pak! Jawab mereka serentak. “It sudah kewajiban kami sebagai putra Bapak. Sebagai putra Bapak tentu saja kami akan membantu Bapak. “Saya sebagai Jaksa akan menggunakan jabatan dan wibawa saya untuk menyukseskan Bapak…”ujar Triadi Sunarwibowo, sang putra sulung angkat suara. Usman Winoto, si menantu yang kolonel itu, mengangkat tangannya berpendapat, “Saya sependapat dengan Mas Adji. Saya akan gunakan pengaruh saya di mabes untuk mendukung pencalonan Bapak.” 23 …tak kalah semangatnya Bagas Semedhi, putra ketiga, melontarkan dukungannya. “Bapak tidak usah cemas. Saya total mendukung Bapak. Akan saya siapkan dana berapapun Bapak membutuhkan karena money politik masih merupakan jrus yang ampuh untuk mendulang suara”. Kompleksitas institusi internal dan eksternal banyak digunakan sebagai celah aktivitas dan peran sosial yang dengan sendirinya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Cerpen ini adalah cerminan topik yang terjadi dalam alam fakta. Hubungan kausalitas untuk mendapatkan kekuasaan dan kesempatan untuk hidup lebih layak dapat dilaksaakan dengan mudah. Ketiga adalah pelaksanaan Hasta Brata. Konsep ini berkaitan erat dengan penggunaan multistrategi untuk menysun masyarakat yang sinergis. Pencitraan penguasa yang baik perlu diberlakukan. Dlam hal ini pengertian pencitraan sebagai simbol negatif adalah sebagai mitos para penguasa. Jika mereka sebagai penguasa mampu mengayomi masyarakat maka tidak diperlukan mitos hasta Brata. Tokoh Sadiroen dengan keinginan yang kuat untuk mejadi seorang Gubernur akan meyakinkan masyarakat sebagai sosok yang paling tepat untuk menempati jabatan Gubernur. Nama Yudho Kuntjara memiliki makna Yudho adalah perang dan Kuntjara adalah bersinar. Gerakan politik pencitraan dengan konsep Hasta Brata relevan sangat faktual. Beberapa calon pengusa negeri pun menggunakan cara jitu menjelang pemungutan suara. Masyarakat diperlihatkan wajah “klise” calon pemimpin yang akan menurunkan cara dan budaya seperti mereka kepada generasi berikutnya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. “… ya kita buat patung Bapak dengan gagah di pusat kota. Dan semua orang akan berdecak kagum. Lalu di setiap kepala orang akan muncul citra Bapak. Pemimpin dan prajurit yang tulen.” “…maka terpilihlah sebuah foto untuk diwujudkan sebagai bentuk patung: Sadiroen Yudho Kuntjara mengenakan baju seragam mayor jenderalnya, lengkap dengan segala tanda jasa di bahu dan dadanya, pedang dan tongkat komando.” Fakta sosial yang membudaya di masyarakat sebagai bahan pencitraan sangat bermunculan di masyarakat sebagaimana dalam cerpen ini. Penanda kontruksi calon penguasa akan dimulai dengan sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjwabakan secara mutlak. Konsep pencitraan sejatinya harus dimunculkan sebelum para penguasa ini dalam perspektif kajian budaya dikatakan mendapat simpati. Hal yangperlu dibenahi oleh kelompok pelaku budaya adalah manajemen kultural. 24 Beberapa uraian mengenai praktik sosial yang menyediakan cara untuk mebicarakan topik, aktivitas sosial atau arena institusional dalam masyarakat haru s mempu mendidik asyarakat menjadi agen of change. Caracara tersebut dilakukan dalam bentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait dengannya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Barker kekuasaamn budaya adalah (1) arena interdisliner, (2) terkait dengan semua praktik dan (3) berhubungan dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam institusi kultural, dan manajemen kultural. 