Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions

advertisement
Kebijakan-kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security
dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia
Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions
Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security
dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia1
Emil Kleden2
Abstract
Perdebatan tentang land tenure atau resource tenure tidak dapat dipisahkan dari faktor
masyarakat sebagai sebuah satuan sosial politik. Dan juga, di pihak lain, terdapat Negara
dan berbagai lembaga-lembaga internasional lintas negara (Transnational Institutions)3
yang juga berkepentingan dengan persoalan ini.
Dalam perspektif hukum, interaksi berbagai lembaga tersebut dengan masyarakat –
khususnya masyarakat adat - telah melahirkan dinamika perdebatan yang tajam tentang
bagaimana seharusnya “a bundle of rights” diatur, supaya capaian-capaian yang terukur
bagi semua pihak dapat dikatakan mengalami perkembangan yang signifikan dalam
konteks “kesejahteraan”.
Sejauh mana peran transnational institutions dalam interaksi negara dan masyarakat
dalam konteks hukum adalah persoalan krusial yang perlu selalu direfleksi dari waktu ke
waktu. Ini terutama disebabkan oleh perbedaan paradigma, konseptualisasi nilai-nilai
anutan, prinsip-prinsip dasar dan metode-metode yang digunakan oleh berbagai lembaga
tersebut – termasuk lembaga-lembaga negara – sehingga upaya menemukan titik
sambung atau titik singgung adalah persoalan yang harus dapat dilakukan dengan cepat
dan tepat, untuk mengurangi resiko konflik. Apa dan bagaimana seharusnya peran negara
dan organisasi-organisasi civil society dalam hal ini?
Makalah untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan
Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai
Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
1
2
Sekretaris Pelaksana Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Transnational Institutions di sini dipadankan dengan lembaga-lembaga, badan-badan dan agenagen pembangunan dan keuangan internasional yang memiliki struktur, mandat dan wilayah
kerja lintas negara. Denga demikian cakupannya sangat luas, mulai dari badan-badan PBB sampai
lembaga-lembaga donor dan perusahaan-perusahaan multinasional.
3
http://www.huma.or.id
1
Emil Kleden
Pendahuluan
Persoalan hak penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam di Indonesia, secara
sepintas dapat digambarkan melalui peta konflik agraria di Indonesia, yang dihasilkan
oleh kerja advokasi Konforsium Pembaruan Agraria (KPA).4 Dari data tersebut tampak
bahwa konflik agraria terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Dari tahun 1950-an
sampai akhir dekade 90-an terdapat 1455 kasus yang teridentifikasi oleh KPA; dari jumlah
itu tidak sampai 50 kasus yang terjadi sebelum 1980. Artinya, konsentrasi kasus terutama
dalam duapuluhan tahun terakhir.
Dari sekian ribu konflik yang terjadi, tidak ada satu pun yang berakhir dengan
kemenangan pihak masyarakat (adat dan lokal) dalam berhadapan dengan pihak
perusahaan dan negara melalui jalur hukum. Seluruh masyarakat yang terlibat dalam
berbagai kasus tersebut adalah korban yang kalah dalam pengertian yang paling tragis:
tergusur, diusir, tidak mendapat ganti rugi, ditahan, ditembak dan kehilangan lahan
untuk waktu yang tak dapat diperkirakan, dan dengan demikian kehilangan sumber
hidup dan putusnya pertalian dengan sumber budaya mereka. Data olahan KPA tersebut
menyebutkan bahwa jumlah keluarga yang menjadi korban dalam kasus tersebut adalah
242.088 KK dan jumlah korban individu manusia sebesar 533.866. Jika data KPA ini dapat
dipercaya, maka berarti dalam setiap kasus rata-rata timbul korban 367 manusia, baik
yang kehilangan nyawa, tanah, terusir dan tergusur, mengalami kekerasan fisik dan
berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya. Pertanyaan penting yang
muncul di sini adalah: (a) Mengapa muncul konflik? Dan (b) Mengapa masyarakat selalu
kalah di jalur hukum formal?
Di satu sisi, kita melihat kenyataan (de facto) bahwa masyarakat, khususnya
masyarakat adat, menetap di satu tempat dan mengelola tanah dan sumberdaya alam di
tempat itu berdasarkan sejarah yang panjang dan melalui sebuah interaksi intens dengan
alam yang melahirkan sistem sosial dan budaya setempat. Sejarah hubungan yang
panjang dengan tanah atau wilayah adat tersebut kemudian menimbulkan beberapa jenis
klaim hak atas tanah dan sumberdaya alam. Sebuah laporan studi yang dilakukan oleh
Inter-American Development Bank, pada 2001,5 menyimpulkan tiga kategori besar klaim
yang muncul dari masyarakat adat: (a) Klaim berdasarkan ancient atau historical title; (b)
Klaim berdasarkan immemorial possession dan special relationship with lands; (c) Klaim
berdasarkan kompensasi atas past injustice and discrimination. Dalam lingkup masyarakat
adat di Indonesia, ketiga jenis klaim ini dapat ditemukan di beberapa daerah.
Di Sumatera Utara bagian timur, masyarakat Melayu Sumatera Timur, yang
terorganisir dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) melakukan
klaim atas tanah bekas perkebunan tembakau Dehli, Sumatera Timur, berdasarkan atas
kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan masyarakat Melayu
Sumatera Timur, yang diwakili oleh pihak Kesultanan Dehli dan tokoh-tokoh adat
setempat. Contoh lain misalnya dapat ditemukan di Flores, di mana masyarakat adat di
Kecamatan Wulang Gitang, Flores Timur, NTT, melakukan klaim atas tanah HGU missi
Katholik, berdasarkan perjanjian sewa yang dilakukan oleh missi dengan para tokoh adat
dari daerah setempat awal abad duapuluh. Jenis klaim yang kedua dapat dijumpai di
4
Berdasarkan data dari Divisi Database KPA tentang sengketa agraria di Indonesia.
Land Titling and Indigenous Peoples; Roger Plant dan Soren Hvalkov; Inter-American
Development Bank, Sustainable Development Department Technical Papers Series.
5
http://www.huma.or.id
2
Kebijakan-kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security
dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia
berbagai daerah seperti tanah-tanah adat masyarakat Dayak yang menjadi wilayah
Kontrak Karya PT Kelian Equatorial Mining di Kalimantan; wilayah adat masyarakat
Amungme yang menjadi lokasi pertambangan PT. Freeport McMoran di Papua; kawasan
perkebunan Kelapa Sawit di Indragiri Hulu, Riau; berbagai konsesi HPH di seantero
Indonesia; dan kawasan konservasi. Sedangkan jenis klaim yang ketiga dapat dijumpai
misalnya di kawasan perkebunan tebu di Jawa Timur; perjuangan petani dan buruh tani
di Jawa umumnya; penggusuran yang terjadi akibat proyek pembangunan fisik di
berbagai wilayah di Indonesia, seperti pembangunan PLTA dan pabrik-pabrik industri.
