BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 menyatakan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi ketika seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Pengertian kesehatan jiwa tersebut dengan jelas menerangkan bahwa setiap individu berhak untuk mendapatkan kualitas hidup yang layak yang dititikberatkan pada perkembangan fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga memungkinkan individu tersebut mampu hidup produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelayanan kesehatan bukan hanya ditujukan untuk pelayanan fisik saja, melainkan harus melayani kesehatan jiwa dan sosial serta bukan hanya mengobati penyakit, tetapi juga pengembangan kualitas hidup yang sejahtera baik dari produktifitas, maupun sosial ekonomi. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 dijelaskan, hak penderita gangguan jiwa sering terabaikan, baik secara hukum maupun secara sosial, sehingga pelayanan kesehatan jiwa serta jaminan hak orang dengan gangguan jiwa tidak bisa diwujudkan secara optimal yang menyebabkan menurunkan produktivitas penderita, baik dalam bekerja maupun dalam beraktivitas sehari-hari. Salah satu permasalahan pelayanan kesehatan jiwa adalah kurangnya tenaga kesehatan yang berkerja untuk menangani masalah kesehatan jiwa, serta minimnya fasilitas kesehatan jiwa, jumlah psikiater di Indonesia sekitar 600 orang, 75% memilih bekerja di Pulau Jawa dan 86% dari jumlah tersebut bekerja di Jakarta. Lebih lanjut, selama ini dokter dan pekerja kesehatan di puskesmas menghadapi beban yang sangat berat dalam pekerjaannya karena harus menjalankan begitu banyak program kesehatan (Marchira, 2011). Senada dengan hal tersebut, Safri (2011 cit. Tyas, et al., 2012) menyatakan, jumlah psikiater yang terdaftar di Kementerian Kesehatan sekitar 600 orang, artinya 1 psikiater melayani sekitar 395.000 penduduk, padahal berdasarkan standar yang ditetapkan WHO angka ideal rasio psikiater dan penduduk adalah 1:10.000. Begitu juga dengan rasio jumlah perawat psikiatri per 100.000 populasi adalah 0,88 sementara jumlah psikolog klinis 0,02 dan pekerja sosial tidak terdata (Viora, 2009 cit. Tyas, 2012). Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Islami (2008) tentang evaluasi pelaksanaan program kesehatan jiwa masyarakat oleh puskesmas di Kabupaten Aceh Besar dinyatakan bahwa belum semua puskesmas menerapkan standar pelayananan kesehatan jiwa, tenaga dokter general practice plus (GP+) dan perawat CMHN di puskesmas masih terbatas serta masih merangkap tugas. Tenaga kesehatan yang menangani program kesehatan jiwa belum mendapatkan pelatihan dasar penanganan psikiatrik, serta tidak semua puskesmas memiliki perawat jiwa. Kurangnya jumlah tenaga kesehatan yang bertanggung jawab program kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan masyarakat membuat program-program kesehatan jiwa seperti kegiatan promotif pada kesehatan menjadi tidak optimal, sehingga secara tidak langsung menghambat pelayanan kesehatan jiwa itu sendiri. Keliat, et al. (2011a) menegaskan, 45% pasien yang mengalami gangguan jiwa pertama-tama mencari pelayanan kesehatan dengan mendatangi pelayanan alternatif. Namun, apabila penyakitnya sudah kronis keluarga mulai mencari pelayanan kesehatan jiwa, akibat kurangnya jumlah petugas kesehatan jiwa mengakibatkan proses promosi kesehatan jiwa di masyarakat menjadi tidak optimal sehingga masyarakat atau keluarga yang mempunyai saudara dengan gangguan jiwa tidak tahu bagaimana cara membawa pasien ke rumah sakit jiwa, keluarga dan masyarakat tidak dapat memutuskan kapan waktunya harus membawa penderita gangguan jiwa tersebut ke rumah sakit jiwa, kondisi ini menjadi suatu beban yang tinggi, baik secara fisik, emosional maupun ekonomi bagi keluarga penderita gangguan jiwa, akibatnya kondisi penderita gangguan jiwa tidak tertangani dengan baik, yang pada akhirnya penderita gangguan jiwa mengalami tindakan pemasungan. Diatri (2013) menyatakan, lebih dari 18.000 penderita gangguan jiwa di Indonesia diperkirakan berada dalam kondisi dipasung, namun dari perkiraan tersebut sudah 17% kasus pemasungan telah ditemukan dan hampir 70% dari penderita, telah dirawat di pelayanan kesehatan. