BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Malnutrisi Berat Istilah malnutrisi meliputi undernutrition dan obesitas. Pada penelitian ini malnutrisi yang dimaksudkan adalah malnutrisi undernutrition. Malnutrisi (undernutrition) didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien, yang menghasilkan secara kumulatif adanya defisit energi, protein, atau mikronutrien yang secara negatif memengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan akibat lainnya yang berhubungan. Malnutrisi berdasarkan etiologinya disebabkan oleh penyakit (1 atau lebih penyakit atau cedera yang secara langsung mengakibatkan ketidakseimbangan nutrien) atau akibat dari lingkungan/faktor behavioral yang berhubungan dengan penurunan masukan nutrien atau akibat dari ke dua hal tersebut (Mehta, dkk., 2013). Malnutrisi berat (MB) atau disebut juga dengan gizi buruk merupakan suatu keadaan dimana seorang anak tampak sangat kurus yang ditandai dengan berat badan/panjang badan (BB/PB) < -3 SD dari median WHO child growth standard 2006, atau didapatkan edema nutrisional, dan pada anak usia 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) < 110 mm. World Health Organization dan United Nations Children’s Fund (Unicef) menggunakan cut-off BB/PB < -3 SD median baku rujukan WHO (WHO child growth standard) atau WHO/National Center for Health Statistics (NCHS) dengan alasan bahwa anak di bawah cut-off tersebut memiliki risiko kematian lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak yang berada di atasnya, jika anak tersebut mendapatkan terapi nutrisi maka akan mengalami peningkatan BB yang lebih cepat, sehingga akan mempercepat penyembuhannya, dan tidak ada risiko atau pengaruh negatif pemberian makan pada Kelompok Anak ini (WHO, 2009). Marasmus dan kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat keparahan penderita gizi buruk. Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus dengan berbagai tanda ikutannya. Kwashiorkor ditandai dengan edema, diawali edema pada punggung kaki yang dapat menyebar ke seluruh tubuh (Susanto, dkk., 2011). Manifestasi klinis malnutrisi berhubungan dengan tipe, keparahan, dan lamanya gangguan nutrisi tersebut terjadi, sehingga dapat terjadi manifestasi subklinis, reversibel, atau menetap tergantung pada ketersediaan terapi, penyakit lain atau penyakit komplikasi, dan derajat kerusakannya (Cunningham-Rundles dan McNeeley, 2003). Malnutrisi masih merupakan masalah kesehatan global, khususnya di negara berkembang. World Health Organization (2003) melaporkan, bahwa 60% dari 10.9 juta kematian balita setiap tahunnya disebabkan secara langsung atau tak langsung oleh malnutrisi. Sekitar 9% anak di Sub Sahara, 15% di Asia Selatan terancam gizi kurang dan buruk, sekitar 2% anak di negara sedang berkembang terancam mengalami MB (Collins, 2007). Prevalens status gizi balita nasional berdasarkan RISKESDAS 2010 untuk gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih masing-masing adalah 4,9%, 13%, 76,2%, dan 5,8%. Dua provinsi yaitu D.I. Yogyakarta dan Bali menunjukkan prevalens terendah gizi buruk yaitu 1,4% dan 1,7%. Provinsi Gorontalo dan NTB menduduki posisi tertinggi gizi buruk yaitu 11,2% dan 10,6% (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Bali memiliki prevalens gizi buruk terendah tetapi dengan adanya peningkatan kasus HIV pada anak di Bali, maka prevalens gizi buruk juga meningkat. Faktor penyebab timbulnya masalah gizi ini selain asupan makanan kurang adalah terpaparnya bayi dan balita terhadap penyakit infeksi yang secara langsung merupakan penyebab kematian balita seperti diare, infeksi saluran pernapasan akut, campak, malaria, HIV/AIDS, dan lain-lain. Secara global lebih dari 50% balita yang mengidap berbagai penyakit tersebut juga menderita malnutrisi (WHO, 1999a). Infeksi dan malnutrisi merupakan suatu mata rantai yang saling berkaitan, dimana anak kurang gizi amat rentan terhadap infeksi dan infeksi menyebabkan anak kehilangan napsu makan, yang berakhir dengan kematian. Anak-anak yang bertahan hidup dalam proses perkembangan selanjutnya banyak mengalami hambatan seperti keterbelakangan mental (WHO, 2003). Pada kondisi malnutrisi terjadi suatu proses adaptasi tubuh terhadap kondisi intake yang kurang tersebut, terjadi suatu perubahan metabolisme tubuh sehingga penderita dapat bertahan. Pengurangan dari aktivitas terjadi dengan tujuan menurunkan laju metabolisme, pertumbuhan menjadi perlahan sehingga dapat mengurangi energi untuk proses pertumbuhan tersebut, dan secara keseluruhan terjadi penurunan laju metabolisme. Metabolik adaptasi ini dimediasi antara lain melalui hormonal, sehingga menyebabkan mobilisasi lemak, degradasi protein, dan penurunan laju metabolik basal. Akibat dari restriksi energi pada kondisi malnutrisi menyebabkan kemampuan aldosteron menurun dan sintesis ATP menurun pada pompa natrium sehingga menyebabkan kehilangan kalium darah. Selama kondisi protein deprivasi terjadi kehilangan protein massa otot yang digunakan untuk mempertahankan sintesis enzim-enzim yang penting dan juga untuk energi. Pembentukan protein oleh hepar mengalami perubahan yaitu terjadi peningkatan produksi protein fase akut dan penurunan produksi albumin, transferin dan apolipoprotein B (Peny, 2003). Infeksi menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme pula sehingga produksi protein lebih diutamakan ke arah pembentukan protein fase akut. Produksi dari protein fase akut ini dan konsekuensi metabolik dari infeksi dimediasi oleh protein sitokin dan lipid derived factor. Produksi sitokin inflamasi yang menimbulkan suatu peradangan, juga akan menyebabkan mekanisme balik sehingga tidak terjadi proses inflamasi yang berlebihan. Pada malnutrisi, kondisi ini mengalami gangguan. Pada malnutrisi terjadi suatu kondisi pengurangan respon imun dan respon demam (Peny, 2003). 2.2 Stres Oksidatif Reactive oxygen species (ROS) dan radikal lainnya terlibat dalam berbagai peristiwa biologi (mutasi, karsinogenesis, proses degenerasi, inflamasi, penuaan dan perkembangan). Reactive oxygen species dapat berperan menguntungkan dan merugikan (Kohen dan Nyska, 2002). Radikal bebas dalam kimia diketahui sejak awal abad ke-20 dan digunakan untuk menggambarkan senyawa intermedia kimia organik dan anorganik. Daniel Gilbert dan Rebecca Gersham pada tahun 1954 mempublikasikan tentang pentingnya peranan radikal bebas ini dalam lingkungan biologis dan bertanggung jawab terhadap proses kerusakan sel. Harman Denham (1956) menyatakan bahwa spesies-spesies radikal bebas ini kemungkinan memiliki peranan dalam proses fisiologi, terutama pada proses penuaan (Harman, 1981). Hipotesis mengenai teori radikal bebas terhadap penuaan menginspirasi berbagai penelitian lainnya. Senyawa yang dapat menerima elektron disebut oksidan atau bahan yang mengoksidasi. Bahan yang memberikan elektron disebut reduktan atau bahan yang mereduksi (Prior dan Cao, 1999). Reaksi kimia dimana suatu bahan mendapatkan elektron disebut reduksi. Oksidasi adalah suatu proses dimana suatu bahan mengalami kehilangan elektron. Jika reduktan mendonasikan elektronnya, maka menyebabkan bahan lain mengalami reduksi, dan jika oksidan menerima elektron, maka menyebabkan bahan lain mengalami oksidasi. Suatu bahan yang mereduksi bertindak sebagai donasi elektron, biasanya dengan mendonorkan hidrogen atau melepas oksigen. Suatu proses oksidasi selalu ditemani oleh proses reduksi. Pada proses reduksi biasanya terjadi kehilangan oksigen, sementara pada proses oksidasi akan mendapatkan oksigen. Reaksi ini disebut reaksi redox. Reduktan dan oksidan merupakan istilah kimia, pada lingkungan biologi disebut dengan istilah antioksidan dan prooksidan (Kohen dan Nyska, 2002). Prooksidan disebut juga reactive oxygen species (ROS). Reactive oxygen species dibagi menjadi 2 kelompok senyawa yaitu radikal dan nonradikal. Kelompok radikal seringkali diberikan sebutan yang tidak tepat yaitu radikal bebas (istilah yang tidak akurat, karena radikal adalah selalu bebas), mengandung senyawa nitric oxide radical (NO.), superoxide ion radical (O.2-), hydroxyl radical (OH.), peroxyl radical (ROO.) dan alkoxyl radicals (RO.), dan suatu bentuk oksigen tunggal (1O2). Spesies ini radikal karena mengandung sekurang- kurangnya satu elektron yang tidak berpasangan dalam kulit yang mengelilingi inti atom dan memiliki kemampuan mandiri untuk keberadaannya. Suatu kondisi terdapatnya satu elektron yang tidak berpasangan menimbulkan reaktivitas tinggi karena afinitasnya mendonasikan atau mendapatkan elektron lain untuk mendapatkan stabilitas. Molekul oksigen sendiri jika berdasarkan definisi tersebut juga dapat dikatakan radikal, karena mengandung dua elektron yang tidak berpasangan dalam dua orbit yang berbeda, sehingga dikatakan biradikal. Radikal oksigen tidak reaktif, meskipun demikian karena restriksi putaran yang tidak memungkinkan terjadinya donasi atau menerima elektron sebelum dilakukan pengaturan kembali arah putaran sekitar atom. Kelompok senyawa nonradikal terdiri dari berbagai macam jenis bahan, dimana beberapa sangat reaktif meskipun tidak radikal perdefinisi. Senyawasenyawa yang diproduksi dalam konsentrasi tinggi pada sel hidup adalah hypochlorous acid (HClO), hydrogen peroxide (H2O2), organic peroxides, aldehydes, ozon (O3), dan O2. Istilah ROS, oxygen-derived species (ODS), oksidan, reactive nitrogen species (RNS), dan pro-oxidant species sering digunakan satu sama lain untuk dalam literatur ilmiah. Radikal ditulis dalam literatur berupa superskrip titik (R.), yang membedakannya dengan metabolit oksigen reaktif lainnya. Antioksidan (reduktan atau bahan yang mereduksi) dapat diklasifikasikan sebagai senyawa yang dapat mencegah proses prooksidasi atau kerusakan oksidatif biologi. Antioksidan merupakan suatu bahan yang dalam konsentrasi rendah dapat mencegah atau memperlambat secara bermakna oksidasi suatu substrat yang dapat teroksidasi. Antioksidan bekerja dengan berbagai macam cara, maka definisi tersebut tidak sesuai dan tidak memenuhi keseluruhan spektrum antioksidan (Kohen dan Nyska, 2002). Keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan sangat ketat dan penting untuk mempertahankan fungsi sel dan biokimia yang vital (Hrbac dan Kohen, 2000). Keseimbangan ini sering disebut sebagai potensial redox. Potensial redox ini spesifik untuk setiap organela dan tempat biologis, dan setiap gangguan pada keseimbangan ini akan menimbulkan kerusakan sel dan organisme. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan prooksidan di atas kapasitas antioksidan disebut stres oksidatif dan dapat menimbulkan kerusakan oksidatif. