SOFT SKILL DAN SPIRITUAL SKILL PUSTAKAWAN DALAM LAYANAN PRIMA PERPUSTAKAAN Oleh: Sri Haryati (FKIP Untidar) [email protected] Abstrak Dalam menghadapi era teknologi dan informasi, perpustakaan seharusnya dilengkapi dengan sistem teknologi informasi yang terbaru. Pustakawan, pastinya akan menghadapi “ledakan informasi”, seperti istilah baru pengunjung perpustakaan “net generation”, yang ingin mendapatkan semua informasi secara akurat, cepat dan transparan. Oleh karena itu, menjadi seorang pustakawan yang baik seharusnya menguasai soft skill dan spiritual skill sehingga dia dapat memberikan pelayanan prima yang humanis pada pengunjung perpustakaan. Kata kunci: soft skill, spiritual skill, layanan prima pustakawan A. PENDAHULUAN Perpustakaan merupakan jantungnya perguruan tinggi. Perpustakaan merupakan bagian integral dari kegiatan perguruan tinggi dan merupakan pusat sumber belajar untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Di samping itu, perpustakaan juga sebagai sumber informasi bagi sivitas akademika suatu perguruan tinggi sehingga dapat membantu pengembangan dan peningkatan minat baca, literasi informasi, bakat serta kemampuan mahasiswa dan dosen. Tetapi kenyataannya ada penurunan pengunjung di perpustakaan, bisa dibilang perpustakaan sepi pengunjung. Pustakawan adalah seorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan, serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (UU No. 43 Tahun 2007). Pustakawan, sebagai salah satu profesi yang bergelut langsung dengan informasi, kini harus berhadapan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang semakin cepat dan canggih. Percepatan ketersediaan informasi dan kemajuan TIK dapat dianalogikan seperti halnya teori Robert Malthus tentang deret ukur dengan deret hitung, perkembangan informasi cenderung tumbuh pesat seperti deret ukur, sedangkan kemampuan manusia dalam mengelola dan memanfaatkannya seperti deret hitung. Dari sekian banyaknya sumber-sumber informasi, sumber dari internetlah yang kini semakin dicari dan digunakan. 1 Mengaksesnya semakin mudah dan murah. Maka kemudian muncullah isu miring tentang kekalahan perpustakaan dibandingkan dengan internet dalam memberikan layanan dan menyajikan informasi. Akibatnya perpustakaan menjadi sepi pengunjung. Pernyataan di atas diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan OCLC (Online Computer Library Center) pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa responden lebih bergantung pada mesin pencari (search engine) untuk kegiatan-kegiatan pencarian informasi. Survei OCLC menunjukkan bahwa 82% dari responden melaporkan memulai pencarian di mesin pencari dan hanya 1% responden melaporkan memulainya dengan website perpustakaan. Dalam penelitian OCLC itu juga ditanyakan pendapat responden tentang perbandingan antara mesin pencari dengan perpustakaan. Hasilnya adalah sebanyak 85% responden lebih menyukai mesin pencari, mengalahkan perpustakaan dalam hal kemudahan penggunaan sebagai sarana pencarian informasi (http://www.oclc.org/content/dam/oclc/reports/2010perceptions/2010perceptions_all.pdf p.4–5) dalam Rotmianto (2015). Berdasarkan hasil penelitian di atas maka perpustakaan perlu mengelola, menata perpustakaan semenarik mungkin agar dapat meningkatkan daya tarik pengunjung untuk mengunjungi perpustakaan. Tantangan berikutnya bagi pustakawan adalah munculnya paradigma Library 2.0, Library 3.0 sebagai implikasi langsung dari perkembangan terkini teknologi internet yang dinamakan Web 3.0 yang merupakan generasi ketiga dari perkembangan internet. Konsep Library 2.0 sendiri seperti belum lama dimunculkan oleh Michael Casey pada tahun 2005 lalu. Namun, mengingat bahwa “library is a growing organism”, maka seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi, perpustakaan pun mengalami perkembangan yang tidak hanya berhenti pada Library 2.0 saja. Paradigma baru yang disebut Library 3.0 pada akhirnya perlahan-lahan meninggalkan konsep Library 2.0, dan kelak akan muncul Library 4.0 sebagai perkembangan dari Library 3.0, demikian seterusnya. Sebenarnya, konsep