BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Malnutrisi Berat Istilah malnutrisi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Malnutrisi Berat
Istilah malnutrisi meliputi undernutrition dan obesitas. Pada penelitian ini
malnutrisi yang dimaksudkan adalah malnutrisi undernutrition. Malnutrisi
(undernutrition) didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan masukan nutrien, yang menghasilkan secara kumulatif adanya
defisit energi, protein, atau mikronutrien yang secara negatif memengaruhi
pertumbuhan, perkembangan, dan akibat lainnya yang berhubungan. Malnutrisi
berdasarkan etiologinya disebabkan oleh penyakit (1 atau lebih penyakit atau
cedera yang secara langsung mengakibatkan ketidakseimbangan nutrien) atau
akibat dari lingkungan/faktor behavioral yang berhubungan dengan penurunan
masukan nutrien atau akibat dari ke dua hal tersebut (Mehta, dkk., 2013).
Malnutrisi berat (MB) atau disebut juga dengan gizi buruk merupakan suatu
keadaan dimana seorang anak tampak sangat kurus yang ditandai dengan berat
badan/panjang badan (BB/PB) < -3 SD dari median WHO child growth standard
2006, atau didapatkan edema nutrisional, dan pada anak usia 5-59 bulan Lingkar
Lengan Atas (LLA) < 110 mm. World Health Organization dan United Nations
Children’s Fund (Unicef) menggunakan cut-off BB/PB < -3 SD median baku
rujukan WHO (WHO child growth standard) atau WHO/National Center for
Health Statistics (NCHS) dengan alasan bahwa anak di bawah cut-off tersebut
memiliki risiko kematian lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak yang berada
di atasnya, jika anak tersebut mendapatkan terapi nutrisi maka akan mengalami
peningkatan BB yang lebih cepat, sehingga akan mempercepat penyembuhannya,
dan tidak ada risiko atau pengaruh negatif pemberian makan pada Kelompok
Anak ini (WHO, 2009). Marasmus dan kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat
keparahan penderita gizi buruk. Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat
kurus dengan berbagai tanda ikutannya. Kwashiorkor ditandai dengan edema,
diawali edema pada punggung kaki yang dapat menyebar ke seluruh tubuh
(Susanto, dkk., 2011). Manifestasi klinis malnutrisi berhubungan dengan tipe,
keparahan, dan lamanya gangguan nutrisi tersebut terjadi, sehingga dapat terjadi
manifestasi subklinis, reversibel, atau menetap tergantung pada ketersediaan
terapi, penyakit lain atau penyakit komplikasi, dan derajat kerusakannya
(Cunningham-Rundles dan McNeeley, 2003).
Malnutrisi masih merupakan masalah kesehatan global, khususnya di negara
berkembang. World Health Organization (2003) melaporkan, bahwa 60% dari
10.9 juta kematian balita setiap tahunnya disebabkan secara langsung atau tak
langsung oleh malnutrisi. Sekitar 9% anak di Sub Sahara, 15% di Asia Selatan
terancam gizi kurang dan buruk, sekitar 2% anak di negara sedang berkembang
terancam mengalami MB (Collins, 2007). Prevalens status gizi balita nasional
berdasarkan RISKESDAS 2010 untuk gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi
lebih masing-masing adalah 4,9%, 13%, 76,2%, dan 5,8%. Dua provinsi yaitu D.I.
Yogyakarta dan Bali menunjukkan prevalens terendah gizi buruk yaitu 1,4% dan
1,7%. Provinsi Gorontalo dan NTB menduduki posisi tertinggi gizi buruk yaitu
11,2% dan 10,6% (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Bali memiliki prevalens
gizi buruk terendah tetapi dengan adanya peningkatan kasus HIV pada anak di
Bali, maka prevalens gizi buruk juga meningkat.
Faktor penyebab timbulnya masalah gizi ini selain asupan makanan kurang
adalah terpaparnya bayi dan balita terhadap penyakit infeksi yang secara langsung
merupakan penyebab kematian balita seperti diare, infeksi saluran pernapasan
akut, campak, malaria, HIV/AIDS, dan lain-lain. Secara global lebih dari 50%
balita yang mengidap berbagai penyakit tersebut juga menderita malnutrisi
(WHO, 1999a). Infeksi dan malnutrisi merupakan suatu mata rantai yang saling
berkaitan, dimana anak kurang gizi amat rentan terhadap infeksi dan infeksi
menyebabkan anak kehilangan napsu makan, yang berakhir dengan kematian.
Anak-anak yang bertahan hidup dalam proses perkembangan selanjutnya banyak
mengalami hambatan seperti keterbelakangan mental (WHO, 2003).
Pada kondisi malnutrisi terjadi suatu proses adaptasi tubuh terhadap kondisi
intake yang kurang tersebut, terjadi suatu perubahan metabolisme tubuh sehingga
penderita dapat bertahan. Pengurangan dari aktivitas terjadi dengan tujuan
menurunkan laju metabolisme, pertumbuhan menjadi perlahan sehingga dapat
mengurangi energi untuk proses pertumbuhan tersebut, dan secara keseluruhan
terjadi penurunan laju metabolisme. Metabolik adaptasi ini dimediasi antara lain
melalui hormonal, sehingga menyebabkan mobilisasi lemak, degradasi protein,
dan penurunan laju metabolik basal. Akibat dari restriksi energi pada kondisi
malnutrisi menyebabkan kemampuan aldosteron menurun dan sintesis ATP
menurun pada pompa natrium sehingga menyebabkan kehilangan kalium darah.
Selama kondisi protein deprivasi terjadi kehilangan protein massa otot yang
digunakan untuk mempertahankan sintesis enzim-enzim yang penting dan juga
untuk energi. Pembentukan protein oleh hepar mengalami perubahan yaitu terjadi
peningkatan produksi protein fase akut dan penurunan produksi albumin,
transferin dan apolipoprotein B (Peny, 2003).
Infeksi menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme pula sehingga
produksi protein lebih diutamakan ke arah pembentukan protein fase akut.
Produksi dari protein fase akut ini dan konsekuensi metabolik dari infeksi
dimediasi oleh protein sitokin dan lipid derived factor. Produksi sitokin inflamasi
yang menimbulkan suatu peradangan, juga akan menyebabkan mekanisme balik
sehingga tidak terjadi proses inflamasi yang berlebihan. Pada malnutrisi, kondisi
ini mengalami gangguan. Pada malnutrisi terjadi suatu kondisi pengurangan
respon imun dan respon demam (Peny, 2003).
2.2 Stres Oksidatif
Reactive oxygen species (ROS) dan radikal lainnya terlibat dalam berbagai
peristiwa biologi (mutasi, karsinogenesis, proses degenerasi, inflamasi, penuaan
dan perkembangan). Reactive oxygen species dapat berperan menguntungkan dan
merugikan (Kohen dan Nyska, 2002).
Radikal bebas dalam kimia diketahui sejak awal abad ke-20 dan digunakan
untuk menggambarkan senyawa intermedia kimia organik dan anorganik. Daniel
Gilbert dan Rebecca Gersham pada tahun 1954 mempublikasikan tentang
pentingnya peranan radikal bebas ini dalam lingkungan biologis dan bertanggung
jawab terhadap proses kerusakan sel. Harman Denham (1956) menyatakan bahwa
spesies-spesies radikal bebas ini kemungkinan memiliki peranan dalam proses
fisiologi, terutama pada proses penuaan (Harman, 1981). Hipotesis mengenai teori
radikal bebas terhadap penuaan menginspirasi berbagai penelitian lainnya.
Senyawa yang dapat menerima elektron disebut oksidan atau bahan yang
mengoksidasi. Bahan yang memberikan elektron disebut reduktan atau bahan
yang mereduksi (Prior dan Cao, 1999). Reaksi kimia dimana suatu bahan
mendapatkan elektron disebut reduksi. Oksidasi adalah suatu proses dimana suatu
bahan mengalami kehilangan elektron. Jika reduktan mendonasikan elektronnya,
maka menyebabkan bahan lain mengalami reduksi, dan jika oksidan menerima
elektron, maka menyebabkan bahan lain mengalami oksidasi. Suatu bahan yang
mereduksi bertindak sebagai donasi elektron, biasanya dengan mendonorkan
hidrogen atau melepas oksigen. Suatu proses oksidasi selalu ditemani oleh proses
reduksi. Pada proses reduksi biasanya terjadi kehilangan oksigen, sementara pada
proses oksidasi akan mendapatkan oksigen. Reaksi ini disebut reaksi redox.
Reduktan dan oksidan merupakan istilah kimia, pada lingkungan biologi disebut
dengan istilah antioksidan dan prooksidan (Kohen dan Nyska, 2002).
Prooksidan disebut juga reactive oxygen species (ROS). Reactive oxygen
species dibagi menjadi 2 kelompok senyawa yaitu radikal dan nonradikal.
Kelompok radikal seringkali diberikan sebutan yang tidak tepat yaitu radikal
bebas (istilah yang tidak akurat, karena radikal adalah selalu bebas), mengandung
senyawa nitric oxide radical (NO.), superoxide ion radical (O.2-), hydroxyl radical
(OH.), peroxyl radical (ROO.) dan alkoxyl radicals (RO.), dan suatu bentuk
oksigen tunggal (1O2). Spesies ini radikal karena mengandung sekurang-
kurangnya satu elektron yang tidak berpasangan dalam kulit yang mengelilingi
inti atom dan memiliki kemampuan mandiri untuk keberadaannya. Suatu kondisi
terdapatnya satu elektron yang tidak berpasangan menimbulkan reaktivitas tinggi
karena afinitasnya mendonasikan atau mendapatkan elektron lain untuk
mendapatkan stabilitas.
Molekul oksigen sendiri jika berdasarkan definisi tersebut juga dapat
dikatakan radikal, karena mengandung dua elektron yang tidak berpasangan
dalam dua orbit yang berbeda, sehingga dikatakan biradikal. Radikal oksigen
tidak reaktif, meskipun demikian karena restriksi putaran yang tidak
memungkinkan terjadinya donasi atau menerima elektron sebelum dilakukan
pengaturan kembali arah putaran sekitar atom.
Kelompok senyawa nonradikal terdiri dari berbagai macam jenis bahan,
dimana beberapa sangat reaktif meskipun tidak radikal perdefinisi. Senyawasenyawa yang diproduksi dalam konsentrasi tinggi pada sel hidup adalah
hypochlorous acid (HClO), hydrogen peroxide (H2O2), organic peroxides,
aldehydes, ozon (O3), dan O2. Istilah ROS, oxygen-derived species (ODS),
oksidan, reactive nitrogen species (RNS), dan pro-oxidant species sering
digunakan satu sama lain untuk dalam literatur ilmiah. Radikal ditulis dalam
literatur berupa superskrip titik (R.), yang membedakannya dengan metabolit
oksigen reaktif lainnya. Antioksidan (reduktan atau bahan yang mereduksi) dapat
diklasifikasikan sebagai senyawa yang dapat mencegah proses prooksidasi atau
kerusakan oksidatif biologi. Antioksidan merupakan suatu bahan yang dalam
konsentrasi rendah dapat mencegah atau memperlambat secara bermakna oksidasi
suatu substrat yang dapat teroksidasi. Antioksidan bekerja dengan berbagai
macam cara, maka definisi tersebut tidak sesuai dan tidak memenuhi keseluruhan
spektrum antioksidan (Kohen dan Nyska, 2002).
Keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan sangat ketat dan penting
untuk mempertahankan fungsi sel dan biokimia yang vital (Hrbac dan Kohen,
2000). Keseimbangan ini sering disebut sebagai potensial redox. Potensial redox
ini spesifik untuk setiap organela dan tempat biologis, dan setiap gangguan pada
keseimbangan ini akan menimbulkan kerusakan sel dan organisme. Perubahan
keseimbangan ke arah peningkatan prooksidan di atas kapasitas antioksidan
disebut stres oksidatif dan dapat menimbulkan kerusakan oksidatif. Perubahan
keseimbangan ke arah peningkatan kekuatan yang mereduksi, atau antioksidan,
juga akan menimbulkan kerusakan dan disebut sebagai stres reduktif (Kohen dan
Nyska, 2002).
Kebanyakan spesies memiliki masa aktif yang pendek, sehingga bereaksi
dengan cepat dengan molekul lainnya. Beberapa radikal turunan oksigen sangat
reaktif dengan waktu paruh yang pendek, misal OH. memiliki masa aktif 10-10
detik dalam sistem biologi. Konstanta laju reaksinya (m-1s-1) untuk komponen
biologi sangat tinggi (107-109 m-1s-1) dan dalam banyak kasus difusi yang
terkontrol. Masa hidup radikal lain juga pendek tetapi tergantung dari media
lingkungannya, misalnya waktu paruh NO. dalam larutan tersaturasi oleh udara
adalah beberapa menit. Survival RO. mencapai sekitar 10-6 detik, waktu paruh
ROO. adalah sekitar 17 detik.
Metabolit nonradikal juga memiliki waktu paruh yang pendek bervariasi dari
seperberapa detik sampai beberapa jam, seperti misalnya HClO. Lingkungan
fisiologis, seperti pH dan keberadaan spesies lainnya, memiliki pengaruh yang
besar terhadap waktu paruh ROS.
Toksisitas tidak berkorelasi dengan reaktifitas. Semakin panjang waktu paruh
suatu spesies menunjukkan semakin toksik senyawa tersebut karena memiliki
waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif sehingga
dapat berinteraksi dan menimbulkan kerusakan dalam perjalanannya dari tempat
produksinya. Radikal superoksid yang memiliki waktu paruh yang relatif panjang
memiliki waktu untuk berpindah lokasi dimana radikal tersebut dapat berinteraksi
dengan molekul lainnya. Radikal ini dapat diproduksi dari membran mitokondria,
berdifusi ke arah genome mitokondria, dan mengurangi transisi ikatan logam ke
genome. Spesies yang sangat reaktif dengan waktu paruh yang sangat pendek,
seperti OH. diproduksi pada lokasi yang biasa menimbulkan kerusakan dengan
berinteraksi segera dengan sekitarnya. Jika tidak terdapat target perlekatan biologi
yang penting pada tempat produksinya, radikal tersebut tidak menimbulkan
kerusakan oksidatif. Antioksidan harus ada pada lokasi tempat radikal diproduksi
untuk mencegah interaksi antara radikal dan target biologinya sebagai kompetitor
dengan radikal untuk substrat biologinya. Informasi ini harus menjadi pedoman
dalam menentukan terapi antioksidan yang sesuai (Kohen dan Nyska, 2002).
