1 PERAN KEPEMIMPINAN PENGETAHUAN (KNOWLEDGE LEADERSHIP) DALAM MANAJEMEN PENGETAHUAN Sri Raharso Lektor Kepala di Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung Abstract Firm’s ability to recognize and manage organizational knowledge will be the single most important determinant of firm survival. Knowledge has become a key corporate resource and the necessity to manage that resource has become crucial. The difficulty of managing this resource has made it a critical leadership role. Effective leadership is the new bottom line of organizations and this is defined by how well organizations learn. How leaders should lead and how they actually do lead, however, have only been partially investigated. A competent leader is critical first step establishing an effective in knowledge management initiative as the leader plays an important role in obtaining top management and budgetary supports and in building technology infrastructure to accomplish knowledge management goals. Further, knowledge management assumes greater importance during its initial implementation phase. Effective knowledge leadership is a prerequisite to implementing a knowledge management initiative. Furthermore, it is explained how knowledge management is manifested in the activity of the leaders. From a leadership perspective, it is critical to ensure that knowledge management investments result in promoting collaborative culture both at individual and organizational levels to encourage knowledge sharing for better decision making and innovation. Ultimately, the purpose of knowledge management is to leverage knowledge in order to improve organizational performance internally and externally. Based on literature review, the most central dimensions of knowledge leadership are orienteering learning, creating climate that supports learning, supporting learning process at group and individual level, and being a role model. Keywords: knowledge, leadership, knowledge leadership PENDAHULUAN Dalam Knowledge Society, Drucker (1993 dalam Sarabia, 2007) mereferensikan munculnya ekonomi baru, dimana pengetahuan merupakan sumber daya yang tidak tergantikan agar organisasi bisa survive. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila manajemen pengetahuan (knowledge management) telah menjadi topik kritis dalam manajemen selama dekade terakhir ini (Viitala, 2004). Banyak organisasi mulai mengelola pengetahuan organisasi, sebab pengetahuan dikenali sebagai sumber daya penting dalam memperoleh sustaining competitive advantage (Heeseok & Byounggu, 2003; Sharp, 2003; DeTienne & Jackson, 2001; Staples et. al., 2001; Meso & Smith, 2000). Menurut Civi (2000) pengetahuan 2 memiliki nilai strategis, melebihi brand name dan aset fisik. Tapscott (1996) berpendapat, modal hanyalah fungsi dari pengetahuan. Kim dan Mauborgne (2001) selanjutnya menyatakan bahwa penggunaan pengetahuan secara sistematis akan menstransformasi pengetahuan menjadi infinite economic goods yang mampu menghasilkan kenaikan returns. Lebih mendasar dari semua itu, apabila ditinjau dari perspektif teori resource-based, pengetahuan merupakan inimitable firm heterogeneity yang penting agar organisasi bisa tumbuh dan survive (Barney, 1986; Lippman & Rumelt, 1982; Peteraf, 1993). Hal tersebut bisa terjadi karena pengetahuan merupakan sumber daya/kapabilitas unik yang memenuhi kondisi sebagai berikut: secara heterogen terdistribusi dalam industri; tidak mungkin dibeli atau dijual dalam pasar yang ada, minimal sebesar marginal value-nya; dan sulit atau memerlukan biaya untuk mereplikasinya (Barney, 1986; Henderson & Cockburn, 1994; Peteraf, 1993). Adopsi manajemen pengetahuan dalam dunia bisnis sejalan dengan pernyataan Ikujiro Nonaka (1991) dalam artikelnya "The Knowledge-Creating Company," yang muncul di Harvard Business Review, yaitu: "In an economy where the only certainty is uncertainty, the one sure source of lasting competitive advantage is knowledge." Hal yang sama juga dinyatakan oleh Rastogi (2000) dan Birkinshaw (2001). Arie de Geus dalam Harvard Business Review tahun 1988 menyatakan bahwa “Satu-satunya sumber keunggulan kompetitif yang bertahan adalah kemampuan relatif organisasi untuk belajar lebih cepat daripada pesaingnya” (dalam Senge, 2006). Senge (1996) menyatakan bahwa kinerja superior sebuah organisasi sangat ditentukan oleh pembelajaran yang superior pula. Pembelajaran tersebut terjadi dalam organizational learning. Menurut Meso dan Smith (2000, juga Nonaka, 1991; Quinn et al., 1996) organizational learning merupakan wahana bagi pengetahuan tasit untuk diartikulasikan ke pengetahuan eksplisit dan wahana pengetahuan eksplisit untuk internalisasikan ke dalam pengetahuan tasit. Proses artikulasi dan internalisasi tersebut bersifat iteratif (Nonaka, 1991) dan akan menghasilkan pengetahuan baru yang akan diberdayakan untuk menghasilkan inovasi yang berkelanjutan. Padahal, inovasi merupakan kunci penting untuk memperoleh sukses dalam jangka panjang dalam pasar yang sangat 3 kompetitif (Baker & Sinkula, 2002 dalam Jimenez-Jimenez et al., 2008). Logikanya, perusahaan yang inovatif akan bisa merespon lebih cepat dan lebih baik terhadap tantangan lingkungan yang turbulen dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki kapasitas untuk berinovasi (Jimenez-Jimenez et al., 2008). Outcome-nya, perusahaan yang selalu berinovasi akan menjadi perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif yang langgeng (Meso dan Smith, 2000). Sebuah studi yang dilakukan oleh Anantatmula (2005) untuk menilai implementasi manajemen pengetahuan, meliputi 147 organisasi di 21 negara, ternyata temuannya adalah: adopsi manajemen pengetahuan mampu meningkatkan komunikasi yang bisa mempertinggi kolaborasi, meningkatkan keterampilan pekerja, pembuatan keputusan yang lebih baik, serta meningkatkan produktivitas. Studi lainnya, dengan menggunakan interpretive structural modeling; oleh Anantatmula dan Kanungo (2006), memperlihatkan bahwa peningkatan kolaborasi merupakan pengungkit keterampilan pekerja dalam konteks pembuatan keputusan yang akan meningkatkan produktivitas dan kualitas. Prinsipnya, kriteria manajemen pengetahuan harus dipandu oleh tujuan-tujuan organisasi dan hasil mendasar; seperti kinerja bisnis dan profitability. Bagaimanapun, hasil riset yang diperoleh dari munculnya manajemen pengetahuan semuanya bersifat soft measures. Artinya, hasil manajemen pengetahuan tidak langsung bertautan dengan hasil akhir. Hasil ini juga mengimplikasikan bahwa outcome manajemen pengetahuan adalah sulit untuk diukur. Selanjutnya, semua hasil tersebut adalah faktor-faktor yang people-related, dengan penekanan pada arti penting dari peran kepemimpinan pengetahuan (Anantatmula, 2008). Sampai saat ini, diskusi tentang manajemen pengetahuan biasanya hanya berkisar pada tingkatan organisasi, seperti kompetensi inti (core competence) dan strategi bisnis atau masalah struktur dan sistem organisasi. Hal tersebut dapat dipahami karena fokus dari manajemen adalah isu-isu bisnis, sedangkan topik kepemimpinan cenderung lebih dikonsentrasikan pada isu-isu orang ( Bass, 1990; Bennis, 1979, 1989; Kotter, 1982, 1990 dalam Viitala, 2004). Walaupun dua konsep tersebut sebenarnya tidak mudah untuk dipisahkan, keduanya merupakan konsep yang kritis dalam organisasi. Perbedaan-perbedaan yang sulit dipisahkan mengenai makna 4 dari konsep tersebut selanjutnya menjadi sesuatu yang penting untuk dicatat, untuk dicermati (Viitala, 2004). Pengertian yang paripurna dari dua konsep tersebut akan bermanfaat dalam mengelola organisasi agar lebih efektif dan efisien. Beberapa dekade yang lalu, Carlsson et at. (1979 dalam Viitala, 2004) telah menyatakan bahwa ketika organisasi dipandang sebagai sistem pembelajaran, maka peran manajer dapat dilihat sebagai salah satu penyedia kepemimpinan dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, tidak banyak diskusi mengenai manajemen pengetahuan yang membahas isu-isu kepemimpinan ( Dirkx, 1999 dalam Viitala, 2004). Masih banyak debat diantara para praktisi dan akademisi tentang peran dan definisi dari pemimpin dalam mengelola pengetahuan (Prewitt, 2003). Skyrme (2000 dalam Viitala, 2004) mungkin orang yang menggunakan ekspresi “knowledge leadership” dan mengusulkan knowledge leadership (kepemimpinan pengetahuan) yang merujuk pada pengembangan dan inovasi kontinyu – dari sumber-sumber informasi, keterampilan dan pengetahuan individual, serta learning networks. Sayangnya, dia tidak mengelaborasi lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan perilaku pemimpin. Jadi, merupakan hal yang sangat kritis apabila perilaku pemimpin dalam manajemen pengetahuan bisa diidentifikasi. Beberapa perusahaan besar