BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penurunan Aktivitas Fungsional pada NPB Nyeri punggung bawah miogenik dapat menyebabkan penurunan aktivitas fungsional pada penderita. Postur tubuh yang tegak tergantung pada lekukan tulang belakang yang normal, dan lekukan tersebut bukan penyebab nyeri punggung. Beberapa aktivitas, seperti joging dan berlari di permukaan yang tidak rata, angkat berat, dan duduk lama terutama di mobil, truk, dan kursi yang tidak nyaman, dapat menyebabkan nyeri punggung. Namun demikian, faktor psikologis memegang peranan yang cukup kuat dalam menyebabkan nyeri punggung kronik ( Ehrlich, 2003). Aktivitas fungsional adalah suatu gambaran kemampuan pasien NPB dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari seperti: perawatan diri, aktivitas mengangkat, berjalan, duduk, berdiri, tidur dan jongkok. Adapun aktivitas fungsional yang berhubungan dengan mobilitas lumbal yaitu aktivitas yang menimbulkan terjadinya gerakan pada daerah lumbal, misal gerakan mengangkat, mambungkuk, memutar, dan jongkok. Aktivitas fungsional yang menggunakan otot yang berlebihan dapat terjadi pada saat tubuh mempertahankan posisi dalam jangka waktu yang lama, dimana pada saat itu otot-otot daerah punggung bawah akan berkontraksi secara terus menerus untuk mempertahankan postur yang normal. Keadaan tersebut dapat terjadi pada saat melakukan gerakan yang menimbulkan beban berlebihan di 11 12 daerah punggung bawah, misalnya mengangkat berat dengan posisi yang salah. Penggunaan otot-otot punggung bawah secara berlebihan dapat menimbulkan nyeri. Setiap gerakan pada otot akan menimbulkan nyeri sekaligus menyebabkan spasme otot. Adanya nyeri dan spasme otot akan membuat seseorang takut menggunakan otot punggungnya untuk melakukan gerakan lumbal, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan fisiologis pada otot-otot tersebut, yaitu berkurangnya massa otot (atropi) dan menurunnya kekuatan otot, akhirnya individu tersebut akan mengalami penurunan tingkat aktivitas fungsional. Adanya otot-otot abdominal dan paravertebra, hal tersebut akan membatasi gerakan dari lumbal terutama pada saat melakukan gerakan membungkuk (fleksi) dan memutar (rotasi) (Hills, 2006). 2.2 Nyeri Punggung Bawah (NPB) Nyeri punggung bawah merupakan rasa nyeri atau perasaan lain yang tidak nyaman pada punggung bawah, mulai batas kosta sampai lipatan bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbosakral dan sering disertai dengan atau tanpa nyeri menjalar ke kaki (Magee, 2013). Timbulnya rasa nyeri tersebut pada akhirnya akan menurunkan mobilitas lumbal sehingga terjadi keterbatasan gerak terutama gerak fleksi (membungkuk) atau ekstensi. Nyeri punggung bawah (NPB) adalah suatu gejala dan bukan suatu diagnosa, dimana pada beberapa kasus gejalanya sesuai dengan diagnosis patologinya dengan ketepatan yang tinggi, namun di sebagian besar kasus, diagnosa tidak pasti dan berlangsung lama. Dengan demikian maka NPB yang timbul sementara dan hilang timbul adalah suatu yang dianggap biasa. Namun bila 13 NPB terjadi mendadak dan berat maka akan membutuhkan pengobatan, walaupun pada sebagian besar kasus akan sembuh dengan sendirinya (Soedomo, 2002). Nyeri punggung bawah paling sering terjadi karena gangguan pada muskuloskeletal. Penyebab lain seperti metabolisme, sirkulasi, genekologi, urologi atau masalah-masalah psikologis, dimana mungkin menunjukkan nyeri pada pungung bawah. Permasalahan yang ditimbulkan NPB cukup besar, sebagian besar keluhan dapat hilang sendirinya tanpa adanya penanganan medis (Kravitz, 2006). Masa penyembuhan NPB biasanya berlangsung antar 3-4 bulan. Hilangnya keluhan NPB masih menimbulkan permasalahan yaitu resiko untuk kambuh kembali, salah satunya disebabkan adanya penurunan fungsi stabilitas otot-otot tulang belakang bagian dalam. Pasien NPB yang tidak melakukan latihan secara khusus memiliki resiko 12 kali untuk kambuh kembali dalam jangka waktu 3 tahun (Knudsen, (2003). Low Back Pain (LBP)/NPB menurut perjalanan kliniknya dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Acute low back pain Rasa nyeri yang menyerang secara tiba-tiba, rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute low back pain dapat disebabkan karena luka traumatik seperti kecelakaan mobil atau terjatuh, rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat merusak jaringan juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada kecelakaan lebih 14 serius, raktur tulang pada daerah lumbal dan spinal dapat masih sembuh sendiri. Sampai saat ini penatalaksanaan awal nyeri punggung akut terfokus pada istirahat dan pemakaian analgesik. 2) Chronic low back pain Rasa nyeri yang menyerang lebih dari 3 bulan atau rasa nyeri yang berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini biasanya memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama. Chronic low back pain dapat terjadi karena osteoarthritis, rheumathoidarthritis, proses degenerasi discus intervertebralis dan tumor. Keluhan nyeri dapat beragam pada pasien dengan NPB dan nyeri diklasifikasikan sebagai nyeri yang bersifat lokal, radikular, dan menjalar (referred pain) atau spasmodik, yaitu: 1) Nyeri yang bersifat lokal Nyeri lokal berasal dari proses patologik yang merangsang ujung saraf sensorik, umumnya menetap, namun dapat pula intermitten, nyeri dipengaruhi perubahan posisi, bersifat nyeri tajam atau tumpul. 2) Nyeri radikular Nyeri radikular berkaitan erat dengan distribusi radiks saraf spinal (spinal never root), dan keluhan ini lebih berat dirasakan pada posisi yang mengakibatkan tarikan seperti membungkuk dan berkurang dengan istirahat. 3) Nyeri menjalar (referred pain) 15 Nyeri alih atau menjalar dari pelvis visera umum mengenal dermatom tertentu, bersifat tumpul dan terasa lebih dalam. Tabel 2.1 Karakteristik Low Back Pain (Lubis, 2003) Sumber nyeri Distribusi Nyeri spinal Sklerotomal Tumpul tajam Lokal Sklerotomal Dalam, aching Nyeri diskus Sifat nyeri Faktor yang mempengaruhi Pergerakan Peningkatan tekanan Intradiskus duduk, manuver valsava Regangan akar saraf Nyeri radik Radikular Parastesia, baal Saraf Multiple Radikular Pola sklaudikasio Lumbar spinal spinal Stenosis Nyeri alih Dermatomal Dalam, aching Berkaitan dengan organ Visera organ yang terkena Perubahan Neurologi Tidak ada Tidak ada Ada Ada Ada Salah satu jenis nyeri punggung bawah yang terjadi adalah nyeri punggung bawah miogenik yang terjadi akibat punggung bawah bekerja secara berlebihan dimana seseorang duduk dan berdiri melawan gravitasi di sepanjang harinya. Hal ini menyebabkan timbulnya beban yang berlebihan pada tulang belakang dan otot punggung bawah. Faktanya otot punggung bawah terus menerus bekerja untuk menjaga postur dalam posisi duduk maupun berdiri juga bekerja keras untuk menstabilkan tubuh agar mampu menggerakkan lengan maupun tungkai. Hal ini jelas berbeda dengan kerja otot-otot penggerak lainnya. Oleh