Paparan kontinyu dari berbagai tipe stres oksidatif dari berbagai sumber akan
menimbulkan sel dan keseluruhan organisme mengembangkan suatu mekanisme
pertahanan untuk melindungi dari metabolit reaktif tersebut. Mekanisme
pertahanan tersebut terdiri dari aktivitas langsung dan tidak langsung. Aktivitas
tidak langsung melibatkan kontrol produksi endogen terhadap ROS misalnya
dengan mengubah aktivitas enzim, yang secara tidak langsung memproduksi
metabolit oksigen. Salah satu enzim tersebut adalah xanthine oxidase. Sistem
perbaikan yang efisien merupakan salah satu metode yang paling penting pada
organisme untuk menanggulangi kerusakan oksidatif, terdiri dari enzim dan
molekul-molekul kecil yang secara efisien memperbaiki tempat kerusakan
oksidatif pada makromolekul. Sistem perbaikan DNA dapat mengidentifikasi
DNA-oxidized adduct (8-hydroxy-2-deoxyguanosine), thiamine glycol, dan tempat
apurinic dan apyramidenic, memindahkannya, dan menggabungkannya dengan
basa yang tidak rusak. Molekul yang dapat mendonasikan atom hidrogen ke
molekul yang rusak juga dapat memperbaiki senyawa, salah satu contohnya
adalah donasi atom hidrogen askorbat atau tocopherol ke radikal asam lemak
yang sebelumnya diserang oleh radikal dan mengalami kehilangan hidrogen.
Pertahanan fisik pada tempat biologis misalnya membran juga merupakan
mekanisme penting yang dapat menanggulangi sel terhadap stres oksidatif.
Senyawa seperti tocopherol dapat menstabilkan membran sel, dan steric
interference dapat mencegah ROS mendekati target. Antioksidan merupakan
mekanisme
pertahanan
yang
sangat
penting
karena
kemampuannya
menghilangkan secara langsung prooksidan dan memiliki efek proteksi maksimal
terhadap tempat biologis. Sistem ini terbentuk melalui suatu proses evolusi,
kemungkinan terhadap respon yang mengubah konsentrasi oksigen atmosfer.
Keunikan dari sistem ini adalah dapat berinteraksi langsung dengan ROS dari
berbagai jenis dan ketetapan perlindungannya terhadap target biologis.
Mekanisme
perbaikan (enzim
perbaikan DNA)
Mekanisme pencegahan
(pencegahan produksi ROS
oleh chelation logam)
Pencegahan fisik
(stabilisasi lokasi
biologi, steric
interference)
Mekanisme pertahanan melawan stres oksidasi
Pertahanan antioksidan
Enzim antioksidan
Enzim yang bereaksi
langsung (SOD, katalase,
peroksidase), enzim
penyokong (G6PD,
xanthine oxidase)
Produk sampah
(asam urat)
Low-MolecularWeight
Antioxidants
(LMWA)
(scavengers)
Disintesis oleh sel (dipeptide
histidin, carnosine,
homocarnosine, glutathione)
Indirect-acting
LMWA
(chelating
Sumber bahan makanan:
tokoferol, karotin, asam
askorbat)
Gambar 2.1 Klasifikasi mekanisme pertahanan seluler antioksidan (Kohen dan
Nyska, 2002)
Sistem ini terdiri dari dua kelompok utama yaitu enzim antioksidan dan
antioksidan berat molekul ringan (LMWA) (Gambar 2.1). Kelompok enzim terdiri
dari direct-acting proteins, misalnya SOD. Protein dari keluarga ini berbeda
dalam struktur dan kofaktornya. Cu-Zn SOD merupakan enzim dengan berat
molekul sekitar 32.000, terdiri dari dua subunit, dimana salah satunya memiliki
tempat aktif, dan terdistribusi secara luas dalam sel eukariotik yang berlokasi di
sitoplasma. MnSOD merupakan protein dengan berat molekul sekitar 40.000,
dapat ditemukan pada sel prokariotik dan mitokondria eukariotik (Kohen dan
Nyska, 2002).
Tipe SOD lainnya yang ada antara lain extracellular SOD (EC-SOD) dan FeSOD pada tanaman. Enzim ini memiliki struktur, berat molekul dan konstanta laju
reaksi yang berbeda. Aktivitas enzim itu sendiri mampu untuk meningkatkan
dismutase spontan radikal superoksida terhadap H2O2. Perubahan yang bermakna
terhadap konstanta laju reaksi dari berbagai macam SOD tergantung pada pH dan
tempat aktivitasnya. Produk akhir reaksi dismutase yaitu H2O2, dapat dipindahkan
dengan aktivitas enzim katalase dan anggota keluarga peroxidase termasuk
glutathione peroxidase (Chance, dkk., 1979).
Katalase merupakan suatu enzim yang unik dengan KM yang sangat tinggi
untuk substratnya dan dapat memindahkan H2O2 yang ada dalam konsentrasi
tinggi. Enzim ini mengandung empat subunit protein, dimana masing-masingnya
mengandung ion ferri dari kelompok heme yang mengalami oksidasi setelah
interaksi dengan molekul pertama H2O2 untuk menghasilkan Fe+4 dalam struktur
yang disebut senyawa 1. Molekul ke dua dari H2O2 berlaku sebagai donor
elektron dan menghasilkan kerusakan dari dua molekul H2O2 yang terlibat untuk
menghasilkan molekul oksigen. Peroksidase memiliki afinitas yang tinggi untuk
memindahkan H2O2 walaupun ada dalam konsentrasi yang rendah. Donor elektron
pada reaksi ini adalah molekul kecil, seperti misalnya glutathione atau askorbat
(dari tanaman). Pembersihan H2O2 oleh sel merupakan suatu reaksi yang “mahal”,
karena ini menggunakan molekul-molekul yang berharga dalam lingkungan sel.
Molekul glutathione sebanyak dua digunakan untuk membersihkan satu molekul
H2O2.
Oksigen tidak terbentuk
pada
reaksi
yang
terakhir ini,
yang
membedakannya antara reaksi oleh peroxidase dan katalase.
Enzim-enzim lainnya dalam lingkungan sel mendukung aktivitas antioksidan.
Glucose-6-phosphate dehydrogenase menyediakan bahan yang mereduksi
(NADPH) yang diperlukan untuk fungsi sel dan penting untuk regenerasi oxidized
antioxidants. Regenerasi oxidized glutathione (GSSG) dalam bentuk tereduksi
(GSH) dilakukan oleh reduced nicotinamide dinucleotide (NADH) (Chance, dkk.,
1979). Beberapa enzim pendukung dapat mengeliminasi oksidan seperti misalnya
xanthine dehydrogenase yang menghasilkan uric acid (antioksidan endogen yang
efektif) (Gul, dkk., 2000).
Kelompok low-molecular-weight antioxidant (LMWA) terdiri dari sejumlah
senyawa yang dapat mencegah kerusakan oksidatif secara langsung dan tidak
langsung terhadap ROS (Kohen dan Gati, 2000). Mekanisme tidak langsung
melibatkan chelation of transition metals yang mencegahnya untuk berpartisipasi
dalam metal-mediated Haber-Weiss reaction (Beckman dan Koppenol, 1996).
Molekul dengan aktivitas langsung memberikan turunan kimia serupa sehingga
dapat memberikan elektronnya kepada radikal oksigen, sehingga dapat mengatasi
radikal tersebut dan mencegahnya menyerang target biologinya. Scavengers
memiliki banyak manfaat di atas Kelompok Antioksidan enzimatik, karena
scavengers merupakan molekul kecil, sehingga dapat berpenetrasi pada membran
sel dan dapat terlokasi pada jarak yang dekat dengan target biologi. Sel dapat
meregulasi konsentrasinya, dan dapat diregenerasikan dalam sel. Scavenger
memiliki spektrum aktivitas terhadap berbagai jenis ROS. Mekanisme
pemusnahannya dapat dimulai jika konsentrasi scavenger cukup tinggi untuk
berkompetisi dengan target biologi pada spesies yang merusak tersebut (Kohen
dan Gati, 2000). Aksi LMWA adalah sinergis dan interrelasi di antara LMWA
adalah penting untuk perkembangan pedoman terapi antioksidan. Scavengers
yang berasal dari sumber endogen seperti proses biosintesis dan generasi produk
sampah dari sel dan sumber eksogen dari diet. Sejumlah LMWA yang disintesis
oleh sel hidup atau yang berasal dari produk sampah adalah sedikit saja (misalnya
histidine dipeptides, glutathione, uric acid, lipoic acid, dan bilirubin).
Kebanyakan LMWA berasal dari sumber diet (Kohen dan Nyska, 2002).
Karakteristik scavenger adalah aktivitasnya yang bereaksi secara langsung
dengan radikal dan menghilangkannya dengan memberikan elektron kepada
spesies reaktif tersebut. Reaksi ini menghasilkan konversi dari scavenger itu
sendiri menjadi radikal, meskipun tidak reaktif (Gambar 2.2).
Regenerasi
(kimia atau
enzimatik)
Oksidasi lebih lanjut dari scavenger
Gambar 2.2 Mekanisme aktivitas scavenger (Kohen dan Nyska, 2002)
Radikal scavenger dapat mengalami oksidasi lebih lanjut atau teregenerasi
menjadi bentuk tereduksi, reducing antioxidant, oleh scavenger lainnya yang
memiliki potensial oksidasi yang sesuai. Ascorbyl radical misalnya dapat diolah
kembali menjadi bentuk tereduksinya (ascorbic acid) dengan bantuan glutathione.
Ascorbic acid sendiri akan menjadi radikal, yang dapat menerima elektron dari
donor lainnya, misalnya NADH. Proses regenerasi dapat merupakan murni
kimiawi atau suatu enzim dapat terlibat dalam transfer elektron (Gambar 2.3).
Aktivitas kooperatif ini menjelaskan sinergisitas yang didapatkan saat beberapa
scavenger terlibat dan dapat dipergunakan untuk mendapatkan manfaat dari
kombinasi LMWA dalam terapi antioksidan.
Glutathione merupakan suatu massa dengan berat molekul rendah.
Glutathione merupakan suatu tripeptide yang mengandung thiol, dengan bentuk
tereduksinya glutamic acid-cysteine-glycine (GSH) dan bentuk teroksidasinya
berupa GSSG (dimana 2 molekul GSH bergabung melalui oksidasi grup SH dari
residu cysteine untuk membentuk jembatan disulphide (Kohen dan Nyska, 2002).
Glutathione terdapat pada manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan bakteri
aerob dengan konsentrasi tinggi mencapai milimolar. Glutathione berlaku sebagai
suatu kofaktor dari enzim peroksidase, jadi sebagai antioksidan tidak langsung
mendonasikan elektron yang diperlukan untuk mendekomposisikan H2O2.
Senyawa ini juga terlibat dalam berbagai jalur biokimia dan fungsi sel lainnya
(Barhoumi, dkk., 1993).
Gambar 2.3 Interrelasi di antara LMWA (Kohen dan Nyska, 2002)
Glutathione mencegah oksidasi kelompok protein -SH dan untuk transportasi
copper (Gul, dkk., 2000). Glutathione dapat berlaku chelating agent untuk ion
copper dan mencegahnya berpartisipasi dalam reaksi Haber-Weiss, berlaku
sebagai kofaktor untuk beberapa enzim seperti misalnya glyoxylase, dan terlibat
dalam biosintesis leukotriene. Glutathione memegang peranan dalam protein
folding degradation and cross lingking. Glutathione dapat memusnahkan ROS
secara langsung. Glutathione berinteraksi dengan radikal OH., ROO., dan RO.
seperti juga HCLO dan „O2 saat bereaksi dengan ROS, yang menghasilkan radikal
glutathione, sehingga dapat meregerasikannya menjadi bentuk tereduksi dari
glutathione (Gul, dkk., 2000).
2.3 Stres Oksidatif pada Malnutrisi Berat (MB)
Produksi berlebihan dari reactive oxygen intermediates (superoxide anion
(O2–), hydroxyl radical (OH•), singlet oxygen dan hydrogen peroxide (H2O2)
dalam eritrosit terjadi pada kondisi malnutrisi yang menimbulkan terjadinya stres
oksidatif (Ghone, dkk., 2013). Malondialdehyde (MDA) merupakan suatu produk
antara teroksidasi yang sering digunakan sebagai petanda yang dapat dipercaya
terhadap lipid peroxidation pada malnutrisi. Malonndialdehyde (MDA) serum
meningkat jumlahnya dan terjadi penurunan kadar vitamin E serum, zinc dan
erythrocyte
superoxide
dismutase
pada
pasien
MB.
Setelah
diberikan
suplementasi antioksidan selama sebulan didapatkan kadar MDA menurun secara
bermakna dan kadar zinc serta kapasitas erythrocyte superoxide dismutase
meningkat secara bermakna. Kadar vitamin E mengalami peningkatan yang tidak
bermakna jika dibandingkan dengan kadar sebelum disuplementasi. Defisiensi
yang berat dari berbagai macam nutrisi pada MB menimbulkan generasi stres
oksidatif berat. Efek ini dapat diminimalisasi dengan pemberian suplementasi
antioksidan (Anuradha, dkk., 2008).
Beberapa
mekanisme
menjelaskan
kemungkinan
faktor-faktor
yang
menyebabkan terjadinya peningkatan stres oksidatif pada MB. Faktor terpenting
adalah asupan yang kurang dari nutrien misalnya karbohidrat, protein, vitamin,
sehingga menimbulkan akumulasi ROS. Pada malnutrisi didapatkan kekurangan
konsentrasi antioksidan enzimatik dan nonenzimatik bersamaan dengan trace
elemen. Mekanisme yang ke dua terhadap terjadinya peningkatan stres oksidatif
pada MB adalah kemungkinan karena aktivasi kronik nonspesifik dari sistem
kekebalan tubuh karena inflamasi kronik. Peningkatan aktivasi MDA pada anak
MB kemungkinan karena deplesi sebagian besar enzim antioksidan sebagai
mekanisme kompensasi untuk melindungi membran sel dari efek merugikan
radikal bebas (Bosnak, dkk., 2010).
