CONSTRUCTING ANTI-RAPE CULTURE (MEMBANGUN PERILAKU SADAR DIRI TERHADAP POTENSI DAN PRAKTIK KEKERASAN SEKSUAL MELALUI ARENA MEDIA SOSIAL) Maulana Surya Kusumah Universitas Jember [email protected] ABSTRACT Kehadiran dunia maya dan media sosial menghadirkan berbagai bentuk konten, termasuk pula konten seksual. Konten seksual menjadikan ranah privat menjadi ranah publik. Semua konten ini demikian mudah diakses bahkan oleh remaja dan anak-anak di bawah umur. Secara sosiologis, konten-konten tersebut sedang menyerang gelombang pikir remaja dan anak-anak di bawah umur untuk ikut dalam arena perilaku seksual yang belum layak bahkan tidak pantas diikuti. Konten ini menjadi alat konstruksi sosial ini yang dapat diasumsikan memiliki potensitinggi akan menghadirkan kekerasan seksual dan pemerkosaanyang bisa jadi melibatkanremaja. Asumsi ini didukung oleh fakta bahwa, pertama, arena konten“terbuka dan sangat mudah diakses”. Secara ideologis keterbukaan ini seolah tengah mempropagandakan “keterbukaan seksual” yang bisa dihadiri semua khalayak tanpa ada istilah “orang luar” ataupun “orang dalam”; kedua, secarakulturalkonten ini bertentangan dengan budaya lokal masyarakat Indonesia, yang menempatkan “seksualitas sebagai sesuatu yang sakral dan taboo”. Arena media sosial juga menjadi arena transaksi seksual, yang dapat pula dimasuki remaja dan anakanak baik sebagai penikmat maupun sebagai “artis”. Kondisikekinian di media sosial inilah yang menjadipenopangbudaya Rape Culture. Keyword: konstruksi, anti rape culture, kekerasan seksual, kesadaran seksual Pendahuluan Antirape culture atau budaya anti pemerkosaan merupakan kajian era baru yang sangat diminati di dunia kampus bahkan sampai memasuki wilayah gerakan pula. Gruber (2016) menyatakan bahwa gerakan anti-rape telah mampu meningkatkan nilai moralitas dan merevitalisasi gerakan feminisme dengan energi politik dalam gerakannya, yang selama ini telah dianggap "mati". Susan Brown Miller, menyebut gerakan anti-rape dengan "fourth wave of feminism,", Di kampus-kampus di banyak aktivist tampil dengan kaos bertuliskan "This Is What a Feminist Looks Like" dan menyebut wanita "womyn" sampai juga menulis "herstory.”i Jika Gruber (2016) lebih melihat antirape culture melalui sebuah gerakan dan arenanya terjadi pada realitas sosial nyata. Maka tulisan ini mencoba melihat pada tekanan rape-culture sebagai pengaruh media sosial. Belakangan ini, public dikejutkan dengan ramainya pemberitaan media perihal kasuskasus kekerasan seksual. Bukan hanya sekedar laporan kejadian pemerkosaan biasa, kali ini [1107] Constructing Anti-Rape Culture...| 1108 lebih miris lagi bahwa praktik pemerkosaan dilakukan dengan cara-cara amat sadis. Selain dinodai hak asasinya dan harkat kewanitaannya, korban tidak jarang yang terpaksa harus meregang nyawa akibat kekejaman dari si pelaku. Sebut saja, kasus terakhir yang membuat seorang gadis ditemukan mati mengenaskan dengan tubuh tercabik-cabik karena penganiayaanii. Yang menambah ironi adalah belakangan para pelaku ternyata semuanya berusia belia, dibawah 20 tahun. Dua diantara ke 14 orang pelaku tersebut teridentifikasi justru teman sekolah korban. Ramai diberitakan bahwa mayoritas pelaku yang ternyata korban putus sekolah ini sudah lama memiliki kebiasaan menonton video porno secara rutin. Sebelum menjalankan aksinya, mereka juga melakukan aksi mabok-mabokan dengan berpesta minuman keras. Memasuki tahun 2017, dunia sosial Indonesia dikejutkan dengan prostitusi online yang dikelola oleh seorang remaja belia. Sebelumnya sebuah pembunuhan terjadi dengan korban sangat mengenaskan, sebuah gagang (pegangan) cangkul menembus alat kemaluan korban. Pembunuhan tersebut dilakukan sadis dengan menancapkan pacul di bagian kelamin korban, sebelum dibunuh korban diperkosa terlebih dahuluiii. Pada bulan Mei 2016, telah terjadi pemerkosan terhadap remaja 14 tahun berasal dari Bengkulu yang dilakukan oleh 14 orang remajaiv,v. Keempat belas remaja ini memiliki hobi menonton video porno. Tiga fakta ini mengungkap telah terjadi gelombang dahsyat pada remaja dalam memasuki arena seksualitas. Tiga fakta inipun menampilkan kesamaan, yaitu hadirnya media baik sebagai arena transaksi maupun sebagai media yang dikonsumsi. Bagian paling mengedepan adalah pelaku masih remaja atau di bawah usia. Video porno, bacaan porno, dan semua materi porno lainnya sangat mudah menyerang ingatan para remajavi,vii. Anak-anak dan remaja sangat rentan terpapar oleh semua yang berbau pronografi. Paparan ini akan melekat dalam ingatan anak-anak dan remaja. Hal ini dapat mendorong anak-anak untuk melakukan perilaku seksual terhadap anak-anak yang lebih muda, lebih kecil, atau lebih rentan. Tidak hanya itu paparan pornografi pada anak juga dapat menyebabkan ingatan gambar-gambar pornografi yang selalu terukir dalam ingatan mereka seumur hidup. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tindak kekerasan seksual merupakan tindakan pelecehan seksual kepada orang lain yang disertai dengan perilaku yang tidak menyenangkan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Tulisan ini melihat kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual sebagai sesuatu yang kompleks, bukan hanya dari sisi tindakan si pelaku namun juga dilihat kaitannya dengan budaya yang berada di sekitar kehidupan dan arena tumbuh kembang si pelaku. Dengan kata lain, perilaku kekerasan seksual bukan semata-mata tindakan spontanitas yang berhenti pada level individual. Melainkan sebagai sebuah tindakan yang mencerminkan kesadaran kolektif masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, upaya penanganan dan pencegahan terhadap tindak kekerasan seksual tidak dianjurkan hanya bersifat reaksioner dan artifisial. Berangkat dari pemahaman bahwa tindakan sosial adalah pengejawantahan tatanan mental yang ada di dalam kesadaran, maka menyelidiki lebih jauh tentang cara pandang dan persepsi yang menjadi dasar perilaku amatlah penting. Dengan kata lain bahwa, mengharapkan perubahan perilaku haruslah diawali dengan mengubah apa yang ia pahami tentang hal-hal terkait perilaku yang dimaksud. The 1st International Conference on Education, Literature, and Arts (ICELA) 1109 | Maulana Surya Kusumah Dalam konteks praktik kekerasan seksual, tindak pelecehan seksual tidak dilihat sebagai perbuatan tunggal, akan tetapi akibat dari rangkaian panjang dari pola sosialisasi di dalam keluarga, peran media, dan perilaku di dalam peer-group pelaku. Kesemua factor tersebut bermuara pada tindakan seseorang di dalam masyarakat. Tulisan ini berupaya menguak ruang peluang media sosial dalam membentuk perilaku seksual seseorang. Mengidentifikasi elemen-elemen yang ditampilkan media sosial dan semudah apa dapat diakses sehingga dapat menjadi penopang rape culture. “Kecanduan” mengkonsumsi tayangan dan menjadi kebutuhan yang berpotensi sebagai pendorong tindakan seksual. Konstruksi Teoritis Tentang Rape Culture Dalam kehidupan yang normal, hubungan sexual identik dengan sejumlah karakteristik seperti kehangatan, penuh gairah dan kesediaan untuk saling memberi dan memuaskan. Namun, lain halnya dengan kasus pemerkosaan. Ia dipahami sebagai hubungan seksual yang tidak disertai kebersediaan, melibatkan pemaksaan dan bahkan tidak jarang disertai kekerasan. Pada konteks normatif, pemerkosaan malah memiliki pendefinisian yang amat sederhana, yaitu hubungan seksual berbasis pemaksaan yang dilakukan di luar hubungan pernikahan. Pada konteks ini, tidak jarang melahirkan konsekuensi lanjutan. Akibat dari pemerkosaan hanya dibatasi dengan legal tidak legal dalam koridor perkawinan, banyak praktik kekerasan seksual yang terjadi dalam keluarga tidak mendapatkan perhatian yang cukupviii. Oleh karena itu, persoalan pemerkosaan sudah selayaknya dipandang sebagai masalah bersama karena menyangkut peran banyak pihak dalam langkah penanganan dan pencegahannya. Perilaku sexist, adalah bagian dari manifestasi secara luas dari ketimpangan gender yang ada di dalam masyarakat. Perilaku yang dimaksud tidak hanya berada pada ranah fisik, namun juga non fisik. Antara lain tercermin dalam bahasa sehari hari, refleksi dari pasal pasal dalam peradilan dan bahkan pada ranah hiburan (seni). Kekerasan dalam rape culture dierotisasi dalam berbagai medium seperti tulisan, gambar bahkan adegan sebuah film. Dimana keseluruhannya mengarah pada pola yang sama, yaitu mendiskreditkan perempuan dan menjadikannya sasaran kesalahan dari pada pembelaanix. Beberapa fakta tentang pemerkosaan yang perlu di garis bawahi adalah pertama, berbeda dengan kasus kriminalitas yang lain, pemerkosaan identik dengan menjadikan korban sebagai pihak yang bersalah atau setidaknya menjadi penyebab terjadinya tindak kejahatan (Victimization). Kedua, bila dilihat dari sisi usia, memang hampir segala klasifikasi umur dari anak anak hingga orang tua pernah jadi korban. Namun jika dilihat korban yang rata rata paling banyak dialami oleh mereka yang tergolong usia muda. Hal ini dikarenakan, baik sebagai pelaku maupun korban, mereka yang terlibat dalam praktik kekerasan seksual belum sepenuhnya matang secara kejiwaan. Akibatnya, proses mental dalam memilih sebuah perbuatan tidak berhasil secara sempurna. Sebagaimana umumnya remaja, masa panca roba membuat mereka kurang mementingkan resiko dan cenderung mengabaikan akibat jangka panjang dari sebuah perilaku. Rape Culture adalah lingkungan dimana pemerkosaan dianggap biasa dan kekerasan “Intercultural Communication through Language, Literature, and Arts” Constructing Anti-Rape Culture...| 1110 seksual terhadap wanita dipandang sebagai hal yang lumrah dan karenanya dimaklumi, terutama nampak dalam perilaku media dan budaya massa. Dengan kata lain, pemerkosaan bukan hanya sekedar pemaksaan berhubungan seksual kepada seseorang, namun dilihat sebagai manifestasi sikap mental terhadap seksualitas. Oleh karenanya memahami perilaku kekerasan seksual harus dimulai dari apa yang dipahami pelaku tentang apa yang diperbuatnya. Dalam konteks ini faktor faktor pembentuk pengetahuan dan persepsi si pelaku menjadi penting untuk dikaji, beberapa di antara nya adalah, pandangan terhadap relasi dan stereotype gender, konsepsi mereka tentang maskulinitas dan feminimitas dan lain lain. