Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengan Jalaluddin Rakhmat Jalaluddin Rakhmat Rakhmat, Kepala SMU Plus Muthahhari Bandung. Ia pendiri sekaligus Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dan juga pendiri Islamic College for Advanced Studies (ICAS) dan Islamic Cultural Cennter (ICC) Jakarta. Ia mendapat gelar MA studi Komunikasi dan Psikologi dari Iowa State University dan gelar Doktornya dari Australian National University (ANU). 810 a 24 b Jalaluddin Rakhmat Soteriologi merupakan bagian dari pembahasan agama yang berkaitan dengan keselamatan. Setiap agama mempunyai soteriologinya masing-masing. Sementara pluralisme menegaskan bahwa semua agama berpeluang memperoleh keselamatan pada hari akhir. Namun begitu, pandangan yang mengatakan bahwa karena setiap agama selamat sehingga siapapun boleh berpindah-pindah agama sesuka hatinya adalah keliru. Itu sinkretisme, pandangan yang mencampur dan menjalankan semua agama sekaligus. Untuk itu, pluralisme pun tidak bisa hanya diotak-atik dengan logika, sebab harus dilengkapi dengan pengetahauan filsafat yang memadai, paling tidak filsafat sebagai cara berpikir. a 811 b Membela Kebebasan Beragama Terus bergulirnya kontroversi seputar paham pluralisme di negeri ini, terutama sejak MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengharamkannya, mendorong kami untuk beroleh penjelasan dari Anda bagaimana mendudukkan konsep tersebut dalam hubungannya dengan persoalan keagamaan. Jika kita mencari (search) kata pluralism dalam internet, maka akan mendapati bahwa salah satu kategori pluralisme adalah pluralisme yang dikembangkan oleh para teolog di bidang keagamaan, yakni pluralisme religius (religious pluralism). Di sana ada kalangan fundamentalis Kristen yang mengutip Alkitab untuk menolak pluralisme. Sementara itu, yang mendukung pluralisme agama juga mengemukakan argumentasiargumentasinya dengan berdasarkan Alkitab. Memang, saya kira, kalau kita mau menyebarkan pluralisme di kalangan kaum Muslim atau di kalangan umat beragama, kita harus menggunakan dalil-dalil agama. Mendukung pluralisme tanpa mengemukakan dalil-dalil agama tidak akan didengar oleh umat beragama. Membincangkan pluralisme tanpa dalil-dalil agama berarti menempatkan pluralisme sebagai kajian akademis – pluralisme di level sosiologis, misalnya, di sini pluralisme dipahami sebagai gejala sosiologis ketika masyarakat pada akhirnya berkembang menjadi masyarakat yang pluralistik. Namun begitu, pluralisme yang hendak kita bahas di sini bukan pluralisme sebagai gejala sosiologis, tapi sebagai sikap beragama. Saya kira, mengapa pluralisme kaum liberal cenderung tidak diterima oleh kaum Muslimin adalah karena mereka tidak mempunyai rujukan dalam al-Quran dan Sunnah Nabi. Kalangan Muslim akan berkata, “what are you talking about?”, kalau Anda berbicara tentang pluralisme sebagai gejala sosiologis. Sebab, Anda tidak perlu menghubungkannya dengan agama, go ahead! Jika dalam konteks tersebut Anda membincang pluralisme, barangkali saya pun tidak begitu memedulikannya. Lalu, bagaimana mengkomunikasikan bahasa yang berbeda antara kalangan fundamentalis yang menolak pluralisme, yang melandaskan diri pada alQuran, dengan kalangan pluralis, seperti Anda yang mendukung pluralisme dan juga sama-sama merujuk pada al-Quran dan Hadits? 812 ab Jalaluddin Rakhmat Saya juga tidak mengerti mengapa ada orang yang mengartikan pluralisme dengan caranya sendiri. Ada sahabat saya dari kalangan fundamentalis yang mengartikan pluralisme sebagai paham yang Saya menemukan kaum liberal di menyatakan semua agama benar; paham yang menyatakan semua Indonesia dalam beberapa hal ternyata agama sama. Saya sendiri men- anti-pluralisme. Dan saya heran mereka definsikan pluralisme sebagai mengusung pluralisme tapi pada saat paham yang menyatakan bahwa yang lain sikapnya sangat tidak pluralis. Misalnya dalam hal diskusi tentang semua agama mempunyai peluang untuk memperoleh kese- poligami di televisi. Kaum liberal dalam lamatan pada hari akhirat. Kalau diskusi tersebut sama sekali tidak bisa begitu, tidak ada cara apapun menerima pandangan kaum untuk berkomunikasi, karena, fundamentalis. Artinya, kalau kita bagaimanapun juga, kita tengah kembali kepada bahwa pluralisme berbicara tentang makhluk yang adalah soteriologi, saya menemukan lain. Jadi kalau kaum fundadalam sikap mereka bahwa kaum mentalis mengartikan pluralisme fundamentalis tidak akan selamat. dengan caranya sendiri, begitupun saya mengartikan pluralisme Mereka berpendapat seperti itu. Kaum fundamentalis dicap bodoh, dengan cara saya sendiri pula, artinya kita mempunyai definisi kampungan, dan memanipulasi alyang berbeda. Secara filosofis Quran. Ketika kaum fundamentalis tidak mungkin terjadi diskusi. berbicara mereka ribut, mereka tidak Tampaknya kalaupun kita bermau mendengarkan pendapatnya. tengkar, mungkin kita bertengMenurut saya, akhlak kaum kar