karena itu kerja otot punggung harus diperhatikan. Otot punggung bawah tidak boleh bekerja secara statis terlalu lama karena dapat menimbulkan titik-titik nyeri yang disebut trigger point. Nyeri otot menimbulkan titik-titik nyeri yang disebut trigger point, dimana dalam keadaan ini otot mengalami pemendekan, kelemahan, nyeri dan 16 penurunan kemampuan fungsional (Meliala dan Pinzon, 2004). Penurunan kemampuan fungsional yang terjadi merupakan suatu reaksi hilangnya mobilitas ROM (Range Of Motion) yang menyebabkan timbulnya nyeri sebelum dapat mencapai gerakan akhir secara penuh, kondisi ini timbul karena gerakan yang dihasilkan tidak cukup untuk dilakukan saat pemendekan jaringan lunak berlangsung. Adapun bentuk penurunan kemampuan fungsional yang terjadi dapat berupa gangguan saat duduk ke berdiri, saat membungkuk, saat duduk maupun berdiri lama serta berjalan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya gerakan yang bertujuan untuk peregangan dan penguatan otot tersebut. Nyeri punggung bawah miogenik berhubungan dengan stress/strain otot punggung, tendon, ligamen (tendomuskular) yang biasanya ada bila melakukan aktivitas sehari-hari berlebihan. Nyeri bersifat tumpul, intensitas bervariasi seringkali menjadi kronik, dapat terlokalisir atau dapat meluas sekitar glutea. Nyeri ini tidak disertai dengan hipertensi, parestesi, kelemahan atau defisit neorologis. Bila batuk atau bersin tidak menjalar ke tungkai (Magee, 2003). Hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan kapasitas fisik berupa nyeri pada punggung bawah, penurunan LGS (Laju Gerak Sendi)) dan penurunan kekuatan otot fleksor dan ekstensor punggung bawah. Nyeri punggung bawah miogenik dapat timbul akibat adanya potensi kerusakan pada dermis, pembuluh darah, fascia, musculus, tendon, kartilago, tulang, ligamen, meniskus, bursa (Paliyama, 2003). Gangguan yang terjadi pada nyeri punggung bawah miogenik yaitu nyeri tekan pada regio lumbal, spasme otot-otot punggung bawah, sehingga dapat 17 menyebabkan ketidakseimbangan antara otot abdominal dan paravertebra, yang dapat mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak. Adanya ketidakseimbangan tersebut menyebabkan penurunan mobilitas lumbal akibat adanya nyeri, spasme, ketidakseimbangan otot tersebut, sehingga aktivitas fungsional terganggu, terutama aktivitas yang memerlukan gerak membungkuk dan memutar badan (Meliala dan Panzon, 2004). 2.2.1 Patofisiologi NPB Miogenik Kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang elastik yang tersusun atas banyak unit rigit (vertebra) dan unit fleksibel (diskus intervertebralis) yang diikat satu sama lain oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung yang unik tersebut mungkin fleksibilitas sementara disisi lain tetap dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertikal pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting pada aktivitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Mengangkat beban berat pada posisi membungkuk menyamping menyebabkan otot tidak mampu mempertahankan posisi tulang belakang thorakal dan lumbal, sehingga pada saat facet joint lepas dan disertai tarikan dari samping, terjadi gesekan pada kedua permukaan facet sendi menyebabkan ketegangan otot di daerah tersebur yang akhirnya menimbulkan keterbatasan gesekan pada tulang belakang. Obesitas, masalah 18 postur, masalah struktur dan peregangan berlebihan pendukung tulang dapat berakibat nyeri punggung. Nyeri terjadi jika saraf sensoris perifer, yang disebut nociseptor terpicu oleh rangsang mekanik, kimiawi maupun termal maka impuls nyeri akan dihantarkan ke serabut-serabut afferen cabang spinal. Dari medula spnalis impuls diteruskan ke otak melalui traktus spinotalamikus kolateral. Selanjutnya akan memberikan respon terhadap impuls saraf tersebut. Respon tersebut berupa upaya untuk menghambat atau mensupresi nyeri dengan pengeluaran substansi peptida endogen yang mempunyai sifat analgesik yaitu endorpin. Disamping itu impuls nyeri yang mencapai medula spinalis, akan memicu respon refleks spinal segmental yang menyebabkan spasme otot dan vasokontriksi (Tan, 2006). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menjelaskan bahwa impuls nyeri diatur oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses. Spasme otot yang terjadi merupakan suatu mekanisme proteksi, karena adanya spasme otot akan membatasi gerakan sehingga dapat mencegah kerusakan lebih berat, namun adanya spasme otot, juga terjadi vasokontriksi pembuluh darah yang menyebabkan iskemik dan sekaligus menjadi titik picu terjadinya nyeri (Meliala dan Pinzon, 2004). Pada nyeri miogenik, aktivitas nosiseptor umumnya disebabkan oleh rangsangan mekanik, yaitu penggunaan otot yang berlebih. Penggunaan otot yang berlebihan dapat terjadi pada saat tubuh dipertahankan dalam posisi statik atau posisi yang salah dalam jangka waktu yang cukup lama, dimana otot-otot di 19 daerah punggung akan berkontraksi untuk mempertahan postur tubuh yang normal (Bernard, 2003). Penggunaan otot yang berlebihan akan menimbulkan iskemik atau inflamasi sehingga terjadi peningkatan berbagai mediator inflamasi seperti histamin, bradikinin, serotinin, atau 5-hydroxytriptamine (5-HT) dan prostaglandin PGE 2) (Meliala dan Pinzon, 2004). Mediator inflamasi tersebut akan mensensitisasi nociseptor otot, akibatnya otot lebih sensitif, stimulasi yang seharusnya tidak menimbulkan nyeri dapat menimbulkan terjadinya nyeri. Setiap gerakan pada otot dapat menimbulkan nyeri sekaligus menambah spasme otot. Adanya spasme otot menyebabkan ketidakseimbangan otot abdominal dan paravertebra, maka akan membatasi mobilitas lumbal terutama untuk gerakan membungkuk (fleksi) dan memutar (rotasi) (Hills, 2006). Nyeri dan spasme otot seringkali membuat individu takut menggunakan otot-otot punggungnya untuk melakukan gerakan lumbal, selanjutnya akan menyebabkan perubahan fisiologi pada otot yaitu berkurangnya massa otot dan penurunan kekuatan otot, akhirnya menimbulkan penurunan aktivitas fungsional. 2.2.2 Etiologi Menurut Borenstein dan Wiessel (2004), faktor-faktor penyebab nyeri punggung bawah diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu : 2.2.2.1 Faktor Statik Faktor mekanik statik adalah deviasi sikap atau postur tubuh yang menyebabkan peningkatan sudut lumbosakral (sudut antara segmen vertebra L5 dan vertebra S1) yang normalnya 300-340, atau peningkatan lengkung lordotik 20 lmbal dalam waktu yang cukup lama serta menyebabkan pergeseran titik pusat berat badan (center of gravity/COG), yang normalnya berada di garis tengah sekitar 2,5 cm di depan segmen vertebra S2. Peningkatan sudut lumbosakral dan pergeseran COG (Centre of Gravity) tersebut akan menyebabkan peregangan pada ligamen dan berkontraksinya otot-otot yang berusaha untuk mempertahankan postur tubuh yang normal, akibatnya dapat terjadi sprain atau strain pada ligamen atau otot-otot sekita punggung bawah yang menimbulkan nyeri (Pandono, 2008). Faktor penyebab statik nyeri punggung bawah adalah : a. Pergeseran titik pusat berat badan bergeser kedepan. Adapun yang dapat menimbulkan pergeseran antara lain : 1. Kebiasaan tubuh yang tidak benar 2. Obesitas dan kehamilan 3. Pemendekan tendon achiles atau terlalu sering memakai sepatu hak tinggi. 