Web 3.0 sendiri juga tidak terlalu jauh berbeda dengan Web 2.0. Yang paling menjadi ciri Web 3.0 adalah istilah “semantic web”. Semantic web merupakan pengembangan web dimana konten web ditampilkan tidak hanya dalam format bahasa manusia (natural language), tetapi juga dalam format yang dapat dibaca dan digunakan oleh mesin (baca: software/aplikasi). Semantic web akan memiliki informasi yang dimengerti oleh web itu sendiri, yang memiliki kecerdasan buatan (artificial intelligence) hingga mampu menemukan dan mengintegrasikan informasi dari si pencari informasi dengan mudah. Dengan demikian semantic web itu sendiri dapat diinstruksikan untuk mengambil informasi sesuai dengan kriteria 2 tertentu dari si pengguna (http://www.teknojurnal.com/2010/06/06/generasi-web-baru-web-3-0/) dalam Rotmianto (2015 :80). Di lain pihak, pemustaka (user) dan masyarakat yang harus dilayani pustakawan dan perpustakaan saat ini adalah suatu generasi baru yang lahir akibat kemajuan TIK yang disebut “net gerenation” atau “the native gadget”. Perpaduan karakteristik net generation menurut Oblinger (2005) dalam Wulandari (2011:17) dan menurut Priyanto (2009) dalam Djuwarnik (2013:266) setidaknya adalah sebagai berikut: (1) Digital literate, mempunyai kemampuan digital yang lebih baik dibandingkan dengan kemampuan menggunakan perpustakaan sebagai sumber informasi, sehingga penggunaan sumber-sumber online lebih disukai dari pada sumber informasi tercetak (Wulandari, 2011). (2) Always online, selalu terhubung dengan jaringan internet menggunakan internet mobile yang selalu dibawa kemana-mana sehingga sangat tergantung dengan akses internet. (3) Ingin segera mendapatkan informasi yang dicari. (4) Sangat tertarik dengan interaksi sosial seperti chatting, posting, blogging, dan suka berbagi informasi melalui media-media jejaring sosial seperti facebook, twitter, instagram dan lain-lain. (5) Lahir dan tumbuh di era komputer dan internet. (6) Tidak pernah lepas dari teknologi baru. (7) Berharap informasi yang bersifat instan dan dapat disimpan dalam format digital dan dapat dimodifikasi sendiri (Rotmianto, 2015 :83). Generasi ini pada umumnya menganggap teknologi informasi adalah suatu kebutuhan hidup. Ketersediaan informasi yang serba cepat namun akurat, itulah yang mereka inginkan. Responden-responden dari survei OCLC di atas yang lebih memilih “dilayani” geogle dan internet dalam mencari informasi dari pada pustakawan dan perpustakaan bisa jadi mewakili keinginan para net generation ini. Berdasarkan penjelasan di atas dan untuk menghadapi tantangan kemajuan teknologi informasi maka pustakawan perlu selalu meningkatkan kompetensinya baik kompetensi secara teknis atau hard skill,dan kompetensi nonteknis yang berupa soft skill dan spiritual skill dalam melaksanakan profesinya. B. SOFT SKILL DAN SPIRITUAL SKILL PUSTAKAWAN DALAM LAYANAN PRIMA PERPUSTAKAAN 1. Pengertian Kompetensi Pustakawan Pustakawan perlu meningkatkan kompetensi diri dengan mengimplementasikan konsep tiga pilar pustakawan. Tiga pilar yang dapat membantu seorang pustakawan adalah : (1) hard skill (tentang profesionalitas), (2) soft skill (jiwa dalam bekerja), (3) 3 spiritual skill (keiklasan dalam bekerja). Implementasi pertama pada tiga pilar pustakawan tersebut adalah membina jaringan pustakawan. Jaringan pustakawan yang ada saat ini harus dioptimalkan untuk meningkatkan kompetensi pustakawan Indonesia (http://pustakawan.pnri.go.id/content/implementasi-konsep-tiga-pilar-perpustakaan). Kompetensi adalah usaha untuk menggambarkan apa yang diharapkan, dikehendaki, didambakan, diantisipasi, dilatih dan sebagainya. Kompetensi menunjuk pada performance atau perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam pelaksanaan tugas–tugas kependidikan. Sutomo (1999:4) mengemukakan 3 kriteria pernyataan kompetensi sebagai berikut: karakteristik–karakteristik prasyarat meliputi: relevan dengan pengajaran, berorientasi pada kualitas, karakteristik– karakteristik yang unik mencakup: pola penampilan yang kompleks, keuangan, berorientasi pada kenyataan, kemungkinan