memang telah memiliki seorang CKO (chief knowledge officer). Menurut Natarajan dan Shekhar (2001), mereka adalah seorang “knowledge evangelist”. Selanjutnya, Oliver dan Kandadi (2006) menyatakan bahwa para pemimpin bisnis pada level CEO harus secara aktif terlibat dalam proses sosialisasi nilai-nilai dari program manajemen pengetahuan kepada seluruh organisasi. Akan tetapi fungsi dari CKO tentu saja juga harus dimiliki oleh manajer departemen yang lain dan apa saja yang harus dilakukan oleh fungsi tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila peran dari seorang CKO masih diperdebatkan secara luas (Natarajan dan Shekhar, 2001). Selain itu, kepercayaan umum tahun 1980 dan 1990-an bahwa organisasi membutuhkan hanya satu pemimpin pengetahuan agar proses-proses pekerjaan berjalan lancar ternyata tidak lagi sesuai untuk dunia bisnis di abad 21 ini (Singh, 2008). Lebih jauh lagi, bahkan McGill (2006) mengatakan ekonomi berbasis pengetahuan membutuhkan kepemimpinan dalam bentuk yang baru. Hal tersebut akan terjadi kalau kepemimpinan didasari oleh kepemimpinan kelompok 5 kolaboratif yang dinamis, bukan kekuatan konvensional dari dari seorang individu. Kepemimpinan tidak lagi privilege dari para elit atau para eksekutif perusahaan. Pergeseran peran pengetahuan sebagai aset pencipta kesejahteraan membutuhkan pendekatan kepemimpinan yang lebih baik (Schwikkard & du Toit, 2004). Situasi yang berbeda harus diselesaikan dengan cara yang berbeda. Cara-cara lama harus ditinggalkan (unlearning) untuk menyelesaikan masalah-masalah baru perusahaan. Untuk itu, para pemimpin harus lebih fokus pada pengetahuan dan menolong para pekerja untuk melakukan hal yang sama. Para pemimpin dibayar untuk berpikir, tidak sekedar menyibukkan diri. Kepemimpinan adalah fondasi dari organisasi berbasis pengetahuan (Collins, 2005). KEPEMIMPINAN DAN PENGUNGKIT MANAJEMEN PENGETAHUAN Peran kepemimpinan dalam mengelola pengetahuan dalam organisasi telah secara rasional digarisbawahi oleh Cleveland (1985 dalam Singh, bukunya, The Knowledge Executive. 2008) dalam Cleveland menekankan pada kebutuhan penggunaan tim, komunitas orang, dan jaringan kerja sebagai peran dari pemimpin dalam mengelola informasi dan pengetahuan. Peran pemimpin dalam mengelola informasi dan pengetahuan dapat dicapai melalui dua rute, yaitu: teknologi dan jaringan kerja sosial (social networks). Studi Wetlaufer (1999 dalam Singh, 2008) berhasil mengobservasi tingkat kepentingan dari pelanggan internal dan peran dari para pemimpin dalam mengelola informasi ke dan dalam konteks pelanggan internal. Dengan demikian, tradisi yang panjang dari teori dan riset kepemimpinan tidak memberikan gambaran yang jelas terhadap peran para pemimpin dalam mengelola informasi dan pengetahuan, meskipun dua hal tersebut memiliki arti penting bagi organisasi (Davenport et al., 1998; Hansen et al., 1999 dalam Singh, 2008). Dengan demikian, studi mengenai peran pemimpin dalam mengelola informasi dan pengetahuan akan memberi nilai yang penting dalam mengsisi kekosongan yang ada dalam literatur kepemimpinan kontemporer (Singh, 2008). Anantatmula dan Kanungo (2007) membuat studi tentang identifikasi faktorfaktor dan model yang memungkinkan suksesnya implementasi manajemen 6 pengetahuan. Temuannya, ada tiga belas faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan manajemen pengetahuan, yaitu: fokus strategik, kepemimpinan, dukungan pimpinan tertinggi, budaya, keterlibatan pemimpin tertinggi, pengukuran hasil-hasil, infrastruktur teknologi, standar praktik-praktik manajemen pengetahuan, kualitas isi, kolaborasi, formalisasi, komunikasi, dan dukungan anggaran (Gambar 1). Meskipun studi literatur telah menolong dalam mengidentifikasi faktor-faktor penting dari kesuksesan manajemen pengetahuan, pemahaman bagaimana faktorfaktor tersebut berinteraksi dan saling mempengaruhi perlu dipertimbangkan untuk membangun metode dan strategi agar implementasi manajemen pengetahuan sukses. Gambar 1 memperlihatkan bahwa keterlibatan top management, kepemimpinan manajemen pengetahuan, dan budaya organisasi adalah faktor pengendali utama dimana organisasi bisa membangun upaya manajemen pengetahuan yang sukses. Dengan keterlibatan top management, inisiatif manajemen pengetahuan akan mendapatkan dukungan dan partisipasi aktif dari eksekutif senior organisasi. Selain itu, keterlibatan top management juga memastikan bahwa inisiatif manajemen pengetahuan akan menjadi fokus strategik. Berikutnya, kepemimpinan pengetahuan yang kompeten dari inisiatif manajemen pengetahuan, dikombinasikan dengan dukungan dari top management akan mengarahkan pada dukungan anggaran. Dukungan anggaran akan membantu dalam pengembangan infrastruktur teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk membagi dan menyimpan pengetahuan (Anantatmula, 2008). Konsep menyimpan pengetahuan memiliki arti yang strategis, sebab berdasarkan catatan tentang apa yang pernah dilakukan di masa lampau, perusahaan bisa mendapatkan banyak pelajaran. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dalam perspektif manajemen pengetahuan, konsep tersebut diberi label sebagai “corporate memory” yang merujuk pada bagaimana organisasi belajar dari apa yang telah terjadi, bagaimana mereka menolak reinventing wheels, dan bagaimana mereka membangun berdasarkan praktik-praktik terbaik (Sutcliffe, 2003). Berdasarkan hasil studi Ho dan Frappaola (dalam Lahaie, 2005), pengetahuan total perusahaan umumnya tersimpan dalam empat kategori: dokumen kertas (26%), dokumen elektronik (20%), basis pengetahuan elektronik (12%), dan dalam otak para staf (42%). 7 Sumber: Anantatmula, 2008 Gambar 1. Model Pengungkit Manajemen Pengetahuan Kepemimpinan, budaya, dan keterlibatan top management dipertimbangkan sebagai satu set keniscayaan (givens). Artinya, setiap organisasi pasti memiliki tiga aspek tersebut, yang membedakannya adalah tingkatannya. Dengan perkataan lain, kepemimpinan, keterlibatan top management, dan budaya merupakan variabel bebas. Selanjutnya, kepemimpinan manajemen pengetahuan yang efektif akan mempengaruhi dua variabel bebas lainnya, sekalipun hanya secara tidak langsung, sampai taraf tertentu. Kepemimpinan manajemen pengetahuan yang capable menyiratkan adanya dukungan top management serta akan mempengaruhi setting dan formasi budaya organisasi. Dalam hal ini, kepemimpinan tersebut akan menciptakan budaya pengetahuan (knowledge culture) yang akan menjadi embrio bagi terbentuknya organisasi pembelajar. Seperti yang dikatakan oleh Senge (1996), banyak orang yang membicarakan arti penting organisasi pembelajar dalam meraih keunggulan kompetitif yang langgeng. Paradoksnya, banyak yang tidak membentuk jenis organisasi tersebut. Mengapa? Karena, tidak ada kepemimpinan yang bisa mengarahkan kepada terbentuknya organisasi pembelajar. Jadi, kepemimpinan pengetahuan akan menyebarkan virus “budaya pengetahuan” yang berfungsi dalam memaksimalkan return dari semua aset yang dimiliki oleh perusahaan. Aset terakhir yang belum dieksploitasi adalah pengetahuan 8 yang menempel pada individu dan tim yang ada dalam organisasi. Budaya pengetahuan tersebut akan membuka potensi yang terkunci dalam aset pengetahuan (Banks, 1999). Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) budaya didefinisikan sebagai bagaimana orang-orang yang ada dalam organisasi diidentifikasi, dan bagaimana organisasi belajar dari dari masalah-masalah yang terkini. “From previous organizations we acquire knowledge in culture form” kata Nonaka dan Takeuchi (1995). Menurut Delong dan Fahey (2000 dalam Sarabia, 2007), relasi antara budaya dan pembelajaran organisasi dapat diidentifikasi dalam: budaya mendefinisikan pengetahuan apa yang dibutuhkan; relasi antara tingkatan pengetahuan organisasi dan individu membutuhkan budaya agar relasi tersebut tetap hidup; konteks interaksi sosial dimana pembelajaran diperlukan dibentuk melalui budaya; serta wujud-wujud perilaku budaya yang merintangi adanya adopsi terhadap pengetahuan baru. Oleh karena itu, Davenport dan Prusak (2000) menyarankan organisasi agar secara cermat memahami budaya yang ada sebelum mengadopsi manajemen pengetahuan. Para peneliti dan praktisi juga mencatat arti penting budaya dan menegaskan bahwa budaya organisasi merupakan titik penting dari program manajemen pengetahuan (Krogh et al., 2000; Nonaka dan Takeuchi, 1995; Rastogi, 2000). Tujuan-tujuan yang terletak pada layer teratas, yaitu kolaborasi, content quality, pengukuran dari hasil-hasil, dan fokus strategik adalah tujuan-tujuan dari manajemen pengetahuan. Dengan perkataan lain, layer tersebut adalah akhir dari upaya manajemen pengetahuan. Jelasnya, kepemimpinan memainkan peran penting dalam mempertemukan tujuan-tujuan secara sukses. Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang fokus pada mengerjakan sesuatu yang benar, bukan seperti para manajer projek yang lebih fokus pada mengerjakan sesuatu dengan cara yang benar (Verma, 1996). Kepemimpinan dapat dilihat sebagai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar menyesuaikan tujuan-tujuan mereka dengan tujuan-tujuan dari pemimpin (Liu dan Fang, 2006). Layer di bawah tujuan manajemen pengetahuan, merupakan elemen-elemen yang bisa dikendalikan, dimanipulasi, atau dikembangkan untuk membentuk link 9 antara elemen givens dan elemen tujuan. Komunikasi, infrastruktur teknologi, prosesproses standar, budaya, dukungan anggaran, dan formalisasi adalah aspek-aspek yang dapat dirubah, ditingkatkan, atau dikurangi dalam rangka mencapai tujuan. Akan tetapi, faktor-faktor pengungkit tersebut juga bisa menjadi penghalang. Contohnya, kepemimpinan manajemen pengetahuan yang kuat dan efektif mengarahkan pada dukungan anggaran dan formalisasi. Sebaliknya, kepemimpinan manajemen pengetahuan yang lemah akan mengurangi dukungan anggaran dan proses formalisasi manajemen pengetahuan. Dengan demikian, memilih pemimpin yang kompeten dan memiliki komitmen akan memainkan peran penting dalam mengamankan dana-dana dan membangun infrastruktur teknologi untuk mencapai tujuan dan sasaran manajemen pengetahuan (Anantatmula, 2008). KEPEMIMPINAN Lazimnya, kepemimpinan muncul diantara orang dan organisasi (Chang & Lee, 2007). Secara sederhana, kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain (Bethel, 1990 dalam Chang & Lee, 2007). Bohn dan Grafton (2002 dalam Chang & Lee, 2007) menyatakan bahwa kepemimpinan berarti sebuah jalan untuk menciptakan visi yang jernih, memilih anak buah yang memiliki rasa percaya diri, yang dicipta melalui koordinasi dan komunikasi. Popper dan Lipshitz (2000 dalam Chang & Lee, 2007) membuktikan bahwa kepemimpinan adalah faktor yang mempengaruhi organisasi pembelajar. Pemimpin dapat menciptakan struktur organisasi dan membentuk budaya organisasi untuk menghasilkan dalam mempengaruhi melalui berbagai macam urusan, tindakan, dan layanan; dengan demikian kepemimpinan secara aktual mempengaruhi organisasi pembelajar. Senge (1996) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terhadap terbentuknya organisasi pembelajar. Jadi, kita bisa mengetahui bahwa kepemimpinan dan organisasi pembelajar sangat berkorelasi dan kepemimpinan juga dapat meningkatkan proses dan hasil dari dari aktivitas organisasi pembelajar (Chang & Lee, 2007). Kepemimpinan menjadi faktor kritis dalam mempengaruhi organisasi pembelajar. Pemimpin dapat meningkatkan kapabilitas organisasi pembelajar dengan cara mengalirkan visi mereka dan mencipta kesempatan 10 untuk belajar bagi para staf seperti halnya meningkatkan kapasitas organisasi untuk belajar (Edmondson, 2002; Gilley dan Maycunich, 2000). Empat pendekatan untuk menguji pemimpin dan kepemimpinan, disebut sebagai pendekatan trait; pendekatan behavior; pendekatan kontingensi; dan pendekatan transformasional serta kharismatik (Yukl, 1989) hanya memberi sedikit penekanan pada aspek kepemimpinan terhadap manajemen informasi dan manajemen pengetahuan. Beberapa komponen tertentu dari pendekatan tersebut menyiratkan peran dari pemimpin dalam manajemen pengetahuan tetapi tidak mencukupi dalam pengujian manajemen pengetahuan secara sistematik. Pendekatan trait tidak mengidentifikasi pengetahuan bisnis (sebuah komponen dari manajemen pengetahuan) sebagai sebuah kualitas esensial dari pemimpin yang efektif (Kirpatrick & Locke, 1991). Padahal, pengetahuan adalah sumber daya yang melekat pada staf organisasi yang otoritas pengelolaannya ada pada seorang pemimpin. Kalau pemimpin tidak bisa mengelola pengetahuan tasit dan eksplisit yang ada pada staf, maka sumber daya tersebut akan menguap begitu saja. Pendekatan kedua dan ketiga, pendekatan behavioral dan kontingensi terhadap studi kepemimpinan menyarankan bahwa pencarian dan akuisis pengetahuan serta penggunaan pengetahuan (Fleishman et al., 1991) merupakan dimensi inti dari perilaku pemimpin yang memiliki pengaruh pada kinerja. Lebih dari itu, persyaratanpersyaratan situasional dari informasi dan pengetahuan juga menjadi kunci kontingensi yang berpengaruh pada perilaku pemimpin (Vroom & Jago, 1988). Perilaku pemimpin dalam memfasilitasi keberadaan dan ketersediaan yang dibutuhkan oleh informasi dan pengetahuan melalui proses-proses tertentu seperti manajemen pengetahuan dapat memainkan peran signifikan dalam mempengaruhi efektivitas organisasi. Pendekatan keempat. Pendekatan karismatik berimplikasi bahwa akuisisi dan analisis informasi memainkan peran dalam mengembangkan visi organisasi (Kotter, 1990). Lebih penting lagi, proses manajemen pengetahuan mungkin lebih sistematik daripada mekanisme pesona karismatik dalam memperoleh visi bersama di organisasi pada basis keluasan organisasi. Dengan demikian, literatur menunjukkan arti penting 11 dari pengujian proses-proses melalui pemimpin yang mengelola pengetahuan dalam organisasi mereka untuk mendapatkan keunggulan kompetitif (Anantatmula, 2008). Tradisi yang panjang dari riset dan teori kepemimpinan tradisional tidak meletakkan peran dari para pemimpin dalam mengelola informasi dan pengetahuan, meskipun peran tersebut sangat penting bagi organisasi (contoh: Davenport et al., 1998; Hansen et al., 1999). Konsekuensinya informasi dan manajemen pengetahuan sebagai fungsi kunci seorang pemimpin belum dieksplorasi (Bell De Tienne et al., 2004; Bryant, 2003; Lakshman, 2005a; Politis, 2001) sampai saat ini. Tumbuhnya literatur dalam informasi dan manajemen pengetahuan juga mengulang hal yang sama, dimana kurang adanya dukungan dari para pemimpin menyebabkan kegagalan dari banyak projek manajemen pengetahuan. demikian, Dengan integrasi antara literatur kepemimpinan dan literatur informasi serta manajemen pengetahuan memiliki potensi yang besar dan sepertinya akan bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis (Bryan, 2003 dalam Anantatmula, 2008). Meskipun literatur yang membahas fungsi dari top manager telah diidentifikasi dan menekankan pada peran penting top manager dalam informasi (Mintzberg, 1973; Geletkanycz dan Hambrick, 1997), dan pentingnya informasi pada pembentukkan sebuah visi (Kotter, 1990); tapi usaha-usaha tersebut tidak fokus pada manajemen informasi atau manajemen pengetahuan sebagai sebuah peran kunci kepemimpinan (Bell De Tienne et al., 2004; Bryant, 2003; Lakshman, 2005a; Politis, 2001; Viitala, 2004). Sebagai tambahan, meskipun beberapa pendekatan taksonomi pada penjelasan perilaku pemimpin telah difokuskan dan berisi pencarian dan akuisisi informasi, serta informasi yang digunakan dalam perilaku penyelesaian masalah oleh para pemimpin (misal: Fleishman et al., 1991), hasil kerja tersebut masih berada pada tahap awal dan memerlukan pengembangan lebih jauh lagi (Bell De Tienne et al., 2004; Bryant, 2003; Kets de Vries, 2005; Lakshman, 2005a; Viitala, 2004). Hanya hasil kerja dari Day dan Lord (1988) serta Lord dan Maher (1991) yang berhasil mengidentifikasi desain dan membangun sistem informasi sebagai sebuah aktivitas kunci pemimpin dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi (Anantatmula, 2008). 12 Meskipun upaya-upaya awal telah menampakkan hasilnya, riset yang sistematis tentang peran pemimpin dalam manajemen informasi dan manajemen pengetahuan masih sedikit (Anantatmula, 2008). Oleh karena itu, riset dalam kepemimpinan pengetahuan merupakan area yang sangat menantang. TANTANGAN BARU UNTUK PARA PEMIMPIN Selama dekade terakhir, diskusi tentang penentu dari organisasi yang sukses terkonsentrasi pada kemampuan organisasi dalam memperbarui, belajar, dan berinovasi. Pertama, riset telah difokuskan pada fitur dari organisasi pembelajar (Garvin, 1993; Huber, 1991; Pedler et al., 1991; Senge, 1990a, b; Woolner, 1992), yang menekankan pada pentingnya tujuan-tujuan dari para manajer ketika mengembangkan organisasi yang mereka pimpin. Kedua, proses-proses dari organisasi pembelajar (Argyris, 1977; Argyris and Schön, 1978; Huber, 1991) dan kreasi pengetahuan baru yang telah dideskripsikan (Crossan et al., 1999; Nonaka, 1994; Nonaka dan Tackeuchi, 1995), yang mengelaborasi lebih jauh pada jenis-jenis proses dimana para manajer harus terlibat dan bertanggung jawab. Ketiga, literatur telah menemukan urgensi dari pentingnya membangun kompetensi organisasi (Long dan Vickers-Koch, 1995; Prahalad dan Hamel, 1990; Sanches dan Heene, 1997) dan modal intelektual (Leonard-Barton, 1992; Sveiby, 1997; Ulrich, 1998), yang sekali lagi mengutarakan tugas khusus para manajer dalam mencapai keunggulan kompetitif. Terakhir, diskusi