BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdagangan merupakan instrumen efektif untuk mendorong proses
pembangunan.
Beragam teori maupun kajian empiris menunjukan
bahwa negara yang lebih terbuka terhadap pasar cenderung memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding negara yang
protektif.1 Argumen ini semakin banyak diamini oleh banyak negara
terutama paska berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai
kemunculan kesadaran urgensi perdagangan lintas negara termasuk
tata kelola yang menyertainya. Era tersebut sekaligus menjadi penanda
mulai
diinisiasinya
pembentukan
rezim
perdagangan
untuk
memperkuat sistem perdagangan global agar berjalan lebih lancar dan
bebas hambatan. Pada tahun 1948, 23 negara berkumpul dan berhasil
menyepakati pembentukan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan
Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT).
Kesepakatan ini sekaligus menjadi upaya awal menjadikan sistem
perdagangan global yang lebih terbuka dan terkelola dengan baik.
Harapannya,
agar
kesempatan
tercapainya
kesejahteraan
bisa
dinikmati oleh semua negara yang ikut serta dalam skema
perdagangan ini.
Dalam perkembangannya, dimensi perdebatan mengenai
perdagangan sendiri semakin meluas, tidak hanya hirau persoalan
ekonomi melainkan juga politik. Hal ini disebabkan oleh semakin
banyaknya aktor yang terlibat baik dari negara maju maupun
berkembang. Transformasi pelembagaan GATT dalam bentuk WTO
Tulisan terkait korelasi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi antara lain dapat
dilacak dari karya Sachs & Warner (1995) yang meneliti kebijakan negara dan korelasinya
dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian mereka berhasil menunjukkan indeks yang
memperlihatkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi negara paska diambilnya
kebijakan perdagangan terbuka memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
dibandingkan sebelumnya.
1
1
(World Trade Organization) pada tahun 1995 semakin memperjelas
pemposisian sekaligus pengkutuban antar kelompok negara ini.
Kemiskinanan yang masih mewabah di negara berkembang terlebih di
negara terbelakang/ LDC (Least Developed Country) menjadi
persoalan yang memunculkan pertanyaan tentang klaim korelasi
positif perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan,
serta kesejahteraan. Bahkan, gagasan dari paham anti globalis
memandang muram korelasi ini. Oleh mereka, alih-alih membawa
kemakmuran, konsep perdagangan bebas yang terus dipromosikan
WTO dianggap justru semakin menjerat dan menjerumuskan negara
berkembang.
Sementara
pihak
yang
mendukung
beranggapan,
kemudahan akses pasar dan kepastian peraturan yang ditawarkan
organisasi ini sulit untuk diabaikan begitu saja. Di tengah regangan
perdebatan inilah negara berkembang semakin menyadari urgensi
perjuangan politik dalam WTO sebagai rezim perdagangan utama
dunia.
Negara
berkembang
sendiri
sebenarnya
mendominasi
keanggotaan WTO dengan presentase mencapai dua per tiga dari total
anggota. Meski begitu, peran dan pemposisian mereka dalam
perundingan yang dilakukan masih memiliki banyak kelemahan.
Kelemahan ini diakibatkan oleh masih kurangnya kapasitas yang
berkelindan dengan berbagai persoalan struktural yang dimiliki.
Terlebih prinsip transparansi dan non diskriminasi yang menjadi pilar
dalam sistem WTO sendiri sering disalahpahami dan disalahgunakan
sebagai dalih negara maju untuk melanggengkan status quo untuk
konsesi yang lebih menguntungkan mereka. Negara berkembang
memang tidak tinggal diam begitu saja, namun tarik ulur kepentingan
yang terjadi malah berimbas pada ketidakjelasan dan lambannya
keputusan perundingan. Jika hal ini tidak segera dijembatani, bukan
tidak mungkin yang terjadi malah pelemahan sistem perdagangan
multilateral dan peminggiran kepentingan negara berkembang itu
2
sendiri. Keberadaan sistem perdagangan global yang menjadi cita-cita
bisa saja sekedar jargon yang tidak berkorelasi dengan perbaikan
kesejahteraan negara berkembang.
Reposisi negara berkembang menjadi misi yang sangat penting
dalam mengupayakan tercapainya rasa keadilan (sense of fairness)
yang lebih baik dalam tubuh WTO. Persoalan keadilan ini sendiri
merupakan salah satu isu utama baik dalam konteks perdagangan
maupun ranah ekonomi politik internasional yang lebih luas. Namun
dalam praksisnya, keadilan disini cenderung berada dalam domain
politik sehingga sifatnya lebih prosedural ketimbang substantif.
Turunan prinsip non diskriminasi WTO —Most Favoured Nation
(MFN) dan National Treatment (NT)— menjadi bentuk nyata dari
argumen ini. Secara teori, kedua prinsip ini merupakan bentuk
keadilan karena setiap negara akan mendapatkan perlakuan yang sama
tanpa pembedaan. Namun jika ditinjau lebih jauh, perlakuan yang
sama ini—jika diberlakukan tanpa mempertimbangkan status dan
kemampuan ekonomi negara bersangkutan— bias jadi hanya akan
menempatkan negara tersebut dalam posisi yang dirugikan.
Upaya pemajuan kepentingan negara berkembang di WTO
diperlukan guna memperbaiki pemposisian negara berkembang agar
kedepannya peran yang dimainkan serta manfaat yang diraih menjadi
lebih baik. Terlebih jika dibandingkan dengan institusi ekonomi dunia
lain seperti IMF dan Bank Dunia, kesempatan yang ditawarkan
mekanisme pengambilan keputusan WTO bagi negara berkembang
jauh lebih memungkinkan. Keputusan dan kebijakan yang diambil oleh
kedua institusi sebelumnya sangat didominasi oleh pengaruh lembaga
tertentu dimana penentuan mengenai putusan yang harus diambil
sangat dipengaruhi saham yang disumbang negara anggota. Hak suara
yang dimiliki negara anggota sangat timpang sehingga persoalan
akuntabilitas keputusan terlebih yang mewakili kepentingan negara
berkembang sulit terwadahi. Di IMF misalnya, saham negara maju
3
secara keseluruhan mencapai 60,45 persen yang didominasi AS dengan
17,29 persen, sementara negara berkembang hanya mencapai 30,32
persen.2 Hal yang hampir mirip terjadi dengan Bank Dunia karena hak
suara organisasi ini juga dipengaruhi oleh suara pokok (basic votes)
yang dimiliki di IMF.3 Tradisi kedua institusi ini dapat dipastikan
menjadi milik negara maju, dengan negara dengan modal lebih banyak
akan memiliki hak suara lebih besar. Pengalaman hingga saat ini, IMF
sangat dipengaruhi oleh negara-negara Eropa sementara Bank Dunia
berada dibawah pengaruh kuat Amerika Serikat.4 Hal ini sangat
berbeda dalam mekanisme WTO dimana negara anggotanya memiliki
hak suara yang sama. Secara teori, keberadaan sistem demokratis yang
transparan, inklusif, serta berbasis konsesus jika dimanfaatkan dengan
baik akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi kepentingan
negara berkembang.