tentang sesuatu yang berbeda. fundamentalis dalam acara debat di Ironisnya, perbedaan definisi itu televisi itu lebih pluralis daripada dijadikan argumen untuk kaum liberal. menentang pluralisme. Mereka menolak pluralisme karena pluralisme diartikan macam-macam. Itu menurut saya sesuatu yang menggelikan. Termasuk ketika mereka mendefinisikan pluralisme sebagai sinkreatisme misalnya? a 813 b Membela Kebebasan Beragama Ya. Jika pluralisme diartikan seperti itu jelas keliru. Kaum fundamentalis menentang pluralisme karena paham ini dianggap tidak jelas, merepresentasikan hal-hal yang berbeda. Penolakan ini tidak tepat. Apalagi jika pluralisme diartikan sebagai sinkretisme atau relativisme. Sementara kita, kalangan pluralis, membedakan antara apa itu pluralisme dengan apa yang disebut sebagai sinkretisme dan relativisme. Bahkan kita juga membedakan antara pluralisme dengan eksklusivisme. Kalau orang menentang suatu pendapat dengan mengatakan bahwa pendapat itu mempunyai definisi yang bermacam-macam, maka yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah penyamaan definisi. Berkembang pandangan mutakhir bahwa pluralisme tidak cukup dengan toleransi, tidak cukup pula hanya dengan dialog teologis, tetapi harus ada pengakuan politik (political recognition) terhadap kaum minoritas, demi menciptakan atmosfer kehidupan bersama yang harmonis dan saling peduli satu sama lain. Sedangkan Kang Jalal sepertinya mempunyai kecenderungan yang berbeda, tidak merujuk pada konsep maslahat tapi merujuk langsung kepada al-Quran sendiri. Bagaimana menurut Kang Jalal? Anda berbicara tentang pluralisme sebagai sebuah ideologi politik. Itu lain lagi. Ada political pluralism, pluralisme sebagai sebuah ideologi politik. Tadi saya menyebutkan juga pluralisme sebagai sebuah gejala sosial yang muncul dalam kehidupan modern. Sementara, dalam perbincangan ini, saya justru mengemukakan seputar pluralisme dalam kehidupan beragama (religious pluralism). Tentu kalau kita berbicara tentang political pluralism, nanti ada orang berpendapat bahwa tidak cukup pluralisme sekadar menghargai hak-hak minoritas dan mengakui kebebasan berpendapat, tetapi pluralisme juga harus memberikan kebebasan kepada orang untuk menjalankan agamanya masing-masing. Orang seperti itu sedang membawa pluralisme politik kepada pluralisme religius. Demikian pula Majelis Ulama Indonesia yang mengatakan bahwa harus dibedakan antara pluralisme dengan pluralitas. Pluralisme adalah suatu paham, sedangkan pluralitas menurut mereka adalah kemajemukan masyarakat yang memang merupakan realitas. Ungkapan seperti ini 814 ab Jalaluddin Rakhmat sebetulnya menunjukkan bahwa MUI tidak mengerti tentang pluralisme sebagai sebuah gejala sosial. Menurut saya, paham pluralisme politik juga dapat dianggap sebagai pilar demokrasi. Ini supaya tidak rancu antara satu dengan yang lain. Sebab di dalam demokrasi itu sendiri terdapat keniscayaan adanya pembelaan terhadap hak-hak minoritas. Demokrasi juga meniscayakan adanya perbedaan pendapat. Karena itu, dalam perbincangan ini saya ingin membatasi pluralisme hanya dalam konteks religious pluralism (pluralisme agama). Tolong jangan berbicara pluralisme dalam arti fenomena sosiologis (pluralisme Pluralisme adalah pandangan sosial) atau fenomena politik bahwa semua agama akan (pluralisme politik). Sebab di sini saya membincangkan tentang memperoleh keselamatan. Itu tidak pluralisme religius. Karena itu di langsung berakibat pada sini, barangkali, apa yang saya kekemudahan orang untuk mukakan tidak bisa bertemu deberpindah-pindah agama. ngan pandangan pluralismenya Pluralisme dan pindah agama Mas Dawam (Prof. Dr. Dawam adalah suatu hal yang satu sama Rahardjo). Mas Dawam tidak lain tidak sama. Untuk pindahmenginginkan pluralisme sebagai sebuah pluralisme religius. Tapi pindah agama, tidak ada urusan dengan masalah keselamatan dia mungkin lebih menekankan dalam konteks agama. political pluralism, yakni pluralisme sebagai sebuah ideologi politik. Saya ingin menekankan bahwa yang pertama kali harus diselesaikan ialah apa yang dimaksud dengan pluralisme. Baru setelah itu kita berbicara dalam definisi yang sama. Kalau tiba-tiba ada orang mengatakan bahwa pluralisme itu mempunyai arti yang bermacam-macam, saya tidak mau ikut campur Misalnya tiba-tiba Adian Husaini berkata bahwa pluralisme sama dengan sinkretisme. Jadi, menurutnya, kalau membicarakan tentang pluralisme jangan hanya wacana saja, tapi harus dipraktikkan – pagi-pagi harus salat Subuh di masjid, siang bermisa di gereja, dan sore beribadah secara Hindu di kuil. Di sini letak kekeliruannya. Dia mengartikan pluralisme secara keliru. Dia berbicara tentang ‘binatang’ yang lain, bukan a 815 b Membela Kebebasan Beragama ‘binatang’ pluralisme yang sedang kita bahas di sini. Orang membicarakan pluralisme memang seharusnya dilengkapi dengan pengetahuan filsafat yang memadai. Paling tidak filsafat