yang tengah berlangsung pada saat ini membicarakan konsep-konsep seperti memori organisasi dan manajemen pengetahuan, serta peran dari teknologi informasi dalam kerangka kerja konsep-konsep tersebut (Coates, 1999; Dixon, 1992, 1994; Tapsell, 1999; Walsh and Ungson, 1991; Zack, 1999). Secara khusus, teknologi informasi dalam manajemen pengetahuan fokus pada saluran untuk memproses informasi yang dapat dilihat sebagai tool atau manajemen fungsional. Akumulasi dari diskusi tersebut bisa mengindikasikan bahwa peran dari seorang manajer dalam konteks manajemen pengetahuan sangatlah luas (Viitala, 2004). Literatur terbaru dalam kepemimpinan hanya menyediakan sedikit bimbingan untuk para pemimpin dalam memahami peran menantang mereka dalam mendukung pembelajaran berkelanjutan. Umumnya, konsep kepemimpinan yang ada hanya 13 membicarakan masalah kapabilitas staf sebagai konsekuensi dari gaya kepemimpinan tertentu (Hersey dan Blanchard, 1982; Stoeberl dan Schneiderjans, 1981) dan relasi antara pemimpin-bawahan (Crouch dan Yetton, 1988). Kontribusi literatur lainnya, pengembangan sumber daya manusia hanya mendeskripsikan tugas-tugas pemimpin (Boyatzis, 1982; Luthans dan Lee Lockwood, 1984; Mitnzberg, 1973; Quinn et al., 1990); kadang-kadang hanya menekankan pada aspek perencanaan-karir (Yukl, 1994) atau motivasi (London dan Smither 1999; Tannebaum et al., 1996). Padahal, banyak periset manajemen pengetahuan telah mengidentifikasi bahwa kepemimpinan merupakan variabel kunci dalam membangun relasi antara manajemen pengetahuan dan efektivitas organisasi (Bell De Tienne, 2004). Michael A. Stankosky, profesor Systems Engineering di George Washington University (GWU), menyatakan bahwa sistem manajemen pengetahuan memiliki empat pilar yang merupakan “the essence, the core, and the fabric of a knowledge management system, yaitu: kepemimpinan, organisasi, teknologi, dan pembelajaran (Calabrese & Orlando, 2006). Artinya, kepemimpinan memiliki arti penting dalam membangun manajemen pengetahuan, sebab organisasi, teknologi, dan pembelajaran dicipta oleh sistem perusahaan. Sistem perusahaan umumnya diciptakan, dikembangkan, dan dipelihara oleh para pemimpin. Jadi, karena pengetahuan telah menjadi sebuah kunci sumber daya organisasi, maka pengelolaan terhadap sumber daya tersebut menjadi semakin krusial. Kesulitan dalam mengelola sumber daya pengetahuan menandakan adanya kepemimpinan tidak efektif (Cleveland, 1985 dalam Anantatmula, dari 2008). Literatur dalam manajemen pengetahuan telah mendokumentasikan arti penting manajemen informasi dan pengetahuan untuk menghasilkan efektivitas organisasi (Anantatmula, 2008). Literatur dalam organisasi telah lama merealisasikan nilai dari informasi dan pengetahuan melalui pemodelan organisasi sebagai sistem interpretif (Daft dan Weick, 1984 dalam Anantatmula, 2008), mekanisme kreasi-pengetahuan (Nonaka, 1991, 1994; Nonaka and Takeuchi, 1995), dan melalui spesifikasi konsep seperti memori organisasi (Walsh dan Ungson, 1991 dalam Anantatmula, 2008) dan organisasi pembelajar (Argyris, 1977; Garvin, 1993; Anantatmula, 2008). 14 Literatur manajemen pengetahuan menggambarkan sebuah koneksi sistematis antara stimuli, data, informasi, dan pengetahuan dengan pengetahuan yang menduduki posisi tertinggi dalam tingkatan semiotik. Pengetahuan, sesuai dengan kamus, adalah akumulasi dan pemahaman terhadap fakta-fakta, ide-ide, prinsip-prinsip, atau keterampilan-keterampilan (Anantatmula, 2008). Pengetahuan juga merujuk pada terminologi dari satu set kepercayaan mengenai relasi sebab akibat antara aksi dan konsekuensi yang muncul (Nonaka, 1991, 1994) atau alternatif lainnya yaitu: sebagai informasi yang telah diletakkan dalam konteksnya dan yang telah diformat agar bisa dipahami (Ramaprasad dan Ambrose, 1999 dalam Anantatmula, 2008). Peneliti lainnya (misal: Nonaka and Takeuchi, 1995; Raisinghani, 2000 dalam Anantatmula, 2008) berargumentasi bahwa informasi akan menjadi pengetahuan dengan cara beberapa proses transformasi dalam organisasi atau beberapa proses yang berbedabeda dari para individu dalam organisasi (Anantatmula, 2008). Dengan demikian, ada realisasi eksplisit bahwa informasi dikonversi menjadi pengetahuan melalui proses-proses yang luas jangkauannya, seperti yang Nonaka (1994) usulkan, yaitu: spiral kreasi pengetahuan yang melibatkan interaksi antara pengetahuan tasit dan eksplisit; yang bergerak melalui beragam tingkatan dalam organisasi. Berdasarkan penjelasan di atas, manajemen pengetahuan selanjutnya dapat didefinisikan sebagai: sebuah kapabilitas organisasi yang mengijinkan orang dalam organisasi tersebut, bekerja sebagai individu, atau dalam tim, projek, atau komunitas interest lainnya, untuk mencipta, menangkap, membagi, dan mengungkit pengetahuan kolektif mereka untuk meningkatkan kinerja (Anantatmula, 2008). KEPEMIMPINAN PENGETAHUAN Beberapa kemajuan telah dimuat dalam literatur, sebagian telah berhubungan dengan aspek-aspek dari kepemimpian yang menciptakan pembelajaran dan pembaruan pembelajaran. Diskusi dalam literatur, secara kasar dapat dibagi mejadi dua kategori. Pertama, literatur yang berhubungan dengan gaya kepemimpinan. Kedua, literatur yang berhubungan dengan peran dan tugas dari para pemimpin. Label 15 dan konsep-konsep yang ada dalam diskusi tersebut umumnya bervariasi (Viitala, 2004). Diskusi tentang gaya kepemimpinan yang memproduksi pembelajaran, pembaruan, dan pengembangan dalam organisasi telah memproduksi dua dan tiga model dimensi kepemimpinan. Yang paling terkenal, model dua dimensi yang merujuk pada pembelajaran dan pembaruan dalam organisasi, yaitu: model kepemimpinan transformasional dan transaksional (Bass, 1985, 1990; Burns, 1978). Kepemimpinan transformasional merujuk pada pengembangan dan perubahan dalam organisasi. gaya yang menghasilkan Lima faktor yang meliputi kepemimpinan transformasional adalah idealized attributes, idealized behaviours, inspirational motivation, individualized consideration, and intellectual stimulation. Intinya, karakteristik utama dari kepemimpinan transformasional adalah kharisma. Sesuai dengan pendapat Bass (1990), pemimpin transformasional memiliki visi yang bagus, retorik, dan keterampilan manajemen yang impresif. Pemimpin seperti itu selanjutnya menggunakan keterampilan mereka untuk mengembangkan keterikatan emosional yang kuat dengan anak buah untuk menolong mereka keluar dari tingkatan kinerja saat ini. Pemikiran mendasar dibalik konsep kepemimpinan transformasional, bagaimanapun juga, masih bersifat ideologis (Viitala, 2004). Gaya kepemimpinan berorientasi-perubahan (change-oriented) merupakan dimensi ketiga yang merupakan perpanjangan dari model tradisional dua dimensi yang berorientasi pada tugas (task-oriented) (Ekvall dan Arvonen, 1991; Lindell dan Rosenqvist, 1992). Gaya kepemimpinan jenis yang ketiga ini, change-oriented, melukiskan seorang pemimpin yang menciptakan visi, menerima ide-ide baru, membuat keputusan yang cepat, mendorong kerja sama, adalah terlalu hati-hati dan tidak menekankan pada rencana yang harus diikuti seperti apa. Berbasiskan pada model di atas, ada model tiga dimensi lainnya yang dibuat oleh Scandinavia yang mengadopsi kuesioner klasik Ohio. Berdasarkan model ini, dimensi baru atau gaya manajemen berubah menjadi change-oriented, developmentoriented dan task-oriented (Lindell dan Rosenqvist, 1992). Gaya person-oriented diubah oleh gaya change-oriented, dimana person-orientation dan inisiasi perubahan menjadi titik fokusnya. Hal ini mengindikasikan bahwa manajer person-oriented 16 secara simultan bersifat: memelihara kohesi kelompok, mengkreasi iklim positif, menerbitkan ide-ide baru, dan mempertanyakan beliefs mereka sendiri. Peran dari pemimpin dalam organisasi pembelajar telah ditetapkan sebagai: pelatih (Bartlett dan Ghoshal, 1997; Bowerman dan Collins, 1999), fasilitator (Macneil, 2001), guru (Senge, 1990b), pemimpin pembelajaran (Argyris, 1993) dan pengembang (Boydell dan Leary, 1994). Konsep dari pelatih dan guru memiliki arti yang sangat simbolis. Keduanya merujuk secara eksplisit pada relasi khusus antara pemimpin dengan anak buah. Konsep lainnya merujuk pada isi dari apa yang dikerjakan dalam organisasi. Konsep yang baru ini menekankan pada perubahan atau perluasan dari peran pemimpin dalam organisasi pembelajar (Viitala, 2004). Peran, tugas, dan perilaku pemimpin yang memfasilitasi anak buah untuk belajar telah diteliti secara kualitatif. Ellinger dan Bostrom (1999), sebagai contoh, dengan menggunakan teknik insiden kritis mengklasifikasi perilaku pemimpin sebagai: pemberdaya dan fasilitator dalam memfasilitasi karyawan untuk belajar. Studi tersebut menjadi sebuah langkah yang perlu dipertimbangkan dalam