Di pihak lain, kita melihat ada sejumlah peraturan perundangan yang mendorong
pengakuan dan pengakomodasian hak-hak rakyat, dan khususnya masyarakat adat dan
lokal, atas tanah dan sumberdaya alam (de jure). Pertanyaannya, apa yang menyebabkan
berbagai peraturan perundangan tersebut tidak dapat mengubah nasib masyarakat dari
situasi yang disebutkan di atas? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab hanya dengan
memeriksa kembali semua isi peraturan perundangan tersebut seraya mencermati situasi
lapangan yang terjadi. Sebabnya adalah bahwa pelaksanaan kebijakan menyangkut tanah
dan sumberdaya alam sebagian besar telah melibatkan kekuatan global.
Jika dicermati, maka sebagian besar investasi yang ditanam di Indonesia berasal
dari modal asing, atau atas dukungan modal asing dalam bentuk pembagian saham.
Modal asing di sini dapat berasal dari sebuah perusahaan multinasional, yang sering
disebut dengan Multinational Corporation (MNC) atau Transnational Corporation (TNC).
Atau juga berasal dari hutang negara kepada Lembaga-Lembaga Pembangunan dan
Lembaga Keuangan International, seperti Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia
(ADB). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauh mana hubungan antara
investasi modal luar negeri ini dengan persoalan konflik hak penguasaan atas tanah dan
sumberdaya alam? Pertanyaan ini mempunyai implikasi atas relasi sosiologis, ekonomi
politik dan politik hukum yang melatarbelakangi sekaligus memainkan peran kunci
dalam berbagai bentuk peraturan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan
penguasaan atas tanah.
Sistem Penguasaan, Pemilikan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah dan
Sumberdaya Alam (Land Tenure System) Masyarakat Adat
Masyarakat adat pada umumnya mengenal dengan baik ruang lingkup hidup mereka.
Batas tanahnya di mana, darimana diperoleh dan bagaimana caranya, umumnya masih
dapat diceriterakan kembali oleh sebagian tokoh adat atau orang-orang tua yang masih
hidup. Mereka bahkan dapat menunjukkan tanda dan bukti kepemilikan yang diwariskan
secara turun temurun. Bukti kepemilikan tersebut juga sebagiannya diperkuat dengan
tradisi lisan yang masih hidup di sebagian besar daerah. Tradisi lisan ini umumnya
menyajikan kisah awal munculnya nenek moyang, hubungan dengan kelompok
masyarakat lain di sekitarnya dalam kaitan dengan pemilikan tanah dan sumberdaya
dalam wilayah tertentu.6 Hubungan tersebut dapat berupa hubungan sinergis, berupa
pertukaran yang damai dalam perolehan tanah dan sumberdaya maupun hubungan yang
bersifat konflik fisik atau perang dalam upaya perolehan tanah dan sumberdaya tertentu.
Lihat misalnya Paul Arndt, SVD, Hubungan Kemasyarakat di Wilayah Sikka (Flores Tengah
Bagian Timur); Seri Etnologi Candraditya, No. 3, khususnya hal. 156 – 186.
6
http://www.huma.or.id
3
Emil Kleden
Sistem penguasaan dan pemilikan tanah di kalangan masyarakat adat umumnya
kompleks. Hal ini berkaitan dengan struktur sosial politik yang ada dan sistem hukum
adat yang dianut. Sebagian besar sistem pemilikan tersebut bersifat kolektif. Hak
penguasaan umumnya berada dalam tangan seluruh komunitas yang diatur oleh struktur
kelembagaan yang ada. Hak kepemilikan dapat didistribusikan kepada setiap kelompok
sosial yang ada dalam komunitas, misalnya suku atau marga/clan, hak pengelolaan
diberikan kepada anggota komunitas yang disertai dengan hak pemanfaatan.
Land tenure system yang kompleks ini merupakan alat kontrol yang efektif sejauh
struktur sosial politik dan hukum setempat dapat berfungsi. Struktur sosial menentukan
penguasaan, pemilikan dan relasi antar anggota suatu komunitas masyarakat adat dalam
hal tanah dan sumberdaya alam di dalamnya. Struktur politik dan hukum menentukan
otoritas pengambilan keputusan dalam penyelesaian konflik tenurial dan hubungan
dengan pihak luar dalam hal tanah dan sumberdaya alam setempat. Keseluruhan struktur
ini, umumnya di Indonesia, menjelaskan suatu kondisi de facto, yaitu penguasaan dan
pemilikan tanah secara kolektif oleh suatu komunitas masyarakat adat. Masyarakat
Kajang, Dayak Siang Murung, Sorowako, Amungme, Manggarai Flores, Badui, Rejang
Lebong, Kuntu, dan berbagai tempat lain menunjukkan kondisi ini. Pengelolaan dan
pemanfaatan dapat bersifat individual atau per keluarga, sejauh itu tidak menggerus
penguasaan dan pemilikan kolektif. Dengan demikian dapat disaksikan bahwa di
komunitas-komunitas masyarakat adat di Indonesia, urusan penguasaan dan pemilikan
tanah tidak dapat dilepaskan dari pengertian-pengertian yang bervariasi terminologinya
namun memiliki pemahaman substansial yang sama: tanah bersama dan didalamnya
terdapat sekumpulan hak dapat dibedakan tapi tak dapat dipisahkan. Di Mentawai ada
tanah suku (clan), seperti juga di sebagian Flores dan Papua Barat. Di Kajang, Sulawesi
Selatan, atau di Kalimantan umumnya, ada juga tanah komunitas, yang lingkupnya bukan
clan, tapi lebih pada sebuah satuan sosial politik yang lebih luas, yang bisa dipadankan
dengan kelompok sosial politik, kelompok etnis atau suku-bangsa. Di Melayu, Sumatera
Timur, tanah bersama ini lebih merujuk pada kampung-kampung atau persekutuan
kampung-kampung, seperti juga di sebagian besar Sumatera, sehingga dikenal pula istilah
‘tanah persekutuan’. Akan menjadi lebih jelas kiranya bila land tenure system ini
dihubungkan dengan struktur sosial, politik dan hukum yang telah berkembang sejak
lama, sebelum kemudian diporak-porandakan oleh sistem pemerintahan desa yang
dipaksakan oleh Pemerintahan Orde Baru. Tanah Mukim, tanah Marga, tanah Kampong,
tanah Binua, tanah Negorai, tanah Desa adalah pengertian yang melekat pada sistem
penguasaan dan pemilikan tanah di berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia.
Kita akan mengambil satu contoh saja untuk menggambarkan kompleksitas land tenure
system dalam komunitas masyarakat adat.