Analisa kuasa
(power) diperlukan karena di dalam sistem
demokratis selalu berkelindan mekanisme kuasa didalamnya. Kuasa
dalam berbagai modenya selalu mengambil peranan dalam persoalan,
menurut Harold Laswell (1936), siapa mendapat apa, kapan, dan
bagaimana. Imbasnya, keberadaan kuasa yang dimiliki masing-masing
aktor tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam setiap upaya
analisa mengenai WTO. Pemahaman mengenai aspek kuasa ini penting
untuk memahami relasi yang terbangun antara negara maju dan
berkembang. Kuasa negara maju baik secara politis maupun teknis
lebih kuat dibandingkan negara berkembang karena didukung
kapasitas yang lebih baik. Disparitas kuasa yang dimiliki antara
keduanya memunculkan tantangan tersendiri terutama bagi negara
Bahagijo, S. (ed) (2006). Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta: LP3ES hal. 11
Suprijanto, A. ‗Melihat dari Jakarta‘, dalam Bahagijo, S. (ed) (2006), hal. 301
4 Harinowo, C. (2004). IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca-IMF. Jakarta:
Gramedia, hal. 89
2
3
4
berkembang
dalam
memperjuangkan
kepentingannya.5
Analisa
berbasis kuasa ini bermanfaat untuk pemetaan yang lebih mendalam
untuk memahami proses perundingan yang dijalani, termasuk dalam
pencapaian Paket Bali dalam perundingan KTM IX WTO.
Paket Bali sendiri merupakan sebagian dari total isu runding
perundingan Putaran Doha (Doha Development Agenda/ DAA) yang
mencakup
isu
pertanian,
fasilitasi
perdagangan,
dan
paket
pembangunan LDC. Mengingat pengalaman kegagalan pencapaian
dalam empat perundingan KTM sebelumnya, tentu ada konteks serta
faktor yang berbeda dengan yang ada pada KTM IX tersebut. Tulisan
ini beranggapan, keberhasilan ini terutama dipengaruhi oleh adanya
perubahan karakter serta identitas WTO mengenai relasi kuasa antara
negara maju dan berkembang. Hal ini bisa dikenali dalam konteks
konstelasi kuasa paska krisis yang memberikan dampak serius pada
negara maju. Hal ini menyebabkan, konsesi yang mereka inginkan
melalui koalisi di WTO bergeser untuk lebih mengadopsi kepentingan
negara berkembang. Sementara di sisi lain, keberadaan negara
berkembang terutama advanced developing countries/ emerging
countries yang lebih resilien terhadap krisis semakin memperkuat
koalisi dan tuntutan konsesi negara berkembang.
Anggapan ini didukung data yang dikeluarkan International
Comparison Program (ICP) yang menunjukkan bahwa total produksi
barang dan jasa global pada 2011 senilai 90 trilliun dollar, hampir
setengahnya berasal dari negara berkembang.6 Sumber yang sama
menyebutkan pada tahun tersebut, GDP (gross domestic product) dari
enam negara berkembang China, India, Russia, Brasil, Indonesia, dan
Meksiko senilai 32.3 persen, hampir menyamai GDP dari enam negara
Gerhart, P. M. & Kella A.S. (2004). Power and Preferences: Develop ing Countries and
the Role of the WTO Appellate Body dalam North Carolina Journal Of International
Law & Commercial [vol.30], hal.515
6 World Bank, 2011 International Comparison Program Summary Results Release
Compares the Real Size of the World Economies dapat diakses di
http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2014/04/29/2011-internationalcomparison-program-results-compare-real-size-world-economies, [ 17 Januari 2014]
5
5
maju AS, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia. Analisa faktorfaktor di atas dibutuhkan untuk mengenali pertanda dari adanya
pergeseran pemposisian dalam konstelasi kuasa geo-ekopolitik global
dan pengaruhnya dalam kekuatan koalisi di WTO. Pelemahan
kapasitas ekonomi terutama negara maju akibat krisis global sejak
akhir 2007 ikut mendorong pergeseran ini sekaligus mempengaruhi
wacana (discourse) serta pembicaraan dalam perundingan WTO.
Statemen dari UNCTAD mengungkapkan jika krisis global dan tidak
meratanya recovery perdagangan memperkuat terjadinya pergeseran
menuju keseimbangan kekuatan ekonomi dunia yang ditandai relatif
menurunnya
kekuatan
negara
maju
dan
kebangkitan
negara
berkembang.7
Krisis ini sendiri sebenarnya disebabkan oleh praktek over
liberalisasi di sektor jasa keuangan dan investasi. Namun solusi
pragmatis dari negara yang terkena krisis dengan memunculkan
kebijakan
proteksionis
keberlangsungan
dan
perdagangan
nasionalis
ekstrim,
multilateral.
Contoh
mengancam
kebijakan-
kebijakan ini antara lain AS yang memunculkan kembali gagasan
neokeynesian dengan kebijakan Buy America Act, negara Mercosur
(Amerika latin) dengan kebijakan safeguard atau proteksi industri
lokal dengan bea masuk, serta di Singapura, Malaysia, dan Turki yang
mengeluarkan kebijakan proteksi tenaga kerja dengan resillence
package.
Proteksionisme
yang
berkelindan
dengan
maraknya
perjanjian perdagangan bilateral maupun kemunculan regionalisme
seperti TPP (Trans Pasific Partnership) menjadi tantangan serius bagi
perdagangan multilateral di bawah kerangka WTO. Pelaksanaan KTM
IX Bali menjadi momentum yang tepat guna merefleksikan kembali
keberlanjutan perdagangan multilateral yang selama ini stagnan pada
deadlock perundingan Putaran Doha, sekaligus mengupayakan cara
Globalization And The Shifting Balance In The World Economy dapat diakses di
http://dgff.unctad.org/chapter1/1.html, [ 17 Januari 2014]
7
6
yang lebih baik untuk memenuhi rasa keadilan bagi negara
berkembang.
Perspektif Indonesia
Indonesia
menjadi
tuan
rumah
penyelenggaraan
pertemuan
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Ministerial Conference ke-9 WTO
pada 3-6 Desember 2013 di Bali. Pertemuan ini sendiri merupakan
momentum bagi keberlanjutan perundingan Putaran Doha yang mulai
digelar pada KTM IV di Doha, Qatar, dua belas tahun sebelumnya.
Putaran ini selain menjadi peluang penegakan sense of fairness bagi
negara berkembang karena substansi isu runding yang sebagian besar
merupakan domain mereka, juga menghadirkan peluang bagi
keberlanjutan peta jalan perundingan Putaran Doha setelahnya.
Kesempatan ini sekaligus menjadi ajang pembuktian kapasitas negara
berkembang mengingat rekam sejarah perundingan-perundingan WTO
terdahulu termasuk ketika masih bernama GATT yang sangat sedikit
mengakomodasi kepentingan nereka.