meramalkan, prioritas. Kompetensi adalah pengetahuan, ketrampilan dan nilai–nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (Depdiknas dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pengertian kompetensi menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Pendidikan Tinggi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas–tugas di bidang pekerjaan tertentu. Kompetensi direfleksikan dalam kebiasaan berfikir, bertindak, dan bersikap. Kebiasaan itu didasari oleh kompetensi kognitif, kompetensi psikomotorik, dan kompetensi afektif (nilai–nilai dasar). Ranah kompetensi ini dikembangkan secara konsisten dan terus menerus sehingga peserta didik menjadi kompeten (cakap). Pengertian kompetensi menurut UUGD adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (bab 1 pasal 1 ayat 10) dalam Haryati (2013:18). Menurut Musda IPI Provinsi Jawa Tengah (2016:7-17) kompetensi adalah kemampuan dasar, sifat, ketrampilan dan pengetahuan yang memungkinkan seseorang berhasil menyelesaikan tugas dan tantangan. Kompetensi yaitu aspek personal (sifat, motif, nilai, sikap, pengetahuan, dan ketrampilan) yang memungkinkan pencapaian kinerja prima. Kompetisi dapat mendorong perilaku yang dapat menghasilkan kinerja. Kompetensi juga dapat diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang memungkinkan seseorang berfungsi dengan memuaskan di suatu lingkungan kerja, baik sendiri, maupun dengan orang lain. Kompetensi adalah kombinasi ketrampilan, pengetahuan, dan perilaku yang diperlukan untuk keberhasilan organisasi, kinerja perorangan dan pengembangan karir. Kompetensi pustakawan meliputi: 4 1. Kompetensi Profesional. Kompetensi profesional berkaitan dengan pengetahuan pustakawan di bidang sumber-sumber informasi, akses terhadap informasi, teknologi, manajemen dan riset, dan juga kemampuan menggunakan pengetahuan-pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam penyediaan jasa-jasa informasi dan perpustakaan. Untuk mempunyai sikap kompetensi profesional harus: a. Memiliki pengetahuan tentang “content” dari sumber-sumber informasi dan kemampuan untuk mengevaluasi dan memilih sumber informasi yang sesuai dengan kebutuhan pemustaka. b. Memiliki pengetahuan yang cukup tentang subyek/disiplin ilmu dari lembaga induk dan pemustaka. c. Mampu mengembangkan dan mengelola jasa pemberian informasi yang “costeffective” sejalan dengan tujuan strategis lembaga induk. d. Mampu memberikan bimbingan dan dukungan terhadap pemustaka layanan informasi. e. Mampu memanfaatkan TIK untuk mengelola dan menyebarkan informasi. f. Peka dan mampu menilai kebutuhan informasi pemustaka dan mampu memasarkan jasa informasi yang bernilai tambah untuk memenuhi kebutuhan informasi pemustaka. g. Menggunakan pendekatan manajemen dan bisnis yang bijak untuk mengkomunikasikan kepada manajemen akan pentingnya jasa penyediaan informasi. h. Mengembangkan produk informasi spesifik untuk keperluan internal, eksternal, atau untuk klien. Untuk mempunyai ketrampilan dan perilaku profesional informasi indikatornya: a. Pekerja keras (“siap untuk bekerja lembur”) b. Ramah dan bersikap proaktif c. Kemampuan berbahasa Inggris dan TIK yang selaras dengan tingkat kebutuhan pemangku kepentingan d. Luwes dan memiliki ketrampilan berkomunikasi yang baik e. Memiliki daya analisis yang baik f. Berani mengambil keputusan g. Bersikap terbuka h. Selalu tanggap dan “waspada” akan adanya perubahan kebutuhan informasi dari pemangku kepentingan 5 Untuk mempunyai ketrampilan profesional informasi proaktif meliputi: a. Trampil berkomunikasi b. Asertif c. Pengetahuan prima tentang perpustakaan yang dikelolanya d. Peka terhadap kebutuhan informasi pemustaka e. Tulus, dan selalu siap membantu pemustaka f. Mempunyai “sense of judgement” yang baik dan obyektif g. Sabar 2. Kompetensi Personal. Kompetensi personal mewakili serangkaian sikap, ketrampilan, dan nilai yang memungkinkan seorang pustakawan bekerja secara efektif dan efisien, serta menyumbangkan tenaga dan keahliannya dengan positif kepada organisasi/lembaga, pengguna dan profesinya. Kemampuan