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mengungkapkan, prevalensi nasional data gangguan mental emosional pada penduduk yang berumur ≥15 tahun adalah 11,6%, sedangkan prevalensi nasional gangguan jiwa berat adalah 0,5%. Data Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia adalah 1,7 per mil, kemudian proporsi rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung adalah 14,3%, dan yang terbanyak terdapat pada rumah tangga di perdesaan. Menurut Minas dan Diatri (2008), 80% dari korban pemasungan didiagnosa mengalami skizofrenia dan sebagian dari penderita juga mengalami gangguan mental emosional seperti depresi berkepanjangan dengan atau tanpa kecenderungan untuk bunuh diri, selain itu ada juga yang mengalami retardasi mental. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Puteh, et al. (2011) di Aceh, menemukan 93 pasien yang dirawat di rumah sakit adalah pasien ekspasung dan 35,6% dari pasien tersebut mengalami atrofi atau pengecilan otot di kaki mereka, bahkan dalam penelitian tersebut ditemukan pasien yang berusia 45 tahun telah dirantai selama 15 tahun. Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 menyebutkan, prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 1% meningkat menjadi 2,1% pada data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Sementara itu, berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang berumur ≥ 15 tahun adalah 12,8%. Namun, berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 angka tersebut turun menjadi 6,4%. Penilaian prevalensi gangguan mental emosional dalam Riskesdas tersebut menggunakan Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan untuk ditanyakan kepada anggota rumah tangga (ART) yang berusia ≥ 15 tahun (Riskesdas, 2007). Menurut laporan dari Instalasi Kesehatan Jiwa Masyarakat, Rumah Sakit Jiwa Provinsi NTB tahun 2012 (cit. Sunarto, et al., 2014), data estimasi pemasungan di Provinsi NTB adalah 319 kasus. Namun, berdasarkan hasil temuan kasus pasung sampai akhir tahun 2013, telah ditemukan kasus pasung sejumlah 322 kasus bahkan sampai pada semester 1 tahun 2014 telah ditemukan 395 kasus pasung. Kasus pemasungan di Provinsi NTB, terbanyak pada usia produktif antara 20-50 tahun dan rata-rata penderita gangguan jiwa menderita skizofrenia kronik yang sudah mengalami sakit selama 2-25 tahun. Lamanya penderita dipasung bervariasi, ada yang pada saat ditemukan mengaku baru dipasung selama 3 hari, ada juga yang sudah dipasung selama 25 tahun. Sebagian keluarga penderita mengaku pernah melakukan pemasungan kepada penderita lebih dari 1 kali, dengan metode pemasungan yang berbeda-beda. Sunarto, et al. (2014) mengungkapkan, metode pemasungan yang sering jumpai pada penderita gangguan jiwa adalah pemasungan dengan menggunakan kayu balok, mengikat penderita dengan rantai atau mengurungnya didalam kamar. Alasan keluarga melakukan tindakan pemasungan tersebut adalah karena berhubungan dengan riwayat perilaku kekerasan pada penderita sebelumnya, sehingga keputusan untuk melakukan tindakan pemasungan tersebut adalah semata-mata untuk melindungi orang lain serta melindungi penderita gangguan jiwa itu sendiri dari cedera fisik. Hal yang sama diungkapkan oleh Tyas (2012) bahwa berbagai macam cara pengekangan fisik ditemukan dengan cara