BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu ekosistem tersusun atas komponen biotik yang berinteraksi dengan komponen abiotik dan membentuk suatu sistem sehingga dapat diketahui adanya aliran energi dengan siklus materi secara jelas (Marsono dan Basri, 2011). Hutan memiliki 7 klasifikasi, hal ini didasarkan pada faktor-faktor iklim, edafis, dan komposisi tegakannya. Klasifikasi tersebut dapat dibedakan seperti berikut: klasifikasi hutan menurut asalnya, ditinjau dari asli atau tidaknya, berdasarkan komposisi jenisnya, menurut umur tegakannya, menurut tujuan pengelolannya, berdasarkan kepemilikannya dan klasifikasi hutan dunia (Marsono dan Basri, 2011). Hutan Pendidikan Wanagama I merupakan hutan sekunder, dimana hutan ini merupakan hasil upaya rehabilitasi dari lahan kritis yang tersusun dari berbagai flora dan fauna, berlokasi di Gunungkidul, Yogyakarta. Hutan Wanagama I termasuk hutan tipe iklim C dan D (Yuliah, 2011). Hutan yang dikatakan sehat apabila memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi (Price, 1975). Untuk mengetahui sehatnya suatu ekosistem dapat menggunakan instrumen bioindikator. Bioindikator adalah bagian dari proses biologis jenis atau komunitas spesies yang digunakan sebagai penilaian suatu lingkungan serta dalam proses 1 2 perubahan dari waktu ke waktu (Holt dan Miller, 2011). Salah satu bioindikator yang dijadikan sebagai parameter adalah Fauna. Fauna memiliki peran penting dalam ekosistem. Salah satu contohnya adalah semut (Hymenoptera: Formicidae). Semut dapat dijadikan sebagai bioindikator (Holldobler dan Wilson, 1990 dalam Tsani, 2013). Bioindikator sangat efektif apabila menggunakan invertabrata, contohnya serangga (Wilson, 1988). Kelimpahannya yang besar membuat invertebrata memiliki kepekaan yang tinggi akan gangguan, serta mudah dijadikan sebagai sampel (Rosenberg, dkk., 1986; Andersen, dkk., 2004). Semut merupakan jenis yang tersebar secara luas, berlimpah, dan sebagian besar hidup di kawasan tropika (Xerda dan Cim, 2011). Distribusinya luas dan keberadaannya yang mendominasi pada berbagai iklim dan bermacam habitat (Ramachandra dan Ajay, 2007). Karena keberadaannya yang mendominasi serta ditambah jumlah dan keanekargamannya yang berlimpah, maka semut dapat berperan sebagai bioindikator (Agosti dkk., 2000). Menurut pendapat Agosti, dkk (2000) semut memiliki peran dalam ekosistem, melalui interaksinya serta perilaku mutualistik dengan organisme lainnya. Spesies ini dapat dijumpai di berbagai tempat meskipun pada kondisi tegakan yang berbeda-beda dan akan ditemukan jenis semut yang berbeda pula (Herwina, dkk., 2008). Kondisi tegakan yang berbeda berdampak perbedaan kelimpahan makanan, avaibility makanan, hal ini 3 yang memengaruhi keanekaragaman, kelimpahan, dan persebaran jenis semut (Tsani, 2013). Semut merupakan serangga yang dapat dibedakan ke dalam dua tipe, yaitu terestrial dan arboreal. Menurut Atkins (1980) spesies ini termasuk kelompok terestrial yang dominan di wilayah tropik. Spesies terestrial hidup, berkembang, dan beraktivitas di bawah permukaan tanah sementara spesies arboreal hidup dan berkembang di atas permukaan tanah. Semut merupakan bioindikator lingkungan yang baik. Penelitian dengan menggunakan semut sebagai bioindikator pernah dilakukan Majer (1973) di Australia dalam restorasi kawasan tambang. Semut merupakan salah satu serangga yang dapat dijadikan sebagai bioindikator suatu lingkungan. Peran semut dalam ekosistem ditunjukan dalam interaksinya dengan flora dan fauna. Holldobler dan Wilson (1990) menjelaskan bahwa dalam