Pada anak-anak yang menderita MB (dengan edema tetapi tidak yang tanpa
edema) terjadi pengurangan konsentrasi GSH dalam plasma dan darah jika
dibandingkan dengan anak-anak dengan status nutrisi yang baik (Becker, dkk.,
1995). Pada penelitian lainnya menunjukkan hasil yang berbeda yaitu didapatkan
bahwa pada ke dua tipe malnutrisi baik marasmus maupun kwashiorkor terjadi
pengurangan aktivitas antioksidan. Pada anak dengan marasmus didapatkan
adanya pengurangan red cell glutathione dan peningkatan lipid peroxidation
(Tatli, dkk., 2000), dan didapatkan adanya penurunan sintesis erythrocyte
glutathione pada kwashiorkor (Reid, dkk., 2000).
Siklus redox GSH merupakan komponen utama pertahanan antioksidan
tubuh. Konsentrasi yang menurun dari GSH menunjukkan kerusakan kapasitas
antioksidan. Anak-anak yang mengalami malnutrisi tipe edema mengalami
peningkatan beberapa petanda oxidant-induced lipid peroxidation seperti
misalnya
malondialdehyde,
hexanal
(Lenhartz,
dkk.,
1998),
dan
lipid
hydroperoxide (Reid, dkk., 2000). Kerusakan pada pertahanan antioksidan pada
kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor menimbulkan terjadinya kerusakan
radikal bebas pada membran sel dan kerusakan ini akan memegang peranan
penting dalam patogenesis penyakit (Jackson, 1986). Glutathione selular
merupakan senyawa antioksidan utama yang bereaksi secara langsung dalam
menghilangkan ROS dan sebagai substrat dari beberapa peroksidase. Penelitian
lain menunjukkan bahwa pada malnutrisi protein menginduksi terjadinya
pengurangan pertahanan antioksidan tetapi tidak menyebabkan peningkatan
radikal bebas. Pada kondisi malnutrisi protein terjadi penurunan metabolisme
mitokondria di otak dan hati, yang kemungkinan menghasilkan penurunan
produksi ROS (Wu, dkk., 2001).
Penelitian mengenai suplementasi diet awal dengan menggunakan cysteine
pada anak dengan malnutrisi berat dengan edema didapatkan konsentrasi dan laju
sintesis absolut GSH meningkat pada kelompok yang mendapatkan suplementasi
cysteine dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan ini berhubungan dengan efek
suplementasi terhadap konsentrasi cysteine eritrosit. Glutamic acid-cysteineglycine (GSH) disintesis de novo dari glycine, cysteine, dan glutamate dalam
reaksi yang dikatalisasi oleh γ-glutamylcysteine synthetase dan GSH synthetase,
yang dapat diregenerasi dari oxidized glutathione dalam reaksi yang dikatalisasi
oleh GSH reductase. Ketidakmampuan dalam mempertahankan laju sintesis yang
cukup terhadap ke tiga peptide tersebut dapat disebabkan karena limitasi dalam
penyediaan bahan atau defek pada jalur sintesis GSH atau karena ke duanya
(Badaloo, dkk., 2002). Penelitian sebelumnya pada tikus menunjukkan bahwa
baik aktivitas maupun jumlah γ-glutamylcysteine synthetase hati, rate limiting
enzyme for GSH synthesis adalah tidak menurun dengan konsumsi diet rendah
protein. Fakta ini menunjukkan bahwa jalur sintesis GSH tidak mengalami
kerusakan pada malnutrisi protein (Hunter dan Grible, 1997). Jadi berdasarkan hal
tersebut keterlambatan restrorasi kadar GSH sel pada anak dengan malnutrisi
berat dengan edema adalah akibat dari kekurangan cysteine (Badaloo, dkk., 2002).
TAOS terdiri dari kapasitas antioksidan yang berasal dari protein total (85%,
terutama albumin, juga transferrin dan ceruloplasmin), uric acid (12%), bilirubin
(4%), carotinoids (3%), tocopherols (1%), dan ascorbic acid (1%). TAOS pada
anak-anak yang mengalami kwashiorkor menurun sampai kurang dari 50%
dibandingkan dengan kontrol anak-anak dengan status nutrisi normal. Penurunan
TAOS terjadi pada hari ke 1, 4, 8, 14, dan 20 (keseluruhan periode observasi).
Taos terendah terjadi pada hari ke-4, kemudian mengalami peningkatan sampai
hari ke-14, dan kemudian menurun kembali pada hari ke-20. Konsentrasi
glutathione
eritrosit
mengalami
penurunan
pada
pasien
kwashiorkor.
Konsentrasinya mencapai normal pada minggu ke-2 bagi pasien-pasien yang
selamat dan menurun atau menetap rendah pada pasien-pasien yang letal. Nitrit
dan nitrat juga didapatkan kadarnya meningkat dua kali pada kwashiorkor pada
keseluruhan periode tersebut. Penelitian ini mendukung hipotesis bahwa stres
oksidatif dan nitrosatif memegang peranan alam patofisiologi malnutrisi dengan
edema. Strategi untuk profilaksis dan terapeutik harus diarahkan pada koreksi
yang hati-hati terhadap berkurangnya status antioksidan pasien (Fechner, dkk.,
2001).
Kadar zinc serum pada anak MB lebih rendah secara bermakna jika
dibandingkan dengan anak nutrisi baik. Kadar zink ini juga lebih rendah secara
bermakna pada anak-anak MB dengan lesi kulit jika dibandingkan dengan tanpa
lesi kulit. Kapasitas antioksidan total juga didapatkan lebih rendah pada anakanak MB. Konsentrasi MDA pada anak MB didapatkan lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Kapasitas antioksidan total dan hipoalbuminemia juga berkorelasi
positif dengan kadar zinc serum yang rendah. Defisiensi trace elemen serum
menimbulkan penurunan proteksi antioksidan kemungkinan merupakan suatu
faktor yang berkontribusi dalam patofisologi malnutrisi energi protein dan
penggantian elemen ini dalam penatalaksanaan kondisi MB adalah penting (Jain,
dkk., 2008).
Sharda (2006) melakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan total
pada beberapa penyakit anak dan neonatus, salah satunya pada malnutrisi.
Penelitian ini mendapatkan bahwa terjadi penurunan kadar aktivitas antioksidan
total pada anak-anak yang mengalami MB (Tabel 2.1). Penurunan kadar aktivitas
antioksidan total ini tampaknya disebabkan karena multifaktorial seperti misalnya
kadar serum zinc, vitamin A, ascorbic acid, selenium yang rendah, infeksi
berulang, peningkatan besi bebas, dan stadium kelaparan kronis.
Tabel 2.1
Kadar Aktivitas Antioksidan Total (µmol/L) pada Kontrol, Marasmus dan
Kwashiorkor Saat Presentasi, Follow-up Pertama dan Ke dua (Sharda, 2006)
Subjek
Malnutrisi
Rata-rata + SD
Nilai p
Kontrol n= 16
591,88 + 172,59
Saat presentasi Marasmus dan kwashiorkor (n=35) 322,93+114,91 < 0,001
Marasmus (n=22)
374,18+103,43 < 0,001
Kwashiorkor (n=13)
236,20+75,55
< 0,001
Follow up
pertama
Marasmus dan kwashiorkor (n=18) 385,55+91,68
Marasmus (n=9)
397,33+95,12
Kwashiorkor (n=9)
373,75+92,18
< 0,001
< 0,001
< 0,001
Follow up ke
dua
Marasmus dan Kwashiorkor
(n=10)
Marasmus (n=5)
Kwashiorkor (n=5)
450,33+85,77
< 0,001
430,30+78,43
436,36+101,86
<0,05
<0,05
Setelah diberikan suplementasi antioksidan, terjadilah meningkatan kadar
aktivitas antioksidan total, tetapi sampai akhir bulan ke dua belum juga mencapai
kadar yang sama dengan kontrol. Peningkatan kadar aktivitas antioksidan total
lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan antioksidan pada follow up
pertama dan ke dua (Tabel 2.2).
Tabel 2.2
Kadar Aktivitas Antioksidan Total (µmol/L) pada Marasmus dan Kwashiorkor
dengan dan Tanpa Suplementasi Antioksidan selama Follow up (Sharda, 2006)
Subjek
Rata-rata + SD Nilai P
Follow up pertama dengan suplementasi 405,61 + 95,47 <0,05
n=13
Follow up pertama tanpa suplementasi n=5
373,39 + 69,57 Tidak bermakna
Follow up ke dua dengan suplementasi n=8 428,03 + 83,28 <0,05
Follow up ke dua tanpa suplementasi n=2
454,55 + 128,6 Tidak bermakna
Saat presentasi n = 35
322,93
+
114,91
Fungsi
intestinal
mengalami
kerusakan
pada
malnutrisi.
Malnutrisi
menyebabkan penurunan pertahanan antioksidan. Stres oksidatif merupakan
komponen dari kerusakan gastrointestinal. Pada penelitian yang menggunakan
tikus dengan diet rendah protein selama 4 minggu didapatkan aktivitas katalase
pada mukosa intestinal kelompok tikus dengan diet rendah protein meningkat
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi glutathione dan
aktivitas superoxide dismutase dan Se-dependent glutathione peroxidase pada
mukosa intestinal adalah sama dengan kelompok kontrol. Basal short-circuit
current (Isc) dan agonis Isc yang diinduksi oleh glukosa dan forskolin, seperti
juga rf-lactoglobulin fluxes, lebih tinggi pada kelompok protein rendah. Stres
H2O2 eksogen meningkatkan Isc secara bermakna pada kelompok protein rendah
lebih tinggi daripada kelompok protein normal, tetapi tidak mengubah
permeabilitas protein. Hasil ini menunjukkan bahwa malnutrisi menginduksi
kerusakan radikal bebas intestinal dan mengubah transpor epitel, yang
menunjukkan bahwa stres oksidatif berkontribusi terhadap disfungsi intestinal
yang berhubungan dengan malnutrisi (Darmon, dkk., 1993)
2.4 Respon Imun pada Malnutrisi Berat (MB)
Pertahanan tubuh melawan mikroba diawali dengan kekebalan alamiah dan
diselanjutnya melalui respon kekebalan didapat. Kekebalan alamiah terdiri dari
pertahanan seluler dan mekanisme pertahanan biokimia yang telah ada walaupun
tanpa ada infeksi sebelumnya dan langsung dapat berespon terhadap infeksi.
Kekebalan alamiah ini terdiri dari barier fisik dan kimia (epitel dan bahan kimia
antimikroba yang diproduksi
permukaan epitel),
sel fagosit (neutrofil,
makrofag), sel dendritik, sel natural killer (NK cell), protein dalam darah (bagian
dari sistem komplemen dan mediator inflamasi lainnya, dan sitokin (protein yang
meregulasi dan mengkoordinasi berbagai aktivitas sel kekebalan alamiah) (Abbas,
dkk., 2012b) (Gambar 2.4).
Kekebalan tubuh
Kekebalan alamiah:
1. barier fisik dan kimia
2. sel
fagosit
(neutrofil,
makrofag), sel dendritik, NK
cell,
3. protein dalam darah,
4. sitokin
sitokin
Kekebalan didapat:
1. limfosit (limfosit B dan
limfosit T (sel T helper,
sel T sitotoksik, sel T
regulator) ),
2. APC
3. effector cells
Gambar 2.4 Skema sistem kekebalan tubuh
Sel-sel utama pada kekebalan didapat adalah limfosit (limfosit B dan limfosit
T (sel T helper, sel T sitotoksik, sel T regulator)), antigen presenting cells (APC),
dan effector cells. Sel T helper akan mensekresikan sitokin apabila terdapat
stimulasi antigenik. Sitokin ini bertanggung jawab terhadap berbagai respon
seluler pada kekebalan alamiah dan didapat, jadi berfungsi sebagai molekul
messenger sistem imun. Sitokin yang disekresikan tersebut akan menstimulasi
proliferasi dan diferensiasi sel T itu sendiri dan mengaktivasi sel lainnya (sel B,
makrofag, dan leukosit lainnya). Sitokin bekerja secara autokrin, parakrin, atau
endokrin (Abbas, dkk., 2012b).
Hubungan yang fundamental antara malnutrisi dan imunitas pertama kali
digambarkan oleh Smythe dkk., sebagai defisiensi timolimfatik yang disebabkan
oleh malnutrisi kalori protein (Smythe, dkk., 1971). Penelitian akhir-akhir ini juga
menggambarkan timus sebagai “barometer malnutrisi” (Prentice, 1999) yang
mengidentifikasi
bagaimana
defisiensi
nutrien
spesifik
misalnya
zinc
berhubungan dengan malnutrisi klinis dan gangguan fungsi timus (Paren, dkk.,
1994).
Berbagai abnormalitas pada respon imun didapatkan berhubungan dengan
kondisi malnutrisi energi protein, antara lain dalam hal jumlah sel T, rasio subset
set T, aktivitas NK cells, dan produksi sitokin. Hasil dari penelitian-penelitian
tersebut masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa malnutrisi
menurunkan fungsi sel T, produksi sitokin, dan kemampuan limfosit berespon
terhadap sitokin (Rodriguez, dkk., 2005).
Respon sel T terhadap stimulus tergantung pada signal yang diterima dari
APC. Sel dendritik (salah satu APC) pada penderita malnutrisi jumlahnya
berkurang. Jumlah APC meningkat setelah diterapi dengan terapi standar. Pada
malnutrisi terdapat kegagalan maturasi sel dendritik yang berhubungan dengan
endotoksemia. Anergi pada sel dendritik ini menyebabkan kegagalan proliferasi
dari sel T (Hughes dkk, 2009).
Limfosit CD4+ anak gizi baik yang mengalami infeksi memiliki kemampuan
cukup untuk berdiferensiasi. Fraksi sel CD4+CD45RO+ (memori) meningkat dan
sel CD4+CD45RA+ (naive) menurun dalam darah tepi. Limfosit CD4+ pada anak
malnutrisi tidak mampu mencapai jumlah fraksi sel memori yang cukup untuk
memberikan perlindungan terhadap antigen luar dan untuk menimbulkan aktivitas
helper sintesis antibodi spesifik antigen (Najera dkk., 2001).