yang berbeda beda, ada yang mengikat penderita dengan cara merantainya dan ada juga mengikat penderita disertai dengan pengurungan. Menurut Tyas ( 2012), cara lain yang sering dijumpai dalam metode pemasungan adalah dengan mengekang penderita gangguan jiwa dengan menggunakan balok kayu, jenis pengikatan yang digunakan untuk memasung penderita gangguan jiwa dilakukan dengan mengikat penderita menggunakan serat tumbuhan atau menggunakan rantai dengan berbagai ukuran yang berbeda beda. Cara pengikatan dilakukan dengan mengaitkan tali atau rantai tersebut ke kaki atau tangan orang yang mengalami gangguan jiwa, ujung tali diikat atau dikaitkan pada bagian tubuh, sedangkan ujung lainnya dikaitkan atau dikunci ke lantai atau tiang untuk menahan gerak penderita. Angka prevalensi penderita gangguan jiwa yang tinggi serta banyaknya temuan kasus pasung di masyarakat mengindikasikan perlunya penanganan yang lebih serius, khususnya dalam pelayanan kesehatan jiwa masyarakat. Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan pemasungan di Indonesia, pemerintah melalui Menteri Kesehatan RI, pada tanggal 10 Oktober 2010 telah meluncurkan program bebas pasung yang akan di capai pada tahun 2014, tujuannya adalah untuk mencapai masyarakat Indonesia yang bebas dari tindakan pemasungan, terhadap orang dengan gangguan jiwa. Pada saat pencanangan program bebas pasung, Menteri Kesehatan RI mengingatkan tentang adanya Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia yang meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan secara fisik terhadap penderita gangguan jiwa dan mengharapkan kepada semua instansi pemerintah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar menyerahkan perawatan penderita ke rumah sakit jiwa, sampai pada kondisi yang memungkinkan penderita untuk kembali ke komunitas (Pusat Komunikasi Publik Kemenkes RI, 2010). Akan tetapi, penanganan program bebas pasung sampai tahun 2014, belum memperlihatkan hasil yang signifikan dan komprehensif, sehingga Program Indonesia Bebas Pasung yang seharusnya dicapai pada tahun 2014, direvisi kembali menjadi Program Indonesia Bebas Pasung 2019 (Yud, 2014 cit. Lestari dan Wardhani, 2014). Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, menyatakan, penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya atau orang lain, atau mengganggu ketertiban dan keamanan umum berhak mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, oleh karena itu pelayanan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa adalah tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemeritah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), berdasarkan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 22 Tahun 2013, tentang Penanggulangan Pasung, telah mencanangkan program daerah bebas pasung yang akan dicapai pada tahun 2018. Tujuannya adalah untuk melindungi penderita gangguan jiwa di Provinsi NTB agar terhindar dari pemasungan atau dikekang secara fisik oleh keluarga serta lingkungannya. Salahsatu kegiatan dalam menindaklanjuti pelaksanaan program bebas pasung tersebut adalah dengan mengadakan pelatihan keperawatan jiwa masyarakat bagi tenaga kesehatan di tingkat puskesmas guna meningkatkan kompetensi perawat dan dokter di pelayanan primer terutama dalam memberikan penanganan pasien gangguan jiwa dan pemasungan. Peserta pelatihan terdiri dari perawat dan dokter puskesmas yang dipilih berdasarkan hasil konsultasi dengan pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat sejumlah 57 orang, sedangkan materi pelatihan yang digunakan berdasarkan pada modul BC-CMHN (Basic Course Community Mental Health Nursing) serta modul pelatihan penatalaksanaan masalah kesehatan jiwa bagi tenaga kesehatan di puskesmas. Selain