4. Kelemahan otot-otot dinding perut, serta kelainan atau pemendekan otototot punggung. b. Pergeseran titik pusat badan bergeser ke samping. c. Terganggunya ritme lumbal-pelvis 2.2.2.2 Faktor dinamik Faktor mekanik dinamik atau kinetik terjadinya stres atau badan mekanik abnormal pada struktur jaringan (ligamen atau otot) di daerah punggung bawah saat melakukan gerakan. Stres atau beban mekanik tersebut melebihi kapasitas fisiologi atau toleransi otot maupun ligamen di daerah punggung bawah. Gerakan yang potensial menimbulkan nyeri punggung bawah muskuloskeletal adalah 21 gerakan kombinasi terutama fleksi dan rotasi, dan bersifat repetitif, apalagi disertai dengan beban, misal ketika sedang mengangkat beban yang berat (Pandono, 2008). Faktor- faktor resiko nyeri punggung bawah dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu faktor eksternal atau pekerjaan dan faktor internal (Bull dan Archard, 2007). 1. Faktor eksternal atau pekerjaan Faktor eksternal antara lain : 1) pekerjaan fisik yang berat, terutama memberikan tekanan yang cukup besar pada punggung bawah; 2) pekerjaan yang berhubungan dengan posisi statik yang berkepanjangan, misalnya berdiri atau duduk yang cukup lama, apalagi disertai dengan vibrasi alat-alat perindustrian; 3) pekerjaan yang dilakukan dengan membungkuk atau memutar tubuh berulang-ulang; 4) pekerjaan yang membosankan, repetitif, atau tidak memberikan kepuasan. 2. Faktor internal Faktor internal berkaitan dengan individu itu sendiri, antara lain : 1) usia, dari berbagai studi epidemiologik, kejadian nyeri punggung bawah meningkat pada usia 35 tahun dan mencapai puncaknya 55 tahun; 2) antopometrik, berhubungan dengan berat badan, individu dengan obesitas mempunyai resiko yag lebih besar mengalami nyeri punggung bawah karena obesitas menyebabkan hiperlordosis lumbal sehingga terjadi pergeseran. 22 2.2.3 Tanda dan Gejala Tanda dan gejala nyeri punggung bawah miogenik adalah ditemukannya nyeri otot yang dikenal sebagai miogenik, yaitu nyeri yang tidak wajar yang tidak sesuai dengan distribusi saraf serta dermatom dengan reaksi yamg sering berlebihan. Nyeri tersebut ditandai dengan adanya nyeri tekan pada daerah yang bersangkutan (triger point), kehilangan ruang gerak kelompok otot yang bersangkutan (loss of range motion), spasme otot punggung bawah. Adanya spasme otot daerah lumbosacral, ketidakseimbangan otot stabilisator dan fiksator trunk, mobilisasi lumbosakral terbatas, sehingga mengalami penurunan aktivitas fungsional. Keluhan akan hilang apabila kelompok otot lumbosakral diregangkan (Soedomo, 2002). 2.3 Anatomi Tulang Punggung Lumbosakral Secara anatomis dan fungsional, tulang belakang merupakan “axial skeleton” dari tubuh manusia yaitu bekerja sebagai struktur penyanggah tubuh dan kepala yang dilibatkan dengan berbagai sikap tubuh dan berbagai gerakan. Oleh sebab itu tulang belakang sering mengalami gangguan yang menjadi keluhan utama terutama pada pekerja dan pada umumnya nyeri punggung bawah sering terjadi disebabkan oleh faktor biomekanik. Struktur utama dari tulang punggung adalah vertebra, discus intervertebralis, ligament antara spina, spinal cord, saraf, otot punggung, organ-organ dalam sekitar pelvis, abdomen dan kulit yang menutupi daerah punggung (Puzt dan Pabst, 2008). Tulang belakang lumbal sebagai unit struktur dalam berbagai sikap tubuh dan gerakan dapat ditinjau dari sudut mekanika. Beban yang ditanggung oleh 23 tulang belakang lumbal dapat dipelajari dengan diskus intervertebralis antara L-5 sampai S-1 atau L-4 dan L-5 sebagai titik tumpuan. Bila mengangkat benda berat, tangan, lengan dan badan dapat dianggap sebagai lengan beban posterior, pendek, yang berjarak dari pusat diskus intervertebralis sampai prosessus spinosus belakang. Tulang belakang terdiri atas 33 ruas yang merupakan satu kesatuan fungsi dan bekerja bersama-sama melakukan tugas-tugas seperti : 1. Memperhatikan posisi tegak tubuh 2. Menyangga berat badan 3. Fungsi pergerakan tubuh 4. Perlindungan jaringan tubuh Pada saat berdiri, tulang belakang memiliki fungsi sebagai penyokong pergerakan tersebut. Struktur dan peranan yang kompleks dari tulang belakang inilah yang seringkali menyebabkan masalah. Kolumna vertebralis tulang punggung terdiri atas : 1) vertebra cervikalis 7 buah, 2) vertebra thorakalis 12 buah, 3) vertebra lumbalis 3 buah, 4) vertebra sakralis 5 buah, 5) vertebra coccygeus 4-5 buah. Vertebrae cervikalis, thorakalis dan lumbalis golongan true vertebrrae. Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 2.1 menunjukkan susunan dari tulang belakang (Puzt dan Pabst, 2008). 24 Gambar 2.1 Gambar Vertebra ( Puzt dan Pabst, 2008) Gambar 2.2 Gambar lumbar spine (Puzt dan Pabst, 2008) 25 Gambar 2.2 diatas merupakan gambar vertebra yang dihubungkan oleh intervertebra disc satu sama lainnya. Bagian ini yang melingkari dan melindungi lubang luas tulang belakang, terletak di sebelah belakang dan pada bagian ini terdapat tonjolan yaitu: a. Prosesus spinosus Terdapat ditengah-tengah lengkung luas, menonjol kebelakang b. Prosesus tranversum Terdapat disamping kiri dan kanan lengkung luas c. Prosesus artikulasi Membentuk persendian dengan ruas tulang belakang (vertebralis). Sendi thoracolumbal adalah sendi yang dibentuk oleh vertebrae thoracal 12 dan L1. Secara umum keduanya berfungsi statis, kinetik keseimbangan dan perlindungan. Pada fungsi statis tulang belakang mempertahankan posisi tegak melawan gravitasi dengan energi sekecil mungkin sehingga membentuk sikap tubuh tertentu. memungkinkan Fungsi kinetis terjadinya merupakan gerakan. Fungsi rangkaian alat gerak yang keseimbangan turut aktif mempertahankan titik berat tubuh pada posisi tetap pada tulang sacrum saat berdiri. Fungsi proteksi ialah melindungi organ jaringan penting seperti sum-sum tulang belakang, akar saraf, pembuluh darah. Pada tulang belakang terdapat segmen gerak yang disebut segmen junghans terdiri dari diskus intervertebralis, korpora, sendi faset, ligamenta, forament intervetebralis beserta isinya, kanalis vertebralis dan otot paravertebralis. Di antara kedua korpus tulang belakang terdapat jaringan fibrocartilago yang merupakan bantalan sendi, berfungsi sebagai 26 peredam kejut. Penambahan beban akan menyebabkan kompresi terhadap nukleus pulposus, gerakan fleksi, ekstensi dan rotasi secara berlebihan juga dapat menganggu nukleus. Selain bantalan sendi juga terdapat ligament sebagai stabilisator pasif yaitu ligament longitudinal posterior, ligament longitudinal anterior, ligament flavum, ligament transversalis dan ligament interspinalis. Gerakan tulang belakang persegmen tidak pernah terjadi secara aktif, gerak pasif dalam posisi tertentu, fiksasi tertentu dan komponen gerak tertentu dapat diperoleh dengan dominasi segmen tertentu. Teknik ini yang digunakan untuk mobilisasi hipomobilitas segmental dan joint block. 