4.2 Pelaku Kekuasaan dalam Cerpen“Patung Tak Bermuka” Karya Tjahyono Widarmanto Cerpen “Patung Tak Bermuka” Karya Tjahyono Widarmanto menunjukkan hakekat kehidupan manusia yang meliputi tiga segi, yaitu yang bersifat personal, sosial, dan relegius. Setiap sifat memiliki titik tolak yang berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa sastra memiliki keterkaitan dengan fenomena dan institusi sosial. Aspek kekuasaan merupakan ciptaan realitas sosial yang mangsu pada tercitpanya kesenjangan sosial. Realitas sosial dan ketimpangan sosial digerakkan oleh pelaku kekuasaan. Pelaku yang menciptakan adanya kekuasaan dalam cerpen ini adalah (1) Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro, (2) Empat anak Mayor meliputi sulung;Triadi Sunarwibowo adalah seorang jaksa di kejaksaan tinggi pusat. Memiliki sifat dan watak seperti bapaknya; berani, penuh perhitungan, cerdik, licin, pandai memanfaatkan situasi dan culas. (3) Anak kedua, Prahayu Langen Anggraeni, seperti ibunya menganut keyakinan bahwa perempuan haruslah nurut dan manut dengan suami. Ia beristrikan seorang tentara yang dulu ajudan Bapaknya, Usman Winoto, berpangkat kolonel di Mabes. Sebagai seorang ajudan dan menantu, tentu saja kesetiaannya pada Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjorotidak diragukan lagi. (4) Bagus Semedhi, anak ketiga. Profesinya sebagai pengusaha dan direktur minyak negara. Dalam pikirannya hanyalah 25 laba dan uang. Keberanian berspekulasi dan kemampuannya melakukan lobilobi merupakan senajta ampuh untuk meraih karier. Tokoh utama dalam cerpen, Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro, adalah citra kontruksi kekuasaan fudamental yang mengilhami masyarakat sekelilingnya memiliki budaya untuk saling mendominasi dan memiliki rasa berkuasa. “… “kalian sudah tahu bahwa jabatan Bapak sebagai untuk periode ini akan berakhir. Untuk itu Bapak akan berencana dan bertekad bulat untuk kembali mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode empat tahun mendatang. Keputusan ini Bapak ambil, karena Bapak sadar bahwa yang namanya pembangunan merupakan sebuah proses berkelanjutan. Oleh karena itu pembangunan yang Bapak lakukan harus dilanjutkan…Bisa kalian bayangkan jika Gubernurnya bukan Bapak, orang baru, apalagi yang muda-muda itu, bocah kemarin sore yang belum becus itu, yang ndak pernah makan asam garam perjuangan untuk negeri ini. Pastilah tujuan dari pembangnan ini tak akan tercapai. Akan putus mata rantainya.” Konteks pararel reading dalam ranah realita menunjukkan hal yang terjadi di atas adalah sebuah fakta yang membudaya. Faktor pembentukny adalah kelompok yang memiliki kepeningan dominan dan yang berkuasa untuk menyejahterakan golongan penguasa. Tokoh-tokoh penguasa yang sudah disebut di atas sebagian dilukiskan berpandangan dunia kosmosentris, integratif, holistis-totalistis, statis, siklis, spiritual, dan hierarkis, sedangkan sebagian lagi dilukiskan berpandangan dunia lebih antroposentris, dinamis, linier, material, dan egaliter, dan yang tak kalah penting adalah dalih memiliki pemikiran sumbangan pemikiran untuk negara sebagai aasan untuk memperkuat kekuasaan. Sebagai contoh, Triadi Sunarwibowo, Usman Winoto, suami Prahayu Langen Anggraeni, dan Bagus Semedhi, yang tergolong keturunan priyayi penguasa dari generasi Sadiroen Yudha Kuntjara, masih berpandangan dunia sosial politik akan terus menjadi bagian dari budaya mendominasi kekuasaan untu saling menguasai peran dalam ranah aktivitas sosial yang kosmosentris, integratif, spiritual, siklis, dan hierarkis. 