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Rape Culture dibentuk dan diperkuat melalui instrumen sosial dan budaya seperti bahasa misoginis, pembendaan terhadap tubuh perempuan dan perayaan terhadap praktik kekerasan seksual. Dalam jangka panjang, internalisasi nilai nilai yang “keliru” tentang seksualitas dan relasi pria-wanita menjadi faktor yang signifikan dalam membentuk perilaku yang cenderung tidak menghormati terhadap hak-hak dan rasa aman, terutama bagi perempuan. Selama seksualitas masih dianggap sebagai sebagai sesuatu yang “kotor”, rendah, dan identik dengan kekerasan yang disertai oleh pemaksaan terhadap perempuan, maka selama itu pula Rape Culture akan terus tumbuh dan berkembang. Hal ini ditandai dengan erotisisasi kekuasaan pria akan wanita yang secara bersamaan penegasan terhadap inferioritas perempuan. Situasi ini bukan hanya terbatas pada ranah keluarga, tapi juga yang lain seperti dunia kedokteran, industri bahkan di ranah hukum. Hal lain yang juga digaris bawahi adalah mitos tentang maskulinitas. Bagaimana masyarakat mendefinisikan tentang maskulinitas akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana perempuan diperlakukan. Pencegahan tidak kekerasan seksual hanya bisa dimulai dengan mengubah citra dan pemahaman masyarakat tentang maskulinitasx.Berdasarkan sejumlah studi 1 dari 3 wanita dan 1 dari 6 pria pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak. Fenomena tersebut menunjukkan tingginya angka prevalensi pelecehan seksual pada anakxi,xii, xiii. Metode Menggunakan CDA atau Critical Discourse Analysis, analisis ini melakukan pendekatan secara qualitative terhadap teks,studi analisis dilakukan terhadap teks tiga media sosial, dengan memfokuskan pada wacanadari teks-teks konten. Menurut Fairclough, CDA is analysis of the dialectical relationships between discourse (including languagebut also other forms of semiosis, e.g. body language or visual images) and other elementsof social practices.CDA dalam pandangan Fairclough melibatkan tigadimensi, yakni teks, praktik diskursif, dan praktik sosial.Teks yang dikaji dalam tulisan ini adalah konten “pornografi” yang tersebar di media sosial, G+ (Google plus), Instagram, dan Facebook. Kata kunci dalam penelusuran adalah “Bokep”.Critical Discourse Analysismenerapkan prinsip-prinsip analisis kritisuntuk menganalisis wacana teks.Van Dijkxiv essentially perceives discourse analysis as ideology analysis, becauseaccording to him, "ideologies are typically, though not exclusively, expressed andreproduced in discourse and communication, including non-verbal semiotic messages,such as pictures, photographs and movies". The 1st International Conference on Education, Literature, and Arts (ICELA) 1111 | Maulana Surya Kusumah Michel Foucault, yang pada awalnya dimotivasi oleh kegelisahannya terhadap pereduksian makna wacana (diskursus).xv Foucault menyatakan wacana merupakan sistem produksi makna yang menyediakan individu-individu cara melihat, berpikir, dan berperilaku. Dalam pengertian ini, praktik diskursif dari individu dipandang sebagai efek dari wacana yang pada dasarnya sangat terkait dengan relasi kuasa.Interpretasi kritis untuk mengungkap relasi ideologi dan hegemoni seksualitas dalam arena diskursus dalam konten diupayakan ditampulkan sebagai upaya membedah produksi pengetahuan seksualitas bagi remaja. Hasil dan Pembahasan Realita Sosial Perilaku Seksual Remaja Menurut beberapa sumber yang salah satunya adalah warta online lokal, Indonesia memang masuk kategori negara yang memiliki tingkat kejadian pemerkosaan cukup tinggi. Sepanjang tahun 2013 saja, tercatat kurang lebih 27 kasus tindak kekerasan seksual yang sebagian besar adalah praktik pemerkosaan yang diberitakan. Dari sejumlah kasus tersebut, tercatat 29 korban dan dilakukan oleh setidaknya 45 orang pelakuxvi. Ini artinya, kasus pemerkosaan di Indonesia bukan hanya kejadian antar personal pelaku dan korban, tetapi melibatkan kelompok yang lebih besar. Jika di total secara akumulatif, angkanya jauh lebih mengejutkan. Per Juli 2013 anak-anak usia 0-14 tahun dengan jumlah total 34.049.541 lakilaki dan 32.844.509 perempuan atau 26% dari total jumlah penduduk Indonesia mengalami kekerasan seksualxvii. PERILAKU SEKSUAL REMAJA SMP dan SMU Series1; pernah Ciuman, petting, orang seks; 93,70% Series1; Pernah nonton film porno; 97% Series1; Remaja SMP tidak perawan; 62,70% Series1; Remaja SMA pernah aborsi; 21,20% Gambar 1.: Perilaku Seksual Remaja SMP dan SMU Sumber: KPAI 2007 Laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak, dari survei yang dilakukannya tahun 2007 di 12 kota besar di Indonesia tentang perilaku seksual remaja sungguh sangat mengejutkan. Hasilnya seperti yang diberitakan SCTV adalah, dari lebih 4.500 remaja yang disurvei, 97 persen di antaranya mengaku pernah menonton film porno. Sebanyak 93,7 persen remaja sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas mengaku pernah berciuman serta happy petting alias bercumbu berat dan oral seks. Yang lebih menyeramkan lagi, 62,7 persen remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi. Bahkan, 21,2 persen remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Ini data tahun 2007, apalagi tahun 2008, pasti sudah “Intercultural Communication through Language, Literature, and Arts” Constructing Anti-Rape Culture...