2.3.1 Otot Lumbosakral Stabilisator aktif tulang belakang terdiri dari beberapa otot, yaitu otot trunkus posterior, lateral dan anterior : 1. Otot-otot trunkus posterior a. Lapisan dalam terdiri dari : otot transpinalis , otot longissimus dan otot iliocostalis b. Lapisan tengan terdiri dari : otot seratus posterior inferior di bagian tengah posterior otot paravertebra dan anterior latissimus. c. Lapisan superfisial : dibentuk oleh otot latissimus dorsi yang menutupi semua otot paravertebra dan berlanjut ke arah inferolateral. 2. Otot-otot trunkus lateralis. Terdiri dari otot quadratus lumborum dan otot psoas. 3. Otot-otot trunkus anterior 27 Terdiri dari otot rectus abdominis dan otot obliqus externus abdominis. Otot-otot tersebut yang menghubungkan bagian punggung ke arah ekstremitas maupun yang terdapat pada bagian punggung itu sendiri. Otot pada punggung memiliki fungsi sebagai pelindung dari kolumna spinalis, pelvis dan ekstremitas. Otot punggung yang mengalami luka mungkin dapat menyebabkan terjadinya nyeri punggung bawah. Kerja sinergis dari otot-otot di atas akan menghasilkan dynamic bracing yang diperlukan untuk stabilisasi vertebra lumbal. Otot-otot stabilisator utama pada lumbal disusun oleh lapisan dalam dari otot paravertebra dan otot abdominal, yaitu : otot –otot transversospinalis (otot multifidus, otot intertransversarii, dan otot rotatores) dan otot transversus abdominis. Fungsi otot-otot ini sebagai stabilisator sangat sesuai dengan jenis serabut ototnya yang memiliki karakteristik serabut otot tipe I atau tipe tonik (Knudsen, 2003). Selain otot-otot tersebut di atas, dalam mekanisme kontrol postural dan fungsi lumbo-pelvic complex juga melibatkan otot-otot yang melintasi hip joint yaitu otot dasar panggul. Otot-otot tersebut berfungsi sebagai fiksator pelvis yang merupakan perlekatan dari sebagian otot-otot stabilisator lumbal. Suatu gangguan atau kelainan pada otot-otot ini secara tidak langsung akan mempengaruhi aksi otot-otot stabilisator lumbal. 2.3.2 Biomekanik vertebra lumbal Ditinjau dari dari keleluasaan gerak sendinya, sendi vertebra lumbal termasuk amphiartrosis (hyaline joint). Adapun bidang geraknya antara lain bidang gerak sagital, transversal, dan frontal. Sedangkan gerakan yang terjadi 28 yaitu: fleksi, ekstensi, rotasi dan latero fleksi. Pada pemeriksaan gerakan dari columna vertebralis ini mengambil titik pusat pada sendi lumbosacral (Kapandji, 2010). 1. Gerak fleksi lumbal Gerakan ini menempati bidang sagital dengan axis gerakan frontal. Sudut yang normal gerakan fleksi lumbal sekitar 600. Gerakan ini dilakukan oleh otot fleksor yaitu otot rectus abdominis dibantu oleh otot-otot extensor spine (Kapandji, 2010). 2. Gerakan ekstensi lumbal Gerakan ini menempati bidang sagital dengan aksis frontal. Sudut yang normal fleksi lumbal sekitar 350. Gerakan ini dilakukan oleh otot spinalis dorsi, otot longisimus dorsi dan iliocostalis lumborum (Kapandji, 2010). Gambar 2.3 Gerak fleksi dan ekstensi (Kapandji, 2010) 29 3. Gerakan rotasi Terjadi dibidang horizontal dengan axis melalui processus spinosus dengan sudut normal yang dibentuk 450 dengan otot penggerak utama m. iliocostalis lumborum untuk rotasi ipsi lateral dan kontra lateral, bila otot berkontraksi terjadi rotasi ke pihak berlawanan oleh m. obliqus externus abdominis. Gerakan ini dibatasi otot rotasi samping yang berlawanan dan ligamen interspinosus (Kapanjdi, 2010). 4. Gerakan Lateral fleksi Gerakan pada bidang frontal dan sudut normal yang dibentuk 300 dengan otot penggerak m. Ooblliqus internus abdominis, m. Rectus abdominis (Kapandji, 2013). Gambar 2.4 Gerak lateral fleksi (Kapandji, 2010) Pada posisi berdiri, bila dilihat dari samping punggung bawah belakang tampak cekung ke depan yang disebut lordosis. Lordosis ini wajar pada setiap orang normal. Pada posisi berdiri normal sudut lumbosacral untuk laki-laki 300 dan wanita 340. Sudut lumbosacral adalah sudut yang dibentuk oleh garis datar 30 dan garis melalui tulang sacral. Semakin besar sudut lumbosacral , semakin besar kurva lordosis, begitu pula sebaliknya (Kapandji, 2010). Diketahui bahwa L5 sebagai titik tumpu terletak diatas sakrum yang mempunyai bidang miring karena beban berat diatasnya. Maka sakrum kadangkadang tidak dapat menahan VL5 dan akhirnya meluncur disertai tekanan yang bersifat menggunting atau shearing stress. Calliet menyatakan bahwa sudut lumbosacral 300 tekanan menggunting 50% dari beban yag disangganya, sudut lumbosacral 400 tekanan meggunting 65% dan sudut lumbosacral 500 tekanan mengguntingnya 75% (Kapandji, 2010). 2.4 Aktivitas Fungsional yang Berkaitan dengan NPB Aktivitas fungsional adalah suatu gambaran kemampuan pasien NPB dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari seperti : perawaatan diri, aktivitas mengangkat, berjalan, duduk, berdiri, tidur dan jongkok. Adapun aktivitas fungsional yang berhubungan dengan mobilitas lumbal yaitu aktivitas yang menimbulkan terjadinya gerakan mengangkat, membungkuk, memutar, jongkok dan lain-lain. Aktivitas fungsional yang menggunakan otot berlebihan dapat terjadi pada saat tubuh mempertahankan posisi dalam jangka waktu yang lama, dimana pada saat itu otot-otot di daerah punggung bawah akan berkontraksi secara terus menerus untuk mempertahankan postur yang normal. Kedaan ini juga dapat terjadi pada saat melakukan gerakan beban berlebih di daerah punggung bawah, misal mengangkat beban berat dengan posisi yang salah. Penggunaan otot-otot punggung bawah secara berlebihan dapat menimbulkan nyeri. Setiap gerakan 31 pada otot tersebut akan menimbulkan nyeri sekaligus menyebabkan spasme otot. Adanya otot abdominal dan paravertebra akan membatasi gerakan dari lmbal teruma pada saat melakukan gerakan membungkuk (fleksi) dan memutar (rotasi) (Hills, 2006). Adanya nyeri dan spasme otot akan membuat orang tersebut membatasi menggunakan otot punggungnya mengakibatkan perubahn fisiologis pada otot tersebut, yaitu berkurangnya massa otot (atropi) dan menurunnya kekuatan otot dan akhirnya individu tersebut akan mengalami tingkat aktivitas fungsional (Hills, 2006). 