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan kekuatan yang mereduksi, atau antioksidan, juga akan menimbulkan kerusakan dan disebut sebagai stres reduktif (Kohen dan Nyska, 2002). Kebanyakan spesies memiliki masa aktif yang pendek, sehingga bereaksi dengan cepat dengan molekul lainnya. Beberapa radikal turunan oksigen sangat reaktif dengan waktu paruh yang pendek, misal OH. memiliki masa aktif 10-10 detik dalam sistem biologi. Konstanta laju reaksinya (m-1s-1) untuk komponen biologi sangat tinggi (107-109 m-1s-1) dan dalam banyak kasus difusi yang terkontrol. Masa hidup radikal lain juga pendek tetapi tergantung dari media lingkungannya, misalnya waktu paruh NO. dalam larutan tersaturasi oleh udara adalah beberapa menit. Survival RO. mencapai sekitar 10-6 detik, waktu paruh ROO. adalah sekitar 17 detik. Metabolit nonradikal juga memiliki waktu paruh yang pendek bervariasi dari seperberapa detik sampai beberapa jam, seperti misalnya HClO. Lingkungan fisiologis, seperti pH dan keberadaan spesies lainnya, memiliki pengaruh yang besar terhadap waktu paruh ROS. Toksisitas tidak berkorelasi dengan reaktifitas. Semakin panjang waktu paruh suatu spesies menunjukkan semakin toksik senyawa tersebut karena memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif sehingga dapat berinteraksi dan menimbulkan kerusakan dalam perjalanannya dari tempat produksinya. Radikal superoksid yang memiliki waktu paruh yang relatif panjang memiliki waktu untuk berpindah lokasi dimana radikal tersebut dapat berinteraksi dengan molekul lainnya. Radikal ini dapat diproduksi dari membran mitokondria, berdifusi ke arah genome mitokondria, dan mengurangi transisi ikatan logam ke genome. Spesies yang sangat reaktif dengan waktu paruh yang sangat pendek, seperti OH. diproduksi pada lokasi yang biasa menimbulkan kerusakan dengan berinteraksi segera dengan sekitarnya. Jika tidak terdapat target perlekatan biologi yang penting pada tempat produksinya, radikal tersebut tidak menimbulkan kerusakan oksidatif. Antioksidan harus ada pada lokasi tempat radikal diproduksi untuk mencegah interaksi antara radikal dan target biologinya sebagai kompetitor dengan radikal untuk substrat biologinya. Informasi ini harus menjadi pedoman dalam menentukan terapi antioksidan yang sesuai (Kohen dan Nyska, 2002). Paparan kontinyu dari berbagai tipe stres oksidatif dari berbagai sumber akan menimbulkan sel dan keseluruhan organisme mengembangkan suatu mekanisme pertahanan untuk melindungi dari metabolit reaktif tersebut. Mekanisme pertahanan tersebut terdiri dari aktivitas langsung dan tidak langsung. Aktivitas tidak langsung melibatkan kontrol produksi endogen terhadap ROS misalnya dengan mengubah aktivitas enzim, yang secara tidak langsung memproduksi metabolit oksigen. Salah satu enzim tersebut adalah xanthine oxidase. Sistem perbaikan yang efisien merupakan salah satu metode yang paling penting pada organisme untuk menanggulangi kerusakan oksidatif, terdiri dari enzim dan molekul-molekul kecil yang secara efisien memperbaiki tempat kerusakan oksidatif pada makromolekul. Sistem perbaikan DNA dapat mengidentifikasi DNA-oxidized adduct (8-hydroxy-2-deoxyguanosine), thiamine glycol, dan tempat apurinic dan apyramidenic, memindahkannya, dan menggabungkannya dengan basa yang tidak rusak. Molekul yang dapat mendonasikan atom hidrogen ke molekul yang rusak juga dapat memperbaiki senyawa, salah satu contohnya adalah donasi atom hidrogen askorbat atau tocopherol ke radikal asam lemak yang sebelumnya diserang oleh radikal dan mengalami kehilangan hidrogen. Pertahanan fisik pada tempat biologis misalnya membran juga merupakan mekanisme penting yang dapat menanggulangi sel terhadap stres oksidatif. Senyawa seperti tocopherol dapat menstabilkan membran sel, dan steric interference dapat mencegah ROS mendekati target. Antioksidan merupakan mekanisme pertahanan yang sangat penting karena kemampuannya menghilangkan secara langsung prooksidan dan memiliki efek proteksi maksimal terhadap tempat biologis. Sistem ini terbentuk melalui suatu proses evolusi, kemungkinan terhadap respon yang mengubah konsentrasi oksigen atmosfer. Keunikan dari sistem ini adalah dapat berinteraksi langsung dengan ROS dari berbagai jenis dan ketetapan perlindungannya terhadap target biologis. Mekanisme perbaikan (enzim perbaikan DNA) Mekanisme pencegahan (pencegahan produksi ROS oleh chelation logam) Pencegahan fisik (stabilisasi lokasi biologi, steric interference) Mekanisme pertahanan melawan stres oksidasi Pertahanan antioksidan Enzim antioksidan Enzim yang bereaksi langsung (SOD, katalase, peroksidase), enzim penyokong (G6PD, xanthine oxidase) Produk sampah (asam urat) Low-MolecularWeight Antioxidants (LMWA) (scavengers) Disintesis oleh sel (dipeptide histidin, carnosine, homocarnosine, glutathione) Indirect-acting LMWA (chelating Sumber bahan makanan: tokoferol, karotin, asam askorbat) Gambar 2.1 Klasifikasi mekanisme pertahanan seluler antioksidan (Kohen dan Nyska, 2002) Sistem ini terdiri dari dua kelompok utama yaitu enzim antioksidan dan antioksidan berat molekul ringan (LMWA) (Gambar 2.1). Kelompok enzim terdiri dari direct-acting proteins, misalnya SOD. Protein dari keluarga ini berbeda dalam struktur dan kofaktornya. Cu-Zn SOD merupakan enzim dengan berat molekul sekitar 32.000, terdiri dari dua subunit, dimana salah satunya memiliki tempat aktif, dan terdistribusi secara luas dalam sel eukariotik yang berlokasi di sitoplasma. MnSOD merupakan protein dengan berat molekul sekitar 40.000, dapat ditemukan pada sel prokariotik dan mitokondria eukariotik (Kohen dan Nyska, 2002). Tipe SOD lainnya yang ada antara lain extracellular SOD (EC-SOD) dan FeSOD pada tanaman. Enzim ini memiliki struktur, berat molekul dan konstanta laju reaksi yang berbeda. Aktivitas enzim itu sendiri mampu untuk meningkatkan dismutase spontan radikal superoksida terhadap H2O2. Perubahan yang bermakna terhadap konstanta laju reaksi dari berbagai macam SOD tergantung pada pH dan tempat aktivitasnya. Produk akhir reaksi dismutase yaitu H2O2, dapat dipindahkan dengan aktivitas enzim katalase dan anggota keluarga peroxidase termasuk glutathione peroxidase (Chance, dkk., 1979). Katalase merupakan suatu enzim yang unik dengan KM yang sangat tinggi untuk substratnya dan dapat memindahkan H2O2 yang ada dalam konsentrasi tinggi. Enzim ini mengandung empat subunit protein, dimana masing-masingnya mengandung ion ferri dari kelompok heme yang mengalami oksidasi setelah interaksi dengan molekul pertama H2O2 untuk menghasilkan Fe+4 dalam struktur yang disebut senyawa 1. Molekul ke dua dari H2O2 berlaku sebagai donor elektron dan menghasilkan kerusakan dari dua molekul H2O2 yang terlibat untuk menghasilkan molekul oksigen. Peroksidase memiliki afinitas yang tinggi untuk memindahkan H2O2 walaupun ada dalam konsentrasi yang rendah. Donor elektron pada reaksi ini adalah molekul kecil, seperti misalnya glutathione atau askorbat (dari tanaman). Pembersihan H2O2 oleh sel merupakan suatu reaksi yang “mahal”, karena ini menggunakan molekul-molekul yang berharga dalam lingkungan sel. Molekul glutathione sebanyak dua digunakan untuk membersihkan satu molekul H2O2. Oksigen tidak terbentuk pada reaksi yang terakhir ini, yang membedakannya antara reaksi oleh peroxidase dan katalase. Enzim-enzim lainnya dalam lingkungan sel mendukung aktivitas antioksidan. Glucose-6-phosphate dehydrogenase menyediakan bahan yang mereduksi (NADPH) yang diperlukan untuk fungsi sel dan penting untuk regenerasi oxidized antioxidants. Regenerasi oxidized glutathione (GSSG) dalam bentuk tereduksi (GSH) dilakukan oleh reduced nicotinamide dinucleotide (NADH) (Chance, dkk., 1979). Beberapa enzim pendukung dapat mengeliminasi oksidan seperti misalnya xanthine dehydrogenase yang menghasilkan uric acid (antioksidan endogen yang efektif) (Gul, dkk., 2000). Kelompok low-molecular-weight antioxidant (LMWA) terdiri dari sejumlah senyawa yang dapat mencegah kerusakan oksidatif secara langsung dan tidak langsung terhadap ROS (Kohen dan Gati, 2000). Mekanisme tidak langsung melibatkan chelation of transition metals yang mencegahnya untuk berpartisipasi dalam metal-mediated Haber-Weiss reaction (Beckman dan Koppenol, 1996). Molekul dengan aktivitas langsung memberikan turunan kimia serupa sehingga dapat memberikan elektronnya kepada radikal oksigen, sehingga dapat mengatasi radikal tersebut dan mencegahnya menyerang target biologinya. Scavengers memiliki banyak manfaat di atas Kelompok Antioksidan enzimatik, karena scavengers merupakan molekul kecil, sehingga dapat berpenetrasi pada membran sel dan dapat terlokasi pada jarak yang dekat dengan target biologi. Sel dapat meregulasi konsentrasinya, dan dapat diregenerasikan dalam sel. Scavenger memiliki spektrum aktivitas terhadap berbagai jenis ROS. Mekanisme pemusnahannya dapat dimulai jika konsentrasi scavenger cukup tinggi untuk berkompetisi dengan target biologi pada spesies yang merusak tersebut (Kohen dan Gati, 2000). Aksi LMWA adalah sinergis dan interrelasi di antara LMWA adalah penting untuk perkembangan pedoman terapi antioksidan. Scavengers yang berasal dari sumber endogen seperti proses biosintesis dan generasi produk sampah dari sel dan sumber eksogen dari diet. Sejumlah LMWA yang disintesis oleh sel hidup atau yang berasal dari produk sampah adalah sedikit saja (misalnya histidine dipeptides, glutathione, uric acid, lipoic acid, dan bilirubin). Kebanyakan LMWA berasal dari sumber diet (Kohen dan Nyska, 2002). Karakteristik scavenger adalah aktivitasnya yang bereaksi secara langsung dengan radikal dan menghilangkannya dengan memberikan elektron kepada spesies reaktif tersebut. Reaksi ini menghasilkan konversi dari scavenger itu sendiri menjadi radikal, meskipun tidak reaktif (Gambar 2.2). Regenerasi (kimia atau enzimatik) Oksidasi lebih lanjut dari scavenger Gambar 2.2 Mekanisme aktivitas scavenger (Kohen dan Nyska, 2002) Radikal scavenger dapat mengalami oksidasi lebih lanjut atau teregenerasi menjadi bentuk tereduksi, reducing antioxidant, oleh scavenger lainnya yang memiliki potensial oksidasi yang sesuai. Ascorbyl radical misalnya dapat diolah kembali menjadi bentuk tereduksinya (ascorbic acid) dengan bantuan glutathione. Ascorbic acid sendiri akan menjadi radikal, yang dapat menerima elektron dari donor lainnya, misalnya NADH. Proses regenerasi dapat merupakan murni kimiawi atau suatu enzim dapat terlibat dalam transfer elektron (Gambar 2.3). Aktivitas kooperatif ini menjelaskan sinergisitas yang didapatkan saat beberapa scavenger terlibat dan dapat dipergunakan untuk mendapatkan manfaat dari kombinasi LMWA dalam terapi antioksidan. Glutathione merupakan suatu massa dengan berat molekul rendah. Glutathione merupakan suatu tripeptide yang mengandung thiol, dengan bentuk tereduksinya glutamic acid-cysteine-glycine (GSH) dan bentuk teroksidasinya berupa GSSG (dimana 2 molekul GSH bergabung melalui oksidasi grup SH dari residu cysteine untuk membentuk jembatan disulphide (Kohen dan Nyska, 2002). Glutathione terdapat pada manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan bakteri aerob dengan konsentrasi tinggi mencapai milimolar. Glutathione berlaku sebagai suatu kofaktor dari enzim peroksidase, jadi sebagai antioksidan tidak langsung mendonasikan elektron yang diperlukan untuk mendekomposisikan H2O2. Senyawa ini juga terlibat dalam berbagai jalur biokimia dan fungsi sel lainnya (Barhoumi, dkk., 1993). Gambar 2.3 Interrelasi di antara LMWA (Kohen dan Nyska, 2002) Glutathione mencegah oksidasi kelompok protein -SH dan untuk transportasi copper (Gul, dkk., 2000). Glutathione dapat berlaku chelating agent untuk ion copper dan mencegahnya berpartisipasi dalam reaksi Haber-Weiss, berlaku sebagai kofaktor untuk beberapa enzim seperti misalnya glyoxylase, dan terlibat dalam biosintesis leukotriene. Glutathione memegang peranan dalam protein folding degradation and cross lingking. Glutathione dapat memusnahkan ROS secara langsung. Glutathione berinteraksi dengan radikal OH., ROO., dan RO. seperti juga HCLO dan „O2 saat bereaksi dengan ROS, yang menghasilkan radikal glutathione, sehingga dapat meregerasikannya menjadi bentuk tereduksi dari glutathione (Gul, dkk., 2000). 