Dari perspektif Indonesia, KTM IX Bali menjadi ajang
pembuktian bagi pelaksanaan dan strategi diplomasi ekonomi yang
dimiliki. Kebutuhan akan diplomasi ekonomi ini sendiri semakin
meningkat paska reformasi yang berperan untuk memperkuat
perekonomian sekaligus menjawab tantangan dari semakin meluasnya
globalisasi. Pelaksanaannya yang efektif diharapkan dapat menjadi
instrumen untuk mendapat manfaat riil seperti investasi asing,
pengembangan infrastruktur, transfer teknologi, maupun akses pasar
perdagangan di negara non tradisional. Semakin membaiknya
perekonomian Indonesia memperkuat kapasitas, daya tawar, dan
sekaligus peluang untuk menjadi pemain kunci dan jembatan
penghubung antara negara berkembang dengan negara maju.
Indonesia
berpeluang
sebagai
garda
depan
negara
berkembang dalam perundingan-perundingan WTO. Dalam konteks
7
KTM IX Bali, peluang ini hadir dengan kepememimpinannya
memajukan kepentingan negara berkembang dalam institusi ini.
Sebelum KTM IX Bali, Indonesia sebenarnya telah cukup memiliki
pengalaman dalam hal ini. Peluncuran Perundingan Doha merupakan
contoh keberhasilan bagi pelaksanaan diplomasi ekonomi sekaligus
peluang memperbesar kesempatan bagi negara berkembang termasuk
Indonesia untuk lebih bersatu dan terlibat aktif dalam proses
pengambilan keputusan.8 Inisiatif Indonesia mengkoordinir 32 negara
lain dalam perundingan KTM V WTO di Cancun, Meksiko, yang
berhasil membentuk kelompok kepentingan G-33 menjadi pembuktian
lain. Kepemimpinan dalam koalisi negara berkembang untuk isu
pertanian ini membuka jalan kepemimpinan lain di luar isu pertanian
seperti akses pasar produk industri, jasa, perdagangan, lingkungan
hidup,
dan
fasilitasi
perdagangan.
Dengan
koordinasi
negara
berkembang yang semakin baik, diharapkan kekuatan jejaring dan
koalisi yang dibutuhkan untuk berunding dalam forum WTO juga
semakin menguat.
Hasilnya, meskipun penutupan KTM IX Bali sempat tertunda
sehari, pertemuan tersebut akhirnya berhasil meloloskan Paket Bali
sebagai putusan perundingan. Pentingnya pencapaian ini ditegaskan
oleh Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo yang mengklaim sebagai
progress paling penting dalam perdagangan multilateral sejak
organisasi ini didirikan pada 1994.9 Peluang dan potensi nilai
perdagangan
dunia
dari
implementasi
Paket
Bali
dikatakan
diperkirakan mencapai 980 miliar dollar AS yang akan membuka
Nasir dalam Cahyono (2008). Menjinakkan Meta Kuasa Global. Jakarta: LP3ES hal.179
Wto Bali Deal Offers More Symbolism Than Substance dapat diakses di
http://theconversation.com/wto-bali-deal-offers-more-symbolism-than-substance21292, [17 Januari 2014]
8
9
8
lapangan pekerjaan sejumlah 21 juta dengan 18 juta diantaranya
berada di negara berkembang.10
Mengapa baru di Bali perundingan Doha bisa menghasilkan
keputusan? Apa alasan dibalik keberhasilan tersebut? Apa konteks
yang membedakan perundingan KTM IX Bali dengan KTM-KTM
sebelumnya? Bagaimana peranan Indonesia didalamnya? Dengan
menggunakan pendekatan kuasa (power) dari Bernett-Duvall dan
strategi integrative-distributive dari Odell, penelitian ini akan
berupaya untuk memahami alasan dibalik pencapaian tersebut dengan
melacak alur progress modalitas isu runding terutama menjelang
perundingan berlangsung serta peranan aktor-aktor terkait, termasuk
Indonesia.
B. Pokok Permasalahan
Dari latar belakang sebelumnya, didapat elaborasi lokus persoalan
sebagai berikut:
Mengapa baru pada perundingan KTM IX WTO Bali
perundingan Putaran Doha bisa menghasilkan keputusan?
Bagaimana peran dan upaya diplomasi ekonomi Indonesia
dalam pencapaian tersebut?
C. Tinjauan Pustaka
Bagian ini akan meninjau beberapa literalur terkait dengan fokus
kajian pemajuan kepentingan negara berkembang dalam perundingan
WTO. Dengan beberapa konteks yang berbeda, terdapat beberapa
literatur sebelumnya yang membahas persoalan pemajuan kepentingan
ini. Literatur ini cukup berguna untuk memberikan pemahaman
Hufbauer & Schott (2013), Pay off from the World Trade Agenda 2013 dapat diakses
dari http://www.iie.com/publications/papers/hufbauerschott20130422.pdf, [5 Februari
2014]
10
9
mengenai posisi negara berkembang di WTO untuk dielaborsi lebih
jauh dalam konteks pelaksanaan KTM IX. Pemposisian serta upaya
pemajuan kepentingan negara berkembang memang merupakan
persoalan yang kompleks ditinjau dari perspektif negara berkembang.
Dilema terkadang muncul disini, namun kesempatan yang disediakan
oleh sebuah rezim internasional tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk
itu, negara berkembang harus menyikapinya dengan cerdas agar
kesempatan yang ada bisa dimanfaatkan secara optimal. Pilihan untuk
memanfaatkan kesempatan sekecil apapun dalam forum perundingan
WTO nampaknya lebih rasional dan bijaksana ditengah ruang
kebijakan alternatif lain yang masih sangat kecil.
Jagdihs Bhagwati dalam In Defense of Globalization (2004)
mengingatkan bahwa dalam era globalisasi yang ditandai dengan
peningkatan interkonektivitas, upaya paling penting yang harus
dilakukan adalah bagaimana mengoptimalkan manfaat dari globalisasi
yang sedang berlangsung. Ia menyatakan bahwa perdagangan memang
tidak
selalu
menghilangkan
membawa
pada
penghalang
pertumbuhan,
domestik
yang
namun
ada
maka
dengan
negara
berkembang kemungkinan akan mendapatkan manfaat yang lebih
besar. WTO merupakan tempat yang kompleks sebagai sarana
memperjuangkan kepentingan, namun jika dikelola dengan baik hasil
yang didapat oleh negara berkembang akan bisa maksimal.
Studi yang dilakukan oleh Michalopoulos yang berjudul The
Participation of Developing Countries in WTO (1997) menjadi karya
penting untuk memahami keterlibatan negara berkembang dalam
negosiasi di WTO. Penelitian ini menunjukkan beberapa isu utama
yang menjadi perhatian bagi negara berkembang. Pertama, isu
representasi. Hal ini terkait ukuran jumlah dan kapasitas perwakilan
dalam setiap misi di WTO. Kedua, isu keketuaan (chairmanship). Hal
ini terkait alokasi jumlah negara berkembang yang mendapatkan jatah
pimpinan di dewan maupun badan WTO. Ketiga, isu kapasitas
10
institusional. Hal ini terkait efektifitas dalam partisipasi dan
representasi.
