DARI REDAKSI Gambar Sampul: Isa Islamawan, SH SUSUNAN REDAKTUR PENASIHAT Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan PENANGGUNG JAWAB Sekretaris Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan KETUA REDAKSI Kepala Bagian Hukum, Organisasi, Dan Hubungan Masyarakat SEKRETARIS REDAKSI Kepala Subbagian Advokasi Hukum dan Hubungan Masyarakat ANGGOTA REDAKSI Beluh Mabasa Ginting, ST. M.Si Edi Setiawan, MKM Tian Nugraheni, S.Farm., Apt Tri Ratna Rezeki, S.Farm.,Apt Rivo Yolandra, SH ALAMAT REDAKSI Jln. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9, Jakarta Selatan Kementerian Kesehatan RI Setditjen Kefarmasian dan Alkes, Subbagian Advokasi Hukum & Humas Lt. 8 R.802 (021) 5214869 / 5201590 Ext. 8009 PENGANTAR Edisi perdana di tahun 2017 ini menyampaikan rangkuman pencapaian Farmalkes sampai tahun 2016 dalam upaya mewujudkan ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas; kemandirian bahan baku obat, obat tradisional, dan alkes; serta terjaminnya produk alkes dan PKRT yang memenuhi syarat. Upaya tersebut terus dilaksanakan oleh seluruh jajaran Farmalkes mulai dari tingkat pusat sampai pelaksana di pelayanan dan masyarakat. Kami juga menyampaikan berbagai liputan terkait kegiatan Kementerian Kesehatan maupun Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan seperti Rakerkesnas 2017; Jumpa Pers Akhir Tahun; Peringatan Hari Kanker Sedunia; Pertemuan Koordinasi SaiSaiba; Pertemuan Asistensi Aplikasi e-report bagi Petugas; ISO 9001:2015; dan Artikel tentang Tembakau Gorila. Akhir kata, semoga informasi yang kami sampaikan dalam Buletin ini bisa dinikmati oleh pembaca semua. Salam Sehat! DAFTAR ISI Rakerkesnas 2017 03 26 WTP, Yang Dinanti dan Selalu Diupayakan Capaian Kinerja Ditjen Farmalkes Tahun 2016 09 28 Tingkatkan Kepedulian Masyarakat terhadap Gejala Kanker Refleksi Akhir Tahun 16 29 AB-CHMINACA, Ganja Sistetis yang Menstimulan Tembakau Cap Gorila Asistensi Aplikasi E-report Bagi Petugas Dalam Rangka Meningkatkan Pengawasan Sarana Produksi dan Distribusi Alkes dan PKRT 22 Perbaiki dan Tingkatkan Mutu Pelayanan dengan ISO 9001:2015 25 TOPIK UTAMA RAKERKESNAS 2017 Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menyatakan, Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2017 menjadi ajang bagi seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan Indonesia Sehat. 3 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 P embangunan kesehatan adalah investasi utama bagi pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Pembangunan kesehatan pada dasarnya adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, serta kemampuan setiap orang untuk dapat berperilaku hidup yang sehat untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu perencanaan pembangunan kesehatan yang sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh, serta dibutuhkan keterlibatan berbagai sektor dan seluruh komponen bangsa dalam pelaksanaannya. Sebagai salah satu upaya optimalisasi serta akselerasi hasil kerja dan kontribusi berbagai sektor dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan maka diselenggarakan forum komunikasi dan informasi antara para pemangku kepentingan dari berbagai lintas sektor yang melibatkan lebih kurang 1.787 peserta baik di tingkat Pusat maupun Daerah, yaitu Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) tahun 2017 yang mengusung tema “Sinergi Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Pendekatan Keluarga untuk Mewujudkan Indonesia Sehat” yang dilaksanakan mulai 26 Februari 2017 s.d 1 Maret 2017 di Jakarta. Rakerkesnas 2017 merupakan media komunikasi dan interaksi antara pusat dan daerah dalam mensinergikan pelaksanaan pembangunan kesehatan yang dibuka oleh Bapak Presiden Joko Widodo pada 28 Februari 2017. Adapun rangkaian kegiatan Rakerkesnas 2017 adalah sebagai berikut: Pra Rakerkesnas (26-27 Februari 2017). Kegiatan yang dihadiri para peserta yang berasal dari Pusat dan Daerah ini pada hari pertama akan diawali dengan pembahasan mengenai kebijakan kesehatan, evaluasi program pembangunan kesehatan, peluang dan tantangan di bidang kesehatan, yang dihadiri oleh Menteri Kesehatan RI bersama seluruh jajaran pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Pada kesempatan tersebut, dilakukan juga penandatanganan Kontrak Kinerja Dekonsentrasi oleh para Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Pada hari kedua pelaksanaan, dilaksanakan serangkaian kegiatan terdiri dari pameran serta dilakukan beberapa penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian Kesehatan dengan pihak terkait seperti dunia usaha dan mitra strategis, perwakilan perhimpunan dan Pemerintah Daerah terkait implementasi program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 4 TOPIK UTAMA Rakerkesnas (28 Februari s.d 1 Maret 2017) Rakerkesnas 2017 ditandai dengan pembukaan resmi oleh Presiden Joko Widodo yang akan dilanjutkan dengan peluncuran program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) dan Pencanangan Pembangunan 124 Puskesmas di Perbatasan. Kegiatan selanjutnya adalah paparan dari para narasumber yang berasal dari lintas sektor, beberapa materi diantaranya mengenai: 1) Lintas sektor untuk mewujudkan Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS) oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; 2) Pendekatan Keluarga sebagai Pilar Pembangunan Kesehatan oleh Kementerian Kesehatan; 3) Kebijakan Anggaran Kesehatan oleh Kementerian Keuangan; 4) Implementasi SPM Bidang Kesehatan oleh Kementeriam Dalam Negeri; 5) Pembangunan Rumah Desa yang Sehat oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; 6) Sinergitas dalam Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan; 7) Sinergitas dalam Pelayanan KB di Fasilitas Kesehatan 5 oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional; 8) Jaminan Kesehatan Nasional dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Bidang Kesehatan. Sementara itu, kegiatan Rakerkesnas 2017 diakhiri dengan dialog interaktif dan diakhiri dengan pembacaan rekomendasi hasil Rakerkesnas 2017. GERMAS Melalui Pendekatan Keluarga Wujudkan Indonesia Sehat. Pada intinya, pembangunan kesehatan yang semula bersifat kuratif dan rehabilitatif kini lebih diarahkan pada upaya kesehatan yang bersifat promotif dan Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 preventif. Untuk itu, diperlukan upaya penguatan tiga pilar pembangunan kesehatan yaitu: Paradigma Sehat, Penguatan Pelayanan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional. Utamanya pada pilar pertama paradigma sehat diimplementasikan melalui dua pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan Keluarga dimana aktivitas kegiatannya sepenuhnya dilakukan oleh jajaran kesehatan khususnya ditingkat Puskesmas dan 2) Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) yang mana kegiatannya tidak hanya dilakukan oleh jajaran kesehatan saja, namun juga lintas sektor. Kegiatan GERMAS Hidup sehat difokuskan pada tiga kegiatan: 1) melakukan aktivitas fisik, 2) mengonsumsi sayur dan buah, 3) memeriksa kesehatan secara rutin. Pelaksanaan GERMAS harus dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat, lintas Kementerian dan lintas sektor baik pemerintah pusat dan daerah, swasta, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, serta masyarakat, untuk bersamasama berkontribusi mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat. TOPIK UTAMA Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 6 TOPIK UTAMA 7 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 8 TOPIK UTAMA CAPAIAN KINERJA DITJEN FARMALKES TAHUN 2016 B erdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kefarmasian dan alat kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan dituntut untuk melaksanakan pemerintahan berbasis kinerja dalam rangka mewujudkan birokrasi yang bersih dan akuntabel, efektif dan efisien, serta memiliki pelayanan publik yang berkualitas. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan berperan dalam mendukung Program Indonesia Sehat, dalam hal menjamin akses, kemandirian dan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan, yang salah satunya diindikasikan oleh tersedianya 9 obat dan vaksin di puskesmas. Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kefarmasian dan alat kesehatan menjadi tugas Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. dimana ada 3 tujuan yang ingin dicapai yaitu: 1. Terwujudnya peningkatan ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas. Strategi yang disusun untuk mencapai tujuan ini adalah: a. Menyusun regulasi perusahaan farmasi untuk memproduksi bahan baku obat dan obat tradisional serta menggunakannya dalam produksi obat dan obat tradisional dalam negeri, dan bentuk insentif bagi percepatan kemandirian nasional. b. Mengembangkan Pokja ABGC (Academic-Business-GovermentCommunity Colaboration) dalam pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri. c. Membangun sistem informasi dan jaringan informasi terintegrasi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan. d. Menjadikan tenaga kefarmasian sebagai tenaga kesehatan strategis. e. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional melalui penguatan manajerial, regulasi, edukasi serta sistem monev. f. Mewujudkan Instalasi Farmasi Pusat sebagai center of excellence untuk manajemen pengelolaan obat, vaksin dan perbekalan kesehatan di sektor publik. g. Memperkuat tata laksana HTA dan pelaksanaannya dalam seleksi obat dan alat kesehatan untuk program pemerintah maupun manfaat paket JKN. 2. Terwujudnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional dan alat kesehatan. TOPIK UTAMA Strategi yang disusun untuk mencapai tujuan ini adalah: a. Menyusun regulasi perusahaan farmasi dalam memproduksi bahan baku obat dan obat tradisional serta menggunakannya dalam produksi obat dan obat tradisional dalam negeri, dan bentuk insentif bagi percepatan kemandirian nasional. b. Mengembangkan Pokja ABGC dalam pengembangan dan produksi bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan dalam negeri. c. Membangun sistem informasi dan jaringan informasi terintegrasi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan. d. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dan tenaga kesehatan tentang pentingnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional dan alat kesehatan dalam negeri yang berkualitas dan terjangkau. e. Percepatan tersedianya produk generik bagi obat-obat yang baru habis masa patennya. 3. Terjaminnya produk alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) yang memenuhi syarat di peredaran. Strategi yang disusun untuk mencapai tujuan ini adalah: a. Menyusun regulasi penguatan kelembagaan dan sistem pengawasan pre dan post market alat kesehatan dan PKRT. b. Menyusun regulasi penguatan penggunaan dan pembinaan industri alat kesehatan dalam negeri. c. Membangun sistem informasi dan jaringan informasi terintegrasi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah meningkatnya akses dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan PKRT, dengan tujuan yang akan dicapai pada tahun 2016 adalah: a. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas menjadi 80%. b. Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alat kesehatan (alkes) yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif) sebanyak 14 jenis. c. Persentase produk alkes dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat sebesar 77%. Dari indikator kinerja tahun 2016 tersebut, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan capaian: a. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas sebesar 81,57%. b. Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alkes yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif) sebanyak 23 jenis. c. Persentase produk alkes dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat sebesar 94,80%. Keberhasilan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam mencapai target indikator kinerja di tahun kedua Renstra 2015-2019 merupakan hasil kerja keras seluruh komponen, pendayagunaan sumber daya yang optimal, dan perencanaan program kegiatan, upaya penyusunan peraturan perundang-undangan bidang kefarmasian dan alat kesehatan, serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan yang terus berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki upaya dan prestasi yang telah dicapai pada tahun 2016 antara lain: 1. Kementerian Kesehatan mendapatkan Peringkat Pertama untuk Anugerah Cinta Karya Bangsa kategori Kementerian/ LNPK, sebagai apresiasi dalam melaksanakan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri. Penilaian tersebut didasarkan pada aspek komitmen, perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pada pengadaan barang/ jasa dalam meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan berperan aktif dalam mendorong pencapaian peningkatan penggunaan produk sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam negeri 2. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan terus melakukan upaya promosi untuk menarik minat investor dan pelaku usaha, pembinaan kepada industri alat kesehatan dalam negeri agar meningkatkan kualitas produk dan kapasitas produksi, melakukan sosialisasi dan advokasi terhadap pemerintah daerah maupun sarana pelayanan kesehatan agar menggunakan alat Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 10 TOPIK UTAMA kesehatan dalam negeri. Sejak tahun 2015 telah dilakukan berbagai upaya pembinaan terhadap industri alat kesehatan dalam negeri, sehingga mampu diproduksi 7 (tujuh) jenis alat kesehatan dalam negeri. 3. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan berupaya untuk mewujudkan kemandirian bahan baku obat, terutama yang bersumber dari bahan alam. Bersama Pemerintah Daerah setempat, dibentuklah Pusat Penanganan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) dan Pusat Ekstrak Daerah (PED) untuk meningkatkan derajat kemanfaatan bahan baku obat bersumber alam. Sampai dengan tahun 2016, telah dibentuk 13 P4TO dan 3 PED. Pusat-pusat tersebut berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hasil panen setempat untuk dimanfaatkan oleh industri obat maupun obat tradisional. 4. Ombudsman Republik Indonesia memberikan Predikat Kepatuhan Tinggi terhadap standar pelayanan publik sesuai Undang-undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik kepada Kementerian Kesehatan RI. Kontribusi tersebut didapatkan dari Unit Pelayanan Terpadu dalam hal 12 produk layanan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 5. Direktorat Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan memperoleh Sertifikat Sistem Manajemen ISO 9001:2015 dengan menerapkan sistem manajemen sesuai standar untuk ruang lingkup Jasa Pelayanan Penyusunan Formularium Nasional. 6. Direktorat Penilaian Alat Kesehatan dan PKRT mempunyai komitmen untuk melakukan sertifikasi ulang (re-sertifikasi) ISO 9001:2008 serta mengembangkan dan menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001:2015 sebagai bentuk peningkatan dari SMM ISO 9001:2008. Re-sertifikasi ISO 9001:2015 bertujuan untuk meningkatkan kinerja aparatur, sistem birokrasi yang lebih efektif dan efisien dalam pelayanan publik terkait perizinan alat kesehatan dan PKRT serta surat keterangan alat kesehatan dan PKRT pada Direktorat Penilaian Alat Kesehatan dan PKRT. 7. Instalasi Farmasi Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan c.q. Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan memperoleh Sertifikat ISO 9001: 2015 11 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 sebagai bentuk penerapan sistem manajemen mutu. 8. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Direktorat Pengawasan alat Kesehatan dan PKRT melakukan berbagai upaya perbaikan dan Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat diantaranya penerapan sistem manajemen mutu ISO 9001: 2015 dimana pelayanan publik kepada masyarakat dilaksanakan sesuai dengan asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsional, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Proses penerapan sistem manajemen mutu ISO 9001: 2015 di Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT meliputi Perizinan Produksi Alat Kesehatan, Perizinan Produksi PKRT, dan Perizinan Penyalur Alat Kesehatan. 9. Sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras satuan kerja untuk menjadi bagian dalam pelaksanaan rekonsiliasi yang baik, benar dan cepat, maka KPPN Jakarta VII memberikan penghargaan kepada Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yang merupakan salah satu dari 253 mitra kerja dari KPPN Jakarta VII. Penghargaan ini selalu diperoleh setiap tahunnya semenjak tahun 2014, yang menunjukkan bahwa Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan memiliki komitmen yang tinggi dalam mempertahankan prestasi kinerjanya. Pemberian piagam tersebut dibarengi juga dengan pemberian fasilitas rekonsiliasi dan penyerahan SPM ke loket pelayanan tanpa antrian karena menjadi Satker Prioritas selama tiga bulan (Desember 2016 s/d Maret 2017). 10.Dukungan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam Program Indonesia Sehat dilakukan salah satunya melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) sebagai upaya promotif dan preventif. Dalam rangka memeriahkan HKN ke-52, Minggu 13 November 2016, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan bersama Badan POM, Ikatan Keluarga Alumni (IKA ISMAFARSI), ISMAFARSI dan Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia DKI Jakarta mengadakan Aksi Sehat untuk Indonesia di Car Free Day Bundaran HI Jakarta. Aksi ini diikuti oleh 1100 mahasiswa farmasi, apoteker dan masyarakat yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. 11.Sosialisasi Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat) di Jabodetabek, TOPIK UTAMA pada tanggal 6 November 2016 dilakukan di Stasiun Tangerang, Stasiun Kranji, Stasiun Bogor dan Stasiun Kebayoran ini merupakan hasil kerjasama Direktorat Pelayanan Kefarmasian dengan Komunitas Pengguna KRL. Kegiatan ini juga dimeriahkan dengan lomba foto bersama mock up GeMa CerMat 12.Sosialisasi Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat (GeMa CerMat) dengan melibatkan stakeholder pada tanggal 17 Oktober 2016 di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah dihadiri oleh Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Anggota Komisi IX DPR RI (dr. Verna Gladies Merry Inkiriwang), Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, Bupati Kabupaten Banggai, beserta jajarannya. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Kegiatan Peningkatan Pelayanan Kefarmasian Peningkatan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Meningkatnya pengendalian pra dan pasca pemasaran alat kesehatan dan PKRT Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Meningkatnya produksi bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi dan distribusi kefarmasian Dukungan Manajemen dan Tugas Teknis Lainnya pada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan Meningkatnya dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program kefarmasian dan alat kesehatan Tabel Sasaran Kegiatan pada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan 23 81,57% 20 14 15 10 5 0 Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas Meningkatnya pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional di fasilitas kesehatan Tersedianya obat, vaksin dan perbekalan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau di pelayanan kesehatan pemerintah Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan 25 80% Sasaran Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta Alat Kesehatan (Alkes) yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif) 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 94,80% 77% Persentase produk Alat Kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat Grafik Target dan Realisasi Indikator Kinerja Program Kefarmasian dan Alkes Tahun 2016 1.Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas Realisasi indikator persentase ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas tahun 2016 sebesar 81,57%, melebihi target yang telah ditetapkan dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019 yaitu sebesar 80% dengan capaian sebesar 101,96%. 95% 90% 90% 85% 80% 79,38% 77% 81,57% 80% 83% 86% Target Realisasi 75% 70% 2015 2016 2017 2018 2019 Grafik Target dan Realisasi Indikator Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2015-2019 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 12 TOPIK UTAMA Gambar Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2015-2016 per Provinsi Item obat yang memiliki ketersediaan tertinggi di puskesmas tahun 2016 adalah garam oralit dengan ketersediaan sebesar 95,32% (terdapat di 1.080 puskesmas dari 1.133 puskesmas yang melapor), sedangkan item obat yang memiliki ketersediaan terendah adalah diazepam injeksi 5 mg/ml dengan ketersediaan sebesar 53,22% 13 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 TOPIK UTAMA 40 35 35 30 28 23 25 21 20 Target 14 15 Realisasi 11 10 7 5 0 2015 2016 2017 2018 2019 Grafik Target dan Realisasi Indikator Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional serta Alat Kesehatan (Alkes) yang Diproduksi di Dalam Negeri Tahun 2015-2019 NO BBO/BBOT Tahun 2015 2 Ekstrak terstandar daun kepel (Stelechocarpus burahol (BI.) Hook.f. & Th) Ekstrak umbi bengkoang (Pachyrrhizus erosus L.) 3 Ekstrak aktif terstandar daun mimba (Azadirachta indica) 4 Ekstrak biji klabet (Trigonella foenum-graecum L.) 5 Pemanis alami glikosida Steviol 6 Ekstrak Terstandar Strobilanthes crispus L. Ekstrak terstandar kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Karagenan pharmaceutical grade 1 7 8 Tahun 2016 Gambar Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas Tahun 2015-2016 per Item Obat 2. Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alat kesehatan (Alkes) yang diproduksi di dalam negeri. Kondisi yang dicapai: Pada tahun 2016, jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri mencapai 23 jenis dari target sebanyak 14 jenis yang telah ditetapkan. Upaya yang dilakukan adalah dengan pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat yang beranggotakan lintas kementerian dan para pemangku kepentingan terkait lain. Pencapaian kemandirian obat dan bahan baku obat juga dilakukan melalui kerjasama dan fasilitasi pembentukan jejaring penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT dan LIPI), perguruan tinggi, dan asosiasi pengusaha. Pada tahun 2016 telah dilakukan kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Padjadjaran (Unpad). 9 10 Kristal PGV-6 Kristal HGV-6 11 13 Kristal GVT-6 Fraksi gel dan fraksi antrakinon terstandar daun lidah buaya (Aloe vera L.) Ekstrak terstandar daun sendok (Plantago major) 14 Fraksi polisakarida buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) 15 Phlobaphene 16 Fraksi bioaktif biji pala (Myristica fragrans houtt) 12 Tabel Daftar Nama Bahan Baku Obat dan Bahan Baku Obat Tradisional yang Diproduksi di Dalam Negeri Tahun 2016 NO ALAT KESEHATAN 1. Karixa renograf 2. Triton synthetic-biological sutures 3. Triton T-skin marker 4. DOMAS FLEXI-CORD Progressive 5. ORTHINDO Pedide Screw Titanium 6. ID BIOSENS Dengue NS1 7. INA-SHUNT Semilunar Flushing Valve System Tabel Daftar Nama Alat Kesehatan yang Diproduksi di Dalam Negeri Tahun 2016 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 14 TOPIK UTAMA 3. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan melakukan upaya pengendalian postmarket untuk memastikan bahwa alat kesehatan dan PKRT yang telah diberikan izin edar tersebut, secara terus menerus sesuai dengan persyaratan keamanan, mutu, manfaat dan penandaan yang telah disetujui. Salah satu kegiatan pengendalian post-market dilakukan melalui sampling produk alat kesehatan dan PKRT. Pada tahun 2016 telah dilakukan pengambilan sampel alat kesehatan dan PKRT di 34 provinsi dan pengujian sampel dilakukan di beberapa laboratorium yaitu di Pusat Pemeriksaaan Obat dan Makanan Nasional (PPOMN-BPOM), Laboratorium Balai Besar Pemeriksaan Obat dan Makanan (BBPOM) Provinsi DKI Jakarta, Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman Kementerian Pertanian, IPB Culture Collection Departemen Biologi Fakultas Matematika dan IPA, Unit Layanan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), PT. Sucofindo. Produk yang disampling adalah alat kesehatan non-elektromedik steril dan non- elektromedik nonsteril seperti dysposable syringe, benang bedah, sarung tangan steril, infusion set, sarung tangan steril, IV catheter, kasa steril, kondom, urine bag, folley catheter, popok dewasa, pembalut wanita, pantyliners, sphygmomanometer, antiseptik, dan kontak lensa. Sedangkan sampel PKRT antara lain popok bayi, pembersih lantai, pestisida rumah tangga (anti nyamuk bakar, oles, cairan/aerosol, elektrik), handsanitizer, handwash, antiseptik, dan sabun pencuci piring. Jumlah sampel alkes yang sesuai dengan standar terhadap parameter uji yang telah ditetapkan, sebanyak 714 (tujuh ratus empat belas) sampel dari 754 (tujuh ratus lima puluh empat) sampel yang telah memiliki sertifikat hasil uji (94,69%). Sampel PKRT yang sesuai dengan standar terhadap parameter uji 15 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 94,80% 100% 90% 80% 78,18% 75% 77% 79% 81% 83% 70% 60% 50% Target 40% Realisasi 30% 20% 10% 0% 2015 2016 2017 2018 2019 Grafik Target, Realisasi dan Capaian Indikator Persentase Produk Alat Kesehatan dan PKRT di Peredaran yang Memenuhi Syarat Tahun 2015-2019 sejumlah 540 (lima ratus empat puluh) sampel dari 569 (lima ratus enam puluh sembilan) sampel yang telah memiliki sertifikat hasil uji (94,90%). Sehingga, capaian indikator kinerja persentase produk alkes dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat sebesar 94,80%. Perbandingan pencapaian indikator kinerja persentase produk alkes dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat pada tahun 2015 adalah 78,18% dan pada tahun 2016 adalah 94,80%. Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam pencapaian kinerja kegiatan alat kesehatan dan PKRT di antaranya karena: 1. Belum adanya pedoman teknis untuk peningkatan kapasitas petugas dalam pelaksanaan sampling. 2. Belum terstandarnya kompetensi petugas tentang sampling di pusat/provinsi/kabupaten/kota. 3. Beberapa SNI Alat kesehatan yang sudah ada belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh laboratorium uji dan dibuat sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. 4. Laboratorium yang terkreditasi oleh BSN untuk alat kesehatan masih terbatas pada alat kesehatan sphygmomanometer di BPFK dan LIPI. 5. Belum optimalnya sosialisi e-watch alkes untuk melaporkan KTD alat kesehatan dan/atau PKRT. 6. SNI Alat Kesehatan belum menjadi mandatori sebagai salah satu persyaratan pendaftaran alkes. 