2.5 Pemeriksan Aktivitas Fungsional pada Nyeri Punggung Bawah Miogenik Oswestry Disability Index (ODI) merupakan satu dari beberapa alat ukur yang khusus digunakan untuk masalah gangguan dan membatasi aktivitas fungsional khususnya pada nyeri punggung bawah dengan metode kuesioner. Dimana telah diuji secara luas dalam beberapa penelitian sebelumnya dan menunjukkan hasil validitas atau kehandalan atau kemampuan prediktif yang baik. Kuesioner sebelum diisi, terlebih dahulu pasien diberi penjelasan tentang cara pengisian dan memberi tanda cek (√) pada kotak yang disediakan. Pasien diminta memilih salah satu pernyataan yang menggambarkan ketidakmampuan aktivitas fungsional. ODI berisi 10 buah pertanyaan yang dirancang untuk mengetahui kemampuan pasien dalam kehidupan sehari-hari dimana setiap pertanyaan mengandung skor 0 – 5 dan mempunyai nilai maksimum 50. Tingkat ketidakmampuan dibagi menjadi lima yaitu presentase 0 – 20% minimal disability, 21 – 40% moderat disability, 41 – 60% berat disability, 61 – 80% 32 sangat terbatas aktivitas dan 81 – 100 % tidak mampu beraktivitas. Penilaian menggunakan nilai total skor ODI/Total Skor (50) x 100%. (Fairbank, et al 2000). 2.6 Core Stability Exercise (CSE) 2.6.1 Pengertian Core Stability Menurut Kibler, et al (2006), Core Stability didefenisikan sebagai kemampuan untuk mengontrol posisi dan gerakan bagian atas panggul dan kaki untuk memungkinkan produksi yang optimal saat melakukan transfer dan kontrol gerakan ke bagian bawah pada saaat aktivitas. Core Stability berhubungan dengan bagian tubuh yang dibatasi oleh dinding perut, panggul, punggung bagian bawah dan diafragma serta kemampuannya untuk menstabilkan tubuh selama gerakan. Otot-otot utama yang terlibat meliputi transversus abdominis, obliques internal dan eksternal, Quadratus lumborum dan diafragma. Diafragma adalah otot utama untuk menghirup napas pada manusia dan lain sebagainya, sangat penting dalam memberikan kekuatan Core Stability saat bergerak dan mengangkat beban (Ludmilla et al. 2003). Core Stability merupakan salah satu faktor penting dalam postural set. Dalam kenyataanya Core Stability menggambarkan kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan posisi dan gerakan sentral pada tubuh diantaranya: head and neck alignment, alignment of vertebral column thorax and pelvic stability/mobility. Core Stability merupakan komponen penting dalam memberikan kekuatan lokal dan keseimbangan untuk memaksimalkan aktivitas secara efisien (Ahmadi et al, 2012). Pelatihan Core Stability akan membantu memelihara postur yang baik dalam melakukan gerak serta menjadi dasar untuk semua gerakan pada lengan dan tungkai. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya 33 dengan stabilitas postur (aktifasi otot Core Stability) yang optimal, maka mobilitas pada ekstremitas dapat dilakukan dengan efisien. Menurut (Kibler, 2006), peningkatan pola aktivasi Core Stability juga menghasilkan peningkatan level aktivasi pada ekstremitas atau anggota gerak sehingga mengembangkan kapabilitas untuk mendukung atau menggerakkan ekstremitas. Core Stability memerlukan gerakan thrunk control dalam 3 bidang. Dalam mempertahankan stabilitas semua bidang gerak otot-otot teraktifasi dalam pola yang berbeda dari fungsi utamanya. Diantaranya otot quadratus lumborum fungsi utamanya sebagai stabilisator saat aktifasi dari bidang frontal. Aktivasi otot quadratus lumborum terjadi pada gabungan dengan fleksi, ektensi dan lateral fleksi untuk menopang spine dalam bidang gerak, sehingga membuatnya lebih dari sekedar stabilisasi pada bidang frontal.Salah satu sumber dari otot-otot core adalah diafragma, kontraksinya terjadi secara simultan dari diafragma (Kahle, 2009). Otot-otot pelvic floor dan abdominal diperlukan untuk meningkatkan Intra Abdominal Pressure (IAP) dan memberikan rigiditas cylinder untuk menopang thrunk, menurunkan beban pada otot-otot spine dan meningkatkan stabilitas thrunk. Kontribusi diaphragma pada Intra Abdominal Pressure (IAP) penting sebelum menginervasi gerakan-gerakan dari ekstremitas atau anggota gerak, sehingga thrunk menjadi stabil. Pada akhir komponen yang terpenting pada thrunk terhadap otot core adalah otot pelvic floor karena kesulitan untuk menilai otot ini secara langsung sehingga sering diabaikan. Sedangkan pada otot abdominal yang terdiri dari otot Tranversus Abdominalis, Internal Obliques, External Obliques dan rectus abdominalis. Kontraksi tranversus abdominalis meningkatkan intra 34 abdominal pressure (IAP) dan tekanan fascia thorakolumbal. Kontraksi otot abdominal menghasilkan sebuah rigid cylinder yang meningkatkan kekakuan (stiffness) dari lumbar spine. Otot rectus abdominalis dan oblique abdominal mengaktivasi pola yang spesifik dengan berperan penting terhadap gerakan anggota gerak bawah, sekaligus memberikan postural support sebelum anggota gerak bawah bergerak. Oleh karena itu, kontraksi yang meningkatkan tekanan intra abdominal terjadi sebelum inisiasi gerakan segmen yang besar pada anggota gerak atas (Hopkins, 2009). Dalam hal ini, spine ( core of the body ) terjadi stabilisasi sebelum adanya gerakan-gerakan pada anggota gerak yang terjadi untuk membuat angggota gerak menjadi lebih stabil dalam melakukan gerakan dan akfitas otot. Pada sebagian kecil, short muscle seperti otot multifidus yang memberikan stabilisasi otot-otot pada single joint maupun multiple joint berfungsi untuk bekerja lebih efisien dalam mengontrol gerakan spine. Secara klinis dapat dilihat bahwa dengan hanya sebuah peningkatan kecil dalam mengaktifkan otot multifidus dan abdominal membuat segmen spinal menjadi stiffness (maksimal kontraksi volunter pada aktivitas sehari-hari sekitar 5% dan 10% sebagai maksimal kontraksi volunter untuk aktivitas tertentu). Pola aktivasi sinergis yang meliputi otot-otot abdominalis, diaphragma dan pelvic floor memberikan base of support pada seluruh thrunk dan otot spinalis. Dalam membentuk base of support yang baik juga dipengaruhi gabungan struktur hip dan pelvic dari keduanya. Hip dan pelvic terdapat gabungan otot-otot besar pada daerah crosssectional. Seperti halnya otot gluteus merupakan stabilisator dari trunk sampai kedasar kaki dan menyediakan 35 power untuk gerakan melangkah kedepan. Area hip atau trunk juga mengkontribusi sekitar 50% energi kinetik dan force sepenuhnya untuk gerakan mengayun (Fredericson et al, 2005). Core Stability diibaratkan sebagai kotak (box) yang dimana otot diafragma terletak diatas rongga perut, otot multifidus sebagai penyangga bagian belakang vertebra, otot tranverse abdominis terletak dibagian anterior dan otot dasar panggul (pelvic floor) terletak di bagian inferior sebagai dasar (based). Thongjuajua et al (2007) melalui penelitiannya terhadap efektifitas latihan stabilitas lumbal, didapatkan bahwa Core Stability Exercise dapat meningkatkan kemampuan stabilisasi lumbal secara progresif dan meningkatkan stabilisasi lumbal melalui aktivasi otot-otot serta memberi efek beban statis pada setiap otot. Menurut penelitian Hodges (2003) menyatakan bahwa Core Stability merupakan salah satu bentuk program latihan yang lebih baik dalam upaya preventif terhadap faktor resiko cedera. Hal ini juga didukung oleh Akhutota et al (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Core Stability merupakan latihan yang digunakan sebagai upaya pencegahan maupun pengobatan dalam menangani masalah nyeri pinggang bawah dan penderita muskuloskeletal lainnya yang sering ditemukan. Dalam penelitiannya tersebut didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan nyeri dan peningkatan fungsional dari masing-masing pasien yang mengalami masalah instabilitas pada tulang belakang. Latihan Core Stability memberikan peningkatan tekanan pada intra-abdomen yang dilakukan secara simultan oleh adanya kontraksi diafragma dan otot-otot dasar panggul atau perut otot, melalui beban yang dipengaruhi otot-otot co-kontraksi ekstensor dan otot 36 fleksor lumbal dan produksi gerakan otot-otot superfisial lumbal dan hip untuk melawan gerakan yang tidak stabil selama kegiatan fungsional (Leong and Jupiter, 2007). Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian Mc Lean (2006) yang menyatakan bahwa apabila terjadi peningkatan tekanan yang berasal dari dasar panggul, diafragma dan transversus abdominis maka akan meningkatkan tekanan intra-abdominal yang berpotensi menstabilkan tulang belakang. Aktivitas sinergis ini akan memberikan tekanan ekstensor pada tulang belakang sehingga otot dinding perut berkontraksi dan memberikan penekanan pada dasar panggul dan kemudian diafragma akan ditopang oleh peningkatan tekanan intra-abdominal yang akan menghasilkan stabilitas pada tulang belakang. Pada latihan Core Stability dikenal ada yang disebut dengan kinetik chain yang bekerja pada saat: a. Kontrol secara optimal b. Mendistribusikan tekanan yang merata c.Mengefisienkan semua gerakan secara optimal d. Tanpa latihan yang berlebihan e. Tanpa melakukan gerakan yang berlebihan/penekanan f. Sendi dalam keadaan stabil g. Kontrol neuromuscular Dalam Core Stability ini selalu melibatkan tiga sistem antara lain: a. Sistem Otot b. Sistem Persendian c. Sistem Saraf 37 Dan bukan hanya itu setiap melakukan gerakan selalu melibatkan 3 bidang gerak artinya apabila melakukan gerak kesalah satu bidang gerak tubuh maka otot yang bekerja tidak hanya pembentukan gerakan tersebut tapi dibantu oleh otot yang berada disekitar bidang gerak tersebut misalnya: gerakan fleksi trunk dibentuk oleh rektus abdominis, obliques internus abdominis,obligus externus abdominis, psoas mayor, psoas minor, tapi dibantu juga otot gluteus maximus. Dan bukan itu saja dalam Core Stability ini pada prinsipnya menghasilkan penguatan dan penguluran, misalnya fleksi trunk otot-otot agonisnya akan mengalami penguatan sedangkan antagonis mengalami penguluran begitu juga sebaliknya pada saat ekstensi trunk otot antagonisnya mengalami penguatan sedangkan agonisnya mengalami penguluran. 2.6.2 Manfaat pelatihan Core Stability Melatih otot core juga dapat mengkoreksi ketidakseimbangan postur yang mana dapat meningkatkan penampilan saat berjalan dan mencegah terjadinya cidera (Dasmanesh et all. 2012). Core stability memiliki banyak manfaat yaitu : 1) Kemampuan fungsional menjadi lebih baik untuk membantu Meningkatkan aktivitas kehidupan sehari-hari. 2) Peningkatan kinerja dalam olahraga (berenang, sepeda dan lari). 3) Pengurangan risiko cedera. Pelatihan Core Stability yang teratur minimal 3 minggu sudah dapat meningkatkan keseimbangan, dan agar lebih baik dilakukan selama 6 minggu, berdasarkan penelitian sebanyak 15 pria dan wanita yang mengalami gangguan 38 keseimbangan dilatih core stability ternyata setelah 6 minggu latihan terdapat hasil yang signifikan (Kahle, 2009). Reaksi dari Core Stability Exercise adalah reaksi yang spesifik untuk mengontrol orientasi pada spinal. Otot–otot global tidak mampu untuk melakukan stabilisasi pada individual segment spinal kecuali melalui penekanan beban pada vertebrae. Jika suatu individual segment tidak stabil, penekanan beban dari hubungan global dapat mengakibatkan atau menimbulkan nyeri sebagai stres yang terdapat pada jaringan inert pada akhir dari lingkup segmen tersebut. Gambar 2.5 Deep muscle (Irfan, 2010) 1. Fungsi global muscle adalah: a) Menghubungkan kepala dan leher ke trunk b) Mentransfer beban eksternal antara trunk dan panggul c) Pengendalian orientasi tulang belakang dalam ruang (global postural control) d) Penghasil torsi besar e) Pada beban rendah, bertindak secara mandiri untuk memulai gerakan 39 f) Pada beban tinggi, bertindak secara bilateral untuk menstabilkan trunk dengan splinting. g) Memiliki pengaruh langsung pada zona netral dan segmental kontrol g) Target oleh latihan dan kekuatan pelatihan umum h) Terlibat dalam strategi substitusi 2. Global muscle terdiri dari : a) m. Rectus abdominis b) m. Obliques external dan internal c) m. Quadratus lumborum (lateral portion) d) m. Erector spine e) m. Iliopsoas 3. Fungsi deep / lokal muscle adalah: a) Terletak dalam, dekat dengan pusat rotasi, yaitu ideal untuk mengendalikan gerak intersegmental. b) Otot intersegmental kecil mungkin memiliki peran proprioseptif c) Peningkatan gerak zona netral menyimpang dapat diatasi oleh aktivitas sistem otot lokal/deep. d) Dalam situasi nyeri otot-otot ini mungkin tidak mampu mempertahankan kontraksi untuk terus melindungi tulang belakang. e) Mikrotrauma berulang untuk jaringan, karena kurangnya kontrol otot yang mendalam, akhirnya dapat menyebabkan kerusakan cukup untuk memicu nociceptors dan menyebabkan rasa sakit. 4. Otot yang terkait pada lumbal spine hingga lokal muscle adalah: 40 a) Transversus Abdominus b) Lumbar Multifidus c) Diaphragm d) Pelvic Floor Gambar 2.6 Lokal muscle ( Irfan, 2010) Target utama dari Core Stability adalah otot yang letaknya lebih dalam (deep muscle) pada abdomen, yang terkoneksi dengan tulang belakang (spine), panggul (pelvic) dan bahu (shoulder). 2.6.3 Mekanisme Core Stability dalam meningkatkan Aktivitas Fungsional pada pasien NPB Efek pelatihan Core Stabilty akan mengembangkan kerja otot-otot dynamic muscular corset. Dengan terjadinya kontraksi yang terkoordinasi dan bersamaan (Co-Contraction) dari otot-otot tersebut akan memberikan rigiditas celender untuk menopang trunk, akibat tekanan intradiskal berkurang dan akan mengurangi beban kerja dari otot lumbal, sehingga jaringan tidak mudah cidera, ketegangn otot lumbal yang abnormal berkurang (Kisner, 2011). Dengan terjadinya 41 pelemasan otot diharapkan akan terjadi perbaikan muscle pump yang berakibat meningkatkan sirkulasi darah pada jaringan otot puggung. Dengan demikian suplai makan dan oksigen dijaringan otot menjadi lebih baik, nyeri yang ditimbulkan karena spasme akan berkurang. Selain itu teraktivasinya otot core yang berfungsi sebagai otot stabilisator tulang belakang akan membuat otot global muscle yang tadinya spasme menjadi relaks, dengan demikian didapatkan pula stabilitas tulang belakang yang baik dan posisi tulang belakang dalam keadaan netral (Kisner, 2011). Dengan stabilitas tulang belakang yang baik seseorang akan lebih mudah dalam melakukan aktivitas fungsional. Selain itu berkurangnya tekanan intradiskal akan membuat pasien lebih mudah dalam melakukan aktivitas fungsional. Pasien akan mudah dalam melakukan aktivitas mengangkat, berjalan, duduk, berdiri dan saat melakukan aktivitas rekreasi. Ada beberapa bentuk pelatihan Core Stability ini dilakukan dengan frekuensi latihan 3 kali seminggu dengan interval 1 hari, selama 6 minggu satu kali sesi latihan biasanya sekitar 30 menit. 