sebagai cara berpikir, misalnya tentang bagaimana kita mendefinisikan istilah yang kita pergunakan. Dalam hal ini, saya sangat heran baik kepada kelompok liberal yang mendukung pluralisme maupun kepada kelompok fundamentalis yang menentang pluralisme. Karena tampaknya mereka membicarakan makhluk yang berbeda, binatang yang berbeda, sehingga antara yang satu dengan yang lain tidak bisa bertemu. Karena itu saya juga tidak heran jika Mas Dawam mengatakan bahwa debat antara kalangan fundamentalis dan pluralis yang sama-sama mengemukakan argumentasi canggih berdasarkan alQuran adalah debat kusir. Di sini barangkali Mas Dawam mengalami kebingungan. Bagaimana mungkin dua pemikiran yang berbeda mendasarkan diri kepada al-Quran, sebagai sebuah rujukan yang sama dalam memperdebatkan pluralisme. Kebingungan ini dapat diatasi kalau Mas Dawam mengetahui bahwa sesungguhnya kedua belah pihak membicarakan suatu hal yang berbeda meski tetap dalam konteks pluralisme religius. Perbedaan persepsi tentang pluralisme agama ini dapat diselesaikan, menurut saya, dengan cara kedua belah pihak sama-sama mendasarkan argumentasi kepada al-Quran dan mendefinisikan pluralisme dengan definisi yang sama. Misalnya saya mendefinisikan pluralisme sebagai sebuah paham keagamaan yang pada gilirannya tentu berpengaruh terhadap sikap beragama. Pluralisme menurut definisi saya lebih sebagai sebuah paham keagamaan yang memandang bahwa selain agama kita, yaitu pemeluk agama lain, juga akan memperoleh keselamatan. Di dalam teologi, kalau kita berbicara tentang pluralisme religius, kita harus merujuk pada apa yang disebut sebagai “soteriologi”. Soteriologi adalah bagian dari pembahasan agama yang berkaitan dengan keselamatan atau ilmu tentang keselamatan. Setiap agama selalu bercerita siapa saja orang-orang yang selamat pada hari akhirat nanti. Setiap agama mempunyai soteriologinya sendiri-sendiri. Dalam hal ini, pluralisme yang kita perbincangkan adalah pluralisme religius yang merupakan bagian dari soteriologi. Pluralisme yang membicarakan tentang siapa yang akan selamat di hari akhir nanti. Menurut kaum eksklusivis, secara soteriologis hanya kelompok mereka saja yang 816 ab Jalaluddin Rakhmat selamat. Sekali lagi kita berbicara tentang soteriologi, bukan sinkretisme. Sinkretisme itu makhluk yang lain dan tidak ada hubungannya dengan soteriologi. Meskipun, bisa jadi, ada juga kalangan pluralis yang sinkretis, sebagaimana ada juga kalangan pluralis yang ‘fundamentalis’. Karena kadang-kadang orang mempertentangkan antara fundametalis dengan pluralis. Padahal tidak demikian. Misalnya, saya kira Syeikh Husain Fadllullah adalah seorang fundamentalis, Sayyid Rasyid Ridla adalah seorang fundamentalis. Tapi secara soteriologis mereka adalah orang-orang yang pluralis. Orang seperti Mas Dawam Saya sangat heran baik kepada tidak dapat mengerti bagaimana bisa seorang fundamentalis men- kelompok liberal yang mendukung jadi pluralis. Itu karena dia mem- pluralisme maupun kepada kelompok buat kategori yang sama tentang fundamentalis yang menentang beberapa hal yang berbeda. Mem- pluralisme. Karena tampaknya mereka bandingkan fundamentalisme, membicarakan makhluk yang berbeda, pluralisme, dan sinkretisme sama binatang yang berbeda, sehingga halnya dengan membandingkan antara yang satu dengan yang lain apel, tikus, dan meja. Apa pertidak bisa bertemu. Karena itu saya bedaan apel, tikus, dan meja? juga tidak heran jika Mas Dawam Semuanya tidak ada keterhumengatakan bahwa debat antara bungan. Sebab pembandingan itu sesungguhnya merupakan pem- kalangan fundamentalis dan pluralis yang sama-sama mengemukakan bicaraan tentang sesuatu yang tidak ada hubungannya antara argumentasi canggih berdasarkan alsatu dengan yang lain. Quran adalah debat kusir. Dalam filsafat, kalau kita membuat kategori, kita harus menggunakan kriteria yang sama. Kalau kita memaknai fundamentalisme, jangan dipertentangkan dengan pluralisme, sebab fundamentalisme merupakan pengelompokan yang lain dalam kehidupan beragama. Fundamentalisme mungkin harus dipertentangkan dengan liberalisme. Itu ada kelompoknya sendiri. Fundamentalisme adalah kecenderungan untuk menggunakan rujukan-rujukan agama, utamanya teks agama, untuk menjustifikasi paham kelompoknya. Sementara liberalisme adalah kelompok yang lebih banyak merujuk kepada konteks daripada teks. a 817 b Membela Kebebasan Beragama Definisi pluralisme bisa merujuk kepada teks dan sekaligus dapat merujuk pula pada konteks. Pluralisme kaum liberal berdasarkan pada konteks; sementara pluralisme kaum fundamentalis berdasarkan teks. Karena itu tidak mengherankan jika Sayid Husein Fadllullah, tokoh spiritual Hizbullah di Lebanon, adalah seorang yang sangat pluralis. Sayyid Rasyid Ridla, yang dianggap sebagai orang yang me-Wahhabi-kan tafsirnya Muhammad Abduh, adalah seorang pluralis. Padahal, Wahhabi sangat fundamentalis. Oleh karena itu, menjadi jelas di