7.Jumlah dan kemampuan laboratorium uji produk komprehensif (uji yang meliputi seluruh parameter pengujian suatu produk alat kesehatan) di Indonesia masih sangat minim. LIPUTAN Jumpa Pers Menteri Kesehatan dan Eleson I Unit Utama dengan Media REFLEKSI AKHIR TAHUN D i penghujung akhir tahun 2016, telah dilaksanakan Jumpa Pers oleh Ibu Menteri yang menyampaikan capaian program Kementerian khususnya pada periode 20152016 sebagai refleksi untuk perbaikan program ke depan dan penyemangat dalam berinovasi menjalankan misi Pembangunan Kesehatan. Pertama-tama disampaikan bahwa anggaran kesehatan terdiri dari belanja aparatur sekitar 14% dan belanja publik sekitar 86%. Belanja publik antara lain dipergunakan untuk: a. Belanja barang (suplementasi gizi, obat vaksin dan perbekalan kesehatan, bahan habis pakai rumah sakit, sarana prasana alat pencegahan penyakit, pelatihan kader, dll) b. Belanja modal (pembangunan rumah sakit, pengadaan ambulan, sarana prasarana alat rumah sakit, dll) c. Belanja bansos melalui pembayaran iuran premi PBI. Pada tahun 2016, alokasi DAK bidang kesehatan sebesar Rp. 20,12 trilyun, yang terdiri dari DAK fisik sebesar Rp 15,77 trilyun dan DAK Non Fisik sebesar Rp 4,35 trilyun. Di dalam Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, telah dinyatakan tentang Program Indonesia Sehat yakni upaya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berperilaku sehat, hidup dalam lingkungan sehat, serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Program Indonesia Sehat terdiri dari tiga (3) pilar yaitu: Pilar 1. Paradigma Sehat: Paradigma sehat merupakan upaya Kementerian Kesehatan untuk merubah pola pikir para pemangku kepentingan dan masyarakat dalam pembangunan kesehatan, dengan peningkatan upaya promotif – preventif, pemberdayaan masyarakat melalui Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 16 LIPUTAN pendekatan keluarga, peningkatan keterlibatan lintas sektor dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Dalam 30 tahun terakhir ini, terjadi perubahan pola penyakit yang disebabkan berubahnya perilaku manusia dimana pada era tahun 1990an, penyebab kematian dan kesakitan terbesar adalah penyakit menular seperti Infeksi Saluran Pernapasan Atas, TBC, Diare dll dan sejak tahun 2010 penyebab terbesar kesakitan dan kematian adalah Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti stroke, jantung, dan kencing manis. Penyakit Tidak Menular dapat menyerang bukan hanya usia tua tetapi telah bergeser ke usia muda, dari semua kalangan, kaya dan miskin, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Mayoritas penduduk pada saat tercapainya bonus demografi adalah usia produktif, sehingga kualitas generasi di masa tersebut akan menentukan peluang Indonesia menjadi negara maju. Oleh karena itu upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif), antara lain dengan pemberian imunisasi, pemberian makanan bergizi pada anak usia dini, dan gaya hidup sehat (misalnya rutin melakukan aktifitas fisik dan tidak merokok) menjadi penting untuk menciptakan SDM yang berkualitas agar bonus demografi dapat dimanfaatkan secara optimal. Bonus demografi di Indonesia diharapkan akan terjadi pada tahun 2020-2025. Meningkatnya status gizi masyarakat merupakan salah satu sasaran pokok yang harus dicapai melalui program pembangunan kesehatan. Upaya meningkatkan 17 status gizi masyarakat antara lain dilaksanakan melalui Pemantauan Status Gizi yang dilakukan di seluruh kabupaten/ kota. Pada periode tahun 2015 s.d 2016 telah terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota dari 509 kabupaten/kota menjadi 513 kabupaten/kota dan jumlah balita dari 152.700 menjadi 153.900 yang melakukan Pemantauan Status Gizi. Dampak dari upaya PSG tersebut dapat dilihat dari menurunnya balita stunting dari 37,2% (2013) menjadi 29% (2015). Selain itu upaya peningkatan gizi juga dilakukan melalui Penyediaan Makanan Tambahan (PMT) untuk bumil Kurang Energi Kronis (KEK), balita kurus, dan anak sekolah. Cakupan puskesmas yang melaksanaan program kelas ibu hamil terus bertambah dari 8.201 (tahun 2015) menjadi 8.405 (tahun 2016) puskesmas. Sedangkan untuk menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat umum, Kemenkes menggiatkan dan mendorong puskesmas untuk melaksanakan olah raga pada masyarakat di wilayahnya. Sampai akhir tahun 2016, sudah 5.267 Puskesmas (meningkat dari 1.262 Puskesmas tahun 2015) yang melaksanakan kegiatan olah raga pada kelompok masyarakat. Salah satu kegiatan dalam upaya meningkatan status kesehatan bayi melalui pemberian imunisasi. Cakupan Imunisasi dasar Lengkap (IDL) untuk bayi pada tahun 2015 sebesar 80% dari target sebesar 75%. Dengan kata lain, Kementerian Kesehatan berhasil melindungi 4.1 juta anak dari Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) melalui pemberian imunisasi. Untuk tahun 2016 (Data sampai 23 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 Desember 2016) cakupan imunisasi dasar lengkap adalah 82,1%. Yang berarti Kementerian Kesehatan telah berhasil melindungi 3.589.226 bayi dari PD3I. Target yang hendak dicapai pada akhir tahun 2016 adalah 91,5% dengan jumlah 4.001.210 bayi usia 0-11 bulan. Adapun upaya terobosan adalah dengan peningkatan akses imunisasi dengan upaya Sustainable Outreach Services (SOS) Tahun 2016, Kementerian Kesehatan juga telah berhasil menghentikan penularan malaria di 247 kabupaten/kota yang didiami 193 juta penduduk. Selama tahun 2016 telah dilakukan pemeriksaan kasus suspek malaria dengn mikroskopis atau RDT sebanyak 763.076 kasus dan telah dilakukan pengobatan dengan ACT sebanyak 85.929 kasus. Dalam upaya peningkatan kesehatan lingkungan, salah satu indikator keberhasilan program adalah “Cakupan Desa Stop Buang Air Besar Sembarangan (Open Defecation Free/ODF)”. Sampai dengan akhir tahun 2016, 7.915 desa (meningkat dari 4.557 desa di tahun 2015) sudah melakukan Stop Buang Air Besar Sembarangan. Selain itu terdapat indikator keberhasilan kesehatan lingkungan yakni “Cakupan Desa Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)”. Sampai dengan akhir tahun 2016, sudah 33.803 desa (meningkat dari 26.417 desa di tahun 2015) yang melaksanakan STBM. Berbagai upaya yang Kemenkes lakukan tentunya tidak akan berjalan efektif jika tidak didukung oleh kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan dukungan lintas sektor dalam pelaksanaan kegiatan hidup sehat di lapangan. Untuk LIPUTAN itu, dalam menggalakan gerakan hidup sehat, Pemerintahan Jokowi JK dan seluruh Menteri Kabinet Kerja telah sepakat untuk mencanangkan dan melaksanakan “Gerakan Masyarakat hidup Sehat”/ disingkat GERMAS. Germas sendiri merupakan suatu upaya yang sistematis dan terencana yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa dengan kesadaran, kemauan dan kemampuan berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup. Kegiatan Germas Hidup sehat dilakukan dengan cara antara lain: 1) Melakukan aktivitas fisik; 2) Mengkonsumsi sayur dan buah; 3) Tidak merokok; 4) Tidak mengkonsumsi alkohol; 5) Memeriksa kesehatan secara rutin; 6) Membersihkan lingkungan; dan 7) Menggunakan jamban. Pada tahun 2016 telah dimulai secara nasional dengan melaksanakan tiga kegiatan, yaitu: 1) Melakukan aktivitas fisik; 2) Mengonsumsi sayur dan buah; dan 3) Memeriksa kesehatan secara rutin Pada 15 November 2016 lalu, GERMAS diluncurkan di 10 lokasi, yaitu: 1) Kabupaten Bantul, DIY; 2) Kabupaten Bogor, Jawa Barat; 3) Kabupaten Pandeglang, Banten; 4) Kota Batam, Provinsi Kepri; 5) Kota Jambi, Provinsi Jambi; 6) Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur; 7) Kota Pare-Pare, Provinsi Sulawesi Selatan; 8) Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah; 9) Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat; 10) Kota Madiun Provinsi Jawa Timur. Pilar 2. Penguatan Pelayanan Kesehatan Penguatan pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk menjamin keterjangkauan dan mutu pelayanan kesehatan. Kegiatan ini dilakukan dengan mengacu pada 3 (tiga) hal penting sebagai berikut: a. Peningkatan akses terutama pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), optimalisasi sistem rujukan, peningkatan mutu pelayanan kesehatan b. Penerapan pendekatan continuum of care. c. Intervensi berbasis risiko kesehatan (health risk). Salah satu upaya meningkatkan akses masyarakat kepada fasilitas pelayanan kesehatan adalah melalui pembangunan puskemas dan peningkatan sarana, prasarana, dan alat puskesmas yang ada sehingga mampu menjadi puskesmas rawat inap melalui berbagai pembiayaan (antara lain Tugas Pembantuan s.d 2015, dan DAK s.d 2016). Pada tahun 2016, tercatat jumlah puskesmas rawat inap sebanyak 3.396 dan puskesmas non-rawat inap sebanyak 6.358 dari 9.754 puskesmas di seluruh Indonesia. Di samping itu diupayakan juga penguatan pelayanan kesehatan di Daerah Tertinggal Perbatasan kepulauan (DTPK), terdapat 127 kabupaten/kota yang melakukan pelayanan kesehatan bergerak, dan sebanyak 1.668 puskesmas telah bekerjasama melalui Dinkes dan bekerjasama dengan unit transfusi darah (UTD) dan RS. Dari sisi peningkatan mutu, sejumlah 1.465 puskesmas di 1.306 kecamatan telah terakreditasi (dari target 700 Kecamatan) pada tahun 2016 . Dalam tatanan pelayanan kesehatan rujukan, di Indonesia terdapat 2.598 rumah sakit. Pengembangan RS rujukan juga menjadi bagian dari penguatan layanan kesehatan dengan tujuan agar terjadi pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan menurut kompetensi faskes tersebut. Target sasaran s/d 2019 adalah 14 RS rujukan nasional, 20 RS rujukan propinsi dan 110 RS rujukan regional. Untuk mendekatkan akses rujukan, Kemenkes telah membangun 22 RS pratama. Selain itu, saat ini juga telah dibentuk 104 PSC di 514 Kabupaten/Kota, 29 PSC diantaranya telah terintegrasi dengan National Command Center (NCC) 119. Untuk memenuhi pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang berkualitas maka telah melakukan akreditasi faskes primer maupun rujukan secara berkala sehingga mutu pelayanan yang dihasilkan diharapkan dapat terus ditingkatkan. Dari 2.598 RS di Indonesia sebanyak 777 RS telah terakreditasi secara nasional, yang terdiri dari 327 RS pemerintah dan 450 RS swasta. Yang lebih membanggakan, sebanyak 24 RS di Indonesia telah terakreditasi secara internasional. Saat ini dari target 190 kabupaten/kota yang memiliki minimal 1 RSUD terakreditasi, sudah tercapai 178 kabupaten/kota (93%). Sebanyak 23 RSUD sedang menunggu hasil survei. Disamping itu untuk pemenuhan tenaga kesehatan, dilakukan program pengiriman residen dokter spesialis yang sampai dengan bulan Desember 2016 telah ditempatkan sebanyak 678 orang di 593 rumah sakit. Sedangkan program Internship Dokter Indonesia telah ditempatkan sebanyak 9.542 orang pada tahun 2016, dimana adanya peningkatan Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 18 LIPUTAN dibandingkan tahun 2015 yang berjumlah 8.296 orang. Pada tanggal 13 November 2015, telah dilaksanakan pencanangan Dokter Layanan Primer oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Pencanangan tersebut dihadiri oleh dekan atau yang mewakili dari 17 Fakultas Kedokteran yang telah siap untuk membuka program studi Dokter Spesialis Layanan Primer, dan perwakilan Kelompok Kerja Percepatan Pelaksanaan Program Dokter Layanan Primer. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi telah bersepakat dan berkomitmen untuk mendukung percepatan pelaksanaan program DLP, melalui langkah-langkah aksi sebagai berikut 1. Melakukan sosialisasi kepada pihak-pihak terkait tentang DLP 2. Memfasilitasi kerja sama perguruan tinggi melalui fakultas kedokteran dengan organisasi profesi untuk menyelenggarakan program Recognition of Prior Learning (pada masa transisi) dan program pendidikan DLP, dan 3. Mendorong dan meningkatkan koordinasi dan partisipasi berbagai pihak terkait, dalam rangka implementasi program DLP, temasuk regulasi, pembiayaan, dosen, wahana pendidikan dan fasilitas kesehatan yang mendukung program pendidikan dan pelayanan DLP. Selanjutnya, berikut adalah daftar nama Universitas yang memiliki akreditasi A dan siap untuk membuka Prodi DLP (berdasarkan 19 surat Rektor): 1) UGM; 2) UI; 3) UNPAD; 4) Universitas Andalas; 5) Universitas Lampung; 6) Universitas Sriwidjaya; 7) Universitas Tarumanegara; 8) Universitas Diponegoro; 9) UMY; 10) Universitas Islam Indonesia; 11) Universitas Brawidjaya; 12) Universitas Atmajaya; 13) Universitas Udayana. Fasilitas kesehatan primer menjadi soko guru dari pelayanan kesehatan, bukan saja menjadi gate keeper untuk rujukan tetapi juga membina masyarakat umum untuk mempunyai kemampuan untuk hidup sehat. Perkembangan lain yang cukup menggembirakan semakin banyak fasilitas kesehatan yang ikut dalam program JKN. Data dari BPJS Kesehatan sampai dengan 16 Desember 2016, jumlah fasilitas kesehatan yang telah bekersama dengan BPJS kesehatan untuk melayanani peserta JKN berjumlah 26.220 fasilitas kesehatan, yang terdiri dari: 20.859 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama; 1.952 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan; 2.125 Apotik; 980 Optik; dan 304 Laboratorium. Untuk pemenuhan Fasilitas kesehatan ini tentunya diperlukan peran serta Permerintah dan Sektor Swasta. Penguatan layanan kesehatan dengan semangat membangun dari pinggiran, menjadikan sebuah terobosan untuk pemerataan tenaga kesehataan (Nakes) di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK), yakni penempatan Tim Nusantara Sehat (NS). Sejak mulai diberangkatkan pada April 2015, sebanyak 1.422 tenaga kesehatan (251 tim) telah diberangkatkan ke 28 Provinsi dan 91 Kabupaten/Kota. Untuk ketersediaan obat, dapat Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 kami sampaikan informasi bahwa pada tahun 2016, Kemenkes menargetkan ketersediaan obat dan vaksin esensial di tingkat puskesmas mencapai 80% dan capaianl sampai dengan triwulan III 2016 telah mencapai 80,45%. Dari peta ini, tampak terlihat masih ada provinsi dengan capaian dibawah target nasional, hal ini kemungkinan karena beberapa daerah belum atau sedang berproses pengadaan obatnya. Dalam rangka mengatasi kekosongan obat, pemerintah dan pemerintah daerah telah menyediakan buffer stok di tingkat Provinsi, dan Pusat dengan mendayagunakan berbagai sumber pendanaan (APBD dan APBN). Dengan demikian, diharapkan kebutuhan obat bagi pelayanan kesehatan, terutama di tingkat FKTP dapat selalu terpenuhi. Dalam rangka meningkatan transparansi dan mutu obat serta alkes kesehatan, Kemenkes telah mengutamakan pengadaan obat dan akses melalui pengadaan e- Katalog. Dalam e-katalog obat sudah memuat 947 Item obat dengan 90 Indutri Farmasi. Sedangkan untuk e-katalog Alkes sudah memuat 15.636 produk alkes dengan 264 penyedia. Saat ini transaksi pengadaan obat melalui e-katalog pada tahun 2016 mencapai Rp 6.030.949.564.945,*(sekitar 6 triliun rupiah) Dalam rangka mendukung Kemandirian Obat, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi XI yang melibatkan kerjasama dengan K/L lain. Salah satu dari paket tersebut adalah Pengembangan Industri Alkes dalam negeri, yang kemudian ditindak lanjuti dengan terbitnya Inpres RI Nomor 6 Tahun 2016 LIPUTAN ditindaklanjuti dengan Peta Jalan Kementerian Kesehatan (Program Kemandirian Bahan Baku Obat Nasional) dan sebagai bentuk implementasinya, PT Kimia Farma mulai membangun pabrik bahan baku obat atau Active Pharmaceutical Ingredient (API). Sedangkan untuk Pertumbuhan alat kesehatan dalam negeri pada tahun ini ada peningkatan sebanyak 20 industri baru dibanding tahun lalu. Jumlah izin edar yang didaftarkan juga meningkat dari 2.366 izin edar pada tahun 2015, meningkat menjadi 2787 izin edar pada tahun 2016. Hingga saat ini alat kesehatan produksi dalam negeri sudah mampu memenuhi standar peralatan minimal yang harus ada di RS kelas A sebesar 48,2%, di RS kelas B sebesar 51,3%, di RS kelas C sebesar 57,9%, dan di RS kelas D sebesar 66,1% Untuk memperkuat program kemandirian obat, Kemenkes telah memfasilitasi pengembangan bahan baku obat dan obat tradisional bekerja sama dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia industri. Pada periode 2011 – 2016, telah diperoleh 97 hasil fasilitasi pengembangan bahan baku obat dan obat tradisional. Contoh hasil pengembangan bahan baku obat dan obat tradisional tersebut antara lain Ekstrak Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) --BPPT dengan PT Phapros; Ekstrak Terstandar Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.) -- ITB dengan PT Kimia Farma; dan Dekstrin dari Ubi Kayu (Manihot utilisima) – USU dengan PT Sumatera Busan. Pada Tahun 2016 ini, Petugas Kesehatan Haji Indonesia di Arab Saudi dibagi atas Tim Promotif dan Preventif (TPP), TGC (Tim Gerak Cepat), TKR (Tim Kuratif & Rehabilitatif) dan TPK (Tenaga Pendamping Kesehatan). Kalau kita melihat hasil yang dicapai pada tahun 2016 berhasil menurunkan angka kematian Jemaah haji di Arab Saudi. Pada Tahun 2015 (garis berwarna merah) sebanyak 629 orang dan pada tahun 2016 (garis berwarna kuning) angka kematian Jemaah haji sebanyak 342 orang dan berhasil menurunkan angka angka serangan yang disebabkan sengat panas atau heatstroke pada tahun 2015 sebanyak 125 orang dan pada tahun 2016 sebanyak 2 orang. Upaya promotif dan preventif terhadap Jemaah haji telah dilaksanakan sejak di indonesia sampai Arab Saudi diapresiasi Kementerian Kesehatan Arab Saudi dengan memberikan penghargaan The Ambasador of Health Awareness in Hajj season 2016 kepada Misi Kesehatan Haji Indonesia untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia, baik Penerima Bantuan Iuran (PBI) ataupun Non-PBI. Dalam pengembangan JKN ini Kementerian Kesehatan fokus pada pengembangan benefit package, menggunakan sistem pembiayaan asuransi dengan azas gotong royong, serta melakukan kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan. Selanjutnya, pilar ketiga adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS) Dalam mewujudkan Indonesia Sehat melalui pilar ketiga yakni pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN) cukup menggembirakan. Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan, sampai dengan 27 Desember 2016 tercatat jumlah peserta JKN sebesar 171.858.881 juta jiwa atau kurang lebih 66,99% dari total penduduk tahun 2016 sebesar 256.511.495 jiwa. Tentunya penambahan Pilar 3. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Program JKN dimaksudkan Dirjen Kefarmasian dan Alkes menjawab pertanyaan Audiens cakupan kepesertaan ini harus di ikuti dengan pemenuhan Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 20 LIPUTAN supply side baik sarana prasarana maupun SDM kesehatan. Dalam tiga tahun pelaksanaan program JKN terlihat tend peningkatan dari peserta yang memanfaatkan program JKN. Dari tahun ke tahun terlihat adanya peningkatan peserta yang memanfaatkan pelayanan JKN-KIS yaitu Tahun 20014 sebanyak 92,3 juta, tahun 20015 sebanyak 146,7 juta dan tahun 20016 sampai dengan Agustus 2016 sebanyak 112,8 juta telah memanfaatkan pelayanan JKN-KIS Pelayanan Penyakit katastrofik di era JKN menghabiskan biaya klaim sebesar 74,3 Milyar rupiah dengan pemanfaatan tertinggi pada penderita penyakit Jantung yaitu 905.223 penderita dan biaya klaim sebesar 6,9 T. Berikutnya diikuti oleh kasus kanker sebesar 1,8 T dan kasus stroke sebesar 1,548 T. Diagram menunjukkan data bahwa saat ini Rp. 16,9 Triliun atau 29,67% Beban Jaminan Kesehatan terserap untuk membiayai penyakit katastropik, yaitu: penyakit jantung (13%); gagal ginjal kronik (7%); kanker (5%); stroke (2%); thalasemia (1%); haemofilia (0,2%), serta leukemia (0,3%). Adapun penghargaan yang kami peroleh dari lembaga dunia/Negara/Kementerian/Lembaga terkait dapat kami sampaikan sebagai berikut : 1. Peringkat Pertama Kompetisi Contact Center World (CCW)Katagori Inovasi Teknologi Terbaik di Tingkat Asia Pasifik (Kinabalu - Malaysia, 21 Mei 2016). 2. Peringkat Pertama Kompetisi Contact Center World (CCW) Katagori InovasiTeknologiTerbaik di Tingkat Dunia (Los Angeles – USA, 12 November 2016). 