4.3 Sebab-Sebab Kekuasaan dalam Cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto Penyebab kekuasaan dalam suatu kelompok masyarakat ditinjau dari aspek kajian budaya dapat berbentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait dengannya. Barker merinci unsur yang harus ada dalam kajian pengertian budaya adalah (1) arena interdisipliner, (2) terkait dengan semua praktik, (3) bentuk kekuasaan yang dieksplorasi kajian budaya, dan (3) berhubungan 26 dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam institusi kultural, dan manajemen kultural. Pendapat Barker di atas dapat diterima apalagi dikaitkan dengan konteks penyebab kekuasaan yang berhubungan dengan gerakan sosial dan politik, para pekerja dalam institusi sosial dan manajemen kultural. Beberapa penyebab kekuasaan dalam suatu komunitas adalah (1) sikap berambisi untuk menekan dan menguasai pihak lain, (2) adanya dukungan dari sebagian besar keluarga yang memiliki pengaruh di masayarakat dan (3) fakta klise “perhitungan logis”. Sikap berambisi untuk menekan dan menguasai pihak lain tampak pada tokoh Sadiroen yang selalu mengendalikan setiap agenda kegiatan dalam internal rumah tangga ataupun dalam kerangka politisasi massa. Alasan kedua didukung oleh ketiga anaknya dari empat bersaudara. Anak pertama akan berkiprah untuk citra kekuasaan dalam bidang hukum yang akan menutup kasus Bapak dalam tindak korupsi sebagai bentuk pencitraan yang bagus. “… saya sebagai jaksa akan menggunakan jabatan dan wibawa saya untuk menyukseskan Bapak. Apalagi saya dengar Bapak telah melontarkan isu tentang manipulasi penggunaan pendidikan. Saya akan menutup semua permasalahan…“ Menantu kedua, Usman Winoto, sosok ini akan menunjukkan kepedulian akan pencalonan Sadiroen untuk menjadi Gubernur yakni dengan menggunakan pengaruh Mabes unk manghalai demonstra yang tidak mendukung pencalonan Bapak. “…saya akan gunakan pengaruh saya di Mabes untuk manangkap para demonstran yang menolak pencalonan Bapak. Saya juga akan mengkoordinasi demo-demo tandingan untuk mendukung pencalonan Bapak. Banyak organisasi-organisasi pemuda dan massa yang bisa saya gerakkan.” Putra ketiga, Bagas Semedi telah melaksanakan ranah kajian budaya menurut Barker mengacu pada konsep perwujudan (1) terkait dengan semua praktik, (2) bentuk kekuasaan yang dieksplorasi kajian budaya adalah jabatan, dan (3) berhubungan dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam institusi kultural, dan manajemen kultural. Tampak pada kutipan berikut. “Bapak tidak usah cemas, saya total mendukung Bapak, akan saya siapkan dana kucuran berapapun yang Bapak minta. Money politik masih merupakan jurus yang ampuh untuk mendulang suara.” Bertolak dari unsur-unsur di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya kekuasaan bersifat interdisipliner dan bertujuan untuk mengeksplorasi atau 27 menguraikan pembentukan dan pemakaian gugus peta makna dalam konteks memperebutkan kekuasaan dalam pemilihan Gubenur. Dengan kata lain budaya kekuasaan untuk saling menunjukkan kekuatan adalah proses pembentukan wacana yang berkaitan dengan kebudayaan dan dikelola dengan cara tertentu yang terkait dengan isu kekuasaan dalam praktik pemaknaan dalam kehidupan manusia (Barker 2009:36) 4.4. Efek kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto Budaya kekuasaan untuk saling menunjukkan kekuatan adalah proses pembentukan wacana yang berkaitan dengan kebudayaan dan dikelola dengan cara tertentu yang terkait dengan isu kekuasaan dalam praktik pemaknaan dalam kehidupan manusia memiliki efek. Beberapa efek atau dampak tersebut adalah (1) memberikan penekanan kepada orang lain , (2) perempuan Jawa yang manut dengan kehendak dan pemikiran lelaki, (3) Pertolongan dan usaha yang telah dilakukan kepada orang lain adalah pamrih, serta (4) membentuk opini publik atau usaha sentralisasi tokoh. Pertama adalah sikap memberikan penekanan kepada orang lain. Budaya perilaku tersebut dimiliki oleh Sadiroen dalam memberlakukan istri, komandan, dan beberapa putra. Tokoh Bune dengan segala upaya menciptakan prilaku harmonis dalam kehidupan rumah tangga dengan cara mendukung setiap ketentuan yang berlaku. Pemberian tekanan Sadiroen dari perspektif budaya tampak pada kultur pemaksaan. “…Mbok jangan diam aja to Bune, Beri aku solusi menghadapi masalah ini” Pinta lelaki itu, … “Apa, Bune, Mundur! Itu usul gila! Apa Bune gak