kedua modul yang disebutkan dalam kegiatan tersebut, dilakukan juga kegiatan deteksi dini pasien dengan gangguan jiwa, melepaskan pemasungan, perawatan dan pengobatan, melatih penderita gangguan jiwa untuk melakukan kegiatan rutin sehari-hari ADL (activity daily living), melatih penderita menggunakan benda penunjang untuk kehidupan sehari-hari atau IADL (instrumental activities of daily living), serta melatih kemandirian keluarga dalam merawat pasien (Sunarto, et al., 2014). Keliat, et al. (2011b) mengungkapkan, tujuan pelatihan BC-CMHN adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa bagi masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan dan paripurna, sehingga tercapai kesehatan jiwa masyarakat secara optimal, oleh karena itu diperlukan pelatihan khusus untuk perawat yang berkerja di puskesmas, dimana pelatihan tersebut terdiri dari tiga tahapan yaitu Basic, Intermediate dan Advance Course. Pengembangan model Community Mental Health Nursing (CMHN) sebelumnya telah diuji coba pada dalam kegiatan try out di BPKJ Banda Aceh tahun 2005 silam. Berdasarkan hasil kegiatan tersebut disimpulkan bahwa Modul CMHN dapat digunakan dalam merawat kasus pasung yang ditemukan di komunitas. Dengan demikian, modul CMHN dapat digunakan oleh perawat kesehatan jiwa berbagai kota/kabupaten dan provinsi di tanah air untuk melakukan kegiatan keperawatan kesehatan jiwa komunitas, dengan harapan dapat melatih ketrampilan perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa, terutama yang berkaitan dengan program bebas pasung. Begitu juga, hasil penelitian Rahmat (2015) menyatakan bahwa pelatihan CMHN dapat meningkatkan pengetahuan perawat untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gangguan konsep diri. Kota Mataram sebagai ibu kota Provinsi NTB, mendukung dan menerapkan pelaksanakan program bebas pasung. Data dari Dinas Kesehatan Kota Mataram menyebutkan, diwilayah Kota Mataram terdapat 11 puskesmas dan semuanya telah melaksanakan program pengembangan kesehatan jiwa. Berdasarkan informasi dari staf Dinkes Kota Mataram, bahwa dari ketiga tahap pelatihan CMHN, baru dilaksanakan pelatihan BC-CMHN. Selanjutnya, jumlah perawat yang mengikuti pelatihan tersebut adalah 10 orang yang tersebar dari masing-masing puskesmas, yang berada wilayah Kota Mataram. Namun, saat penelitian ini berlangsung dilaporkan bahwa pada bulan april 2015, Dinas Kesehatan Kota Mataram telah mengadakan kembali pelatihan yang sama, yang di ikuti oleh 13 orang perawat dari masing – masing puskesmas. Data Riskesdas 2007 menyebutkan, angka prevalensi gangguan jiwa di Kota Mataram adalah 0,9% sementara yang mengalami gangguan mental emosional adalah sebanyak 5,3%. Data dari Dinas Kesehatan Kota Mataram menyebutkan bahwa dari 406,910 jumlah penduduk Kota Mataram diperkirakan terdapat 2,564 orang mengalami gangguan jiwa berat dan 15,096 orang mengalami gangguan mental emosional, dari angka tersebut diperkirakan terdapat 26 orang mengalami kasus pemasungan. Namun, sampai akhir juni 2014 jumlah kasus pasung yang sudah ditemukan dan sudah dilepaskan adalah sebanyak 19 kasus dan kemungkinan 7 orang di antaranya masih dalam kondisi terpasung. Perawat kesehatan jiwa komunitas adalah perawat yang ditempatkan di Puskesmas dan ditunjuk untuk melakukan pelayanan kesehatan jiwa di wilayah kerja puskesmas (Keliat, et al., 2011b). Oleh karena itu, perawat berkewajiban melaksanakan program bebas pasung di wilayah kerja masing-masing. Keberadaan penderita gangguan jiwa yang masih terpasung, maupun yang sudah dilepaskan harus menjadi perhatian serius dalam pelayanan kesehatan jiwa. Sunarto, et al. (2014) menyatakan, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, untuk menindaklanjuti kegiatan pelatihan