sini bahwa Adian Husaini yang sangat Wahhabi itu anti-pluralis. Artinya, penganut paham Wahhabi itu bisa pluralis dan juga bisa anti-pluralis. Kelompok liberal juga bisa pluralis dan pada saat yang bersamaan bisa anti-pluralis. Saya menemukan kaum liberal di Indonesia dalam beberapa hal ternyata anti-pluralisme. Dan saya heran mereka mengusung pluralisme tapi pada saat yang lain sikapnya sangat tidak pluralis. Misalnya dalam hal diskusi tentang poligami di televisi. Ini sekadar contoh. Kaum liberal dalam diskusi di televisi itu sama sekali tidak bisa menerima pandangan kaum fundamentalis. Artinya, kalau kita kembali kepada bahwa pluralisme adalah soteriologi, saya menemukan dalam sikap mereka bahwa kaum fundamentalis tidak akan selamat. Mereka berpendapat seperti itu. Kaum fundamentalis dicap bodoh, kampungan, dan memanipulasi al-Quran. Ketika kaum fundamentalis berbicara mereka ribut, mereka tidak mau mendengarkan pendapatnya. Menurut saya, akhlak kaum fundamentalis dalam acara debat di televisi itu lebih pluralis daripada kaum liberal. Mereka, kalangan liberal, menganggap kaum fundamentalis pasti celaka sebab dianggap merusak Islam. Ada pandangan yang memperlawankan pluralisme dengan monisme, demi mencoba untuk mengatasi problem monisme yang rentan berbuah totaliter. Bagaimana pendapat Anda? Meskipun tidak mengambil spesialisasi filsafat, saya juga belajar filsafat. Di rumah saya, mungkin buku-buku filsafat lebih banyak ketimbang bukubuku yang lain, bahkan buku komunikasi sekalipun. Jadi kalau ada orang menyebut istilah-istilah filsafat seperti monisme, bayangan saya segera berpikir tentang monisme di dalam filsafat. Pikiran saya langsung pergi menuju Spinoza. Dan monisme Spinoza sama sekali tidak ada hubungannya 818 ab Jalaluddin Rakhmat dengan pluralisme religius yang kita bicarakan ini. Spinoza bukan seorang teolog, tapi lebih merupakan seorang filosof. Saya pernah menulis artikel “Spinoza: Ateis yang Paling Bertuhan”. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa monisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan pluralisme yang kita bicarakan. Sekali lagi, pluralisme yang kita bicarakan adalah pluralisme religius. Bukan pluralisme filsafat. Dalam filsafat, pluralisme memang dipertentangkan dengan monisme. Secara sederhana, pluralisme menganggap bahwa yang ada itu banyak dan berbeda-beda. Monisme menganggap bahwa yang ada itu hanya satu; perbedaan hanyalah penam- Saya sendiri mendefinsikan pluralisme sebagai paham yang menyatakan pakan, fase atau fenomena dari yang satu. Monisme juga diperbahwa semua agama mempunyai tentangkan dengan dualisme. peluang untuk memperoleh Dualisme membedakan antara keselamatan pada hari akhirat. tubuh dan jiwa, materi dan roh, obyek dan subyek. Pandangan filsafat yang menolak perbedaan itu atau keyakinan untuk menggabungkan segenap perbedaan pada tingkat yang lebih tinggi disebut monisme. Isaiah Berlin mencoba mempertentangkan antara pluralisme dengan monisme. Pertentangan ini ada benang merahnya sejak zaman pemikiran Plato sampai pemikiran yang mutakhir. Ada pemikiran yang cenderung pluralistis dan ada pula yang monistik. Saya kira saya harus mengutip langsung Isaiah Berlin tentang apa yang dia maksud dengan monisme sebagai lawan dari pluralisme, “Musuh pluralisme adalah monisme, kepercayaan kuno bahwa ada satu harmoni dari berbagai kebenaran, yang jika genuin, di situ semuanya pada akhirnya akan serasi.” Akibat kepercayaan ini (sesuatu yang berbeda tapi berdekatan dengan apa yang disebut Karl Popper sebagai esensialisme – yang menurutnya sumber segala kejahatan) adalah bagi orang yang tahu harus menguasai orang yang tidak tahu. Orang yang tahu jawaban tentang masalah kemanusiaan harus dipatuhi, karena mereka sajalah yang tahu bagaimana seharusnya masyarakat diorganisasikan, bagaimana kehidupan individu harus diatur, a 819 b Membela Kebebasan Beragama dan bagaimana budaya harus dikembangkan. Inilah keyakinan Platonis tentang konsep filosof-raja. Selalu ada pemikir yang berpendapat bahwa jika hanya ilmuwan, atau orang yang dilatih sebagai ilmuwan saja yang mengatur, maka dunia akan luar biasa baiknya. Untuk hal ini, saya harus mengatakan bahwa tidak ada alasan yang lebih baik, bahkan tidak ada dalil yang lebih kuat dari monisme untuk membenarkan despotisme tak terbatas bagi kaum elit untuk merampok kebebasan dari mayoritas. Apakah pertentangan itu sama sekali tidak dapat dikaitkan dengan agama, terutama cara pandang umat atas agamanya? Memang dari segi kata-kata pluralism berasal dari kata plural, yang artinya banyak (al-katsrah). Sedangkan monism asalnya berasal dari kata mono, yang artinya tunggal. Jadi di sini pluralisme artinya paham yang menghargai al-katsrah (kebhinekaan) atau ilmu dan pandangan yang menganggap alam semesta ini sebagai sesuatu yang banyak. Sedangkan monisme memandang alam semesta ini sebagai sesuatu yang tunggal. Jika ini