PENGARUH LATIHAN RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP PENURUNAN INSOMNIA KLIEN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan Oleh : SRIYONO ST 13070 PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015 1 2 3 4 5 6 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….... i LEMBAR PENGESAHAN ….……………………………………………... ii SURAT PERNYATAAN ........................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................ iv DAFTAR ISI ....…………………………………………………………….. vi DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. viii DAFTAR TABEL ...................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. x ABSTRAK INDONESIA........................................................................................ xi ABSTRAK INGGRIS……………………………………………………………. BAB I BAB II xii PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ..............…………………….. 1 1.2. Rumusan Masalah ……………………………………. 3 1.3.Tujuan Penelitian ……………………………………... 3 1.4. 4 Manfaat Penelitian ……………………………………. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Relaksasi Progresif ....................................................... 6 2.2. Insomnia …………………..........…………….............. 14 2.3 Keaslian Penelitian......... ……………..............…….... 22 2.4Kerangka Teori ……………………………….............. 24 7 BAB III a. Kerangka Konsep …………………………................. 25 b. Hipotesis ………………………………………............ 25 METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ……………………....................…... 3.2. BAB IV BAB V BAB VI Populasi dan Sampel Penelitian ……………………… 26 27 3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................... 28 3.3.Variabel,Definisi Operasional,Skala Pengukuran ......... 28 3.4.Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ................ 29 3.5.Tehnik Pengolahan Data dan Analisa Data ……........... 30 3.7 EtikaPenelitian .............................................................. 33 HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Penelitian .............................................................. 49 4.2. Pembahasan ................................................................... 50 PEMBAHASAN 5.1. Umur ............................................................................. 53 5.2. Pendidikan ..................................................................... 54 5.3. Insomnia Sebelum Relaksasi Progresif ......................... 55 PENUTUP 6.1. Simpulan ........................................................................ 69 6.2. Saran .............................................................................. 70 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 8 DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar Judul Gambar Halaman Gambar 2.1 Gerakan pertama mengepalkan tangan ........................................... 7 Gambar 2.2 Gerakan kedua menekuk kedua lengan ke belakang ...................... 7 Gambar 2.3 Gerakan otot-otot biceps.................................................................. 8 Gambar 2.4 Gerakan otot-otot bahu .................................................................... 8 Gambar 2.5 Gerakan otot dahi dan otot mata ..................................................... 9 Gambar 2.6 Gerakan untuk rahang ..................................................................... 9 Gambar 2.7 Gerakan untuk mulut ....................................................................... 10 Gambar 2.8 Gerakan untuk melatih leher belakang ............................................ 10 Gambar 2.9 Gerakan untuk melatih leher depan ................................................ 11 Gambar 2.10 Gerakan untuk melatih otot punggung .......................................... 12 Gambar 2.11 Gerakan untuk melatih otot dada .................................................. 12 Gambar 2.12 Gerakan untuk melatih otot perut .................................................. 13 Gambar 2.13 Gerakan untuk melatih otot paha .................................................. 13 Gambar 2.14Kerangka Teori ...............……………………….……………..... 24 Gambar2.15KerangkaKonsep .......................................................................... 25 9 DAFTAR TABEL Nomor Tabel Judul Tabel Halaman Tabel 2.1 Keaslian Penelitian 23 Tabel 3.1 Variabel,Definisi Operasional,Skala Pengukuran 28 Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur 49 Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan 50 Tabel 4.3 Distribusi Responden Sebelum Relaksasi Progresif 50 Tabel 4.4 Distribusi Responden Sesudah Relaksasi Progresif 51 Tabel 4.5 Pengaruh Relaksasi Progresif Terhadap Insomnia Klien 52 10 DAFTAR LAMPIRAN Judul No Lampiran 1 F04 Pengajuan Ijin Studi Pendahuluan 2 F07 Pengajuan Ijin Penelitian 3 Surat Keterangan Balasan Studi Pendahuluan 4 Surat Keterangan Balasan Peneltian 5 Jadwal Penelitian 6 Surat Permohonan Menjadi Responden 7 Lembar Persetujuan Respoden 8 Lembar Kuesioner 9 Standar Operasional Prosedur Teknik Relaksasi Progresif 10 Tabulasi Data 11 Analisa Data 11 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015 Sriyono PengaruhLatihanRelaksasiProgresifTerhadapPenurunan Insomnia Klien Di RuangSenaRumahSakitJiwa Daerah Surakarta Abstrak Individu yang dirawat di rumah sakit sering mengalami gangguan pemenuhan tidur dan dapat mengalami masalah fisik maupun mental.Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan tidur adalah relaksasi progresif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan relaksasi progresif terhadap penurunan insomnia klien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengalami gangguan tidur di Ruang Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Teknik sampling menggunakan total sampling dengan jumlah sampel 20 pasien yang mengalami gangguan tidur. .Penelitian ini menggunakan metode Pre Experimental Designdengan pendekatan One Group Pretest - Posttest Design. Analisa data menggunakan uji t berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara latihan relaksasi progresif terhadap penurunan insomnia klien ( p value 0,000 ). Kesimpulan dalam penelitian ini tingkat insomnia responden terbanyak sebelum dilakukan latihan relaksasi progresif adalah insomnia berat,tingkat insomnia responden sesudah dilakukan latihan relaksasi progresif terbanyak adalah insomnia ringan. Kata Kunci : Relaksasi Progresif, Insomnia, Penurunan Insomnia. Daftar Pustaka : 15 (2004 - 2014 ) 12 BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA 2015 Sriyono Effect of Progressive Relaxation Exercise on Clients’ Insomnia Decrease at Sena Roomat Local Psychiatric Hospital of Surakarta ABSTRACT Individuals who are hospitalized frequently have disorders of fulfillment of sleep and can experience physical and mental problems. A nursing intervention that can be done to overcome a sleep disorder is progressive relaxation. The objective of this research is to investigate the effect of progressive relaxation exercises on the clients’ insomnia decrease atSena Room of Local Psychiatric Hospital of Surakarta. This research used the pre-experimental design with the one group pretestposttest approach. The population was all of the patients experiencing a sleep disorder at Sena Room of local Psychiatric Hospital of Surakarta. The samples of research consisted of 20 patients who experienced the sleep disorder. They were taken by using the total sampling technique. The data of research were analyzed by using the paired t-test. The result of research showsthat there was a significant effectof the progressive relaxation exercise onthe clients’ insomnia decrease as indicated by the p-value = 0.000. Thus,prior to the treatment with the progressive relaxation, most of the respondents had a severe level of insomnia, and following the treatment, most of the respondents had a mild level of insomnia. Keywords References : Progressive relaxation, insomnia, insomnia decrease. : 15 (2004 - 2014) 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidur sebagai salah satu bagian dari kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua manusia untuk dapat berfungsi secara optimal baik yang sehat maupun yang sakit. Namun dalam keadaan sakit, pola tidur seseorang biasanya terganggu karena nyeri atau gangguan yang dirasakan. Tidur penting untuk kesejahteraan fisik dan mental, mencegah kelelahan fisik dan mental. Seseorang yang sedang sakit apabila mengalami kurang tidur dapat memperpanjang waktu pemulihan dari sakit (Prihardjo, 2006). Bila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan tidur yang cukup akan mengalami masalah fisik dan mental, diantaranya; perasaan capek, kurang konsentrasi, daya ingat berkurang, kurang mampu mengambil keputusan, mudah tersinggung dan tidak relaks, mual, pusing serta meningkatkan resiko kecelakaan (WHO, 2008). Individu yang dirawat di rumah sakit sering mengalami gangguan pemenuhan tidur, baik yang berupa kesulitan untuk memulai tidur, sering terjaga sewaktu tidur maupun bangun terlalu dini (Prihardjo, 2006). Tidur sebagai kebutuhan dasar manusia sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang berakibat timbulnya gangguan pemenuhan tidur pada seseorang, ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi tidur, yaitu : faktor fisik, psikologis, gaya hidup, dan lingkungan(Prihardjo, 2006). Kurang tidur, 14 sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari, gangguan tidur dialami oleh pasien jiwa, salah satu penyebabnya stress, rasa khawatir, cemas, adanya gangguan fisik / organik dan mereka yang menderita gangguan mental emosional (Sugiwati, 2011). Ada kaitan antara gangguan istirahat-tidur dengan hospitalisasi. Hospitalisasi atau dirawat di rumah sakit terbukti dapat menyebabkan gangguan istirahat-tidur, ketidakmampuan klien mendapatkan posisi yang nyaman dan rasa nyeri merupakan penyebab terserang gangguan istirahattidur sebagai efek hospitalisasi. Penyebab lain adalah takut terhadap tes diagnostik dan tindakan pembedahan yang akan diberikan pada klien serta benturan masalah pekerjaan dan