2.3 Stres Oksidatif pada Malnutrisi Berat (MB) Produksi berlebihan dari reactive oxygen intermediates (superoxide anion (O2–), hydroxyl radical (OH•), singlet oxygen dan hydrogen peroxide (H2O2) dalam eritrosit terjadi pada kondisi malnutrisi yang menimbulkan terjadinya stres oksidatif (Ghone, dkk., 2013). Malondialdehyde (MDA) merupakan suatu produk antara teroksidasi yang sering digunakan sebagai petanda yang dapat dipercaya terhadap lipid peroxidation pada malnutrisi. Malonndialdehyde (MDA) serum meningkat jumlahnya dan terjadi penurunan kadar vitamin E serum, zinc dan erythrocyte superoxide dismutase pada pasien MB. Setelah diberikan suplementasi antioksidan selama sebulan didapatkan kadar MDA menurun secara bermakna dan kadar zinc serta kapasitas erythrocyte superoxide dismutase meningkat secara bermakna. Kadar vitamin E mengalami peningkatan yang tidak bermakna jika dibandingkan dengan kadar sebelum disuplementasi. Defisiensi yang berat dari berbagai macam nutrisi pada MB menimbulkan generasi stres oksidatif berat. Efek ini dapat diminimalisasi dengan pemberian suplementasi antioksidan (Anuradha, dkk., 2008). Beberapa mekanisme menjelaskan kemungkinan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan stres oksidatif pada MB. Faktor terpenting adalah asupan yang kurang dari nutrien misalnya karbohidrat, protein, vitamin, sehingga menimbulkan akumulasi ROS. Pada malnutrisi didapatkan kekurangan konsentrasi antioksidan enzimatik dan nonenzimatik bersamaan dengan trace elemen. Mekanisme yang ke dua terhadap terjadinya peningkatan stres oksidatif pada MB adalah kemungkinan karena aktivasi kronik nonspesifik dari sistem kekebalan tubuh karena inflamasi kronik. Peningkatan aktivasi MDA pada anak MB kemungkinan karena deplesi sebagian besar enzim antioksidan sebagai mekanisme kompensasi untuk melindungi membran sel dari efek merugikan radikal bebas (Bosnak, dkk., 2010). Pada anak-anak yang menderita MB (dengan edema tetapi tidak yang tanpa edema) terjadi pengurangan konsentrasi GSH dalam plasma dan darah jika dibandingkan dengan anak-anak dengan status nutrisi yang baik (Becker, dkk., 1995). Pada penelitian lainnya menunjukkan hasil yang berbeda yaitu didapatkan bahwa pada ke dua tipe malnutrisi baik marasmus maupun kwashiorkor terjadi pengurangan aktivitas antioksidan. Pada anak dengan marasmus didapatkan adanya pengurangan red cell glutathione dan peningkatan lipid peroxidation (Tatli, dkk., 2000), dan didapatkan adanya penurunan sintesis erythrocyte glutathione pada kwashiorkor (Reid, dkk., 2000). Siklus redox GSH merupakan komponen utama pertahanan antioksidan tubuh. Konsentrasi yang menurun dari GSH menunjukkan kerusakan kapasitas antioksidan. Anak-anak yang mengalami malnutrisi tipe edema mengalami peningkatan beberapa petanda oxidant-induced lipid peroxidation seperti misalnya malondialdehyde, hexanal (Lenhartz, dkk., 1998), dan lipid hydroperoxide (Reid, dkk., 2000). Kerusakan pada pertahanan antioksidan pada kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor menimbulkan terjadinya kerusakan radikal bebas pada membran sel dan kerusakan ini akan memegang peranan penting dalam patogenesis penyakit (Jackson, 1986). Glutathione selular merupakan senyawa antioksidan utama yang bereaksi secara langsung dalam menghilangkan ROS dan sebagai substrat dari beberapa peroksidase. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada malnutrisi protein menginduksi terjadinya pengurangan pertahanan antioksidan tetapi tidak menyebabkan peningkatan radikal bebas. Pada kondisi malnutrisi protein terjadi penurunan metabolisme mitokondria di otak dan hati, yang kemungkinan menghasilkan penurunan produksi ROS (Wu, dkk., 2001). Penelitian mengenai suplementasi diet awal dengan menggunakan cysteine pada anak dengan malnutrisi berat dengan edema didapatkan konsentrasi dan laju sintesis absolut GSH meningkat pada kelompok yang mendapatkan suplementasi cysteine dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan ini berhubungan dengan efek suplementasi terhadap konsentrasi cysteine eritrosit. Glutamic acid-cysteineglycine (GSH) disintesis de novo dari glycine, cysteine, dan glutamate dalam reaksi yang dikatalisasi oleh γ-glutamylcysteine synthetase dan GSH synthetase, yang dapat diregenerasi dari oxidized glutathione dalam reaksi yang dikatalisasi oleh GSH reductase. Ketidakmampuan dalam mempertahankan laju sintesis yang cukup terhadap ke tiga peptide tersebut dapat disebabkan karena limitasi dalam penyediaan bahan atau defek pada jalur sintesis GSH atau karena ke duanya (Badaloo, dkk., 2002). Penelitian sebelumnya pada tikus menunjukkan bahwa baik aktivitas maupun jumlah γ-glutamylcysteine synthetase hati, rate limiting enzyme for GSH synthesis adalah tidak menurun dengan konsumsi diet rendah protein. Fakta ini menunjukkan bahwa jalur sintesis GSH tidak mengalami kerusakan pada malnutrisi protein (Hunter dan Grible, 1997). Jadi berdasarkan hal tersebut keterlambatan restrorasi kadar GSH sel pada anak dengan malnutrisi berat dengan edema adalah akibat dari kekurangan cysteine (Badaloo, dkk., 2002). TAOS terdiri dari kapasitas antioksidan yang berasal dari protein total (85%, terutama albumin, juga transferrin dan ceruloplasmin), uric acid (12%), bilirubin (4%), carotinoids (3%), tocopherols (1%), dan ascorbic acid (1%). TAOS pada anak-anak yang mengalami kwashiorkor menurun sampai kurang dari 50% dibandingkan dengan kontrol anak-anak dengan status nutrisi normal. Penurunan TAOS terjadi pada hari ke 1, 4, 8, 14, dan 20 (keseluruhan periode observasi). Taos terendah terjadi pada hari ke-4, kemudian mengalami peningkatan sampai hari ke-14, dan kemudian menurun kembali pada hari ke-20. Konsentrasi glutathione eritrosit mengalami penurunan pada pasien kwashiorkor. Konsentrasinya mencapai normal pada minggu ke-2 bagi pasien-pasien yang selamat dan menurun atau menetap rendah pada pasien-pasien yang letal. Nitrit dan nitrat juga didapatkan kadarnya meningkat dua kali pada kwashiorkor pada keseluruhan periode tersebut. Penelitian ini mendukung hipotesis bahwa stres oksidatif dan nitrosatif memegang peranan alam patofisiologi malnutrisi dengan edema. Strategi untuk profilaksis dan terapeutik harus diarahkan pada koreksi yang hati-hati terhadap berkurangnya status antioksidan pasien (Fechner, dkk., 2001). Kadar zinc serum pada anak MB lebih rendah secara bermakna jika dibandingkan dengan anak nutrisi baik. Kadar zink ini juga lebih rendah secara bermakna pada anak-anak MB dengan lesi kulit jika dibandingkan dengan tanpa lesi kulit. Kapasitas antioksidan total juga didapatkan lebih rendah pada anakanak MB. Konsentrasi MDA pada anak MB didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Kapasitas antioksidan total dan hipoalbuminemia juga berkorelasi positif dengan kadar zinc serum yang rendah. Defisiensi trace elemen serum menimbulkan penurunan proteksi antioksidan kemungkinan merupakan suatu faktor yang berkontribusi dalam patofisologi malnutrisi energi protein dan penggantian elemen ini dalam penatalaksanaan kondisi MB adalah penting (Jain, dkk., 2008). Sharda (2006) melakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan total pada beberapa penyakit anak dan neonatus, salah satunya pada malnutrisi. Penelitian ini mendapatkan bahwa terjadi penurunan kadar aktivitas antioksidan total pada anak-anak yang mengalami MB (Tabel 2.1). Penurunan kadar aktivitas antioksidan total ini tampaknya disebabkan karena multifaktorial seperti misalnya kadar serum zinc, vitamin A, ascorbic acid, selenium yang rendah, infeksi berulang, peningkatan besi bebas, dan stadium kelaparan kronis. Tabel 2.1 Kadar Aktivitas Antioksidan Total (µmol/L) pada Kontrol, Marasmus dan Kwashiorkor Saat Presentasi, Follow-up Pertama dan Ke dua (Sharda, 2006) Subjek Malnutrisi Rata-rata + SD Nilai p Kontrol n= 16 591,88 + 172,59 Saat presentasi Marasmus dan kwashiorkor (n=35) 322,93+114,91 < 0,001 Marasmus (n=22) 374,18+103,43 < 0,001 Kwashiorkor (n=13) 236,20+75,55 < 0,001 Follow up pertama Marasmus dan kwashiorkor (n=18) 385,55+91,68 Marasmus (n=9) 397,33+95,12 Kwashiorkor (n=9) 373,75+92,18 < 0,001 < 0,001 < 0,001 Follow up ke dua Marasmus dan Kwashiorkor (n=10) Marasmus (n=5) Kwashiorkor (n=5) 450,33+85,77 < 0,001 430,30+78,43 436,36+101,86 <0,05 <0,05 Setelah diberikan suplementasi antioksidan, terjadilah meningkatan kadar aktivitas antioksidan total, tetapi sampai akhir bulan ke dua belum juga mencapai kadar yang sama dengan kontrol. Peningkatan kadar aktivitas antioksidan total lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan antioksidan pada follow up pertama dan ke dua (Tabel 2.2). Tabel 2.2 Kadar Aktivitas Antioksidan Total (µmol/L) pada Marasmus dan Kwashiorkor dengan dan Tanpa Suplementasi Antioksidan selama Follow up (Sharda, 2006) Subjek Rata-rata + SD Nilai P Follow up pertama dengan suplementasi 405,61 + 95,47 <0,05 n=13 Follow up pertama tanpa suplementasi n=5 373,39 + 69,57 Tidak bermakna Follow up ke dua dengan suplementasi n=8 428,03 + 83,28 <0,05 Follow up ke dua tanpa suplementasi n=2 454,55 + 128,6 Tidak bermakna Saat presentasi n = 35 322,93 + 114,91 Fungsi intestinal mengalami kerusakan pada malnutrisi. Malnutrisi menyebabkan penurunan pertahanan antioksidan. Stres oksidatif merupakan komponen dari kerusakan gastrointestinal. Pada penelitian yang menggunakan tikus dengan diet rendah protein selama 4 minggu didapatkan aktivitas katalase pada mukosa intestinal kelompok tikus dengan diet rendah protein meningkat lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi glutathione dan aktivitas superoxide dismutase dan Se-dependent glutathione peroxidase pada mukosa intestinal adalah sama dengan kelompok kontrol. Basal short-circuit current (Isc) dan agonis Isc yang diinduksi oleh glukosa dan forskolin, seperti juga rf-lactoglobulin fluxes, lebih tinggi pada kelompok protein rendah. Stres H2O2 eksogen meningkatkan Isc secara bermakna pada kelompok protein rendah lebih tinggi daripada kelompok protein normal, tetapi tidak mengubah permeabilitas protein. Hasil ini menunjukkan bahwa malnutrisi menginduksi kerusakan radikal bebas intestinal dan mengubah transpor epitel, yang menunjukkan bahwa stres oksidatif berkontribusi terhadap disfungsi intestinal yang berhubungan dengan malnutrisi (Darmon, dkk., 1993) 2.4 Respon Imun pada Malnutrisi Berat (MB) Pertahanan tubuh melawan mikroba diawali dengan kekebalan alamiah dan diselanjutnya melalui respon kekebalan didapat. Kekebalan alamiah terdiri dari pertahanan seluler dan mekanisme pertahanan biokimia yang telah ada walaupun tanpa ada infeksi sebelumnya dan langsung dapat berespon terhadap infeksi. Kekebalan alamiah ini terdiri dari barier fisik dan kimia (epitel dan bahan kimia antimikroba yang diproduksi permukaan epitel), sel fagosit (neutrofil, makrofag), sel dendritik, sel natural killer (NK cell), protein dalam darah (bagian dari sistem komplemen dan mediator inflamasi lainnya, dan sitokin (protein yang meregulasi dan mengkoordinasi berbagai aktivitas sel kekebalan alamiah) (Abbas, dkk., 2012b) (Gambar 2.4). Kekebalan tubuh Kekebalan alamiah: 1. barier fisik dan kimia 2. sel fagosit (neutrofil, makrofag), sel dendritik, NK cell, 3. protein dalam darah, 4. sitokin sitokin Kekebalan didapat: 1. limfosit (limfosit B dan limfosit T (sel T helper, sel T sitotoksik, sel T regulator) ), 2. APC 3. effector cells Gambar 2.4 Skema sistem kekebalan tubuh Sel-sel utama pada kekebalan didapat adalah limfosit (limfosit B dan limfosit T (sel T helper, sel T sitotoksik, sel T regulator)), antigen presenting cells (APC), dan effector cells. Sel T helper akan mensekresikan sitokin apabila terdapat stimulasi antigenik. Sitokin ini bertanggung jawab terhadap berbagai respon seluler pada kekebalan alamiah dan didapat, jadi berfungsi sebagai molekul messenger sistem imun. Sitokin yang disekresikan tersebut akan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel T itu sendiri dan mengaktivasi sel lainnya (sel B, makrofag, dan leukosit lainnya). Sitokin bekerja secara autokrin, parakrin, atau endokrin (Abbas, dkk., 2012b). Hubungan yang fundamental antara malnutrisi dan imunitas pertama kali digambarkan oleh Smythe dkk., sebagai defisiensi timolimfatik yang disebabkan oleh malnutrisi kalori protein (Smythe, dkk., 1971). Penelitian akhir-akhir ini juga menggambarkan timus sebagai “barometer malnutrisi” (Prentice, 1999) yang mengidentifikasi bagaimana defisiensi nutrien spesifik misalnya zinc berhubungan dengan malnutrisi klinis dan gangguan fungsi timus (Paren, dkk., 1994). Berbagai abnormalitas pada respon imun didapatkan berhubungan dengan kondisi malnutrisi energi protein, antara lain dalam hal jumlah sel T, rasio subset set T, aktivitas NK cells, dan produksi sitokin. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa malnutrisi menurunkan fungsi sel T, produksi sitokin, dan kemampuan limfosit berespon terhadap sitokin (Rodriguez, dkk., 2005). Respon sel T terhadap stimulus tergantung pada signal yang diterima dari APC. Sel dendritik (salah satu APC) pada penderita malnutrisi jumlahnya berkurang. Jumlah APC meningkat setelah diterapi dengan terapi standar. Pada malnutrisi terdapat kegagalan maturasi sel dendritik yang berhubungan dengan endotoksemia. Anergi pada sel dendritik ini menyebabkan kegagalan proliferasi dari sel T (Hughes dkk, 2009). Limfosit CD4+ anak gizi baik yang mengalami infeksi memiliki kemampuan cukup untuk berdiferensiasi. Fraksi sel CD4+CD45RO+ (memori) meningkat dan sel CD4+CD45RA+ (naive) menurun dalam darah tepi. Limfosit CD4+ pada anak malnutrisi tidak mampu mencapai jumlah fraksi sel memori yang cukup untuk memberikan perlindungan terhadap antigen luar dan untuk menimbulkan aktivitas helper sintesis antibodi spesifik antigen (Najera dkk., 2001). Pada penelitian mengenai efek infeksi dan malnutrisi terhadap proporsi subset limfosit perifer, didapatkan bahwa pada anak gizi baik yang mengalami infeksi bakteri terjadi penurunan proporsi TCD3+, CD4+, dan CD8+, tetapi terdapat peningkatan proporsi limfosit B (CD20+) bila dibandingkan anak gizi baik tanpa infeksi bakteri. Pada anak malnutrisi dengan infeksi juga terjadi penurunan proporsi limfosit T CD4+ tetapi proporsi limfosit B (CD20+) juga menurun jika dibanding anak gizi baik yang mengalami infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan proporsi T limfosit pada anak gizi baik yang mengalami infeksi tersebut berhubungan dengan penyakit infeksinya, dan ketidakmampuan untuk meningkatkan proporsi limfosit B pada anak malnutrisi berhubungan dengan menurunnya sintesis beberapa molekul yang terlibat dalam respon imunologis, sebagai akibat kurangnya nutrisi pada anak malnutrisi (Najera dkk., 2004). Produksi IL-4 dan IL-10 dari sel CD4+ dan CD8+ anak malnutrisi meningkat, sementara produksi IL-2 dan IFN-γ menurun jika dibandingkan antara anak malnutrisi dengan anak gizi baik tanpa dan dengan infeksi. Anak malnutrisi menunjukkan gangguan pada kemampuan aktivasi, akibat dari intensitas fluoresensi sel CD69+ dan CD 25+ lebih rendah dari sel-sel pada anak dengan gizi baik baik yang tidak terinfeksi maupun yang terinfeksi. Hasil ini menunjukkan bahwa malnutrisi mengubah kapasitas sel CD4+ dan CD 8+ untuk memproduksi IL-2, IFN-γ, IL-4 dan IL-10 terhadap respon dari infeksi. Kerusakan fungsional ini kemungkinan terlibat dalam kegagalan untuk berkembangnya respon imun spesifik dan sebagai predisposisi dari infeksi pada anak-anak tersebut (Rodriguez, dkk., 2005). Pada tikus yang mengalami restriksi diet selama 7 hari didapatkan adanya gangguan eksudasi sel polimorfonuklear (PMN) ke tempat lokal inflamasi (peritonitis), terjadi penurunan dari ekspresi CD 11b/CD 18 dan produksi macrophage inflammatory protein 2 (MIP-2), penurunan kemokin spesifik PMN (TNF-α, IL-6, IL-10), dan peningkatan reactive oxygen intermediate (ROI). Setelah perbaikan pemberian makan, maka dalam waktu singkat terjadi perbaikan pertahanan tubuh dengan perbaikan fungsi PMN dan produksi kemokin pada tempat inflamasi lokal (Ikeda, dkk., 2001). Tikus model malnutrisi (yang diberikan restriksi diet selama 4 minggu) mengalami peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi dalam darah (TNF, IL-1, dan IFN-gamma sitokin Th-1) dibandingkan dengan kontrol, akan tetapi tidak terdapat perbedaan dalam sitokin antiinflamasi TGF-beta. Ekspresi mRNA yang mengkoding TNF dan IL-1 pada jantung juga meningkat. Ekspresi sitokin Th-1 (IFN-gamma) dan sitokin Th-17 (IL-17 dan IL-23p19) juga meningkat. Ekspresi mRNA sitokin pada hati tidak mengalami perubahan pada malnutrisi (Stevanovic, dkk., 2010). Malnutrisi kalori protein menginduksi terjadinya supresi kekebalan tubuh, terjadi kerusakan macrophage respiratory burst activity (superoxide anion [O2-] generation). Penelitian pada tikus yang mengalami malnutrisi menunjukkan bahwa pada kondisi malnutrisi kalori protein ringan dan berat mengalami gangguan dalam pelepasan O2-. Ekspresi mannose-fucose receptor (MFR) juga mengalami penurunan. Pada kondisi malnutrisi kalori protein ringan didapatkan adanya peningkatkan produksi prostaglandin E2 makrofag secara sekunder sebagai akibat dari peningkatan kandungan arachidonic acid phospholipid, dengan inhibisi berikutnya dari O2- dan ekspresi MFR. Malnutrisi kalori protein berat menginhibisi O2- makrofag melalui deplesi komponen fosfolipid membran sehingga terjadi gangguan dalam signal transduction (Redmond, dkk., 1991). Sitokin proinflamasi (IL-1, TNF, IL-6) memediasi terjadinya respon inflamasi lokal, seperti misalnya panas, kemerahan, nyeri, bengkak, dan efek sistemik seperti misalnya demam dan anoreksia (Gambar 2.5). Induksi dan sintesis sitokin dikontrol oleh proses interaksi kompleks yang memerlukan keseimbangan untuk menghindari terjadinya self injury selama respon inflamasi. Pada kondisi malnutrisi, keseimbangan yang ketat tersebut mengalami gangguan. Anak dengan MAB sering mengalami pengurangan respon inflamasi dan respon demam. Sehubungan dengan hal tersebut berdasarkan penelitian invitro didapatkan bahwa terjadi penurunan produksi IL-1 dan TNF dari monosit sirkulasi (Doherty, dkk., 1994). Konsentrasi yang tinggi dari IL-6 dan TNF juga didapat pada anak dengan malnutrisi tanpa infeksi (Sauerwein, dkk., 1997). Penelitian lebih jauh lagi perlu dilakukan untuk mengetahui peranan dari mediator ini pada malnutrisi. Gambar 2.5 Efek Lokal dan Sistemik Sitokin dalam Inflamasi (Abbas, dkk., 2012c) Pada anak dengan malnutrisi terjadi suatu perubahan keseimbangan respon imun tipe 1 dan tipe 2 yang mungkin menjadi penyebab ketidakmampuan dari sistem imun pada anak dengan malnutrisi untuk mengatasi infeksi. Ekspresi gen TNF-α, IL-4, dan IL-10 meningkat dan ekspresi gen IL-2, interferon gamma, dan IL-6 berkurang pada anak malnutrisi bila dibandingkan antara anak malnutrisi dengan anak gizi baik yang mengalami infeksi (Gonzalez-Martinez dkk., 2008). Konsentrasi IL-6, C-reactive protein (CRP), dan soluble receptors of TNF α (sTNFR-p55 dan sTNF-p75) didapatkan meningkat pada anak malnutrisi energi protein terutama pada anak dengan kwashiorkor. Konsentrasi soluble receptors of IL-6 (sIL6R-gp80) dan antagonis reseptor IL-1 tidak berbeda bermakna dengan anak sehat. Konsentrasi IL-6, sTNFR-p55 dan sTNFR-p75 didapatkan meningkat pada kwashiorkor walaupun tanpa adanya infeksi (Sauerwein dkk., 1997). Pada penelitian dengan tikus yang mengalami malnutrisi energi protein berat didapatkan bahwa protein malnutrisi yang menginduksi ekspresi IL-6 dan α-2 makroglobulin, yang kemudian memodulasi respon protein fase akut terhadap inflamasi (Lyoumi dkk, 1998). Penelitian tentang IL-6 pada malnutrisi ini memberikan hasil yang masih kontroversial, ada yang mendapatkan konsentrasinya meningkat dan ada yang mendapatkan ekspresi gennya menurun. Hal ini mungkin karena sampel dari penelitian tersebut berbeda yaitu menggunakan anak dengan malnutrisi ringan dan sedang saja (Gonzalez-Martinez dkk., 2008). Interleukin-6 selain berfungsi sebagai sitokin proinflamasi juga sebagai sitokin antiinflamasi. Interleukin-6 setelah berikatan dengan reseptor permukaan merangsang sel hati memproduksi protein fase akut dengan beberapa jalur. Jalur pertama melalui jalur aktivasi receptor-associated Janus-activated kinases (JAKs) yang mengaktifkan faktor transkripsi signal tranducers and activators of transcription (STATs). Pengaktivan dari STATs ini memegang peranan penting dalam menginduksi dan memodulasi transkripsi gen multipel temasuk yang mengkode protein fase akut. Salah satu protein fase akut pada tikus yaitu α1-acid glycoprotein meningkat kadarnya saat terjadi inflamasi dan dipengaruhi oleh TNF, IL-1, dan IL-6. Jalur ke dua adalah yang melibatkan berbagai macam mitogen-activated protein (MAP) kinase family yang menghasilkan respon berupa sekresi sitokin proinflamasi (TNF dan IL-1) (Ling dkk., 2004). 2.5 Perlemakan Hati pada Malnutrisi Berat Penyakit perlemakan hati atau fatty liver disease (FLD) dibagi menjadi dua bagian besar yaitu alcoholic FLD (AFLD) dan nonalcoholic FLD (NAFLD). Umumnya AFLD dan NAFLD diawali dengan steatosis hati. Jika steatosis ini terus berlangsung maka akan berkembang menjadi steatohepatitis, cirrhosis, dan kanker hati. Steatosis hati menunjukkan adanya akumulasi berlebih lemak (trigliserida) pada sel parenkim hati (hepatosit), dan terjadi karena berbagai penyebab. Steatosis hati secara morfologi bermanifestasi sebagai akumulasi droplet lemak intrasitoplasma besar (makro vesikular) atau kecil (mikro vesikular) dalam sel parenkim hati. Diagnosis steatosis dibuat jika kandungan lemak hati melebihi 5-10% dari beratnya. Pada kondisi malnutrisi misalnya kwashiorkor, hepatic steatosis yang terjadi utamanya adalah makro vesikular. Pada bentuk makro vesicular didapatkan suatu vakuola tunggal lemak besar dalam sel hepatosit yang mengisi sitoplasma dan menggeser inti ke perifer, sehingga didapatkan gejala khas yang disebut signet ring appearance. Steatosis hati itu sendiri tidak berbahaya, reversibel, dan tidak progresif jika penyebabnya dihilangkan. Perkembangan menjadi steatohepatitis baik pada ASH maupun NASH dipengaruhi oleh masih tetapnya dan keparahan dari penyebab steatosis hati tersebut (Reddy dan Rao, 2006). Sistem oksidasi asam lemak mitokondria, peroxisomal, dan mikrosomal di hati diregulasi oleh peroxisome proliferator activated receptor-α (PPAR-α) dan memetabolisme energi. Peningkatan PPAR-α sensing di hati dan induksi dari ke tiga sistem oksidasi asam lemak akan menghasilkan peningkatan pembakaran energi dan mengurangi cadangan lemak. Penurunan PPAR-α sensing dan atau penurunan kapasitas oksidasi asam lemak akan menimbulkan pengurangan penggunaan energi dan meningkatkan lipogenesis (dimediasi PPAR-γ), menghasilkan steatosis dan steatohepatitis. Steatohepatitis alkohol dan nonalkohol disebabkan karena gangguan pada sistem oksidasi asam lemak di hati. Abnormalitas yang berhubungan dengan sistem oksidasi asam lemak yang berbeda disebabkan karena genetik, racun (termasuk obat-obatan), dan gangguan metabolisme juga akan menghasilkan penurunan pembakaran energi di hati, sehingga menimbulkan penumpukan lemak di sel hati. Efisiensi dari PPAR-α sensing di hati penting untuk mengenal dan merespon influx asam lemak dalam kasus kelaparan atau puasa, dimana influx asam lemak secara kuat menginduksi aktivitas ke tiga sistem oksidasi asam lemak untuk mencegah steatosis hati. Puasa semalaman atau berkepanjangan menimbulkan steatosis hati berat jika PPAR-α sensing tidak efisien (Reddy dan Rao, 2006). Infiltrasi lemak ekstensif merupakan salah satu gambaran kardinal dari MB pada anak. Patogenesis terjadinya penumpukan lemak hati pada MB masih kontroversi. Beberapa hipotesis diperkirakan sebagai penyebab perlemakan hati yaitu peningkatan sintesis lemak hati, redistribusi lemak dari jaringan lemak, tidak cukupnya sekresi lipoprotein, abnormalitas lipase lipoprotein, dan toksisitas mikotoksin. Akibat dari akumulasi lemak ini adalah disfungsi dari hati sehingga didapatkan peningkatan dari bilirubin atau transaminase serum sehingga menimbulkan prognostik yang buruk bagi anak-anak tersebut (Doherty, dkk., 1991). Akumulasi lemak terjadi melalui salah satu atau kombinasi dari tiga mekanisme yaitu peningkatan sintesis lemak hati, gangguan pada transportasi pengeluaran lemak hati, atau penurunan pemecahan lemak dalam hati. Mekanisme peningkatan sintesis lemak hati tidak dapat dikonfirmasi dengan didapatkannya penurunan dari aktivitas glucose-6-phosphatase. Mekanisme tidak adekuatnya sintesis lipoprotein dan sekresinya secara teori tampaknya merupakan penjelasan yang tepat. Konsentrasi lipoprotein sirkulasi didapatkan rendah pada anak dengan malnutrisi berat dan sintesis protein pun mengalami gangguan. Lemak hati