Sebelum masuknya sistem pemerintahan desa (desa –cetak miring dari penulis adalah sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pemerintahan Desa) di Mentawai,
masyarakat di sana hidup dalam komunitas berdasarkan suku (clan). Dengan demikian
sebuah komunitas adalah sebuah suku. Yang menentukan penguasaan tanah adalah
sistem nilai anutan bahwa seluruh tanah suku adalah tanah leluhur yang tidak boleh
dipindah-tangankan dengan alasan apa pun. Pemilikan tanah diatur menurut masingmasing keluarga besar anggota suku. Yang mengatur ini adalah rapat atau musyawarah
ketua suku dengan para pemuka keluarga besar. Pemilikan oleh masing-masing keluarga
besar tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, bahkan kepada keluarga besar lain. Yang
dapat dialihkan hanya hak pengelolaan untuk periode tertentu dalam lingkup satu suku.
Sementara yang dapat dialihkan kepada pihak luar yang bukan anggota suku hanyalah
http://www.huma.or.id
4
Kebijakan-kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security
dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia
hak pemanfaatan tanaman dan hasil kebun untuk periode tertentu. Periode tertentu ini
misalnya ditemui dalam urusan denda adat antar keluarga dari suku yang berbeda.
Denda dapat berupa penyerahan hak pemanfaatan sebagian tanam tumbuh (durian,
kelapa dan lain-lain) dalam kebun pihak yang kena denda, sampai urusan denda dapat
dianggap lunas. Selama periode ini, pengelolaan kebun tetap berada pada tangan pihak
yang kena denda dan tidak dialihkan kepada pihak yang mendenda. Sistem tenurial
seperti ini juga dapat ditemui antara lain di Flores dan Pulau Buru di mana di kenal sistem
clan.
Kehancuran sistem ini dimulai ketika masyarakat dipaksa untuk berbaur dan
melalui program resettlement, di mana pemukiman dipindah paksa ke daerah-daerah
pesisir. Secara khusus, perlu diberi perhatian pada dampak Pemerintahan Desa yang
mulai diintroduksi di Mentawai pada sekitar awal 1980-an (sebagian mengatakan 1982,
sebagian lain 1984). Dengan hadirnya sistem pemerintahan desa, maka dampak paling
serius adalah hilangnya kewenangan suku atas tanah suku, menjadi kaburlah tanah suku
karena pembauran masyarakat berbagai suku tidak disertai dengan pengaturan pemilikan
tanah suku. Dengan berlalunya waktu, tanah suku semakin tergerus oleh masyarakat desa,
karena urusan tanah pun diatur oleh Kepala Desa dan Pemerintah Daerah. Saat ini dapat
dengan mudah dijumpai tanah-tanah yang telah dibeli oleh para pendatang melalui
anggota suku yang tinggal di desa atau dusun yang berlainan dan terpisah cukup jauh dan
tidak lagi merujuk pada kewenangan ketua suku atau musyawarah suku, dan lebih
merujuk kepada aturan yang ditetapkan oleh pemerintahan desa.
Dengan demikian, membicarakan land tenure system sebagai sebuah sistem kolektif
yang hidup di tengah berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia, tidak dapat
dilepaskan dari persoalan sistem sosial, politik dan hukum yang melahirkan, menjaga dan
mengontrol relasi sosial, ekonomi, dan politik yang yang berkaitan dengan tanah dan
sumberdaya alam. Hubungan yang kuat antara berbagai sistem ini juga yang menentukan
hidup matinya sebuah komunitas masyarakat adat. Putusnya hubungan antara berbagai
sistem tersebut berakibat pada kegamangan masyarakat dalam mengidentifikasi diri dan
dengan demikian juga gamang dalam relasi sosial politiknya yang berkaitan dengan tanah
dan sumberdaya alam. Dan hal tersebut terbukti dengan sangat jelas dalam pelaksanaan
UU No. 5 thn 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Pemberlakuan UU ini di satu sisi menunjukkan kegagalan negara dalam mengelola
berbagai sistem yang menghidupi berbagai kelompok masyarakat adat di Indonesia, di
sisi lain menunjukkan kecermatan negara dan berbagai agen paham pembangunan
(developmentalism) dalam membaca kekuatan strategis masyarakat sekaligus memutuskan
mata-rantai kekuatan tersebut. Berkaitan dengan ini, masuk akallah kita mengajukan
sebuah pertanyaan penting lain: Mengapa UU No. 5 thn 1979 ini duapuluh tahun
kemudian oleh Negara diakui sebagai sebuah kekeliruan fundamental dan kemudian
mendorong adanya Otonomi Daerah melalui UU No. 22 thn 1999!?
http://www.huma.or.id
5
Emil Kleden
Soal Pengakuan Negara
Upaya mencari akar persoalan dari berbagai konflik tenurial di Indonesia telah
dilakukan oleh berbagai pihak secara intensif dalam beberapa dekade belakangan. Studistudi yang dilakukan oleh KPA adalah salah satu contohnya7. Sebuah studi kolaboratif
antara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ICRAF dan Forest Peoples
Programme pada 2002 – 2003 menemukan juga beberapa persoalan penting dalam hal
hubungan antara masyarakat adat dan Negara, khususnya dalam hal tanah dan
sumberdaya alam.8 Temuan-temuan dalam studi ini dapat dikelompokkan menjadi
beberapa bagian: (a) dalam soal pengakuan oleh Negara terhadap keberadaan masyarakat
adat ditekankan perlunya pengakuan atas wilayah adat; (b) adanya self-governance bagi
komunitas-komunitas masyarakat adat, dalam konteks perluasan Otonomi Daerah
menjadi Otonomi Komunitas khususnya berkaitan dengan sistem pemerintahan dan
peradilan; (c) Otonomi komunitas ini tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia; (d) perlunya perluasan otonomi dalam beberapa sektor seperti
pendidikan yang perlu memberi ruang yang lebih luas bagi penerapan sistem pendidikan
lokal dengan segala muatan kearifan lokalnya.
Di samping itu ada temuan penting lain, yaitu bahwa meskipun sudah jelas
rumusan hak-hak apa yang dituntut kepada Negara, namun belum ada kejelasan tentang
di mana ruang pengakuan Negara. Bisa dipahami bahwa ini terjadi akibat kacaunya
sistem pertanahan khususnya dan sistem tenurial umumnya di Indonesia. Satu contoh
tentang kacaunya sistem tenurial di Indonesia dan dampaknya terhadap masyarakat adat
misalnya temuan bahwa kebanyakan komunitas yang menjadi tempat studi menekankan
pentingnya hak kolektif komunitas atas tanah namun tidak terdapat kejelasan hubungan
komunitas dengan pasar tanah yang semakin marak. Dalam hal ini hampir semua
komunitas yang terlibat dalam studi menyatakan bahwa perlu didorong dan diperkuat
hak masyarakat adat untuk menyatakan menerima atau menolak segala bentuk intervensi,
baik itu investasi maupun penerapan kebijakan negara yang berkaitan dengan keberadaan
tanah adat dan sumberdaya alam di dalamnya. Hal ini penting sekali karena berkaitan
dengan sebuah konsep hak yang sudah cukup populer di dunia, yaitu Free Prior and
Informed Consent (FPIC). Dan Negara harus mengambil peran utama dalam
mempromosikan dan memperkuat dan melindungi hak FPIC ini.