yang harus dimiliki agar memiliki sikap kompetensi personal yaitu: a. Kemampuan berkomunikasi dengan baik; b. Kemampuan menunjukkan nilai tambah dari kontribusi/sumbangan mereka; c. Kemampuan untuk bersikap luwes dan positif dalam setiap situasi dan lingkungan kerja yang selalu berubah. Kompetensi personal merupakan serangkaian ketrampilan, sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan pustakawan untuk: a. Bekerja secara efisien; b. Menjadi komunikator yang baik; c. Memfokuskan pada pembelajaran berkelanjutan selama masa karirnya; d. Mampu menunjukkan hakekat nilai tambah dari yang dikontribusikannya; e. Mampu bertahan di dunia kerja yang baru. Untuk memiliki sikap kompetensi personal harus: a. Mampu bersikap disiplin, tepat waktu dalam pelaksanaan tugas dan mampu bersikap asertif. b. Selalu bersikap proaktif menyediakan jasa informasi prima (tepat, cepat, dan mutakhir). c. Peka dan mampu mengidentifikasi kebutuhan informasi staf dan perusahaan. d. Memiliki ketrampilan berkomunikasi efektif. e. Mampu bekerja dalam tim. Untuk memiliki ketrampilan kompetensi personal harus: a. Memiliki jiwa kepemimpinan dan selalu berusaha menjadi “role model”. 6 b. Mampu mencari solusi untuk mengatasi masalah yang mungkin timbul. c. Mampu membuat prioritas dalam pengerjaan tugas. d. Memiliki kemauan untuk belajar dan keinginan untuk meningkatkan karir. e. Memiliki solidaritas dan menghargai jaringan. f. Selalu bersikap positif dan fleksibel dalam menerima perubahan. 3. Jenis kompetensi pustakawan yang lain adalah: a. Analytical Skills. Analytical skills adalah kemampuan atau ketrampilan untuk berfikir analitis. Pustakawan diharapkan mampu menarik kesimpulan secara logis dan bisa memberi rekomendasi tindakan yang tepat serta menggunakan pendekatan sistematis dan obyektif dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. b. Communication Skills. Communication skills adalah ketrampilan berkomunikasi. Pustakawan diharapkan mampu menjadi pendengar aktif, mampu menyampaikan informasi dengan jelas dan dapat dipahami, dan bisa dengan jernih menerima feedback konstruktif. c. Creativity/Innovative. Creativity/innovative adalah kemahiran/berpengetahuan teknis. Pustakawan diharapkan mempunyai pengetahuan teknis yang luas dan mutakhir dan selalu tanggap akan perkembangan teknologi baru. d. Expertise/Technical Knowledge e. Interpersonal Skills. Interpersonal skills adalah kemampuan/ketrampilan interpersonal. Pustakawan diharapkan mampu membina hubungan kerja yang kokoh namun sekaligus memiliki kepekaan dan empati terhadap perilaku individu, dan kelompok kerja. f. Leadership. Leadership adalah memiliki integritas yang tinggi, membina kepercayaan timbal balik dengan rekan kerja dan bawahan. g. Organizational Understanding and Global Thinking. Organizational understanding and global thinking yaitu mempunyai pemahaman organisasional dan mampu berfikir secara global. h. Acoountability/Dependability. Mempunyai tanggung jawab dan bisa diandalkan. i. Resources Management. Pustakawan diharapkan mampu mengelola sumbersumber yang dimiliki, bisa mereduksi pengeluaran sekaligus meningkatkan keuntungan. j. Service Attitude/User Satisfaction. Memahami dan memenuhi kebutuhan pengguna serta bisa memenuhi minat mereka. 7 2. Pengertian Soft Skill dan Spiritual Skill Pustakawan Menurut Muhaniz (2015), soft skill berperan dalam dua pertiga dari serangkaian kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan, di mana satu pertiganya lagi adalah hard skill. Dari penjelasan di atas berarti soft skill memiliki peran yang lebih banyak dibandingkan dengan hard skill. Soft skill merupakan aktualisasi kecerdasan emosi, yang pada dasarnya terbangun ke dalam dua bagian yaitu kompetensi intra pribadi dan interpribadi. Hard skill merupakan kompetensi profesional yaitu kemampuan kita untuk menjalankan profesi kita. Soft skill merupakan kompetensi intrapersonal yaitu kemampuan untuk memahami dan mengendalikan diri sendiri. Kompetensi ini terdiri dari: pemahaman tentang sukses, evaluasi diri, citra diri, goal setting, motivasi