tidak berkorelasi baik dengan konsentrasi sirkulasi lipoprotein. Mekanisme yang ke tiga yaitu penurunan pemecahan lemak hati (Doherty, dkk., 1991). Penelitian Leung dan Peter (1986) melihat biopsi hati yang diambil dari pasien perlemakan hati karena alkohol dan mendapatkan adanya gangguan βoksidation, menyimpulkan bahwa penurunan β-oksidation ini penting dalam patogenesis perlemakan hati. Beta-oxidation lemak terutama terjadi dalam mitokondria tetapi fungsi mitokondria pada anak malnutrisi berat masih baik (Waterlow, 1961), sehingga hipotesis gangguan β-oxidation sebagai penyebab perlemakan hati menjadi jauh. Lazarow dan de Duve (1976) mendapatkan peranan peroxisomal β-oxidation serupa tetapi merupakan suatu sistem yang terpisah dari yang terjadi pada mitokondria. Kemungkinan disfungsi peroxisome sebagai bagian dari patogenesis perlemakan hati (Doherty, dkk., 1991). Peroxisome merupakan suatu organela subseluler yang tersebar pada seluruh sel mamalia dengan jumlah yang besar pada hepatosit. Pada kondisi normal, peroxisome melakukan sekitar 10% dari total β-oxidation lemak. Peroxisome memiliki kapasitas untuk menyelesaikan β-oxidation substratnya, tetapi hal ini belum pernah diobservasi secara in vivo. Peroxisome memendekan asam lemak rantai panjang yang kemudian ditransportasi ke mitokondria untuk proses oksidasi lebih lanjut. Secara teori, walaupun dalam kondisi fungsi mitokondria masih baik, maka suatu defek yang terjadi pada peroxisome (β-oxidation) masih memungkinkan menimbulkan akumulasi lemak hati. Akumulasi lemak kemudian cenderung pada rantai yang lebih panjang. Transportasi asam lemak menyeberangi membran peroxisome terjadi tidak tergantung dari karnitin, sementara pada mitokondria sebaliknya. Tidak seperti mitokondria, peroxisomal β-oxidation tidak terganggu pada kondisi tanpa adanya riboflavin. Aktivitas sistem peroxisomal β-oxidation dipengaruhi oleh banyak faktor eksternal. Peroxisome memiliki waktu paruh yang pendek dan ini dapat berkurang lagi dengan adanya stres tertentu (Doherty, dkk., 1991). Penelitian pada tikus yang sedang dalam masa pertumbuhan (usia 4 minggu) diberikan diet rendah protein (3 g kasein/100 g diet) dengan atau tanpa MCT selama 30 hari dibandingkan dengan tikus yang mendapatkan cukup protein (20 g kasein/100 g diet) dengan atau tanpa MCT. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa tikus dengan diet rendah protein selama 1 bulan tersebut mengalami perlemakan hati dan lebih prominen terjadi pada tikus yang mendapatkan diet tanpa MCT. Respiratory quotient tikus dengan diet rendah protein dan tanpa MCT lebih tinggi secara bermakna dibanding tikus dengan diet rendah protein dengan MCT. Kandungan trigliserida hati dari tikus dengan diet rendah protein dengan MCT didapatkan lebih rendah dibandingkan dengan tikus yang mendapatkan diet rendah protein tanpa MCT. Kadar carnitine palmitoyltransferase (CPT) 1a mRNA dan CPT 2 mRNA menurun secara bermakna pada hati dari tikus yang mendapatkan diet rendah protein tanpa MCT dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada tikus yang sedang dalam masa pertumbuhan akan mengalami perlemakan hati jika diberikan diet rendah protein. Penimbunan trigliserida hati akan berkurang dengan penambahan MCT pada tikus tersebut, dan kadar CPT 1a mRNA dan CPT 2 mRNA dapat dipertahankan seperti kondisi normal. Penelitian tersebut menunjukkan perlemakan hati pada kondisi diet rendah protein disebabkan karena penurunan ekspresi gen yang mengkode pembentukan protein yang terlibat dalam oksidasi asam lemak. Enzim membran terluar mitokondria, CPT 1a, memegang peranan penting dalam regulasi β-oxidation di hati. Medium chain fatty acid dapat menyeberangi membran mitokondria untuk oksidasi melalui carnitine-independent mechanism, sehingga penimbunan trigliserida hati dapat dikurangi dengan pemberian MCT pada tikus yang mendapatkan diet rendah protein. Peningkatan β-oxidation akan menghasilkan acetyl-CoA yang berlebih. Acetyl-CoA ini akan diubah menjadi badan keton. Gen Medium-chain acyl-CoA dehydrogenase (MCAD) dan Acyl-CoA oxidase (ACO) merupakan gen target PPARα disamping CPT 1a dan CPT 2. Pada penelitian tersebut gen MCAD dan ACO tidak berbeda bermakna ekspresinya pada kelompok tikus yang mendapatkan diet rendah protein dengan dan tanpa MCT. Faktor selain PPARα kemungkinan penting untuk meregulasi ekspresi gen CPT 1a dan CPT2 dengan suplementasi MCT. Medium chain fatty acid dimetabolisme melalui CPT-independent mechanism, sehingga kontrol terhadap ekspresi protein yang yang terlibat dalam carnitine cycle bukanlah secara langsung karena stimulasi MCT, sehingga faktor lain kemungkinan berperanan dalam pemberian suplementasi MCT ini untuk mengurangi perlemakan hati (Kuwahata, dkk. 2011). Glutathione (GSH) serum dan hati didapatkan menurun pada kondisi malnutrisi berat dan berhubungan terbalik dengan perlemakan hati pada malnutrisi berat. Glutathione yang rendah akan mengurangi kemampuan inang dalam menghadapi serangan radikal bebas. Perbedaan lainnya antara β-oxidation dari peroxisome dan mitokondria adalah reaksi awal dalam sistem peroxisome melibatkan oksidasi activated acyl-CoA dengan ditransfernya elektron ke oksigen untuk membentuk hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida kemudian dimusnahkan oleh katalase (hampir semuanya ada di peroxisome). Katalase dan GSH secara bersama bertanggung jawab dalam detoksifikasi spesies radikal (Doherty, dkk., 1991). Pada kondisi malnutrisi, status karnitin dan riboflavin marginal, sehingga peranan peroxisomal β-oxidation secara relatif akan meningkat. Hubungan antara infeksi dan malnutrisi telah diketahui dengan baik, infeksi bakteri juga diketahui mengurangi jumlah peroxisome. Reaksi awal sistem peroxisome akan menghasilkan hidrogen peroksida yang bersifat radikal, sementara pada kondisi malnutrisi berat kadar antioksidan berkurang. Radikal bebas tersebut akan merusak peroxisome itu sendiri, sehingga akan terjadi bunuh diri metabolik dari peroxisome. Hal ini dapat dilihat dari hasil biopsi anak-anak malnutrisi berat yang meninggal jika dibandingkan dengan anak-anak malnutrisi berat yang dalam pemulihan nutrisi ditemukan adanya pengurangan jumlah peroxisome pada anakanak yang meninggal tersebut. Jika diperkirakan bahwa radikal bebas memegang peranan dalam patogenesis gambaran klinis malnutrisi anak, dan defek dari βoxidation kemungkinan berkontribusi terhadap perlemakan hati, jadi mungkin kiranya bahwa disfungsi peroxisome menghubungkan ke dua hal tesebut (Doherty, dkk., 1991). Patogenesis terjadinya ASH dan NASH multifaktor dan termasuk beberapa peristiwa yang saling tindih. Hipotesis “two hit” menyatakan bahwa steatotis hati suseptibel terhadap kerusakan sekunder (kepekaan terhadap ROS, endotoksin yang berasal dari saluran cerna, dan adipositokin (TNF-α dan sitokin lainnya) (Day dan James, 1998). Hal-hal tersebut penting dalam menimbulkan respon inflamasi pada perlemakan hati, tetapi faktor-faktor presipitasi kemungkinan secara langsung berhubungan dengan ruptur atau apoptosis sel hati yang mengalami perlemakan dan melepaskan trigliserida dan asam lemak beracun. Kelebihan asam lemak pada sel hati bertindak sebagai bahan dan penginduksi mikrosomal sitokrom P-450 (CYP)2E1 dan sistem oksidasi asam lemak yang akan menghasilkan ROS dengan akibat terjadinya stres oksidatif (Rao dan Reddy, 2004). Stres oksidatif menyebabkan pelepasan beberapa sitokin (TNF-α, TGF-β, dan interleukin lainnya) oleh sel Kupffer (Day dan James, 1998). Reactive Oxygen Species seperti juga etanol dapat mengaktivasi sel stellate yang berpartisipasi dalam fibrogenesis. Produk lipid peroxidation seperti juga protein dapat memodifikasi ROS berkembang menjadi properti imunogenik yang menyebabkan respon inflamasi. Respon autoimun terhadap komponen sel hati juga berimplikasi terhadap kerusakan sel hati. Faktor gastrointestinal seperti misalnya lipopolisakarida bakteri dan endotoksin juga diketahui mengaktifkan sel Kupffer, sehingga menghasilkan generasi sitokin dan pengurangan adiponektin sirkulasi. Hal ini terjadi baik pada ASH dan NASH. Walaupun peranan yang pasti dari adipositokin (adiponektin dan leptin) pada NASH tidak diketahui, ekspresi yang berlebihan dari ke dua sitokin ini oleh sel stellate terdapat pada keadaan resistensi insulin. Leptin akan mempromosikan fibrosis dan adiponektin menginhibisi fibrosis dan menyebabkan apoptosis sel stellate (Reddy dan Rao, 2006). 2.6 Tata Laksana Malnutrisi Berat Tata laksana MB mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan perkembangan penelitian dan teknologi. Lebih dari 50 tahun lalu telah diketahui bahwa MB dengan edema disebabkan karena defisiensi protein. Ini menjadi dasar pemberian diet tinggi protein dalam terapi, tetapi kemudian didapatkan bahwa penggantian cadangan albumin pada anak malnutrisi tidak dimediasi dengan perubahan sintesis albumin sehingga menimbulkan dugaan bahwa edema pada malnutrisi bukan hanya karena masalah hipoalbumin. Adaptasi utama terhadap asupan protein yang tidak adekuat meliputi hilangnya nitrogen dan massa otot tubuh sesuai dengan penggunaan protein. Defisiensi protein sekunder juga terjadi karena ketidakmampuan absorbsi protein, gangguan metabolisme protein, peningkatan perubahan protein ke protein fase akut sebagai konsekuensi terjadinya infeksi menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan adaptasi. Pada awal tahun 1952 pemberian diet dengan protein yang lebih rendah menunjukkan keberhasilan. Penelitian dari Jamaica pada tahun 1980an membuktikan bahwa dengan pemberian protein yang rendah dapat memperbaiki kondisi kwashiorkor (Scherbaum dan Furst, 2000). Behar, dkk. (1957) menyampaikan bahwa perlu perhatian terhadap ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada MB. Terapi yang diberikan untuk tahap awal terapi adalah pemberian frequent feedings half strength milk. Satu sampai dua gram protein dan 30 - 60 kal/kg berat badan diberikan pada 24 jam pertama. Setelah itu kepekatan dan jumlah susu ditingkatkan untuk mendapatkan 5 g protein dan 100 kalori per kg pada akhir minggu pertama. Pisang, jus buah, daging, telur, sayur, dan sereal secara bertahap ditambahkan selama periode penyembuhan sehingga mengandung 5-7 g protein dan 130-150 kalori. Malnutrisi berat awalnya diterapi dengan menggunakan susu skim pada terapi inisial. Pada saat itu penggunaan susu skim bubuk tersebut menimbulkan efek samping utama memiliki kecenderungan memprovokasi atau memperberat diare yang kemungkinan disebabkan karena intoleransi laktosa dan kandungan kalorinya yang rendah sehingga berpotensi mengalami hipoglikemia dan peningkatan berat badan yang lambat. Kemudian dibuatlah formula yang disebut dengan kwashiorkor food mix yang terdiri dari susu skim bubuk, calcium casinate, sucrose dan penambahan minyak sayur untuk mengatasi kekurangan dari pemberian hanya susu skim saja. Kwashiorkor food mix ini digunakan untuk terapi ribuan anak MB selama perang Nigeria-Biafra. Hasil dari terapi ini menunjukkan insiden terjadinya diare berat, hipoglikemia, dan kematian lebih rendah dan berat badan lebih cepat naik dibandingkan dengan pemberian susu skim saja (Ifekwunigwe, 1975). Pada tahun 1981 WHO mengeluarkan suatu pedoman terapi untuk MB. Pada pedoman ini pemberian diet pada minggu pertama adalah dengan memberikan diet yang secara bertahap ditingkatkan dan frekuensi diturunkan pada beberapa hari berikutnya. Pada tahap awal ini tujuan pemberian diet small frequent dengan susu diencerkan adalah untuk memberikan pasien sejumlah energi dan protein tanpa memprovokasi muntah dan diare (Tabel 2.3). Susu yang digunakan adalah susu sapi, susu evaporated, susu bubuk full cream, atau susu skim bubuk. Jika menggunakan susu skim bubuk maka campuran yang diberikan adalah 75 g susu skim bubuk, 30 g minyak sayur dan 50 g gula yang dihaluskan dan secara bertahap ditambahkan 1000 ml air. Half-strength