Dari gambaran yang dihasilkan studi ini, jelas bahwa masyarakat adat mengalami
persoalan serius tentang hak-hak mereka atas tanah dan sumberdaya alam. Persoalan
tersebut bukan hanya menyangkut pengakuan negara terhadap hak mereka, melainkan
juga perlindungan dan penghormatan atas hak tersebut. Bahwa ketiga bidang ini perlu
dilakukan secara simultan dan sinergis oleh negara atau, jika tidak, maka akan
menimbulkan dampak penghancuran yang tragis terhadap masyarakat adat, dapat
dibuktikan melalui studi-studi lain yang membuka borok politik hukum di balik
persoalan tenurial di Indonesia.
7 Lihat misalnya Dianto Bachriadi, Merana Di Tengah Kelimpahan, Elsam, Cetakan Pertama, April
1998, Bab 4. Pertambangan Freeport di Tanah Amungme dan Kamoro; dan Bab 5. Pertambangan
Emas Kelian di Tanah Orang Dayak.
8
Lihat dalam” Satu yang Kami Tuntut: Pengakuan”; AMAN, ICRAF, FPP, 2003
http://www.huma.or.id
6
Kebijakan-kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security
dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia
Dalam kajian hukum yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA),9 nyatalah bahwa pengakuan yang
diberikan oleh Negara terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-hak yang
menyertainya adalah pengakuan bersyarat. Pengakuan bersyarat ini dapat dilihat dalam
rumusan-rumusan pasal-pasal berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan
masyarakat adat. Undang-Undang No. 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan, yang lebih populer dengan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) dan
UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah dua
peraturan perundangan yang sekian lama memberlakukan pengakuan bersyarat tersebut
dengan tambahan frase sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Anak kalimat bersyarat
seperti ini pula yang terdapat dalam Pasal 18 B ayat 2:
Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang (pasal 18B ayat 2); dan
Pasal 28 I ayat 3 Amendemen Keempat UUD 1945: Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Tanpa harus menyebutkan pasal per pasal kandungan peraturan perundangan
yang mencantumkan pengakuan bersyarat, dapatlah dikatakan bahwa pengakuan
bersyarat tersebut sesungguhnya memiliki substansi pengingkaran terhadap: (i)
keberadaan masyarakat adat; dan (ii) hak-hak yang menyertai keberadaan masyarakat
adat. Pengingkaran ini terlihat dengan jelas dalam implementasi kebijakan yang berkaitan
dengan pengelolaan (baca: eksploitasi) sumberdaya alam. Pengingkaran atas keberadaan,
misalnya dapat dilihat dari penghapusan sistem pemerintahan “asli”, seperti
pemerintahan binua, lembang, mukim, marga, dan lain-lain dengan pemberlakuan
pemerintahan desa. Sementara pengingkaran atas hak dapat disaksikan dalam
implementasi kebijakan Negara tentang eksploitasi sumberdaya alam dalam wilayah adat,
baik itu berupa pertambangan, HPH, HTI, dan berbagai bentuk kebijakan konservasi.
Tidak itu saja, penghapusan berbagai sistem peradilan adat (dan lokal) dengan
pemberlakuan unifikasi sistem peradilan melalui UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Kekuasan Kehakiman, telah menjadi tonggak penghapusan sistem peradilan adat.
Sementara mekanisme penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan adat adalah salah
satu tiang utama keberadaan komunitas masyarakat adat. Pemberlakuan Otonomi Daerah
melalui UU No. 22/1999 tanpa mengubah peraturan perundangan lain, termasuk UU No.
14/1970, mencerminkan pemberian otonomi secara setengah hati oleh Negara kepada
masyarakat adat. Pengakuan bersyarat inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan
terhadap Otonomi Daerah yang sedang berlaku saat ini sebagai Otonomi setengah hati,
dan menjadi akar dari berbagai konflik tenurial yang marak terjadi setelah dekade 70-an
sebagaimana tercermin dalam data KPA di atas.
Otonomi Daerah diberlakukan setelah duapuluh tahun berbagai sistem
pemerintahan masyarakat adat (dan lokal) mengalami kehancuran yang sangat mendasar.
9 Lihat misalnya makalah Rikardo Simarmata, Pilihan Hukum Pengurusan Hutan oleh Masyarakat
Adat, tulisan yang disiapkan untuk menjadi Kertas Posisi Forum Komunikasi Kehutanan
Masyarakat (FKKM), dipresentasikan dalam Seminar “Pengelolaan Hutan Adat” diselenggarakan
oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Riau, di
Pekanbaru, Riau pada 20 -22 Agustus 2004.
http://www.huma.or.id
7
Emil Kleden
Pertanyaannya: Dengan mengakui bahwa UU No. 5/1979 sebagai sebuah kekeliruan
fundamental, apakah Negara juga mengakui bahwa seluruh upaya pemulihannya
menjadi tanggungjawab Negara? Melihat kecenderungan Negara dalam berbagai konflik
pasca diberlakukannya UU Otonomi Daerah, bisa dikatakan dengan tegas bahwa Negara
belum melaksanakan tanggungjawab itu. Konflik tenurial antara masyarakat adat dengan
berbagai perusahaan pertambangan, perkebunan dan HPH yang terjadi di berbagai
tempat menunjukkan bahwa Negara sama sekali belum mengambil tanggungjawab dalam
upaya penyelesaian konflik secara mendasar, dengan melakukan perubahan pendekatan
di tingkat lapangan, maupun mengubah substansi peraturan perundangan yang terkait
dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Sekedar menyebut beberapa contoh,
konflik di Halmahera, antara masyarakat adat setempat dengan PT. Nusa Halmahera
Mineral; konflik antara masyarakat adat dan lokal di Pulau Sebuku dengan PT. Bahari
Cakrawala Sebuku; konflik berkepanjangan antara masyarakat adat Sorowako dengan PT.
Inco, adalah contoh konflik di mana Negara tidak mengambil peran sebagai pelindung
warga negaranya – dalam hal ini masyarakat adat setempat – tapi lebih berpihak kepada
berbagai investasi besar tersebut.
