BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah suatu hubungan yang berkaitan antara beberapa konsep yang akan diteliti dan diukur melalui suatu penelitian. Terkait skripsi ini, kerangka konsep ini akan menjelaskan gambaran selengkapnya mengenai alur berfikir dalam menemukan jawaban atas ukuran Substantial Part yang bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi, kepastian hukum didalamnya dan perbedaan pendapat para ahli, yang dianalisa dan mendapatkan hasil penelitian. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat gambar dibawah ini: Undang - Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 44 “Substantial Part” Ditjen KI Permendiknas No. 17 Tahun 2010 Bersifat Subyektif Plagiarisme Para Ahli Tolak Ukur Perbedaan Pendapat Kepastian Hukum Analisis Hasil Penelitian Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 15 Prinsip Kebebasan Berekspresi 16 2.2. Landasan teori 2.2.1. Hak Cipta Hak Cipta pada awal mulanya dikenal sebagai Hak Pengarang, berdasarkan terjemahan harafiah bahasa Belanda auteursrecht, namun istilah Hak Pengarang ini dipandang menyempitkan pengertian Hak Cipta karena menimbulkan kesan seolah-olah Hak Cipta hanyalah hakhak dari pengarang saja dan hanya bersangkut paut dengan karangmengarang saja.1 Pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951, seorang ahli bahasa Moh. Syah, dalam makalahnya pada kongres tersebut mengatakan bahwa terjemahan auteursrecht adalah Hak Pencipta, dimana istilah ini kemudian dipersingkat menjadi Hak Cipta.2 Kamil Idris selaku Director General World Intellectual Property Organization mengatakan bahwa 3 “copyrights consists of a bundle of rights given to creators in their literary and artistic works. These creators and their heirs, hold the exclusive rights to use or license others to use the work on agreed terms. The creator of a work can prohibit or authorize” Paul Goldstein menyatakan sebenarnya plagiarisme itu ialah pelanggaran etika bukan hukum, akan tetapi tentu saja, jika pekerjaan menjiplak dilindungi oleh Hak Cipta, karya reproduksi tidak sah dilindungi oleh Hak Cipta, reproduksi tidak sah juga merupakan pelanggaran Hak Cipta. Yang intinya mengatakan selagi itu dilindungi dan yang dilindungi itu ternyata tidak sah, tetap saja itu merupakan pelanggaran, sementara itu Kamil Idris menjelaskan bahwa Hak Cipta merupakan kumpulan hak-hak yang diberikan terhadap pencipta atas karya-karya ciptaanyaPencipta dan ciptaannya memiliki hak eksklusif untuk digunakan atau memberikan lisensi untuk digunakan pihak lain dalam suatu perjanjian. Pencipta juga berhak untuk melarang atau memberikan haknya kepada pihak lain.4 1 Eddy Damian, ”Hukum Hak Cipta”, (Bandung: PT Alumni, Bandung, 2009), hlm. 118. 2 Ibid. 3 Hadi Setia, op. cit., hlm. 58 4 Ibid. 17 2.2.2. Fungsi dan Sifat Hak Cipta Hukum Hak Cipta bertujuan melindungi ciptaan- ciptaan dari para pencipta yang dapat terdiri dari pengarang, artis, musisi, dramawa, pemahat, programmer computer dan sebagainya, hak - hak pencipta ini perlu dilindungi dan perbuatan orang lain yang tanpa izin mengumumkan atau memperbanyak karya cipta pencipta.5 Pada dasarnya Hak Cipta tidak melindungi bentuk dari pengungkapan ide ide, informasi atau faktafakta tersebut (expression of ideas).6 Hal ini dapat dilihat dalam Article 9 (2) Persetujuan TRIPS, yaitu: “Copyright protection shall extend to expressions and not to ideas, procedures, methods of operation or mathematical concept as such.” Hak cipta tidaklah harus didaftarkan. Mekanisme pendaftaran Hak Cipta dilakukan semata-mata untuk memberikan pelayanan administratif. Pendaftaran ciptaan ini hanya digunakan sebagai bukti awal kepemilikan hak, apabila di kemudian hari ditemukan bukti adanya orang lain yang lebih berhak, maka pendaftaran Hak Cipta tersebut dianggap batal demi hukum.7 Hal ini secara tersirat terdapat pada Article 5 point (2) Berne Convention, yaitu: “The enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any formality; such enjoyment and such exercise shall be independent of the existence of protection in the country of origin of the work. Consequently, apart from the provisions of this Convention, the extent of protection, as well as the means of redress afforded to the author to protect his rights, shall be governed exclusively by the laws of the country where protection is claimed” Berdasarkan article tersebut secara garis besar dapat diartikan kepuasan seperti ini seharusnya berdiri sendiri dari eksistensi perlindungan di negara aslinya, yang pada intinya berfungsi untuk melindungi hak-hak yang seharusnya diatur secara eksklusif oleh hukumhukum dari yang mengakui perlindungan tersebut. 5 Tim Lindsey et. Al , “Pengantar Hak Kekayaan Intelektual”, (Bandung: Asian Law Group Pty Ltd bekerja sama dengan PT. Alumni, 2006), hlm. 96-97 6 Suyud Margono, op. cit., hlm 26. 7 Henry Soelistyo Budi, “Hak Cipta Tanpa Hak Moral”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011), hlm. 13 18 2.2.3. Plagiarisme Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiat diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri atau jiplakan. 8 Istilah plagiat berasal dari bahasa Latin yaitu plagiarus yang menurut terjemahan secara harafiah berarti penculik (kidnapper).9 Fred Muller dalam kamusnya Beknopt Latyns – Nederlands Woordenboek mengartikan orang yang melakukan plagiat sebagai plagiarus yang berarti mensenrover atau perampok manusia atau zeilverkoper atau penjual nyawa manusia.10 Kemudian Fockema Adreae dalam bukunya Rechtsgeleerd Handwoordenboek mengartikan kata plagiat sebagai letterdievery yang saat ini diartikan sebagai pencurian tulisan, ciptaan yang dilindungi Hak Cipta. Definisi plagiarisme, dalam Black‟s Law Dictionary, plagiarisme didefinisikan sebagai berikut: 11 “The deliberate and knowing presentation of another person‟s original ideas or creative expression as one‟s own. Generally, plagiarism is immoral but not illegal. If the expression‟s creator gives unrestricted permission for its use and the user claim the expression as original, the user commits plagiarism but does not violate copyright laws. If the original expression is copied without permission the plagiarism may violate copyright laws, even if credit goes to the creator. And if the plagiarism results in material gain, it may be deemed a passing-off activity that violates the Lanham Act”. Dalam definisi tersebut, plagiarisme merupakan kesengajaan dan mengetahui bahwa presentasi atau ekspresi kreatif dari ide orisinil orang lain dan diakui sebagai miliknya. Definisi tersebut juga membedakan antara tindakan immoral dan illegal. Namun apabila karya yang dijiplak merupakan original creative expression, maka plagiator itu dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta.12 Seseorang yang mendapatkan izin dari pembuat ekspresi dapat menggunakan haknya untuk menggunakan 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia “Plagiat” (On-line), tersedia http://kbbi.web.id/plagiat (diakses pada 13 februari 2016,pk 13.20 WIB) 9 Eddy Damian, op. cit., hlm. 264 10 Ibid 11 Ibid. 12 Henry Soelistyo Budi, “Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cita dan Etika”, op. cit., hlm. 15. di WWW: 19 ekspresi tersebut, akan tetapi ketika ia mengklaimnya sebagai hasil ekspresinya maka ia melakukan plagiarisme, bukan pelanggaran Hak Cipta. Apabila seseorang menduplikasi hasil ekspresi tersebut tanpa izin pembuat ekspresi, maka ia melakukan pelanggarakan Hak Cipta sekalipun keuntungannya diberikan kepada pembuat ekspresi kecuali melakukan pembayaran royalty atau pada lembaga manajemen kolektif. Pada definisi dari Black‟s Law Dictionary ini menekankan bahwa plagiarisme merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta apabila tanpa izin dari pencipta aslinya. Sedangkan plagiarisme dalam World Intellectual Property Organization (WIPO), dalam glossary WIPO tahun 1980, adalah sebagai berikut:13 Generally understood as the act offering or presenting as one‟s own the work of another, wholly or partly in a more or less altered form or context. The person so doing is called a plagiarist; he is guilty of deception and, in the case of works protected by copyright, also of infringement of copyright. Dalam definisi yang dikemukakan dalam WIPO, maka dapat diketahui bahwa plagiarisme dipahami sebagai tindakan menyatakan atau menyerahkan karya orang lain sebagai karyanya, baik secara keseluruhan atau sebagian dalam bentuk atau konteks yang telah diubah. Definisi WIPO juga menekankan satu syarat normatif, bahwa pelanggaran Hak Cipta terjadi bila ciptaan yang diplagiat merupakan karya yang dilindungi Hak Cipta.14 Pelanggaran ini tentunya juga terjadi karena tidak adanya izin dari pencipta dan pada praktiknya plagiarisme dilakukan tanpa adanya izin dari pencipta. Sedangkan Menurut Michaela Panter, PhD dalam American Journal Ekspress menyebutkan bahwa15: “The U.S. Office of Research Integrity defines plagiarism as “the appropriation of another person‟s ideas, processes, results, or words without giving appropriate credit.” Said differently, plagiarism is the misrepresentation of someone else‟s original thought as your own. In