diri. Kompetensi interpersonal yaitu kompetensi kita untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, kompetensi ini terdiri dari: pengendalian emosi, rasa percaya diri, komunikasi intensif, dan human relation (http://muhaniz.wordpress.com/2015/04/26/paradigmasoft-skill-kompetensi-guna-mencapai-sukses/. Menurut Haryati (2016:2) untuk menghadapi pasar bebas menuntut penyiapan sumber daya manusia yang siap kerja dan profesional yang memiliki kemampuan akademik (hard skill) dan kemampuan menerapkan pengetahuan akademiknya dalam dunia kerja (soft skill). Hard skill merupakan kemampuan teknis dan akademis. Soft skill lebih mengutamakan kemampuan intrapersonal dan interpersonal. Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori yaitu intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill meliputi: (1) self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness), (2) self skill (improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedang interpersonal skill meliputi: social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan social skill. leadership, influence, communication, conflict management, coperation, team work, synergy). Menurut Baedhowi (2008), kemampuan soft skill antara lain meliputi kepribadian, keterampilan berkomunikasi, kepemimpinan, keterampilan berorganisasi dan kerja kelompok/tim. Menurut Majalah Mingguan Tempo (Mei 2007), soft skill merupakan keterampilan yang berhubungan dengan teknik-teknik pengelolaan diri (intrapersonal skills), keterampilan dalam pengelolaan orang lain (interpersonal skills), dan keterampilan dalam mengelola sumber daya atau lingkungan di luar dirinya (extrapersonal skills). Menurut Suwarno (2013: 252-259), soft skill untuk meningkatkan profesionalisme pustakawan meliputi: (a) listening skills yaitu kemampuan mendengarkan pendapat, 8 masukan-masukan dan ide-ide dari pemustaka. Kemampuan ini membutuhkan tingkat kesabaran tinggi karena ada kalanya pemustaka bertindak “kurang ramah” (terlalu rewel, minta dilayani serba cepat atau semacamnya). (b) communication skills, yaitu kemampuan berkomunikasi yang memadai, efektif dan menyenangkan untuk membina hubungan baik dengan orang lain khususnya dengan pemustaka, melalui komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Oleh karena itu penting bagi pustakawan untuk menguasai cara berbicara ataupun berdiskusi, termasuk menyampaikan pemikiran dan ide-idenya dalam bentuk tulisan (makalah, artikel, essai, buku dan lain-lain). (c) public relation skill, kemampuan membangun relasi dan kerja sama dengan pemustaka, dengan pustakawan maupun dengan perpustakaan dan organisasi-organisasi lainnya untuk meningkatkan kualitas diri dan pekerjaannya. Prinsip “tidak ada satu pun perpustakaan yang lengkap” serta “tidak ada satu pun manusia (pustakawan) yang sempurna” berlaku di sini, maka dari itu salah satu cara untuk menutupi kekurangan itu adalah banyakbanyak berdiskusi, berbagi informasi (sharing), serta berorganisasi supaya dapat menjadi lebih baik. Jadi, “sharing untuk memberikan yang terbaik”, bukan “bersaing untuk menjadi yang terbaik”. Penguasaan soft skill yang erat kaitannya dengan EQ sebagaimana diuraikan di atas, memang sangat diperlukan pustakawan. Hanya sayangnya kurikulum pendidikan di Indonesia pada umumnya mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi kebanyakan lebih mengutamakan penguasaan hard skill (IQ) dari pada soft skill (EQ). Padahal menurut penelitian para ahli, seseorang dengan kemampuan EQ yang lebih tinggi dapat mencapai kesuksesan lebih baik dari pada orang yang hanya mempunyai IQ tinggi saja sedangkan tingkat EQ-nya rendah (Agustian. 