Upaya pemulihan yang dilakukan oleh masyarakat adat, juga tidak mendapat
dukungan dari Negara. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kontroversi tentang Raperda
Hak Ulayat, yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur,
yang isinya menyatakan bahwa tidak ada masyarakat adat dan hak ulayat di Kabupaten
Pasir. Sementara itu dapat disaksikan bagaimana upaya masyarakat setempat untuk
merekonstruksi sistem pemerintahan masyarakat adat yang telah hancur. Upaya-upaya
masyarakat adat ini dapat disaksikan di Kecamatan Long Ikis,
dan sekitarnya.
Komunitas-komunitas di Long Gelang, Mului, Rantau Layung, adalah beberapa
komunitas masyarakat adat yang sedang melakukan upaya tersebut. Di tengah upaya
yang kian giat, Pemda Pasir justru mengeluarkan Raperda kontroversial tersebut.
Raperda ini secara prinsipil mencerminkan kekacauan persepsi tentang pengakuan
bersyarat yang disebutkan di atas. Di satu sisi, pengakuan bersyarat tersebut secara
substansial mengakui keberadaan masyarakat adat, namun secara prosedural
membutuhkan pembuktian, yang kewenangan pembuktian tidak terletak pada tangan
masyarakat adat (self-identification), namun justru diberikan kepada Pemerintah Daerah
untuk membentuk Tim Independen untuk melakukan studi pembuktian tersebut.
Prosedur pembuktian ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat. Tindakan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir yang mengeluarkan Raperda
kontroversial ini tidak dapat dilepaskan dari ekonomi politik yang dijalankan Negara
dengan membuat kabur sistem peraturan perundangan tentang masyarakat adat.
Tindakan Negara dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
No. 5/1999 tersebut tidak lebih dari sebuah upaya untuk meredam menguatnya tuntutan
atas pengakuan adanya komunitas masyarakat adat dan tanah adat. Jadi, secara singkat
dapat dikatakan bahwa ada upaya politik hukum yang tidak transparan yang dilakukan
oleh Negara, sebagai strategi untuk memenangkan ekonomi politik di baliknya.
Pertanyaannya, seperti apa ekonomi politik di baliknya tersebut?
http://www.huma.or.id
8
Kebijakan-kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security
dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia
Peran Transnational Institutions dalam Penerapan Kebijakan Negara tentang
Tenurial Security di Indonesia
Sebuah potret yang sangat terkenal dalam sejarah krisis ekonomi di Indonesia
adalah potret Presiden (waktu itu, 1998) Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI)
antara Indonesia dan International Monetary Fund (IMF), sementara Direktur IMF (waktu
itu) Michel Camdesus berdiri bersedakap dengan posisi miring memandang Soeharto
yang membungkuk untuk menggoreskan tanda tangannya. Sebuah potret yang menjadi
simbol keterpurukan Indonesia dalam cengkeraman kebijakan berbagai kekuatan modal
global. Sejak itu berbagai gejolak mulai terjadi. Deregulasi perbankan, pengurangan
subsidi di berbagai bidang, privatisasi berbagai sektor, maraknya upaya mendorong pasar
tanah melalui Land Administration Project adalah gelombang krisis ekonomi makro yang
melanda Indonesia dalam waktu yang sangat singkat.
IMF hanyalah salah satu dari berbagai lembaga internasional lintas negara
(Transnational Institutions) yang memiliki kekuasaan hampir tak terbatas dalam
mengendalikan perekonomian negara-negara berkembang. Indonesia adalah salah satu
negara berkembang yang mendapatkan banyak hutang dari lembaga-lembaga
internasional lintas negara. Lembaga-lembaga ini dapat dikategorikan secara sangat
longgar ke dalam dua kelompok besar, yaitu (i) lembaga-lembaga yang memberikan
perhatian khusus kepada masalah pengakuan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat
adat; dan (ii) lembaga-lembaga yang secara khusus memberikan perhatian kepada
pengembangan modal. Umumnya semua lembaga ini berada di bawah naungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bagaimana kedudukan lembaga-lembaga ini dalam
sistem PBB dapat dilihat dalam bagan berikut ini.
Commission on
Transnational
Corporations
Specific
Organs
And
Programs
UNHCR
UNICEF
UNCTAD
UNDP
UNEP
ILO
UNESCO
FAO
WHO
etc
Commission on
Social Development
Commission on
Narcotic Drugs
ECOSOC
Committee on
NGOs
Commission on
the Status of Women
Commission on
Human Rights
http://www.huma.or.id
9
Emil Kleden
Nampak bahwa badan-badan di bawah Ecosoc termasuk Komisi Hak Asasi
Manusia (Commission on Human Rights) yang menjadi induk dari berbagai organisasi
PBB yang bergerak dalam issu masyarakat adat; dan juga Komisi Perusahaan
Transnational, yang bergerak dalam issu investasi dan pengembangan kebijakan
pembangunan internasional. Di samping itu masih terdapat badan-badan PBB lain yang
merupakan organ-organ khusus PBB dan program-program khusus yang umumnya
sudah cukup populer, seperti ILO, UNESCO, WHO, FAO dan lain-lain.
Secara umum, terdapat berbagai peraturan internasional, biasa dikenal dengan
sistem hukum internasional, yang mengatur tentang hak asasi manusia (HAM) dan
pembangunan. Di satu sisi kita menyaksikan banyak peraturan internasional yang
mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Di sisi lain kita juga menyaksikan
berbagai peraturan internasional yang mendorong pembangunan di seluruh dunia, dan
kelompok peraturan ini biasanya lebih mengikat negara-negara berkembang akibat
adanya bentuk perjanjian yang mengikat dalam hal dana pembangunan, yang umumnya
bersifat hutang.
Dari kelompok pertama dapat disebutkan sejumlah peraturan internasional dari
Lembaga-lembaga internasional yang mengakui hak FPIC masyarakat adat. Patut diingat
bahwa hak FPIC ini hanyalah salah satu dari sekumpulan hak yang dimiliki oleh
masyarakat adat. Meskipun pengakuan te rsebut, dalam beberapa lembaga, bukan dalam
pengertian pengakuan terhadap seluruh hak-hak dan keberadaan masyarakat adat,
melainkan lebih berupa pengaturan tentang perlunya mencantumkan hak FPIC
masyarakat adat dalam provisi-provisi kebijakan dasarnya. Sekurang-kurangnya, secara
parsial atau secara umum disebutkan pentingnya mempertimbangkan hak FPIC ini dalam
pelaksanaan kebijakan lembaga-lembaga tersebut. Misalnya, Inter-American Development
Bank, mencantumkan hak FPIC dalam ‘Strategies and Procedures on Socio-Cultural Issues as
Related to the Environment’ dan juga dalam kebijakannya tentang involuntary resettlement,
tapi tidak dalam konteks pengakuan hak secara mendasar bagi masyarakat adat. Berikut
ini adalah daftar sejumlah lembaga dan badan internasional yang mengedepankan hak
FPIC tersebut dalam kebijakannya.10
1. UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination
2. UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights
3. UN Sub-Commission on Promotion and Protection of Human Rights
4. UN Permanent Forum on Indigenous Issues
5. UN Working Group on Indigenous Populations
6. UN Development Programme
7. UN Centre for Transnational Corporations
8. UN Commission on Human Rights, Special Rapporteur on situation of the rights and
fundamental freedoms of indigenous people
9. Convention on Biological Diversity
10. Convention to Combat Desertification, particularly in Africa
Lihat Executive Summary dari Indigenous Peoples Development Standard yang dipublikasikan
oleh FPP dalam jaringan internet.