keluarga (Marta, 2007). Prinsip penanganan insomnia yaitu mengoptimalkan pola tidur yang sehat. Terapi insomnia dapat dilakukan dengan pendekatan nonfarmakologi ataupun pendekatan farmakologi (Liya, 2008).Fokus utama dari pengobatan insomnia harus diarahkan pada identifikasi faktor penyebab. Setelah faktor penyebab teridentifikasi maka penting untuk mengontrol dan mengelola masalah yang mendasarinya. Tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien jiwa dengan gangguan tidur adalah dengan latihan relaksasi progresif sebagai salah satu tehnik relaksasi otot yang mampu mengatasi keluhan anxietas, insomnia, kelelahan, kram otot, nyeri leher dan pinggang, tekanan darah tinggi, fobi ringan dan gagap (Marta, 2007). Dari hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Desember 2014 jumlah pasien gangguan jiwa di ruang SenaRumah Sakit Jiwa 15 Daerah Surakarta65 orang.Dari jumlah pasien tersebut yang mengalami gangguan tidur di Ruang Senasejumlah 20 orang (klien),karena tidak dapatmemulai tidur di malam hari, terbangun di tengah malam, karena gaduh ada pasien baru, pasien baru dengan kondisi ruangan yang berbeda dengan lingkungan rumah sebelum sakit. Uraian diatas memberi gambaran kepada peneliti bahwa klien yang dirawat dirumah sakit jiwa, ada kecenderungan mengalamigangguan istirahat tidur. Peneliti ingin meneliti pengaruh latihan relaksasi progresif terhadap penurunaninsomnia di ruangSena Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. 1.2 Rumusan Masalah Insomnia menyebabkan perasaan capek, kurang konsentrasi, daya ingat berkurang, kurang mampu mengambil keputusan, mudah tersinggung dan tidak relaks, mual, pusing dan perlu penanganan lebih lanjut yaitu dengan latihan relaksasi progresif.Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : “Adakah pengaruh latihan relaksasi progresif terhadappenurunan insomnia klien di ruangSena Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta?” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui pengaruh latihan relaksasi progresif terhadap penurunan insomnia. 1.3.2 Tujuan Khusus 16 1.3.2.1 Mengetahuiinsomnia sebelum dilakukan latihan relaksasi progresif. 1.3.2.2 Mengetahuiinsomnia setelah dilakukan latihan relaksasi progresif. 1.3.2.3 Menganalisapengaruh latihan relaksasi progresif terhadap penurunaninsomnia. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi rumah sakit/masyarakat Sebagai masukan untuk memberi pelayanan asuhan keperawatan pada klien dengan insomnia dan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan pelayanan di RSJD Surakarta dengan pemberian teknik relaksasi progresif. 1.4.2 Bagi institusi pendidikan Sebagai masukan proses kegiatan belajar mengajar dalam meningkatkan asuhan keperawatan khususnya dalam masalah pemenuhan kebutuhan istirahat-tidur penderita insomnia.Sehingga peserta didik dapat mengimplementasikan Asuhan Keperawatan yang tepat dan komprehensif. 1.4.3 Bagi peneliti lain Sebagai acuan penelitian untuk meneliti dengan metode kualitatif sehingga dapat memperoleh data yang lebih dalam tentang penyebab insomnia. 17 1.4.4 Manfaat bagi peneliti Sebagai bekal dikemudian hari dalam menerapkan pelayanan asuhan keperawatan khususnya dalam masalah pemenuhan kebutuhan istirahat-tidur bagi penderita insomnia. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relaksasi Progresif Relaksasi adalah suatu proses pembebasan diri dari segala macam bentuk ketegangan pikiran senetral mungkin atau tidak memikirkan apapun (Hakim, 2004). Kaitan antara relaksasi dan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sangat erat, karena istirahat dan tidur tergantung dari relaksasi otot. Untuk itu perawat harus mengetahui tentang pergerakan badan yang baik, disamping istirahat tidur juga dipengaruhi anxietas (Marta, 2007). Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam relaksasi, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu : posisi yang nyaman, pikiran yang beristirahat dan lingkungan yang nyaman atau tenang (Mija, 2005). Langkah awal yang dilakukan adalah sebuah ruang (dapat tertutup atau terbuka) yang memungkinkan udara bebas keluar masuk sangat dianjurkan dalam latihan relaksasi. Kursi yang dapat fleksibel naik dan turun lebih diutamakan daripada tempat tidur sehingga dapat diletakkan di tempat-tempat yang diinginkan. Berikut dipaparkan masing-masing gerakan dan penjelasan mengenai otot-otot yang dilatih (Neila, 2012): 2.1.1 Gerakan pertamaditujukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan dengan cara menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan. Klien diminta membuat kepalan ini semakin kuat (gambar 2.1), sambil 19 merasakan sensasi ketegangan yang terjadi. Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan rileks selama 10 detik. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga klien dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan relaks yang dialami. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan. Gambar 2.1 Gerakan pertama mengepalkan tangan. 