Ia
menjelaskan,
dalam
kerangka
teknis,
banyak
perwakilan misi negara berkembang di Jenewa tidak memadai. Hal ini
berbeda jika dibandingkan dengan negara maju yang memiliki
perwakilan misi yang sangat besar.11 Representasi yang dihasilkan dari
banyaknya negara berkembang yang melakukan aksesi ke WTO paska
putaran Uruguay tidak
diimbangi partisipasi konsisten untuk
memperjuangkan kepentingan mereka. Kapasitas dan staffing dari
banyak negara berkembang tidak sepadan dengan kompleksitas isu
dan jumlah pertemuan yang dilaksanakan di WTO. Menanggapi
permasalahan
ini,
Michalopoulos
menyarankan
kepada
negara
berkembang yang menghadapi persoalan ini untuk meningkatkan
efektivitas strategi seperti memastikan arus informasi dapat berjalan
dengan baik, identifikasi negara yang memiliki kepentingan mirip
namun memiliki partisipasi yang lebih baik, penguatan kapasitas
domestik, dan mendukung aksesi negara lain yang sekiranya dapat
memperkuat perjuangan kepentingannya.12 Penelitian ini menekankan
pada aspek pentingnya strategi dan koalisi. Dalam KTM IX Bali,
identifikasi kepentingan masing-masing negara menjadi bagian
integral
dalam
menyusun
strategi
perundingan
sekaligus
mengkerucutkan pemposisian dari masing-masing koalisi negara.
Tulisan lain yang hampir sama dari Kishan S. Rana dalam
Economic Diplomacy: The Experience of Developing Countries dalam
buku Bayne dan Wollcock berjudul The New Economic Diplomacy
(2007: 201-220) mempertegas gambaran mengenai diplomasi ekonomi
yang dilakukan oleh negara berkembang. Perbedaan diplomasi
ekonomi negara berkembang merefleksikan perbedaan respon masingmasing negara terhadap persoalan lingkungan eksternal. Persoalan
Michalopoulos (1997). The Participation of The Developing Countries in The WTO
dapat diakses di http://elibrary.worldbank.org/doi/pdf/10.1596/1813-9450-1906, [12
Januri 2014]
12 Michalopoulos (1997), hal: 27-28
11
11
yang muncul kadang tidak ditanggapi dengan serius sebagai akibat
lemahnya diplomasi baik dalam ranah ekonomi maupun politik.
Kelemahan yang mereka miliki tidak dicoba untuk disiasati dengan
penguatan jejaring dengan negara lain yang relevan. Selain itu, korelasi
kebijakan ekonomi domestik dengan diplomasi ekonomi harus sejalan.
Peningkatan kapasitas domestik sangat berpengaruh pada penguatan
kekuatan negara tersebut di luar negeri. Kombinasi antara politik luar
negeri dengan perdagangan luar negeri juga merupakan merupakan
prinsip yang penting. Sementara dari segi yang lebih teknis, diperlukan
penguatan skill untuk penguatan jejaring aktor diplomasi. Terakhir,
proses pembelajaran dari praktek yang dialami negara lain penting
untuk perbaikan manajemen sistem ekonomi untuk diplomasi di era
globalisasi.
Kelemahan yang dimiliki oleh negara berkembang bukan berarti
mereka menjadi tidak berdaya dalam perundingan. Sheila Page dalam
Developing Countries in GATT/WTO Negotiations (2002) menilai
bahwa hasil dari negosiasi internasional bukan sekedar ditentukan oleh
kuasa relatif dari masing-masing aktor, namun ada potensi dari aliansi
antar negara untuk representasi dan mobilisasi kepentingan. Ia
menambahkan,
bagaimana
struktur
dan
institusi
formal
dari
kesepakatan menyediakan basis analisis pada dasar sistemik mengenai
bagaimana negosiasi internasional dapat mempengaruhi kepentingan
nasional. Hal ini dikatakan dapat meningkatkan kualitas partisipasi
dan kesuksesan negosiasi. Jika negosiasi berhasil maka akan
memunculkan efisiensi baik bagi pelaku bisnis maupun negara yang
akhirnya akan menghilangkan rintangan dagang dan memberikan
keuntungan bagi kedua pihak. Masih menurut Page, selalu ada
kepentingan yang sama dalam sebuah negosiasi untuk tata kelola
perdagangan. Dalam konteks KTM IX Bali, hal ini dapat dilacak pada
kemunculan konsesus untuk menjadikan sentralitas institusi WTO dan
perdagangan multilateral sebagai bagian dari recovery krisis. Hal lain
12
yang dipertegas oleh Page adalah bahwa salah satu elemen dari
negosiasi internasional di WTO adalah negara tidak lagi terlalu
berperan sebagai unit yang berdaulat.13 Hal ini berimplikasi pada
analisa kuasa yang digunakan tidak bisa lagi menggunakan perspektif
tunggal (ukuran ekonomi negara, kemampuan finansial, atau bahkan
kekuatan militer) karena tidak relevan lagi.14 Bargaining dan
pertukaran konsesi antar negara termasuk negara kuat dan lemah
sangat memungkinkan karena alur perundingan yang biasanya
dilaksanakan bertahap. Namun hal ini tetap kembali pada bagaimana
negara terkait mengelola kepentingan, kuasa, dan koalisi mereka.
Penelitian lain yang dilakukan Olajumoke Oduwole berjudul
Realigning International Trade Negotiation Asymmetry: Developing
Country Coalition Strategy in The WTO Doha Round Agriculture
Negotiations (2011) memberikan pemahaman komprehensif mengenai
strategi diplomasi ekonomi negara berkembang di WTO. Meskipun
secara spesifik penelitian yang ia lakukan terkait sektor pertanian,
namun tetap bisa memberikan gambaran hal serupa di sektor-sektor
lain. Ia menggambarkan bagaimana kontestasi negara berkembang
yang lemah dalam forum WTO yang diakibatkan oleh bargaining
power yang terbatas yang berimplikasi pada banyak hasil perundingan
yang dilakukan serta sistem internasional pada umumnya. Melihat
realita tersebut, dibutuhkan adanya strategi komprehensif dalam hal
pengelompokan (clustering) isu, penggelolaan sumber daya yang
dimiliki, serta pembentukan aliansi untuk memperkuat pemposisian
dan bargaining mereka. Penelitian ini menganalisa pergeseran yang
terjadi pada kekuatan negara berkembang khususnya pada isu
pertanian putaran Doha. Ia melihat koalisi empat kelompok utama:
Cotton-4, G-20, G-33, dan G-99 sebagai contoh menarik bagaimana
strategi koalisi dijalankan. Ia membandingkan dan mengkontraskan
Page, Sheila (2002). Developing Countries in GATT/WTO Negotiations (kertas kerja).
London: Overseas Development Institute, hal.9
14 Page (2002), hal.10
13
13
strategi dari masing-masing koalisi selama negosiasi berlangsung.
