15 STRATEGI Perusahaan berbasis Edisi Minggu Bisnis Indonesia 3 April 2011 pengetahuan SATYO FATWAN Partner - Dunamis Organization Services T Pertanyaan, saran, kritik, dan komentar dapat disampaikan ke redaksi melalui: [email protected], dan www.bisnis.com empat kerja yang terbuka menggantung di sepanjang dua lantai, seperti air terjun. Badanbadan mobil berjalan di sepanjang jalur, disinari cahaya biru yang sangat lembut. Jika parade mobil setengah jadi melambat, para insinyur akan merasakan perubahan denyut pabrik dan dengan cepat menyelidiki permasalahan yang muncul. Pemeriksaan kualitas secara mingguan di sebuah plaza yang dilalui para pekerja saat menuju tempat makan siang, menjamin semua orang dengan cepat sadar bila ada kesemrawutan produksi. Kombinasi antara kebersamaan dan keterbukaan mencetuskan pertemuanpertemuan yang terjadi begitu saja di antara para pekerja, insinyur logistik, dan pakar kualitas. Itulah suasana di pabrik mobil BMW, Jerman. Situasi seperti itu memberi gambaran bahwa BMW adalah perusahaan otomotif yang paling tidak formal. Pembeli BMW mungkin tidak tahu bahwa ketika duduk di belakang kemudi, mereka sedang mengendarai sebuah mesin yang lahir dari ribuan sesi lempar gagasan yang dilakukan begitu saja. Tidak seperti kebanyakan perusahaan mobil yang kepala desainnya mendiktekan garis besar rancangan kendaraan kepada para pegawai, desainer-desainer BMW hanya diberi sasaran secara garis besar. Dan, dari situ mereka bebas memunculkan konsep terbaik mereka. Untuk mengoptimalkan potensi karyawan, BMW biasanya menyatukan para desainer, insinyur, dan ahli pemasaran untuk bekerja secara intensif dalan sebuah proyek. Rolls-Royce Phantom desain terbaru, misalnya, diberi julukan ”The Bank” karena 10 anggota perancangnya menghabiskan waktu di sebuah bangunan bank kuno di Marble Arch di London, yang setiap harinya dilewati banyak mobil Rolls-Royce. Namun, tahukah Anda, bahwa kekuatan BMW hingga menjadi produsen mobil yang paling dikagumi berasal dari keselarasan dengan pekerja yang berakar pada perjanjian pada masa lampau? Dunia BMW sekarang ini adalah buah perjuangan sejak 1959. Saat itu perusahaan tersebut hampir bangkrut dan hanya selangkah dari diambil alih Mercedes. Trauma dari zaman tersebut menjadi momen sangat penting dalam kisah BMW. Kisah itu diceritakan secara berulang di setiap masa orientasi pegawai baru pabrik. Jika bukan karena jaminan keluarga Quandt yang kaya —hingga kini masih menjadi pemegang saham mayoritas dengan 46% kepemilikan— dan perjanjian dengan pekerja untuk mempertahankan perusahaan tetap hidup, BMW tidak akan ada hari ini. Kerja keras, kepedulian karyawan, dan iklim berbagi pengetahuan itulah yang membangkitkan perusahaan ini dari keterpurukan. Pada 1972, jauh sebelum perusahaan Eropa lain rela membayar lebih kinerja karyawan, perusahaan Jerman ini telah memberi sebagian keuntungan kepada para karyawan. BMW membuat rencana, bilamana perusahaan memenuhi target-target finansial, maka akan membagi tunjangan khusus sebanyak 1,5 bulan gaji pada akhir tahun. Kerja keras, kepedulian karyawan, dan iklim berbagi pengetahuan itulah yang membangkitkan perusahaan ini dari keterpurukan. BISN IS/A DI PU RDIY ANT O Sebagai balasan, para pekerja menjadi lebih komit. Menghargai kontribusi karyawan Di masa itu, istilah aset intelektual mungkin belum terdengar. Akan tetapi, kebijakan BMW yang menempatkan karyawan di atas kepentingan lain merupakan bukti bahwa sejak dulu perusahaan ini sangat menghargai kontribusi karyawan. Dari hasil studi yang dilakukan Teleos, terdapat 8 dimensi yang perlu dikembangkan dalam rangka mewujudkan knowledge enterprise, yang meliputi: kepemimpinan, budaya perusahaan, iklim berbagi dan berkolaborasi, manajemen intelektual kapital, manajemen