10
http://www.huma.or.id
10
Kebijakan-kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security
dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia
11. Inter-American Commission on Human Rights
12. Inter-American Development Bank
13. Andean Community
14. European Council of Ministers
15. European Commission
16. Organization of African Unity
17. World Commission on Dams
18. World Bank Extractive Industries Review
19. IUCN Vth World Parks Congress
20. World Wildlife Fund
21. International Petroleum Industry Environmental Conservation Association and the
International Association of Oil & Gas Producers
Umumnya berbagai lembaga dan badan PBB dari nomor 1. sampai dengan nomor
10. di atas mencantumkan secara tegas hak FPIC masyarakat adat dalam hubungan
dengan program pembangunan dalam wilayah adat mereka. Pada 2001, misalnya, UN
Committee on Economic, Social and Cultural Rights, menyatakan dalam laporannya
bahwa “with regret that the traditional lands of indigenous peoples have been reduced or occupied,
without their consent(cetak tebal dari penulis), by timber, mining and oil companies, at the
expense of the exercise of their culture and the equilibrium of the ecosystem.” Ini sangat penting
untuk dijadikan catatan. Pertama, bahwa pengambil-alihan secara paksa tanah-tanah
masyarakat adat telah menimbulkan persoalan HAM yang serius disertai dampak
pemiskinan struktural yang tragis bagi jutaan masyarakat adat di Indonesia. Kedua, soal
kerugian ekologis yang ditimbulkannya.
Menurut hasil perhitungan yang dilakukan oleh Greenomics,11 sebuah lembaga
swadaya masyarakat yang berbasis di Jakarta, dalam kaitan dengan dikeluarkannya Perpu
No. 1 tahun 2004, yang mengatur tentang perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, kontribusi sektor pertambangan sebenarnya tidak sebanding dengan nilai
kerugian ekologis yang harus dibayar – belum termasuk kerugian sosial. Hasil studi yang
dilakukan oleh lembaga ini menunjukkan bahwa 25 wilayah Kabupaten/Kota yang akan
dijadikan lokasi kegiatan pertambangan akan kehilangan nilai modal ekologi, yang bila
dikonversikan ke dalam nilai ekonomi uang, sebesar Rp. 70 triliun per tahun, dengan
pemberlakuan Perpu tersebut. Nilai ini pun belum memasukkan basis perhitungan yang
menyeluruh, dan baru memperhitungkan modal ekologis dari kawasan hutan lindung
yang luasnya tidak lebih dari satu juta hektar, persisnya adalah 925.000 hektar. Berapa
besar nilai Produk Domestik Bruto yang diperoleh ke-25 Kabupaten/Kota tersebut? Tidak
lebih dari Rp. 42 triliun per tahun. Artinya ada kerugian sebesar Rp. 38 triliun per tahun.
Bila dikalikan dengan lamanya beroperasi perusahaan tambang di dalam kawasan 25
Kabupaten/Kota, akan menghasilkan sebuah akumulasi kerugian yang tak kepalang
tanggung besarnya.
Dikutib dari saduran yang dibuat oleh Redaksi Gaung AMAn untuk Gaung AMAN edisi X,
Agustus 2004.
11
http://www.huma.or.id
11
Emil Kleden
Laporan UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights juga menegaskan
perlunya menjamin partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang
membawa dampak bagi kehidupan mereka. Dan menegaskan kepada Negara anggotanya
(State party) untuk to consult and seek the consent of the indigenous peoples concerned.
Convention on Biological Diversity (CBD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia,
menyebutkan secara tegas pula tentang hak FPIC masyarakat adat. Pasal 8 j dan 10 c
Konvensi ini telah menjadi bahan perdebatan dalam berbagai pertemuan CBD yang
dikenal sebagai Confference of the Parties (COP) yang belum lama berselang berlangsung
yang ke-7 kalinya di Kuala Lumpur, masih dengan salah satu agenda utamanya
membahas kedua pasal tersebut.
Di samping itu juga terdapat badan-badan multilateral yang memberikan
perhatian khusus terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di dunia.
International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh Internasional, adalah
salah satu lembaga yang paling banyak menjadi rujukan dalam perjuangan masyarakat
adat di seluruh dunia karena mengedepankan hak-hak dan keberadaan masyarakat adat.
Meskipun demikian ada hal yang harus dicermati dalam hal Konvensi ILO 169. Standardstandard hak yang ditetapkan dalam konvensi ini berupa patokan-patokan atau pedomanpedoman umum. Dengan demikian, bilamana sistem perundangan-undangan sebuah
negara telah secara lebih detail mengatur tentang hak-hak masyarakat adat daripada yang
diatur dalam Konvensi ILO 169, menjadi sebuah pertanyaan apa relevansi meratifikasi
Konvensi ini.
Lembaga Keuangan Internasional
Lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions, IFI)
umumnya dikenal dua yang utama, yaitu Bank Dunia dan IMF. Bank Dunia atau lebih
tepat Kelompok Bank Dunia, yang terdiri dari Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan
Pembangunan (IBRD), Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA), Perusahaan Keuangan
Internasional (IFC), Badan Penjamin Penanaman Modal Multilateral (MIGA), dan Badan
Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (ICSID). Namun dalam tulisan ini,
yang dimaksudkan dengan “Bank Dunia” terutama adalah tiga badan yang pertama, yaitu
IBRD, IDA dan IFC. Secara historis ketiga badan ini pula yang paling besar peranannya
sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua dan terbentuknya PBB. IBRD dibentuk 1945 untuk
memfasilitasi pemulihan dan pembangunan di Negara-Negara anggota; IFC dibentuk
1956 untuk membiayai perusahaan-perusahaan swasta yang melakukan investasi dalam
projek-projek pembangunan; IDA dibentuk 1960 dengan tujuan memberikan pinjaman
(baca: hutang) kepada negara-negara miskin.12
Yang perlu dipahami tentang Bank Dunia adalah bahwa meskipun ia merupakan
salah satu specialized agencies dari PBB, namun ia tetap sebuah bank dalam arti
sesungguhnya, yaitu berorientasi mencari keuntungan sebesar-besarnya dan
Lihat misalnya Daniel D. Bradlow Bank Dunia, IMF dan Hak Azasi Manusia, edisi terjemahan
Indonesia diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Cetakan Pertama,
Mei 1999; atau Human Rights and Indigenous Peoples, A Handbook on the UN System; Florencia
Roulet, IWGIA Document No. 92, Copenhagen 1999.