| 1112 bertambah lebih banyak lagi. Pertanyaannya kemudian apakah sudah sedemikian mengerikan perilaku seksual remaja. Apakah perilaku seksual ini ada kaitannya dengan data bahwa 97% responden menyatakan pernah melihat/menonton film porno? Jika ini yang terjadi, asumsinya ada yang keliru dalam pendidikan seks saat ini, atau terlalu kuatnya pengaruh modernisasi teknologi sehingga “kemudahan mengakses” mengkonstruksi pada para remaja menjadi “keliaran seksual.” Tabel 1. Data KomnasPerlindunganAnak Tentang tindakan kekerasan terhadap dan oleh anak selama 2012-2016 No Data 2011 2012 2013 2014 2015 2016 1 Anak Korban Kekerasan di Sekolah (Bulliying) 56 13 96 15 15 81 0 9 4 2 AnakPelakuKekerasan di Sekolah (Bulliying) 48 66 63 67 93 93 3 Pornografidan Cyber Crime 18 17 24 32 46 31 8 5 7 2 3 4 4 Anak Korban KejahatanSeksual Online 17 11 23 53 13 78 3 5 AnakPelakuKejahatanSeksual Online 8 7 16 42 52 51 6 Anak Korban Pornografidari Media Sosial 10 11 14 16 17 13 7 0 7 3 4 2 7 AnakPelakuKepemilikan Media Pornografi 56 47 61 64 10 53 (HP/Video, dsb) 4 8 Anak Sebagai PelakuKekerasanFisik 46 53 76 10 81 62 (Penganiayaan, Pengeroyokan, Perkelahian, dsb) 5 9 Anak Sebagai PelakuKekerasanPsikis (Ancaman, 15 11 21 27 22 23 Intimidasi, dsb) 1 Anak Sebagai PelakuKekerasanSeksual 12 32 24 56 15 86 0 (Pemerkosaan, Pencabulan, Sodomi/Pedofilia, 3 4 7 1 7 dsb) Sumber: KPAI 2016 Data dari KPAI di atas menunjukkan peningkatan cukup signifikan pada sejumlah kasus, terutama pada Pornografidan Cyber Crime dengan angka tertinggi dari semua kasus. Data ini bisa jadi hanya sebagian kecil dari realitas sosial saat ini yang terlaporkan pada KPAI. Atau bisa disebut hanya sebagai puncak gunung es, yang akan mengungkap banyak pada kenyataannya. Lingkungan sosial sangat berperan dalam membentuk dan mengkonstruksikan perilaku remaja dan anak-anak. Remaja dan anak-anak merupakan salah satu pihak yang menempati suatu lingkup sosial. Pada usianya, mereka sedang mengalami proses tumbuh kembang baik secara fisik maupun psikologis. Setting lingkungan yang tepat akan sangat mendukung proses tersebut. Sayangnya, saat ini di Indonesia masih begitu banyak dijumpai lingkungan yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan anak pada kondisi penuh resiko. Paparan paling berbahaya saat ini adalah The 1st International Conference on Education, Literature, and Arts (ICELA) 1113 | Maulana Surya Kusumah kehadiran media sosial yang membenturkan dunia sosial nyata dengan dunia sosial “maya”. Media sosial ini lebih sulit di kontrol dan bahkan sangat mudah diakses. Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapapun, baik orang dewasa ataupun terhadap remaja/anak, yang sudah barang tentu berakibat kesengsaraan atau penderitaan korban perempuan ataupun remaja dan anak secara fisik, seksual atau psikologis. Hal ini termasuk juga ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadinya.Kekerasan seksual yang dilakukan di bawahkekerasan dan diikuti ancaman, sehingga korbantak berdaya itu disebut molester. Kondisi itumenyebabkan korban terdominasi dan mengalamikesulitan untuk mengungkapnya. Namun, taksedikit pula pelaku kekerasan seksual pada anakini melakukan aksinya tanpa kekerasan, tetapi dengan menggunakan manipulasi psikologi.Anak ditipu, sehingga mengikuti keinginannya.Anak sebagai individu yang belum mencapai taraf kedewasaan, belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu daya atau bukan. Selama ini ada yang keliru dalam bangun cara pandang masyarakat, yaitu masyarakat yang umumnya memandang kekerasan seksual/perkosaan hanya sebatas pelanggaran terhadap kesusilaan memicu munculnya pandangan bahwa hal ini adalah persoalan moralitas semata. Moralitas menempatkan perempuan sebagai penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Beban berat yang dilekatkan pada tubuh biologis perempuan ini berunjung pada normabahwa perempuan harus menjaga kesucian dan keperawanan. Sehingga terjadi kekerasan seksual/pemerkosaan pada perempuan, yang bersangkutan cenderung merahasiakan karena rasa malu untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya. Malu atau kuatir dianggap „tidak suci‟ atau „tidak bermoral‟. Sikap korban kekerasan seksual/perkosaan yang menutupi apa yang dialaminya, tidak jarang justru mendapat dukungan dari keluarga ataupun lingkungannya. Konteks moralitas ini seolah-olah mengesampingkan aspek lain yang sebenarnya tidak kalah penting. Pengalaman