fact, the Latin root of plagiarism means kidnapper or thief. Such theft is a form of academic misconduct and can thus lead to dismissal from 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Panter Michaela, “American journal expres, defining plagiarism” (On-line) tersedia di WWW: http://www.aje.com/en/arc/editing-tip-defining-plagiarism/ (diakses pd 22 desember 2016, pk 14.30 WIB) 20 universities and other research institutions, article rejections or retractions from journals, and decreased credibility as a researcher”. Dari penjelasan diatas dapat kita tarik secara garis besar bahwa plagiarisme adalah pemberian dari ide orang lain,proses,hasil, atau katakata, bisa juga dengan kata lain disebut plagiarisme adalah misrepresentation dari hasil pemikiran orang lain kemudian menjadi seperti milik sendiri, dalam bahasa latin itu berarti pencuri,sedangkan menurut Sastroamoro dalam sebuah artikel yang mengkategorikan plagiarisme dalam 4 kategori16 : 1. Pertama, berdasarkan aspek yang dijiplak. Plagiarism berdasarkan aspek yag dijiplak dibagi menjadi empat, yaitu plagiarisme ide, plagiarisme isi, plagiarisme tulisan, dan plagiarisme total. Plagiarisme ide adalah penjiplakan ide orang lain yang dituangkan dalam bentuk yang lain. Contohnya menjiplak konsep maupun ide pokok dari sebuah tulisan dan menuangkan dan menulisnya lagi dalam kata – kata yang berbeda. Dan dari keempat jenis plagiarism, plagiarism keempat merupakan bentuk pelanggaran yang paling berat. 2. Kedua, plagiarisme berdasarkan proporsi yang dijiplak. Plagiarisme ini dibedakan menjadi tiga kategori, plagiarisme ringan, plagiarisme sedang, plagiarisme berat. Disebut plagiarisme ringan apabila yang dijiplak berkisar antara 30 persen dari isi. Plagiarisme sedang adalah bentuk plagiarisme yang menjiplak 30 sampai 70 persen dari suatu karya. Sedangkan plagiarisme berat adalah plagiarisme yang membajak 70 persen hingga seluruh isi yang dijiplak. Ada anggapan bahwa dalam suatu karya ilmiah, semakin banyak kutipan yang disisipkan dalam suatu karya ilmiah makin bagus pula karya ilmiah tersebut. Namun faktanya, semakin banyak yang dikutip, karya tulis tersebut semakin mendekati plagiarisme. 16 Sastroamono, “Plagiarisme membudaya” (On-line), tersedia di WWW: http://www.kompasiana.com/nadhilab/plagiarisme-membudaya_552a7c3f6ea834b00a552d00 (diakses pd 22 desember 2016, pk 14.33 WIB) 21 3. Ketiga, menurut polanya, plagiarisme dibedakan menjadi dua, yaitu plagiarisme kata demi kata (word by word plagiarism) dan plagiarisme yang menggabungkan ide orang lain dengan idenya sendiri atau disebut mozaik plagiarism. Dan benar – benar disebut plagiarisme apabila penulis tidak menyebutkan sumbernya. 4. Keempat, plagiarisme plagiarisme yang tidak berdasarkan disengaja maupun disengaja. Mungkinkan sebuah plagiarisme dilakukan dalam keadaan yang tidak disengaja? Jawabnya adalah mungkin. Hal ini terjadi ketika, tanpa kita ketahui orang lain telah membuat sebuah karya dari ide yang sama atau hampir sama dengan ide kita. 2.2.4. Plagiarisme berdasarkan Substansial Part (sebagian yang substansial) Dalam sebuah artikel yang membahas mengenai substansial part terdapat beberapa penjelasan diantaranya seperti yang dikeluarkan oleh Australian Copyright Council:17 “Substantial part” is a question of quality, not quantity. This means if what is being used is an important, essential or distinctive part of the copyright material, it will likely infringe copyright even if it is only a small amount. It is important to note that even if you do not directly reproduce the material, but rather paraphrase or only closely follow its structure, you may still be using a substantial part that amounts to copyright infringement” Dari penjelasan diatas dapat kita lihat secara garis besar bahwa substantial part adalah aspek penilaian berdasarkan kualitas bukan kuantitas, jika kita melakukan atau mengambil bagian penting dari suatu Hak Cipta maka kita disebut sebagai pelanggar Hak Cipta. 17 Australian copyright council (On-line), tersedia di WWW: http://www.copyright.org.au/acc_prod/ACC/Legal_Advice/Manage/Precedents/005_Substantial_part. aspx?WebsiteKey=8a471e74-3f78-4994-9023-316f0ecef4ef, (diakses pd 22 desember 2016,pk 18.21 WIB) 22 2..2.5 Fair Use, Fair Dealing dan Tranformative work Doktrin fair use tidak memiliki definisi yang seragam. Menurut Prof. Eddy Damian, dengan adanya pengaturan hukum penggunaan yang wajar (fair use/fair dealing), hukum hak cipta memperkenankan seseorang (pihak ketiga) menggunakan atau mengeksploitasi suatu ciptaan tanpa perlu izin dari Pencipta, asalkan masih dalam batas-batas yang diperkenankan.18 Menurut Paul Goldstein, fair use secara umum sering didefinisikan sebagai: "a privilege in others than the owner of a copyright to use the copyrighted material in a reasonable manner without his consent, notwithstanding the monopoly granted to the owner by the copyright."19 Secara garis besar dapat diartikan bahwa hak istimewa pada orang lain dari pada pemilik hak cipta untuk menggunakan materi berhak cipta dengan cara yang wajar tanpa persetujuannya, sedangkan Transformative Works adalah:20 “Transformative works are creative works about characters or settings created by fans of the original work, rather than by the original creators. Transformative works include but are not limited to fiction, real person fiction, fan vids, and graphics. A transformative use is one that, in the words of the U.S. Supreme Court, adds something new, with a further purpose or different character, altering the [source] with new expression, meaning, or message. Pada penjelasan diatas dapat ditarik secara garis besar bahwa karya transformatif adalah karya kreatif tentang karakter atau pengaturan yang dibuat oleh penggemar karya asli, bukan oleh pencipta asli. Sebuah penggunaan transformatif adalah salah satu yang, dalam kata-kata Mahkamah Agung AS, menambahkan sesuatu yang baru, dengan tujuan lebih lanjut atau karakter yang berbeda, mengubah dengan ekspresi baru, makna, atau pesan. 18 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, 115 19 Paul Goldstein, Copyright, Volume II, (Little, Brown , & Company, Canada: 1989), hal 187 20 Fanlore, the Supreme Court ruling came in Campbell v. Acuff-Rose Music, (On-line) tersedia di WWW: https://fanlore.org/wiki/Transformative_Work (diakses pd 30 maret 2017, pk 1.46 WIB) 23 2.2.6 Teori Kepastian Hukum Kepastian hukum di dalam kamus hukum dari Fockema Andreae didefinisikan sebagai keyakinan yang (seyogianya) dimiliki anggota masyarakat bahwa pemerintah akan memperlakukan dirinya berlandaskan pada aturan-aturan hukum yang berlaku dan tidak secara sewenang-wenang, tanpa membeda-bedakan (sejauh memungkinkan), kepastian tentang substansi dari aturan (muatan isi dan bagaimana aturan dimaknai dalam praktik).21 Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.22 Menurut Lon L. Fuller, ada beberapa standar agar suatu produk hukum dapat diterima, yang apabila semua ini terpenuhi maka antara peraturan dan pelaksanaannya akan menimbulkan kepastian hukum. Standar-standar itu dinyatakannya sebagai berikut : 23 1. The principle must be expounded in a manner so that it can be generally applied. (prinsipnya harus diuraikan dengan baik sehingga secara umum dapat diterapkan). 2. The mandates of the law must be communicated to the people to whom they are directed. (peraturan tersebut harus diumumkan kepada publik). 3. Newly announced principles of law, except on rare occasions, should be applied only in a prospective manner. Retroactive application of changes in prescribed norms, subject to the presence of compelling extenuating circumstances, should be 21 Sulistyowati Irianto dkk., Kajian Sosio-Legal, (Bali: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 121 22 Peter Mahmud Marzuki, “Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.158 23 Lon L Fuller, “The Morality of Law, by”, Indiana Law Journal, Vol 2 no.5, 1965, hlm. 274 24 avoided. (hukum tidak boleh berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem). 4. Standards of action and inaction should be clearly stated. (standar perilaku yang boleh dan tidak harus dinyatakan dengan jelas/ dibuat dengan rumusan yang jelas). 5. Arguing that respect for the law calls for consistency, Fuller maintains that the originators of laws should take great pains to see that the body of law is as free as possible from contradictory mandates, (Dengan alasan hukum harus konsisten, maka tidak boleh ada peraturan yang bertentangan). 6. Emphasizing that law is tied to the capabilities of human beings.(menekankan bahwa peraturan hukum tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan manusia). 7. While stare decisis, of recent date, has been viewed by some, if not many people, as a barrier on the pathways to needed change, Fuller is of the opinion that abiding by previously announced norms is desirable in and of itself. (peraturan tidak boleh sering diubah-ubah). 8. The law is to attain its objectives it must satisfy the requirement of "congruence"; that is, consistency between the actions of those called upon to enforce its commands and the verbally prescribed norms.(harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari). Selain pendapat Lon L. Fuller di atas, ada pendapat lain yang dikemukakan oleh Jon Michiel Otto yang mengemukakan bahwa kepastian hukum yang nyata didefinisikan dalam situasi tertentu. Yang mana situasi tersebut sebagai berikut :24 1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) negara; 24 Sulistyowati Irianto dkk., Op.Cit., hlm. 122 25 2. Bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan hukum itu secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya; 3. Bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga-negara menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut; 4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak (independent and impartial judges) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum yang dibawa kehadapan mereka; 5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Dari penjelasan pendapat-pendapat ahli di atas mengenai pandangan mereka atas kepastian hukum, maka ada beberapa poin penting agar terciptanya kepastian hukum. Yang pertama adalah harus adanya peraturan hukum yang jelas dan dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat. Yang kedua adalah bahwa aturan-aturan hukum harus konsisten, sehingga tidak bertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lain. Yang ketiga adalah bahwa muatan isi peraturan-peraturan tersebut pada prinsipnya diterima oleh mayoritas warga negara, sehingga aturan tersebut menjadi batasan tingkah laku bagi mereka. Yang keempat, adanya kesesuaian antara peraturan hukum dan pelaksanaannya, sehingga penerapan aturan-aturan hukum menjadi efektif didalam penegakan hukum. Pada dasarnya menurut Heather Leawoods tujuan utama kepastian hukum adalah ”to ensure peace and order”25. Jika dikaitkan antara unsur-unsur untuk menimbulkan kepastian hukum tersebut dengan Undang-Undang Hak Cipta saat ini khususnya dalam peraturan mengenai “Substantial part”, antara peraturan dan implementasinya saat ini masih belum mampu menimbulkan kepastian hukum. Karena sebagaimana fakta dilapangan bahwa pengaturan mengenai substantial part dalam Undang-Undang Hak Cipta saat ini dirumuskan dengan bahasa yang sulit dimengerti sehingga bersifat 25 Heather Leawoods, Gustav Radbruch : An Extraordinary Legal Philosopher, Washington University Journal of Law & Policy, Vol 2, hlm. 493 26 subjektif yang artinya tergantung penafsiran individu (multi-tafsir). Karena hal tersebut, instansi pemerintah, yakni Ditjen KI atau Konsultan Hak Cipta sekalipun tidak dapat memberikan definisi yang jelas mengenai ukuran substantial part tersebut. Kita dapat melihat bahwa hukum dituntut untuk memenuhi berbagai karya yang oleh Radbruch, keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum itu disebut sebagai nilai-nilai dasar hukum.26 Apabila ketiganya dapat berbalut menjadi satu, penegakan hukum pasti seindah pelangi.27 Jadi, merupakan sebuah keharusan bahwa ketiga unsur tujuan hukum yang telah disebutkan Gustav Radbruch tersebut wajib terpenuhi dalam suatu produk hukum, sehingga penegakan hukum akan berjalan sebagaimana yang dicita – citakan oleh Negara. 2.2.7 Hukum Pembuktian Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.28 Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan ( juridicto contentiosa ) maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan ( juridicto voluntair ). Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya tersebut akan ditolak, namun apabila sebaliknya maka gugatannya tersebut akan dikabulkan29 26 Chainur Arrasjid, “Dasar-Dasar Ilmu Hukum”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 17 Patmoko, dalam “Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial Republik Indonesia”, Vol IV No. 02, Agustus 2011, hlm. 4 28 H. Riduan Syahrani, “Materi Dasar Hukum Acara Perdata”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 83 29 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek”, (Bandung: Alumni,1983), hlm. 53. 27 27 2.2.7.1 Teori pembuktian dalam hukum pidana Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macammacam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan.30 Sistem pembuktian adalah sistem yang berisi terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktian, cara bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sistem pembuktian merupakan suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh.31 Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap di sidang pengadilan. Sejalan dengan perkembangan waktu, teori atau sistem pembuktian mengalami perkembangan dan perubahan. Demikian pula penerapan sistem pembuktian di suatu negara dengan negara lain dapat berbeda. Adapun sistem atau teori pembuktian yang dikenal dalam yaitu conviction intime atau teori dunia hukum pidana pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata, conviction rasionnee atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang bewijstheorie atau teori Pembuktian logis, positif wettelijk yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif, dan negatief wettelijk bewijstheorie atau teori 30 Alfitra,” Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia”, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 28. 31 Adhami Chazawi, “Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”, (Bandung: Alumni, 2008), hlm. 24 28 pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alatalat bukti dalam undang-undang secara negatif.32 Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP memadukan unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut, keduanya saling berkaitan. Jika suatu perkara terbukti secara sah (sah dalam arti alat-alat bukti menurut undang-undang), akan tetapi tidak meyakinkan hakim akan adanya kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pidana pemidanaan terhadap terdakwa.33 Sedangkan Lamintang menyatakan bahwa sistem pembuktian dalam KUHAP disebut: 34 1. Wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada. 2. Negatief, karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan putusan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenisjenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. 32 Hendar Soetarna, “Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana”, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 11 Tolib Efendi, “Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di Indonesia”, (Malang: Setara Press, 2014), Hlm. 172 34 Rusli Muhammad, Op cit, Hlm. 192 33 29 Sistem menurut undang-undang secara negatif yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, mempunyai pokok-pokok sebagai berikut :35 1. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana. Dengan kata lain bahwa pembuktian ditujukan untuk memutus perkara pidana, dan bukan semata-mata untuk menjatuhkan pidana. 2. Standar/syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana dengan dua syarat yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, yaitu : a. Harus menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. b. Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim memperoleh keyakinan. Berkaitan dengan keyakinan hakim dalam pembuktian, haruslah dibentuk atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah. Adapun keyakinan hakim yang harus didapatkan dalam proses pembuktian untuk dapat menjatuhkan pidana yaitu :36 1. Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU, artinya fakta-fakta yang didapat dari dua alat bukti itu (suatu yang obyektif) yang membentuk keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-benar telah terjadi. Dalam praktik disebut bahwa tindak pidana yang didakwakan JPU telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Secara sah maksudnya telah menggunakan alat-alat bukti yang memenuhi syarat minimal yakni dari dua alat bukti. Keyakinan tentang 35 36 Adhami Chazawi, Op cit, hlm. 30. Ibid, hlm. 32-34 30 telah terbukti tindak pidana sebagaimana didakwakan JPU tidaklah cukup untuk menjatuhkan pidana, tetapi diperlukan pula dua keyakinan lainnya. 2. Keyakinan tentang terdakwa yang melakukannya, adalah juga keyakinan terhadap sesuatu yang objektif. Dua keyakinan itu dapat disebut sebagai hal yang objektif yang disubyektifkan. Keyakinan adalah sesuatu yang subyetif yang didapatkan hakim atas sesuatu yang obyektif. 3. Keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam hal melakukan tindak pidana, bisa terjadi terhadap dua hal/unsur, yaitu pertama hal yang bersifat objektif adalah tiadanya alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana. Dengan tidak adanya alasan pembenar pada diri terdakwa, maka hakim yakin kesalahan terdakwa. Sedangkan keyakinan hakim tentang hal yang subyektif adalah keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa yang dibentuk atas dasar-dasar hal mengenai diri terdakwa. Maksudnya, adalah ketika melakukan tindak pidana pada diri terdakwa tidak terdapat alasan pemaaf (fait d‟excuse). Bisa jadi terdakwa benar melakukan tindak pidana dan hakim yakin tentang itu, tetapi setelah mendapatkan faktafakta yang menyangkut keadaan jiwa terdakwa dalam persidangan, hakim tidak terbentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, maksud dilakukannya kegiatan pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah untuk menjatuhkan atau mengambil putusan in casu menarik amar putusan oleh majelis hakim. Pembuktian dilakukan terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam 31 putusan hakim. Sehigga pembuktian tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan pidana saja berdasarkan syarat minimal dua alat bukti yang harus dipenuhi dalam hal pembuktian untuk menjatuhkan pidana.37 2.2.7.2 Teori pembuktian hukum perdata Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.38 Dalam rangka mencari kebenaran formil, beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun bagi para pihak yang berperkara. a. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas pada mencari dan menemukan kebenaran formil, dimana kebenaran tersebut diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung. Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, apabila hakim yakin bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam persidangan. Makna pasif bukan hanya sekedar menerima dan memeriksa apa-apa yang diajukan para pihak, tetapi 37 Ibid, Hlm. 31 38 M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 498 32 tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan :39 1. Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan. Semuanya itu menjadi hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti yang diajukan terserah kehendak para sepenuhnya pihak. Hakim kepada tidak dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu, kecuali sepanjang hal yang ditentukan undang-undang. Misalnya berdasarkan Pasal 165 RBg/139 HIR, salah satu pihak dapat meminta bantuan kepada hakim untuk memanggil dan menghadirkan seorang saksi melalui pejabat yang berwenang agar saksi tersebut menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan, apabila saksi yang bersangkutan relevan akan tetapi pihak tersebut tidak dapat menghadirkan sendiri saksi tersebut secara sukarela. 2. Menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim. 3. Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan penggugat dalam gugatan. Hakim tidak boleh melanggar asas ultra vires atau ultra petita partium yang digariskan Pasal 189 RBg/178 HIR ayat 17 39 Ibid., hlm. 500 33 4. yang menyatakan hakim dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada yang digugat. Misalnya yang dituntut penggugat Rp. 100 juta, tetapi di persidangan terbukti kerugian yang dialami Rp. 200 juta, maka yang boleh dikabulkan hanya terbatas Rp. 100 juta sesuai dengan tuntutan yang disebut dalam petitum gugatan. b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta. ditegakkan Pembuktian tanpa ada tidak fakta-fakta dapat yang mendukungnya. b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan faktafakta. Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang mendukungnya.40 Berikut beberapa sifat-sifat alat bukti: 1. Bukti lemah adalah alat bukti yang dikemukakan penggugat yang sedikitpun tidak memberikan pembuktian atau memberikan 40 Ibid., hlm. 501 pembuktian tetapi tidak 34 memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk menerima dalil-dalil gugatan, artinya alat bukti ini hanya mempunyai daya bukti permulaan ( kracht van begin bewijs ). Jadi derajat bukti yang dibutuhkan belum tercapai oleh karena itu gugatan harus ditolak dan penggugat sebagai pihak yang kalah. Daya bukti permulaan saja tidak dapat menjadi dasar hakim bagi penerimaan suatu gugatan.41 2. Bukti sempurna Bukti sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan telah sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan alat bukti lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan diajukan dengan bukti sangkalan ( tengen bewijs). Jadi dengan tersebut, bukti sempurna memberikan yang kepada diajukan hakim kepastian yang cukup, akan tetapi masih dapat dijatuhkan oleh bukti sangkalan. Dengan demikian, bukti sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar dan harus diterima kecuali tergugat dengan bukti sangkalannya ( tengen bewijs ) berhasil mengemukakan alat bukti yang berdaya bukti cukup guna menyangkal apa yang dianggap oleh hakim telah benar.42 3. Bukti pasti/menentukan ( Beslissend Bewijs ) Akibat diajukan pembuktian dengan alat bukti yang mempunyai daya bukti 41 Hari Sasangka, “Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi”, (Bandung: CV Mandar Maju, 2005), hlm. 19. 42 Ibid., hlm. 19 35 pasti/menentukan, maka terhadap pembuktian tersebut tidak diperbolehkan untuk memajukan Pembuktian bukti dengan pasti/menentukan, penggugat atau sangkalan. alat mengakibatkan tergugat bukti bagi yang mengemukakan alat bukti tersebut, suatu posisi yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan demikian tuntutan yang diajukan dianggap benar, beralasan diterima. Peluang pihak dan dapat lawan untuk mengajukan bukti sangkalan tidak ada lagi.43 4. Bukti yang mengikat ( Verplicht Bewijs ) Dengan adanya alat bukti yang mempunyai daya bukti mengikat, maka hakim wajib untuk menyesuaikan keputusannya dengan pembuktian tersebut. Contoh dalam hal ini adalah dalam hal adanya sumpah pemutus ( swear decissoir ).44 5. Bukti sangkalan ( Tengen Bewijs ) Bukti sangkalan adalah alat bukti yang dipergunakan dalam bantahan terhadap pembuktian yang diajukan oleh lawan dalam persidangan. Pembuktian ini bertujuan untuk menggagalkan gugatan pihak lawan. Pada prinsipnya segala bukti dapat dilemahkan dengan bukti sangkalan, kecuali undang-undang sendiri secara tegas melarang diajukannya suatu alat bukti sangkalan, misalnya terhadap sumpah pemutus ( sumpah 43 Ibid., hlm. 20 44 Ibid., hlm. 20. 36 decissoir )yang diatur dalam Pasal 1936 KUHPerdata.45 2.2.8 Asas In Dubio Pro Reo Menurut “Kamus Hukum” yang ditulis oleh Simorangkir et.al. (hlm. 73), frasa in dubio pro reo diartikan sebagai “jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa” Asas in dubio pro reo sendiri sudah sering digunakan Mahkamah Agung (“MA”) untuk memutus perkara, di antaranya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 33 K/MIL/2009 yang salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa: asas In Dubio Pro Reo yang menyatakan46 “jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi Terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan” 2.2.9 Unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah musik Dalam sebuah penciptaan karya seni berupa musik atau lagu mempunyai unsur-unsur atau bagan-bagan didalamnya, Adapun Unsur-Unsur Musik Yang dapat membentuk Sebuah Lagu atau musik sebagai Berikut47: 1. Notasi Musik Sebuah nada tidak akan mungkin terlihat dengan kasab mata. Nada tidak berwujud dan tidak memiliki rupa. Namun Nada itu bisa didengar atau diperdengarkan. Nada hanya mampu didengar oleh manusia dengan frekuensi tertentu. Jika terlalu rendah maka tidak mungkin bisa didengar. Nada adalah bunyi yang getarannya teratur. Nada bisa dituliskan dengan simbol-simbol notasi. Dengan simbol-simbol itulah kita bisa 45 Ibid., hlm. 20. 46 Adi C. Bawono, “Penerapan Asas In Dubio Pro Reo” (On-line), tersedia WWW: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4142/penerapan-asas-in-dubio-pro-reo (diakses pd 24 januari 2017 pk 20.40 WIB) 47 Ravindra Indra, “Unsur-unsur Dalam Musik” (On-line) tersedia di WWW: http://www.senibudaya.web.id/2015/10/unsur-unsur-dalam-musik-9-sembilan-unsur.html (diakses pd 21 desember 2016, pk 19.09 WIB) 37 menyanyikan lagu. Notasi Musik dibagi menjadi 2 Yaitu Notasi angka dan Notasi Balok. 2. Tanda Kunci Tanda kunci akan menjadi unsur penting dalam Musik. Ini disebabkan karena dengan kunci-kunci tersebut maka lagu bisa diamainkan. Untuk Kunci-kunci tersebut juga tidak lepas dari Notasi angka dan notasi balok. Kunci merupakan Tanda yang digunakan pada garis paranada untuk menunjukkan letak titinada. Oleh karena itu Pembagian Tanda Kunci akan membedakan Nada-nada tinggi atau Nada-nada sedang atau bahkan Nada-nada Rendah. 3. Tempo Tempo bisa diartikan cepat atau lambatnya sebuah lagu. Maka ukurannya adalah beat. Beat adalah ketukan yang menunjukkan banyaknya ketukan dalam satu menit. Sebagai contoh apabila ada lagu dengan beat MM 70, ini berarti dalam satu menit terdapat 70 ketukan. Jika dalam satu ketukan dengan notasi seperempat. Untuk itu anda bisa juga dengan melihat artikel dengan Judul Tanda Tempo. 4. Melodi Melodi juga merupakan Unsur seni musik yang sangat penting. Melodi adalah rangkaian nada atau bunyi berdasarkan perbedaan tinggi rendah atau naik turunnya. Jika seseorang ingin mengungkapkan penuh nada-nada atau bahakan sebagian. Maka melodi menjadi media penting untuk dipelajari. Dengan Kata lain, melodi merupakan bentuk ungkapan penuh atau hanya penggalan ungkapan nada. Melodi yang baik itu melodi yang intervalnya terjangkau oleh alat musik maupun suara manusia. Tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah. 38 5. Ritme/Irama Nama ritme atau irama ini dipakai oleh pedangdut kita atau Raja Dangdut kita Rhoma Irama. Memang ada hungannya. Hubungannya adalah Beliau ini Penyanyi dan pencipta lagu, tentu layak menyandang Gelar Irama. Oke masuk pada pembahasan saja. Irama adalah Gerak Teratur karena munculnya Aksen secara tetap. Keindahan Irama akan dapat tercipta apabila adanya jalinan perbedaan nilai dari satuan-satuan bunyi. 