Hasilnya, strategi pertukaran konsesi yang dilakukan oleh masingmasing koalisi sangat efektif dalam memperkuat leverage isu pertanian
dalam WTO.15 Penelitian ini mengapresiasi positif upaya negara
berkembang ini karena hasilnya, modalitas yang dihasilkan dari
perundingan pertanian putaran Doha pada modalitas terakhir tahun
2008 relatif lebih menguntungkan negara berkembang dibandingkan
saat awal Putaran Doha terlebih pada saat Putaran Uruguay. Penelitian
ini akan mencoba melihat progress modalitas yang sama pada dua isu
lain yang dibahas pada KTM IX Bali: Paket Pembangunan LDC dan
Fasilitasi Perdagangan.
Upaya
penyelesaian
perundingan
Putaran
Doha
sendiri
merupakan persoalan yang cukup kompleks dan pelik. Paul Collier
menulis dalam Why The Wto Is Deadlocked: And What Can Be Done
About It (2005), setidaknya terdapat tiga persoalan mengapa
perundingan ini berjalan begitu rumit. Pertama, terdapat perbedaan
mendasar antar anggota WTO sehingga jika dilakukan pertukaran
konsesi yang terjadi bisa jadi akan merugikan salah satu pihak. Negara
berkembang menginginkan konsesi berupa ‗transfer‘ agar ada manfaat
langsung yang mereka dapatkan. Contoh dari ‗transfer‘ ini seperti
bantuan teknis atau perlakuan khusus dan berbeda. Kedua, terdapat
kelompok negara –terutama negara berkembang— di WTO yang
menganggap
bahwa
mereka
telah
cukup
termarjinalisasi
dari
perekonomian dunia sehingga tidak memiliki dasar bargaining untuk
kepentingan
bersama.
Padahal,
sistem
konsesus
yang
dianut
mengharuskan semua negara untuk menyepakati perundingan yang
disepakati. Dan ketiga, meskipun terdapat negara berkembang yang
masih memiliki bargaining dalam forum perundingan, namun tetap
saja sulit untuk mencapai kesepakatan seperti pada era GATT karena
Oduwole, Olajumoke O. (2011), Negotiation Asymmetry: Developing Country
Coalition Strategy in the.WTO Doha Round Agriculture Negotiations (disertasi).
Stanford University, hal. 211
15
14
kesepakatan yang diputuskan terlalu lintas sektoral sehingga jika
ditransformasi dalam aturan domestik negara membutuhkan adaptasi
yang banyak dari beragam aturan yang telah ada. Persoalan-persoalan
ini belum ditambah faktor negara free rider yang bisa saja
membuyarkan strategi serta peta koalisi yang ada.
Selanjutnya, untuk mengatasi masalah-masalah ini, Collier
mengusulkan beberapa alternatif. Pertama, menyelesaikan tegangan
yang ada antara bargaining dan transfer. Artinya, jika dilihat secara
obyektif, fungsi dari perundingan di WTO adalah tawar menawar
konsesi bukan seperti saat ini dimana yang terjadi adalah beban pada
perundingan
yang
terlalu
besar.
Mekanisme
‗transfer‘
yang
memungkinkan —untuk misalnya penerapan perlakuan khusus dan
berbeda— dikembalikan pada sekretariat WTO. Kedua, menyelesaikan
tegangan
antara
penerapan
aturan
dan
kedaulatan
negara.
Sebagaimana kesepakatan plurilateral lain, permasalahan ini muncul
karena semua negara anggota tanpa terkecuali harus menerapkan
aturan meskipun isu yang disepakati belum tentu merupakan domain
dan bagian dari kepentingan mereka. Untuk itu ia mengusulkan bahwa
harus ada mekanisme tertentu yang memberikan fleksibilitas pada
aspek ini. Ketiga, memberikan preferensi tertentu kepada negara LDC
agar mendapatkan hasil yang lebih besar dari WTO. Keempat,
memfasilitasi
kesepakatan
anatar
OECD
dan
koalisi
negara
berkembang. Hal ini disebabkan kelompok negara berkembang
menjadi
kunci
perundingan
dalam
proses-proses
perundingan
terakhir. Fasilitasi ini bisa dilakukan dengan memperjelas konsesi pada
persoalan kompensasi yang diperoleh negara berkembang yang selama
ini menjadi salah satu isu pokok perdebatan. Kelima, memfasilitasi
liberalisasi intra negara berkembang. Hal ini dikarenakan hambatan
perdagangan intra negara berkembang lebih tinggi dibandingkan
negara
maju
sehingga
fasilitasi
melalui
mekanisme
regional
diharapkan bisa membuka jalan bagi keberhasilan di tingkat
15
multilateral. Lebih jauh, hal ini bisa juga dilakukan dengan evaluasi
terhadap konsep MFN untuk memberikan keleluasaan pembedaan
pada negara tertentu. Keenam, dari sisi institusi WTO sendiri
dibutuhkan penguatan pada aspek fasilitasi pasar dan kelembagaan
sekretariat. Usulan dari Coller ini cukup berkorelasi dengan proses
perundingan KTM IX Bali. Dilihat dari aspek tema perundingan, maka
tiga isu runding yang dibahas: pertanian, fasilitasi perdagangan, dan
LDC sangat mewakili aspirasi kepentingan dari masing-masing
kelompok koalisi negara.
D. Landasan Analisa
Untuk mengeksplorasi lebih jauh lokus persoalan yang akan dibahas,
penelitian ini menggunakan pendekatan kuasa (power) dari Barnett
dan Duvall serta strategi integrative-distributive dari Odell sebagai
landasan analisa.
Mode Kuasa Barnett dan Duvall
Terkait dengan relasi kuasa dengan diplomasi ekonomi, Odell
menjelaskan bahwa hasil dari negosiasi ekonomi politik juga
dipengaruhi oleh faktor lain selain proses negosiasi seperi perubahan
teknologi, tren pasar, peraturan internasional, institusi domestik, dan
struktur kuasa.16 Menurut Jessop, faktor perubahan kuasa penting
untuk mengenali perubahan pada tata kelola yang ada. 17 Kuasa dalam
berbagai mode dan relasinya menjadi bagian penting dalam tata kelola
yang terbentuk.Karakter negosiasi di WTO yang cenderung inklusif
dengan satu negara satu suara menghendaki adanya blok-blok negara
dengan negosiasi kepentingan antara mereka. Meskipun lembaga antar
pemerintah ini merepresentasikan keanggotaannya secara suka rela,
Odell (2006), How to Negotiate Over Trade:a Summaryof New Research for
Developing(kertas kerja). Jenewa: Geneva International Academic Network (GIAN)
hal.18
17 Griffin (2000), Why Geography matters in Theory of Governance, dalam Political
Studies Review volume 10 2012
16
16
pluralis, dan berorientasi kerjasama, kenyataannya negara yang lebih
lemah yang dijadikan sebagai objek dalam isu-isu yang lebih luas yang
mencakup ranah sosial, ekonomi, dan politik.18 Pertukaran konsesi
menjadi sangat ketat yang tentunya membutuhkan kejelian strategi
dari koalisi-koalisi yang terbentuk. Menghadapi kenyataan ini, aktoraktor yang bermain harus jeli melihat peluang dengan menggunakan
strategi yang tepat.