keperawatan jiwa masyarakat bagi tenaga kesehatan di tingkat puskesmas Provinsi NTB, dinyatakan, terjadi peningkatan kemandirian pasien setelah dilepaskan dari pemasungan, yaitu dari 108 gangguan jiwa yang mengalami pemasungan, 37 pasien mampu untuk mandiri dan 24 di antaranya mampu untuk produktif kembali, evaluasi dilakukan setiap 3 bulan sekali selama 10 bulan setelah kegiatan pelatihan dilaksanakan. Tyas (2012) mengungkapkan, kebijakan bebas pasung 2014, terfokus pada edukasi atau pemberian informasi yang benar mengenai gangguan jiwa dengan menggunakan penjelasan biomedis atau psikiatrik. Namun, kefektifan cara tersebut diperlukan kajian yang sistematis sebab kecenderungan untuk mengaplikasikan kembali pemasungan sangat besar jika penderita mengalami kemunduran fungsi mental dan perilaku. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Tyas (2014) yang mengungkapkan, meskipun penderita gangguan jiwa sudah dilepas dari pemasungan bukan berarti penderita gangguan jiwa sudah sembuh dan bebas sama sekali dari pemasungan, hasil studi deskriptif yang dilakukan terhadap pengalaman keluarga dan pasien dengan gangguan mental yang dipasung dalam program bebas pasung menyatakan bahwa program bebas pasung ini cukup berhasil dijalankan di 4 kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, tetapi 1/5 dari pasien yang dilepas tersebut setelah pulang ke rumahnya dipasung kembali karena perawatan dan pengobatannya tidak optimal. Keliat, (2013) menyatakan, dalam melepaskan penderita gangguan jiwa dari pemasungan, target pelayanan bukan hanya sekedar melepas tetapi harus dilanjutkan dengan asuhan keperawatan dan pengobatan, yang dilanjutkan dengan latihan self care sehingga dapat mandiri dan akhirnya dapat bekerja dan bisa produktif kembali. Peran perawat kesehatan jiwa di masyarakat adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung dimana seorang perawat harus memberikan asuhan keperawatan bagi penderita gangguan jiwa yang telah dilepas dari pemasungan kemudian peran sebagai pendidik, yaitu seorang perawat kesehatan jiwa harus memberikan pendidikan kesehatan jiwa pada keluarga penderita ganggua jiwa dan sebagai koordinator kegiatan dalam pelaksanaan program bebas pasung seorang perawat harus menjadi koordinator untuk menemukan kasus pasung baru (Keliat, et al,. 2011b). Peran-peran tersebut adalah sesuatu yang diharapkan oleh masyarakat terutama bagi penderita gangguan jiwa yang mengalami pemasungan. Perawat kesehatan jiwa membutuhkan motivasi untuk melaksanakan program bebas pasung. Motivasi yang dimaksud adalah kondisi atau situasi yang ada dalam diri perawat kesehatan jiwa yang membuat dirinya bergairah atau semangat untuk berkerja dalam melaksanakan program bebas pasung. Hasil penelitian Rahmanyani (2013) tentang pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja petugas kesehatan jiwa CMHN dalam pelayanan kesehatan jiwa komunitas di Kabupaten Bireuen Provinsi NAD, menunjukkan bahwa motivasi kerja internal berpengaruh terhadap kinerja petugas CMHN, sedangkan motivasi kerja eksternal tidak berpengaruh terhadap kinerja petugas CMHN. Hasibuan (2003) mengungkapkan bahwa, motivasi adalah pemberian daya gerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mau berkerja sama, berkerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Faktor yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang menurut Herzberg (cit. Notoatmojo 2010) terdiri dari 2 faktor, yang pertama adalah faktor yang menyebabkan kepuasan (motivation factor) seperti prestasi yang diraih, penghargaan, tanggung jawab, kesempatan untuk maju dan pekerjaan itu sendiri. Sementara faktor yang kedua adalah faktor penyebab ketidakpuasan (hygienes factor) seperti kondisi kerja, hubungan