merangkai tantangan pemimpin dalam organisasi pembelajar. Bagaimanapun, dengan menanyakan kepada manajer apa yang mereka kerjakan, hasilnya tidak memberi jawaban eksplisit pada pertanyaan apa yang harus dikerjakan oleh para manajer. Dari sumber primer, hasil riset didominasi oleh kepercayaan para manajer (Argyris, 1982) di sebuah kelompok kecil. Ditambahkan, Ellinger dan Bostrom telah meng-counter beberapa kritik yang berhubungan dengan pre-asumsi mereka yang individualistik, berbasis kinerja, dan mekanistik dalam hubungannya dengan organisasi pembelajar (Dirkx, 1999). Selanjutnya, Popper dan Lipzhitz (2000) mendefinisikan tugas para manajer dalam organisasi pembelajar adalah: meletakkan organisasi pembelajar sebagai isu utama dalam agenda mereka; membangun fondasi struktural yang dibutuhkan untuk mengubah pembelajaran individu menjadi pembelajaran organisasi; serta mencipta kondisi budaya dan psikologis yang membuat pembelajaran menjadi efektif. Viitala (2004) menyarankan ide para pemimpin sebagai pencipta dari sebuah budaya organisasi yang memfasilitasi pembelajaran. Sesuai dengan pemikiran Macneil (2001), tugas utama seorang fasilitator adalah mendorong sharing pengetahuan, 17 mendorong pembelajaran melalui kesalahan dan mencipta pembelajaran tim berkelanjutan. Senge (1990b, 2000) mendefinisikan tujuan dari tiga peran seorang pemimpin (sebagai arsitek, seorang guru, dan seorang pramugara) dalam sebuah organisasi pembelajar, dengan cara sebagai berikut: mengklarifikasi misi, visi, dan nilai-nilai; men-spesifikasi strategi, struktur, dan politik; mencipta proses pembelajaran yang efesien; dan menolong bawahan secara berkelanjutan dalam membangun model mental dan system thinking mereka. Definisi ini juga mendapat dukungan tambahan dari bukti-bukti empiris yang dipresentasikan oleh Agashae dan Bratton (2001), yang mengoperasionalisasikan ide-ide Senge dalam satu survei di sebuah perusahaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa literatur manajemen pengetahuan secara esensial telah mendeskripsikan konteks baru bagaimana pemimpin modern beroperasi. Tidak sekedar mengklarifikasi target-target pada tingkatan organisasi, tetapi juga mendeskripsikan proses-proses penting dan strategis yang harus dilakukan oleh pemimpin untuk terlibat dan menggunakan sumber daya kritis organisasi. Bagaimana pemimpin harus memimpin dan bagaimana pemimpin pada saat ini memimpin, bagaimanapun juga, hanya diinvestigasi secara terbatas. Dilihat dari sudut pandang instrumentalis, riset masih kekurangan upaya-upaya serius untuk menjembatani gap antara dua perspektif tersebut dengan bukti-bukti empiris yang reliabel (Viitala, 2004). Kaitan yang digambarkan antara aspek teoritis dan pendekatan praktis pada konteks yang didefinisikan dan dikembangkan dalam literatur manajemen pengetahuan masih terlihat lemah. Sebagai sebuah prioritas, tugas mengembangkan kepemimpinan yang mendukung pembelajaran dalam organisasi memerlukan model yang dikonstruksi secara kuat dengan situasi ideal (lihat Gambar 2). Lebih jauh lagi, model tersebut harus terhubung dengan konteks yang telah dideskripsikan dalam literatur manajemen pengetahuan. Dengan cara ini, akan dimungkinkan untuk mengevaluasi kepemimpinan pengetahuan secara praktis dan menetapkan kebutuhankebutuhan pengembangan (Viitala, 2004). 18 Konteks kepemimpinan pengetahuan: ‐ digambarkan dalam literatur manajemen pengetahuan Kepemimpinan yang mendukung pembelajaran dalam situasi ideal Membanding‐ kan Kepemimpinan yang mendukung pembelajaran dalam praktik Sumber: Viitala, 2004 Gambar 2. Kerangka Kerja Pengembangan Kepemimpinan Pengetahuan Selanjutnya, Gnyawali et al., 2005 berpendapat bahwa pengetahuan organisasi memiliki dua atribut yang memiliki kegunaan penting, yaitu: commonality. akurasi dan Akurasi merujuk pada pengertian bahwa pengetahuan secara tepat merepresentasikan “realitias”. Untuk itu, Levitt dan March (1988 dalam Gnyawali et al., 2005) menyarankan untuk meminimalkan superstitious learning; sedangkan Zajac dan Bazerman (1991 dalam Gnyawali et al., 2005) menyarankan untuk mengurangi munculnya blind spots. Riset dari Aiman-Smith dan Green (2002 dalam Gnyawali et al., 2005) juga menyatakan bahwa pengetahuan yang dicipta seharusnya merefleksikan realitas isu-isu dan tantangan organisasi. Berikutnya, commonality merujuk pada pengertian bahwa anggota organisasi memegang “mutually shared understanding” mengenai apa yang diketahui. Para peneliti berargumentasi bahwa pengetahuan harus diintegrasikan dan dibagikan kepada seluruh anggota organisasi untuk memfasilitasi tindakan-tindakan yang telah direncanakan (Nonaka, 1994, Senge, 1990), serta mengurangi kesalahan-kesalahan yang mahal. Oleh karena itu, akurasi dan commonality harus dimaksimalkan (dalam Gnyawali et al., 2005). Tanpa akurasi, para pembuat keputusan mungkin akan membuat anggapan kausal yang tidak nyata, yang tidak berhubungan dengan isu-isu empiris (Levitt & March, 1988 dalam Gnyawali et al., 2005). Tanpa commonality, 19 pengetahuan tetap akan ada dalam individu, tidak akan pernah terintegrasi dan terdifusi ke seluruh sudut-sudut organisasi, sehingga hal tersebut akan menyulitkan koordinasi (Nonaka, 1994; Senge, 1990). Pengetahuan menjadi sangat eksklusif, dimiliki oleh individu tertentu, tidak meresap ke bagian lain dalam organisasi. Konsekuensinya, ketika individu tersebut keluar dari organisasi, maka pengetahuan tersebut akan mengikutinya. Oleh karena itu, situasi yang ideal yang harus dimiliki oleh organisasi adalah munculnya pengetahuan yang akurat serta meresap ke seluruh organisasi (Gambar 3). Commonality Pengetahuan Rendah Tinggi Tinggi Pengetahuan yang akurat hadir di organisasi, tetapi tidak dibagikan ke seluruh organisasi. Pengetahuan yang akurat dibagikan ke seluruh organisasi. Situasi yang paling ideal. Rendah Pengetahuan yang tidak akurat hadir, dan tidak dibagikan ke seluruh organisasi. Pengetahuan dibagikan ke seluruh organisasi, tetapi tidak akurat. Akurasi Pengetahuan Sumber: Gnyawali et al., 2005 Gambar 3. Dimensi Pengetahuan Organisasi DIMENSI KEPEMIMPINAN PENGETAHUAN Beberapa jawaban untuk pertanyaan “Apa yang harus secara aktual dikerjakan oleh para pemimpin di unit mereka kalau mereka menginginkan untuk mendorong pembelajaran yang akan berkontribusi pada kapabilitas organisasi?” telah diteliti oleh Viitala (2004). Dimensi-dimensi kepemimpinan pengetahuan mengilustrasikan dua hal, tugas utama dan peran prinsip dari pemimpin sebagai fasilitator pembelajaran dalam unitnya. Perlu ditambahkan, dimensi-dimensi tersebut dapat dipandang sebagai tujuan utama dalam mengarahkan aktivitas seorang pemimpin. Berdasarkan hasil riset berbasiskan grounded theory, Viitala (2004) mengusulkan empat dimensi dari kepemimpinan pengetahuan, yaitu: orienteering of learning, creating climate that 20 supports learning, acting as a role model, dan supporting individual and group level learning processess (Gambar 4). Orienteering of learning Creating climate that supports learning Supporting individual and group level learning processes Kepemimpinan Pengetahuan Acting as a role model Sumber: Viitala, 2004 Gambar 4. Dimensi Kepemimpinan Pengetahuan Dimensi “orienteering of learning” terdiri dari aktivitas-aktivitas dimana para pemimpin bisa melihat dan menolong yang lain agar melihat arah dari pembelajaran organisasi. Pemandu penting untuk belajar adalah: visi dan tujuan-tujuan dari organisasi dan unit kerja, umpan balik dan kebutuhan dari klien, peringkat kinerja, indikator kualitas, dan pengukuran-pengukuran. Bagian penting dari dimensi ini adalah upaya pemimpin dalam mengklarifikasi kebutuhan untuk pengetahuan dan kapabilitas di masa yang akan datang. Orienteering of learning juga menguntungkan bagi system thinking, yang akan diperkuat oleh seorang pemimpin. Pertimbangan teoritis untuk dimensi ini dapat dicari dari perspektif pedagogi, dimana basis orientasi telah dimanifestasikan sebagai sesuatu yang krusial dalam semua pembelajaran (Engestrom, 1984 dalam Viitala, 2004). Lebih jauh, ide “creative tension” (Senge, 1990a, 1990b) menawarkan beberapa penjelasan untuk dimensi ini. Penggambaran aktivitas pemimpin sangat merefleksikan dari jenis-jenis tingkatan organisasi yang dideskripsikan dalam literatur manajemen pengetahuan, seperti halnya yang dideskripsikan dalam literatur 21 manajemen umum lainnya: visi, strategi, kompetensi inti, tugas-tugas, proses-proses, kebutuhan untuk klien dan kualitas. Aktivitas-aktivitas yang disebutkan diatas terjadi melalui diskusi, yang membutuhkan dukungan dari forum, struktur, dan rutinitas. Dalam dimensi ini, pemimpin juga harus mencipta forum untuk diskusi, terutama untuk mengevaluasi. Ditambahkan, pemimpin