dihubung-hubungkan dengan agama sulit menemukan relevansinya. Kalaupun dipaksakan, mungkin begini: pluralisme religius yang kita bahas adalah pandangan yang mengakui keragaman; sementara monisme adalah pandangan yang ingin menunggalkan semuanya. Seperti kebijakan asas tunggal, itu adalah bentuk dari monisme, sedangkan demokrasi adalah bentuk dari pluralisme. Tampaknya pertentangan tentang pluralisme masih berkisar pada definisi yang bermacam-macam. Sebelum kita menjernihkan apa yang kita bicarakan, diskusi ini akan menjadi debat kusir yang berkepenjangan. Saya setuju dengan Mas Dawam dalam hal itu. Selama Mas Dawam tidak merujuk dengan jelas tentang apa yang dia bicarakan, kita akan debat berkepanjangan. Kita harus mendudukkan masalahnya terlebih dahulu, apakah pluralisme sebagai filsafat, pluralisme dalam konteks agama, atau pluralisme sebagai gejala sosial. Menurut saya, masih bagus Wikipedia di internet dalam membicarakan pluralisme ketimbang perbincangan kita sekarang. Karena Wikipedia membincangkan pluralism mulai dari pluralisme itu sendiri, lalu membaginya ke dalam; religious pluralism, sociological pluralism, dan political pluralism. Kalau mau berbicara tentang pluralisme agama, tinggal kita 820 a 10 b Jalaluddin Rakhmat klik saja religious pluralism. Itu untungnya internet. Fungsi klik di sini adalah untuk membatasi pembahasan. Karena kalau dicari kata pluralisme di internet, akan disajikan sekian juta informasi tentang kata itu. Tapi kalau Anda mencari di “religious pluralism”, maka yang akan keluar hanya hal-hal yang berkenaan dengan pluralisme religius. Dan yang berkaitan dengan itu adalah inklusivisme, ekslusivisme, dan pluralisme. Wikipedia kemudian juga mengatakan, jangan mengacaukan pluralisme religius dengan sinkretisme atau relativisme, walaupun kadangkadang ada pertemuan, overlapping, misalnya bahwa pluralisme itu menolak adanya absolutisme. Oleh karena itu orang kemudian berpikir bahwa pluralisme sama dengan relativisme. Ada sebuah buku yang mengkritik pluralisme sebagaimana tertuang dalam buku John Hicks, Deep Religious Pluralism. Editornya: David Ray Griffin. Buku itu menyajikan kelemahan John Hicks dalam memFundamentalisme adalah bahas pluralisme. Kelemahannya kecenderungan untuk menggunakan misalnya tatkala Hicks membicarujukan-rujukan agama, utamanya rakan pluralisme berdasarkan dalilteks agama, untuk menjustifikasi dalil dari Bibel. Itu dikritik dengan paham kelompoknya. Sementara menggunakan dalil-dalil dari kitab yang sama, sembari kemudian liberalisme adalah kelompok yang lebih menjernihkan pengertian plubanyak merujuk kepada ralisme yang generik. Buku itu konteks daripada teks. bagus sekali dalam mebicarakan pluralisme religius, meski konteksnya adalah agama Kristen. Namun demikian di dalamnya juga terdapat pluralisme menurut Sayyed Hossein Nasr seperti dijelaskan oleh Mustafa Ruzgar; pluralisme dari kalangan Hindu oleh Jeffrey D. Long; pluralisme Yahudi oleh Sandra B Lubarsky, dan sebagainya. Buku tersebut dan buku Hicks membicarakan pluralisme dalam dataran yang sama, pluralisme sebagai makhluk yang tunggal, yakni pluralisme religius. Begitulah seharusnya membahas pluralisme religius. Di kalangan umat beragama, pluralisme dikenal dengan beberapa jenisnya. Dari kalangan Islam misalnya Sayyed Hossein Nasr, yang merupakan seorang filosof, seorang teolog, seorang perennialis, dan bukan seorang politikus. Jadi dia mempunyai otoritas untuk berbicara tentang pluralisme. 821 a 11 b Membela Kebebasan Beragama Kembali pada perbincangan tentang soteriologi, apakah dengan konsep ini kita dapat mengatakan bahwa semua agama benar, sehingga orang dapat berpindah agama dengan mudahnya? Orang membicarakan pluralisme sebagai paham semua agama benar, berarti telah membicarakan sesuatu yang lain. Karena definisi sebenarnya dari pluralisme adalah pandangan bahwa semua agama akan memperoleh keselamatan. Itu tidak langsung berakibat pada kemudahan orang untuk berpindah-pindah agama. Pluralisme dan pindah agama adalah suatu hal yang satu sama lain tidak sama. Untuk pindah-pindah agama, tidak ada urusan dengan masalah keselamatan dalam konteks agama. Bahkan, menurut saya, orang pindah agama akan terjadi kalau hanya satu saja agama yang selamat. Misalnya seorang Kristen berdiskusi dengan seorang Muslim, lalu dia menemukan dalam diskusi tersebut bahwa ternyata yang akan selamat hanya Islam, maka ia berpindah kepada Islam. Tapi kalau ia berpendirian bahwa semua agama selamat, apa perlunya berpindah agama? Itu argumentasi dari Ulil Abshar-Abdalla. Ini merupakan argumentasi yang menurut saya paling bagus yang pernah saya dengar. Argumentasi ini menolak pandangan bahwa karena setiap agama selamat maka setiap orang boleh pindah-pindah agama setiap saat. Pandangan ini nanti akan dibawa ke arah sinkretisme, yaitu pandangan yang mencampurkan semua agama atau menjalankan semua agama sekaligus karena semuanya