2.6.3.1 Crunches a) Berbaring telentang dengan lutut di tekuk dan kaki datar di lantai. b) "Crunch" atau fleksi trunk, untuk mengangkat bahu dari lantai. Cobalah untuk tidak menggunakan otot-otot fleksor pinggul untuk melakukan gerakan ini, atau gunakan lengan untuk menarik kepala. c) Intensitas : berat badan 42 d) Repetisi/set : 10RM/3set e) Durasi : 3 menit f) Frekuensi : 3 x seminggu Gambar 2.7 Crunch (Dokumen pribadi, 2015) 2.6.3.2 Dynamic leg and back a) Asumsikan posisi yang sama seperti untuk "static leg and back". b) Turunkan panggul tetapi tidak memungkinkan untuk memiringkan atau menyentuh lantai ini harus lambat, gerakan terkontrol. c) Kembali ke posisi semula, mengembalikan garis lurus dari bahu sampai kaki. d) Intensitas : berat badan e) Repitasi/set : 10RM/3set f) Time : 3 menit g) Frekuensi : 3 x seminggu 43 Gambar 2.8 Dynamik Leg and Back (Dokumen Pribadi, 2015) 2.6.3.3 “Superman” a) Seimbangkan tangan dan lutut pada lantai. Punggung harus rata dan pinggul sejajar dengan lantai. b) Angkat lengan kanan ke depan dan mengangkat kaki kiri belakang, menjaganya agar tetap lurus. c) Tahan selama 30 detik dan kemudian ulangi di sisi lain. d) Frekuensi 3 x seminggu Gambar 2.9 Superman (Dokumen pribadi, 2015 44 2.6.3.4 Static straight legs a) Berbaring telentang dengan kaki bersama-sama dan lengan berada pada sisi tubuh. b) Menjaga kaki tetap lurus, angkat tumit sekitar 4 inci dari lantai. c) Tahan selama 1 menit, ulangi sebanyak 3 kali d) Frekuensi 3 x seminggu e) Jangan biarkan punggung melengkung, punggung harus rata di lantai Gambar 2.10 Static straight legs (Dokumen pribadi, 2015) 2.6.3.5 Hundret a) Berbaring telentang dengan tangan di sisi tubuh. Angkat kaki dan tekuk sehingga membentuk sudut siku-siku di pinggul dan lutut. b) Fokus pada menjaga pinggul dan kaki benar-benar diam dan punggung rata c) Intensitas : berat badan d) Repetisi/set : 10RM/3set e) Time : 3 menit f) Frekuensi : 3 x seminggu 45 Gambar 2.11 Hundret ( Dokumen Pribadi, 2015) 2.7 Terapi Dasar 2.7.1 William’s Flexion Exercise ( WFE) 2.7.1.1 Perkembangan WFE William’s Flexion Exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul Williams. Program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik NPB dengan kondisi degenerasi corpus vertebra sampai pada degenerasi diskus. Program latihan ini telah berkembang dan banyak ditujukan pada laki-laki dibawah usia 50-an dan wanita dibawah usia 40-an yang mengalami lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space diskus antara segmen lumbal, dan gejala-gejala kronik NPB. William’s Flexion Exercise adalah program latihan yang terdiri atas 6 macam gerak yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William’s Flexion Exercise telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri punggung bawah selama beberapa tahun untuk mengobati beragam problem nyeri punggung bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint (kapsul- 46 ligament), otot, serta degenerasi corpus dan diskus. Posisi posterior pelvic tilting adalah penting untuk memperoleh hasil terbaik. 2.7.1.2 Tujuan Adapun tujuan dari William’s Flexion Exercise adalah untuk mengurangi nyeri, memberikan stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maximus, dan hamstring, untuk meningkatkan fleksibilitas/elastisitas pada grup otot fleksor hip dan lower back (sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot postural fleksor dan ekstensor. Disamping itu William’s Flexion Exercise dapat meningkatkan tekanan intra abdominal yang mendorong kolumna vertebralis ke arah belakang, akan membantu mengurangi hiperlordosis lumbal dan mengurangi tekanan pada diskus intervertebralis. William’s Flexion Exercise dapat membantu mengurangi nyeri dengan cara mengurangi gaya kompresi pada sendi facet, dan meregangkan flexor hip dan extensor lumbal (Giasy, 2006). 2.7.1.3 Indikasi dan kontra indikasi WFE Indikasi dari William’s Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan disfungsi sendi facet yang menyebabkan nyeri punggung bawah. Kontra indikasi dari William Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti discus bulging, herniasi diskus, atau protrusi diskus. 2.7.1.4 Prosedur Pelaksanaan Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise adalah sebagai berikut : 47 a. Latihan I (pelvic tilting) Gambar 2.12 Latihan I / pelvic tilting (Dokumen pribadi, 2015) Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua lutut fleksi dan kaki datar diatas bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke bawah. Kemudian pertahankan 5 – 10 detik. b. Latihan II (single knee to chest) Gambar 2.13 Latihan II/Single knee to chest (Alfin 2010) Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua lutut fleksi dan kaki datar di atas bed/lantai. Secara perlahan tarik lutut kanan kearah bahu dan pertahankan 5 – 10 detik. Kemudian diulangi untuk kiri dan pertahankan 5 - 10 detik. c. Latihan III (double knee to chest) 48 Gambar 2.14 Latihan III/Double knee to chest (Alfin, 2010) Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama. Tarik lutut kanan ke dada kemudian lutut kiri ke dada dan pertahankan kedua knee selama 5 – 10 detik. Dapat diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan secara perlahan-lahan salah satu tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya. d. Latihan IV (partial sit-up) Gambar 2.15 Latihan IV/Partial sit-up (Alfin, 2010) Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi ini angkat secara perlahan kepala dan bahu dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5 detik. Kemudian kembali secara perlahan ke posisi awal. 49 e. Latihan V (hip fleksor stretch) Gambar 2.16 Latihan V/Hip flexor strech (Alfin, 2010) Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi lutut dan satu kaki dibelakang dengan lutut dipertahankan lurus. Fleksikan punggung ke depan sampai lutut kontak dengan lipatan axilla (ketiak). Ulangi dengan kaki yang lain. f. Latihan V (squat) Gambar 2.17 Latihan VI squat (Alfin, 2010) Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan. Usahakan pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki datar diatas lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua lutut. 2.7.2 Short Wave Diathermy Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi elektromagnetik dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal 50 Communications Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada Short Wave Diathermy, yaitu : 1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter. 2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter. 3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter. Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11n meter (Klein, 2006). a. Arus Short Wave Diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus yaitu arus Continuos SWD dan Pulsed SWD. 1) Continous Short Wave Diathermy (CSWD) Pada penerapan Continous SWD, energi thermal dominan terjadi dalam jaringan. Setiap jaringan yang menerima panas memiliki tahanan yang berbedabeda. Jaringan lemak cepat menyerap panas daripada otot (1 : 10), sedangkan jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada kulit. Secara fisiologis, jaringan otot tidak memiliki “thermosensor” tetapi hanya pada jaringan kulit, sehingga dengan adanya rasa panas di kulit saat pemberian Continous SWD maka sebenarnya sudah terjadi overthermal pada jaringan otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima panas daripada kulit. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika panas yang diterima jaringan melebihi batas tertentu maka jaringan akan menjadi rusak, ukuran subyektif sebagai batas tertentu adalah jika penderita merasa hangat. 51 Menurut Klein (2006) bahwa para peneliti menyatakan pemberian Continous SWD pada kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian besar penelitian melarang pemberian Continous SWD pada arthritis. Hal ini disebabkan karena didalam sendi terdapat suatu asam “Hyaluronik” yang suhu optimalnya adalah 36,7o, dan sangat sensitif terhadap penambahan suhu. Dengan penambahan suhu 1o saja (terjadi pada pemberian CSWD) maka suhunya menjadi 37,4o, sementara pada suhu 37o saja akan mengaktifkan cairan/enzym hyaluronidase yang dapat merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan kita ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi tidak akan pernah mengalami regenerasi/reparasi. Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga menghasilkan efek fisiologis berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses metabolisme. 2) Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD) Sekitar tahun 2000, mulai digalakkan penelitian baru terhadap Pulsed SWD sebagai salah satu efek terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut dilakukan penerapan Pulsed SWD pada hapusan susu, dan ternyata pada hapusan susu tersebut terlihat suatu bentuk “untaian kalung”. Kemudian bentuk tersebut juga terjadi pada cairan darah, dan limpha. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa Pulsed SWD sangat bermanfaat dalam menghasilkan efek terapeutik, sedangkan efek fisiologisnya hanya timbul sedikit (pengaruh panas hanya minimal). Pada Pulsed SWD, mempunyai energi/power output yang maksimum sampai 1000 W. Meskipun demikian, energi/power output rata-rata adalah jauh lebih rendah yaitu antara 0,6 – 80 watt (tergantung pada pemilihan 52 (frekuensi pulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan subthermal dengan peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapi Pulsed SWD sangat cocok untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan akut dimana terapi panas merupakan kontra indikasi. Jika kita menerapkan Pulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan pulsasi rectangular dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi tersebut dapat diatur sampai 1000 W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor maka energi power dapat diatur sampai nilai maksimum. Interval pulsasi yang dihasilkan bergantung pada pemilihan frekuensi pulsasi repetition (15 – 200 Hz), sedangkan ukuran produksi panas dalam Pulsed SWD adalah mean power (watt). Mean power yang dihasilkan sangat bergantung pada pemilihan intensitas arus dan frekuensi pulsasi repetition. Semakin rendah frekuensi pulsasi repetition yang dipilih maka semakin rendah mean powernya. Dengan demikian, penerapan Pulsed SWD dapat memungkinkan kita memilih intensitas arus yang tinggi (power pulsasi) dengan pemilihan frekuensi pulsasi repetition yang selektif dan sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan. b. Efek Fisiologis 1) Perubahan panas/temperatur a) Reaksi lokal/jaringan (1) Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap kenaikan temperatur 1º C. (2) Meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatik lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal. b) Reaksi general 53 (1) Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan kenaikan temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara general. (2) Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih luas 2) Jaringan ikat Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen kulit, tendon, ligamen dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan; pemanasan ini tidak akan menambah panjang matriks jaringan ikat sehingga pemberian SWD akan lebih berhasil jika disertai dengan latihan peregangan. 3) Otot a) Meningkatkan elastisitas jaringan otot. b) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nosisensorik, kecuali hipertoni akibat emosional dan kerusakan SSP. 4) Saraf a) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf. b) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (threshold). c. Indikasi SWD Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisikondisi subakut dan kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal seperti sprain/strain, osteoarthritis, servical syndrom, NPB dan lain-lain. 54 d. Kontraindikasi Kontra indikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, Rematoid Arthritis pada sendi, kondisi menstruasi dan kehamilan, regio mata (lensa kontak ) dan testis. Kontra indikasi dari pulsed SWD adalah tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan testis, kondisi menstruasi dan kehamilan. Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal merupakan kontra indikasi dari continuos SWD tetapi bagi pulsed SWD bisa diberikan dengan pulsa yang rendah (Klein, 2006). 2.7.3 Interferential Terapy (IT) Arus interferensial merupakan hasil penggabungan dari dua arus frekuensi menengah yang masing-masing mepunyai frekuensi yang berbeda sehingga akan menimbulkan frekuensi dengan amplitudo yang mengalami modulasi dikenal sebagai yang Frekuensi Modulasi Amplitudo (Amplitude Modulation Frequency) atau disingkat AMF. Frekuensi yang digunakan antara 200-4000 Hz. Di penelitian frekuensi arus interferensial yang pernah digunakan mencapai 100.000 Hz yang dilakukan oleh Gildemeister, Alex, dkk 2002 (Parjoto, 2006). Modifikasi FMA adalah sebagai berikut : a. Model spektrum 6/6 tegak (6 detik naik kepuncak frekuensi kemudian 6 detik berikutnya frekuensi bergerak menuju ke nilai awal). b. Model spektrum 1/6 tegak (1 detik pertama sampai puncak frekuensi, bertahan selama 5 detik kemudian turun ke frekuensi semula 1 detik berikutnya). 55 c. Model spektrum 1/1 (1 detik pada frekuensi awal lalu naik ke frekuensi maksimal bertahan selama 1 detik kemudian turun dan siklus ini berlangsung selama terapi diberikan.