2.1.2 Gerakan kedua adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian belakang. Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang, jari-jari menghadap ke langitlangit (gambar 2.2). Gambar 2.2 Gerakan kedua menekuk kedua lengan ke belakang. 20 2.1.3 Gerakan ketigaadalah untuk melatih otot-otot Biceps. Otot biceps adalah otot besar yang terdapat di bagian atas pangkal lengan (lihat gambar 2.3). Gerakan ini diawali dengan menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot biceps akan menjadi tegang. Gambar 2.3 Gerakan otot-otot biceps. 2.1.4 Gerakan keempat ditujukan untuk melatih otot-otot bahu. Relaksasi untuk mengendurkan bagian otot-otot bahu dapat dilakukan dengan cara mengangkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan bahu akan dibawa hingga menyentuh kedua telinga. Fokus gerakan ini adalah kontras ketegangan yang terjadi di bahu, punggung atas, dan leher. Gambar 2.4 Gerakan otot-otot bahu. 21 2.1.5 Gerakan kelima sampai ke delapanadalah gerakan-gerakan yang ditujukan untuk melemaskan otot-otot di wajah. Otot-otot wajah yang dilatih adalah otot-otot dahi, mata, rahang, dan mulut. Gerakan untuk dahi dapat dilakukan dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai otot-ototnya terasa dan kulitnya keriput. Gerakan yang ditujukan untuk mengendurkan otot-otot mata diawali dengan menutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata. Gambar 2.5 Gerakan otot dahi dan otot mata 2.1.6 Gerakan ketujuh bertujuan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh otot-otot rahang dengan cara mengatupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi-gigi sehingga ketegangan di sekitar otot-otot rahang. Gambar 2.6 Gerakan untuk rahang 22 2.1.7 Gerakan kedelapan ini dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut. Gambar 2.7 Gerakan untuk mulut 2.1.8 Gerakan kesembilan dan gerakan kesepuluh ditujukan untuk merilekskan otot-otot leher bagian depan maupun belakang. Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian otot leher bagian depan. Klien dipandu meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat, kemudian diminta untuk menekankan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga klien dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung atas. Gambar 2.8 Gerakan untuk melatih leher belakang 23 2.1.9 Sedangkan gerakan kesepuluh bertujuan untuk melatih otot leher bagian depan. Gerakan ini dilakukan dengan cara membawa kepala ke muka, kemudian klien diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya. Sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian muka. Gambar 2.9 Gerakan untuk melatih leher depan 2.1.10 Gerakan kesebelas bertujuan untuk melatih otot-otot punggung. Gerakan ini dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh dari sandaran kursi, kemudian punggung dilengkungkan, lalu busungkan dada sehingga tampak seperti pada gambar 6. Kondisi tegang dipertahankan selama 10 detik, kemudian rileks. Pada saat rileks, letakkan tubuh kembali ke kursi, sambil membiarkan otot-otot menjadi lemas. Gambar 2.10 Gerakan untuk melatih otot punggung 24 2.1.11 Gerakan keduabelas, dilakukan untuk melemaskan otot-otot dada. Pada gerakan ini, klien diminta untuk menarik nafas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya. Posisi ini ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian turun ke perut. Pada saat ketegangan dilepas, klien dapat bernafas normal dengan lega. Sebagaimana dengan gerakan yang lain, gerakan ini diulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan rileks. Gambar 2.11 Gerakan untuk melatih otot dada 2.1.12 Gerakan ketigabelas bertujuan untuk melatih otot-otot perut. Gerakan ini dilakukan dengan cara menarik kuat-kuat perut ke dalam, kemudian menahannya sampai perut menjadi kencang dan keras. Setelah 10 detik dilepaskan bebas, kemudian diulang kembali seperti gerakan awal untuk perut ini. 25 Gambar 2.12 Gerakan untuk melatih otot perut 2.1.13 Gerakan keempat belas bertujuan untuk melatih otot-otot paha, dilakukan dengan cara meluruskan kedua belah telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang. Gerakan ini dilanjutkan dengan mengunci lutut, sedemikian sehingga ketegangan pidah ke otot-otot betis. Sebagaimana prosedur relaksasi otot, klien harus menahan posisi tegang selama 10 detik baru setelah itu melepaskannya. Setiap gerakan dilakukan masing-masing dua kali. Gambar 2.13 Gerakan untuk melatih otot paha. 26 2.2 Insomnia 2.2.1 Definisi Insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur. Keadaan ini adalah keluhan tidur yang paling sering, dapat bersifat sementara maupun persisten (Yundini, 2006). Insomnia didefinisikan oleh Goldenson, dalam The Encyclopedia of Human Behaviour, sebagai a temporer or chronic loss of sleep, kehilangan tidur secara temporer atau kronis. WHO mendefinisikan insomnia sebagai suatu kondisi ketidakpuasan seseorang dalam hal kuantitas atau kualitas tidurnya dan berlangsung selama beberapa waktu (Sutrisno, 2007). Kurangnya waktu tidur dari kriteria normal, sebaiknya