2005:39). Namun tentunya lebih baik lagi jika pustakawan menguasai keduanya. Semua itu tentu saja membutuhkan kesadaran, stimulasi dan melakukan perbaikan diri secara terus menerus. Apabila diringkas, konsep hard skill dan soft skill pustakawan adalah sebagaimana contoh dalam bagan berikut ini: Hard Skill Pustakawan Soft Skill Pustakawan 9 1. Menguasai teori pencarian informasi dan metode penyelesaian masalah 2. Menguasai teknologi, 1. Sabar mendengarkan dan menyimak (listening skill) teori 2. Ramah, hangat dan menyenangkan komunikasi dalam dan bahasa Inggris berkomunikasi dan bertutur kata 3. Menguasai TIK (mesin pencari, (communication skill) jejaring sosial, email, OPAC, website, 3. Mempunyai kemampuan menuliskan ide, perpustakaan, dan lain-lain) pendapat secara tertulis dengan santun 4. Menguasai teori dan ilmu-ilmu dan menggunakan gaya bahasa yang baik perpustakaan pada umumnya (communication skill) 4. Dapat bekerja sama dengan siapa saja (public relation skill) (Rotmianto, 2015:88) Daniel Goleman pernah mengatakan bahwa kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi keberhasilan seseorang sebesar 20% sedangkan 80% dipengaruhi oleh kecerdasan lain. 80% kecerdasan lain tersebut antara lain meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, keterampilan sosial, kemampuan mengelola diri, dan berinteraksi dengan sekitar secara efektif untuk meningkatkan kinerja secara maksimal, tujuh hal tersebut di atas merupakan bagian dari sofskill. Dalam konteks pendidikan, sofskill tidak lain adalah soft competence yang harus dimiliki oleh seorang dosen yakni kompetensi kepribadian/intrapersonal skill, indikatornya adalah; (1) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia dengan indikator mampu menghargai mahasiswa tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat istiadat, daerah asal, gender dan mampu bersikap sesuai dengan agama dengan norma agama yang dianut, suku, adat, hokum dan sebagainya; (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur dan sebagainya; (3) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantab, stabil, dewasa, arif dan berwibawa; (4) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi dosen, percaya diri; (5) menjunjung tinggi kode etik dosen dan kompetensi sosial, atau interpersonal skill, sementara hard skill adalah kompetensi pedagogik dan profesional. Seorang dosen profesional seharusnya tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga harus pandai dalam soft skill-nya. Hal ini diperkuat dengan penelitian di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft 10 skill) (Haryati, 2016:8-9). Sebuah riset yang dilakukan di tiga Negara besar yaitu Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris Raya tentang keberhasilan orang di berbagai perusahaan besar menunjukkan bahwa ada 23 sofskill yang menjadikan keberhasilan seseorang, lima ranking yang menduduki poin terbesar adalah inisiatif, integritas, berpikir kritis, mau belajar, dan komitmen dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari apapun profesi kita. Orang yang mempunyai inisiatif pasti menjadi unggul dan menjadi yang terdepan, menjadi pelopor dalam mencari solusi dari setiap masalah yang muncul baik secara personal dan institusional. Orang yang punya inisiatif akan memenangkan dalam persaingan/kompetisi, muncul ide segar, cepat mengambil keputusan. Integritas, menjadikan seseorang tampil apa adanya, penuh kejujuran, tidak ada perbedaan antara yang dipikirkan dengan yang dikatakan dan yang dilakukan. Orang dengan integritas tinggi pasti lebih berpeluang menjadi yang terdepan. Sofskill ketiga adalah mau belajar, orang yang mau belajar mempunyai ciri antara lain antusias, bersikap terbuka, adaptif, rendah hati, dan siap menghadapi perubahan. Era TIK sangat membutuhkan individu yang mau belajar di manapun dan kapanpun. Dalam konteks TIK saat ini, praktek pendidikan di Indonesia diharapkan lebih menekankan pada values based education ketimbang values education sehingga berbagai jenis sofskill dapat dibiasakan dan dihidupkan kepada para mahasiswa. Satiadarma (2003) menyatakan kecerdasan spriritual adalah kesadaran dalam diri manusia yang membuat manusia menemukan dan mengembangkan bakat-bakat bawaan, intuisi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang salah dan benar serta kebijaksanaan. Rahmat (2002) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual itu merupakan kemampuan seseorang untuk menyeleraskan hati dan budi sehingga ia mampu menjadi orang yang