dianggap memberi jalan keselamatan. Menurut saya, kemungkinan pindah agama lebih besar pada orang yang menentang pluralisme; yang menganggap hanya ada satu agama yang benar. Jika orang ragu bahwa yang selamat itu cuma satu agama saja, maka pilihan yang paling baik supaya probabilitas statistiknya tinggi, kita menjalankan seluruh agama. Ini dilakukan supaya paling tidak ada yang pas, yang menyampaikan kita pada keselamatan. Kalau cara bepikirnya begini, maka beragama itu seperti berjudi. Kalau kita lebih banyak membeli kartu lotere, maka kemungkinan kita akan menang lebih besar, sebab hanya satu kartu lotere saja yang menang. Maka kita pun membeli kartu lotere sebanyakbanyaknya. Lain halnya jika kita tahu bahwa semua kartu menang. Ketika kita sudah memegang satu kartu, kartu yang sudah kita punya tidak perlu diganti lagi. Jadi, sangat keliru orang yang berpikir bahwa pluralisme membuat kita boleh berpindah-pindah agama. 822 a 12 b Jalaluddin Rakhmat Ada pandangan yang mengatakan bahwa agama yang pluralis lebih tepat jika dialamatkan pada agama-agama non-Semitik, seperti Hindu, Budha, atau yang lainnya. Sebab agama Semitik, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi memiliki doktrin evangelic, seperti konsep misionaris atau dakwah, yang mengasumsikan kelompok lain harus diselamatkan dengan memeluk agamanya. Bagaimana pandangan Kang Jalal? Mungkin saja. Tapi, coba kita lihat dulu Hindu. Hindu sebetulnya bukan sebuah agama. Ia bukan a single religion (agama yang satu). Hindu merupakan a collection of religions (kumpulan agama-agama). Jadi Di dalam teologi, kalau kita berbicara kalau Islam disebut dengan Istentang pluralisme religius, kita harus lamic religion tanpa huruf “s”, merujuk pada apa yang disebut Hindu harus menggunakan huruf “s”, Hindic religions. Itu penjelasan sebagai “soteriologi”. Soteriologi adalah kepada saya dari seorang Hindu bagian dari pembahasan agama yang dalam sebuah konferensi inter- berkaitan dengan keselamatan atau nasional. ilmu tentang keselamatan. Setiap Ada banyak aliran di dalam agama selalu bercerita siapa saja Hindu. Apalagi jika kita meman- orang-orang yang selamat pada hari dang Hindu sebagai agama yang akhirat nanti. Setiap agama politeistik. Ada sekelompok mempunyai soteriologinya Hindu yang mengambil Wisnu sendiri-sendiri. sebagai Tuhan. Ada yang mengambil, bahkan, Batari Durga sebagai Tuhannya. Mereka terbiasa di dalam sistem itu, yakni sistem kepercayaan yang bermacam-macam. Bahwa semua dewa adalah ekspresi dari ketuhanan yang tunggal. Kalau dalam istilah tasawuf, semua dewa itu hanyalah tajalliyah (penampakan) dari Allah Yang Esa. Jadi melalui dewa manapun, menurut orang tasawuf, sama seperti melalui sistem (keberagamaan) manapun kita akan sampai kepada Allah. Sebagaimana sufi di dalam Islam bisa berpendapat bahwa ada manifestasi dari jamâliyah (keindahan) Tuhan dan ada manifestasi dari jalâliyah (keagungan) Tuhan, orang Hindu juga berpendapat ada manifestasi dari Wisnu dan ada pula manifestasi dari Shiwa. 823 a 13 b Membela Kebebasan Beragama Jadi, memang Hindu sudah pluralis. Tetapi harap dipahami bahwa pluralisme terdapat di dalam agama Hindu itu sendiri karena banyaknya Tuhan. Dari sini ada orang yang mengambil kesimpulan bahwa Hindu itu cenderumg pluralistik karena politeistik. Sementara agama-agama Semitik, karena sifatnya yang monoteistik, cenderung untuk eksklusivis. Saya lebih suka memakai kata eksklusivis karena dalam konteks pluralisme ada dua model cara pandang yang saling bersinggungan, yakni eksklusivisme dan inklusivisme. Bukan menghadap-hadapkan pluralisme dengan fundamentalisme. Sebab fundamentalisme merupakan kelompok yang lain, yakni satu kelompok bahasan dengan liberalisme. Kalau kita mau membincang tentang mistisisme, maka harus berbicara tentang mistisisme dan hubungannya dengan, misalnya, formalisme. Sedangkan kalau kita berbicara tentang tasawuf maka jangan hubungkan dengan pluralisme, tapi kita hubungkan dengan fikih atau kalam. Itu tiga kelompok pemikiran di dalam Islam. Di dalam fikih, ada yang pluralis dan ada pula yang eksklusivis, walaupun pada umumnya kaum sufi lebih pluralis daripada orang-orang fikih. Itu hanya akibat berikutnya saja. Kita tidak bisa mengklasifikasikan pluralisme, fikih, dan tasawuf dalam rubrik yang sama. Orang yang mempunyai kecenderungan politeistik dan mistik lebih kuat, seperti Hindu, tidak secara otomatis menjadi pluralis. Karena, ada juga Hindu yang eksklusivis, bahkan lebih eksklusif dari orang-orang yang monoteistik. Sekarang ini di India ada sekelompok Hindu yang sangat eksklusif yang sering memicu konflik dengan umat Islam. Termasuk kelompok yang anggotanya membunuh Mahatma Gandhi? Ya, termasuk yang membunuh Gandhi. Mereka juga pernah membantai kaum Muslimin. Kecenderungan eksklusif ini juga ada dalam kalangan orang yang dikenal terpelajar. Buku terakhir yang saya baca, The End of Faith, tulisan