milk dibuat dengan menambahkan 1 liter air ke dalam 1 liter Full-strength milk (WHO, 1981). Tabel 2.3 Tipe dan Frekuensi Pemberian Diet pada Malnutrisi Berat (WHO, 1981) Hari Tipe diet Frekuensi per hari 1 Oral rehydration salts (ORS) 12 2 Half-strength milk feeds 12 3 Half-strength milk feeds 8 4, 5 Full-strength milk feeds 8 6 High-energy milk feeds 6 Pada tahun 1999, WHO merevisi kembali pedoman terapinya berdasarkan perkembangan penelitian-penelitian. Kemajuan pada pedoman terapi ini adalah mulai diperkenalkannya larutan rehidrasi khusus untuk malnutrisi yang disebut ReSoMal, pemberian zat besi ditunda, dan pengurangan asupan protein, energi dan laktosa selama fase inisial dengan penambahan beberapa mikronutrien yang juga diberikan selama fase rehabilitasi. Beberapa formula nutrisi dipergunakan, yaitu Formula 75 (F75), Formula 100 (F100), dan Formula 135 (F135) (WHO, 1999b). Tata laksana anak dengan MB dilakukan melalui dari 3 tahap yaitu penanganan awal (stabilisasi), rehabilitasi, dan follow-up (WHO, 1999b). Pada saat penderita diterima di ruang perawatan dilakukan penanganan terhadap kondisi yang bersifat kedaruratan seperti hipotermia, hipoglikemia, dehidrasi, infeksi, pemberian mikronutrien (kecuali Fe), koreksi terhadap gangguan keseimbangan elektrolit dan mulai diberikan asupan makanan yang sesuai. Penanganan hipotermia, hipoglikemia dan dehidrasi berlangsung satu sampai dua hari, sedangkan yang lainnya dilanjutkan sampai hari ketujuh. Pada minggu ke dua sampai keenam masuk ke tahap rehabilitasi. Follow-up dilakukan minggu 7 – 26. Pemberian asupan makanan pada tahap awal harus dengan sangat hati-hati. Bayi dan anak dengan gizi buruk mengalami gangguan pada fungsi pencernaan, hati dan keseimbangan elektrolit, sehingga tidak memungkinkan pemberian nutrisi dengan kandungan protein, lemak dan natrium yang cukup sesuai dengan usianya, tetapi harus lebih rendah, disertai dengan kandungan karbohidrat yang tinggi. World Health Organization mengajukan formula 75 (F75) dan formula 100 (F100) untuk tahap awal dan rehabilitasi. Formula 75 untuk tahap awal, setelah napsu makannya mulai pulih diberikan F100. Komposisi dari F75 dan F100 dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Komposisi F75 dan F100 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013) Kandungan F75 F100 Susu skim bubuk (g) 25 85 Gula pasir (g) 100 50 Minyak sayur (g) 30 60 Larutan elektrolit (ml) 20 20 Tambahan air sampai dengan (ml) 1000 1000 Pada fase stabilisasi pemberian makanan dengan porsi kecil dan sering dengan osmolaritas rendah dan rendah laktosa (F75). Energi yang diberikan pada fase ini adalah 80-100 kkal/kgbb/hari, protein sebesar 1 – 1,5 g/kgbb/hari, dengan cairan 130 ml/kgbb/hari (pada anak-anak dengan edema berat cairan yang diberikan 100 ml/kgbb/hari). Pemberian makanan awal (fase stabilisasi) berubah menjadi makanan kejar tumbuh setelah melewati transisi dengan mengganti F75 dengan F100 dalam jumlah yang sama selama 48 jam. Volume ditambah bertahap hingga mencapai 150 kkal.kgbb/hari dengan energi yang ditingkatkan bertahap dari 100 kkal/kgbb/hari sampai mencapai 150 kkal/kgbb/hari dan protein 2-3 g/kgbb/hari. Fase selanjutnya adalah fase rehabilitasi yang tercapai setelah masukan energi lebih dari 150 kkal/kgbb/hari yang ditingkatkan sampai mencapai 220 kkal/kgbb/hari dan protein 4-6 g/kgbb/hari (Susanto, dkk., 2011). Fase stabilisasi biasanya berlangsung 1-2 hari, dengan transisi 3-7 hari sebelum mencapai fase rehabilitasi yang biasanya terjadi pada minggu ke dua sampai minggu ke enam. Fase tindak lanjut berlangsung biasanya pada minggu ke-7 sampai minggu ke-26 (Susanto, dkk., 2011). Modifikasi dari formula WHO ini salah satunya adalah Modisco. Modisco singkatan dari modified dietetic skim and cottonseed oil. Modisco yang banyak digunakan di Indonesia merupakan modifikasi dari Modisco yang digunakan di Uganda dan ditemukan oleh May dan Whitehead tahun 1973. Modifikasi dilakukan dengan pertimbangan ketersediaan bahan lokal, selera, daya cerna, kebutuhan kalori serta tingkat kurang energi protein yang terjadi. Modisco dibagi menjadi 4 yaitu Modisco ½, I, II, dan III (Septi, 2014). Komposisi Modisco dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Komposisi Modisco ½, I, II, dan III (Depkes, 2011). Bahan Modisco Modisco Modisco ½ I II Susu bubuk (susu full cream/skim) 10 g 10 g 10 g Gula pasir 5g 5g 5g Minyak biji 2,3 g 4,6 g 5,6 g kapas/kelapa/jagung/margarin Kalori 80 100 120 Tambahan air sampai 100 ml Modisco III 12 g 7g 5,5 g 140 Diet berbahan dasar susu memerlukan penyediaan yang segar dan oleh tenaga yang berpengalaman untuk mencegah kontaminasi bakteri, sehingga F100 tidak disarankan diberikan di luar seting medis. Atas dasar alasan tersebut dibuatlah ready to use therapeutic food (RUTF) (10% kalori protein dan 59% kalori lemak) yang mengandung lemak tumbuh-tumbuhan, mentega kacang, susu skim bubuk, lactoserum, maltodextrin, gula, mineral dan multivitamin dengan nilai nutrisi setara dengan F100. Meskipun asupan total kalori tidak meningkat, tetapi karena anak mengkonsumsi dalam jumlah yang lebih kecil dari pada sediaan F100 perkali makan, berat badan tetap meningkat (Scherbaum dan Furst, 2000). Unicef (2013) menyatakan bahwa RUTF yang berbentuk pasta berenergi dan diperkaya mikronutrien diberikan untuk terapi makanan MB berupa campuran homogen makanan kaya lemak, dengan profil nutrisi serupa dengan formula F100 WHO yang kandungan utamanya adalah kacang, minyak, gula, bubuk susu, suplemen vitamin dan mineral. Penelitian dilakukan oleh Ciliberto, M.A., dkk. (2005) untuk membandingkan antara penggunaan RUTF dengan terapi standar untuk anak malnutrisi berat. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa pemberian RUTF memberikan hasil yang lebih baik dibanding terapi standar, peningkatan berat badan lebih banyak. 2.7 Virgin Coconut Oil (VCO) Virgin coconut oil adalah minyak yang didapatkan dari kelapa tua segar dengan menggunakan alat atau secara alami, tanpa pemanasan, tanpa menggunakan pemurnian, tanpa pemutihan, dan tanpa pemberian aroma secara kimia, sehingga didapatkan suatu minyak yang tidak mengalami perubahan seperti minyak alaminya apa adanya. Minyak ini mengandung asam lemak rantai sedang (medium-chain fatty acid /MCFAs) (sekitar 64%), dan asam lemak laurat (C12) (47-53%) (Bawalan dan Chapman, 2006). Kandungan linoleic acid VCO rendah (0,90-1,72%) (Marina, dkk., 2009b). Cara pembuatan VCO menggunakan beberapa metode, yaitu enzimatik, pancingan, pendiaman dan mekanik. Pembuatan VCO dengan metode enzimatik adalah dengan cara 250 ml krim dari kelapa yang telah diperas ditambahkan 1 ml enzim papain kemudian diaduk dan didiamkan 1x24 jam dan diambil bagian atasnya. Pembuatan VCO dengan metode pancingan dengan cara diukur 250 ml krim lalu ditambah 25-30 ml VCO asli kemudian diaduk dan didiamkan 1x24 jam lalu di ambil bagian atasnya. Pembuatan VCO dengan metode pendiaman dengan cara diukur 250 ml krim, kemudian dimasukkan dalam toples dan didiamkan 1x24 jam lalu diambil bagian atasnya. Pembuatan VCO dengan metode mekanik dengan cara diukur 250 ml krim lalu mixing selama 5-10 menit dan kemudian diamkan 1x24 jam dan ambil bagian atasnya (Mappasessu, 2014). Pembuatan VCO dengan menggunakan metode pancingan, pendiaman dan pemanasan menghasilkan minyak VCO lebih banyak dibandingkan metode penambahan enzim (ekstrak papain), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna, sehingga keempat metode masih setara. Hasil analisis organoleptik menunjukkan bahwa kualitas fisik minyak VCO hasil pendiaman dan pemancingan lebih baik dibandingkan hasil pemanasan, penambahan ekstrak papain maupun VCO pasaran. Hasil pengukuran berat jenis (bj) menunjukkan bahwa bj VCO hasil pendiaman dan pemancingan lebih kecil dibandingkan VCO hasil pemanasan, penambahan papain maupun pasaran. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemurnian VCO pendiaman dan pemancingan lebih tinggi dibandingkan lainnya. Kadar air dalam VCO hasil pemanasan, pendiaman, dan pemancingan lebih kecil dibandingkan VCO hasil penambahan papain maupun pasaran. Minyak VCO pasaran mengandung air jauh lebih besar dibandingkan lainnya. Analisis kadar nitrogen pada VCO menunjukkan dengan teknik pendiaman dan pemancingan tidak mengandung nitrogen, sedangkan teknik yang lainnya mengandung nitrogen terutama yang dengan penggunaan enzim. Kadar peroksida lebih sedikit terdapat pada VCO yang didapat dari teknik pemancingan dan pendiaman, dimana yang terkecil adalah pada teknik pendiaman (Asyari dan Cahyono, 2006). Virgin coconut oil (VCO) memiliki standar fisik dan kimia yang dikeluarkan oleh Asian and Pacific Coconut Community (APCC). Asian and Pacific Coconut Community (APCC) merupakan suatu organisasi lintas pemerintahan yang terdiri dari 16 negara anggota, yang berada di bawah United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP). Tujuan organisasi ini adalah untuk mempromosikan, mengkoordinasikan dan menyelaraskan semua aktivitas industri kelapa yang mempertahankan kehidupan jutaan petani kecil dalam produksi, proses dan pemasaran produk kelapa (Bawalan dan Chapman, 2006). Asian and Pacific Coconut Community (APCC) mengeluarkan standar VCO yang disebut dengan APCC standards for virgin coconut oil. Standar ini mengatur syarat-syarat kelembaban, nilai saponifikasi, komposisi asam lemak dan lain-lain dari VCO (Lampiran 2). Virgin coconut oil (VCO) yang baik adalah jernih, tidak ada endapan, dan tidak bewarna. Virgin coconut oil (VCO) yang bewarna kuning menandakan proses produksinya kurang baik karena menggunakan pemanasan sehingga kualitasnya kurang baik. Virgin coconut oil (VCO) yang baik tidak berbau tengik serta memiliki bau dan rasa khas minyak kelapa. Virgin coconut oil (VCO) yang berbau tengik telah rusak, kemungkinan karena proses produksinya yang tidak baik (misalnya melalui proses pemanasan) atau penyimpanannya kurang baik (misalnya disimpan pada ruangan yang terlalu panas atau di tempat yang kotor sehingga tercemar bau dari lingkungan sekitarnya) (Healindonesia, 2010). Minyak kelapa biasa berbeda dengan VCO. Minyak kelapa biasa dibuat dengan cara pemanasan dengan suhu tinggi sehingga akan menghilangkan antioksidan. Virgin coconut oil (VCO) kaya akan vitamin E dan mineral yang tidak ada pada minyak kelapa biasa, beraroma kelapa segar dan tahan lama tidak seperti minyak kelapa biasa yang lebih cepat tengik (kurang dari dua bulan). Warna VCO jernih dan minyak kelapa biasa bewarna kuning kecoklatan. Pembuatan VCO tidak membutuhkan biaya banyak karena penggunaan energi yang minimal, tidak menggunakan bahan bakar (Klinik Gizi Online, 2015). Virgin coconut oil memiliki efek sebagai antimikroba (dapat mendekolonisasi stafilokokus aureus), antiinflamasi dan emolien dari kulit penderita dermatitis atopik (Verallo-Rowell, dkk., 2008). Pada penanganan terhadap pneumonia tipe komunitas pada anak, VCO efektif sebagai terapi tambahan dalam mempercepat normalisasi laju napas dan resolusi ronkhi paru (Erguiza dkk., 2009). Virgin coconut oil merupakan sumber alami medium chain fatty acid dan asam laurat yang paling tinggi konsentrasinya serta memiliki aktivitas antibakteri. Penelitian uji klinis dengan pembutaan tripel pada neonatus dengan berat lahir < 1500 g yang dilakukan di NICU dari sebuah rumah sakit tersier mengenai suplementasi VCO, didapatkan adanya peningkatan berat badan/hari yang lebih besar pada kelompok VCO dibanding kontrol. Efek samping dan sepsis juga didapatkan lebih rendah pada kelompok VCO dibanding kontrol (Amanto-Aurelio dan Mantaring, 2005). Virgin coconut oil bermanfaat dalam menurunkan komponen lemak jika dibandingkan dengan minyak kopra, mengurangi kadar kolesterol total, trigliserida, fosfolipid, LDL, dan VLDL. Virgin coconut oil meningkatkan kolesterol HDL di serum dan di jaringan. Fraksi polifenol dari VCO juga dapat mencegah oksidasi LDL