berkarakter dan berwatak positif. Guna kecerdasan spiritual antara lain adalah: (1) Membuat manusia mampu menyadari siapa manusia sesungguhnya dan bagaimana manusia memberikan makna terhadap kehidupan; (2) Sumber yang mengarahkan hidup manusia untuk selalu berhubungan. Dengan kebermaknaan hidup agar hidup ini menjadi lebih bermakna; (3) Untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh; dan (4) Memasuki jantung segala sesuatu, nilai-nilai kemanusiaan, kegembiraan, rasa humor, daya cipta, kecantikan, dan kejujuran. Elemen kualitas kecerdasan spiritual meliputi: (1) Kapasitas diri untuk bersikap fleksibel seperti aktif dan adaptif secara spontan; (2) Level kesadaran diri yang tinggi (self-awareness), (3) Kapasitas diri untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan (suffering); (4) Kualitas hidup yang terinspirasi dengan visi dan nilai-nilai (vissioner); (5) Keengganan untuk 11 menyebabkan kerugian yang tidak perlu (unnecessary ham); (6) Memiliki cara pandang yang holistik (wholistic); (7) Memiliki kecenderungan nyata untuk bertanya dan cenderung mencari jawaban yang fundamental (curriosity); (8) Memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi (field-independent) (dalam Haryati,2008). Definisi spiritual skill atau kecerdasan spiritual yang biasa juga disebut dengan istilah SQ (spiritual quotient) pada umumnya adalah suatu kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif, dan merupakan fasilitas yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalannya itu. Ciri utama dari kecerdasan spiritual ini ditunjukkan dengan kesadaran seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna (http://id.wikipedia.org/wiki/ Kecerdasan_spiritual). Menurut Mujib (2001) dalam Thontowi mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah sebagai kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran manusia. Oleh karena itulah, dapat dikatakan bahwa setiap niat yang terlepas dari nilai-nilai kebenaran Ilahiah, merupakan kecerdasan duniawi dan fana (temporer), sedangkan kecerdasan rokhaniah bersifat autentik, universal, dan abadi (http://sumsel.kemenag.go.id/file/ dokumen/kecerdasanspiritual). Nilai dan makna di sini menurut penulis adalah nilai dan makna yang bersumber dari ajaran agama. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang pustakawan yang literet teknologi sebagaimana konsep Librarian 3.0 dan untuk memberikan layanan prima kepada pemustaka kurang lengkap apabila hanya berbekal hard skill dan soft skill saja. Spiritual skill juga sangat diperlukan. Terlebih sebagai pustakawan yang hidup di negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia ini, di mana agama sudah menjadi sendi dasar dalam peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini mengingat bahwa bagaimanapun perkembangan teknologi, berikut meledaknya segala macam informasi, memberikan efek yang tidak hanya dari sisi positifnya saja, namun banyak dampak dari sisi negatif juga. Berbagai penyakit sosial yang saat ini hinggap di masyarakat seperti kemerosotan moral, korupsi, kejahatan dan kekerasan baik fisik maupun psikis, yang timbul dikarenakan kemajuan teknologi sudah banyak terjadi di mana-mana. Perilaku individual, konsumtif, materialis dan kapitalis sedikit banyak mengikis bentuk-bentuk kearifan yang pernah diagung-agungkan seperti kejujuran, kesantunan, saling menghargai, serta semangat tolong-menolong. Ini semua sedikit 12 banyak akibat dari dampak kemajuan-kemajuan tersebut. Maka dari itu, kemampuan spiritual skill (baca: agama) diperlukan untuk dapat mengambil sisi positif yang bermanfaat dan meninggalkan hal-hal yang negatif yang merugikan. Seperti apa yang dikatakan Albert Einstein (14 Maret 1879–18 April 1955), ilmuwan besar abad 20, bahwa “Science without religion is lame, religion without science is blind.” Ini menyiratkan bahwa religion (agama nota bene spiritual skill) adalah hal yang tidak terpisahkan dengan science (pengetahuan dan teknologi). Teknologi apabila dikuasai oleh orang-orang yang tidak mempunyai spiritual skill bisa-bisa malah mengakibatkan