Pada penelitian mengenai efek infeksi dan malnutrisi terhadap proporsi subset
limfosit perifer, didapatkan bahwa pada anak gizi baik yang mengalami infeksi
bakteri terjadi penurunan proporsi TCD3+, CD4+, dan CD8+, tetapi terdapat
peningkatan proporsi limfosit B (CD20+) bila dibandingkan anak gizi baik tanpa
infeksi bakteri. Pada anak malnutrisi dengan infeksi juga terjadi penurunan
proporsi limfosit T CD4+ tetapi proporsi limfosit B (CD20+) juga menurun jika
dibanding anak gizi baik yang mengalami infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa
penurunan proporsi T limfosit pada anak gizi baik yang mengalami infeksi
tersebut berhubungan dengan penyakit infeksinya, dan ketidakmampuan untuk
meningkatkan proporsi limfosit B pada anak malnutrisi berhubungan dengan
menurunnya sintesis beberapa molekul yang terlibat dalam respon imunologis,
sebagai akibat kurangnya nutrisi pada anak malnutrisi (Najera dkk., 2004).
Produksi IL-4 dan IL-10 dari sel CD4+ dan CD8+ anak malnutrisi meningkat,
sementara produksi IL-2 dan IFN-γ menurun jika dibandingkan antara anak
malnutrisi dengan anak gizi baik tanpa dan dengan infeksi. Anak malnutrisi
menunjukkan gangguan pada kemampuan aktivasi, akibat dari
intensitas
fluoresensi sel CD69+ dan CD 25+ lebih rendah dari sel-sel pada anak dengan gizi
baik baik yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi. Hasil ini menunjukkan
bahwa malnutrisi mengubah kapasitas sel CD4+ dan CD 8+ untuk memproduksi
IL-2, IFN-γ, IL-4 dan IL-10 terhadap respon dari infeksi. Kerusakan fungsional
ini kemungkinan terlibat dalam kegagalan untuk berkembangnya respon imun
spesifik dan sebagai predisposisi dari infeksi pada anak-anak tersebut (Rodriguez,
dkk., 2005).
Pada tikus yang mengalami restriksi diet selama 7 hari didapatkan adanya
gangguan eksudasi sel polimorfonuklear (PMN) ke tempat lokal inflamasi
(peritonitis), terjadi penurunan dari ekspresi CD 11b/CD 18 dan produksi
macrophage inflammatory protein 2 (MIP-2), penurunan kemokin spesifik PMN
(TNF-α, IL-6, IL-10), dan peningkatan reactive oxygen intermediate (ROI).
Setelah perbaikan pemberian makan, maka dalam waktu singkat terjadi perbaikan
pertahanan tubuh dengan perbaikan fungsi PMN dan produksi kemokin pada
tempat inflamasi lokal (Ikeda, dkk., 2001).
Tikus model malnutrisi (yang diberikan restriksi diet selama 4 minggu)
mengalami peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi dalam darah (TNF, IL-1,
dan IFN-gamma sitokin Th-1) dibandingkan dengan kontrol, akan tetapi tidak
terdapat perbedaan dalam sitokin antiinflamasi TGF-beta. Ekspresi mRNA yang
mengkoding TNF dan IL-1 pada jantung juga meningkat. Ekspresi sitokin Th-1
(IFN-gamma) dan sitokin Th-17 (IL-17 dan IL-23p19) juga meningkat. Ekspresi
mRNA sitokin pada hati tidak mengalami perubahan pada malnutrisi (Stevanovic,
dkk., 2010).
Malnutrisi kalori protein menginduksi terjadinya supresi kekebalan tubuh,
terjadi kerusakan macrophage respiratory burst activity (superoxide anion [O2-]
generation). Penelitian pada tikus yang mengalami malnutrisi menunjukkan
bahwa pada kondisi malnutrisi kalori protein ringan dan berat mengalami
gangguan dalam pelepasan O2-. Ekspresi mannose-fucose receptor (MFR) juga
mengalami penurunan. Pada kondisi malnutrisi kalori protein ringan didapatkan
adanya peningkatkan produksi prostaglandin E2 makrofag secara sekunder
sebagai akibat dari peningkatan kandungan arachidonic acid phospholipid,
dengan inhibisi berikutnya dari O2- dan ekspresi MFR. Malnutrisi kalori protein
berat menginhibisi O2- makrofag melalui deplesi komponen fosfolipid membran
sehingga terjadi gangguan dalam signal transduction (Redmond, dkk., 1991).
Sitokin proinflamasi (IL-1, TNF, IL-6) memediasi terjadinya respon inflamasi
lokal, seperti misalnya panas, kemerahan, nyeri, bengkak, dan efek sistemik
seperti misalnya demam dan anoreksia (Gambar 2.5). Induksi dan sintesis sitokin
dikontrol oleh proses interaksi kompleks yang memerlukan keseimbangan untuk
menghindari terjadinya self injury selama respon inflamasi. Pada kondisi
malnutrisi, keseimbangan yang ketat tersebut mengalami gangguan. Anak dengan
MAB sering mengalami pengurangan respon inflamasi dan respon demam.
Sehubungan dengan hal tersebut berdasarkan penelitian invitro didapatkan bahwa
terjadi penurunan produksi IL-1 dan TNF dari monosit sirkulasi (Doherty, dkk.,
1994). Konsentrasi yang tinggi dari IL-6 dan TNF juga didapat pada anak dengan
malnutrisi tanpa infeksi (Sauerwein, dkk., 1997). Penelitian lebih jauh lagi perlu
dilakukan untuk mengetahui peranan dari mediator ini pada malnutrisi.
Gambar 2.5 Efek Lokal dan Sistemik Sitokin dalam Inflamasi (Abbas, dkk.,
2012c)
Pada anak dengan malnutrisi terjadi suatu perubahan keseimbangan respon
imun tipe 1 dan tipe 2 yang mungkin menjadi penyebab ketidakmampuan dari
sistem imun pada anak dengan malnutrisi untuk mengatasi infeksi. Ekspresi gen
TNF-α, IL-4, dan IL-10 meningkat dan ekspresi gen IL-2, interferon gamma, dan
IL-6 berkurang pada anak malnutrisi bila dibandingkan antara anak malnutrisi
dengan anak gizi baik yang mengalami infeksi (Gonzalez-Martinez dkk., 2008).
Konsentrasi IL-6, C-reactive protein (CRP), dan soluble receptors of TNF α
(sTNFR-p55 dan sTNF-p75) didapatkan meningkat pada anak malnutrisi energi
protein terutama pada anak dengan kwashiorkor. Konsentrasi soluble receptors of
IL-6 (sIL6R-gp80) dan antagonis reseptor IL-1 tidak berbeda bermakna dengan
anak sehat. Konsentrasi IL-6, sTNFR-p55 dan sTNFR-p75 didapatkan meningkat
pada kwashiorkor walaupun tanpa adanya infeksi (Sauerwein dkk., 1997). Pada
penelitian dengan tikus yang mengalami malnutrisi energi protein berat
didapatkan bahwa protein malnutrisi yang menginduksi ekspresi IL-6 dan α-2
makroglobulin, yang kemudian memodulasi respon protein fase akut terhadap
inflamasi (Lyoumi dkk, 1998).
Penelitian tentang IL-6 pada malnutrisi ini memberikan hasil yang masih
kontroversial, ada yang mendapatkan konsentrasinya meningkat dan ada yang
mendapatkan ekspresi gennya menurun. Hal ini mungkin karena sampel dari
penelitian tersebut berbeda yaitu menggunakan anak dengan malnutrisi ringan dan
sedang saja (Gonzalez-Martinez dkk., 2008). Interleukin-6 selain berfungsi
sebagai sitokin proinflamasi juga sebagai sitokin antiinflamasi. Interleukin-6
setelah berikatan dengan reseptor permukaan merangsang sel hati memproduksi
protein fase akut dengan beberapa jalur. Jalur pertama melalui jalur aktivasi
receptor-associated Janus-activated kinases (JAKs) yang mengaktifkan faktor
transkripsi signal tranducers and activators of transcription (STATs).
Pengaktivan dari STATs ini memegang peranan penting dalam menginduksi dan
memodulasi transkripsi gen multipel temasuk yang mengkode protein fase akut.
Salah satu protein fase akut pada tikus yaitu α1-acid glycoprotein meningkat
kadarnya saat terjadi inflamasi dan dipengaruhi oleh TNF, IL-1, dan IL-6. Jalur ke
dua adalah yang melibatkan berbagai macam mitogen-activated protein (MAP)
kinase family yang menghasilkan respon berupa sekresi sitokin proinflamasi (TNF
dan IL-1) (Ling dkk., 2004).
2.5 Perlemakan Hati pada Malnutrisi Berat
Penyakit perlemakan hati atau fatty liver disease (FLD) dibagi menjadi dua
bagian besar yaitu alcoholic FLD (AFLD) dan nonalcoholic FLD (NAFLD).
Umumnya AFLD dan NAFLD diawali dengan steatosis hati. Jika steatosis ini
terus berlangsung maka akan berkembang menjadi steatohepatitis, cirrhosis, dan
kanker hati. Steatosis hati menunjukkan adanya akumulasi berlebih lemak
(trigliserida) pada sel parenkim hati (hepatosit), dan terjadi karena berbagai
penyebab.
Steatosis hati secara morfologi bermanifestasi sebagai akumulasi droplet
lemak intrasitoplasma besar (makro vesikular) atau kecil (mikro vesikular) dalam
sel parenkim hati. Diagnosis steatosis dibuat jika kandungan lemak hati melebihi
5-10% dari beratnya.
Pada kondisi malnutrisi misalnya kwashiorkor, hepatic steatosis yang terjadi
utamanya adalah makro vesikular. Pada bentuk makro vesicular didapatkan suatu
vakuola tunggal lemak besar dalam sel hepatosit yang mengisi sitoplasma dan
menggeser inti ke perifer, sehingga didapatkan gejala khas yang disebut signet
ring appearance. Steatosis hati itu sendiri tidak berbahaya, reversibel, dan tidak
progresif jika penyebabnya dihilangkan. Perkembangan menjadi steatohepatitis
baik pada ASH maupun NASH dipengaruhi oleh masih tetapnya dan keparahan
dari penyebab steatosis hati tersebut (Reddy dan Rao, 2006).
Sistem oksidasi asam lemak mitokondria, peroxisomal, dan mikrosomal di
hati diregulasi oleh peroxisome proliferator activated receptor-α (PPAR-α) dan
memetabolisme energi. Peningkatan PPAR-α sensing di hati dan induksi dari ke
tiga sistem oksidasi asam lemak akan menghasilkan peningkatan pembakaran
energi dan mengurangi cadangan lemak. Penurunan PPAR-α sensing dan atau
penurunan kapasitas oksidasi asam lemak akan menimbulkan pengurangan
penggunaan
energi
dan
meningkatkan
lipogenesis
(dimediasi
PPAR-γ),
menghasilkan steatosis dan steatohepatitis. Steatohepatitis alkohol dan nonalkohol
disebabkan karena gangguan pada sistem oksidasi asam lemak di hati.
Abnormalitas yang berhubungan dengan sistem oksidasi asam lemak yang
berbeda disebabkan karena genetik, racun (termasuk obat-obatan), dan gangguan
metabolisme juga akan menghasilkan penurunan pembakaran energi di hati,
sehingga menimbulkan penumpukan lemak di sel hati. Efisiensi dari PPAR-α
sensing di hati penting untuk mengenal dan merespon influx asam lemak dalam
kasus kelaparan atau puasa, dimana influx asam lemak secara kuat menginduksi
aktivitas ke tiga sistem oksidasi asam lemak untuk mencegah steatosis hati. Puasa
semalaman atau berkepanjangan menimbulkan steatosis hati berat jika PPAR-α
sensing tidak efisien (Reddy dan Rao, 2006).
Infiltrasi lemak ekstensif merupakan salah satu gambaran kardinal dari MB
pada anak. Patogenesis terjadinya penumpukan lemak hati pada MB masih
kontroversi. Beberapa hipotesis diperkirakan sebagai penyebab perlemakan hati
yaitu peningkatan sintesis lemak hati, redistribusi lemak dari jaringan lemak, tidak
cukupnya sekresi lipoprotein, abnormalitas lipase lipoprotein, dan toksisitas
mikotoksin. Akibat dari akumulasi lemak ini adalah disfungsi dari hati sehingga
didapatkan peningkatan dari bilirubin atau transaminase serum sehingga
menimbulkan prognostik yang buruk bagi anak-anak tersebut (Doherty, dkk.,
1991).
Akumulasi lemak terjadi melalui salah satu atau kombinasi dari tiga
mekanisme yaitu peningkatan sintesis lemak hati, gangguan pada transportasi
pengeluaran lemak hati, atau penurunan pemecahan lemak dalam hati. Mekanisme
peningkatan sintesis lemak hati tidak dapat dikonfirmasi dengan didapatkannya
penurunan dari aktivitas glucose-6-phosphatase. Mekanisme tidak adekuatnya
sintesis lipoprotein dan sekresinya secara teori tampaknya merupakan penjelasan
yang tepat. Konsentrasi lipoprotein sirkulasi didapatkan rendah pada anak dengan
malnutrisi berat dan sintesis protein pun mengalami gangguan. Lemak hati tidak
berkorelasi baik dengan konsentrasi sirkulasi lipoprotein.
Mekanisme yang ke tiga yaitu penurunan pemecahan lemak hati (Doherty,
dkk., 1991). Penelitian Leung dan Peter (1986) melihat biopsi hati yang diambil
dari pasien perlemakan hati karena alkohol dan mendapatkan adanya gangguan βoksidation, menyimpulkan bahwa penurunan β-oksidation ini penting dalam
patogenesis perlemakan hati. Beta-oxidation lemak terutama terjadi dalam
mitokondria tetapi fungsi mitokondria pada anak malnutrisi berat masih baik
(Waterlow, 1961), sehingga hipotesis gangguan β-oxidation sebagai penyebab
perlemakan hati menjadi jauh. Lazarow dan de Duve (1976) mendapatkan peranan
peroxisomal β-oxidation serupa tetapi merupakan suatu sistem yang terpisah dari
yang terjadi pada mitokondria. Kemungkinan disfungsi peroxisome sebagai
bagian dari patogenesis perlemakan hati (Doherty, dkk., 1991).