korban kekerasan seksual dapat menghancurkan integritas hidupnya sehingga ia merasa tidak mampu untuk melanjutkan hidupnya lagi. Aspek moral juga menghambat korban untuk mendapatkan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Selain itu, kekerasan seksual yang dialami korban dapat menempatkan dirinya sebagai pihak yang bersalah karena dianggap memiliki „aib‟ baik bagi dirinya maupun keluarganya. Pada konteks kekerasan seksual/perkosaam pada remaja dan anak-anak, para pelaku “terlindungi” oleh kerapuhan dan kerentanan jiwa anak. Bahkan secara psikologis, selalu ada “ketakutan” dibawah ancaman dan bujuk rayu materi, membuat anak dan remaja sulit “menghindar” bahkan “keengganan untuk menceritakan” kejadian yang telah dialaminya. Weber dan Smith (2010)mengungkapkan dampak jangka panjang kekerasan seksual terhadap anak yaitu anakyang menjadi korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki potensi untukmenjadi pelaku kekerasan seksual di kemudianhari. Ketidakberdayaan korban saat menghadapitindakan kekerasan seksual di masa kanak-kanak,tanpa disadari digeneralisasi dalam persepsi mereka bahwa tindakan atau perilakuseksual bisa dilakukan kepada figur yang lemahatau tidak berdayaxviii. “Intercultural Communication through Language, Literature, and Arts” Constructing Anti-Rape Culture...| 1114 Teks dan Ideologisasi Keliaran Seksualitas dalam Media Media sosial adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Media sosial menjadi subtitusi/pengganti arena komunikasi, transaksi dan relasi sosial dari dunia nyata menjadi dunia maya. Dalam dunia sosial nyata, arena komunikasi, transaksi dan relasi sosial akan dibingkai sesuai lingkup dan situasi sosial. Tidak mudah orang lain memasuki arena yang bukan menjadi lingkup sosialnya. Perkembangan teknologi melahirkan arena komunikasi, transaksi dan relasi sosial yang bisa dimasuki semua manusia tanpa batas (geografis, etnis, demografis dan usia). Berpedoman penelusuran dengan kata “Bokep” pada 3 media sosial, didapat kemudahan tanpa perlu harus melalui prosedur. Pengguna media sosial diberi menu yang sangat mudah untuk mengakses konten pornografi dari media sosial ini. Individu (remaja dan anak-anak) dengan dorongan keingin-tahuan sulit untuk mengontrol gelombang informasi dari konten tersebut. Ketika remaja dan anak-anak lebih sedikit menerima perhatian yang konstruktif, maka anak-anak akan keluar dari arena sosial rumah/keluarga tanpa pengawasan orang tua sehingga memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengkonstruksi pada perilaku menyimpang, seperti kenakalan remaja, mengalami masalah perilaku, dan bahkan perilaku seksual menyimpang. Tampilan teks dan symbol seksual dalam media sosial sangat beragam, mulai teks narasi verbal sampai dengan gambar-gambar vulgar. Tabel 2 Facebook Tampilan dan Jumlah akun berdasarkan penelusuran dengan teks Bokep Twitter Google plus 45 Akun dan Grup Sumber: Hasil penelusuran 35 Akun dan Grup 472 Akun dan Grup The 1st International Conference on Education, Literature, and Arts (ICELA) 1115 | Maulana Surya Kusumah Akun dalam media sosial di atas menyajikan berbagai bentuk tayangan pornografi. Semua mudah dapat diakses oleh siapapun. Jika akun ini diakses oleh para remaja dan anakanak, dan ini akan menciptakan kecanduan karena mereka menemukan kesenangan dari upaya penelusuran ini. Kastlemanxix mengatakan bahwa anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap gambar-gambar pornografi karena struktur otak mereka yang belum sempurna terbentuk dan hal ini yang menyebabkan anak-anak dan remaja sering bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Apabila seorang anak atau remaja tersebut terpapar dengan gambar-gambar atau konten yang mengandung pornografi maka hal ini dapat menciptakan kebingungan baru, stress, dan berbagai perilaku pada anak dan remaja dan bahkan anak dan remaja tersebut mampu melakukan perilaku seksual lebih awal pada temannya ataupun orang yang lebih rentan darinya. Konten yang tersebar begitu banyak menjadi motor pemicu pada remaja dan anak-anak untuk lahir sebagai penikmat bahkan pelaku perilaku seks menyimpang. Bahkan dapat menjadi triger/pemicu tindakan kekerasan seksual dan perkosaan. Suguhan tidak sehat terhadap jiwa dan perkembangan psikologis remaja dan anak-anak membenturkan nilai moralitas pada dunia nyata dengan realitas kebebasan seksual di dunia maya. Tabel Facebook 3 Akun dengan identitas teks Bokep Twitter Google plus Tiga akun grup di atas adalah contoh dari ratusan akun dengan menggunakan “Bokep” sebagai identitas menampilkan bagaimana gelombang informasi pornografi demikian mudah diakses, bahkan diunduh. Bokep menjadi arena transaksi dan komunikasi pornografi.Kembali pada kata kunci “seksualitas dan pornografi” dalam diskursus pada media sosial menjadi sebuah proses pembangunan pengetahuan tentang seksualitas. “Bokep” menjadi teks kunci “Intercultural Communication through Language, Literature, and Arts” Constructing Anti-Rape Culture...