kerusakan dan kehancuran. Menurut Goleman (1999) dalam Agustian (2005: 385) hard skill atau kecerdasan intelektual (IQ) relatif tetap, sedangkan soft skill atau kecerdasan emosi (EQ) dapat meningkat selama masih hidup. Hard skill dan soft skill mengantarkan pustakawan sukses di dunia, sedangkan spiritual skill menyempurnakannya. Itu adalah kesuksesan yang didambakan setiap orang, tidak hanya pustakawan: kesuksesan di dunia dan akhirat. Agustian (2005: 242) menyarankan dalam membentuk mental (mental building) yang berkaitan dengan spiritual skill prinsip pertama yang dikedepankan adalah “ikhlas”, melakukan segala sesuatu dan melaksanakan segala pekerjaan adalah berlandaskan niat karena Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Jadi segala bentuk aktivitas dan juga pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kembali kepada jargon “berbagi pengetahuan” (knowledge sharing) yang merupakan salah satu prinsip dasar dari Web 3.0 yang diturunkan pada Library 3.0, maka konsep “berbagi pengetahuan” di sini tentu saja tidak akan terjadi tanpa berdasarkan atas sebuah keikhlasan. Tanpa keikhlasan, tentu saja tidak ada sesuatupun yang dapat dibagikan (Rotmianto, 2015:88-89). C. PENUTUP Untuk menghadapi perubahan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, tuntutan net generation, serta tantangan maupun tuntutan apapun nantinya, pustakawan membutuhkan hard skill agar profesional dalam bekerja, dipadukan dengan soft skill agar menjiwai dan mencintai pekerjaannya serta dilengkapi dengan spiritual skill untuk menumbuhkan rasa ikhlas dalam bekerja karena niat ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Diharapkan dengan perpaduan ketiga kemampuan tersebut, pustakawan dapat memberi layanan prima di perpustakaan, dan dapat meningkatkan profesinya. DAFTAR PUSTAKA 13 Agustian, Ary Ginanjar, 2005, ESQ Emotional Spiritual Quotient: The ESQ Way 165, Jakarta: Arga. Derosa,Cathy,et al. Perception of Libraries, 2010: Context and Community dari http://www.oclc.org/content/dam/oclc/reports/2010perceptions/2010perce ptions_all.pdf p. 4 – 5 diakses pada 16/8/2016 Djuwarnik. 2013. “Meningkatkan Kompetensi dan Profesionalisme Pustakawan di Tengah Perkembangan Teknologi Informasi,” Prosiding Peran Jejaring Pustakawan dalam Meningkatkan Kompetensi Pustakawan FPPTI Jawa Timur. Haryati, Sri. 2013. Power Point Bahan Kuliah Perkembangan Peserta Didik. Haryati, Sri. 2013. Profesi Kependidikan Panduan untuk Guru dan Calon Guru, Yogayakarta: Penerbit Sembilan Bintang. Haryati, Sri. 2015. Pengembangan Soft Skill Mahasiswa di Perguruan Tinggi, Seminar Regional Korpri Sub Unit Kopertis Wilayah VI di Magelang tanggal 16 April 2015. Haryati, Sri. 2016. Peningkatan Profesionalisme Dosen di Era MEA, Seminar Regional Korpri Sub Unit Kopertis Wilayah VI di Magelang tanggal 28 Juli 2016. http://muhaniz.wordprss.com/2015/04/26/paradigma-soft-skill-kompetensi-guna-mencapaisukses. http://pustakawan.pnri.go.id/content/implementasi-konsep-tiga-pilar-perpustakawan. IPI Provinsi Jawa Tengah. 2016. Kompetensi Personal Pustakawan: Tinjauan Ringkas. Seminar Internasional dan Musda IPI Provinsi Jawa Tengah di IAIN Salatiga tanggal 8 Maret 2016. Putra Setia Utama, Generasi Web Baru: Web http://www.teknojurnal.com/2010/06/06/generasi-web-baru-web3-0/ 14/8/2016. 3.0 diakses dari pada Rotmianto, Mohamad, “Konsep Hard Skill, Soft Skill dan Spiritual Skill Pustakawan Menghadapi Era Library 3.0,” dalam Jurnal Pustakaloka, Vol. 7 No. 1 Tahun 2015. Suwarno, Wiji. 2013. “Mengembangkan Soft Skill di Dunia Kepustakawanan,” Prosiding Peran Jejaring Pustakawan dalam Meningkatkan Kompetensi Pustakawan FPPTI Jawa Timur. Thontowi, Ahmad, “Hakikat Kecerdasan Spiritual” http://sumsel.kemenag. go.id/file/dokumen/kecerdasanspiritual.pdf diakses pada 13/8/2016. Wikipedia bahasa Indonesia, “Kecerdasan spiritual” org/wiki/Kecerdasan_spiritual diakses pada 12/8/2016. http://id.wikipedia. Wulandari, Dian. “Mengembangkan Perpustakaan Sejalan dengan Kebutuhan Net Generation,” dalam Majalah Visi Pustaka, Vol. 13, No. 2, Agustus 2011. 14 15