memerlukan untuk mengorganisasi pengembangan dan caracara terbaru yang inovatif dalam menerima umpan balik. Dengan perkataan lain, sangat penting bahwa pemimpin mengorganisasi waktu, tempat, dan kerangka untuk anak buah agar untuk mengkomunikasikan semua pesan-pesan yang mengindikasikan kemana arah pengetahuan dan kapabilitas akan dikembangkan (Viitala, 2004). Dengan demikian, manajemen pengetahuan, sesuai dengan model ideal peran pemimpin dalam para pemimpin sebagai orienteerers of learning memformulasikan visi dan bertindak pada semua informasi yang menolong untuk membentuk arah dan menyoroti isu-isu apa yang dibutuhkan agar selalu bisa belajar. Yang termasuk indikator penting dari kebutuhan pembelajaran dalam organisasi adalah: visi, strategi, tujuan, organisasi atau unit, kebutuhan klien, umpan balik dan pengukuran kualitas. Kerangka kerja, definisi dan argumen dari isi aktivitas pemimpin sebarai orienteerers of learning sudah secara luas dipresentasikan dalam literatur manajemen pengetahuan (Viitala, 2004). Senge (1990b) mencatat peran pemimpin sebagai arsitek, peran pemimpin sebagai fasilitator diungkapkan oleh Ellinger dan Bostrom (1999), serta Ellinger et al. (1999 dalam Viitala, 2004) membagi “common traits” dari peran pemimpin sebagai orienteerer. Dimensi kedua adalah “creating a climate that support learning”. Dimensi ini adalah sebuah target dan representasi sebuah area penting dari kepemimpinan pengetahuan. Penjelasan dari dimensi ini dapat ditemui dalam psikologi pembelajaran. Ketakutan dan kecemasan mencegah pembelajaran (Suonpera, 1993 dalam Viitala, 2004). Hanya ketika manusia merasa nyaman dengan yang lainnya, sebagai contoh, mereka dapat belajar dari kegagalan dan kesalahan secara bersamasama. Lebih jauh lagi, kecenderungan untuk bertanya dan menawarkan pertolongan dan nasehat akan meningkat dalam iklim yang aman dan penuh rasa percaya. Dimensi ini meliputi aktivitas-aktivitas dimana para pemimpin dengan sengaja mencari suatu 22 cara untuk mengembangkan iklim sosial di unit mereka. Hal tersebut juga mencakup dorongan kepercayaan dalam komunitas kerja. Oleh sebab itu, para pemimpin cenderung bisa menerima kesalahan secara proaktif dan dalam cara yang positif. Isuisu yang berhubungan dengan para pemimpin itu sendiri juga sangat memberi makna dalam area ini. Salah satu isu adalah kepemilikan kapabilitas dan kemauan untuk menerima umpan balik dari anak buah. Hal ini selanjutnya merefleksikan pada bagaimana mereka mengetahui orangorang yang ada dalam sebuah unit dan apakah orang-orang dalam unit tersebut mendengarkan dan hormat pada pikiran dan opini pemimpin. Sesungguhnya, arti penting iklim telah ditekankan sebagai sebuah prakondisi untuk organisasi pembelajar (Crossan et al., 1999; Nonaka dan Konno, 1998; Nonaka dan Tackeuchi, 1995; Pedler et al., 1991; Senge, 1990a). Ketika dipertimbangkan sebagai sponsor kunci dalam memfasilitasi prakondisi iklim organisasi, perspektif organisasi pembelajar selanjutnya memunculkan tipe dari aktivitas kepemimpinan ini diantara para pemimpin pengetahuan. Artinya, sebagai creator of organizational climate, para pemimpin memfasilitasi pembelajaran dengan cara membuat intervensi untuk memastikan bahwa komunitas pekerjaan adalah aman dan bersifat mendukung. Arti penting dari dimensi ini juga dapat ditemukan dalam literatur organisasi pembelajar (Nonaka dan Konno, 1998; Pedler et al., 1991). Dalam diskusi yang berhubungan dengan para pemimpin sebagai fasilitator pembelajaran, Ellinger et al. (1999 dalam Viitala, 2004), Lindell dan Rosenqvist, (1992) serta Popper dan Lipshitz, (2000) telah secara tegas mencatat tugas-tugas tersebut sebagai aktivitas penting dari seorang pemimpin dalam rangka mendukung pembelajaran di komunitas kerja. Prinsip kunci untuk para pemimpin agar bisa mendorong pembelajaran adalah dengan meneguhkan komunikasi dengan cara membuat forum dan channel agar komunikasi bisa terjadi (Nonaka dan Konno, 1998; Senge, 1990a). Dimensi dari “supporting learning processes” sangat dekat dengan proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini mengindikasikan peran aktif para pemimpin sebagai pendorong dari proses pembelajaran pada tingkatan individu dan kelompok. Peran dari seorang pemimpin seperti ini analog dengan peran guru atau pelatih (coach). 23 Pertama, mereka menganalisis, merencanakan, dan membangun portofolio kompetensi yang dibutuhkan dalam unit mereka. Kedua, mereka memastikan bahwa semua orang di dalam unit dikembangkan secara efektif, yang pada gilirannya penting untuk mengembangkan unit tersebut secara umum. Dalam dimensi ini, para pemimpin mendorong anak buah mereka dengan cara merefleksikan pengetahuan dan kapabilitas mereka. Mereka juga merencanakan secara bersama-sama, dengan anak buah, caracara untuk mengembangkan keterampilan anak buah. Para pemimpin dapat mengerjakan hal tersebut kalau mereka mengenali kapabilitas anak buah. Adalah penting para pemimpin menanamkan arti penting dari pembelajaran berkelanjutan, memonitor kemajuan, dan memberi umpan balik positif. Semua aspek-aspek ini berasosiasi dengan motivasi individu dalam belajar dan “sense” dari kemampuan untuk belajar (Ruohotie, 1990 dalam Viitala, 2004). Dalam melihat hal ini, kunci dari tugas di belakang hal tersebut adalah: para pembelajar membutuhkan beberapa petunjuk, dukungan, dan umpan balik dalam mengevaluasi, mengarahkan, mempelajari, dan merefleksikan (Engeström, 1987 dalam Viitala 2004; Grow, 1991). Dengan perkataan lain, sebagai supporters of learning processes, para pemimpin sangat menyerupai peran guru atau pelatih. Dalam konteks kerja, hal ini harus terjadi pada proses tingkat individu maupun tingkat grup (West, 1996 dalam Viitala, 2004). Meskipun para pemimpin adalah orang dewasa, dan seorang pembelajar otomatis (Knowles, 1985 dalam Viitala, 2004), pemimpin juga membutuhkan beberapa dukungan untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi pengalaman mereka, dan bimbingan dalam berpikir reflektif yang kontinyu (Mezirow et al., 1990 dalam Viitala, 2004). Senge (1990b) mencatat peran pemimpin sebagai guru sangat dekat dengan dimensi ini, seperti yang juga dideskripsikan oleh Popper dan Lipshitz (2000 dalam Viitala, 2004). Dimensi “acting as a role model” meliputi tiga ekspresi sikap yang dimiliki para pemimpin pada pekerjaan mereka. Pertama, para pemimpin memimpin pembelajaran dan pengetahuan melalui contoh dari para pemimpin itu sendiri. Ekspresi kedua, agar dapat dipercaya, para pemimpin itu sendiri harus belajar dan secara konstan mengembangkan kapabilitas mereka. Ditambahkan, ketertarikan para pemimpin pada pekerjaan mereka kelihatannya bisa mempengaruhi anak buah. 24 Terakhir, ketiga, sangat penting bahwa para pemimpin memiliki komitmen para perubahan dan pengembangan yang telah mereka setujui untuk dilakukan terhadap anak buah. Alasan teoritis dari faktor ini diperoleh dari literatur pemimpin sebagai role-model dan dalam teori yang kekuasaan (House, 1977 dalam Viitala, 2004; Yukl dan Falbe, 1991). Konstruksi ini menawarkan satu interpretasi pada isi dari kepemimpinan pengetahuan. Berbasiskan pada analisis statistika dan interpretasi heuristik, sebuah model dari fenomena dapat dikonstruksikan (Gambar 2). Model ini berfungsi sebagai alat untuk menganalisis fenomena diantara para pemimpin dalam rangka mengklasifikasi perbedaan-perbedaan yang mungkin dalam kepemimpinan pengetahuan (Viitala, 2004). Dimensi keempat termanifestasi dalam kemampuan para pemimpin untuk berperan sebagai model peran dan menggunakan perilakunya untuk mendorong pembelajaran dan pengembangan. Peran ini tidak menjadi topik yang dibahas dalam literatur kontemporer yang berhubungan dengan kepemimpinan di organisasi pembelajar (Viitala, 2004). Terakhir, berdasarkan empat dimensi tersebut, definisi kepemimpinan pengetahuan dapat diturunkan sebagai berikut: kepemimpinan yang mempromosikan pembelajaran adalah kepemimpinan dimana pemimpin, bersama dengan anak buah, mengklarifikasi arah pengembangan, mencipta sebuah iklim yang mempromosikan pembelajaran, dan mendukung proses-proses pembelajaran pada tingkatan individu dan kelompok. Pemimpin juga menginspirasi anak buah untuk melakukan pengembangan personal yang kontinyu melalui contoh yang diberikan oleh pemimpin itu sendiri (Viitala, 2004). KESIMPULAN Munculnya pengetahuan sebagai satu-satunya sumber daya yang menjamin daya survival organisasi, menyebabkan manajemen pengetahuan menjadi strategi kontemporer yang banyak diadopsi oleh organisasi di era ekonomi baru. Para praktisi dan akademisi telah memiliki bukti empiris dari diadopsinya manajemen pengetahuan. Akan tetapi, karena outcome dari manajemen umumnya 25 bersifat soft-measures dan