| 1116 yang merepresentasi “seksualitas dan pornografi”. Arena ini merubah semua ranah privat menjadi ranah publik. Remaja dan anak-anak yang memasuki arena ini “memaksa” dirinya menjadi bagian dari ranah “dewasa” yang belum saatnya dimasuki, tanpa pilar pembatas ataupun hambatan. Melalui arena ini remaja dan anak-anak “dipaksa” untuk mengenali berbagai bentuk perilaku dan tindakan seksual. Pada konteks inilah bokep menjadi alat penguatan “rape culture” terhadap pengetahuan dan kesadaran remaja dan anak-anak. Pada bagian ini media sosial diasumsikan melakukan kekerasan. Konten-konten di media sosial ini membuka lebar diskursus dialektis yang juga “menghadirkan” serta “menanamkan” nilai kebebasan seks. Remaja dan anak berproses membangun pengetahuan seksualitasnya dari media. Secara sosialogis, harus diakui bahwa edukasi seks bagi remaja dan anak dalam budaya Indonesia masih sangat kurang dan/atau tertutup. Tidak jarang remaja dan anak-anak merasa aneh membicarakan tentang seks.Proses pencarian pengetahuan dan pemaknaan seksualitas, membawa mereka pada ranah ideologi kebebasan seksual. Gambar 2. Alur Wacana Ideologisasi Pengetahuan Seksualita Mengkonstruksi untuk Melawan Membangun tesis anti rape culture maka ada 4 pendekatan teori dapat dipakai dengan konsekuensi tidakan yang harus dilakukan, yaitu hypodermic needle approach, motivational models, catalyst model, dan moral panic theory. Strasburger (2007) menawarkan “Hypodermic Needle”yaitu bahwa yang ditampilkan oleh media menjadi pendorong utama dari tindakan atau cara (primary driver of behavior or a tool) yang dilakukan melalui tindakan-tindakan yang menjadi masalah sosial, yang secara teoritis terkait tingkat pembunuhan, kejahatan kekerasan, kekerasan remaja atau bullying.xx Pendekatan atau teori ini mengklaim bahwa pengaruh kekerasan media tidak berbeda dengan pengalaman kekerasan di dunia nyata.xxi Teori ini sering menyatakan “no one isImmune.” Motivational models menempatkan pengguna media sebagai pusat dari pengalaman The 1st International Conference on Education, Literature, and Arts (ICELA) 1117 | Maulana Surya Kusumah menggunakan media. Ada dua teori yang berkembang, yaitu Uses andGratificationsxxii, serta Self-DeterminationTheoryxxiii.Pendekatan ini menawarkan bahwa individu pengguna media mampu menyeleksi media sesuai motivasi, keinginan dan tujuan. Sehingga dalam pendekatan model ini ada kemampuan kritis pengguna dalam memilih media. Catalyst modeladalah model yang melihat hubungan antara model agresif dengan perilaku kekerasan dibandingkan pengaruh media sosialxxiv. Model ini memposisikan perilaku agresi bersifat patologis yang terbentuk dari resiko genetik dan lingkungan. Model ini memasukkan pula faktor sosialisasi, peran keluarga, peer group meskipun bukan faktor utama. Pengaruh media tidak secara langsung berdampak pada tindakan agresif. Moral panic theory kurang memperhatikan pengaruh media tetapi lebih melihat pada respon masyarakat terhadap kehadiran media baru. xxvEmpat model dalam menganalisis relasi media dengan dunia nyata ini menjadi tantangan besar untuk memformulasikan tindakan sosial anti rape culture. Mengkontruksi anti rape culture artinya memotong proses ideologisasi seksualitas. Hegemoni dan ideologi yang melekat dalam diskursus seksualitas hanya bisa dipatahkan oleh intertekstualitas yang bertindak sebagai mekanisme untuk menjaga atau mengubah relasi dominasi. Pertanyaannya adalah bagaimana pembenahan intelektualitas tersebut dilakukan. Dengan mengacu pada empat kerangka model, maka dapat diidentifikasi 6 variabel yang berperan, yaitu:Negara (blok dan kontrol situs); Parenthing system; Pendidikan seks dini; Public awareness; Penyadaran; Secara lebih sederhana tabel berikut menampilkan alur propaganda anti rape culture. Tabel.4 Teori, Karakteristik dan Mekanisme Anti rape Culture No Theory Karakteristik Mekanisme Anti rape Culture 1 Hypodermic media menjadi pendorong utama Negara (blok dan Needle dari tindakan atau cara kontrol situs) 2 Motivational individu pengguna media mampu Parenthing system models menyeleksi media sesuai Penyadaran Public awareness motivasi, keinginan dan tujuan. 3 Catalyst model media tidak secara langsung Pendidikan seks dini berdampak pada tindakan agresif. 4 Moral panic melihat pada respon masyarakat theory terhadap kehadiran media baru Mempergunakan dasar kerangka Hong, Tsai, Chiang, dan Hwang (2015)xxvimaka propaganda anti rape culture dirumuskan dalam sebuah formula untuk memberi rambu mengakses media sosial. Sementara pendapat Jorgensen dan Phillips tentang perlunya konstruksionisme sosial dibangun melalui premis berikut, 1) pendekatan kritis terhadap pengetahuan yang taken-for-granted; 2) spesifikasi kultural dan historis; 3) hubungan antara pengetahuan dan proses sosial; 4) hubungan antara pengetahuan dan tindakan sosial.xxvii “Intercultural Communication through Language, Literature, and Arts” Constructing Anti-Rape Culture...