tidak digunakan dalam mendiagnosa insomnia karena beberapa individu mempunyai jam tidur yang sedikit tetapi tidak mempunyai keluhan insomnia, dan sering disebut short sleeper. Sebaliknya ada orang yang merasa kurang tidur, padahal jumlah jam tidurnya masih dalam batas normal sehingga memerlukan tidur lebih lama. Orang yang membutuhkan waktu tidur lebih dari 8 jam disebut long sleeper (Yundini, 2006). Penderita insomnia pada dasarnya hanya punya dua keluhan utama, dimana seseorang sulit masuk tidur, dan sulit mempertahankan tidur. Insomnia dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang sulit masuk tidur, atau kesulitan mempertahankan tidur 27 dalam kurun waktu tertentu sehingga menimbulkan penderitaan atau gangguan dalam berbagai fungsi sosial, pekerjaan ataupun fungsifungsi kehidupan lainnya (Erry, 2004). 2.2.2 Penggolongan Insomnia WHO menggolongkan insomnia ke dalam golongan Disorder of Initiating and Maintining Sleeps (DIMS), dan membagi insomnia menjadi tiga golongan besar sebagai berikut (Erry, 2004) : a. Transient insomnia Penderita transient insomnia biasanya termasuk orang yang tidur secara normal, tetapi dikarenakan suatu stres yang berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu lama, misalnya perjalanan jauh dengan kapal terbang yang melampaui zona waktu, maka hospitalisasi mereka menjadi tidak bisa tidur. b. Short term insomnia Penderita short term insomnia mengalami stres situasional, misalnya kehilangan atau kematian seseorang yang dekat, perubahan pekerjaan dan penyakit fisik. Biasanya penderita insomnia golongan ini diderita tiga minggu dan akan pulih seperti biasa. c. Long term insomnia Long term insomnia adalah insomnia kronik. Insomnia ini dapat berlangsung dalam waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun dan perlu diobati dengan teknik tertentu atau dengan obat-obatan yang sesuai dengan gangguan utama yang diderita pasien. 28 Menurut Bastman (2005) insomnia terbagi menjadi dua macam, yaitu insomnia primer dan insomnia sekunder. a. Insomnia Primer Orang-orang yang termasuk golongan insomnia primer tercakup dalam kelompok yang khas. Mereka tidak neurotik dan tampak sehat, prinsipnya mereka tidak bisa menikmati tidurnya meski mereka sampai mendengkur. Insomnia primer dapat ditegakkan bila tidak berhubungan dengan gangguan mental organik. Pada umumnya insomnia primer mempunyai masa latensi tidur yang panjang, efisiensi tidur yang rendah dan tipe ini sangat jarang. b. Insomnia Sekunder Jenis insomnia ini banyak dijumpai pada para penderita kelainan jiwa seperti psikoneurotik. Penderita psikoneurotik mempunyai keluhan insomnia, tidurnya terganggu oleh banyak mimpi yang berlangsung dari saat mulai tidur sampai bangun. Pola mimpi mereka hampir sama, misalnya berjumpa dengan orang yang sudah meninggal, jatuh dari tempat yang tinggi, dikejar-kejar orang jahat dan binatang yang mengerikan. Oleh karena tidur mereka sering disertai mimpi yang seram (pavor nocturnes), maka pada keesokan harinya pada waktu bangun tidur, mereka akan merasakan keletihan dan kebugaran tubuhnya berkurang. Insomnia sekunder ini merupakan suatu keadaan insomnia yang berhubungan dengan gangguan mental atau faktor-faktor organik secara bermakna. 29 Sedangkan menurut Erry (2004) ada tiga tipe gangguan insomnia, yaitu : a. Tidak dapat masuk atau sulit tidur, disebut juga insomnia inisial dimana pada keadaan ini sering dijumpai pada orang-orang muda yang mengalami anxietas (kecemasan), berlangsung selama 1 – 3 jam. Kemudian pada akhirnya tidur kan terjadi. b. Terbangun tengah malam beberapa kali, orang-orang ini dapat masuk tidur dengan mudah, tetapi setelah 2 – 3 jam akan terbangun dan tidur kembali, dan kejadian ini dapat terjadi berulang kali. c. Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini, disebut juga insomnia terminal, yang mana orang-orang ini dapat tidur dengan mudah dan cukup nyenyak, akan tetapi pada saat pagi buta sudah terbangun, dan tidak dapat tidur lagi. Biasanya hal ini terjadi pada orang-orang yang mengalami depresi. 2.2.3 Penyebab Insomnia Menurut Laniwaty (2006), tidak semua insomnia didasari oleh adanya suatu kondisi psikopatologik, namun insomnia dapat pula disebabkan karena kondisi atau penyakit fisik dan karena faktor ekstrinsik seperti suara atau bunyi, suhu udara, tinggi suatu daerah, penggunaan bahan-bahan yang mengandung stimulansia susunan saraf pusat. a. Suara atau bunyi: biasanya orang dapat menyesuaikan dengan suara atau bunyi sehingga tidak mengganggu tidurnya. Bukan 30 intensitasnya tetapi makna dan suara itu. Misalnya seorang yang takut diserang atau dirampok, pada malam hari ia terbangun berkalikali hanya karena suara yang halus sekalipun. Bila intensitas rangsang cukup tinggi maka Arousal Promoting System akan membangunkan kita. b. Suhu udara: kebanyakan orang akan berusaha tidur pada suhu udara yang menyenangkan bagi dirinya. Bila suhu udara rendah ia memakai selimut, bila suhu tinggi ia memakai pakaian tipis. Insomnia sering dijumpai didaerah tropik. c. Tinggi