people-oriented maka satu-satunya aktor yang sangat berperan dalam mengelola pengetahuan adalah para pemimpin. Oleh karena itu, dalam era manajemen pengetahuan, para pemimpin memiliki tantangan baru yang berbeda dengan peran pemimpin di masa ekonomi tradisional. Kehadiran pemimpin pengetahuan merupakan pilar penting agar inisiatif manajemen pengetahuan berjalan dengan sukses. Studi awal yang dilakukan oleh Viitala (2004) berhasil mengidentifikasi empat dimensi kepemimpinan pengetahuan, yaitu: orienteering of learning, creating climate that supports learning, acting as a role model, dan supporting individual and group level learning processess. Berdasarkan studi Viitala (2004), kepemimpinan pengetahuan dapat dirumuskan sebagai: kepemimpinan dimana pemimpin, bersama dengan anak buah, mengklarifikasi arah pengembangan, mencipta sebuah iklim yang mempromosikan pembelajaran, dan mendukung proses-proses pembelajaran pada tingkatan individu dan kelompok; pemimpin juga menginspirasi anak buah untuk melakukan pengembangan personal yang kontinyu melalui contoh yang diberikan oleh pemimpin itu sendiri DAFTAR PUSTAKA Agashae, Z., & Bratton, J. 2001. Leader-follower dynamics: developing a learning environment. Journal of Workplace Learning, Vol. 13 No.3, pp.89-102. Anantatmula, V. & Kanungo, S. 2007. Modeling Enablers for Successful KM Implementation, HICSS40 0-7695-2755-8/07, IEEE Computer Society, New York, NY. Anantatmula, Vittal S. 2008. Leadership role in making effective use of KM. VINE: the journal of information and knowledge management systems, Vol. 38, No. 4, pp. 445-460. Argyris, C. 1977. Double-loop learning in organizations. Harvard Business Review, pp.115-24. Argyris, C. 1982. Executive mind and double-loop learning. Dynamics, Vol. 11 No.2, pp.5-22. Organizational 26 Argyris, C., & Schön, D. 1978. Organizational Learning. Blackwell Publishers, Cambridge. Banks, Eric. 1999. Creating knowledge culture. Work Studi, Vol. 48, No. 1, pp. 1820. Barney, J. 1986. Strategic factor markets: Expectations, luck, and business strategy. Management Science, 32(10): 1231-1241. Bass, B.M. 1985. Leadership and Performance Beyond Expectations. The Free Press, New York, NY, . Bass, B.M. 1990. From transactional to transformational leadership: learning to share the vision. Organizational Dynamics, pp.19-31. Bell De Tienne, K., Dyer, G., Hoopes, C. dan Harris, S. 2004. Toward a model of effective knowledge management and directions for future research: culture, leadership, and CKOs. Journal of Leadership and Organizational Studies, Vol. 10 No. 4, pp. 26-43. Bennis, W.G. 1979. Leadership: a beleaguered species. in Kolb, D.A., Rubin, I.M., McIntyre, J.M. (Eds),Organizational Psychology. A Book of Readings, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ, pp.36-46. Bennis, W.G. 1989. On Becoming a Leader, Addison-Wesley, Reading, MA, . Birkinshaw, Julian. 2001. Why is Knowledge Management So Difficult? Business Strategy Review, Vol. 12, Issue 1, pp. 11-18. Bowerman, J., Collins, G. 1999. The coaching network: a program for individual and organizational development. Journal of Workplace Learning, Vol. 11 No.8, pp.191-7. Boyatzis, R.E. 1982. The Competent Manager. A Model for Effective Performance, Wiley, New York, NY. Boydell, T., & Leary, M. 1994. From management development to managing development: the changing role of the manager in the learning organization. Transitions, Vol. 94 No.9, pp.8-9. Bryant, S.E. 2003. The role of transformational and transactional leadership in creating, sharing, and exploiting organizational knowledge. Journal of Leadership and Organizational Studies, Vol. 9 No. 4, p. 32. 27 Burns, J.M. 1978. Leadershi. , Harper & Row, New York, NY, . Calabrese, Francesco A. & Orlando, Carol Y. 2006. Deriving a 12-step process to create and implement a comprehensive knowledge management system. VINE: The journal of information and knowledge management systems, Vol. 36, No. 3, pp. 238-254. Chang, Su-Chao & Lee, Ming-Shing. 2007. A study on relationship among leadership, organizational culture, the operation of learning organization and employees’ job satisfaction. The Learning Organization, Vol. 14, No. 2, pp. 155-185. Civi, Emin. 2000. Knowledge management as a competitive asset: a review. Marketing Intelligence & Planning, Volume 1, Number 4, pp. 166-174. Coates, J.F. 1999. The inevitability of knowledge management. Research Technology Management, Vol. 42 No.4, pp.6-9. Collins, Roger. 2005. Book review: knowledge leadership, the art and science of the knowledge-based organization. The Learning Organization, Vol. 12, No. 3, pp. 299-301. Crossan, M.M., Lane, H.W., & White, R.E. 1999. framework: from intuition to institution. An organizational learning The Academy of Management Review, Vol. 24 No.3, pp.522-37. Crouch, A., & Yetton, P. 1988. Manager-subordinate dyads: relationships among task and social contact, manager friendliness and subordinate performance in management groups. Organizational Behavior and Human Decision Processes, Vol. 41 pp.65-82. Davenport, H.T. & Prusak, L. 2000. Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know. Boston, MA.: Harvard Business School Press. Davenport, T.H., De Long, D.W. dan Beers, M.C. 1998. Successful knowledge management projects. Sloan Management Review, Vol. 39 No. 2, pp. 43-57. Day, D.V. and Lord, R.G. 1988. Executive leadership and organizational performance: suggestions for a new theory and methodology. Journal of Management, Vol. 14 No. 3, pp. 453-64. 28 DeTienne, Kristen & Jackson, Lisa Ann. 2001. Knowledge Management: Understanding Theory and Developing Strategy. Competitive Review, Vol.11 (1), pp. 1-11. Dirkx, J.M. 1999. Invited reaction: managers as facilitators of learning in learning organizations. Human Resource Development Quarterly, Vol. 10 No.2, pp.127-34. Dixon, N.M. 1992. Organizational learning: a review of the literature with implications for HRD. Human Resource Development Quarterly, Vol. 3 No.9, pp.29-49. Edmondson, A.C. 2002. The local and variegated nature of learning in organizations: a group-level perspective. Organization Science, Vol. 13, No.2, pp.128-46. Ekvall, G., Arvonen, J. 1991. Change-centred leadership: an extension of the twodimensional model. Scandinavian Journal of Management. Vol. 7 No.1, pp.17-26. Ellinger, A.D., & Bostrom, R.P. 1999. Managerial coaching behaviors in learning organizations. Journal of Management Development, Vol. 18 No.9, pp.75271. Fleishman, E.A., Mumford, M.D., Zaccaro, S.J., Levin, K.Y., Korotkin, A.L. dan Hein, M.B. 1991.Taxonomic efforts in the description of leader behavior: a synthesis and functional interpretation. Leadership Quarterly, Vol. 2 No. 4, pp. 245-87. Garvin, David .A. 1993. Building a learning organization. Harvard Business Review, Vol. 71 No. 4, pp. 78-91. Geletkanycz, M.A. and Hambrick, D. 1997. The external ties of top executives: implications for strategic choice and performance. Administrative Science Quarterly, Vol. 42, pp. 654-81. Gilley, J.W. & Maycunich, A. 2000. Organizational Learning Performance and Change: An Introduction to Strategic Human Resource Development. New York: Perseus Publishing. Gnyawali, Devi R.; Stewart, Alice C.; & Grant, John H. 2005. learning processes for enhancing organizational Differentiated knowledge across 29 environmental contexts. The international journal of organizational analysis, Vol. 13, No. 3, pp. 216-243. Grow, G. 1991. The staged self-directed learning model. in Long, H.B. (Eds),Selfdirected Learning for Adults, Longman Group, London, pp.195-201. Hansen, M.T., Nohria, N. dan Tierney, T. 1999. What’s your strategy for managing knowledge?”, Harvard Business Review, Vol. 77 No. 2, pp. 106-18. Heeseok, Lee & Byounggu, Choi. 2003. Knowledge Management Enablers, Processes, and Organizational Performance: An Integrative View and Empirical Examination. Journal of Management Information Systems, Summer, Vol. 20, No. 1, pp. 179-228. Henderson, R., & Cockburn, I. 1994. Measuring competence? Exploring firm effects in pharmaceutical research. Strategic Management Journal, 15: 63-84. Hersey, P., Blanchard, K.H. 1982. Management of Organizational Behaviour: Utilizing Human Resources, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ. Huber, G.P. 1991. Organizational learning: the contributing processes and the literatures. Organization Science, Vol. 2 No. 1, pp. 88-115. Jimenez-Jimenez, Daniel; Valle, Raquel Sanz; & Hernandez-Espallardo, Miguel. 2008. Fostering innovation, the role of market orientation and organizational learning. European Journal of Innovation Management, Vol. 11, No. 3, pp. 389-412. Kets de Vries, M.F.R. 2005. Leadership group coaching in action: the Zen of creating high performance teams. Academy of Management Executive, Vol. 19 No. 1, pp. 61-76. Kim, W. Chan & Mauborgne, Renée. 