| 1118 Dengan menghubungkan dua pendapat tersebut di atas maka dihasilkan alur propaganda mekanisme anti rape culture, sebagaimana tergambarkan pada alur di bawah ini. Negara (blok dan kontrol situs) Nilai-nilai Hedonis Dorongan (Motivasi) Parenthing system Penyadaran Perilaku SADAR DIRI Intelektualitas Akses social media Sifat Keterbukaan Nilai-nilai Utilitarianisme Public awareness Pendidikan seks dini Gambar 3. alur propaganda mekanisme anti rape culture. Kesimpulan Peningkatan pengetahuan tentang seksualitas dan dampak sosialnya menjadi alat dalam rekayasa sosial konstruksi anti rape culture. Menanamkan pengetahuan menjadi kesadaran dan merasuk menjadi nilai akan sangat membantu upaya perlawanan terhadap kekerasan seksual dan potensi pemerkosaan. Jika nilai ini dijadikan pijakan oleh masyarakat dalam memperlakukan nilai relasi seksual maka sudah bisa disimpulkan bahwa praktek kekerasan seksual dan pemerkosaan dapat diminimalisir. Relasi dialektika diskursus ideology dan hegemoni kekuasan seks dengan pengguna di media sosial juga menjadi poin penting. “Bokep” atau teks kevulgaran di media sosial ini membuka lebar diskursus dialektis yang juga “menghadirkan” serta “menanamkan” nilai kebebasan seks. Remaja dan anak berproses membangun pengetahuan seksualitasnya dari media. i Aya Gruber, (2016), Anti-Rape Culture, 64 U. Kan. L. Rev. 1027, available at http://scholar.law.colorado.edu/articles/10. ii http://www.bintang.com/lifestyle/read/2497957/sungguh-biadab-ini-10-fakta-pelaku-pemerkosaan-yuyun iii Nursita Sari. (2016, May 17). IniPenjelasanPakarPsikologiForensikSoalPembunuhanSadisKaryawati. Kompas.com. Diaksesdari http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/17/13155611/Ini.Penjelasan.Pakar.Psikologi.Forensik.soal.Pembun uhan.Sadis.Karyawati iv Resa. (2016, May 9). BeritaTerkini: GeramDenganKasusYuyun, Jokowi InstruksikanAturanBaruBeratkanHukumanPelakuPelecehanSegeraDiberlakukan!.Indowarta. Diaksesdarihttp://indowarta.com/3933/berita-terkini-geram-dengan-kasus-yuyun-jokowi-instruksikan-aturanbaru-beratkan-hukuman-pelaku-pelecehan-segera-diberlakukan/ v Dian, R., Kiswondari.,Rahmat, S., Rina., Neneng, Z. (2016, May 5). KasusYuyunTragediKemanusiaan. Koransindo. Diaksesdarihttp://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=0&date=2016-05-04 vi YulitaAmaliyasari&NunikPuspitasari. (2008). PerilakuSeksualAnakUsiaPraRemaja di SekitarLokalisasidanFaktor yang Mempengaruhi. J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 1, 54-60 vii Mark. B. Kastleman, (2015). The Drug of The New Millenium (NarkobaMileniumBaru). Jakarta: Yayasan Kita danBuahHati. The 1st International Conference on Education, Literature, and Arts (ICELA) 1119 | Maulana Surya Kusumah viii Dianne F, Herman. (1989). "The Rape Culture". In Freeman, Jo. Women: a feminist perspective (4th ed.). Mountain View, Calif.: Mayfield Pub. Co. ISBN 9780874848014. Hal. 46. ix Powel, 2014 x Dianne F Herman. (1989). Op.cit.Hal. 52. xi K Etherington. (2000). Counselling in action: Supervising counselors who work with survivors of childhood sexual abuse. Journal of Counselling Psychology Quarterly,13, 4, 377-389. xii R Morris. (2006). Understanding child sexual abuse. 62nd Annual IARCCA Conference-Indianapolis xiii J. A., Lipovsky& Hanson, R. F. (2007) Treatment of child victims of abuse and neglect. Department of social services webpage. http://www.state.sc.us./dss/cps/images/figure3. xiv vanDijk, T.A. (1995). Discourse Analysis as Ideology Analysis. In ChristiinaSchaffnerand Anita L. Wenden (eds.). Language and Peace. Dartmouth: Aldershot. Pp.17-33 xv Sara Mills, Discourse (New York & London: Routledge, 2001), hlm. 6. xvi http://www.tribunnews.com/nasional/2013/01/28/ipw-sepanjang-januari-2013-pemerkosaan-mencapai-25kasus xvii http://kawankumagz.com/Feature/News/Data-Kasus-Pelecehan-Seksual-Di-Indonesia-Hingga-2013 xviii Mark ReeseWeber, Dana M.Smith (2010).Outcomes of Child Sexual Abuse asPredictors of laters Sexual Victimization.Dalam Journal of International Violence.(Online). 26 (9): 1899-1905. xix Kastleman, 2015, Op cit. Hal 23 xx Strasburger, V. (2007). Go ahead punk, make my day: It‟s time for pediatricians to takeaction against media violence. Pediatrics, 119, e1398-e1399 xxi Huesmann B. L. Bushman, Twenty-five years of research on violence in digital gamesand aggression revisited: A reply to Elson and Ferguson (2013). European Psychologist.2014;19(1):47-55. xxii Lucas K. Sherry J., Greenberg B, Lachlan K. Video Game Uses and Gratifications asPredicators of Use and Game Preference. Playing video games: Motives, responses, andconsequences. Mahwah, NJ, US: Lawrence Erlbaum Associates Publishers; 2006:213-224. xxiii Rigby C, Przybylski A,Ryan R. A motivational model of video game engagement.Review Of General Psychology. 2010;14(2):154-166 xxiv R. Surette, Cause or catalyst: The interaction of real world and media crime models.American Journal Of Criminal Justice. 