Peroxisome merupakan suatu organela subseluler yang tersebar pada seluruh
sel mamalia dengan jumlah yang besar pada hepatosit. Pada kondisi normal,
peroxisome melakukan sekitar 10% dari total β-oxidation lemak. Peroxisome
memiliki kapasitas untuk menyelesaikan β-oxidation substratnya, tetapi hal ini
belum pernah diobservasi secara in vivo. Peroxisome memendekan asam lemak
rantai panjang yang kemudian ditransportasi ke mitokondria untuk proses oksidasi
lebih lanjut. Secara teori, walaupun dalam kondisi fungsi mitokondria masih baik,
maka suatu defek
yang terjadi pada peroxisome (β-oxidation) masih
memungkinkan menimbulkan akumulasi lemak hati. Akumulasi lemak kemudian
cenderung pada rantai
yang lebih panjang. Transportasi asam
lemak
menyeberangi membran peroxisome terjadi tidak tergantung dari karnitin,
sementara pada mitokondria sebaliknya. Tidak seperti mitokondria, peroxisomal
β-oxidation tidak terganggu pada kondisi tanpa adanya riboflavin. Aktivitas
sistem peroxisomal β-oxidation dipengaruhi oleh banyak faktor eksternal.
Peroxisome memiliki waktu paruh yang pendek dan ini dapat berkurang lagi
dengan adanya stres tertentu (Doherty, dkk., 1991).
Penelitian pada tikus yang sedang dalam masa pertumbuhan (usia 4 minggu)
diberikan diet rendah protein (3 g kasein/100 g diet) dengan atau tanpa MCT
selama 30 hari dibandingkan dengan tikus yang mendapatkan cukup protein (20 g
kasein/100 g diet) dengan atau tanpa MCT. Pada penelitian tersebut didapatkan
bahwa tikus dengan diet rendah protein selama 1 bulan tersebut mengalami
perlemakan hati dan lebih prominen terjadi pada tikus yang mendapatkan diet
tanpa MCT. Respiratory quotient tikus dengan diet rendah protein dan tanpa MCT
lebih tinggi secara bermakna dibanding tikus dengan diet rendah protein dengan
MCT. Kandungan trigliserida hati dari tikus dengan diet rendah protein dengan
MCT didapatkan lebih rendah dibandingkan dengan tikus yang mendapatkan diet
rendah protein tanpa MCT. Kadar carnitine palmitoyltransferase (CPT) 1a mRNA
dan CPT 2 mRNA menurun secara bermakna pada hati dari tikus yang
mendapatkan diet rendah protein tanpa MCT dibandingkan kelompok lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa pada tikus yang sedang dalam masa pertumbuhan akan
mengalami perlemakan hati jika diberikan diet rendah protein.
Penimbunan trigliserida hati akan berkurang dengan penambahan MCT pada
tikus tersebut, dan kadar CPT 1a mRNA dan CPT 2 mRNA dapat dipertahankan
seperti kondisi normal. Penelitian tersebut menunjukkan perlemakan hati pada
kondisi diet rendah protein disebabkan karena penurunan ekspresi gen yang
mengkode pembentukan protein yang terlibat dalam oksidasi asam lemak. Enzim
membran terluar mitokondria, CPT 1a, memegang peranan penting dalam regulasi
β-oxidation di hati.
Medium chain fatty acid dapat menyeberangi membran
mitokondria untuk oksidasi melalui carnitine-independent mechanism, sehingga
penimbunan trigliserida hati dapat dikurangi dengan pemberian MCT pada tikus
yang
mendapatkan
diet
rendah
protein.
Peningkatan
β-oxidation
akan
menghasilkan acetyl-CoA yang berlebih. Acetyl-CoA ini akan diubah menjadi
badan keton.
Gen Medium-chain acyl-CoA dehydrogenase (MCAD) dan Acyl-CoA oxidase
(ACO) merupakan gen target PPARα disamping CPT 1a dan CPT 2. Pada
penelitian tersebut gen MCAD dan ACO tidak berbeda bermakna ekspresinya
pada kelompok tikus yang mendapatkan diet rendah protein dengan dan tanpa
MCT. Faktor selain PPARα kemungkinan penting untuk meregulasi ekspresi gen
CPT 1a dan CPT2 dengan suplementasi MCT. Medium chain fatty acid
dimetabolisme melalui CPT-independent mechanism, sehingga kontrol terhadap
ekspresi protein yang yang terlibat dalam carnitine cycle bukanlah secara
langsung karena stimulasi MCT, sehingga faktor lain kemungkinan berperanan
dalam pemberian suplementasi MCT ini untuk mengurangi perlemakan hati
(Kuwahata, dkk. 2011).
Glutathione (GSH) serum dan hati didapatkan menurun pada kondisi
malnutrisi berat dan berhubungan terbalik dengan perlemakan hati pada malnutrisi
berat. Glutathione yang rendah akan mengurangi kemampuan inang dalam
menghadapi serangan radikal bebas. Perbedaan lainnya antara β-oxidation dari
peroxisome dan mitokondria adalah reaksi awal dalam sistem peroxisome
melibatkan oksidasi activated acyl-CoA dengan ditransfernya elektron ke oksigen
untuk
membentuk
hidrogen
peroksida.
Hidrogen
peroksida
kemudian
dimusnahkan oleh katalase (hampir semuanya ada di peroxisome). Katalase dan
GSH secara bersama bertanggung jawab dalam detoksifikasi spesies radikal
(Doherty, dkk., 1991).
Pada kondisi malnutrisi, status karnitin dan riboflavin marginal, sehingga
peranan peroxisomal β-oxidation secara relatif akan meningkat. Hubungan antara
infeksi dan malnutrisi telah diketahui dengan baik, infeksi bakteri juga diketahui
mengurangi
jumlah
peroxisome.
Reaksi
awal
sistem
peroxisome akan
menghasilkan hidrogen peroksida yang bersifat radikal, sementara pada kondisi
malnutrisi berat kadar antioksidan berkurang. Radikal bebas tersebut akan
merusak peroxisome itu sendiri, sehingga akan terjadi bunuh diri metabolik dari
peroxisome. Hal ini dapat dilihat dari hasil biopsi anak-anak malnutrisi berat yang
meninggal jika dibandingkan dengan anak-anak malnutrisi berat yang dalam
pemulihan nutrisi ditemukan adanya pengurangan jumlah peroxisome pada anakanak yang meninggal tersebut. Jika diperkirakan bahwa radikal bebas memegang
peranan dalam patogenesis gambaran klinis malnutrisi anak, dan defek dari βoxidation kemungkinan berkontribusi terhadap perlemakan hati, jadi mungkin
kiranya bahwa disfungsi peroxisome menghubungkan ke dua hal tesebut
(Doherty, dkk., 1991).
Patogenesis terjadinya ASH dan NASH multifaktor dan termasuk beberapa
peristiwa yang saling tindih. Hipotesis “two hit” menyatakan bahwa steatotis hati
suseptibel terhadap kerusakan sekunder (kepekaan terhadap ROS, endotoksin
yang berasal dari saluran cerna, dan adipositokin (TNF-α dan sitokin lainnya)
(Day dan James, 1998).
Hal-hal tersebut penting dalam menimbulkan respon inflamasi pada
perlemakan hati, tetapi faktor-faktor presipitasi kemungkinan secara langsung
berhubungan dengan ruptur atau apoptosis sel hati yang mengalami perlemakan
dan melepaskan trigliserida dan asam lemak beracun. Kelebihan asam lemak pada
sel hati bertindak sebagai bahan dan penginduksi mikrosomal sitokrom P-450
(CYP)2E1 dan sistem oksidasi asam lemak yang akan menghasilkan ROS dengan
akibat terjadinya stres oksidatif (Rao dan Reddy, 2004).
Stres oksidatif menyebabkan pelepasan beberapa sitokin (TNF-α, TGF-β, dan
interleukin lainnya) oleh sel Kupffer (Day dan James, 1998). Reactive Oxygen
Species seperti juga etanol dapat mengaktivasi sel stellate yang berpartisipasi
dalam fibrogenesis. Produk lipid peroxidation seperti juga protein dapat
memodifikasi ROS berkembang menjadi properti imunogenik yang menyebabkan
respon inflamasi. Respon autoimun terhadap komponen sel hati juga berimplikasi
terhadap
kerusakan
sel
hati.
Faktor
gastrointestinal
seperti
misalnya
lipopolisakarida bakteri dan endotoksin juga diketahui mengaktifkan sel Kupffer,
sehingga menghasilkan generasi sitokin dan pengurangan adiponektin sirkulasi.
Hal ini terjadi baik pada ASH dan NASH. Walaupun peranan yang pasti dari
adipositokin (adiponektin dan leptin) pada NASH tidak diketahui, ekspresi yang
berlebihan dari ke dua sitokin ini oleh sel stellate terdapat pada keadaan resistensi
insulin. Leptin akan mempromosikan fibrosis dan adiponektin menginhibisi
fibrosis dan menyebabkan apoptosis sel stellate (Reddy dan Rao, 2006).
2.6 Tata Laksana Malnutrisi Berat
Tata laksana MB mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan
perkembangan penelitian dan teknologi. Lebih dari 50 tahun lalu telah diketahui
bahwa MB dengan edema disebabkan karena defisiensi protein. Ini menjadi dasar
pemberian diet tinggi protein dalam terapi, tetapi kemudian didapatkan bahwa
penggantian cadangan albumin pada anak malnutrisi tidak dimediasi dengan
perubahan sintesis albumin sehingga menimbulkan dugaan bahwa edema pada
malnutrisi bukan hanya karena masalah hipoalbumin. Adaptasi utama terhadap
asupan protein yang tidak adekuat meliputi hilangnya nitrogen dan massa otot
tubuh sesuai dengan penggunaan protein. Defisiensi protein sekunder juga terjadi
karena ketidakmampuan absorbsi protein, gangguan metabolisme protein,
peningkatan perubahan protein ke protein fase akut sebagai konsekuensi
terjadinya infeksi menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan adaptasi. Pada
awal tahun 1952 pemberian diet dengan protein yang lebih rendah menunjukkan
keberhasilan. Penelitian dari Jamaica pada tahun 1980an membuktikan bahwa
dengan pemberian protein yang rendah dapat memperbaiki kondisi kwashiorkor
(Scherbaum dan Furst, 2000).
Behar, dkk. (1957) menyampaikan bahwa perlu perhatian terhadap
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada MB. Terapi yang diberikan untuk
tahap awal terapi adalah pemberian frequent feedings half strength milk. Satu
sampai dua gram protein dan 30 - 60 kal/kg berat badan diberikan pada 24 jam
pertama. Setelah itu kepekatan dan jumlah susu ditingkatkan untuk mendapatkan
5 g protein dan 100 kalori per kg pada akhir minggu pertama. Pisang, jus buah,
daging, telur, sayur, dan sereal secara bertahap ditambahkan selama periode
penyembuhan sehingga mengandung 5-7 g protein dan 130-150 kalori.
Malnutrisi berat awalnya diterapi dengan menggunakan susu skim pada terapi
inisial. Pada saat itu penggunaan susu skim bubuk tersebut menimbulkan efek
samping utama memiliki kecenderungan memprovokasi atau memperberat diare
yang kemungkinan disebabkan karena intoleransi laktosa dan kandungan
kalorinya yang rendah sehingga berpotensi mengalami hipoglikemia dan
peningkatan berat badan yang lambat. Kemudian dibuatlah formula yang disebut
dengan kwashiorkor food mix yang terdiri dari susu skim bubuk, calcium casinate,
sucrose dan penambahan minyak sayur untuk mengatasi kekurangan dari
pemberian hanya susu skim saja. Kwashiorkor food mix ini digunakan untuk
terapi ribuan anak MB selama perang Nigeria-Biafra. Hasil dari terapi ini
menunjukkan insiden terjadinya diare berat, hipoglikemia, dan kematian lebih
rendah dan berat badan lebih cepat naik dibandingkan dengan pemberian susu
skim saja (Ifekwunigwe, 1975).
Pada tahun 1981 WHO mengeluarkan suatu pedoman terapi untuk MB. Pada
pedoman ini pemberian diet pada minggu pertama adalah dengan memberikan
diet yang secara bertahap ditingkatkan dan frekuensi diturunkan pada beberapa
hari berikutnya. Pada tahap awal ini tujuan pemberian diet small frequent dengan
susu diencerkan adalah untuk memberikan pasien sejumlah energi dan protein
tanpa memprovokasi muntah dan diare (Tabel 2.3). Susu yang digunakan adalah
susu sapi, susu evaporated, susu bubuk full cream, atau susu skim bubuk. Jika
menggunakan susu skim bubuk maka campuran yang diberikan adalah 75 g susu
skim bubuk, 30 g minyak sayur dan 50 g gula yang dihaluskan dan secara
bertahap ditambahkan 1000 ml air. Half-strength milk dibuat dengan
menambahkan 1 liter air ke dalam 1 liter Full-strength milk (WHO, 1981).
Tabel 2.3 Tipe dan Frekuensi Pemberian Diet pada Malnutrisi Berat (WHO,
1981)
Hari
Tipe diet
Frekuensi per hari
1
Oral rehydration salts (ORS)
12
2
Half-strength milk feeds
12
3
Half-strength milk feeds
8
4, 5
Full-strength milk feeds
8
6
High-energy milk feeds
6
Pada tahun 1999, WHO merevisi kembali pedoman terapinya berdasarkan
perkembangan penelitian-penelitian. Kemajuan pada pedoman terapi ini adalah
mulai diperkenalkannya larutan rehidrasi khusus untuk malnutrisi yang disebut
ReSoMal, pemberian zat besi ditunda, dan pengurangan asupan protein, energi
dan laktosa selama fase inisial dengan penambahan beberapa mikronutrien yang
juga diberikan selama fase rehabilitasi. Beberapa formula nutrisi dipergunakan,
yaitu Formula 75 (F75), Formula 100 (F100), dan Formula 135 (F135) (WHO,
1999b).