pengetahuan kustomer, pembelajaran organisasi, inovasi, dan upaya mengubah pengetahuan menjadi nilai bagi perusahaan. Kedelapan dimensi tersebut lah yang digunakan sebagai kerangka dalam most admired knowledge enterprise (MAKE). Kedelapan dimensi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat bagian. Pertama, menjadi knowledge enterprise dimulai dengan membangun kepemimpinan dan budaya perusahaan yang memacu pertumbuhan pengetahuan. Kedua, melaksanakan kegiatan knowledge management (KM) untuk menciptakan iklim kolaborasi dan berbagi pengetahuan. Ketiga, mengaitkan KM dengan realitas bisnis. Pengetahuan yang langsung berimplikasi terhadap bisnis perusahaan, antara lain: berinovasi, pembelajaran organisasi, pengelolaan pengetahuan pelanggan dan stakeholder, serta pengelolaan modal intelektual akan mendorong perkembangan bisnis dengan menciptakan produk yang dibutuhkan pasar. Di sisi lain, perusahaan makin berkompeten melalui pembelajaran dan memiliki aset-aset intelektual yang dibutuhkan dalam bisnis. Dan keempat, KM dalam menciptakan nilai bagi perusahaan, ditujukan untuk menyelaraskan berbagai inisiatif terhadap nilai perusahaan. Yang menarik, BMW telah melakukan keempat hal tersebut jauh sebelum perusahaan lain menyadari pentingnya KM dalam membangun dan mempertahankan orang-orang terbaik di perusahaan. Mewujudkan aset pengetahuan dapat dimulai dengan membangun kepedulian tentang KM dengan cara melakukan assessment terhadap kesiapan organisasi. Dalam hal ini, assessment dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka MAKE. Setelah itu, dilanjutkan dengan mengikuti MAKE Award. Melalui ajang bergengsi ini perusahaan dapat melakukan benchmark terhadap penerapan KM di perusahaanperusahaan unggul. Berikutnya, melakukan pemetaan dan identifikasi terhadap aset pengetahuan yang telah dimiliki dan aset pengetahuan yang harus dimiliki, dilanjutkan dengan mendesain strategi KM. Dalam membangun perusahaan berbasis pengetahuan, inisiatif KM harus diselaraskan dengan nilai-nilai perusahaan. Untuk itu diperlukan evaluasi, coaching dan monitoring, serta perbaikan yang dilakukan secara terusmenerus. Beberapa praktik di PT Unilever Indonesia (ULI) dalam membudayakan coaching sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari kiranya menarik dijadikan contoh. Pertama, ULI mengatasi coaching yang sebelumnya dianggap sebagai ritual menjadi sebuah kebutuhan. Caranya, dengan mengubah paradigma karyawan bahwa orang yang di-coach itu berarti bodoh/lemah. Paradigma tersebut dibongkar sehingga coaching menjadi aktivitas yang menyenangkan. Karyawan yang bersedia di coach berarti ingin mengembangkan dirinya menjadi orang yang excellent. Kedua, mengubah paradigma bahwa coaching dilakukan antaratasan-bawahan. Paradigma itu diubah menjadi melakukan coaching bagi siapa saja yang membutuhkan. Jadi, coaching tidak lagi dibatasi bagian/hierarki sehingga karyawan merasakan manfaatnya secara langsung. Ketiga, melakukan sosialisasi paradigma baru ini dengan menggunakan slogan NeeCo — singkatan dari Need a Coach— dan figur menarik yang dapat menghilangkan hambatan untuk coaching berupa lumba-lumba Neeco. Dan keempat, menggunakan konsep ”building leaders as generative coaches”. Artinya, setiap manajer memiliki people & talent profile dari anak buahnya. Dengan begitu, sang manajer akan tahu siapa di antara anak buahnya yang berpotensi dan kapan perlu dikembangkan atau dilatih. Selain untuk kalangan internal, ULI juga melakukan coaching untuk end-customer dan para partner melalui program-program berbasis pengetahuan. Dengan demikian, setiap orang di perusahaan terpanggil untuk berbagi dan menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru baik di lingkungan internal maupun eksternal. Selamat mencoba!