2013;38(3):392-409 xxv , N. D. Bowman, (2016). The Rise (and Refinement) of Moral Panic. In R. Kowert and T.Quandt (Eds), The Video Game Debate: Unraveling the physical, social, andpsychological effects of digital games (pp. 22-38). New York: Routledge. xxvi Hong, Jon-Chao, Chi-Ruei Tsai, Chi Fan-Chiang, Ming-Yueh Hwang, (2015), Mindfulness in learning safe sex via social media: Perspectives ofpersonality and experiential value, Computers in Human Behavior 64 (2016) 337e346, journal homepage: www.elsevier.com/locate/comphumbeh, diakses 17th April 2017, http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2016.06.033 xxvii Marianne Jorgensen dan Louise Phillips, Discourse Analysis as Theory andMethod (Los Angeles: Sage, 2002), hlm. 5-6. Daftar Pustaka Amaliyasari,Yulita & Nunik Puspitasari. (2008). Perilaku Seksual Anak Usia Pra Remaja di Sekitar Lokalisasi dan Faktor yang Mempengaruhi. J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 1, 54-60 Bowman N. D., (2016). The Rise (and Refinement) of Moral Panic. In R. Kowert and T.Quandt (Eds), The Video Game Debate: Unraveling the physical, social, andpsychological effects of digital games (pp. 2238). New York: Routledge. Etherington, K., (2000). Counselling in action: Supervising counselors who work with survivors of childhood sexual abuse. Journal of Counselling Psychology Quarterly,13, 4, 377-389. Gruber,A.,(2016), Anti-Rape Culture, 64 http://scholar.law.colorado.edu/articles/10. U. Kan. L. Rev. 1027, available at Herman, Dianne F,. (1989). "The Rape Culture". In Freeman, Jo. Women: a feminist perspective (4th ed.). Mountain View, Calif.: Mayfield Pub. Co. ISBN 9780874848014. Hal. 46. “Intercultural Communication through Language, Literature, and Arts” Constructing Anti-Rape Culture...| 1120 Hong, Jon-Chao, Chi-Ruei Tsai, Chi Fan-Chiang, Ming-Yueh Hwang, (2015), Mindfulness in learning safe sex via social media: Perspectives ofpersonality and experiential value, Computers in Human Behavior 64 (2016) 337e346, journal homepage: www.elsevier.com/locate/comphumbeh, diakses 17th April 2017, http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2016.06.033 http://kawankumagz.com/Feature/News/Data-Kasus-Pelecehan-Seksual-Di-Indonesia-Hingga-2013 http://www.bintang.com/lifestyle/read/2497957/sungguh-biadab-ini-10-fakta-pelaku-pemerkosaan-yuyun http://www.tribunnews.com/nasional/2013/01/28/ipw-sepanjang-januari-2013-pemerkosaan-mencapai-25-kasus Huesmann B. L. Bushman, Twenty-five years of research on violence in digital gamesand aggression revisited: A reply to Elson and Ferguson (2013). European Psychologist.2014;19(1):47-55. Jorgensen, M.,dan Louise Phillips, Discourse Analysis as Theory andMethod (Los Angeles: Sage, 2002), hlm. 56. Kastleman, Mark. B., (2015). The Drug of The New Millenium (NarkobaMileniumBaru). Jakarta: Yayasan Kita danBuahHati. Kiswondari, Dian, R.,.,Rahmat, S., Rina., Neneng, Z. (2016, May 5). KasusYuyunTragediKemanusiaan. Koransindo. Diaksesdarihttp://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=0&date=2016-05-04 Lipovsky, J. A., & Hanson, R. F. (2007) Treatment of child victims of abuse and neglect. Department of social services webpage. http://www.state.sc.us./dss/cps/images/figure3. Lucas K. Sherry J., Greenberg B, Lachlan K. Video Game Uses and Gratifications asPredicators of Use and Game Preference. Playing video games: Motives, responses, andconsequences. Mahwah, NJ, US: Lawrence Erlbaum Associates Publishers; 2006:213-224. Mills, Sara, Discourse (New York & London: Routledge, 2001), hlm. 6. Morris, R. (2006). Understanding child sexual abuse. 62nd Annual IARCCA Conference-Indianapolis Powel, 2014 Przybylski, Rigby C, A,Ryan R. A motivational model of video game engagement.Review Of General Psychology. 2010;14(2):154-166 Resa. (2016, May 9). BeritaTerkini: GeramDenganKasusYuyun, Jokowi InstruksikanAturanBaruBeratkanHukumanPelakuPelecehanSegeraDiberlakukan!.Indowarta. Diaksesdarihttp://indowarta.com/3933/berita-terkini-geram-dengan-kasus-yuyun-jokowi-instruksikanaturan-baru-beratkan-hukuman-pelaku-pelecehan-segera-diberlakukan/ Sari,Nursita. (2016, May 17). Ini Penjelasan Pakar Psikologi Forensik Soal Pembunuhan Sadis Karyawati. Kompas.com. Diakses dari http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/17/13155611/Ini.Penjelasan.Pakar.Psikologi.Forensik.soa l.Pembunuhan.Sadis.Karyawati Strasburger, V. (2007). Go ahead punk, make my day: It‟s time for pediatricians to takeaction against media violence. Pediatrics, 119, e1398-e1399 Surette, R., Cause or catalyst: The interaction of real world and media crime models. American Journal Of Criminal Justice. 2013;38(3):392-409 Van Dijk, T.A. (1995). Discourse Analysis as Ideology Analysis. In Christiina Schaffnerand Anita L. Wenden (eds.). Language and Peace. Dartmouth: Aldershot. Pp.17-33 Weber, Mark Reese, Dana M.Smith (2010).Outcomes of Child Sexual Abuse as Predictors of laters Sexual Victimization.Dalam Journal of International Violence.(Online). 26 (9): 1899-1905. The 1st International Conference on Education, Literature, and Arts (ICELA)