Tata laksana anak dengan MB dilakukan melalui dari 3 tahap yaitu
penanganan awal (stabilisasi), rehabilitasi, dan follow-up (WHO, 1999b). Pada
saat penderita diterima di ruang perawatan dilakukan penanganan terhadap
kondisi yang bersifat kedaruratan seperti hipotermia, hipoglikemia, dehidrasi,
infeksi, pemberian mikronutrien (kecuali Fe), koreksi terhadap gangguan
keseimbangan elektrolit dan mulai diberikan asupan makanan yang sesuai.
Penanganan hipotermia, hipoglikemia dan dehidrasi berlangsung satu sampai dua
hari, sedangkan yang lainnya dilanjutkan sampai hari ketujuh. Pada minggu ke
dua sampai keenam masuk ke tahap rehabilitasi. Follow-up dilakukan minggu 7 –
26.
Pemberian asupan makanan pada tahap awal harus dengan sangat hati-hati.
Bayi dan anak dengan gizi buruk mengalami gangguan pada fungsi pencernaan,
hati dan keseimbangan elektrolit, sehingga tidak memungkinkan pemberian
nutrisi dengan kandungan protein, lemak dan natrium yang cukup sesuai dengan
usianya, tetapi harus lebih rendah, disertai dengan kandungan karbohidrat yang
tinggi. World Health Organization mengajukan formula 75 (F75) dan formula 100
(F100) untuk tahap awal dan rehabilitasi. Formula 75 untuk tahap awal, setelah
napsu makannya mulai pulih diberikan F100. Komposisi dari F75 dan F100 dapat
dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Komposisi F75 dan F100 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
Kandungan
F75
F100
Susu skim bubuk (g)
25
85
Gula pasir (g)
100
50
Minyak sayur (g)
30
60
Larutan elektrolit (ml)
20
20
Tambahan air sampai dengan (ml)
1000
1000
Pada fase stabilisasi pemberian makanan dengan porsi kecil dan sering
dengan osmolaritas rendah dan rendah laktosa (F75). Energi yang diberikan pada
fase ini adalah 80-100 kkal/kgbb/hari, protein sebesar 1 – 1,5 g/kgbb/hari, dengan
cairan 130 ml/kgbb/hari (pada anak-anak dengan edema berat cairan yang
diberikan 100 ml/kgbb/hari). Pemberian makanan awal (fase stabilisasi) berubah
menjadi makanan kejar tumbuh setelah melewati transisi dengan mengganti F75
dengan F100 dalam jumlah yang sama selama 48 jam. Volume ditambah bertahap
hingga mencapai 150 kkal.kgbb/hari dengan energi yang ditingkatkan bertahap
dari 100 kkal/kgbb/hari sampai mencapai 150 kkal/kgbb/hari dan protein 2-3
g/kgbb/hari. Fase selanjutnya adalah fase rehabilitasi yang tercapai setelah
masukan energi lebih dari 150 kkal/kgbb/hari yang ditingkatkan sampai mencapai
220 kkal/kgbb/hari dan protein 4-6 g/kgbb/hari (Susanto, dkk., 2011).
Fase stabilisasi biasanya berlangsung 1-2 hari, dengan transisi 3-7 hari
sebelum mencapai fase rehabilitasi yang biasanya terjadi pada minggu ke dua
sampai minggu ke enam. Fase tindak lanjut berlangsung biasanya pada minggu
ke-7 sampai minggu ke-26 (Susanto, dkk., 2011).
Modifikasi dari formula WHO ini salah satunya adalah Modisco. Modisco
singkatan dari modified dietetic skim and cottonseed oil. Modisco yang banyak
digunakan di Indonesia merupakan modifikasi dari Modisco yang digunakan di
Uganda dan ditemukan oleh May dan Whitehead tahun 1973. Modifikasi
dilakukan dengan pertimbangan ketersediaan bahan lokal, selera, daya cerna,
kebutuhan kalori serta tingkat kurang energi protein yang terjadi. Modisco dibagi
menjadi 4 yaitu Modisco ½, I, II, dan III (Septi, 2014). Komposisi Modisco
dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Komposisi Modisco ½, I, II, dan III (Depkes, 2011).
Bahan
Modisco Modisco Modisco
½
I
II
Susu bubuk (susu full cream/skim)
10 g
10 g
10 g
Gula pasir
5g
5g
5g
Minyak biji
2,3 g
4,6 g
5,6 g
kapas/kelapa/jagung/margarin
Kalori
80
100
120
Tambahan air sampai 100 ml
Modisco
III
12 g
7g
5,5 g
140
Diet berbahan dasar susu memerlukan penyediaan yang segar dan oleh tenaga
yang berpengalaman untuk mencegah kontaminasi bakteri, sehingga F100 tidak
disarankan diberikan di luar seting medis. Atas dasar alasan tersebut dibuatlah
ready to use therapeutic food (RUTF) (10% kalori protein dan 59% kalori lemak)
yang mengandung lemak tumbuh-tumbuhan, mentega kacang, susu skim bubuk,
lactoserum, maltodextrin, gula, mineral dan multivitamin dengan nilai nutrisi
setara dengan F100. Meskipun asupan total kalori tidak meningkat, tetapi karena
anak mengkonsumsi dalam jumlah yang lebih kecil dari pada sediaan F100
perkali makan, berat badan tetap meningkat (Scherbaum dan Furst, 2000).
Unicef (2013) menyatakan bahwa RUTF yang berbentuk pasta berenergi dan
diperkaya mikronutrien diberikan untuk terapi makanan MB berupa campuran
homogen makanan kaya lemak, dengan profil nutrisi serupa dengan formula F100
WHO yang kandungan utamanya adalah kacang, minyak, gula, bubuk susu,
suplemen vitamin dan mineral. Penelitian dilakukan oleh Ciliberto, M.A., dkk.
(2005) untuk membandingkan antara penggunaan RUTF dengan terapi standar
untuk anak malnutrisi berat. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa pemberian
RUTF memberikan hasil yang lebih baik dibanding terapi standar, peningkatan
berat badan lebih banyak.
2.7 Virgin Coconut Oil (VCO)
Virgin coconut oil adalah minyak yang didapatkan dari kelapa tua segar
dengan menggunakan alat atau secara alami, tanpa pemanasan, tanpa
menggunakan pemurnian, tanpa pemutihan, dan tanpa pemberian aroma secara
kimia, sehingga didapatkan suatu minyak yang tidak mengalami perubahan seperti
minyak alaminya apa adanya. Minyak ini mengandung asam lemak rantai sedang
(medium-chain fatty acid /MCFAs) (sekitar 64%), dan asam lemak laurat (C12)
(47-53%) (Bawalan dan Chapman, 2006). Kandungan linoleic acid VCO rendah
(0,90-1,72%) (Marina, dkk., 2009b).
Cara pembuatan VCO menggunakan beberapa metode, yaitu enzimatik,
pancingan, pendiaman dan mekanik. Pembuatan VCO dengan metode enzimatik
adalah dengan cara 250 ml krim dari kelapa yang telah diperas ditambahkan 1 ml
enzim papain kemudian diaduk dan didiamkan 1x24 jam dan diambil bagian
atasnya. Pembuatan VCO dengan metode pancingan dengan cara diukur 250 ml
krim lalu ditambah 25-30 ml VCO asli kemudian diaduk dan didiamkan 1x24 jam
lalu di ambil bagian atasnya. Pembuatan VCO dengan metode pendiaman dengan
cara diukur 250 ml krim, kemudian dimasukkan dalam toples dan didiamkan
1x24 jam lalu diambil bagian atasnya. Pembuatan VCO dengan metode mekanik
dengan cara diukur 250 ml krim lalu mixing selama 5-10 menit dan kemudian
diamkan 1x24 jam dan ambil bagian atasnya (Mappasessu, 2014).
Pembuatan VCO dengan menggunakan metode pancingan, pendiaman dan
pemanasan menghasilkan minyak VCO lebih banyak dibandingkan metode
penambahan enzim (ekstrak papain), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna,
sehingga keempat metode masih setara. Hasil analisis organoleptik menunjukkan
bahwa kualitas fisik minyak VCO hasil pendiaman dan pemancingan lebih baik
dibandingkan hasil pemanasan, penambahan ekstrak papain maupun VCO
pasaran. Hasil pengukuran berat jenis (bj) menunjukkan bahwa bj VCO hasil
pendiaman dan pemancingan lebih kecil dibandingkan VCO hasil pemanasan,
penambahan papain maupun pasaran. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kemurnian VCO pendiaman dan pemancingan lebih tinggi dibandingkan lainnya.
Kadar air dalam VCO hasil pemanasan, pendiaman, dan pemancingan lebih kecil
dibandingkan VCO hasil penambahan papain maupun pasaran. Minyak VCO
pasaran mengandung air jauh lebih besar dibandingkan lainnya. Analisis kadar
nitrogen pada VCO menunjukkan dengan teknik pendiaman dan pemancingan
tidak mengandung nitrogen, sedangkan teknik yang lainnya mengandung nitrogen
terutama yang dengan penggunaan enzim. Kadar peroksida lebih sedikit terdapat
pada VCO yang didapat dari teknik pemancingan dan pendiaman, dimana yang
terkecil adalah pada teknik pendiaman (Asyari dan Cahyono, 2006).
Virgin coconut oil (VCO) memiliki standar fisik dan kimia yang dikeluarkan
oleh Asian and Pacific Coconut Community (APCC). Asian and Pacific Coconut
Community (APCC) merupakan suatu organisasi lintas pemerintahan yang terdiri
dari 16 negara anggota, yang berada di bawah United Nations Economic and
Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP). Tujuan organisasi ini
adalah untuk mempromosikan, mengkoordinasikan dan menyelaraskan semua
aktivitas industri kelapa yang mempertahankan kehidupan jutaan petani kecil
dalam produksi, proses dan pemasaran produk kelapa (Bawalan dan Chapman,
2006). Asian and Pacific Coconut Community (APCC) mengeluarkan standar
VCO yang disebut dengan APCC standards for virgin coconut oil. Standar ini
mengatur syarat-syarat kelembaban, nilai saponifikasi, komposisi asam lemak dan
lain-lain dari VCO (Lampiran 2).
Virgin coconut oil (VCO) yang baik adalah jernih, tidak ada endapan, dan
tidak bewarna. Virgin coconut oil (VCO) yang bewarna kuning menandakan
proses produksinya kurang baik karena menggunakan pemanasan sehingga
kualitasnya kurang baik. Virgin coconut oil (VCO) yang baik tidak berbau tengik
serta memiliki bau dan rasa khas minyak kelapa. Virgin coconut oil (VCO) yang
berbau tengik telah rusak, kemungkinan karena proses produksinya yang tidak
baik (misalnya melalui proses pemanasan) atau penyimpanannya kurang baik
(misalnya disimpan pada ruangan yang terlalu panas atau di tempat yang kotor
sehingga tercemar bau dari lingkungan sekitarnya) (Healindonesia, 2010).
Minyak kelapa biasa berbeda dengan VCO. Minyak kelapa biasa dibuat
dengan cara pemanasan dengan suhu tinggi sehingga akan menghilangkan
antioksidan. Virgin coconut oil (VCO) kaya akan vitamin E dan mineral yang
tidak ada pada minyak kelapa biasa, beraroma kelapa segar dan tahan lama tidak
seperti minyak kelapa biasa yang lebih cepat tengik (kurang dari dua bulan).
Warna VCO jernih dan minyak kelapa biasa bewarna kuning kecoklatan.
Pembuatan VCO tidak membutuhkan biaya banyak karena penggunaan energi
yang minimal, tidak menggunakan bahan bakar (Klinik Gizi Online, 2015).
Virgin coconut oil memiliki efek sebagai antimikroba (dapat mendekolonisasi
stafilokokus aureus), antiinflamasi dan emolien dari kulit penderita dermatitis
atopik (Verallo-Rowell, dkk., 2008). Pada penanganan terhadap pneumonia tipe
komunitas pada anak, VCO efektif sebagai terapi tambahan dalam mempercepat
normalisasi laju napas dan resolusi ronkhi paru (Erguiza dkk., 2009).
Virgin coconut oil merupakan sumber alami medium chain fatty acid dan
asam laurat yang paling tinggi konsentrasinya serta memiliki aktivitas antibakteri.
Penelitian uji klinis dengan pembutaan tripel pada neonatus dengan berat lahir <
1500 g yang dilakukan di NICU dari sebuah rumah sakit tersier mengenai
suplementasi VCO, didapatkan adanya peningkatan berat badan/hari yang lebih
besar pada kelompok VCO dibanding kontrol. Efek samping dan sepsis juga
didapatkan lebih rendah pada kelompok VCO dibanding kontrol (Amanto-Aurelio
dan Mantaring, 2005).
Virgin coconut oil bermanfaat dalam menurunkan komponen lemak jika
dibandingkan dengan minyak kopra, mengurangi kadar kolesterol total,
trigliserida, fosfolipid, LDL, dan VLDL. Virgin coconut oil meningkatkan
kolesterol HDL di serum dan di jaringan. Fraksi polifenol dari VCO juga dapat
mencegah oksidasi LDL invitro dengan cara mengurangi formasi karbonil (Nevin
dan Rajamohan, 2004). Fraksi polifenol ini juga lebih memiliki efek inhibisi pada
peroksidasi lipid mikrosomal jika dibandingkan dengan minyak kopra dan minyak
kacang tanah.
Virgin coconut oil memiliki vitamin E dan polifenol yang lebih tidak
saponifiable dibuktikan dengan peningkatan kadar enzim antioksidan dan
pencegahan peroksidasi lipid secara in vivo dan in vitro (Nevin dan Rajamohan,
2006). Perbedaan antara VCO dengan minyak kelapa biasa (refined, bleached and
deodorized coconut oil) adalah VCO menunjukkan aktivitas antioksidan yang
lebih baik. Virgin coconut oil yang diproduksi melalui metode fermentasi
memiliki efek scavenging yang terkuat pada 1,1-diphenyl-2-picylhydrazyl dan
aktivitas antioksidan tertinggi berdasarkan metode beta-carotene-linoleate
bleaching.