6. Harmoni Harmonis itu selaras. Harmoni adalah Keselarasan Paduan Bunyi. Secara teknis, Harmoni meliputi Susunan, Peranan, dan Hubungan dari sebuah paduan bunyi dengan bentuk keseluruhan. elemen Interval dan Akor. apabila dibunyikan Harmoni Akor adalah Susunan secara serentak akan memiliki 3 Nada terdengar harmonis. Akor akan selalu mengiringi Melodi. Tanpa akor, melodi berjalan pincang. dan tentu saja tidak bisa didengar dengan indah. 7. Tempo Tempo menjadi hal pokok dalam bermain musik. Jika tempo tidak tepat maka orang menyanyi akan lebih cepat dari iringan musiknya, atau bahakan lebih lambat dari iringan musiknya. Maka akan menjadi bermasalah. 8. Dinamik Dinamik akan memberikan gaya menyanyi, Menjadi penting apabila seseorang memiliki dinamika bernyanyi yang luar biasa. Dinamik adalah Keras lembutnya lagu dan perubahannya. Akan saya bahas disini mengenai dinamik. a. Dinamik lembut misalnya Piano (p) = Lembut, Pianissimo (pp) = Sangat lembut 39 b. Dinamik sedang misalnya Mezzo piano (mp) = Agak lembut, Mezzo forte (mf) = Agak Keras. c. Dinamik keras misalnya Forte (f) = Keras, Fortissimo (ff) = Sangat Keras. Untuk menunjukkan perubahan Tempo maka dipakailah istilah sebagai berikut 1. Cressendo (cresc) = Artinya semakin keras 2. Decressendo (decresc) = Artinya semakin lembut 3. Subito forte (sf) = Artinya tiba-tiba keras 4. Subito piano (sp) = Artinya tiba-tiba lambat 9. Tangga Nada Tangga adalah urutan nada yang disusun secara berjenjang. Tangga nada yang berjenjang adalah do, re, mi, fa, sol, la, ti dan kembali ke do atau ke do di interval berikutnya. Untuk Tangga nada ini jumlahnya ada 7 nada. Setiap nada naik satu tingkat satu tingkat, inilah yang dinamakan tangga nada. Jika kita memulai nada dari do menuju ke sol maka berarti kita langsung naik ke tingkat yang ke 5. Begitu seterusnya. Dan Tangga Nada dibagi menjadi dua yaitu Tangga Nada Diatonis dan Tangga Nada Pentatonis. 10. Ekspresi Ekspresi menjadi hal yang diperhitungkan dalam unsur musik. Betapa tidak, Seseorang menyanyi itu adalah ungkapan perasaan dari dalam hati. Maka harus dimunculkan melalui ekspresi kita. Alunan lagu atau suara yang gembira, susah, syahdu, rhomantis, centil, khidmat, dan lain lain harus diungkapkan secara baik dan penuh perasaan. Agar yang mendengarnya juga terbawa karena ekspresi kita saat bernyanyi dirasa total. Berikut 15 Nama-Nama Tanda Ekspresi 40 1. Agiato = Gembira, Bersemangat 2. Con Animo = Dengan Sungguh-sungguh 3. Con Animato = Dengan Berjiwa 4. Con Spirito = Dengan Semangat 5. Con Antabile = Dengan Berseru 6. Con Bravura = Dengan Gagah Perkasa 7. Vivace = Hidup, Lincah 8. Marcato = Dengan Tegas Bertekanan 9. Maestoso = Bersifat Luhur (Pada umumnya) 10. Amabile = Manarik 11. Contabile = Perasaan Merdu 12. Con Amore= Perasaan Kasih dan Cinta 13. Con Doloroso= Perasaan Sedih, Pilu dan Susah Hati 14. Con Expresione = Dengan penuh perasaan 15. Con Sustenuto= Dengan Perasaan Struktur ritme dalam sebuah musik terdiri dari empat elemen sebagai berikut: a. Beat : Beat atau Irama adalah ketukan, seperti 1-2-3-4, yang biasa kita hitung ketika memainkan atau mendengar sebuah lagu. Beat membagi sebuah frasa menjadi bagianbagian yang seragam, dimana satu beat nantinya bisa dibagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil bila dibutuhkan, Contohnya dalam birama 4/4, satu beat sama dengan satu ketukan, sehingga satu bar birama berisi 4 beat. 41 b. Bar: Bar adalah frase musik dalam lagu, yang terdiri dari beberapa beat. Satu bar pada lagu komersial umumnya memiliki 4 beat, sehingga terdiri dari 4 ketukan. Bagianbagian lagu seperti Verse dan Chorus, biasanya diukur menggunakan bar: Verse umumnya selama 8 hingga 16 bar, dan begitu juga dengan Chorus, contohnya dalam birama 4/4, satu bar sama dengan 4 beat atau ketukan. Frase 16 bar berarti memiliki 64 beat. c. Time Signature: Time signature atau tanda waktu menandakan berapa banyak beat dan selama apa beat tersebut dalam satu bar, contohnya Time signature lagu komersial umumnya 4/4, yang berarti ada 4 beat dalam satu bar, masing-masing selama satu kali not 1/4. Time signature lain yang umum digunakan (terutama untuk lagu rock) adalah 6/8, yang berarti ada 6 beat dalam satu bar, masing-masing selama satu not 1/8. Time signature lain, meski tidak dipakai sesering kedua sebelumnya, digunakan untuk Jazz Swing, yaitu 3/4. d. Tempo Tempo menandakan seberapa cepat lagu dimainkan. Istilah modern untuk tempo adalah BPM atau Beats per Minute, yaitu berapa banyak ketukan yang terjadi dalam waktu 60 detik. Dalam pengetahuan musik klasik, tempo ditandai dengan istilah-istilah bahasa Italia seperti Adagio, Allegretto, dan Presto, yang masing-masing memiliki kecepatan tertentu. 42 2.2.9.1 Teknik dalam permainan gitar dan drum48 1. Teknik dalam gitar Strumming adalah teknik memetik dua atau enam senar secara bersama-sama. Strumming atau teknik memetik ini bisa hanya dengan jari atau sebuah alat yang disebut pick atau plectrum atau plectron. picking, strumming downstroke (memetik terdiri dari dua gitar dari atas Seperti cara ke teknik yaitu bawah) dan upstroke (memetik gitar dari bawah ke atas). Simbol strumming dalam tabulatur gitar adalah sebagai berikut: Gambar 2.2 Contoh Strumming pada Gitar 2. Teknik dalam alat musik drum antara lain: A. Ketukan 1/4 Yaitu dengan cara memukul snare sebanyak 2 kali dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri. Kemudian ketika memukul snare dengan tangan kanan bersamaan juga dengn menginjak bass drum, begitu juga ketika memukul snare dengan tangan kiri bersamaan dengan menginjak bass drum. Untuk pukulan snare dengan hitungan detik jam yang berfungsi dengan pengaturan tempo permainan drum. 48 Ibid. 43 B. Ketukan 1/8 Untuk ketukan 1/8 sebenarnya hampir sama dengan ketukan 1/4 yang membedakan tempo pukulannya. Ketika memukul snare dengan menggunakan tangan kanan bersamaan juga dengan menginjak bass drum, tetapi ketika memukul snare dengan tangan kiri tidak bersamaan dengan menginjak bass drum. C. Ketukan 1/16 Yaitu dengan cara memukul snare sebanyak 4 kali dengan menginjak bass drum 1 kali. Tangan kanan dan tangan kiri bergantian memukul snare dengan bass drum sesuai dengan tempo. Untuk bisa mengusai ketukan ini, baiknya kuasai terlebih dahulu ketukan 1/4 dan ketukan 1/8. D. Ketukan 1/32 Pada ketukan ini, kecepatan tangan dalam tempo bass drum harus sangat diperhatikan. Ketukan ini adalah ketukan yang cukup sulit tetapi sangat bisa untuk dipelajari. Caranya memukul snare sebanyak 8 kali dengan bass drum 1 kali. Cara ketukan sama seperti ketukan 1/16, yang membedakan memukul snarenya 8 kali. 2.3 Landasan Konseptual 2.3.1 Sejarah Hak Cipta Internasional dan Nasional a. Sejarah Hak Cipta Internasional De eerste ons bekende discussie betreffende het auteursrecht vond ergens tussen 500-700 na Christus plaats in Ierland. Het hoeft geen verbazing te wekken dat het onderwerp van dispuut was een kopie van een Psalmmanuscript dat destijds een grote waarde vertegenwoordigde. De koning moest uiteindelijk het geschil beslechten en deed dit met de prachtige woorden “To every cow belongs her calf, therefore to every book belongs its copy.” Dit was het eerste gedocumenteerde geval van een auteursrechtgeschil, maar door sommigen wordt gesteld dat ook in de Oudheid men al een 44 notie had van auteursrecht. In 600 voor Christus schreven de Grieken al over creativiteit en voortbrengselen van de geest.49 Maksud dari tulisan Willem Balfort dalam sebuah website yang berjudul De geschiedenis van het auteursrecht ialah diskusi pertama yang diketahui tentang Hak Cipta adalah suatu tempat antara di Irlandia. Subjek sengketa adalah salinan dari naskah. Raja akhirnya harus menyelesaikan perselisihan tersebut dengan menyatakan “untuk setiap sapi milik anaknya adalah untuk setiap buku milik salinannya." Ini adalah kasus pertama yang didokumentasikan dari sengketa Hak Cipta. Tetapi untuk aturan mengenai Hak Cipta tersebut pertama dikeluarkan oleh UK berbunyi:50 “Copyright‟ was developed in the UK in the 17th century in response to the then new technology of book-printing, and has gradually developed to include new forms of communication such as photography, broadcasting, film and, more recently computers and digital technology. For those involved in education it is interesting to note that the first copyright Act in the UK, the Statute of Anne of 1710 was subtitled „An Act for the Encouragement of Learning. Since 1710 copyright has gradually increased its scope from book printing to include engraving, photography and film, sheet and recorded music, broadcasting and most recently digital forms of communication and databases. With each new form of media there was a step change in the culture of copyright. At the same time as the number of media involved in copyright have increased the length of time, the duration, that a work remains in copyright in the UK has increased very significantly from the original 14 years set in 1710 to 42 in 1842, to 50 in 1956 and then in 1988 the current 70 