suatu daerah: Insomnia merupakan gejala yang sering dijumpai pada mountain sickness, terjadi pada pendaki gunung yang lebih dan 3500 meter di atas permukaan laut. Hipoksia hipobanik dapat mempengaruhi Sleep Promoting System secara langsung. Nafas yang lebih cepat juga merupakan tambahan rangsang terhadap Arousal Promoting System. d. Penggunaan bahan-bahan yang mengandung stimulansia susunan saraf pusat. Insomnia dapat terjadi karena penggunaan bahan-bahan seperti kopi yang mengandung kafein, tembakau yang mengandung nikotin dan obat-obat pengurus badan yang mengandung amfetamin atau yang sejenis. e. Penyakit jasmani tertentu: misalnya arteriosklerosis, tumor otak, demensia presenil, tirotoksikosis, Sindrom Cushing, demam, kehamilan normal trimester ketiga, rasa nyeri, diabetes melitus, 31 ulkus duodeni, artritis reumatika, cacing kremi pada anak, tuberkulosis paru yang berat, penyakit jantung koroner tertentu. f. Penyakit psikiatrik: beberapa penyakit psikiatrik ditandai dengan adanya insomnia seperti pada gangguan afektif, gangguan neurotik, beberapa gangguan kepribadian, gangguan stres pasca-trauma dan lain-lain. 2.2.4 Tanda dan gejala insomnia Tanda dan gejala penderita insomnia menurut Christopher (2007), penderita mengalami kesulitan untuk tidur atau sering terjaga di malam hari dan sepanjang hari merasakan kelelahan. Awal proses tidur pada pasien insomnia mengacu pada latensi yang berkepanjangan dari waktu akan tidur sampai tertidur. Dalam Insomnia psiko-fisiologis, pasien mungkin mengeluh perasaan cemas, tegang, khawatir, atau mengingat secara terus-menerus masalah-masalah di masa lalu atau di masa depan karena mereka berbaring di tempat tidur terlalu lama tanpa tertidur. Pada insomnia akut, dimungkinkan ada suatu peristiwa yang memicu, seperti kematian atau penyakit yang menyerang orang yang dicintai. Hal ini dapat dikaitkan dengan timbulnya insomnia. Pola ini dapat menjadi tetap dari waktu ke waktu, dan pasien dapat mengalami insomnia, berulang terus-menerus. Semakin besar usaha yang dikeluarkan dalam mencoba untuk tidur, tidur menjadi lebih sulit diperoleh. Menonton jam saat setiap menit dan jam berlalu hanya 32 meningkatkan perasaan terdesak dan usaha untuk tertidur. Tempat tidur akhirnya dapat dipandang sebagai medan perang, dan tidur lebih mudah dicapai dalam lingkungan yang asing (Christopher, 2007). 2.2.5 Penanganan Insomnia Prinsip penanganan insomnia (Daniel, 2009) selain KIE yaitu mengoptimalkan pola tidur yang sehat. Terapi insomnia dapat dilakukan dengan pendekatan nonfarmakologi ataupun pendekatan farmakologi. Fokus utama dari pengobatan insomnia harus diarahkan pada identifikasi faktor penyebab. Setelah faktor penyebab teridentifikasi maka penting untuk mengontrol dan mengelola masalah yang mendasarinya. Identifikasi faktor penyebab yaitu dengan mengoptimalkan penanganan penanganan nyeri, gangguan menangani medis, gangguan tidur psikiatri primer, serta dan penyalahgunaan obat-obatan, jika mungkin dilakukan, mengurangi atau menghentikan obat-obatan yang diketahui memiliki efek yang mempengaruhi fungsi tidur, pada kebanyakan kasus, insomnia kronis dapat disembuhkan jika penyebab medis atau psikiatri di evaluasi dan diobati dengan benar (Liya, 2011) Penanganan terapi non farmakologi (Daniel, 2009) terdiri dari cognitive and behavioral therapy meliputi: sleep hygine, sleep restriction atau pembatasan tidur, relaxation therapy atau terapi relaksasi dan stimulus control therapy. 33 Sleep hygine adalah salah satu komponen terapi perilaku untuk insomnia. Beberapa langkah sederhana dapat diambil untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur pasien. Langkah-langkah ini meliputi : mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum tidur, tidur sebanyak yang dibutuhkan, berolahraga secara rutin minimal 20 menit sehari, idealnya 4-5 jam sebelum waktu tidur, hindari memaksa diri untuk tidur, hindari caffeine, alkohol, dan nikotin 6 jam sebelum tidur, hindari kegiatan lain yang tidak ada kaitannya dengan tidur kecuali hanya untuk sex dan tidur. Sleep Restriction dengan membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini disebut pembatasan tidur. Hal ini dicapai dengan rata-rata waktu di tempat tidur dihabiskan hanya untuk tidur. Pasien dipaksa untuk bangun pada waktu yang ditentukan walaupun pasien masih merasa mengantuk. Ini mungkin membantu tidur pasien yang lebih baik pada malam berikutnya karena kurang tidur dari malam sebelumnya. Sleep restriction ini didasarkan atas pemikiran bahwa waktu yang terjaga di tempat tidur adalah kontraproduktif sehingga mendorong siklus insomnia. Maka tujuannya adalah untuk menigkatkan efisiensi tidur sampai setidaknya 85%. Awalnya pasien disarankan ke tempat tidur hanya pada saat tidur. Kemudian mereka diijinkan untuk meningkatkan waktu terjaga di tempat tidur 15 – 20 menit permalam setiap minggu, 34 asalkan efisiensi tidur melebihi 90%. Waktu di tempat tidur berkurang sebesar 15 - 20 menit jika efisiensi tidur dibawah 90%. Relaxation therapy