Meskipun kuasa (power) sendiri merupakan salah satu konsep
dasar ekonomi politik, hingga kini tidak terdapat kesepakatan definitif
tentangnya. Pemahaman sederhana mengenai konsep ini adalah
kemampuan satu pihak untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan
dari pihak lain. Giddens (1989) menjelaskan konsep ini sebagai
kemampuan
individu
atau
kelompok
untuk
mendapatkan
kepentingannya meskipun mendapatkan perlawanan dari pihak lain,
dengan kadang melibatkan penggunaan kekuatan langsung atau
disertai dengan penggunaan gagasan (ideologi) yang mendasari
tindakan dari pihak yang lebih kuat.19 Dalam rezim ekonomi
internasional, dimensi politik memainkan peranannya dalam persoalan
kuasa terutama dalam hal siapa memutuskan apa. Pemahaman yang
utuh tentang permainan kuasa ini akan memberikan gambaran yang
lebih komprehensif tentang perilaku ataupun konstelasi aktor yang
bermain, yang akhirnya akan memberikan masukan tepat bagi langkah
strategis yang akan diambil aktor tersebut. Gagasan dari Gramsci dan
Neogramscian memberikan perhatian dan penekanan pada faktor
susunan ide, pengetahuan, dan pelembagaannya yang mencerminkan
kepentingan kelompok dominan. Sementara Barnett dan Duvall (2005)
menjabarkan lebih jauh dan kompleks mengenai bagaimana kuasa
bekerja. Bagi mereka, kuasa bekerja dengan berbagai bentuk dan
ekspresi yang tidak bisa diungkap begitu saja dengan formula
Bernett, Michael & Raymond Duvall (2005), Power in Global Governance, New York:
Cambridge University Press, hal. 49
19Giddens, Anthony. (1989), Sociology. London: Cambridge, hal: 52
18
17
tunggal.20 Kuasa merupakan pembentukan dari serangkaian akibat
kepada para pelaku di dalam dan selama proses hubungan sosial, yang
membentuk kapasitas mereka untuk menentukan takdirnya.21
Mekanisme kuasa disini sendiri dapat dilihat dari macam
hubungan sosial yang mempengaruhi maupun berimbas pada
kapasitas para pelaku serta dari spesifikasi dari hubungan sosial
apakah ‗langsung‘ atau ‗tersebar‘. Dalam konteks yang hubungan
sosial, kuasa di sini berada dalam relasi sosial yang ada dan melembaga
dalam tatanan sosial yang terbentuk dari relasi sosial tersebut.
Hubungan sosial ini membentuk siapa yang menjadi pelaku serta
praktek dan kapasitas yang dilaksanakan oleh pelaku tersebut.
Sementara dalam konteks hubungan sosial, pola ‗langsung‘ dapat
dipahami sebagai interaksi penggunaan kekuasaan tanpa melalui
perantara
sementara
‗menyebar‘
dapat
dipahami
sebagai
pendistribusian kekuasaan melalui perantara ‗tidak langsung‘.
Mereka kemudian menjabarkan kuasa ini dalam empat dimensi
melalui compulsory power, institutional power, structural power, dan
productive power. Compulsory power merupakan bentuk paling
tradisional yang menggambarkan relasi aktor mengendalikan lainnya.
Negara yang lebih kuat secara langsung menggunakan sumber kuasa
mereka untuk menekan tindakan negara yang lebih lemah agar sesuai
keinginan mereka.22 Institutional power merupakan bentuk kuasa
dimana satu pihak mengendalikan secara tidak langsung pihak lainnya
melalui
institusi
dengan
beragam
peraturan,
prosedur,
atau
kesepakatan yang dimiliki institusi tersebut. Hal ini berlangsung baik
dalam bentuk institusi langsung maupun tidak langsung.23 Structural
power digambarkan sebagai relasi struktural baik politik maupun
ekonomi
menundukan
kapasitas
sosial
dan
pihak-pihak
Bernett & Duvall (2005), hal. 2
Barnett & Duval (2005). Power in international Politics, dalam International
Organization, Vol. 59, No. 1, Winter 2005, hal. 39-75
22 Bernett & Duvall (2005), hal. 14
23 Barnett & Duval (2005). Power in international Politics, hal.51
20
21
18
berkepentingan. Konsep ini hirau terhadap pelembagaan dari relasi
sosial dalam konteks sosial (struktur) yang mendefinisikan identitas
dimana aktor terlibat, yang menurut pandangan ini meliputi kapasitas
relasi sosial, subjektivitas, dan kepentingan aktor yang dibentuk oleh
posisi
sosial
kemiripannya
yang
dimiliki.24
dengan
Bernett
institutional
dan
power
Duvall
menyadari
sehingga
untuk
membedakannya mereka memperjelas bahwa institutional power
hirau pada pembatasan tindakan tertentu sementara structural power
hirau pada penetapan kapasitas sosial dalam hubungannya pada
pemajuan
kepentingan.25
Untuk
sederhananya,
mereka
membandingkan dengan konsep klasik struktural hubungan antara
pemilik modal dan kelas pekerja sebagai konsekuensi keberadaan
model produksi kapitalis global26 dan konsep dalam teori sistem dunia
yang menggambarkan fundamental struktur kelas negara.27 Sementara
productive power merupakan bentuk kuasa dalam kaitannya dengan
produksi makna, wacana, dan pengetahuan dalam sistem sosial yang
mendukung untuk dilaksanakanya pemajuan kepentingan tertentu.
Productive power bukan lagi dikuasai oleh aktor tertentu namun
bekerja melalui makna yang dihasilkan dari tindakan aktor.28
Penjabaran lebih lanjut tergambar dalam matriks berikut:
Matriks 1: Ragam Kuasa
Relational specificity
Direct
Diffuse
Compulsory
Institusional
Power
Interactions of
works
specific actors
through Social Relations Structural
of constitution
Productive
Sumber: Types of power29
Barnett & Duvall (2005), hal.18
Barnett & Duvall (2005). Power in international Politics, hal.53
26 Barnett & Duvall (2005), hal.3
27 Barnett & Duvall (2005). Power in international Politics, hal.54
28 Barnett & Duvall (2005). Power in international Politics, hal.55
29 Bernett & Duval (2005), hal: 12
24
25
19
Perkembangan pemikiran telah menghantarkan spektrum kuasa
dalam banyak ranah dari hal yang sifatnya terukur (tangible) seperti
kekuatan militer atau ekonomi hingga yang (intangible) seperti
gagasan dan wacana (discourse). Empat hal yang tersebut dalam tabel
diatas memperlihatkan bentuk kuasa dalam mode yang berbeda.
Penggunaan empat tipe kuasa dari langgam perspektif yang berbeda
ini tentu saja bukan dimaksudkan untuk bersikap eklektik melainkan
untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai
mekanisme kuasa yang ada. Penelitian ini berpendapat, penggunaan
keempat mode tersebut sangat relevan karena sifatnya yang saling
mendukung dalam pelembagaan sebuah kuasa. Namun untuk
compulsory power tidak akan terlalu banyak digunakan dengan
asumsi mekanisme koalisi dalam model pengambilan keputusan WTO
relatif dapat meredamnya.