Virgin coconut oil yang didapatkan melalui metode chilling memiliki
reducing power yang tertinggi. Asam fenolik utama yang ditemukan yaitu asam
ferulik dan asam p-coumaric. Korelasi yang sangat kuat didapatkan antara
kandungan fenolik total dengan aktivitas scavenging (r=0,91), dan antara
kandungan fenolik total dengan reducing power (r=0,96). Korelasi yang kuat juga
didapatkan antara asam fenolik total dengan beta-carotene bleaching activity.
Semua ini menunjukkan bahwa kontribusi kapasitas antioksidan VCO
kemungkinan berasal dari senyawa fenolik (Marina, dkk., 2009b)
Virgin coconut oil mengandung aktivitas antioksidan antara 52-80% jika
dibandingkan dengan kontrol tokoferol dan BHA. Aktivitas antioksidan dari VCO
ini
diperiksa
dengan
menggunakan
β-carotene-linoleat
assay.
Aktivitas
antioksidan ini berkorelasi dengan total kandungan fenolik (Marina dkk., 2009a).
Penelitian oleh Karadita (2011) menunjukkan hal sebaliknya dari aktivitas
antioksidan VCO. Pada penelitian ini didapatkan aktivitas antioksidan VCO yang
diperiksa dengan metode DPPH (Diphenyl Picryl Hydrazyl) sangat rendah yaitu
rata-rata 2,25 + 0,22%.
Aktivitas antioksidan VCO pada penelitian ini mengalami perubahan yang
fluktuatif setiap harinya dalam 30 hari pengamatan. Hal ini kemungkinan karena
dalam VCO juga mengandung asam lemak tidak jenuh yang peka terhadap
oksidasi. Jika teroksidasi maka akan terbentuk radikal bebas (peroksida,
hidroperoksida, hidroksi lipid). Aktivitas penangkapan radikal bebas oleh
senyawa antioksidan melalui reaksi dengan radikal peroksil sebelum radikal
peroksi bereaksi dengan asam lemak jenuh rantai panjang. Fluktuasi aktivitas
antioksidan tersebut pada saat penyimpanan diduga akibat senyawa peroksida
yang terbentuk terdekomposisi menjadi aldehid dan keton. Penurunan nilai
aktivitas antioksidan selama penyimpanan terjadi karena senyawa antioksidan
pada sampel akan mendonorkan atom hydrogen (H) untuk menangkal radikal
bebas berupa peroksida. Peningkatan nilai aktivitas antioksidan dimungkinkan
karena radikal bebas berupa peroksida telah terdekomposisi menjadi aldehid dan
keton, sehingga atom hydrogen pada senyawa antioksidan lebih banyak digunakan
untuk meredam radikal bebas dari DPPH.
Fraksi polifenolik VCO dapat menginhibisi edema pada arthritis. Ekspresi
gen inflamasi (COX-2, iNOS, TNF-α dan IL-6) menurun dan enzim antioksidan
meningkat pada penggunaan fraksi polifenolik VCO. Total hitung leukosit dan
CRP pada tikus yang artritis tersebut mengalami penurunan. Pemeriksaan sitologi
menunjukkan penekanan terhadap sel inflamasi dan sel mesotelial reaktif.
Pemeriksaan histopatologi juga menunjukkan formasi edema dan infiltrasi seluler
yang berkurang dengan penggunaan suplementasi fraksi polifenol VCO.
Mekanisme yang mendasari proses tersebut disebabkan efek antioksidan dan
antiinflamasi dari fraksi polifenolik VCO (Vyasakh, dkk., 2014).
Pada penelitian mengenai pengaruh senyawa fenolik dan sumber makanan
terhadap produksi sitokin dan antioksidan oleh sel A549, didapatkan bukti bahwa
senyawa fenolik secara bermakna mengubah produksi sitokin dan antioksidan,
terjadi inhibisi produksi IL-6 dan IL-8 (Gaulliard dkk., 2008).
Penelitian pada tikus Sprague-Dawley dilakukan untuk melihat pengaruh
VCO terhadap kadar MDA jaringan jantung dari tikus yang diberi makan minyak
kelapa yang telah dipanaskan. Tikus tersebut dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu
kelompok kontrol dengan diet tikus normal, kelompok VCO dengan diet tikus
normal yang ditambahkan VCO 1,43 ml/kgBB, kelompok minyak kelapa yang
telah dipanaskan sebanyak 5 kali (5HPO) dengan diet 5HPO 15% berat/berat, dan
kelompok 5HPO yang ditambahkan VCO 1,43 ml/kgBB. Terapi ini diberikan
selama 4 bulan. Setelah itu tikus tersebut dieutanasia dan diambil jaringan
jantungnya. Pada pemeriksaan didapatkan penurunan nilai peroksida dan MDA
pada kelompok VCO (p<0,05). Suplementasi VCO dapat mengurangi stres
oksidatif yang ditandai dengan penurunan nilai peroksida dan kadar MDA
(Subermaniam, dkk., 2014).
Pemberian MCT pada tikus yang mendapatkan diet tinggi lemak
dibandingkan diet tinggi lemak tanpa VCO menunjukkan kadar IL-6 serum yang
lebih rendah, IL-10 yang lebih tinggi dan ekspresi kadar inducible nitric oxide
synthase dan cyclooxygenase-2 protein jaringan hati yang lebih rendah.
Pemberian MCT ini juga mengurangi aktivasi NF-KB dan p38 MAPK yang
teraktivasi oleh diet tinggi lemak tersebut (Geng, dkk., 2015). Medium chain
triglyceride memiliki efek proteksi dapat mempertahankan integritas tight
junction usus dan mengurangi kebocoran saluran cerna dan endotoksinemia.
Unsaturated fatty acid (tinggi kadarnya pada minyak jagung) menyebabkan
downregulation ekspresi protein tight junction usus sehingga membuat supresi
dan disfungsi integritas tight junction usus, meningkatkan permeabilitas dan kadar
endotoksin darah (Kirpich, dkk., 2012).
Penelitian lain dilakukan pada tikus untuk melihat efek antistres VCO dengan
menggunakan tes berenang yang dipaksakan dan model stres pertahananan
terhadap dingin yang kronik. Pada penelitian ini didapatkan VCO dapat
menurunkan kadar MDA hati, meningkatkan kadar antioksidan dan menurunkan
kadar 5-hydroxytryptamine di otak tikus tersebut, dan mengurangi berat kelenjar
adrenal. Serum kolesterol, trigliserida, glukosa, dan kadar kortikosteron juga
menurun pada tikus yang mendapatkan VCO. Virgin coconut oil berfungsi juga
sebagai antistres (Yeap, dkk., 2015).
Polifenol dikatakan dapat menurunkan produksi dari IL-6. Pada penelitian
mengenai peranan epigallocatechin gallate (EGCG), suatu komponen polifenol
utama teh hijau, terhadap sel epitel kornea mata manusia yang telah dirangsang
dengan menggunakan IL-1β, didapatkan bahwa dengan pemberian polifenol ini
terjadi suatu penurunan dari produksi interleukin/sitokin granulocyte colonystimulating factor (G-CSF), granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GM-CSF),
IL-6,
IL-8,
monocyte
chemotactic
protein-1
(MCP-1).
Epigallocatechin gallate (EGCG) menginhibisi fosforilasi MAPKs p38 dan c-Jun
N-terminal kinase (JNK), dan aktivitas faktor transkripsi NFKB dan AP-1. Inhibisi
terhadap aktivitas AP-1 ini kemungkinan karena efek EGCG terhadap MAPK
signaling dan EGCG juga memengaruhi DNA binding activity of AP-1. Efek
EGCG terhadap NFKB beberapa sel adalah melalui beberapa mekanisme, yaitu
inhibisi IKB kinase, IKB fosforilasi, p65NFKB asetilasi, NFKB DNA binding
activity (Cavet, dkk., 2011).
Pada penelitian lain didapatkan hasil yang berbeda. Antioksidan fenol secara
poten menginhibisi signal yang menginduksi TNF-α dan gen targetnya yaitu IL-1
β dan IL-6 pada sel makrofag. Lipopolisakarida menginduksi peningkatan mRNA
dan protein TNF-α dimana antioksidan fenol memblok peningkatan TNF-α pada
ke dua level tersebut. Antioksidan fenol tidak mengubah half life mRNA TNF-α
pada saat ada ataupun tanpa ada aktinomisin D. Inhibisi TNF-α (terinduksi
lipopolisakarida) terjadi pada level transkripsi. Antioksidan fenol memblok
formasi ikatan kompleks DNA NF-KB pada nukleus. Antioksidan fenol memblok
signal tranduksi NF-KB sebagai mekanisme inhibisi transkripsi TNF-α. Mediator
utama transkripsi TNF-α terinduksi lipopolisakarida adalah NF-KB. Simpulan ini
tidak mengeksklusi faktor transkripsi lain yang berkontribusi terhadap regulasi
TNF-α sebagai target antioksidan (Ma dan Kinneer, 2002).
Penelitian mengenai saturated fatty acid terhadap ekspresi cyclooxygenase-2
(COX-2) menunjukkan bahwa saturated fatty acid, tetapi bukan unsaturated fatty
acid, menginduksi ekspresi COX-2 yang dimediasi melalui toll-like receptor 4
(Tlr4). Toll-like receptor 4 merupakan reseptor lipopolisakarida. Saturated fatty
acid yang paling poten menginduksi ekspresi COX-2 adalah lauric acid (C12:0)
dan palmitic acid (C16:0). Lauric acid juga menginduksi ekspresi gen petanda
inflamasi lainnya seperti iNOS dan IL-1α dengan pola dose-dependent. Semua
unsaturated fatty acid dan conjugated linoleic acid tidak dapat menginduksi
ekspresi COX-2 pada sel RAW 264.7 (a murine macrophage-like cell line) (Lee,
dkk., 2001).
Penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian mengenai
pengaruh asam lemak pada jaringan lemak manusia dan inflamasi adipose apakah
dapat mengaktivasi toll-like receptor (TLR), didapatkan bahwa saturated fatty
acid (palmitic acid dan lauric acid) tidak menimbulkan aktivasi sAP, yag artinya
tidak
mengaktivasi
TLR4
dan
TLR2.
Polyunsaturated
fatty
acid
(eicosapentaeneic acid, docosahexaenoic acid, dan oleic acid) juga tidak
mengaktivasi TLR4 dan TLR2. Kadar IL-6, TNF-alpha and MCP-1 pada media
yang diinkubasi dengan polyunsaturated fatty acid dan saturated fatty acid sama
dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa PUFA dan SFA tidak dapat
menginduksi inflamasi pada jaringan lemak atau sel lemak (Murumalla, dkk.,
2012).
Aktivitas yang berguna dari fitokimia pada buah dan sayuran dipercaya
kemungkinan disebabkan kombinasi efek berbagai senyawa dalam buah atau
sayuran tersebut, dibandingkan efek satu senyawa atau segolongan kecil senyawa
saja. Hal ini terlihat pada penelitian uji klinis fitokimia tunggal yang diisolasi
tidak menunjukkan efek preventif yang konsisten. Senyawa terisolasi tersebut
kehilangan bioaktifitasnya atau kemungkinan tidak berlaku dengan jalan yang
sama jika dibandingkan dengan keseluruhan bahan makanan tersebut yang
digunakan (Nasef, dkk., 2014).
Interleukin-8 merupakan suatu kemokin yang memiliki kemampuan
kemotaksis dan aktifator neutrofil yang poten dan merupakan kemokin yang
paling penting dalam pathogenesis inflammatory bowel diseases. Interleukin-8
meningkat pada mukosa intestinal pasien ulcerative colitis (UC) dan Crohn's
disease aktif. Penelitian untuk mengetahui apakah caprylic acid (C8) dan MCT
mensupresi sekresi interleukin-8 (IL-8) sel Caco (suatu turunan sel kanker kolon
yang digunakan untuk model epitel intestinal manusia) mendapatkan bahwa
terjadi supresi sekresi IL-8 sel Caco pada tingkat transkripsi. Caprylic acid tidak
memodulasi aktivitas
NF-kB dan faktor transkripsi lainnya. Caprylic acid
menghinbisi aktifasi promotor IL-8 (Hoshimoto, dkk., 2002).
Pada penelitian mengenai MCT didapatkan bahwa MCT dapat mencegah
kerusakan hati dini karena alkohol dengan jalan menginhibisi formasi radikal
bebas hati dan produksi TNF-α yang disebabkan karena endotoksin yang
mengaktivasi sel Kupffer. Medium chain triglyceride bekerja dengan jalan
mengubah struktur usus halus dan memengaruhi permeabilitas atau mikroflora
saluran cerna. Peningkatan permeabilitas saluran cerna yang disebabkan oleh
etanol enteral dapat dihilangkan oleh MCT. Target utama endotoksin adalah sel
Kupffer dengan mengaktivasinya melalui reseptor endotoksin CD14 (pada
permukaan membran plasma sel Kupffer). Aktivasi dari sel Kupffer akan
mengeluarkan mediator (sitokin, eicosanoids, dan radikal bebas) yang
menginduksi kerusakan hati. CD14 ini diupregulasi pada tikus yang diberikan
etanol secara akut dan enteral. Medium chain trigyceride menghilangkan
peningkatan Ca2+ intraseluler yang disebabkan karena lipopolisakarida. Aktivasi
sel Kupffer memerlukan Ca2+, yang mengandung voltage-dependent Ca2+
channel. Jadi MCT menghilangkan respon sel Kupffer terhadap endotoksin
dengan jalan menginhibisi ekspresi reseptor endotoksin CD14 (Kono, dkk., 2000).
Pada tikus yang diberikan nutrisi parenteral dengan emulsi MCT jika
dibandingkan dengan emulsi LCT didapatkan akumulasi lemak hati yang lebih
sedikit. Hal ini kemungkinan karena derajat oksidasi yang lebih tinggi dan
reesterifikasi yang minimal pada emulsi MCT jika dibandingkan dengan LCT
(Geliebter, dkk., 1983).