invitro dengan cara mengurangi formasi karbonil (Nevin dan Rajamohan, 2004). Fraksi polifenol ini juga lebih memiliki efek inhibisi pada peroksidasi lipid mikrosomal jika dibandingkan dengan minyak kopra dan minyak kacang tanah. Virgin coconut oil memiliki vitamin E dan polifenol yang lebih tidak saponifiable dibuktikan dengan peningkatan kadar enzim antioksidan dan pencegahan peroksidasi lipid secara in vivo dan in vitro (Nevin dan Rajamohan, 2006). Perbedaan antara VCO dengan minyak kelapa biasa (refined, bleached and deodorized coconut oil) adalah VCO menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih baik. Virgin coconut oil yang diproduksi melalui metode fermentasi memiliki efek scavenging yang terkuat pada 1,1-diphenyl-2-picylhydrazyl dan aktivitas antioksidan tertinggi berdasarkan metode beta-carotene-linoleate bleaching. Virgin coconut oil yang didapatkan melalui metode chilling memiliki reducing power yang tertinggi. Asam fenolik utama yang ditemukan yaitu asam ferulik dan asam p-coumaric. Korelasi yang sangat kuat didapatkan antara kandungan fenolik total dengan aktivitas scavenging (r=0,91), dan antara kandungan fenolik total dengan reducing power (r=0,96). Korelasi yang kuat juga didapatkan antara asam fenolik total dengan beta-carotene bleaching activity. Semua ini menunjukkan bahwa kontribusi kapasitas antioksidan VCO kemungkinan berasal dari senyawa fenolik (Marina, dkk., 2009b) Virgin coconut oil mengandung aktivitas antioksidan antara 52-80% jika dibandingkan dengan kontrol tokoferol dan BHA. Aktivitas antioksidan dari VCO ini diperiksa dengan menggunakan β-carotene-linoleat assay. Aktivitas antioksidan ini berkorelasi dengan total kandungan fenolik (Marina dkk., 2009a). Penelitian oleh Karadita (2011) menunjukkan hal sebaliknya dari aktivitas antioksidan VCO. Pada penelitian ini didapatkan aktivitas antioksidan VCO yang diperiksa dengan metode DPPH (Diphenyl Picryl Hydrazyl) sangat rendah yaitu rata-rata 2,25 + 0,22%. Aktivitas antioksidan VCO pada penelitian ini mengalami perubahan yang fluktuatif setiap harinya dalam 30 hari pengamatan. Hal ini kemungkinan karena dalam VCO juga mengandung asam lemak tidak jenuh yang peka terhadap oksidasi. Jika teroksidasi maka akan terbentuk radikal bebas (peroksida, hidroperoksida, hidroksi lipid). Aktivitas penangkapan radikal bebas oleh senyawa antioksidan melalui reaksi dengan radikal peroksil sebelum radikal peroksi bereaksi dengan asam lemak jenuh rantai panjang. Fluktuasi aktivitas antioksidan tersebut pada saat penyimpanan diduga akibat senyawa peroksida yang terbentuk terdekomposisi menjadi aldehid dan keton. Penurunan nilai aktivitas antioksidan selama penyimpanan terjadi karena senyawa antioksidan pada sampel akan mendonorkan atom hydrogen (H) untuk menangkal radikal bebas berupa peroksida. Peningkatan nilai aktivitas antioksidan dimungkinkan karena radikal bebas berupa peroksida telah terdekomposisi menjadi aldehid dan keton, sehingga atom hydrogen pada senyawa antioksidan lebih banyak digunakan untuk meredam radikal bebas dari DPPH. Fraksi polifenolik VCO dapat menginhibisi edema pada arthritis. Ekspresi gen inflamasi (COX-2, iNOS, TNF-α dan IL-6) menurun dan enzim antioksidan meningkat pada penggunaan fraksi polifenolik VCO. Total hitung leukosit dan CRP pada tikus yang artritis tersebut mengalami penurunan. Pemeriksaan sitologi menunjukkan penekanan terhadap sel inflamasi dan sel mesotelial reaktif. Pemeriksaan histopatologi juga menunjukkan formasi edema dan infiltrasi seluler yang berkurang dengan penggunaan suplementasi fraksi polifenol VCO. Mekanisme yang mendasari proses tersebut disebabkan efek antioksidan dan antiinflamasi dari fraksi polifenolik VCO (Vyasakh, dkk., 2014). Pada penelitian mengenai pengaruh senyawa fenolik dan sumber makanan terhadap produksi sitokin dan antioksidan oleh sel A549, didapatkan bukti bahwa senyawa fenolik secara bermakna mengubah produksi sitokin dan antioksidan, terjadi inhibisi produksi IL-6 dan IL-8 (Gaulliard dkk., 2008). Penelitian pada tikus Sprague-Dawley dilakukan untuk melihat pengaruh VCO terhadap kadar MDA jaringan jantung dari tikus yang diberi makan minyak kelapa yang telah dipanaskan. Tikus tersebut dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol dengan diet tikus normal, kelompok VCO dengan diet tikus normal yang ditambahkan VCO 1,43 ml/kgBB, kelompok minyak kelapa yang telah dipanaskan sebanyak 5 kali (5HPO) dengan diet 5HPO 15% berat/berat, dan kelompok 5HPO yang ditambahkan VCO 1,43 ml/kgBB. Terapi ini diberikan selama 4 bulan. Setelah itu tikus tersebut dieutanasia dan diambil jaringan jantungnya. Pada pemeriksaan didapatkan penurunan nilai peroksida dan MDA pada kelompok VCO (p<0,05). Suplementasi VCO dapat mengurangi stres oksidatif yang ditandai dengan penurunan nilai peroksida dan kadar MDA (Subermaniam, dkk., 2014). Pemberian MCT pada tikus yang mendapatkan diet tinggi lemak dibandingkan diet tinggi lemak tanpa VCO menunjukkan kadar IL-6 serum yang lebih rendah, IL-10 yang lebih tinggi dan ekspresi kadar inducible nitric oxide synthase dan cyclooxygenase-2 protein jaringan hati yang lebih rendah. Pemberian MCT ini juga mengurangi aktivasi NF-KB dan p38 MAPK yang teraktivasi oleh diet tinggi lemak tersebut (Geng, dkk., 2015). Medium chain triglyceride memiliki efek proteksi dapat mempertahankan integritas tight junction usus dan mengurangi kebocoran saluran cerna dan endotoksinemia. Unsaturated fatty acid (tinggi kadarnya pada minyak jagung) menyebabkan downregulation ekspresi protein tight junction usus sehingga membuat supresi dan disfungsi integritas tight junction usus, meningkatkan permeabilitas dan kadar endotoksin darah (Kirpich, dkk., 2012). Penelitian lain dilakukan pada tikus untuk melihat efek antistres VCO dengan menggunakan tes berenang yang dipaksakan dan model stres pertahananan terhadap dingin yang kronik. Pada penelitian ini didapatkan VCO dapat menurunkan kadar MDA hati, meningkatkan kadar antioksidan dan menurunkan kadar 5-hydroxytryptamine di otak tikus tersebut, dan mengurangi berat kelenjar adrenal. Serum kolesterol, trigliserida, glukosa, dan kadar kortikosteron juga menurun pada tikus yang mendapatkan VCO. Virgin coconut oil berfungsi juga sebagai antistres (Yeap, dkk., 2015). Polifenol dikatakan dapat menurunkan produksi dari IL-6. Pada penelitian mengenai peranan epigallocatechin gallate (EGCG), suatu komponen polifenol utama teh hijau, terhadap sel epitel kornea mata manusia yang telah dirangsang dengan menggunakan IL-1β, didapatkan bahwa dengan pemberian polifenol ini terjadi suatu penurunan dari produksi interleukin/sitokin granulocyte colonystimulating factor (G-CSF), granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), IL-6, IL-8, monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1). Epigallocatechin gallate (EGCG) menginhibisi fosforilasi MAPKs p38 dan c-Jun N-terminal kinase (JNK), dan aktivitas faktor transkripsi NFKB dan AP-1. Inhibisi terhadap aktivitas AP-1 ini kemungkinan karena efek EGCG terhadap MAPK signaling dan EGCG juga memengaruhi DNA binding activity of AP-1. Efek EGCG terhadap NFKB beberapa sel adalah melalui beberapa mekanisme, yaitu inhibisi IKB kinase, IKB fosforilasi, p65NFKB asetilasi, NFKB DNA binding activity (Cavet, dkk., 2011). Pada penelitian lain didapatkan hasil yang berbeda. Antioksidan fenol secara poten menginhibisi signal yang menginduksi TNF-α dan gen targetnya yaitu IL-1 β dan IL-6 pada sel makrofag. Lipopolisakarida menginduksi peningkatan mRNA dan protein TNF-α dimana antioksidan fenol memblok peningkatan TNF-α pada ke dua level tersebut. Antioksidan fenol tidak mengubah half life mRNA TNF-α pada saat ada ataupun tanpa ada aktinomisin D. Inhibisi TNF-α (terinduksi lipopolisakarida) terjadi pada level transkripsi. Antioksidan fenol memblok formasi ikatan kompleks DNA NF-KB pada nukleus. Antioksidan fenol memblok signal tranduksi NF-KB sebagai mekanisme inhibisi transkripsi TNF-α. Mediator utama transkripsi TNF-α terinduksi lipopolisakarida adalah NF-KB. Simpulan ini tidak mengeksklusi faktor transkripsi lain yang berkontribusi terhadap regulasi TNF-α sebagai target antioksidan (Ma dan Kinneer, 2002). Penelitian mengenai saturated fatty acid terhadap ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2) menunjukkan bahwa saturated fatty acid, tetapi bukan unsaturated fatty acid, menginduksi ekspresi COX-2 yang dimediasi melalui toll-like receptor 4 (Tlr4). Toll-like receptor 4 merupakan reseptor lipopolisakarida. Saturated fatty acid yang paling poten menginduksi ekspresi COX-2 adalah lauric acid (C12:0) dan palmitic acid (C16:0). Lauric acid juga menginduksi ekspresi gen petanda inflamasi lainnya seperti iNOS dan IL-1α dengan pola dose-dependent. Semua unsaturated fatty acid dan conjugated linoleic acid tidak dapat menginduksi ekspresi COX-2 pada sel RAW 264.7 (a murine macrophage-like cell line) (Lee, dkk., 2001). Penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian mengenai pengaruh asam lemak pada jaringan lemak manusia dan inflamasi adipose apakah dapat mengaktivasi toll-like receptor (TLR), didapatkan bahwa saturated fatty acid (palmitic acid dan lauric acid) tidak menimbulkan aktivasi sAP, yag artinya tidak mengaktivasi TLR4 dan TLR2. Polyunsaturated fatty acid (eicosapentaeneic acid, docosahexaenoic acid, dan oleic acid) juga tidak mengaktivasi TLR4 dan TLR2. Kadar IL-6, TNF-alpha and MCP-1 pada media yang diinkubasi dengan polyunsaturated fatty acid dan saturated fatty acid sama dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa PUFA dan SFA tidak dapat menginduksi inflamasi pada jaringan lemak atau sel lemak (Murumalla, dkk., 2012). Aktivitas yang berguna dari fitokimia pada buah dan sayuran dipercaya kemungkinan disebabkan kombinasi efek berbagai senyawa dalam buah atau sayuran tersebut, dibandingkan efek satu senyawa atau segolongan kecil senyawa saja. Hal ini terlihat pada penelitian uji klinis fitokimia tunggal yang diisolasi tidak menunjukkan efek preventif yang konsisten. Senyawa terisolasi tersebut kehilangan bioaktifitasnya atau kemungkinan tidak berlaku dengan jalan yang sama jika dibandingkan dengan keseluruhan bahan makanan tersebut yang digunakan (Nasef, dkk., 2014). Interleukin-8 merupakan suatu kemokin yang memiliki kemampuan kemotaksis dan aktifator neutrofil yang poten dan merupakan kemokin yang paling penting dalam pathogenesis inflammatory bowel diseases. Interleukin-8 meningkat pada mukosa intestinal pasien ulcerative colitis (UC) dan Crohn's disease aktif. Penelitian untuk mengetahui apakah caprylic acid (C8) dan MCT mensupresi sekresi interleukin-8 (IL-8) sel Caco (suatu turunan sel kanker kolon yang digunakan untuk model epitel intestinal manusia) mendapatkan bahwa terjadi supresi sekresi IL-8 sel Caco pada tingkat transkripsi. Caprylic acid tidak memodulasi aktivitas NF-kB dan faktor transkripsi lainnya. Caprylic acid menghinbisi aktifasi promotor IL-8 (Hoshimoto, dkk., 2002). Pada penelitian mengenai MCT didapatkan bahwa MCT dapat mencegah kerusakan hati dini karena alkohol dengan jalan menginhibisi formasi radikal bebas hati dan produksi TNF-α yang disebabkan karena endotoksin yang mengaktivasi sel Kupffer. Medium chain triglyceride bekerja dengan jalan mengubah struktur usus halus dan memengaruhi permeabilitas atau mikroflora saluran cerna. Peningkatan permeabilitas saluran cerna yang disebabkan oleh etanol enteral dapat dihilangkan oleh MCT. Target utama endotoksin adalah sel Kupffer dengan mengaktivasinya melalui reseptor endotoksin CD14 (pada permukaan membran plasma sel Kupffer). Aktivasi dari sel Kupffer akan mengeluarkan mediator (sitokin, eicosanoids, dan radikal bebas) yang menginduksi kerusakan hati. CD14 ini diupregulasi pada tikus yang diberikan etanol secara akut dan enteral. Medium chain trigyceride menghilangkan peningkatan Ca2+ intraseluler yang disebabkan