interpersonal, kebijakan dan administrasi, pengawasan, gaji, serta keamanan dalam pekerjaan. Berdasarkan teori motivasi Herzberg ini, dapat simpulkan bahwa faktor penyebab kepuasan atau motivation factor adalah faktor-faktor yang memberikan kepuasan dalam diri perawat kesehatan jiwa, sehingga mendorong perawat untuk melaksanakan program bebas pasung, sedangkan hygienes factor merupakan faktor – faktor yang menunjang motivasi perawat setelah faktor – faktor tersebut terpenuhi. Kurangnya jumlah tenaga kesehatan jiwa, serta keberadaan Rumah Sakit Jiwa Provinsi NTB yang terletak di wilayah Kota Mataram menimbulkan kesan bahwa perawat tidak melaksanakan asuhan keperawatan jiwa. begitu juga dengan perawatan penderita gangguan jiwa setelah pemasungan, keluarga penderita kemungkinan lebih memilih membawa anggota keluarganya ke rumah sakit jiwa dari pada melalui puskesmas, dengan alasan akses ke rumah sakit jiwa yang dapat di jangkau dan berada di wilayah Kota Mataram. Namun, hasil wawancara awal terhadap 5 orang perawat kesehatan jiwa di puskesmas Kota Mataram menyatakan, perawat pernah melepaskan penderita pasung dan melaksanakan asuhan keperawatan terhadap keluarga dan penderita gangguan jiwa pasca pemasungan. Apabila perawat kesehatan jiwa di Kota Mataram melanjutkan perawatan terhadap penderita gangguan jiwa pasca pasung dan mengajarkan kepada keluarga bagaimana melakukan pemberdayaan terhadap pasien, maka hal tersebut merupakan potensi yang harus dikembangkan. Akan tetapi, jika terdapat masalah dalam pelaksanaan program bebas pasung ini maka diharapkan dapat dicarikan solusinya. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran peran dan motivasi perawat kesehatan jiwa dalam pelaksanaan program bebas pasung di wilayah puskesmas Kota Mataram-Provinsi NTB. B. Rumusan Masalah Bagaimana peran dan motivasi perawat kesehatan jiwa dalam pelaksanaan program bebas pasung di wilayah Puskesmas Kota Mataram Provinsi NTB? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran peran dan motivasi perawat kesehatan jiwa di Puskesmas Kota Mataram, dalam program bebas pasung di wilayah Puskesmas Kota Mataram Provinsi NTB. 2. Tujuan khusus a. Mendeskripsikan peran perawat kesehatan jiwa sebagai pemberi asuhan keperawatan secara langsung di puskesmas dalam pelaksanaan program bebas pasung di wilayah puskesmas Kota Mataram Provinsi NTB. b. Mendeskripsikan peran perawat kesehatan jiwa di puskesmas sebagai pendidik dalam pelaksanaan program bebas pasung di wilayah puskesmas Kota Mataram Provinsi NTB. c. Mendeskripsikan peran perawat kesehatan jiwa di puskesmas sebagai Koordinator kegiatan kesehatan jiwa dimasyarakat dalam pelaksanaan program bebas pasung di wilayah puskesmas Kota Mataram Provinsi NTB. d. Mendeskripsikan motivasi perawat kesehatan jiwa di puskesmas dalam pelaksanaan program bebas pasung di wilayah puskesmas Kota Mataram Provinsi NTB. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi NTB, sebagai bahan evaluasi dan acuan dalam mengambil kebijakan khususnya yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam pelaksanaan program bebas pasung di NTB 2018. 2. Bagi puskesmas, sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pengelolaan kesehatan jiwa masyarakat dan pelayanan kesehatan jiwa pada umumnya. 3. Bagi peneliti dapat memberikan pengalaman baru dan meningkatkan pengetahuan dalam penelitian ilmiah. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sebelumnya yang serupa dengan penelitian ini, antara lain : 1. Sunarto, et al. (2014) tentang peningkatan kompetensi perawat CMHN dan Gp Plus dalam meningkatkan kemandirian dan pemberdayaan pasien gangguan jiwa berat pasca pasung. Penelitian ini merupakan monitoring dan evaluasi kegiatan pelatihan peningkatan kompetensi penanganan masalah kesehatan jiwa dan pemasungan di Provinsi NTB. Hasil penelitian menunjukan terjadi peningkatan penemuan kasus pasien gangguan jiwa yang mengalami pemasungan melebihi estimasi serta terjadi peningkatan kemandirian dan kemampuan pasien untuk produktif setelah dilepaskan dari pemasungan. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada subjek yang diteliti (perawat CMHN), sedangkan perbedaannya pada jenis penelitian dan lokasi penelitian, dimana penelitian ini hanya di wilayah Kota Mataram. 2. Rahmayani (2013), meneliti pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja petugas kesehatan jiwa CMHN dalam pelayanan kesehatan jiwa Komunitas di Kabupaten Bireuen Provinsi NAD. Jenis penelitian tersebut adalah explanatory research yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi kerja (internal dan eksternal) terhadap kinerja petugas (CMHN) di Kabupaten Bireuen. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh antara motivasi kerja terhadap kinerja petugas CMHN di Kabupaten Bireuen. Persamaan dari penelitian ini terletak pada subjek penelitian sedangkan perbedaannya terletak pada jenis penelitian dan lokasi penelitian. 3. Islami (2008) tentang evaluasi pelaksanaan program kesehatan jiwa masyarakat oleh puskesmas di Kabupaten Aceh Besar merupakan jenis tesis pada program studi S2 ilmu kesehatan masyarakat peminatan kebijakan dan manajemen UGM. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan program kesehatan jiwa masyarakat di puskesmas dengan proses kegiatan pelaksanaan program kesehatan jiwa di puskesmas sesuai standar pelayanan. Adapun metode penelitiannya adalah merupakan penelitian kualitatif yang mengamati kegiatan program kesehatan jiwa, manajemen puskesmas (tenaga kesehatan, kebijakan program dinas kesehatan kabupaten, peran kader kesehatan jiwa serta peranan dari keluarga) yang dilaksanakan di wilayah puskesmas Kabupaten Aceh Besar. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa tidak semua puskesmas menerapkan standar pelayananan kesehatan jiwa. Tenaga dokter General Practice Plus (GP+) dan perawat CMHN di puskesmas masih sangat terbatas dan juga memiliki tugas rangkap, belum semua mendapatkan pelatihan dasar penanganan psikitarik. Tidak semua puskesmas memilki perawat jiwa, sarana dan prasarana (obat obat jiwa) belum memadai. Kader kesehatan jiwa masih terbatas masih adanya persepsi masyarakat termasuk keluarga yang mencari pengobatan ke praktik dokter swasta serta pengobatan alternatif. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada subjek yang diteliti (perawat CMHN) dan jenis penelitian, sedangkan perbedaannya terletak pada lokasi penelitian. 4. Kriswoyo (2009) tentang peran dan motivasi bidan dalam pengelolaan desa siaga di Kecamatan Bandongan Kabupaten Magelang, merupakan tesis pada program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Perilaku Dan Promosi Kesehatan. Tujuannya adalah mengkaji peran dan motivasi bidan dalam pengembangan desa siaga di Kecamatan Bandongan Kabupaten Magelang. Persamaan dengan penelitian ini adalah kemiripan judul, sedangkan perbedaannya terletak pada subjek dan objek penelitian serta lokasi penelitian. 5. Purnamasari (2004) meneliti evaluasi pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas Tegalrejo Yogyakarta, Tujuannya adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas Tegalrejo Yogyakarta. Metode penelitian dan jenis penelitian adalah deskriptif eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Persamaan dengan penelitian ini adalah subjek penelitian adalah perawat kesehatan jiwa, kecuali dokter, dan persamaan metode penelitian, yaitu pendekatan kualitatif, sedangkan perbedaannya adalah lokasi penelitian dan tujuan penelitian.