years”. Secara garis besar hal diatas menyataan bahwa Hak Cipta berkembang pada abad ke 17 di UK dalam menanggapi teknologi dari buku cetak hingga bentuk komunikasi seperti foto, penyiaran dan film, computer dan teknologi digital, dan untuk fakta bahwa Hak 49 Willem Balfoort,”De geschiedenis van het auteursrecht”, (On-line) tersedia WWW: http://www.declercq.com/weblog-intellectueel-eigendomsrecht/1513-de-geschiedenis-vanhet-auteursrecht (diakses pada tanggal 24 november 2016, pk 01.42 WIB) 50 The History of Copyright starts with books and then expanded to cover painting, photographs, film, audio, film, broadcasting and now the digital world, (On-line) tersedia di WWW: http://www.copyrightsandwrongs.nen.gov.uk/ipr-and-copyright/history-of-copyright (diakses pd 24 november 2016, pk 02.19 WIB) 45 Cipta pertama yang dikeluarkan oleh UK adalah “The Statue anne 1710” yang kemudian dijuluki “An act for the encouragement of learning” semenjak Hak Cipta telah berkembang dalam buku cetak, foto, film dan lembaran musik rekaman, siaran yang terbaru yang terbentuk adalah database, dalam setiap bentuk media ada beberapa langkah perubahan dalam budaya Hak Cipta, dalam waktu yang sama seiring dengan berkembangnya media, Hak Cipta telah meningkat dari waktu kewaktu, meningkat secara signifikan dalam 14 tahun dari 1710 ke 42, ditahun 1842, dan sampai ke angka 50 ditahun 1956 setelah itu ditahun 1988 sampai 70 tahun sekarang ini. Seiring perkembangan zaman maka Negara- Negara di dunia mengadakan sebuah konvensi: 1. The Berne Convention Pada tanggal 9 September 1886 di Bern, ibukota Switzerland, sepuluh kepala negara, yaitu Belgium, Prancis, Jerman, Great Britain, Haiti, Italia, Liberia, Spanyol, Switzerland, dan Tunisia menandatangani pendirian suatu organisasi internasional Bern Union yang bertujuan melindungi karya-karya cipta di bidang seni dan sastra, serta ditandatangani perjanjian internasional Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (disingkat Berne Convention).51 Di dalam Mukadimah naskah asli Konvensi Bern, para kepala Negara pada waktu itu menyatakan bahwa yang melatarbelakangi diadakannya Konvensi Bern adalah “…being equally animated by the desire to protect, in as effective and unform a manner as possible, the rights of authors in their literary and artistic works.”52 Yang intinya berarti melindungi Hak Cipta secara efektif. Pada tanggal 1 November 1912, Belanda yang sedang menjajah Indonesia juga memberlakukan keikutsertaannya pada Konvensi 51 Eddy Damian, op. cit., hlm. 53. 52 Pembukaan Konvensi Bern. 46 Bern berdasarkan asas konkordansi atau asas keselarasan,53 yaitu hukum yang ada di Indonesia pada masa penjajahan Belanda diselaraskan dengan hukum yang ada di Belanda.54 Oleh sebab itu, Indonesia semenjak tahun 1912 telah mempunyai Undang-undang Hak Cipta (Auterswet) berdasarkan Undang undang Belanda tanggal 29 Juni 1911 (Staatsblad Belblackanda Nomor 197) yang memberikan wewenang kepada Ratu Belanda untuk memberlakukan bagi negara Belanda dan negara-negara jajahannya.55 Keikutsertaan menjadi anggota Konvensi Bern dilakukan dengan cara meratifikasinya dan menyerahkan naskah ratifikasi kepada Direktur Jenderal WIPO. Keikut sertaan suatu negara menimbulkan kewajiban kepada negara peserta dengan menerapkan tiga prinsip dasar yang dianut Konvensi Bern, yaitu: 1. Prinsip National Treatment Ciptaan yang berasal dari suatu negara peserta harus mendapat perlindungan Hak Cipta yang sama di negara peserta lain seperti yang diperoleh ciptaan negara peserta lain tersebut. 2. Prinsip Automatic Protection Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun. 3. Prinsip Independence of Protection Perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta. 53 Eddy Damian, op. cit., hlm. 55-56 54 Rusdiyanto Sitorus, “Asas Konkordansi”, (On-line), tersedia di WWW: http://id.scribd.com/doc/91507670/Asas-konkordansi (diakses pada tanggal 15 Oktober 2016, pk 09.30 WIB) 55 Eddy Damian, loc. cit. 47 2. Konvensi Hak Cipta Universal 1955 Konvensi Hak Cipta Universal 1955 atau Universal Copyright Convention merupakan suatu hasil kerja PBB melalui sponsor UNESCO untuk mengakomodasi dua aliran falsafah berkenaan dengan Hak Cipta yang berlaku di kalangan masyarakat internasional. Kedua aliran falsafah itu adalah Civil Law System dan Common Law System. Civil Law System berpendapat bahwa Hak Cipta sejalan dengan falsafah hukum alam yang menyatakan bahwa manusia semenejak dilahirkan sudah memiliki hakhak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan prinsip kedua Konvensi Bern tentang automatic protection. Sedangkan Common Law System berpendapat bahwa Hak Cipta adalah hak monopoli yang diberikan oleh negara kepada pencipta agar memberi rangsangan untuk mencipta guna kepentingan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan prinsip kedua Konvensi Bern. Garis-garis besar ketentuanketentuan paling signifikan yang ditetapkan dalam konvensi ini antara lain: 56 1. Adequate and Effective Protection Menurut Pasal I Konvensi, setiap negara peserta perjanjian wajib memberikan perlindungan hukum yang memadai dan efektif terhadap hak-hak pencipta dan pemegang Hak Cipta. 2. National Treatment Pasal II Menetapkan ciptaan yang diterbitkan suatu negara mendapat perlindungan hukum yang sama seperti diberikan kepada ciptaan negara peserta lain di wilayah negara peserta lain tersebut. 56 Bernard Nainggolan, op. cit., hlm. 116 48 3. Formalities Pasal III merupakan manifestasi kompromistis dari Konvensi Universal terhadap dua aliran falsafah yang menetapkan bahwa suatu negara peserta perjanjian yang menetapkan dalam perundangundangan nasionalnya syarat-syarat tertentu sebagai formalitas bagi timbulnya Hak Cipta, seperti wajib simpan, pendaftaran, akta notaris atau bukti pembayaran royalti dari penerbit, akan dianggap sebagai bukti timbulnya Hak Cipta, dengan syarat pada ciptaan bersangkutan dibubuhkan tanda © dibelakang nama pemegang Hak Cipta. 4. Duration of Protection Kompromi lain dalam mengakomodasi dua aliran falsafah tersebut ditetapkan dalam Pasal IV Konvensi, yaitu suatu jangka waktu minimum perlindungan hukum Hak Cipta ditambah paling sedikit 25 (dua puluh lima) tahun setelah pencipta meninggal. 5. Translation Rights Hak Cipta menurut Pasal V Konvensi mencakup juga hak eksklusif pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi izin untuk menerbitkan suatu terjemahan dari ciptaannya. 6. Jurisdiction of the International Court of Justice Menurut Pasal XV suatu sengketa yang timbul antara dua atau lebih negara anggota Konvensi, yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, dapat diajukan ke muka Mahkamah Internasional untuk diminta penyelesaian sengketa, kecuali 49 pihakpihak sepakat untuk menyelesaikan dengan cara lain. 7. Bern Safeguard Clause Pasal XVII dan Appendixnya menekankan bahwa Konvensi Universal ini tidak mempengaruhi Konvensi Bern, memberikan sanksi terhadap negara yang mengundurkan diri dari Konvensi Bern untuk beralih menjadi anggota Konvensi Universal, dan menetapkan ketentuan-ketentuan tentang pemberlakuan Konvensi Universal oleh negara peserta Konvensi Bern. 3. Konvensi Roma Konvensi ini biasa disebut sebagai Rome Convention atau Neighboring Rights Convention. Tujuan utama konvensi ini adalah menetapkan pengaturan secara internasional perlindungan hukum yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok pemegang Hak Cipta atas hak terkait yang masingmasing mempunyai hak-hak tersendiri yang dinamakan Hak-hak Terkait (Related Rights/ Neighboring Rights). Tiga kelompok tersebut adalah:57 1. Artis-artis pelaku atau performers Performers dilindungi dari tindakan tertentu yang mereka tidak setujui. Seperti penyiaran dan live performance, fiksasi dan reproduksi dari suatu fiksasi bila fiksasi asli dibuat tanpa persetujuan artis pelaku atau bila reproduksi yang dibuat diberikannya izin. 57 Eddy Damian, op. cit., hlm. 68-69 berbeda dengan tujuan 50 2. Produser rekaman Produser rekaman mempunyai hak memberikan izin atau melarang reproduksi secara langsung atau tak langsung rekaman suara yang dilakukan produser rekaman suara. 3. Lembaga penyiaran Lembaga penyiaran mempunyai hak untuk memberikan izin atau melarang dilakukannya tindakan-tindakan tertentu, misalnya penyiaran ulang siarannya, fiksasi siaran, reproduksi siaran, menyampaikan kepada publik siaran televisi penyiar jika siaran ulang itu ditujuan kepada publik yang dipungut bayaran untuk menyaksikan. 