Sam Harris, mengkritik agama dengan keras. Dia menekankan perlunya agama disingkirkan dari kehidupan. Buku itu mengkritik Islam, mengkritik Hindu, dan mengkritik juga orang-orang yang beragama secara moderat. Menurut pengarang buku itu, tidak mungkin seorang yang beragama itu moderat. Dia juga mengkritik orang yang beragama secara pluralis. Baginya, beragama dan pada saat yang bersamaan menjadi pluralis, itu mustahil 824 a 14 b Jalaluddin Rakhmat alias contradictio in terminis. Meski demikian, buku itu berbicara dalam dataran yang jelas. Apa yang disebut sebagai pluralisme dia definisikan dengan gamblang. Sehingga alur pembahasannya dapat diikuti dengan enak. Jadi, kembali ke persoalan awal, tidak benar bahwa agama Hindu lebih pluralis dibanding agama lainnya. Untuk konteks agama Hindu sendiri (within Hinduism), barangkali, benar bahwa agama ini sangat pluralistik – kalau dibandingkan dengan Islam, yang mungkin karakter pluralistiknya baru pada tahap penghargaan antara mazhab saja, sebagaimana yang dilakukan oleh ahli-ahli fikih. Para ahli fikih, seperti yang sudah saya kutip dalam buku saya, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, mempunyai prinsip: Definisi pluralisme bisa merujuk kepada madzhabunâ shawâb yahtamilu teks dan sekaligus dapat merujuk pula al-khata’ wa madzhabu ghayrinâ pada konteks. Pluralisme kaum liberal khatha’ yahtamilu al-shawâb berdasarkan pada konteks sementara (mazhab kami benar tapi pluralisme kaum fundamentalis mungkin mengandung kesalahan, berdasarkan teks. dan mazhab selain kita salah tapi barangkali juga mengandung kebenaran). Menurut saya, para imam mazhab fikih sebenarnya pluralis, dalam pengertian seperti orang-orang Hindu. Dalam konteks pluralisme Kristen, terdapat eukumene, sedangkan Katolik melalui Konsili Vatikan II mengakui ada keselamatan di luar gereja. Sementara dalam konteks Islam sendiri apakah ada doktrin atau otoritas keagamaan yang menyerukan bentuk-bentuk pluralisme? Mengutip Romo Benny Susetyo, dalam sejarah Katolik pluralisme merupakan suatu hal yang baru. Terutama setelah adanya hasil dari Konsili Vatikan II yang tokoh utamanya adalah John Paul II, atau Paus Paulus II. Sebelum itu, Katolik adalah agama yang sangat tidak pluralis. Pluralisme religius yang kita bahas pada mulanya muncul di kalangan Protestan. Protestan tidak mempunyai otoritas keagamaan. Aliran dalam Protestan, menurut orang Katolik, bisa muncul setiap musim. Kapan saja seorang pemikir Kristiani menemukan pendapat yang baru, dia dapat mendirikan 825 a 15 b Membela Kebebasan Beragama sebuah gereja yang baru. Di Indonesia, yang tergabung dalam PGI saja ada lebih dari 300 aliran. Itu yang terdaftar secara resmi. Sementara masih ada beberapa aliran yang tidak terdaftar seperti Saksi Jehova (Jehovah Witness) dan sebagainya. Arus pluralisme pertama kali sebetulnya muncul dari kelompok Protestan. Sementara Katolik mempertahankan sikap antipluralisme selama berabad-abad. Protestanlah yang mulai mengarusutamakannya meskipun benih-benih pluralisme ini sudah muncul di dalam Katolik sejak lama. Menurut Romo Benny, yang membedakan Katolik dan Protestan adalah: Katolik berpijak pada tradisi sementara Protestan – karena pemikirannya lebih terbuka sehingga – tidak merujuk pada tradisitradisi. Dapatkah Anda menemukan rujukan atau preseden dalam Islam tentang adanya keselamatan di luar Islam? Nabi Muhammad saw sebetulnya sangat pluralis. Tentu Nabi tidak mengumumkan terminologi pluralisme, tapi tentang keselamatan di luar Islam. Jika kita memakai rujukan Nabi saw sebagai figur pluralis, maka kita harus mengutip teks-teks Hadits. Tidak bisa kita hanya mengotakatiknya dengan logika (otak). Apa betul Rasulullah seorang pluralis? Di sini saya harus merujuk kepada teks-teks, misalnya tentang bagaimana Nabi saw menjelaskan ayat lâ ikrâha fî al-dîn (tidak ada paksaan dalam agama). Ayat ini sangat pluralistis, namun begitu sekarang dipahami orang menjadi sangat eksklusivis. Coba sekarang kita bertanya kepada ustad-ustad kebanyakan, apa makna tidak ada paksaan dalam beragama. Mereka tentunya menjawab: ‘tidak ada paksaan dalam agama’ di sini mengisyaratkan bahwa seseorang boleh masuk Islam atau boleh tidak. Tetapi, begitu seseorang sudah masuk Islam, dia harus dipaksa. Biasanya penjelasan yang diberikan bersifat analogis bukan penjelasan logis. Misalnya tentara. Tidak ada paksaan untuk menjadi tentara. Tetapi begitu seseorang telah menjadi tentara, dia harus mematuhi semua aturan militer. Dia harus dipaksa untuk mematuhi hukum ketentaraan. Itu penafsiran analogis atas ayat “tidak ada paksaan dalam agama.” Tapi bagaimana Nabi saw menjelaskan ayat itu dalam teks dan konteks waktu itu? 826 a 16 b Jalaluddin Rakhmat Meskipun kita tidak dapat menunjuk siapa orang yang pertama kali memopulerkan istilah pluralisme di dunia Islam, tapi yang jelas praktik pluralisme sudah berjalan sejak zaman Rasulullah