Penggunaan VCO (yang didapatkan dari wet processing) dibandingkan
dengan minyak kopra, minyak zaitun, dan minyak bunga matahari pada tikus
Sprague-Dawley selama 45 hari dapat memperbaiki status antioksidan sehingga
mencegah oksidasi lemak dan protein. Minyak-minyak tersebut masing-masing
diberikan sebanyak 8% bersama dengan diet sintetik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbaikan status antioksidan pada pemberian VCO
jika dibandingkan dengan ke tiga minyak lainnya (p<0,05). Aktivitas katalase,
superoxide dismutase, glutathione peroxidase dan glutathione reductase
meningkat di jaringan. Konsentrasi reduced glutathione meningkat secara
bermakna pada hati (532,97 mM per 100 g hati), jantung (15,77 mM per 100 g
hati) dan ginjal (1,58 mM per 100 g ginjal) jika dibandingkan dengan ke tiga
minyak lainnya (p<0,05). Aktivitas paraoxonase 1 juga didiapatkan meningkat
pada tikus yang diberikan VCO jika dibandingkan dengan ke tiga minyak lainnya.
VCO juga mencegah stres oksidatif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
penurunan
formasi
lipid
peroxidation,
dan
produk
oksidasi
protein
(malondialdehyde, hydroperoxides, conjugated dienes dan protein carbonyls)
pada serum dan jaringan jika dibandingkan dengan ke tiga minyak lainnya. Virgin
coconut
oil
yang
dibuat
dengan
menggunakan
wet
processing
tetap
mempertahankan sejumlah besar komponen unsaponiafiable yang aktif secara
biologis seperti polifenol (84 mg per 100 g minyak) dan tokoferol (33,12 µg per
100 g minyak) jika dibandingkan dengan ke tiga minyak lainnya (p<0,05)
(Arunima dan Rajamohan, 2013).
Penelitian lainnya dilakukan untuk melihat pengaruh VCO dan atau kapsul
albumin (protein ikan lele) pada penanganan pasien tuberkulosis yang
mendapatkan multi drugs therapy-DOTS (MDT-DOTS) dengan pembanding
MDT-DOTS + placebo. Pada penelitian ini didapatkan peningkatan kecepatan
konversi sputum BTA (VCO p < 0,00; albumin yang diekstrak dari ikan lele p
<0,04; VCO + albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,00), peningkatan status
nutrisi (VCO p < 0,03; albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,003; VCO +
albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,01), dan perbaikan hasil pemeriksaan
rontgen dada (VCO p < 0,04; albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,003;
VCO + albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,001).
Mekanisme yang mendasari VCO dapat meningkatkan status nutrisi adalah
kemungkinan berhubungan dengan efek kandungan monolauryl glycerol VCO.
Monolaurat glycerol yang terkandung dalam VCO menurunkan katabolisme
protein dan berlaku sebagai deposit protein sehingga menginhibisi proses
oksidatif asam amino sehingga menghasilkan lebih banyak energi dan protein
untuk otot tubuh (Arifin, dkk., 2014). Protein ini kemudian memfasilitasi sekresi
glukagon yang selanjutnya mengaktivasi adenyl cyclase yang akhirnya
menghasilkan cAMP. Dengan adanya cAMP, fase fosforilasi metabolisme sel
secara normal akan diaktivasi untuk mengatur sekresi kelenjar target, aktivitas
enzim dan hormon (Guyton dan Hall, 2008). VCO menstimulasi absorpsi
sehingga dapat digunakan untuk terapi malnutrisi dan sindrom malabsorpsi,
meningkatkan absorpsi vitamin yang larut dalam air, mineral dan protein yang
memengaruhi waktu penyembuhan dan status nutrisi pasien, membantu pasien
untuk secepatnya meningkatkan kembali berat badannya dengan meningkatkan
energy turn over, dan kandungan octanoid acid VCO kemungkinan menginduksi
produksi acyl-ghrelin (ghrelin aktif) bersama dengan peningkatan berat badan
(Arifin, dkk., 2014).
2.8 Minyak Jagung
Minyak jagung terdiri dari 99% triacyglycerols dengan polyunsaturated fatty
acid (PUFA) 59%, monounsaturated fatty acid 24% dan saturated fatty acid
(SFA) 13% (Dupont, dkk., 1990). Minyak jagung mengandung 12 % palmitic
acid (16:0), 2% stearic acid (18:0), 35% oleic acid (18:1), 48% linoleic acid
(18:2), dan 0,8% linolenic acid (18:3) (Souza, dkk., 2009). Lemak jenuh
berdasarkan strukturnya terbagi menjadi lemak rantai pendek, menengah dan
panjang. Monounsaturated fatty acid dan polyunsaturated fatty acid merupakan
lemak rantai panjang (St-Onge, dkk., 2008). Minyak jagung tidak mengandung
asam lemak rantai menengah.
Mediator inflamasi antara lain adalah n-6 eicosanoid, prostaglandin E2
(PGE2), dan leukotriene B4 (LTB4) yang terbentuk dari n-6 PUFA arachidonic
acid (AA; 20:4n-6). Lemak n-6 PUFA banyak terdapat pada diet dengan linoleic
acid (LA; 18:2n-6) yaitu pada minyak kedele, jagung, safflower dan bunga
matahari. n-3 homolog linoleic acid adalah -linolenic acid (ALA; 18:3n-3). linolenic acid banyak terdapat dalam sayuran hijau berdaun, minyak flaxseed dan
canola. 18-carbon fatty acid saat dicerna akan mengalami desaturasi dan
perpanjangan menjadi 20-carbon n-6 fatty acids. Linoleic acid akan menjadi AA,
dan ALA akan menjadi eicosapentaenoic acid (EPA; 20:5n-3). n-6 PUFA
arachidonic acid merupakan progenitor dari PGE2 dan LTB4 lewat jalur enzim
cyclooxygenase and 5-lipoxygenase. Eicosapentaenoic acid dapat menginhibisi
metabolism AA secara kompetitif melalui jalur enzimatik, sehingga dapat
menekan produksi dari mediator inflamasi n-6 eicosanoid. Eicosapentaenoic acid
juga dapat menekan produksi IL-1 dan TNF- dengan mekanisme yang belum
jelas. Semakin tinggi kandungan bahan makanan akan EPA maka kandungan AA
akan semakin berkurang (James, dkk., 2000). Minyak jagung dengan kadar AA
tinggi maka akan menurunkan kadar EPA menyebabkan efek proinflamasi yang
akan meningkat.
Pemberian diet tinggi polyunsaturated fat tanpa disertai penambahan
antioksidan dapat menimbulkan terjadinya hemolisis pada bayi, terutama saat
diberikan tambahan zat besi (generasi radikal bebas) pada makanan (William dan
Deckelbaum, 2003). Polyunsaturated fat memiliki ikatan tidak jenuh yang banyak
sehingga sensitif terhadap lipid peroxidation. Defisiensi vitamin E menimbulkan
deplesi PUFA sehingga meningkatkan lipid peroxidation dan mengganggu
kemampuan sintesis PUFA yang cukup, terutama n-3 PUFA (Lebold, dkk., 2011).
Polyunsaturated fat memiliki kecenderungan untuk mengalami oksidasi, sehingga
menghasilkan bahan yang merusak yaitu 4-hydroxy-2-alkenals (4-hydroxy-2hexenal/4-HHE).
Penelitian pada tikus yang membandingkan pemberian diet
tinggi lemak yang mengandung moderately oxidized n-3 PUFA dan unoxidized n3 PUFA didapatkan bahwa dengan konsumsi oxidized n-3 PUFA menghasilkan
akumulasi 4-HHE dalam darah setelah diabsorbsi dari intestinal dan memicu stres
oksidatif dan inflamasi pada usus halus bagian atas (Awada, dkk., 2012).
Suatu penelitian pada babi dilakukan untuk melihat efek pemberian minyak
jagung terokisdasi yang disertai dengan atau tanpa tambahan antioksidan (vitamin
E) terhadap tampilan, status oksidasi jaringan dan kualitas daging yang dihasilkan.
Pada penelitian ini didapatkan hasil aktivitas glutathione peroxidase di hati lebih
tinggi pada kelompok minyak jagung segar, meski perbedaan tersebut tidak
bermakna antara Kelompok Babi yang diberikan minyak jagung teroksidasi
dengan atau tanpa tambahan antioksidan serta Kelompok Babi yang menggunakan
minyak jagung segar dengan atau tanpa penambahan antioksidan. Aktivitas
glutathione peroxidase di serum paling tinggi pada Kelompok Babi yang
diberikan minyak jagung segar yang ditambahkan antioksidan. Minyak jagung
yang teroksidasi mengganggu pertumbuhan dari babi dan menyebabkan stres
oksidatisi. Pemberian tambahan antioksidan mengurangi sebagian akibat negatif
dari minyak yang terokisdasi tersebut dengan mengurangi okidasi protein (Boler,
dkk., 2012)
Penelitian pada tikus mengenai modulasi sitokin oleh diet lemak setelah tikus
diinduksi dengan endotoksin dan TNF-α, didapatkan bahwa pada pemberian
selama 8 minggu minyak jagung menimbulkan peningkatan produksi IL-1 dan IL6. Pada pemberian selama 8 minggu dari minyak kelapa menekan produksi dari
IL-1 (Tappia dan Grimble, 1994). Penelitian mengenai efek diet lemak dan
minyak terhadap lipid peroxidation pada hati dan darah tikus didapatkan bahwa
diet yang kaya akan PUFA (minyak jagung) meningkatkan lipid peroxidation dan
meningkatkan suseptibilitas jaringan terhadap kerusakan ROS (Haggag, dkk.,
2014).
Komposisi asam lemak pada minyak kelapa biasa adalah 80% MCFA, 10%
SCFA, 5% asam lemak jenuh rantai panjang palmitat (Silalahi dan Nurbaya,
2011). Perbandingan komposisi asam lemak pada VCO, minyak kelapa biasa, dan
minyak jagung dapat dilihat pada Tabel 2.6 dan Tabel 2.7.
Tabel 2.6
Komposisi Asam Lemak VCO, Minyak Kelapa Biasa, dan Minyak Jagung
Asam lemak %
VCO (APCC
Minyak kelapa
Minyak jagung
Standard for Virgin
biasa
(Souza, dkk.,
Coconut Oil)
(Chowdhury, dkk.,
2009)
2007)
Caproic (C6:0)
0,4-0,6
Caprylic (C8:0)
5-10
6,21
Capric (C10:0)
4,5-8
6,15
Lauric (C12:0)
43-53
51,02
Myristic (C14:0)
16-21
18,94
Palmitic (C16:0)
7,5-10
8,62
12
Stearic (C18:0)
2-4
1,94
2
Oleic (C18:1)
5-10
5,84
35
Linoleic (C18:2)
1-2,5
1,28
48
Linolenic (C18:3)
<0,5
0,8
Tabel 2.7
Persentase Asam Lemak Saturated (SFA), Monounsaturated (MUFA),
Polyunsaturated (PUFA) dan Total Unsaturated (MUFA+PUFA) Minyak Kelapa
dan Minyak Jagung
Asam lemak %
Minyak kelapa
Minyak jagung (Dupont, dkk.,
(Chowdhury, dkk., 2007)
1990)
SFA
92,92
13
MUFA
5,84
24
PUFA
1,28
59
MUFA+PUFA
7,12
83
Minyak jagung tidak dapat dibuat sendiri, distribusinya jarang ditemukan di
pasaran pedesaan, harga di pasaran lebih murah dibandingkan VCO,
penyerapannya kurang baik pada kondisi MB karena sebagian besar mengandung
LCT. Virgin coconut oil dapat dibuat sendiri dari kelapa yang banyak terdapat di
setiap tempat di Indonesia. Harga VCO kemasan lebih mahal dibandingkan
minyak jagung, tetapi jika dibuat sendiri dengan teknik yang amat sederhana
dengan kelapa yang banyak tersedia dengan harga yang cukup murah serta tidak
memerlukan energi untuk pemanasan sehingga relatif menjadi mudah terjangkau.
Penyerapan VCO lebih baik dibandingkan minyak jagung karena mengandung
sebagian besar MCT.
2.9 Minyak Sayur Lainnya
Minyak sayur ada berbagai macam. Komposisi asam lemak dari beberapa
minyak sayur berbeda-beda dan dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8
Komposisi Asam Lemak Minyak Kedelai, Minyak Canola, Minyak Cottonseed,
Minyak Bunga Matahari, Minyak Kacang Tanah, Minyak Zaitun, Minyak Wijen,
Minyak Safflower, dan Minyak Flaxseed (Wang, dkk., 2002)
Asam lemak %
Caproic (C6:0)
Caprylic (C8:0)
Capric (C10:0)
Lauric (C12:0)
Myristic (C14:0)
Palmitic (C16:0)
Palmitoleic
(C16:1)
Heptadecanoic
(C17:0)
Heptadecenoic
(C17:1)
Stearic (C18:0)
Oleic (C18:1)
Linoleic (C18:2)
Linolenic (C18:3)
Arachidic
(C20:0)
Gadoleic (C20:1)
Eicosadienoic
(C20:2)
Behenic (C22:0)
Lignoceric
(C24:0)
MKD
0,1
11
0,1
MC
3,9
0,2
MCS
0,9
24,7
0,7
MBM
0,5
0,2
6,8
0,1
MKT
0,1
11,6
0,2
MS
MKL
MZ
MW
0,2
1,1
44,1
0,2
0,4
7,3
6,6
47,8
18,1
8,9
-
0-0,1
7,5-20
0,3-3,5
0,1
9,2
0,1
MS
F
MF
S
7
7
2
12
79
-
4
20
17
52
0-0,5
0-0,6
4
23,4
53,2
7,8
0,3
1,9
64,1
18,7
9,2
0,6
2,3
17,6
53,3
0,3
0,1
4,7
18,6
68,2
0,5
0,4
3,1
46,5
31,4
1,5
-
1
-
1,4
0,1
0,1
-
0,2
0,2
3
1
4,4
39
10,6
0,3
0,2
2,7
6,4
1,6
0,1
0,5-5
55-83
3,5-21
0-1,5
0-0,8
5,8
40,6
42,6
0,3
0,7
0,2
0-0,2
0-1
0,2
Keterangan: MKD = Minyak Kedelai; MC = Minyak Canola; MCS = Minyak
Cottonseed; MBM = Minyak Bunga Matahari; MKT = Minyak Kacang Tanah;
MS = Minyak Sawit; MKL = Minyak Kelapa; MZ = Minyak Zaitun, MSF =
Minyak Saffflower; MFS = Minyak Flaxseed
Download