Adapun operasionalisasi dari penjabaran di atas tergambar dalam
matriks berikut:
Matriks 2: Operasionalisasi Kuasa
20
Analisa kuasa ini bisa dilacak pada progress baik teks isu runding
maupun kekuatan koalisi negara sebagai modalitas dalam pencapaian
paket Bali. Secara sederhana, modalitas sendiri adalah atribut atau
keadaan yang menandakan sikap tertentu.30 Sementara menurut
Giddens (1984) —yang menggunakan istilah ini dalam teori
strukturasinya— mendefinisikan konsep ini sebagai sarana atau
instrumen yang membuat interaksi memungkinkan. Ia cukup
komprehensif dalam mengartikulasikan modalitas ini yakni sebagai
skema interpretatif, fasilitas, dan norma.31 Dalam konteks diplomasi,
modalitas di sini bisa dipahami sebagai serangkaian petunjuk,
formula, target, maupun spesifik aturan yang memungkinkan untuk
dicapainya tujuan dalam negosiasi.
Telah terjadi perubahan dan disposisi kuasa yang signifikan dalam
WTO terutama paska pelaksanaan putaran Doha dalam konteks
pemajuan kepentingan negara berkembang. Saat ini, sebagian besar
negara berkembang menjadi anggota dalam forum ini. Spektrum
dunia yang sebelumnya sangat dikuasai oleh negara maju mulai
memendar dengan kemunculan emerging power yang antara lain
diwakili kehadiran negara berkembang di G-2032 dan BRIC. Modalitas
dari koalisi negara berkembang paska perundingan Doha semakin
menguat dengan berbagai isu yang menjadi spesifikasinya.
Modality dapat diakses di http://dictionary.reference.com/browse/modality, [21
Januari 2014]
31 Gidden, Anthony (1984). The Constitution of Society diterjemahkan oleh Maufur &
Daryanto (2010). Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial
Masyarakat (terj). Yogyakarta Pustaka Pelajar, hal: 46
32 G-20 yang dimaksud disini berbeda dengan koalisi G-20 pertanian dalam konteks
koalisi di WTO. istilah G-20 yang terakhir ini yang akan banyak digunakan dalam
pembahasan penelitian ini.
30
21
Strategi Integrative-Distributive Odell
Secara sederhana strategi dipahami sebagai suatu kelengkapan
tindakan atau taktik yang terukur dan sesuai dengan rencana untuk
mencapai tujuan dengan cara tawar menawar.33 Peran strategi ini
penting bagi negara berkembang terutama karena keaktifannya yang
terus meningkat dalam perundingan-perundingan internasional
termasuk dalam hal perdagangan. Namun, peningkatan ini bisa jadi
tidak relevan jika dihadapkan dengan berbagai keterbatasan yang
dimiliki saat bernegosiasi dengan negara maju. Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah apakah negara berkembang tersebut
mendapatkan bisa untuk mendapatkan hasil yang maksimal atau
tidak. Jika bisa, persoalan selanjutnya menjadi bagaimana cara atau
strategi yang harus dilakukan untuk memaksimalkan hasil tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dicoba dijawab oleh Odell.
Namun sebelumnya, Singh mencoba menjelaskan konsesi negara
berkembang
yang
mungkin
diperoleh
dalam
perundingan-
perundingan WTO.34 Ia mengemukakan empat faktor yang dianggap
penting mengenai hal tersebut. Pertama, konstituen domestik. Kedua,
agenda setting. Agenda setting merupakan proses untuk melibatkan
atau tidak melibatkan isu tertentu dalam pembahasan. Dalam praktek
negosiasi, pilihan pembahasan isu dalam kerangka agenda setting
melibatkan
faktor
popularitas
isu,
tingkat
partisipasi
dalam
pertemuan, serta tingkatan teknis dan kapasitas kelembagaan dari isu
tersebut. Ketiga, penggunaan tekanan yang kredibel. Kapasitas aktor
untuk menekan aktor lain merupakan instrumen yang mempengaruhi
keberhasilan sebuah pembahasan. Keempat, bentuk koalisi. Bentuk
koalisi aktor sangat terkait dengan kesesuaian kepentingan yang
dimiliki. Odell mendefinisikan koalisi ini sebagai sekelompok
33
34
Odell (2006), hal. 5
Odell (2006), hal.41
22
pemerintah yang memiliki kesamaan posisi dalam negosiasi dan
menjalankan koordinasi yang jelas diantara mereka.35
Terkait
persoalan
strategi,
Odel
memperkenalkan
dua
mekanisme strategi yang bisa dilakukan dalam konteks koalisi
tersebut untuk mendapatkan maksimal: strategi distributive dan
integrative. Pemilihan strategi dalam sebuah mekanisme yang lebih
teknis kadang sangat pragmatis sesuai tujuan yang ingin diraih.
Strategi distributive bermanfaat jika pihak yang berunding benarbenar berada dalam situasi konflik sementara integrative bermanfaat
saat masih bisa dikenali adanya tujuan bersama yang bisa dipahami
sebagai kepentingan bersama dalam derajat tertentu. Strategi yang
pertama dapat dijabarkan dengan taktik-taktik seperti: membuka
penawaran yang tinggi, menolak semua konsesi, melebih-lebihkan
permintaan dan prioritas minimal pihak lain, memanipulasi informasi
untuk merugikan pihak lain, menyandera isu pihak lain, menyalahkan
alternatif pihak lain, penuntutan secara hukum, pengancaman, dan
penjatuhan hukuman. Sementara tataran teknis strategi ini antara lain
meliputi: berbagi informasi secara terbuka untuk mengetahui masalah
dan ancaman bersama yang dihadapi, serta menawarkan pertukaran
konsesi atau tindakan yang akan menguntungkan banyak pihak.
Secara sederhana strategi ini dapat dipahami sebagai upaya
mendapatkan konsesi dengan kerjasama dengan pihak lain. Namun,
resiko yang muncul dari strategi ini adalah ketika pihak lain malah
yang
diajak
kerjasama
mengeksploitasi
keterbukaan
yang
ditawarkan.36
Ringkasan tawaran strategi dari Odell di atas dapat dilihat dalam
bagan berikut:
\
35
36
Odell (2006), hal. 41
Odell (2006), hal. 4-5
23
Bagan 1: Strategi Integrative-Distributive Odell
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Membuka penawaran yang
tinggi
Menolak semua konsesi
Melebih-lebihkan permintaan
dan prioritas minimal pihak lain
Memanipulasi informasi untuk
Merugikan pihak lain
Menyandera isu pihak lain,
Menyalahkan alternatif pihak
lain
Penuntutan secara hukum
Pengancaman
Penjatuhan hukuman.
Kegagalan
perundingan
putaran
•
•
Doha
Berbagi informasi secara
terbuka untuk
mengetahui masalah dan
ancaman bersama yang
dihadapiMengambil
tindakan yang akan
menguntungkan banyak
pihak
paling
tidak
hingga
perundingan KTM VII adalah akibat dari fragmentasi yang begitu kuat
antara negara maju dengan negara berkembang. Jika dikenali lebih
jauh, hal ini bisa dipahami akibat distribusi konsesi yang terlalu kaku.