12
http://www.huma.or.id
12
Kebijakan-kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security
dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia
melipatgandakan modalnya dengan biaya sesedikit mungkin. Perilakunya sebagai seubah
bank, tercermin dari sistem keanggotaan dan pemilikan sahamnya. Anggota Bank Dunia
adalah anggota PBB yang sekaligus menjadi pemegang saham Bank Dunia. Besarnya
saham masing-masing anggota ditentukan oleh besarnya dana yang diberikan oleh sebuah
negara untuk menjadi modal Bank Dunia. Dan dengan demikian sistem pengambilan
keputusan dalam Bank ini bukan berdasarkan sistem satu anggota satu suara, melainkan
berdasarkan sistem satu dollar satu suara. Sehingga negara yang paling besar sahamnya
di Bank sekaligus merupakan negara yang paling banyak suaranya dalam menentukan
arah kebijakan Bank.
Pelipat-gandaan modal dilakukan melalui investasi dan pemberian pinjaman
kepada negara-negara anggota dengan menerapkan sistem bunga bagi setiap pinjaman.
Panduan dalam pelaksanaan kebijakan Bank Dunia umumnya dicantumkan dalam sebuah
dokumen yang dikenal dengan Operational Directive (OD). OD 4.20 yang diadopsi pada
September 1991 mendapat banyak kritikan serius berkaitan dengan banyaknya
pelanggaran HAM serius yang terjadi selama pelaksanaan projek-projek yang didanai
Bank Dunia. Oleh karena itu Bank kemudian melakukan inisiatif untuk mengganti OD
4.20 dengan sebuah panduan yang baru, yang dikenal dengan Operational
Procedure/Bank Procedure (OP/BP) 4.10. Sampai saat ini belum ada keputusan final dari
Bank tentang pengadopsian OP/BP 4.10 sebagai pengganti OD 4.20. Dengan demikian
masih tetap berupa draft. Bagaimana tanggapan berbagai organisasi masyarakat adat di
dunia terhadap draft OP/BP 4.10 bisa tercermin dari pernyataan yang dikeluarkan oleh
masyarakat adat dalam sebuah roundtable meeting di Washington DC, 18 Oktober 2002:
•
•
“We have so far been denied the opportunity to significantly
shape the outcome of the policy revision and that the Bank
has not addressed our principal concerns and our proposals
on how to improve the existing policy “;
“We as indigenous peoples do not feel empowered by Draft
DRAFTOP/BP 4.10 because our rights are not recognised
and for this reason we reject this draft revised policy because
it does not respect our rights guaranteed under international
law “.
Dua paragraf pernyataan ini dapat menjelaskan hubungan antara masyarakat adat
dengan Bank sejauh ini. Pertama dikatakan bahwa Bank sama sekali tidak menegaskan
persoalan mendasar dari masyarakat adat – berkaitan dengan keberadaan dan hak atas
tanah adat, dan kedua menolak draft revisi kebijakan Bank karena tidak menghormati
hak-hak masyarakat adat yang dijamin dalam hukum internasional.
Sebuah kajian resmi yang dilakukan oleh Bank Dunia untuk menilai sejauh mana
peranan Bank Dunia dalam industri pertambangan dan dampaknya terhadap masyarakat
setempat adalah melalui sebuah upaya yang dikenal dengan World Bank Extractive
Industries Review. Bank menunjuk Dr. Emil Salim untuk melakukan pengkajian dan
hasilnya kemudian diserahkan kepada Presiden Bank Dunia, James Wolfenson. Laporan
yang diberi judul: “Laporan Akhir Kajian Industri Pertambangan: Mencari Keseimbangan
yang Lebih Baik” mengandung beberapa rekomendasi penting bagi Bank dalam
menjalankan kebijakannya ke depan.
http://www.huma.or.id
13
Emil Kleden
Tanggapan dari pihak Manajemen Bank Dunia sungguh mengejutkan karena
intinya adalah Menolak Rekomendasi Kajian. Yang mengherankan di sini adalah bahwa
inisiatif kajian ini merupakan datang dari Bank Dunia, sehingga menjadi aneh bahwa
Bank menolak sendiri hasil kajian yang diinisianya sendiri. Hal-hal yang ditolak oleh
pihak Manajemen Bank Dunia antara lain adalah:
•
Memberikan informasi dan mendapatkan persetujuan atau penolakan dari masyarakat
adat dan lokal (FPIC) yang terkena dampak proyek pertambangan sebagai prasyarat
pembiayaan;
•
Memastikan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah terjamin sebagai syarat pembiayaan
proyek;
•
Memastikan keuntungan proyek yang dibayai Bank Dunia diterima dan memberikan
manfaat bagi masyarakat yang terkena dampak;
•
Jaminan untuk kebebasan berserikat di dalam proyek-proyek yang dibiayai Bank
Dunia sebagai pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM dan Hak tenaga
kerja/buruh;
•
Memastikan bahwa ada struktur tata pemerintahan yang baik sebelum pendanaan
proyek dan pelaksanaannya;
•
Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati melalui pembentukan daerah
larangan untuk habitat-habitat yang kritis yang diakui secara internasional;
•
Jaminan bahwa pembuangan limbah tambang di dasar laut tidak diterapkan pada
proyek-proyek tambang yang dibiayai Bank Dunia;
Manajemen Bank Dunia secara tegas dan gamblang menyebutkan penolakannya
untuk memberikan kepada Masyarakat Lokal atau Masyarakat Adat apa yang disebut
“Hak Veto” terhadap investasi yang dibiayai Bank Dunia meskipun investasi tersebut
akan menimbulkan banyak dampak buruk bagi masyarakat adat dan lokal.
Selain Bank Dunia, lembaga keuangan internasional lain yang sudah cukup
dikenal di Indonesia adalah IMF. Lembaga ini terutama menjadi terkenal melalui
pemaksaan deregulasi perbankan, pengurangan subsidi sektor-sektor yang menguasai
hajat hidup orang banyak serta promosi dan pemaksaan terhadap Negara untuk
menjalankan Structural Adjustment Program (SAP). Melalui SAP pemerintah dipaksa
untuk melakukan deregulasi kebijakan. Mengapa hal ini harus dilakukan oleh pemerintah
Indonesia? Jawaban paling mudah adalah bahwa negara kita memiliki hutang yang besar
kepada lembaga-lembaga keuangan internasional, sehingga hampir tidak memiliki posisi
tawar dalam membuat atau menyepakati sebuah perjanjian dengan lembaga-lembaga
tersebut. Dengan demikian, untuk mendapatkan hutang lebih lanjut, pemerintah
Indonesia mau tak mau harus menyetujui untuk menjalankan klausul-klausul yang
ditetapkan dalam perjanjian. Antara lain adalah melaksanakan SAP dengan antara lain
melakukan deregulasi kebijakan. Implikasi paling mutakhir dari deregulasi kebijakan
adalah dikeluarkannya Perpu No. 1 thn 2004. Dengan adanya Perpu ini, maka berbagai
perusahaan pertambangan dapat meneruskan projek pertambangannya dalam kawasan
lindung tanpa haru terbentur pada UU Kehutanan No. 41 thn 1999. Jelas nampak di sini
bahwa peraturan perundangan nasional pun dikendalikan oleh kepentingan ekonomi dan
bisnis berbagai lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan-perusahaan
multinasional/transnasional.
http://www.huma.or.id
14
Kebijakan-kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security
dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia
Bentuk lain pengabaian terhadap hak masyarakat adat juga dapat dijumpai dalam
peraturan internasional tentang hak pemilikan intelektual masyarakat adat (TRIPs).