saw. Sayyid Rasyid Ridla di dalam tafsirnya menjelaskannya dengan baik bagaimana beliau bersikap dan mempraktikkan pluralisme ini. Sayyid Rasyid Ridla menyebutkan beberapa riwayat. Pertama, ada seseorang Sahabat bernama Abul Hushayn. Dia mempunyai dua orang anak yang salah satunya bernama Hushayn. Abul Hushayn sedih dan marah melihat dua anaknya yang masih mudamuda itu masuk agama Kristen. Mereka masuk Kristen karena Kalau kita mau membincang tentang pada waktu itu banyak pedagang mistisisme, maka harus berbicara Kristen dari Syam ke Madinah. Kedua anak Abul Hushayn meng- tentang mistisisme dan hubungannya dengan, misalnya, formalisme. ikuti agama para pedagang itu. Sedangkan kalau kita berbicara Bapak yang merupakan Sahabat tentang tasawuf maka jangan Nabi ini kemudian membawa anaknya ke hadapan Rasulullah, hubungkan dengan pluralisme, tapi “Ya Rasulullah, anak saya ini pinkita hubungkan dengan fikih atau dah agama. Saya tidak mau anak kalam. Itu tiga kelompok pemikiran di saya masuk neraka.” Kalimat “ma- dalam Islam. Di dalam fikih, ada yang suk neraka” mengasumsikan ada- pluralis dan ada pula yang ekslusivis, nya konsep soteriologi bahwa walaupun pada umumnya kaum sufi anaknya tidak selamat. Apa jalebih pluralis daripada orang-orang waban Nabi saw mendengar laporan ini? Rasulullah berkata, fikih. Itu hanya akibat berikutnya saja. Kita tidak bisa mengklasifikasikan “Biarkan dia memeluk agama itu.” Setelah itu, ayat yang berbunyi lâ pluralisme, fikih, dan tasawuf dalam rubrik yang sama. ikrâha fî al-dîn (tidak ada paksaan dalam beragama) itu turun. Kedua, riwayat lain mengatakan bahwa kata lâ ikrâha fî al-dîn telah digunakan setelah Nabi saw hijrah ke Madinah. Kisahnya, pada waktu itu banyak orang Madinah yang sering menitipkan anaknya, terutama yang sakit-sakitan, kepada orang-orang Yahudi. Anak-anak itu pun tumbuh berkembang bersama orang Yahudi. Mungkin karena gizinya lebih baik, pertumbuhan mereka lebih sehat dan 827 a 17 b Membela Kebebasan Beragama kemudian mengikuti agama pengasuhnya yang nota bene orang Yahudi. Mereka pun menjadi (beragama) Yahudi. Ketika orang-orang Madinah masuk Islam dan Rasulullah datang ke Madinah, mereka bertanya kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah, anak-anak kami menjadi Yahudi semua. Mereka belum mengetahui tentang kebenaran Islam ini. Bolehkah kami memaksa mereka untuk masuk Islam?” Rasulullah menjawab, “Tidak boleh. Biarlah mereka memilih agama yang disukainya.” Riwayat ini menunjukkan bahwa praktik pluralisme telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. Kalau dalam riwayat tersebut Nabi saw hendak menyelamatkan orang, tentu beliau akan memaksa anak-anak itu untuk masuk surga dengan memeluk Islam. Lalu Nabi Muhammad saw mengutip ayat lâ ikrâha fî al-dîn itu. Jadi kalau saya ditanya, kapan saya menemukan teks yang mendakwahkan pluralisme, maka paling tidak teks yang paling pertama sekali saya temukan, adalah teks-teks (riwayat-riwayat) yang tadi saya sebutkan. Rujukan kita tentu bukan konsili-konsili atau muktamar-muktamar yang dilakukan oleh umat Islam. Sebab muktamar di dunia Islam tidak mempunyai pengaruh apa-apa dalam menetukan paham agama. Ia juga tidak memiliki potensi untuk menentukan mana yang benar atau mana yang salah. Sebetulnya Islam lebih mirip Protestan daripada Katolik. Artinya, kita beragama tanpa berpegang kepada pernyataan-pernyataan personal atau lembaga tertentu. Di sini harus dikecualikan Syi’ah. Dalam Syi’ah orang harus merujuk pada pernyataan-pernyataan dari para marja‘ taklid yang mendukung pluralisme. Dalam hal ini saya bisa langsung menyebut Sayid Husein Fadhlullah (tokoh spiritual Libanon), yang dalam tafsirnya Min Wahy al-Qur’ân, Sayid Ali Khamenei yang merupakan Wali Faqih dari Republik Islam Iran, dan sebagainya. Ada buku yang diterbitkan oleh Al-Huda berjudul “Menggugat Pluralisme” yang ditulis oleh seorang ulama terkemuka Syi’ah. Dia mengkritik pluralisme John Hicks. Bagusnya, ketika dia membicarakan pluralisme yang sama dengan pluralisme yang dibahas oleh Hicks, misalnya tentang teori keselamatan, ia tidak melantur ke sana ke mari. Tapi dia berupaya mengkritik pluralisme model Hicks. Meskipun buku tersebut anti-pluralisme, bagusnya, dia melampirkan pidato Sayid Ali Khamenei di akhir buku tersebut. Padahal Sayid Ali 828 a 18 b Jalaluddin Rakhmat Khamenei merupakan tokoh yang berbicara dengan sangat soterelogis di buku itu. Dia tidak bicara bahwa semua agama benar. Sebab itu bukan definisi pluralisme. Dia berkata bahwa keselamatan tidak dibatasi pada agama tertentu, bangsa tertentu, dan wilayah tertentu. Itu artinya, Sayid Ali Khamenei mengerti tentang pluralisme. Bahwa pluralisme adalah masalah soteriologis atau masalah keselamatan. Lampiran itu menurut saya sudah cukup sebagai pernyataan resmi dari pemegang otaritas agama Islam, dalam hal ini Syi’ah. Wawancara dilakukan di Jakarta, Maret 2007 829 a 19 b