karena lipopolisakarida. Aktivasi sel Kupffer memerlukan Ca2+, yang mengandung voltage-dependent Ca2+ channel. Jadi MCT menghilangkan respon sel Kupffer terhadap endotoksin dengan jalan menginhibisi ekspresi reseptor endotoksin CD14 (Kono, dkk., 2000). Pada tikus yang diberikan nutrisi parenteral dengan emulsi MCT jika dibandingkan dengan emulsi LCT didapatkan akumulasi lemak hati yang lebih sedikit. Hal ini kemungkinan karena derajat oksidasi yang lebih tinggi dan reesterifikasi yang minimal pada emulsi MCT jika dibandingkan dengan LCT (Geliebter, dkk., 1983). Penggunaan VCO (yang didapatkan dari wet processing) dibandingkan dengan minyak kopra, minyak zaitun, dan minyak bunga matahari pada tikus Sprague-Dawley selama 45 hari dapat memperbaiki status antioksidan sehingga mencegah oksidasi lemak dan protein. Minyak-minyak tersebut masing-masing diberikan sebanyak 8% bersama dengan diet sintetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbaikan status antioksidan pada pemberian VCO jika dibandingkan dengan ke tiga minyak lainnya (p<0,05). Aktivitas katalase, superoxide dismutase, glutathione peroxidase dan glutathione reductase meningkat di jaringan. Konsentrasi reduced glutathione meningkat secara bermakna pada hati (532,97 mM per 100 g hati), jantung (15,77 mM per 100 g hati) dan ginjal (1,58 mM per 100 g ginjal) jika dibandingkan dengan ke tiga minyak lainnya (p<0,05). Aktivitas paraoxonase 1 juga didiapatkan meningkat pada tikus yang diberikan VCO jika dibandingkan dengan ke tiga minyak lainnya. VCO juga mencegah stres oksidatif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan formasi lipid peroxidation, dan produk oksidasi protein (malondialdehyde, hydroperoxides, conjugated dienes dan protein carbonyls) pada serum dan jaringan jika dibandingkan dengan ke tiga minyak lainnya. Virgin coconut oil yang dibuat dengan menggunakan wet processing tetap mempertahankan sejumlah besar komponen unsaponiafiable yang aktif secara biologis seperti polifenol (84 mg per 100 g minyak) dan tokoferol (33,12 µg per 100 g minyak) jika dibandingkan dengan ke tiga minyak lainnya (p<0,05) (Arunima dan Rajamohan, 2013). Penelitian lainnya dilakukan untuk melihat pengaruh VCO dan atau kapsul albumin (protein ikan lele) pada penanganan pasien tuberkulosis yang mendapatkan multi drugs therapy-DOTS (MDT-DOTS) dengan pembanding MDT-DOTS + placebo. Pada penelitian ini didapatkan peningkatan kecepatan konversi sputum BTA (VCO p < 0,00; albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,04; VCO + albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,00), peningkatan status nutrisi (VCO p < 0,03; albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,003; VCO + albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,01), dan perbaikan hasil pemeriksaan rontgen dada (VCO p < 0,04; albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,003; VCO + albumin yang diekstrak dari ikan lele p <0,001). Mekanisme yang mendasari VCO dapat meningkatkan status nutrisi adalah kemungkinan berhubungan dengan efek kandungan monolauryl glycerol VCO. Monolaurat glycerol yang terkandung dalam VCO menurunkan katabolisme protein dan berlaku sebagai deposit protein sehingga menginhibisi proses oksidatif asam amino sehingga menghasilkan lebih banyak energi dan protein untuk otot tubuh (Arifin, dkk., 2014). Protein ini kemudian memfasilitasi sekresi glukagon yang selanjutnya mengaktivasi adenyl cyclase yang akhirnya menghasilkan cAMP. Dengan adanya cAMP, fase fosforilasi metabolisme sel secara normal akan diaktivasi untuk mengatur sekresi kelenjar target, aktivitas enzim dan hormon (Guyton dan Hall, 2008). VCO menstimulasi absorpsi sehingga dapat digunakan untuk terapi malnutrisi dan sindrom malabsorpsi, meningkatkan absorpsi vitamin yang larut dalam air, mineral dan protein yang memengaruhi waktu penyembuhan dan status nutrisi pasien, membantu pasien untuk secepatnya meningkatkan kembali berat badannya dengan meningkatkan energy turn over, dan kandungan octanoid acid VCO kemungkinan menginduksi produksi acyl-ghrelin (ghrelin aktif) bersama dengan peningkatan berat badan (Arifin, dkk., 2014). 2.8 Minyak Jagung Minyak jagung terdiri dari 99% triacyglycerols dengan polyunsaturated fatty acid (PUFA) 59%, monounsaturated fatty acid 24% dan saturated fatty acid (SFA) 13% (Dupont, dkk., 1990). Minyak jagung mengandung 12 % palmitic acid (16:0), 2% stearic acid (18:0), 35% oleic acid (18:1), 48% linoleic acid (18:2), dan 0,8% linolenic acid (18:3) (Souza, dkk., 2009). Lemak jenuh berdasarkan strukturnya terbagi menjadi lemak rantai pendek, menengah dan panjang. Monounsaturated fatty acid dan polyunsaturated fatty acid merupakan lemak rantai panjang (St-Onge, dkk., 2008). Minyak jagung tidak mengandung asam lemak rantai menengah. Mediator inflamasi antara lain adalah n-6 eicosanoid, prostaglandin E2 (PGE2), dan leukotriene B4 (LTB4) yang terbentuk dari n-6 PUFA arachidonic acid (AA; 20:4n-6). Lemak n-6 PUFA banyak terdapat pada diet dengan linoleic acid (LA; 18:2n-6) yaitu pada minyak kedele, jagung, safflower dan bunga matahari. n-3 homolog linoleic acid adalah -linolenic acid (ALA; 18:3n-3). linolenic acid banyak terdapat dalam sayuran hijau berdaun, minyak flaxseed dan canola. 18-carbon fatty acid saat dicerna akan mengalami desaturasi dan perpanjangan menjadi 20-carbon n-6 fatty acids. Linoleic acid akan menjadi AA, dan ALA akan menjadi eicosapentaenoic acid (EPA; 20:5n-3). n-6 PUFA arachidonic acid merupakan progenitor dari PGE2 dan LTB4 lewat jalur enzim cyclooxygenase and 5-lipoxygenase. Eicosapentaenoic acid dapat menginhibisi metabolism AA secara kompetitif melalui jalur enzimatik, sehingga dapat menekan produksi dari mediator inflamasi n-6 eicosanoid. Eicosapentaenoic acid juga dapat menekan produksi IL-1 dan TNF- dengan mekanisme yang belum jelas. Semakin tinggi kandungan bahan makanan akan EPA maka kandungan AA akan semakin berkurang (James, dkk., 2000). Minyak jagung dengan kadar AA tinggi maka akan menurunkan kadar EPA menyebabkan efek proinflamasi yang akan meningkat. Pemberian diet tinggi polyunsaturated fat tanpa disertai penambahan antioksidan dapat menimbulkan terjadinya hemolisis pada bayi, terutama saat diberikan tambahan zat besi (generasi radikal bebas) pada makanan (William dan Deckelbaum, 2003). Polyunsaturated fat memiliki ikatan tidak jenuh yang banyak sehingga sensitif terhadap lipid peroxidation. Defisiensi vitamin E menimbulkan deplesi PUFA sehingga meningkatkan lipid peroxidation dan mengganggu kemampuan sintesis PUFA yang cukup, terutama n-3 PUFA (Lebold, dkk., 2011). Polyunsaturated fat memiliki kecenderungan untuk mengalami oksidasi, sehingga menghasilkan bahan yang merusak yaitu 4-hydroxy-2-alkenals (4-hydroxy-2hexenal/4-HHE). Penelitian pada tikus yang membandingkan pemberian diet tinggi lemak yang mengandung moderately oxidized n-3 PUFA dan unoxidized n3 PUFA didapatkan bahwa dengan konsumsi oxidized n-3 PUFA menghasilkan akumulasi 4-HHE dalam darah setelah diabsorbsi dari intestinal dan memicu stres oksidatif dan inflamasi pada usus halus bagian atas (Awada, dkk., 2012). Suatu penelitian pada babi dilakukan untuk melihat efek pemberian minyak jagung terokisdasi yang disertai dengan atau tanpa tambahan antioksidan (vitamin E) terhadap tampilan, status oksidasi jaringan dan kualitas daging yang dihasilkan. Pada penelitian ini didapatkan hasil aktivitas glutathione peroxidase di hati lebih tinggi pada kelompok minyak jagung segar, meski perbedaan tersebut tidak bermakna antara Kelompok Babi yang diberikan minyak jagung teroksidasi dengan atau tanpa tambahan antioksidan serta Kelompok Babi yang menggunakan minyak jagung segar dengan atau tanpa penambahan antioksidan. Aktivitas glutathione peroxidase di serum paling tinggi pada Kelompok Babi yang diberikan minyak jagung segar yang ditambahkan antioksidan. Minyak jagung yang teroksidasi mengganggu pertumbuhan dari babi dan menyebabkan stres oksidatisi. Pemberian tambahan antioksidan mengurangi sebagian akibat negatif dari minyak yang terokisdasi tersebut dengan mengurangi okidasi protein (Boler, dkk., 2012) Penelitian pada tikus mengenai modulasi sitokin oleh diet lemak setelah tikus diinduksi dengan endotoksin dan TNF-α, didapatkan bahwa pada pemberian selama 8 minggu minyak jagung menimbulkan peningkatan produksi IL-1 dan IL6. Pada pemberian selama 8 minggu dari minyak kelapa menekan produksi dari IL-1 (Tappia dan Grimble, 1994). Penelitian mengenai efek diet lemak dan minyak terhadap lipid peroxidation pada hati dan darah tikus didapatkan bahwa diet yang kaya akan PUFA (minyak jagung) meningkatkan lipid peroxidation dan meningkatkan suseptibilitas jaringan terhadap kerusakan ROS (Haggag, dkk., 2014). Komposisi asam lemak pada minyak kelapa biasa adalah 80% MCFA, 10% SCFA, 5% asam lemak jenuh rantai panjang palmitat (Silalahi dan Nurbaya, 2011). Perbandingan komposisi asam lemak pada VCO, minyak kelapa biasa, dan minyak jagung dapat dilihat pada Tabel 2.6 dan Tabel 2.7. Tabel 2.6 Komposisi Asam Lemak VCO, Minyak Kelapa Biasa, dan Minyak Jagung Asam lemak % VCO (APCC Minyak kelapa Minyak jagung Standard for Virgin biasa (Souza, dkk., Coconut Oil) (Chowdhury, dkk., 2009) 2007) Caproic (C6:0) 0,4-0,6 Caprylic (C8:0) 5-10 6,21 Capric (C10:0) 4,5-8 6,15 Lauric (C12:0) 43-53 51,02 Myristic (C14:0) 16-21 18,94 Palmitic (C16:0) 7,5-10 8,62 12 Stearic (C18:0) 2-4 1,94 2 Oleic (C18:1) 5-10 5,84 35 Linoleic (C18:2) 1-2,5 1,28 48 Linolenic (C18:3) <0,5 0,8 Tabel 2.7 Persentase Asam Lemak Saturated (SFA), Monounsaturated (MUFA), Polyunsaturated (PUFA) dan Total Unsaturated (MUFA+PUFA) Minyak Kelapa dan Minyak Jagung Asam lemak % Minyak kelapa Minyak jagung (Dupont, dkk., (Chowdhury, dkk., 2007) 1990) SFA 92,92 13 MUFA 5,84 24 PUFA 1,28 59 MUFA+PUFA 7,12 83 Minyak jagung tidak dapat dibuat sendiri, distribusinya jarang ditemukan di pasaran pedesaan, harga di pasaran lebih murah dibandingkan VCO, penyerapannya kurang baik pada kondisi MB karena sebagian besar mengandung LCT. Virgin coconut oil dapat dibuat sendiri dari kelapa yang banyak terdapat di setiap tempat di Indonesia. Harga VCO kemasan lebih mahal dibandingkan minyak jagung, tetapi jika dibuat sendiri dengan teknik yang amat sederhana dengan kelapa yang banyak tersedia dengan harga yang cukup murah serta tidak memerlukan energi untuk pemanasan sehingga relatif menjadi mudah terjangkau. Penyerapan VCO lebih baik dibandingkan minyak jagung karena mengandung sebagian besar MCT. 2.9 Minyak Sayur Lainnya Minyak sayur ada berbagai macam. Komposisi asam lemak dari beberapa minyak sayur berbeda-beda dan dapat dilihat pada Tabel 2.8. Tabel 2.8 Komposisi Asam Lemak Minyak Kedelai, Minyak Canola, Minyak Cottonseed, Minyak Bunga Matahari, Minyak Kacang Tanah, Minyak Zaitun, Minyak Wijen, Minyak Safflower, dan Minyak Flaxseed (Wang, dkk., 2002) Asam lemak % Caproic (C6:0) Caprylic (C8:0) Capric (C10:0) Lauric (C12:0) Myristic (C14:0) Palmitic (C16:0) Palmitoleic (C16:1) Heptadecanoic (C17:0) Heptadecenoic (C17:1) Stearic (C18:0) Oleic (C18:1) Linoleic (C18:2) Linolenic (C18:3) Arachidic (C20:0) Gadoleic (C20:1) Eicosadienoic (C20:2) Behenic (C22:0) Lignoceric (C24:0) MKD 0,1 11 0,1 MC 3,9 0,2 MCS 0,9 24,7 0,7 MBM 0,5 0,2 6,8 0,1 MKT 0,1 11,6 0,2 MS MKL MZ MW 0,2 1,1 44,1 0,2 0,4 7,3 6,6 47,8 18,1 8,9 - 0-0,1 7,5-20 0,3-3,5 0,1 9,2 0,1 MS F MF S 7 7 2 12 79 - 4 20 17 52 0-0,5 0-0,6 4 23,4 53,2 7,8 0,3 1,9 64,1 18,7 9,2 0,6 2,3 17,6 53,3 0,3 0,1 4,7 18,6 68,2 0,5 0,4 3,1 46,5 31,4 1,5 - 1 - 1,4 0,1 0,1 - 0,2 0,2 3 1 4,4 39 10,6 0,3 0,2 2,7 6,4 1,6 0,1 0,5-5 55-83 3,5-21 0-1,5 0-0,8 5,8 40,6 42,6 0,3 0,7 0,2 0-0,2 0-1 0,2 Keterangan: MKD = Minyak Kedelai; MC = Minyak Canola; MCS = Minyak Cottonseed; MBM = Minyak Bunga Matahari; MKT = Minyak Kacang Tanah; MS = Minyak Sawit; MKL = Minyak Kelapa; MZ = Minyak Zaitun, MSF = Minyak Saffflower; MFS = Minyak Flaxseed