meliputi relaksasi otot progresif, latihan pernafasan dalam serta meditasi. Relaksasi otot progresif melatih pasien untuk mengenenali dan mengendalikan ketegangan dengan melakukan serangkaian latihan , pada latihan perrnafasan dalam maka pasien diminta untuk menghirup dan menghembuskan nafas dalam perlahanlahan. Stimulus control therapy terdiri dari beberapa langkah sederhana yang dapat membantu pasien dengan gejala insomnia, dengan pergi ke tempat tidur saat merasa mengantuk, hindari menonton TV, membaca, makan di tempat tidur. tempat tidur hanya digunakan untuk tidur dan aktivitas seksual. jika tidak tertidur 30 menit setelah berbaring, bangun dan pergi ke ruangan lain dan melanjutkan teknik relaksasi, mengatur jam alarm untuk bangun pada waktu tertentu setiap pagi, bahkan pada akhir pekan, hindari bangun kesiangan, hindari tidur siang panjang di siang hari. 2.3 Keaslian Penelitian Penelitian yang terkait dengan penelitian yang akan peneliti lakukan dengan judul Pengaruh latihan relaksasi progresif terhadap penurunan insomnia klien di Ruang Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta yang pernah dilakukan yang dapat peneliti identifikasi diantaranya : 35 Tabel 2.1 Keaslian Penelitian No Nama Judul Penelitian Peneliti 1 Metode Hasil Penelitian Penelitian Nessma Pengaruh Terapi Quasi Putri Relaksasi Otot Eksperimental Signed Rank Test Austaryani Progresif Hasil Uji Wilcoxon Dengan Insomnia Kelompok Terhadap Rancangan Kontrol Diperoleh Perubahan Pre Test – Nilai Z-Hitung Tingkat Post Test Sebesar 0,000 Insomnia Pada Design Dengan Nilai P- Lansia Di Value 1,000 Sehingga Posyandu Tidak Terdapat Lansia Desa Perbedaan Rerata Gonilan, Yang Signifikan Kartasura Insomnia Pre Test Dan Post Test Pada Kelompok Kontrol. 2. Erviana Pengaruh pretest-postest Perbedaan setelah Kustanti Teknik with Relaksasi group control diberi teknik relaksasi pada kelompok Terhadap perlakuan sangat baik Perubahan dan berpengaruh Status Mental sangat signifikan. 36 Klien Sedangkan pada Skizofrenia kelompok kontrol Di Rumah Sakit tidak ada pengaruh Jiwa Daerah yang cukup Surakarta signifikan dengan dilihat dari nilai z=0,474 dengan p=0,645 (untuk pre test) dan nilai z=3,105 dengan p=0,001 (untuk post test). 3. Ani Pengaruh Senam Quasi Kuswati Lansia terhadap Ada pengaruh yang eksperimental. bermakna senam Penurunan Skala pretest- bugar Insomnia pada posttest lansia terhadap Lansia Di Panti without penurunan skala Wredha control group. insomnia di Panti Dewanata Wredha Dewanata Cilacap Cilacap dengan p value : 0.0001 2.4 Kerangka Teori 37 Etiologi insomnia: - Suara/bunyi - Suhu Udara - Tinggi suatu daerah - Penggunaan bahanbahan stimulansia susunan saraf pusat. - Penyakit fisik - Penyakit psikiatrik Insomnia Etiologi insomnia: - Suara/bunyi - Suhu Udara - Tinggi suatu daerah - Penggunaan bahanbahan stimulansia susunan saraf pusat. - Penyakit fisik - Penyakit psikiatrik Penatalaksanaan: 1. Farmakologi - obat tidur 2. Non farmakologi - sleep hygine - sleep restriction - relaxation therapy (terapi relaksasi) - stimulus control therapy. Tanda/gejala insomnia: - perasaan capek - kurang konsentrasi - daya ingat berkurang - kurang mampu mengambil keputusan - mudah tersinggung dan tidak relaks - mual - pusing - resiko kecelakaan Gambar 2.14 Kerangka Teori (Laniwaty, 2006. Christoper, 2007. Daniel, 2009. Marta, 2007) 2.5 Kerangka Konsep Variabel independen Relaksasi Progresif Variabel dependen Insomnia 38 Gambar 2.15 Kerangka Konsep 2.6 Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2014). Ha : Ada pengaruh latihan relaksasi progresif terhadap penurunan insomnia klien di Ruang Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Ho : Tidak ada pengaruh latihan relaksasi progresif terhadap penurunan insomnia klien di Ruang Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta 39 40 41 42 43 44 45 46 47 BAB IV HASIL PENELITIAN Pada sub bab ini disajikan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Ruang Sena Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 14 April 2015. Responden dalam penelitian ini sejumlah 20 orang. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan tekstural yang didasarkan dalam hasil analisis univariat dan bivariat. 4.1. Karakteristik Responden 4.1.1 Karakteristik responden berdasarkan umur Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Juli 2015 (n= 20) Umur Jumlah Persentase (%) 17 – 25 tahun 1 5 26 – 35 tahun 4 20 36 – 45 tahun 10 50 46 – 55 tahun 5 25 Jumlah 20 100 Tabel 4.1. menunjukkan responden terbanyak berumur 36 – 45 tahun sejumlah10 orang (50%), sedangkan yang paling sedikit berumur 17 – 25 tahun sejumlah 1 orang (5%). 48 4.1.2 Karakteristik responden berdasarkan Pendidikan Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Juli 2015 (n= 20) Pendidikan Jumlah Persentase (%) SD 3 15 SLTP 12 60 SLTA 5 25 Jumlah 20 100 Tabel 4.2. menunjukkan tingkat pendidikan responden terbanyak adalah SLTP sejumlah12 orang atau sebesar 60%, dan paling sedikit SD sejumlah3 orang atau sebesar 15%. 