malu nanti, kalau tiap-tiap orang-orang di pasar, di kantor-kantor akan ngrasani kalau aku, aku Bune, Mayor Jenderal Sadiroen Yudha Kuntjara, tinggal glanggang colong playu, mundur. Kalah dengan mereka-mereka, anak kemaren sore itu. Tidak, Bune! Tidak! Jaab lelaki itu meradang. Tokoh Bune berada dalam posisi yang harus tunduk pada penekanan suami. Pola kekuasaan dalam praktik pemaknaan dalam kehidupan manusia terjadi dalam diri Sadiroen dan istri. Pola tersebut beimbasa pada cara didik Bune terhadap putri perempuannya. Efek kekuasaan tersebut berdampak pada budaya jawa bahwa perempuan harus memiliki sikap dan perilaku mengikuti dan menerima kehendak suami. Tampak pada kutipan berikut. “Anak keduanya, Prahayu langen Anggraeni, seperti ibunya menganut keyakinan bahwa perempuan haruslah nurut dan 28 manut pda suami. Suami bagi mereka adalah dewa yang ngejawantah, yang tak bleh dibantah. Apa kata suami adalah yang terbaik baginya….” Pemikiran dan pandangan tersebut akan menumbuhsuburkan perilaku penekanan kepada pihak perempuan dalam konteks kekuasaan. Perempuan hampir tidak menjadi subjek penguasa. Perempuan menyumbangkan pemaknaan gugus peta makna bahwa dalam konteks masyarakat hanya peran domestik yang dinggulkan dan ditempatkan skala tertinggi. Pemaknaan taks bagi pembaca juga akan melahirkan representasi budaya jawa tidak mampu menggeser pola kehidupan moderen. Selain itu, Pertolongan dan usaha yang telah dilakukan kepada orang lain adalah pamrih dapat menjadikan efek kekuasaan. Citra kekuasaan akan menjadikan seseorang atau kelompok yang berkuasa dalam setiap aktivitas sosial memiliki asumsi aktivitas dengan pamrih. Kekuasaan dapat terbentuk karena adanya ketimpangan penguasa dengan rakyat biasa. Kompleksitas proses kekuasaan akan berlangsung dalam pemaknaan konteks sosial yang lebih luas. Hal tersebut akan mengakibatkan adanya dominasi pihak penguasa yang akan menyebabkan semua kebijakan berpihak pada kepentingan golongan. Keputusan ini Bapak ambil, karena Bapak sadar bahwa yang namanya pembangunan merupakan sebuah proses berkelanjutan. Oleh karena itu pembangunan yang Bapak lakukan harus dilanjutkan…Bisa kalian bayangkan jika Gubernurnya bukan Bapak, orang baru, apalagi yang muda-muda itu, bocah kemarin sore yang belum becus itu, yang ndak pernah makan asam garam perjuangan untuk negeri ini. Pastilah tujuan dari pembangnan ini tak akan tercapai. Akan putus mata rantainya.” Efek kekuasaan yang lain adalah keinginan untuk membentuk opini publik atau usaha sentralisasi tokoh. Dominasi tokoh dapat dibentuk dengan bottom up. Hal tersebut harus dilakukan karena dengan adanya pemusatan publik figur adalah strategi tuntuk mendekatkan masyarakat pada pilihannya. Jika ditarik pada realita, konsep sentralisasi tokoh telah lama diterapkan dengan barbagai strategi. Pemusatan publik figur sebagai usaha pengenalan konkret sosok pemimpin yang akan berkuasa. Strategi kelompok Sadiroen ingin memfokuskan pada konsep diri tokoh yang berjasa karena dianggap telah berhasil dalam membesarkan masyarakat. “…dari ketulusan dan cinta yang paling dasar, akan saya persembahkan uat kota ini, sesuatu yang bisa mengingatkan kita tentang hakekat kepemimpinan.dalam kitab Ramayana ada sebuah adegan bagaimana Rama menasehati adiknya Barata tentang laku kepemimpinan, bagaimana menjadi pemimpin yang baik, yang 29 disebut Hasta Brata atau delapan citra kepemimpinan, bagaimana menjadi pemimpin yang baik yang disebut Hasta Brata…Hasta Brata itu, akan saya persembahkan dalam satu wujud. Wujud nyata, yang menggambarkan citra pemimpin yang kita rindukan.” Sentralisasi tokoh Sadiroen dilakukan dengan mengambil konsep “Hasta Brata” dalam cerita Ramayana. Efek kekuasaan ini dilakukan agar berjalan dalam jangka waktu yang lama. Masyarakat akan menilai kinerja pemimpin sesuai dengan