4. Konvensi Jenewa Sembilan tahun setelah berlakunya Konvensi Roma 1961, para anggota berpendapat bahwa perlindungan yang diberikan belum memberikan hasil yang baik. Pembajakan masih sering terjadi dan pemberantasannya tidak berjalan efisien. Untuk itu, WIPO dan UNESCO menyelenggarakan suatu pertemuan yang dihadiri para ahli berbagai negara dan kemudian mendirikan suatu komite para ahli pada bulan Maret 1971 di Paris. Kemudian pada bulan Oktober 1971, di Geneva diselenggarakan suatu konferensi diplomatik yang berhasil menerima suatu rancangan Phonogram Convention sebagai suatu konvensi yang pada 1 Januari 1996 dengan peserta 50 negara.58 Konvensi menetapkan suatu kewajiban setiap negara peserta konvensi untuk melindungi produsen rekaman 58 Eddy Damian, op. cit., hlm. 70-71 51 suara yang merupakan warga negara dari neagara peserta lain konvensi terhadap pembuatan duplikasi tanpa persetujuan produsen. Negara peserta konvensi ini juga wajib untuk melarang pengimporan segala bentuk rekaman suara yang penggandaan atau perbanyakannya dilakukan tanpa seizin produsen yang berhak.59 5. WTO Agreement 1994 Pada WTO Agreement ini, diberlakukan prinsip kesesuaian penuh atau full compliance sebagai syarat minimal bagi para pesertanya. Hal ini mengakibatkan negara peserta WTO lampiranlampirannya, Agreement termasuk TRIPs, dengan wajib menyesuaikan peraturan perundangundangan nasionalnya mengenai HKI secara penuh berdasarkan Perjanjian WTO.60 6. WIPO Copyright Treaty (WCT) WCT memuat tiga ketentuan merefleksikan yang lazim disebut Digital Agenda ini pada esensinya adalah tiada lain untuk melindungi kepentingan para pemegang Hak Cipta untuk perbanyakan ciptaan yang dilindungi. Ketentuan-ketentuan yang lazim disebut Digital Agenda WCT adalah pertama, memberikan kepada pencipta sebagai bagian dari hak eksklusif untuk mengumumkan kepada publik dengan menggunakan sarana kabel atau tanpa kabel (Pasal 8 WCT); kedua, memberikan perlindungan hukum yang memadai dan penegakan hukum yang efektif terhadap tindakan-tindakan penyalahgunaan teknologi yang merugikan pencipta (Pasal 11 WCT); ketiga, kewajiban negara untuk menegakkan hukum secara efektif terhadap seseorang yang melakukan 59 Ibid., hlm. 71 60 Ibid. 52 tindakan-tindakan berupa menghapus atau mengubah secara elektronik hak informasi manajemen elektronik tanpa izin pencipta dan mendistribusi, mengimpor suatu ciptaan atau perbanyakan ciptaan yang diketahui bahwa hak pengelolaan informasi seorang pencipta telah dihapus atau diubah tanpa seizin pencipta (Pasal 12 WCT).61 7. WIPO Performances and Phonogram Treaty 2002 (WPPT) Perjanjian WPPT semula dimaksudkan untuk menjadi suplemen Konvensi Roma 1961 dalam rangka menghadapi abad sekarang yang serba digital. Namun pada kenyataanya, yang diatur hanya tentang hak-hak performer dan produser rekaman suara tanpa ada pengaturan tentang pengaturan hak dari lembaga-lembaga badan penyiaran. WPPT lebih banyak mengatur status yuridis seorang performer yang karya ciptanya dialihkan dalam bentuk rekaman suara. WPPT memberikan tiga hak tambahan sebagai extra rights kepada performer, yaitu:62 1. Performer diberikan hak mengontrol perwujudan pertunjukannya yang diperbanyak, diumumkan, disewakan, dan juga mengontrol pemasarannya (WPPT Pasal 7-10); 2. Jika suatu pertunjukan diperlihatkan secara luas kepada publik, negara-negara peserta WPPT harus menjamin performer menerima pembayaran (WPPT Pasal 15); dan 3. Hak-hak moral berupa identitas dan integritas pertunjukan hidup (live aural performance) para performer atau pertunjukan yang dialihkan dalam wujud rekaman suara harus dijamin negaranegara peserta (WPPT Pasal 5). 61 62 Ibid. Ibid. 53 Extra Rights juga diberikan kepada produser rekaman suara sebagai pemegang hak terkait, yaitu: 1. Hak eksklusif untuk mengontrol distribusi, penyewaan dan penggandaan rekaman suara (WPPT Pasal 11-14); dan 2. Hak eksklusif untuk memperoleh pembayaran (remuneration) penggunaan rekaman suaranya melalui telekomunikasi atau gelombang radio kepada publik. 8. Perjanjian Bilateral dengan Negara Lain Tidak hanya perjanjian multilateral, Indonesia juga mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lain terkait dengan perlindungan Hak Cipta antara dua negara bersangkutan. Berikut adalah perjanjian bilateral yang dibuat oleh Indonesia dengan negara lain yang telah disahkan dalam Keputusan Presiden, yaitu:63 a) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1988 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman Suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa; b) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat; c) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal 63 Ibid. 54 Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Australia; dan d) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Inggris. b. Sejarah Hak Cipta Nasional Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia sesungguhnya telah memiliki peraturan Hak Cipta sejak sebelum merdeka yaitu ketika Belanda yang sedang menjajah Indonesia memberlakukan ke ikut sertaannya pada Konvensi Bern berdasarkan Asas Konkordansi di Indonesia.64 Berlakunya Asas Konkordansi mengakibatkan hukum yang ada di Indonesia pada masa penjajahan Belanda diselaraskan dengan hukum yang ada di Belanda.65 Sehingga Indonesia semenjak tahun 1912 telah mempunyai Undang-undang Hak Cipta (Auteursrecht) berdasarkan Undang-undang Belanda (Staatsblad Belanda Nomor 197). Ketika Konvensi Bern direvisi pada 2 Juni 1928 di Roma, revisi ini juga dinyatakan berlaku untuk Indonesia dengan Staatsblad No. 325 Tahun 1931.66 Pertama kali peraturan Hak Cipta yang berlaku ketika Indonesia merdeka adalah Auteursecht 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912, peraturan tersebut merupakan peraturan peninggalan zaman penjajahan Belanda dan diberlakukan sesuai dengan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, bahwa sebelum dibentuk peraturan baru maka peraturan-peraturan yang lama masih tetap diberlakukan. Auteursrecht 1912 pada pokoknya mengatur perlindungan Hak Cipta terhadap ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Negara Indonesia baru mempunyai 64 Eddy Damian, op. cit., hlm. 55-56 65 Rusdiyanto Sitorus, “Asas Konkordasi”, (On-line), tersedia di WWW: http://id.scribd.com/doc/91507670/Asas-konkordansi (diakses pa da tanggal 15 Oktober 2016, pk. 09.30 WIB) 66 Eddy Damian, op.cit., hlm. 146 55 peraturan Hak Cipta nasional setelah 37 tahun merdeka yaitu dengan dibentuknya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 maka Auteursrecht 1912 dinyatakan tidak berlaku lagi.67 Kurang lebih lima tahun kemudian Undang – undang nomor 6 tahun 1982 mengalami perubahan. Pada 18 September 1987, isi Undang-undang nomor 6 tahun 1982 diubah atau dicabut dan diganti sebagian atau keseluruhan pasalnya oleh Undang-undang nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta lalu berubah kembali menjadi Undang-undang nomor 12 tahun 1997 yang selanjutnya disebut UUHC 1997, dan menjadi Undang-undang 19 tahun 2002 yang selanjutnya disebut UUHC 2002 lalu Undang-undang Hak Cipta yang berlaku sekarang ini adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014. Pada dasarnya perubahan yang dilakukan UUHC 2002 terhadap ketentuan ketentuan Hak Cipta menurut UUHC 1997 adalah dengan maksud untuk lebih menyesuaikan dengan ketentuanketentuan TRIPs. Lalu perubahan dari UUHC 2002 menjadi Undang-undang nomor 28 tahun 2014 terdapat beberapa perbedaan diantaranya mengenai lama perlidungan Hak Cipta yang sebelumnya seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah dia meninggal berubah menjadi seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah ia meninggal. Ketentuan tentang penjiplakan lagu juga mengalami perubahan. Sebelum berlaku substantial part, aturan yang dianut adalah sistem delapan bar, yaitu sebuah lagu dapat dikatakan sebagai hasil plagiarisme apabila kesamaan atau kemiripan melodi, notasi, dan atau lirik terdapat sepanjang delapan bar. Akan tetapi hal tersebut bukanlah aturan yang tertulis.68 Asal usul sistem delapan bar ini berasal dari sebuah kasus di tahun 1963 yang diputus oleh 67 Gatot Supromo, “Hak Cipta dan Aspek - Aspek Hukumnya” (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 5. 68 Prayudhi Setiadharma, “Substantialitas dalam Pelanggaran Hak Cipta”, (ON-line), tersedia di WWW: http://marimengenalhki.com/tag/hak-cipta/ (diakses pada tanggal 24 Oktober 2016, pk 21.15 WIB) 56 Pengadilan di Inggris Raya – Francis, Day & Hunter vs Bron.69 Objek sengketa dari kasus ini adalah sebuah lagu populer berjudul “Why” yang ditulis oleh Robert Marcucci dan Peter De Angelis dan dinyanyikan oleh Frankie Avalon hingga menjadi hits di Amerika Serikat pada tahun 1959 dituduh menjiplak dan melanggar Hak Cipta lagu “In a Little Spanish Town” karya Mabel Wayne dan Sam Lewis yang lebih dahulu populer di Inggris tahun 1928 oleh Paul Whiteman & His Orchestra. Tuduhan tersebut didasarkan atas perbandingan lembar notasi balok musik dari kedua lagu yang menunjukkan kemiripan yang nyaris identik pada delapan bar pertama, meskipun selanjutnya kedua lagu cukup berbeda satu sama lain.70 Akan tetapi Majelis Hakim yang menyidangkan kasus ini kemudian memang mengakui kalau delapan bar pertama kedua lagu memang identik. Namun Majelis Hakim tersebut kemudian menyatakan – berlainan dengan yang umum kita ketahui selama ini tentang “aturan delapan bar” – bahwa bukanlah kesamaan identik pada “delapan bar” itu yang menentukan telah terjadi pelanggaran hak cipta atau tidak. Bahkan jika keseluruhan bagian kedua lagu identik sekalipun, bisa saja pelanggaran tidak terbukti kalau tidak memenuhi unsur-unsur lainnya.71 Majelis dalam putusannya lantas mengeluarkan fatwa mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk membuktikan terjadinya pelanggaran hak cipta atas karya musik. Pertama, mesti