Struktur kuasa di WTO paska KTM VII telah bergeser dengan
kehadiran negara emerging power baru yang memperkuat koalisi di
satu sisi dan pelemahan kuasa negara maju akibat kapasitas
ekonominya yang limbung terkena hempasan krisis global di sisi lain.
Ketika pada perundingan-perundingan sebelumnya negara maju tidak
terlalu antusias mengejar progress perundingan Doha karena
dianggap tidak terlalu bermanfaat bagi mereka, hempasan krisis
membuat kondisi berbalik karena merekalah yang kemudian
membutuhkan perdagangan multilateral sebagai stimulan ekonomi.
Dari sini dapat dikenali ada tujuan bersama dari pihak-pihak yang
berunding pada KTM IX, setidaknya agar Putaran Doha menunjukkan
24
progress demi keberlangsungan dan masa depan perdagangan
multilateral.
E. Argumen Utama
Pencapaian Paket Bali dalam KTM IX WTO dilatarbelakangi konteks
pergeseran distribusi kuasa dalam institusi WTO. Pergeseran ini terjadi
karena pengaruh tiga faktor: pertama, adanya penguatan koalisi negara
berkembang terutama paska dimulainya perundingan Doha sebagai
bagian dari structural power; kedua, becara bertahap penguatan ini
juga meningkatkan institutional power negara berkembang di WTO
yang ditandai dengan progress modalitas yang dicapai; dan ketiga,
kehadiran krisis semakin melemahkan structural power negara maju
di WTO.
Wacana yang kemudian muncul baik dalam forum WTO
maupun forum ekonomi internasional yang lain adalah agar
perundingan Doha segera diselesaikan sebagai bagian dari upaya
recovery dari krisis. Wacana ini terus menguat yang akhirnya menjadi
productive power yang berpengaruh dalam perundingan WTO.
Fenomena krisis menjadi faktor tersendiri, sebagai intervening
variable,
yang
menekan
disparitas
kepentingan
yang
ada.
Sebelumnya, disparitas kepentingan ini menempatkan negara maju
dan berkembang dalam posisi distributive yang kemudian bergeser
lebih berintegratif seiring pergeseran kuasa dan dalam menghadapi
krisis sebagai ancaman bersama. Krisis juga telah mengurangi gap dan
asimetri kuasa yang berlanjut pada semakin seimbangnya posisi
runding. Kecenderungan untuk semakin terintegrasinya kepentingan
dan seimbangnya kuasa yang ada, dalam derajat tertentu, menjadi
faktor yang memungkinkan kesepakatan perundingan dapat diraih.
Pergeseran ini membuat pelaksanaan KTM IX WTO Bali berada dalam
momentum yang tepat untuk menghasilkan putusan.
25
Posisi runding Indonesia selain pada substansi isu pertanian,
juga terletak pada keberhasilan KTM IX agar menghasilkan putusan
terkait Perundingan Doha. Diplomasi ekonomi Indonesia sendiri
dalam pencapaian Paket Bali dilakukan dengan proses pencarian
dukungan melalui political engagement dan technical engagement
baik sebelum maupun saat pelaksanaan perundingan. Strategi mixed
distributive-integrative diupayakan karena dalam perundingan KTM
Bali posisi negara maju dan berkembang relatif memiliki kesamaan
kepentingan, yakni agar perundingan dapat menghasilkan keputusan.
F. Jangkauan Penelitian
Jangkauan
penulisan
dalam
penelitian
ini
digunakan
untuk
menghindari penyimpangan pembahasan yang terlalu jauh dan tetap
konsisten
dengan
argumen
utama
untuk
menjawab
pokok
permasalahan yang telah diajukan dan agar obyek penelitian menjadi
lebih jelas dan spesifik. Dalam lingkup WTO, melakukan analisa
berbasis kelompok negara/ koalisi menjadi cara relevan untuk
memahami
proses
perundingan
karena
kebiasaan
negara
mengelompokkan diri sesuai posisi runding mereka. Penelitian ini
akan
membatasi
kajian
pada
dinamika
kepentingan
negara
berkembang, pergeseran kuasa, serta upaya diplomasi Indonesia dalam
lingkup perundingan KTM IX WTO Bali.
G. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui faktor-faktor yang
mendorong
keberhasilan
kesepakatan
Paket
Bali,
memahami
perubahan karakter konstelasi kuasa dalam WTO, serta untuk
mengetahui lebih dalam strategi diplomasi ekonomi Indonesia dalam
pemajuan kepentingan negara berkembang pada KTM IX WTO Bali.
Harapannya, hasil penelitian ini bisa digunakan untuk masukan
rekomendasi strategis selanjutnya, baik untuk semakin memperkuat
26
peran negara berkembang dalam forum WTO, maupun mencapai
pemenuhan Doha Development Agenda, ataupun untuk semakin
meningkatkan kapasitas diplomasi ekonomi Indonesia.
H. Metode Penelitian
Menetukan metode yang tepat merupakan hal yang krusial untuk
mendapatkan kedalaman dan komprehensifitas dari penelitian yang
akan dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai
cara untuk memahami objek penelitian yang menjadi tema penelitian.
Sementara
dalam
teknik
pengumpulan
data
akan
digunakan
pengumpulan data dengan menggunakan bahan-bahan sekunder baik
yang bersifat teoritis maupun empiris tentang obyek penelitian yang
caranya diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) baik
dari buku, jurnal ilmiah, dokumen pemerintah, artikel dan majalah,
surat kabar, serta
sumber internet yang relevan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
I. Sistematika Pembahasan
Bab pertama adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang,
pokok permasalahan, studi pustaka, landasan analisa, argumen utama,
jangkauan penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua akan membahas gambaran obyektif WTO dan pengalaman
upaya pemajuan kepentingan negara berkembang yang mencakup
disparitas kepentingan dan signifikansi koalisi dalam mekanisme
pengambilan
keputusan,
upaya
pemajuan
kepentingan
negara
berkembang era GATT dan WTO era Awal, serta analisa kuasa dalam
struktur GATT dan WTO era awal.
27
Bab ketiga akan membahas pergeseran kuasa di WTO pergeseran
kuasa di WTO yang mencakup deadlock Perundingan Doha dan
penguatan structural power negara berkembang, faktor krisis global
sebagai pelemahan structural power negara maju, dan wacana
perdagangan multilateral sebagai productive power.
Bab keempat akan membahas distribusi kuasa dalam negosiasi pada
KTM IX WTO Bali yang mencakup penguatan institutional power
negara berkembang dalam modalitas isu runding KTM IX Bali,
penguatan modalitas pada masing-masing isu runding, dan pengaruh
distribusi kuasa tersebut pada strategi integrative-distributive saat
perundingan.
Bab kelima akan membahas posisi dan peran diplomasi ekonomi
Indonesia yang mencakup pengalaman indonesia dalam upaya
pemajuan kepentingan negara berkembang di WTO, posisi dan
kepentingan serta strategi dan peran diplomasi ekonomi Indonesia
dalam Perundingan KTM IX WTO Bali.
Bab keenam akan memuat kesimpulan dan penutup.
28
Download