3. Penghargaan Predikat KepatuhanTertinggi StandarPelayanan Publik dengan skor tertinggi dari Ombudsman (8 Desember 2016) 4. Penghargaan Keterbukaan Informasi Publik Peringkat X KatagoriKementeriandariKomisiInformasiPublik (20 Desember 2016). 5. Laporan KeuanganTahun 2015 dengan Capaian Standar Tertinggi dalam Akutansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintahan dari Kementerian Keuangan (22 November 2016) 6. Penghargaan Kementerian Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Terbaik dari Kementerian Keuangan (8 November 2016) 7. Penghargaan Kementerian dengan Kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Terbesar dalam APBN dari Kementerian Keuangan (8 November 2016) 21 Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 8. Penghargaan “Ambassador Health Awarness In Hajj” atas Kinerja Tim Kesehatan Haji Indonesia tahun 2016 dari Kementerian Kesehatan Arab Saudi. 9. Penghargaan Pelaksanaan Elektronik Monitoring and Evaluation Rencana Pembangunan Tahun 2016 Kategori Inovasi (E-Monev Award dari Bappenas (13 Desember 2016) 10.Penghargaan Efisiensi Energi Nasional (PEEN) 2016 Kategori Pemerintah Pusat dari Kementerian ESDM (4 Agustus 2016) 11.Kementerian Kesehatan menerima Anugerah Peringkat Ketiga Unit Kearsipan Tingkat Nasional Kategori Kementerian pada acara ANRI Award (17 Agustus 2016) 12.Penghargaan Sistem Pelaporan dan Pengendalian Gratifikasi Terbaik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (9 November 2016) 13.Penghargaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Terbaik dari komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (9 Desember 2016). 14.Penghargaan Peringkat Pertama Anugerah Cinta Karya bangsa Kategori Kementerian dari Kementerian Perindustrian (20 Desember 2016). 15.Penghargaan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal oleh WHO (Mei 2016) 16.Kita patut berbangga kerena telah mendapatkan penghargaan Penghargaan Sistem Pengendalian Gratifikasi Terbaik dan Penghargaan tingkat kepatuhan dan keaktifan pengelolaan LHKPN. Semoga dengan penghargaan ini kinerja Kementerian Kesehatan akan semakin baik dalam melayani masyarakat. 17.Kementerian Kesehatan dapat mempertahankan opini WTP dari BPK RI atas Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Kementerian Kesehatan Tahun 2015. Diharapkan Kementerian Kesehatan dapat mempertahankan opini WTP tersebut untuk tahun 2016 dan tahun-tahun selanjutnya. Demikian Capaian Kinerja Kementerian Kesehatan 2016 yang dapat kami sampaikan. Capaian Kinerja Kementerian Kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan semua sektor di jajaran pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah serta dukungan seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan kepada Kementerian Kesehatan. LIPUTAN Asistensi Aplikasi E-report Bagi Petugas Dalam Rangka Meningkatkan Pengawasan Sarana Produksi dan Distribusi Alkes dan PKRT K ementerian Kesehatan mempunyai peran dan konstribusi dalam tercapainya Nawa Cita terutama dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, yang diwujudkan melalui penyelenggaraan Program Indonesia. Untuk itu dibutuhkan penguatan sistem kesehatan, dimana di dalamnya termasuk kefarmasian dan alat kesehatan. Mengacu kepada Arah Kebijakan & Strategis Nasional (RPJMN Direktur Pengawasan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, Ir. Sodikin Sadek, M.Kes tahun 2015 - 2019) dan Arah Kebijakan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa kemandirian alat kesehatan dan terjaminnya keamanan, mutu dan manfaat alat kesehatan dan PKRT di masyarakat harus diwujudkan melalui peningkatan daya saing industri alat kesehatan dalam negeri serta peningkatan pengawasan alat kesehatan dan PKRT. Hal ini sesuai dengan yang diamanat oleh Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menyebutkan di antaranya: - Pasal 42 Teknologi dan produk teknologi kesehatan harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. - Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau syarat keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) - Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) Di-era JKN, selain faktor faktor tersebut, keterjangkauan dan cost effectiveness menjadi hal yang penting untuk pemerataan dan kesinambungan pelayanan kesehatan yang bermutu di seluruh wilayah Indonesia, oleh karena Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 22 LIPUTAN itu pengawasan dan pembinaan alat kesehatan dan PKRT harus dilaksanakan di tingkat pusat dan provinsi serta kabupaten/ kota. Untuk menjamin keamanan mutu dan manfaat alat kesehatan dan PKRT maka pengawasan alat kesehatan yang dilakukan sejak alat kesehatan dan PKRT belum beredar (pre-market) dan sampai diedarkan (post-market). Produk sebelum diedarkan harus melalui berbagai penilaian, mulai dari disain sampai uji klinis sehingga produk tersebut terbukti aman, bermutu, dan bermanfaat. Salah satu cara yang dilakukan untuk peningkatan pengawasan pre-market dan post-market alat kesehatan dan PKRT adalah dengan meningkatkan kompetensi petugas provinsi dan kabupaten kota dalam pengawasan alat kesehatan dan PKRT melalui kegiatan “Fasilitasi Pengawasan Sarana Produksi dan Distribusi serta Asistensi Aplikasi e-report Alat Kesehatan dan PKRT bagi petugas Provinsi dan Kabupaten Kota” yang dilaksanakan dari tanggal 22-24 Februari 2017 di Makasar. Latar belakang kegiatan ini adalah: • Perlunya upaya meningkatkan kompetensi petugas tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam menerapkan aplikasi e-report alat kesehatan dan PKRT. • Masih banyaknya produk alkes dan PKRT tidak memenuhi persyaratan yang beredar di fasyankes dan masyarakat yang tidak terlaporkan. • Kurangnya informasi untuk penelusuran aktivitas produksi dan peredaran alkes dan PKRT di Indonesia 23 Peraturan Menteri Kesehatan No.1189/VIII/2010 tentang Sertifikat Produksi Alat Kesehatan dan PKRT pasal 9 ayat 2 mengamanatkan sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memiliki Sertifikat Produksi harus menerapkan Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik (CPAKB) atau Cara Pembuataan PKRT yang Baik (CPPKRT). CPAKB merupakan adopsi dari ISO 1345, Medical devices - Quality Management Systems – Requirements for regulatory purposes. Peraturan Menteri Kesehatan No.1191/VIII/2010 tentang Izin Penyalur Alat Kesehatan dan Permenkes No.4. Tahun 2014 tentang Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik mengamanatkan bahwa sarana Penyalur Alat Kesehatan (PAK) yang telah memilki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK) harus menerapkan Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik (CDAKB) yang Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 merupakan adopsi dari Good Distribution Practices (GDP). CPAKB dan CPPKRTB merupakan sistem manjemen mutu yang harus diterapkan oleh produsen alat kesehatan dan produsen PKRT untuk membuktikan bahwa alat kesehatan dan produk PKRT yang diproduksi telah memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku melalui sertifikat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan setelah melalui proses audit. Kementerian Kesehatan telah menentukan indikator untuk mengukur keberhasilan program pengawasan alat kesehatan dan PKRT, yaitu : 1. Persentase produk alkes dan PKRT di peredaran yang memenuhi syarat. 2. Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi cara pembuatan yang baik (CPAKB/ISO 13845) Pembukaan Kegiatan Asistensi Aplikasi E-Report Alkes dan PKRT Bagi Petugas Daerah LIPUTAN Untuk mencapai indikator tersebut, diperlukan strategi yang dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan berbagai pihak termasuk pelaku usaha. Strategi tersebut antara lain : 1. Peningkatan pengawasan alkes dan PKRT di peredaran dalam memastikan keamanan, mutu, dan manfaat melalui pengawasan pre-market dan post-market, melalui registrasi produk, registrasi sarana produksi, registrasi sarana penyalur alat kesehatan, inspeksi sarana produksi/PAK, sampling produk, pengawasan iklan serta pengawasan melalui sistem on line e-report dan e-watch. 2. Peningkatan aksesibilitas dan keterjangkauan terhadap alat kesehatan dan PKRT melalui peningkatan pelayanan publik dan pembinaan terhadap industri dalam negeri, serta mekanisme pemasukan alat kesehatan melalui mekanisme jalur khusus (special access scheme) yang diatur Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 tahun 2014. 