2001. Strategy, Value Innovation, and the Knowledge Economy. In Cusumano, Michael A. & Markides, Constantinos C. (eds). 2001. Strategic Thinking for the Next Economy. San Francisco: Jossey-Bass. Kirkpatrick, S.A. and Locke, E.A. 1991. Leadership: do traits matter? Academy of Management Executive, Vol. 5 No. 2, pp. 48-60. Kotter, J.P. 1990. What Leaders Really Do. Boston, MA.: Harvard Business School Press. 30 Krogh, G.V.; Ichijo, K.; & Nonaka, I. 2000. Enabling Knowledge Creation: How to Unlock the Mystery of Tacit Knowledge and Release the Power of Innovation. New York: Oxford University Press. Lahaie, Denis. 2005. The impact of corporate memory loss: what happens when a senior executive leaves? Leadership in Health Services, Volume 18, Number 3, pp. 35-48. Lakshman, C. 2005a. Top executive knowledge leadership: managing knowledge to lead change at General Electric. Journal of Change Management, Vol. 5 No. 4, pp. 429-46. Lakshman, C. 2005b. Structured content analysis in leadership research: data sources, reliability, and validity issues. Proceedings of the Decision Sciences Institute 2005, Conference, San Francisco, CA. Leonard-Barton, D. 1992. Core capabilities and core rigidities: a paradox in managing new product development. Strategic Management Journal, Vol. 13 pp. 11126. Lindell, M., & Rosenqvist, G. . 1992. Is there a third management style? The Finnish Journal of Business Economics, Vol. 41 No.3, pp.171-98. Lippmann, S.A. & Rumelt, R.P. 1982. Uncertain imitability: An analysis of interfirm differences in efficiency under competition. Bell Journal of Economics, 13(2): 413-438. Liu, A., dan Fang, Z. management. 2006. A power-based leadership approach to project Construction Management and Economics, Vol. 24, No.5, pp.497-507. London, M., dan Smither, J.W. 1999. Empowered self-development and continuous learning. Human Resource Management, Vol. 38 No.1, pp.3-5. Long, C., Vickers-Koch, M. 1995. Using core capabilities to create competitive advantage. Organizational Dynamics, pp.7-22. Lord, R.G. and Maher, K.J. 1991. Leadership and Information Processing: Linking Perceptions and Performance, HarperCollins, Boston, MA. Luthans, F., Lee Lockwood, D. 1984. Toward observation system for measuring leader behavior in natural settings", in Hunt, J., Hoskings, D-M., Schriesheim, 31 C.A., Stewart, R. (Eds), Leaders and Managers. International Perspectives on Managerial Behavior and Leadership, Pergamon Press, New York, NY. Macneil, C. 2001. The supervisor as a facilitator of informal learning in work teams. Journal of Workplace Learning, Vol. 13 No.6, pp.246-53. McGill, Ronald. 2006. Testing performance, a practical perspective on institutional reform. International Journal of Public Sektor Management, Vol. 19, No. 1, pp. 95-110. Meso, Peter & Smith, Robert. 2000. A resource-based view of organizational knowledge management systems. Journal of Knowledge Management, Volume 4, Number 3, pp. 224-234. Mintzberg, H. 1973. The Nature of Managerial Work, Harper & Row, New York, NY. Natarajan, Ganesh dan Shekhar, Sandhya. 2001. Knowledge management, enabling business growth. Boston: McGrawHill. Nonaka, I. 1994. A dynamic theory of organizational knowledge creation. Organization Science, Vol. 5 No.1, pp.14-35. Nonaka, I., & Konno, N. 1998. The concept of ‘Ba’: building a foundation for knowledge creation. California Management Review, Vol. 40 No.3, pp.4054. Nonaka, I., Tackeuchi, H. 1995. The Knowledge Creating Company. Oxford University Press, Oxford. Nonaka, Ikujiro. 1991. The knowledge creating company. Harvard Business Review, pp.96-104. Oliver, Stan & Kandadi, Kondal Reddy. 2006. How to develop knowledge culture in organizations? A multiple case study of large distributed organixations. Journal of Knowledge Management, Vol. 10, No. 4, pp. 6-24. Pedler, M., Burgoyne, J., & Boydell, T. 1991. The Learning Company. A Strategy for Sustainable Development. McGraw-Hill Book Company, London, Peteraf, M. 1993. The cornerstones of competitive advantage: A resource-based view. Strategic Management Journal, 14(3): 179-191. 32 Politis, J.D. 2001. The relationship of various leadership styles to knowledge management. Leadership & Organizational Development Journal, Vol. 22 No. 8, pp. 354-64. Popper, M., Lipshitz, R. 2000. Installing mechanisms and instilling values: the role of leaders in organizational learning. The Learning Organization, Vol. 7, No.3, pp.135-44. Prahalad, C.K., & Hamel, G. 1990. The core competence of the corporation. Harvard Business Review, pp.79-91. Prewitt, Vana. 2003. Leadership development for learning organizations, OCLC Systems and Service, Vol. 19, No. 1 Quinn, J.B; Anderson, P. & Finkelstein, S. 1996. Managing professional intellect: making the most of the best. Harvard Business Review, pp.71-80. Quinn, R.E., Faerman, S.R., Thompson, M.P., & Mc Grath, M.R. 1990. Becoming a Master Manager. A Competency Framework, Wiley, New York, NY. Rastogi, P.N. 2000. Knowledge Management and Intellectual Capital – The Virtuous Reality of Competitiveness. Human Systems Management, 19, pp. 39-48. Sanches, R., & Heene, A. 1997. Strategic Learning and Knowledge Management, Wiley, Chichester. Sarabia, Maria. 2007. Knowledge leadership cycles: an approach from Nonaka’s viewpoint. Journal of Knowledge Management, Vol. 11, No. 3, pp. 6-15. Schwikkard, D.B. & du Toit, A.S.A. 2004. Analysing knowledge requirements: a case study. Aslib Proceedings, Vol. 56, No. 2, pp. 104-111. Senge, P.M. 1990a. The Fifth Discipline. New York: Doubleday, Currency. Senge, P.M. 1990b. The leader's new work: building learning organizations. Sloan Management Review, Vol. 32 No.1, pp.7-24. Senge, Peter M. 1996. The leader’s new work, building learning organizations. Dalam Starkey, Ken (ed.). 1996. How organization learn. London: International Thomson Business Press. Senge, Peter. 2006. milenium ini. Kewarganegaraan Sistem: mandat kepemimpinan untuk Dalam Hesselbein, Frances & Goldsmith (eds.). 2006. The 33 Leader of The Future. Dialihbahasakan oleh Riant Nugroho & Zaenal Asikin. Jakarta: Elex Media Komputindo. Sharp, Duane. 2003. Knowledge Management Today: challenges and opportunities. Information Systems Management, Spring, pp. 32-37. Singh, Sanjay Kumar. 2008. Role of leadership in knowledge management: a study. Journal of Knowledge Management, Vol. 12, No. 4, pp. 3-15. Staples, D. Sandy; Greenaway, Kathleen; & McKeen, James D. 2001. Opportunities for Research about Managing The Knowledge-Based Enterprise. International Journal of Management Reviews, Vol. 3, Issues 1, pp. 1-20. Stoeberl, P.A., Schneiderjans, M.J. 1981. The ineffective subordinate: a management survey. Personnel Administration, Vol. 26 No.2, pp.72-6. Sutcliffe, Paul. 2003. Building the corporate memory in the e-environment. Records Management Journal, Volume 13, Number 2, pp. 51-53. Sveiby, K.E. 1997. The New Organizational Wealth, Managing and Measuring Knowledge-Based Assets. Barret-Koehler Publishers, San Francisco, CA. Tapscott, Don. 1996. Digital Economy: promise and peril in the age of networked intelligence. New York: McGraw-Hill. Tapsell, S. 1999. Brain fuel for the future. Management, Vol. 46 No.6, pp.42-46. Walsh, J.P., & Ungson, G.R. 1991. Organizational memory. Academy of Management Review, Vol. 16 No.1, pp.57-91. Ulrich, D. 1998. Intellectual capital=competence × commitment. Sloan Management Review, pp.15-26. Verma, V. 1996. Human Resource Skills for the Project Manager, Volume 2, Project Management Institute, Newton Square, PA. Viitala, Riitta. 2004. Towards knowledge leadership. Leadership & Organization Development Journal, Vol. 25, No. 6, pp. 528-544. Von Krogh, G., Nonaka, I., dan Ichijo, K. 1997. Develop knowledge activists. European Management Journal, Vol. 15 No.5, pp.475-83. Vroom, V.H dan Jago, A.G. 1988. The new leadership: managing participation in organizations. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall. 34 Woolner, P. 1992. The purposes and stages of the learning organization – integrating work with learning. The Learning Organization, Vol. 18 No.2/3, pp.41-46. Yukl, G.A. 1994. Leadership in Organizations, 3rd ed., Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ. Yukl, G.A. 1989. Managerial leadership: a review of theory and research. Journal of Management, Vol. 15 No.2, pp.274-92. Yukl, G.A., Falbe, C.M. 1991. Importance of different power sources in downwards and lateral relations. Journal of Applied Psychology, Vol. 76 pp.416-23. Zack, M.H. 1999. Managing codified knowledge. Sloan Management Review, Vol. 40 No.4, pp.45-61.