aktivitas sosial dalam manajemen interdispliner yang seimbang. Namun karena kekuasaan itu mengambil faktor dominasi sosial dan politik maka isi hasta brata ini hanya digunakan sebagai sebuah strategi yang tidak perlu dimaknai secara total oleh Sadiroen. Demikian pula dalam konteks masyarakat berpolitik, penerapan srategi sentraliasi tokoh sangat bervariasi dengan ratu tujuan yakni membetuk opini publik dengan potensi natural dan potensial, 4.5 Sanksi kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto Kekuasaan yang mangalami kesenjangan akan menimbulkan sebuah permasalahan. Permasalahan sosial dalam cerpen “Patung Tak Bermuka “ dapat dianalisis pemberian solusinya. Adanya sanksi moral menunjukan bahwa kontrol positif untuk menjawab permasalahan adalah (1) adanya sanksi kekuasaan dengan status tidak ada kewibawaan tokoh Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro dalam keluarga terutama anak, dan (2) adanya sanksi penghargaan tidak berterimanya tokoh Sadiroen di kalangan masyarakat. Pertama, tidak ada kewibawaan tokoh Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro dalam keluarga terutama anak. Di antara empat putra-putri Sadiroen, putri keempat, ragil, Titis Kinanti Pembayun, perempuan cerdas, kreatif, kritis, dan keras kepala seperti Bapaknya, mahasiswi sospol universitas ternama yang selalu menentang keinginan dan keputusan Sadiroen. Hal tersebut menimbulkan pemaknaan bahwa masyarakat disajikan kontorl positif pada tokoh yang mempu menghadirkan progresivitas. Perubahan paradigma berpikir dapat terlihat dari sikap tokoh yang selalu menentang orang tua karena keputusan yang diambil tidak tepat. Ketidakhadiran tokoh Titis dalam koalisi internal keluarga Sadiroen adalah bukti bahwa Titis menggunakan daya kritisnya untuk menyampaikan ketidaksetujuan atas keputsan Sadiroen untuk mencalonkan lagi. Sanksi tidak 30 dihargai oleh anak merupakan sanksi kekuasaan yang harus diterima tokoh.Titis adalah perwakilan pemberi sanksi yang juga mencerminkan bahwa dalam konteks masyarakat yang multikultur bahwa perbedaan tersebut ada. Namun dalam cerita ini sanksi hanya berhenti pada tataran tidak ada pendukungan terhadap keputusan yang diambil Sadiroen. “Terima kasih, sejak semula saya menduga kalian akan berpihak pada Bapak. Walau Bapak tahu ada diantara putra-putri Bapak yang berbeda pendapat dengan Bapak,” Kata Sang Mayor Jenderal, sambil bola matanya melirik ke kiri ke kanan dengan wajah aak berang, mencari anak paling muda, yang rupa-rupanya tak hadir dalam pertemuan penting itu.” Adapun sanksi kekuasaan yang lain adalah tidak berterimanya tokoh Sadiroen di kalangan masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya janji Sadiroen yang ingin menjadi pemimpin yang mengemban konsep “Hasta Brata”. “…tiba-tiba sorak sorai berhenti. Semua orang ternganga menatap kelambu yang tersibak itu. Tampak sebuah patung, sosok gagah yang mengenakan seragam militer lengkap dengan tanda jasa di bahu dan dada, dengan pedang tongkat komando, namun tak bermuka. Ya, patung itu tak memiliki mata, hidung, mulut, bahkan tak bertelinga.” “Dan, brukk! Tubuh tambn Sadiroen Yudha Kunjtara ambruk menimpa patung itu.” Kutipan ersebut menunjukkan adany sanksi yang diberikan oleh masyrakat yakni tidak berterimanya Sadiroen sebagai Purnawirawan. Akhirnya “Patung Tak Bermuka” merupakan simbol bahwa perubahan pemimpin itu harus ditata ulang mengenai kompetensi layak atau tidak layknya seorang pemimpin bangsa. Era kepemimpinan yang akan datang masih dapat dimaknai sebagai sebuah pencarian pemimpin yang sempurna pemikirannya. Tidak sekadar memiliki keinginan untuk memimpin dan rajin dalam kontaks aktivitas sosial. Pemaknaan dalam dunia teks harus dapat merepresentasikan sosok pemimpin ideal dalam ranah konkret. 