3. Penguatan koordinasi lintas sektor dan lintas program dengan berkoordinasi dan bekerjasama antara organisasi profesi, asosiasi pengusaha, BSN, LIPI, lintas kementerian (Kehutanan, Perdagangan, Perindustrian, Keuangan, Bea Cukai, dll) 4. Peningkatan kepatuhan produsen dan penyalur terhadap regulasi di bidang alkes dan PKRT melalui: • Sosialisasi dan orientasi terkait regulasi dan sistem manajemen mutu. • Konsistensi dalam pembinaan tindak lanjut inspeksi termasuk tindakan administrasi yang diberikan bila ditemukan ketidakpatuhan terhadap perizinan dan CPAKB/CPPKRT/ CDAKB • Sosialisasi regulasi dan sistem manajemen mutu kepada produsen/PAK. Mengacu kepada UndangUndang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah maka peran pusat, provinsi dan kabupaten kota terkait pengawasan alkes dan PKRT sebagai berikut: Peran pusat dalam pengawasan alkes dan PKRT antara lain: • Membuat kebijakan dan NSPK di bidang pengawasan alkes dan PKRT, baik pre-market dan postmarket. • Penguatan koordinasi antara para pemangku kepentingan terkait di tingkat pusat dan daerah. • Dukungan dan implementasi regulasi internasional • Peningkatkan kapasitas SDM penanggung jawab program alkes dan PKRT tingkat pusat, provinsi/kabupaten/kota. Peran dinas kesehatan provinsi, antara lain: • Melaksanakan penilaian pengajuan izin sertifikat produksi / izin penyalur alat kesehatan sebelum memberikan rekomendasi untuk diteruskan ke pusat. • Melaksanakan pembinaan pengawasan post-market (inspeksi sarana produksi dan penyalur alat kesehatan, sampling sarana dan menindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya. • Mensosialisasikan dan menerapkan kebijakan pusat, norma, dan standar. • Meningkatkan kapasitas SDM di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Peran kabupaten/kota sesuai kewenangannya, antara lain: • Pengendalian pre-market alkes dan PKRT • Pembinaan post-market • Promosi penggunaan alat kesehatan dan PKRT yang aman, bermutu dan bermanfaat di sarana pelayanan kesehatan. Ketersediaan petugas yang kompeten menjadi kebutuhan yang esensial dalam mendukung implementasi pengawasan alat kesehatan dan PKRT. Pemerintah pusat dan provinsi bertugas melakukan upaya peningkatan kapasitas petugas dalam pengawasan alat kesehatan dan PKRT sesuai kebutuhannya. Setelah mengikuti kegiatan “Fasilitasi Pengawasan Sarana Produksi dan Distribusi serta Asistensi Aplikasi e-report Alat Kesehatan dan PKRT bagi petugas Provinsi dan Kabupaten Kota”, diharapkan seluruh peserta pelatihan baik pusat, provinsi dan kabupaten kota dapat memahami pentingnya pelaporan alat kesehatan untuk ketelusuran dan mampu memfasilitasi seluruh produsen dan penyalur alat kesehatan yang ada di daerahnya masing-masing untuk melakukan pelaporan melalui e-report dalam rangka menjamin keamanan, mutu, dan manfaat alat kesehatan yang beredar di masyarakat. Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 24 LIPUTAN “Pada dasarnya ISO 9001 adalah suatu standar bagi organisasi untuk dapat mencapai kepuasan pelanggan sehingga pada akhirnya bisnis organisasi tersebut bisa berjalan secara berkesinambungan.” Dalam rangka melaksanakan pelayanan perijinan yang prima yang merupakan persyaratan dalam pelayanan publik maka harus ada metode, tata cara, tanggung jawab dan komitmen dalam memberikan pelayanan prima, di antaranya dengan menerapkan ISO 9001:2008 pada pelayanan perijinan alat kesehatan dan PKRT. D irektorat Penilaian Alat Kesehatan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan berhasil mendapatkan sertifikasi tersebut dengan diserahkannya sertifikat ISO 9001:2015 oleh Direktur PT. TUV Rheinland Indonesia, Abdul Qohar kepada drg. Arianti Anaya, MKM, di Gedung Kementerian Kesehatan pada tanggal 05 Desember 2016, disaksikan oleh Inspektur Jenderal Kementerian, Drs. Purwadi, Apt dan Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Sekretaris dan para Direktur di lingkungan Ditjen Farmalkes. ISO 9001 merupakan standar internasional di bidang sistem manajemen mutu. Suatu lembaga/ organisasi yang telah mendapatkan akreditasi, dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan internasional dalam hal manajemen penjaminan mutu produk/jasa yang dihasilkannya. Manfaat Penerapan ISO 9001:2015 bagi suatu organisasi 25 Perbaiki dan Tingkatkan Mutu Pelayanan dengan ISO 9001:2015 diantaranya adalah tercapainya jaminan kualitas produk dan proses; meningkatkan kepuasan pelanggan; meningkatkan produkstivitas organisasi; meningkatkan hubungan yang saling menguntungkan; dan dapat meningkatkan cost efisiensi. Sedangkan, manfaat penerapan ISO 9001:2015 bagi organisasi dapat dimaksimalkan melalui kerjasama semua karyawan dan pimpinan; support dari tingkat pimpinan; kesamaan visi; komitmen menjalankan apa yang sudah disepakati; dan memerlukan tindakan perbaikan dan peningkatan yang berkelanjutan. Sistem manajemen mengacu pada apa yang organisasi lakukan untuk mengelola proses, atau aktivitas, sehingga produk atau jasa memenuhi tujuan yang telah ditetapkannya sendiri, seperti: Memenuhi persyaratan kualitas pelanggan; Sesuai dengan peraturan; atau tujuan lingkungan Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 yang akhirnya akan menghemat waktu dan biaya, meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya meningkatkan hubungan pelanggan yang saling menguntungkan. Sejak tahun 2013 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan telah mendapatkan Sertifikat ISO 9001 dari PT. TUV Rheinland Indonesia. Dengan telah diperolehnya Sertifikat tersebut maka organisasi wajib menerapkan sistem manajemen mutu yang sesuai dengan ISO 9001 dan tentunya setiap staf harus mempunyai pemahaman yang cukup tentang ISO 9001, sehingga proses penerapannya dapat berjalan dengan lancar. Untuk mengetahui sejauh mana penerapannya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alkes telah melakukan analisa dan evaluasi ISO 9001. LIPUTAN WTP, Yang Dinanti dan Selalu Diupayakan B ulan januari adalah bulan yang ditunggutunggu oleh para petugas di seluruh kementerian dan lembaga yang aktif di kancah keuangan Republik Indonesia, termasuk petugas Saiba dan Simak BMN di Lingkungan Ditjen Farmalkes baik satker pusat maupun satker daerah. Kenapa bulan ini sangat ditunggu –tunggu?, karena pada bulan inilah biasanya dilakukan Pertemuan Konsolidasi Penyusunan Laporan Keuangan Sistem Akutansi Instansi (SAIBA dan SIMAK BMN ) berbasis Akrual di lingkungan Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun Anggaran 2016, dimana dalam kegiatan tersebut dilakukan reviu laporan keuangan Tahun anggaran 2016 oleh Tim Inspektorat Kementerian Kesehatan. Setiap transaksi baik uang dan barang harus bisa dipertanggungjawabkan. Dalam pertemuan tersebut yang dibuka langsung oleh Ibu Ditjen Farmalkes, kehadiran beliau dalam acara pertemuan tersebut adalah bukti keseriusan Ditjen Farmalkes dalam memperoleh opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK RI. Ibu Ditjen menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh petugas Saiba dan Simak BMN, karena pada TA 2015 berhasil mempertahankan opini WTP dan berharap di tahun 2016 serta ditahun berikutnya terus mendapat Opini WTP yang berkelanjutan. Adapun tujuan dari pelaksanaan pertemuan ini adalah: 1. Tersusunnya Laporan Keuangan tingkat satker sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Untuk meningkatkan komitmen pimpinan bahwa betapa pentingnya proses penyusunan laporan Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 26 LIPUTAN keuangan yang berkualitas, akuntabel, dan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) baik di tingkat Satker, Eselon I, dan Kementerian; 3. Meningkatkan opini Laporan Keuangan Kemetrian dari WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dapat kita pertahankan dengan lebih baik lagi; 4. Penyajian catatan atas Laporan Keuangan harus full disclosure (pengungkapan yang informatif) 5. Untuk meningkatkan disiplin pengelola SAIBA (SAIBA & SIMAKBMN) sehingga menghasilkan laporan yang baik dan akurat serta tepat waktu. Ibu Dirjen juga mengapresiasi terhadap hasil realisai anggaran yang mencapai Rp97,38% dari anggaran Rp3.251.823.220.000, 27 karena merupakan realisasi tertinggi dalam kurun waktu lima tahun. Pada tahun anggaran 2016 ada hal yang menarik dan perlu dicontoh, dimana salah satu satker di Lingkungan Ditjen Farmalkes mencapai realisasi 100%, yaitu satker dekonsentrasi Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat. Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Barang mempunyai tugas antara lain menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah salah satu entitas akuntansi di bawah Kementerian Kesehatan yang Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan menyusun laporan keuangan berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Penyusunan Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan dan kaidah-kaidah pengelolaan keuangan yang sehat dalam pemerintahan serta disusun dan disajikan dengan basis akrual sehingga akan mampu menyajikan informasi keuangan yang lebih baik. ARTIKEL Tingkatkan Kepedulian Masyarakat terhadap Gejala Kanker H al itu disampaikan Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dalam sambutannya yang dibacakan Staf Ahli Menteri kesehatan Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi, Slamet, pada peringatan Hari Kanker Anak Sedunia 2017, di Taman Sari Lippo Karawaci, Tangerang, Banten, (22/2) dalam rangkaian acara Hari Kanker Anak Sedunia dimana Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Pemda Provinsi Banten dan Pemda Kabupaten Tangerang menyelenggarakan kegiatan Aksi Deteksi Dini Kanker pada Anak melalui Gerakan Masyarakat Sehat Peduli Kanker. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi, Dr slamet M.Ap, dalam sambutannya mengatakan, “penyakit kanker merupakan penyakit yang tidak menular yang ditandai dengan adanya sel/jaringan abnormal yang bersifat ganas, tumbuh cepat tidak terkendali dan dapat menyebar ketempat lain dalam tubuh penderita, Kanker menyerang siapa saja baik pria maupun wanita, anakanak maupun dewasa. Banyak sekali jenis kanker yang menyerang manusia, namun ada beberapa jenis kanker yang sering menyerang pada pria yaitu kanker paru, kanker prostat, kanker hati sedangkan kanker yang sering dialami wanita adalah kanker payudara, kanker leher rahim, kanker ovarium. Jenis kanker yang sering terjadi ada anak adalah kanker bola mata kanker darah (leukemia)”; Seluruh lapisan masyarakat pun dituntut untuk terus aktif dalam penanggulangan kanker. “Melalui deteksi dini serta pengobatan segera akan berpeluang pada meningkatnya angka kesembuhan dan angka harapan hidup” Dalam kesempatan itu hadir Wakil Bupati Tangerang, H. Hermansyah, yang menjelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Tangerang terus melakukan pembenahan dan meningkatkan kualitas pembangunan khususnya di sektor kesehatan yang menyentuh langsung pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Sejumlah acara digelar, seperti, aksi deteksi dini kanker pada 200 anak berupa pemeriksaan lihat merah pada mata untuk deteksi dini kanker bola mata (retinoblastoma), serta seminar yang bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian masyarakat luas mengenai bahaya kanker, meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pola hidup sehat sebagai upaya pencegahan kanker, meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengobatan kanker yang telah terbukti secara ilmiah serta meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang upaya rehabilitasi pada pasien kanker.” Hal tersebut dijelaskan oleh dr. Lily Sriwahyuni Sulistyowati, MM - Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan. “Kesehatan anak perlu mendapat perhatian khusus orang tua dan keluarga agar gejala kanker pada anak dapat dideteksi sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan penanganan segera” Menteri Kesehatan. Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 28 ARTIKEL AB-CHMINACA, Ganja Sistetis yang Menstimulan Tembakau Cap Gorila Oleh : Elza Gustanti, S.Si., Apt., MH B eberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan kasus pilot salah satu maskapai nasional yang diduga mabuk saat menerbangkan pesawatnya dan dikabarkan bahwa sang pilot mabuk karena menghisap rokok dari tembakau cap gorila. Banyak dari publik bertanya-tanya perihal tembakau gorila. Apa itu tembakau gorila? Apa kandungannya? Bagaimana hukumnya jika menghisap tembakau gorila? Tembakau Gorila Seperti yang diungkapkan Direktur Reserse Narkoba Kepolisian Metro Jaya Komisaris Besar Nico Afinta, tembakau gorila sebenarnya adalah tembakau biasa atau rokok biasa (dari tembakau) yang distimulasi dengan ganja sintetis, sehingga menyebabkan efek adiktif bagi penggunanya. Tembakau ini dijual bebas di akun media sosial dan pengguna tembakau gorila ini mayoritas berasal dari kalangan mahasiswa dan pekerja. Di duga produsen tembakau campuran ini berasal dari luar negeri. (Tempo.Co, 22 Januari 2016). Tembakau merupakan salah satu produk dari hasil pertanian semusim yang berasal dari daun tanaman, genus nicotiana. 29 Tembakau bermanfaat untuk pestisida dan menjadi bahan utama rokok. Di Indonesia daerah penghasil tembakau adalah Temanggung, Deli, Lombok, Jember, dan Madura. Bahkan tembakau lokal Indonesia dikenal memiliki kualitas nomor wahid. Dari berbagai sumber online diketahui bahwa yang mengkonsumsi tembakau cap gorila, akan membuat penikmatnya mengalami efek “bagaikan tertimpa gorila”, berhalusinasi, rasa rileks dan happy yang dirasakan oleh si pengguna. Efek ini disebabkan adanya ganja sistetis yang disemprotkan ke tembakau. Ganja Sintetis (Syntetic Cannabinoid) Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis merupakan narkotika golongan I, sebagaimana yang di atur dalam Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi/oengobatan serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun ganja sintetis atau syntetic cannabinoid merupakan zat kimia yang memiliki efek seperti ganja, yang memiliki sifat toksik dan dapat menyebabkan halusinasi hingga kematian. Ganja sintetis biasanya dicampurkan dengan daun kering (biasanya tembakau) dan dikemas. Ganja sistetis tidak memiliki efek positif bagi kesehatan, yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal akut, kejang, psikosis akut, halusinasi, koma, bahkan kematian dan berpotensi tinggi untuk disalahgunakan. Ganja sistetis atau syntetic cannabinoid termasuk salah satu golongan utama dalam New Psychoactive Substances/NPS atau yang dikenal zat psikoaktif baru. New Psychoactive Substances (NPS) / Zat Psikoaktif Baru Menurut International Narcotic ARTIKEL Control Board (INCB), definisi New Psychoactive Substances (NPS) adalah senyawa tunggal atau berbentuk campuran yang banyak disalahgunakan dan belum diatur dalam konvensi intenasional, tetapi memiliki efek yang sama dengan zat yang telah diatur dalam konvensi internasional. Definisi lain menurut UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime, 2013) NPS adalah zat yang banyak disalahgunakan, baik bentuk tunggal atau berbentuk sediaan campuran yang belum diatur dalam konvensi Internasional (Konvensi Tunggal Narkotika 1961 atau Konvensi Psikotropika 1971) yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. NPS juga meliputi senyawa yang bukan jenis baru tetapi menunjukkan peningkatan penyalahgunaan di masyarakat. NPS dikenal juga dengan nama designer drugs, herbal high, research chemical dan legal high. Berdasarkan informasi dan analisis NPS yang beredar, UNODC mengidentifikasi 6 (enam) golongan utama NPS yang beredar di pasaran, yaitu : 1. Syntetic cannabinoids 2. Syntetic cathinones, 3.Ketamin 4.Phenethylamines 5.Piperazine, 6. Plant-based substances Banyak NPS yang beredar mengandung senyawa/molekul asing yang belum dikenal yang dapat memiliki efek yang sama/ kurang dengan zat psikoaktif yang telah diatur. Ada NPS yang sengaja didesain menjadi senyawa baru dengan mengganti gugus fungsi sehingga menjadi zat baru yang tidak termasuk dalam daftar zat yang telah diatur dalam konvensi/ regulasi internasional maupun regulasi nasional. NPS tersebut didesain bukan untuk mendapatkan efek terapi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan, melainkan untuk mendapatkan efek psikoaktif yang disalahgunakan dan bersifat adiktif. NPS saat ini telah menjadi fenomena global dengan lebih dari 100 negara dan teritori dari seluruh wilayah di dunia telah melaporkan satu atau lebih NPS. Sampai dengan Desember 2015, lebih dari 600 zat NPS telah dilaporkan kepada UNODC oleh pemerintah, laboratorium dan organisasi patner UNODC. Rata-rata, setiap minggu beredar satu zat NPS. Peredaran NPS ini menjadi ancaman bagi hampir semua negara, mengingat 4 (empat) tahun belakangan ini terjadi kenaikan signifikan peredaran NPS sebagaimana pernah dipublikasikan dalam Sidang Komisi Narkotika tahun 2016 di Wina. Disamping itu menjadi tantangan serius bagi peneliti/ilmuwan, pembuat kebijakan ataupun penegak hukum. Hal ini karena kesulitan dalam mengidentifikasi NPS disebabkan penelitian terhadap NPS yang sangat terbatas, dan tidak memiliki studi ilmiah komprehensif terhadap efek toksisitasnya. Selain itu karena sebagai zat psikoaktif baru yang belum diatur dalam regulasi, akan menyulitkan penegak hukum dalam menindaknya. Permenkes Nomor 2 Tahun Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 30 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika dan telah diundangkan pada tanggal 9 Januari 2017 dalam Berita Negara RI Tahun 2017 Nomor 52 oleh Kementerian Hukum dan HAM. Perubahan penggolongan Narkotika tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan berdasarkan perintah Pasal 6 ayat (3) Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Perubahan Penggolongan Narkotika artinya penambahan / penyesuaian daftar narkotika sesuai dengan pengolongannya berdasarkan konvensi internasional dan perkembangan/ kebutuhan nasional, seperti adanya peredaran zat psikoaktif baru ( New Psychoactive Substances/NPS) yang belum diatur dalam regulasi nasional. Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika terdiri dari 3 (tiga) Golongan : 1. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak diguinakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan 2. Narkotika Golongan II adalah 31 Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhr dan dapat diogunakan dalam terapi dan/ataiu untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan 3. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan ketergantungan. Ganja sintetis yang disemprotkan untuk menstimulasi tembakau cap gorila telah ditetapkan masuk ke dalam Daftar Narkotika Golongan I Buletin INFARKES Edisi I | Januari - Februari 2017 pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 tahun 2017, angka 86 dengan nama kimia AB-CHMINACA : N-[(1S)1-(Aminokarbonil)-2-metilpropil]1-(sikloheksimetel)-1H-indazol-3karboksamida. Artinya narkotika ini hanya boleh untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak boleh digunakan dalam terapi serta memiliki potensi ketergantungan yang sangat tinggi. Barang siapa yang menggunakan/ mengkonsumsi tembakau gorila yang mengandung ganja sintetis AB-CHMINACA yang telah masuk ke dalam Daftar Narkotika Golongan I, maka bisa ditindak sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penutup Dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, kita mengetahui bahwa bukan Tembakau Cap gorila yang masuk ke dalam Golongan Narkotika, melainkan ganja sintetis AB-CHMINACA yang disemprotkan pada tembakau gorila, telah ditetapkan menjadi Narkotika Golongan I, yang hanya dapat digunakan untuk tujuan Pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.