ekosistem semut memiliki peran vital sebagai predator, scavenger, granivor, agen polinator, dan herbivor. Semut memiliki kemampuan menemukan mangsa (makanan), dan dengan menggunakan alat komunikasi berupa feromon dengan anggota koloni lainnya sehingga mempermudah perburuan (Simanjuntak, 2012). Kemampuan tersebut membuat semut dapat menekan populasi hama hingga tidak menimbulkan kerusakan. Salah satu semut yang digunakan sebagai agen biologis adalah semut rangrang (O. smaragdina) (Melee, 2007). Semut rangrang mampu menekan hama yang menjadi mangsanya, serta 4 meminimalisir kemungkinan infeksi penyakit yang dibawa oleh hama (Simanjuntak, 2012). Semut merupakan serangga yang terpengaruh oleh keberadaannya. Serangga ini dapat memberikan dampak positif namun juga dapat dikatakan sebagai hama. Semut dikatakan merugikan apabila jumlahnya over populasi pada ekosistem serta terdapat pada tempat yang tidak semestinya (Koehler dkk., 2012). Salah satu contohnya adalah semut tramp. Semut tramp adalah semut yang memiliki kemampuan beradaptasi hidup bersama manusia dan memiliki karakter invasif (Schutz dan McGlynn, 2000). Semut ini dapat menimbulkan kerusakan pada struktur kayu dalam bangunan, karena mampu melubangi kayu untuk membangun sarang, sehingga mengakibatkan kayu pondasi menjadi rapuh (Koehler dkk., 2007). Informasi tentang kelimpahan dan keanekaragaman jenis semut di areal Hutan Pendidikan Wanagama I, Gunungkidul, Yogyakarta masih terbatas. Penelitian mengenai kelimpahan dan keanekaragaman jenis semut ini pernah dilakukan di hutan Pendidikan Wanagama I, meskipun penelitian ini bukan yang pertama kalinya. Penelitian semut rangrang pernah dilakukan oleh Tsani (2013). Penelitian tentang semut rangrang pada lima tegakan (akasia, jati, mahoni, eukaliptus dan gmelina) dimana hasil dari penelitian ini hanya pada dua tegakan yaitu akasia dan eukaliptus saja ditemukan semut rangrang dan populasinya meningkat seiring bertambahnya curah hujan dan banyakanya sumber pakan. Penelitian ini 5 tetap penting untuk dilakukan, guna menambah informasi mengenai kelimpahan dan keanekaragaman jenis semut. 1.2. Perumusan Masalah Hutan Pendidikan Wanagama tersusun dari berbagai spesies tegakan pohon dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Penelitian ini difokuskan pada dua hal, yaitu: 1. Jenis-jenis semut pada tegakan Akasia, Jati, dan Eukaliptus di Hutan Pendidikan Wanagama I, Gunungkidul, Yogyakarta. 2. Tingkat keanekaragaman dan faktor yang memengaruhi pada kelimpahan semut di tiga tegakan yang berbeda (Akasia, Eukaliptus dan, Jati) di Hutan Pendidikan Wanagama I, Gunungkidul, Yogyakarta. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), Indeks similaritas jenis semut (So) dan jenis semut pada tiga tegakan yang berbeda (Akasia, Jati, dan Eukaliptus) di Hutan Pendidikan Wanagama I, Gunungkidul, Yogyakarta. 2. Mengetahui kelimpahan relatif semut dan faktor yang memengaruhinya pada tiga tegakan yang berbeda (Akasia, Jati, dan Eukaliptus) di hutan Pendidikan Wanagama I, Gunungkidul, Yogyakarta. 6 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan informasi dasar tentang keanekaragaman jenis semut di wilayah Hutan Pendidikan Wanagama 1. Dari sisi akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dasar tentang pengendalian hama penyakit tanaman khususnya aplikasi pengendalian secara biologis dengan memanfaatkan beberapa jenis semut yang potensial sebagai agen pengendali hayati. Hasil dari penelitian ini juga bisa dikembangkan untuk studi tentang sumber daya hayati lestari, khususnya jenis-jenis semut.