ada kesamaan yang objektif dan substansial di antara ke dua karya, meskipun tidak perlu kesamaan yang identik atau persis sama sekali. Gampangnya barangkali, meskipun tidak selamanya seperti itu, kesamaan di antara kedua lagu tersebut secara obyektif bisa membuat orang menganggap bahwa lagu kedua merupakan jiplakan dari lagu yang pertama. Kalau dilihat dari kasus Frances, Day & Hunter v Bron di atas, maka dapat dikatakan bahwa “delapan bar” dari sebuah lagu, ataupun ukuran-ukuran kuantitatif lainnya seperti sepuluh prosen jumlah halaman buku misalnya, bukanlah ukuran 69 Ibid. 70 Ibid. 71 Ibid. 57 yang tepat dipergunakan untuk menentukan telah terjadinya pelanggaran Hak Cipta. Sebaliknya, ukuran kualitatiflah yang harus dipergunakan untuk menyatakan bahwa bagian substansial dari suatu karya telah dilanggar oleh karya lain.72 Dalam Undang-undang nomor 28 tahun 2014 ditetapkan sebuah peraturan yang dimana dianut sistem substantial part yaitu sistem ini tidak memperhatikan berapa bar yang memiliki kesamaan atau kemiripan antar satu lagu dengan lagu lainnya. Jika memiliki kesamaan atau kemiripan, sekalipun hanya satu atau dua bar, maka lagu tersebut adalah lagu hasil plagiarisme. Di Indonesia Hak Cipta diatur dalam undang undang nomor 28 tahun 2014 pasal 1 yaitu:73 “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi para pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa Hak Cipta itu berupa hak efkslusif yang timbul secara deklaratif artinya sebuah karya cipta tanpa didaftarkanpun sang pencipta sudah memiliki hak atas ciptaannya dan dilindungi oleh undang-undang, Hak Cipta yang dilindungi atau Ruang lingkup dalam Hak Cipta diatur dalam pasal 40 undang undang nomor 28 tahun 2014 mengena Ciptaan yang dilindungi meliputi:74 a. Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: b. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; c. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya; d. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; 72 Prayudhi Setiadharma, “Substantialitas dalam Pelanggaran Hak Cipta”, (ON-line), tersedia di WWW: http://marimengenalhki.com/tag/hak-cipta/ (diakses pada tanggal 24 Oktober 2016, pk 21.15 WIB) 73 Republik Indonesia Pasal 1 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014 74 Republik Indonesia Pasal 40 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014 58 e. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks; f. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; g. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; h. karya seni terapan; i. karya arsitektur; j. peta; k. karya seni batik atau seni motif lain; l. karya fotografi; m. Potret; n. karya sinematografi; o. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; p. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; q. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya; r. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; s. permainan video; dan t. Program Komputer. Dalam undang-undang diatas menjelaskan bahwa Hak Cipta tersebut dilindungi jika sudah ada wujudnya dan beberapa hal dikategorikan tidak termasuk dalam perlindungan Hak Cipta sesuai dengan pasal 41 Undan-undang nomor 28 tahun 2014 (Hasil Karya yang Tidak Dilindungi Hak Cipta) antara lain:75 a. hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata; b. setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan,dinyatakan, 75 Republik Indonesia Pasal 41 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014 59 digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan c. alat, Benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional. Dalam undang undang juga menjelaskan Hak Cipta yang tidak dilindungi: a. Hasil rapat terbuka lembaga negara; b. Perundang-undangan; c. Pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah; d. Putusan pengadilan atau penetapan hakim; dan e. Kitab suci atau simbol keagamaan Dari penjelasan pasal-pasal diatas jelas mengatakan musik merupakan Hak Cipta yang dilindungi, faktanya dalam undangundang 28 tahun 2014 tidak menyebutkan ciri-ciri plagiarisme dalam musik tersebut seperti dalam pasal 44 ayat 1 yang berbunyi: 76 “Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: a. Pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta; b. Serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; c. Ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau d. Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.” Penjelasan pasal 44 mengenai sebagian yang substansial tersebut adalah: “Yang dimaksud dengan "sebagian yang substansial" adalah bagian yang paling penting dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan” 76 Republik Indonesia Pasal 44 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014 60 Undang-undang nomor 28 tahun 2014 memang tidak memberikan definisi mengenai plagiarisme tapi plagiarisme disebutkan dalam Permendiknas nomor 17 tahun 2010 yang berbunyi “Plagiat itu sendiri merupakan perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh nilai untuk suatu karya ilmiah , dengan mengutip sebagain atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah orang lain , tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai” Di Indonesia, Hak Cipta diatur di dalam Pasal 3 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014 dijelaskan bahwa Undang- Undang Hak Cipta mengatur Hak Cipta dan Hak Terkait. Hak yang tergolong ke dalam Hak terkait diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 yang berbunyi : 77 Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b merupakan hak eksklusif yang meliputi: a. Hak moral Pelaku Pertunjukan; b. Hak ekonomi Pelaku Pertunjukan; c. Hak ekonomi Produser Fonogram; dan d. Hak ekonomi Lembaga Penyiaran. 2.3.2. Prinsip-prinsip Hak Cipta Prinsip dalam membedakan perlindungan Hak Cipta dengan perlindungan hak atas kekayaan intelektual lainnya adalah bahwa Hak Cipta melindungi karya sastra (literary works) dan karya seni (artistic works) dengan segala bentuk perkembangannya di dunia ini. Hak Cipta sendiri terdiri atas dua hak yaitu78 a. Hak Ekonomi (Economic Right) Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang nomor 28 tahun 2014, hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Dan pada Pasal 9 menyebutkan:79 77 Republik Indonesia Pasal 20 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014 78 Suyud Margono, “Hukum Hak Cipta Indonesia”, (Bogor: Ghaloa Indonesia, 2010), hlm. 21, 25-26. 79 Republik Indonesia Pasal 9 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014 61 (1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan Ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. Penyewaan Ciptaan. (2) Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. (3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Jika memang terjadi pelanggaran atas hak ekonomi seorang Pencipta, maka tentu saja seorang Pencipta dapat mengajukan gugatan ganti rugi. Selain itu, orang yang melanggar Pasal 9 juga dapat dihukum secara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113:80 1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). 80 Risa Amrikasari, “Penjiplakan karya musik oleh pihak dari Negara lain”, (On-line), tersedia di WWW: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt548656d8ebe4b/penjiplakan-karya-musik-olehpihak-dari-negara-lain diakses pada 25 oktober 2016, pk 12.00 WIB 62 2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). b. Hak moral Hak Moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta (termasuk pelaku) yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus dengan alasan apapun.81 Hak moral pada dasarnya bersumber dari kenyataan bahwa karya cipta adalah refleksi kepribadian pencipta82 .Hak moral ini bersifat tidak dapat dialihkan. Hak moral merupakan hak pemegang Hak Cipta untuk melarang: 1) Melakukan perubahan isi ciptaan 2) Melakukan perubahan judul ciptaan; dan 3) Melakukan perubahan nama pencipta. 2.3.3. Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Dalam Tap MPR Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun di dalam pasal 14 pada UU tersebut, dinyatakan bahwa: 81 Bernard Nainggolan, op.cit., hlm. 91. 82 Ibid 63 1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. 2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”. Jelas bahwa, pasal tersebut sejatinya tunduk dan mengacu pada pasal 28F UUD 1945 Indonesia (Amandemen ke-2, yang ditetapkan pada Agustus 2000) Pasal “kebebasan berpendapat dan berekspresi” pada DUHAM PBB tersebut kemudian diperkuat pada Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966, melalui pasal 19 ayat 2 di dalam Kovenan (Kesepakatan) Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pasal 19 pada kesepakatan tersebut tertulis sebagai berikut:83 “Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide/gagasan apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tulisan, cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. 83 Donnybu, “Kebebasan Berekspresi dan Hak Asasi Manusia (HAM)”, (On-line) , tersedia di WWW: http://donnybu.com/2012/07/25/internet-kebebasan-berekspresi-dan-hak-asasi-manusia-ham/ (diakses pada 19 november 2016, pk 19.12 WIB) 64