31 BAB V PENUTUP Citra Kontruksi Kekuasaan Masyarakat Jawa Dalam Cerpen “Patung Tak Bermuka” Karya Tjahyono Widarmanto dengan fokus masalah fokus studi kajian budaya atau cultural studies (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya masyarakat dapat disimpulkan sebagai berikut. a. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada penanda kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto terlihat dalam (1) menganggap rendah orang lain, (2) menggunakan multistrategi melalui kolega dan KKN, dan (3) konsep Hasta Brata. b. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada pelaku kekuasaan dalam cerpen“Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto terdeskripsi dalam Pelaku yang menciptakan adanya kekuasaan dalam cerpen ini adalah (1) Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro, (2) Empat anak Mayor meliputi sulung;Triadi Sunarwibowo adalah seorang jaksa di kejaksaan tinggi pusat. Memiliki sifat dan watak seperti bapaknya; berani, penuh perhitungan, cerdik, licin, pandai memanfaatkan situasi dan culas. (3) Anak kedua, Prahayu Langen Anggraeni, seperti ibunya menganut keyakinan bahwa perempuan haruslah 32 nurut dan manut dengan suami. Ia beristrikan seorang tentara yang dulu ajudan Bapaknya, Usman Winoto, berpangkat kolonel di Mabes. Sebagai seorang ajudan dan menantu, tentu saja kesetiaannya pada Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjorotidak diragukan lagi. (4) Bagus Semedhi, anak ketiga. Profesinya sebagai pengusaha dan direktur minyak negara. Dalam pikirannya hanyalah laba dan uang. Keberanian berspekulasi dan kemampuannya melakukan lobi-lobi merupakan senajta ampuh untuk meraih karier. c. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada sebabsebab kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto terdeskripsi dalam adalah (1) sikap berambisi untuk menekan dan menguasai pihak lain, (2) adanya dukungan dari sebagian besar keluarga yang memiliki pengaruh di masayarakat dan (3) fakta klise “perhitungan logis”. d. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada efek kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto terdeskripsi dalam adalah (1) memberikan penekanan kepada orang lain , (2) perempuan Jawa yang manut dengan kehendak dan pemikiran lelaki, (3) Pertolongan dan usaha yang telah dilakukan kepada orang lain adalah pamrih, serta (4) membentuk opini publik atau usaha sentralisasi tokoh. e. Citra kontruksi kekuasaan masyarakat jawa yang mengacu pada sanksi kekuasaan dalam cerpen “Patung Tak Bermuka” karya Tjahyono Widarmanto terdeskripsi dalam (1) adanya sanksi kekuasaan dengan status tidak ada kewibawaan tokoh dalam keluarga terutama anak, dan (2) adanya sanksi penghargaan tidak berterimanya tokoh Sadiroen di kalangan masyarakat 33 DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris. 2009. Cultural Studies (penerjemah Nurhadi). Yogyakarta : Kreasi Wacana Barkers, Chris. 2000. Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publications Cerpen “Patung tak Bermuka” karya tjahyono widarmanto Damono, Sapardi.1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra, Persoalan, Teori dan Metode. Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta:Tiara Wacana. Lincoln, Yvona dan Egon G. Guba. 1985. Naturaliistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publications. Luxembrug, Jan Van dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. 1986. Jakarta PT Gramedia. Ricoucer, Paul. 1978. The Rule of Methapor. Toronto ( terjemahan edisi1975 (X) Storey, Jhon. 2008. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (TerjemhanPenerjemah Layli Rahmawati). Yogyakarta:Jalasutra. Sumardjo, Yakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta:Nur Cahya. Teeuw. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya Widarmanto, Tjahyono. 2010. Patung Tak Bermuka. Ngawi : Ilalang 34