Berbagai proyek yang menggunakan kekayaan intelektual masyarakat adat sama sekali
tidak memberikan keuntungan dan manfaat apa pun bagi masyarakat adat yang menjadi
sumber pengetahuan tersebut. Kebanyakan projek pengembangan dan komersialisasi
kekayaan intelektual masyarakat adat di danai juga oleh Bank Dunia. Nilai ekonomi dari
penjualan kekayaan intelektual ini bernilai miliaran dollar per tahun, tanpa dapat
dinikmati oleh masyarakat adat. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh IWGIA, Denmark,
menunjukkan bahwa pada 1985, di negara-negara maju, nilai penjualan obat yang berasal
dari tanaman saja, yang sebagian besar diambil dari kawasan hutan tropis dalam ruang
lingkup wilayah adat berbagai komunitas, mencapai 43 miliar dollar.
Dalam sebuah tinjauan komparatif yang dilakukan oleh Forest Peoples Programme
(FPP) terhadap berbagai kebijakan lembaga donor dan agen-agen pembangunan
internasional ditunjukkan bahwa hanya sejumlah kecil saja lembaga-lembaga ini yang
memiliki kebijakan khusus yang mengedepankan persoalan kebutuhan dan hak-hak
masyarakat adat. Secara garis besar, temuan tinjauan komparatif tersebut digambarkan
sebagai berikut:
Hanya 8 agen pembangunan internasional yang memiliki kebijakan resmi
tentang masyarakat adat: EU, UNDP, Bank Dunia, ADB, Danida, DGISNetherlands, BMZ-Jerman, AECI-Spanyol. Hanya 4 dari 8 tersebut yang
memiliki kebijakan yang punya kekuatan hukum mengikat: Bank Dunia,
ADB, Danida dan BMZ. Meskipun Bank Dunia merupakan ujung tombak
dalam menetapkan aturan-aturan standard tentang masyarakat adat dan
pembangunan dalam era 80-an, saat ini ia tidak lagi menjadi teladan dalam
bidang ini. Kebijakan-kebijakannya telah ketinggalan jaman dibandingkan
dengan kemajuan dalam perkembangan penetapan standard hak
masyarakat adat dalam berbagai peraturan hukum internasiona. Di
samping Bank Dunia lembaga lain yang juga sudah ketinggalan jaman
dalam penetapan kebijakan tentang masyarakat adat adalah ADB, DGIS
dan AECI.
Semua data ini menunjukkan betapa jauhnya kepincangan yang terjadi
antara pelaksanaan peraturan hukum yang mendorong dan membela
kepentingan ekonomi dan bisnis di satu pihak dengan pelaksanaan
peraturan yang mendorong pengakuan, perlindungan dan penghormatan
terhadap keberadaan da hak-hak masyarakat adat di berbagai belahan
dunia.
Tiga Arena Bermain: Pluralisme Hukum?
Melihat gambaran di atas, dapat dikatakan secara ringkas bahwa dalam persoalan
tenure security, terdapat tiga “arena bermain”, yaitu tingkat lokal dengan segala sistem
hukumnya yang berkaitan dan mengatur tentang land tenure system setempat ; arena
nasional yang mengatur tentang sebuah sistem tenuria tingkat nasional ; dan arena
internasional atau global di mana terdapat berbagai kekuatan transnasional memainkan
peranan penting dalam mengendalikan arah tenurial system di berbagai negara-negara
berkembang khusunya. Dengan demikian tidak saja terjadi apa yang disebut sebagai
http://www.huma.or.id
15
Emil Kleden
contested resources melainkan lebih jauh dari itu telah terjadi contested paradigm. Persoalan
di tiga arena bermain tersebut tidak lagi melulu menyangkut masalah bagaimana merebut
sebuah sumberdaya melalui upaya-upaya politik hukum dan ekonomi politik, melainkan
juga menyangkut persoalan saling merebut hegemoni nilai anutan antara pihak yang satu
dengan lainnya, sementara komunitas-komunitas masyarakat adat pun berupaya sekuat
tenaga mempertahankan nilai-nilai anutan yang menjadi sumber inspirasi keberadaan
mereka. Sistem nilai adalah jantung dari persoalan contested paradigm. Di mulai dengan
pengambil-alihan tanah secara paksa dalam masa kolonial, disusul dengan penaklukan
melalui berbagai peraturan perundangan nasional, dan akhirnya dijerumuskan oleh
Negara ke dalam kancah pergulatan internasional dengan aturan main hukum
internasional berbagai komunitas masyarakat adat diuji dalam arti paling mendasar untuk
mempertahankan sistem nilai bersama sebagai sebuah masyarakat dan bukan sekedar
kumpulan individu sebagaimana dianut oleh paham pasar global. Cara pandang terhadap
alam sebagai sumber budaya dan sumber kehidupan dalam segala aspeknya adalah nilai
lain yang diuji dalam menghadapi ekonomi pasar dengan acuan utama adalah nilai
material. Dan di tengah pertarungan dua cara pandang terdapap dunia dan manusia
tersebut, Negara, dipertaruhkan keberadaannya : apakah ia mampu menjadi representasi
rakyatnya, termasuk berbagai komunitas masyarakat adat, ataukah ia justru melulu
menjadi agen bagi berbagai kekuatan global yang menghendaki sistem ekonomi pasar
mendominasi dunia dengan seluruh paradigma dasarnya. Jika Negara kemudian gagal
menjadi representasi politik dari rakyatnya sendiri, akan menjadi benarlah ramalan bahwa
suatu saat negara akan berakhir dan dunia akan dikuasai oleh imperium-imperium
kekuatan ekonomi dan bisnis global. Di situ akan menjadi ajang ujian terakhir bagi
kehidupan berbagai kelompok masyarakat adat di dunia.
Jakarta 6 Oktober 2004.
ZZYY
http://www.huma.or.id
16
Download