4.2. Tingkat Insomnia Sebelum Relaksasi Progresif 4.2.1. Distribusi responden berdasarkan tingkat insomniasebelum relaksasi progresif. Tabel 4.3. Distribusi Responden (n=20) sebelum relaksasi progresifdi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Juli 2015 (n= 20) Insomnia Jumlah Persentase (%) Ringan 0 0 Berat 18 90 Sangat Berat 2 10 Jumlah 20 100 Tabel 4.3. menunjukkan responden yang memiliki tingkat insomnia dengan kategori berat sejumlah 18 orang atau sebesar 90%, responden yang memiliki tingkat insomnia berat sekali sejumlah 2 orang atau sebesar 10%. 49 4.3 Tingkat Insomnia Sesudah Relaksasi Progresif. Tabel 4.4. Distribusi Responden tingkat insomniasesudah relaksasi progresifdi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Juli 2015 (n= 20) Insomnia Frekuensi Persentase (%) Ringan 15 75 Berat 5 25 Sangat Berat 0 0 Jumlah 20 100 Tabel 4.4. menunjukkan responden yang memiliki tingkat insomnia dengan kategori ringan sejumlah 15 orang atau sebesar 75%, responden yang memiliki tingkat insomnia berat sejumlah 5 orang atau sebesar 25%. 4.4 Pengaruh Relaksasi Progresif Terhadap Insomnia Klien Tabel 4.5. Pengaruh Relaksasi Progresif terhadap Insomnia Kliendi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Juli 2015 (n= 20) Variabel Mean Uji t berpasangan Terapi Relaksasi 33,15 Insomnia 26,70 0,000 Berdasarkan tabel 4.5.menunjukkan hasil uji t berpasangan dengan nilai p 0,000 kurang dari ( < p 0,005 ). Dengan demikian terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat insomnia sebelum dan sesudah pemberian latihan relaksasi progresif. 50 BAB V PEMBAHASAN Sesuai dengan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas, maka dilakukan pembahasan lebih lanjut, yang titik tolaknya menginterpretasikan data hasil penelitian tersebut kemudian dibandingkan dengan teori penelitian. 5.1. Karakteristik Responden 5.1.1 Umur Menurut Depkes (2009), umur dikategorikan menjadi: masa balita (0 – 5 tahun), masa kanak-kanak (5 – 11 tahun), masa remaja awal (12 – 16 tahun), masa remaja akhir (17 – 25 tahun), masa dewasa awal (26 – 35 tahun), masa dewasa akhir (36 – 45 tahun), masa lansia awal ( 46 – 55 tahun), masa lansia akhir (56 – 65 tahun), dan masa manula (65 tahun keatas). Karakteristik pada pasien yang mendapatkan terapi relaksasi progresif untuk menurunkan tingkat insomnia menurut umur. Pada umur 46 – 55 tahun sejumlah 10%, untuk umur 17 – 25 tahun sejumlah 1 orang (5 %), untuk umur 26 – 35 tahun sejumlah 30 %. Pada usia 46 – 55 tahun ini prosentase insomnia lebih besar, karena kalau dilihat dari teori bahwa insomniadiakibatkankarena perubahan pola tidur yang disebabkan oleh penurunan kemampuan fisik terkait oleh kemampuan organ dalam tubuh seperti jantung paru-paru dan ginjal. Penurunan tersebut mengakibatkan daya tahan tubuh dan kekebalan turut berpengaruh. Penyebab insomnia terjadi sebagai efek samping penyakit lain, seperti nyeri sendi, osteoporosis, payah jantung, parkinson, atau depresi. Insomnia dapat 51 diakibatkan oleh stress situasional seperti masalah keluarga, kerja atau sekolah, jet lag, penyakit, atau kehilangan orang yang dicintai. Insomnia dapat terjadi berulang tetapi diantara episode tersebut klien dapat tidur dengan baik. Namun, kasus insomnia temporer akibat situasi stres dapat menyebabkan kesulitan kronik untuk mendapatkan tidur yang cukup, mungkin disebabkan oleh kekhawatiran dan kecemasan yang terjadi untuk mendapatkan tidur yang adekuat tersebut (Asmadi. 2008). 5.1.2 Pendidikan Dalam penelitian ini tingkat pendidikan responden terbanyak adalah SLTP sejumlah12 orang atau sebesar 60%.Semakin tingginya pendidikan seorang pasienmaka semakin tinggi pula keinginan, harapan, dan kepercayaan dari pasien ataukeluarga pasien terhadap segala penanganan medis yang dilakukan oleh tim medisdemi keselamatan dan kesembuhan pasien tersebut. Pendidikan merupakan proses penyampaian informasi kepada seseorang untuk mendapatkan perubahan perilaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin kritis, logis dan sistematis cara berpikirnya. Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Pendidikan merupakan indikator yang menunjukkan kemampuan individu dalam menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya (Hasibuan, 2008). 52 Tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang tersebut sangat mempengaruhi pengetahuan tentang gangguan tidur yang umumnya dianggap biasa oleh masyarakat dan bagaimana cara mengatasinya.Pasien dengan pendidikan rendah cenderung kurang memahami makna serta informasiinformasi yang diberikan terhadap terapi relaksasi yang akan dilakukan pada pasien tersebut (Hasibuan, 2008). 5.2. Tingkat Insomnia Sebelum Relaksasi Progresif Hasil penelitian menunjukkan tingkatinsomniarespondensebelum terapi relaksasi paling banyak kategori berat18 orang (90%). Salah satu cara untuk mengatasi insomnia adalah dengan metode relaksasi. Relaksasi adalah salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang pertama kali dikenalkan oleh Jacobson, seorang psikolog dari Chicago yang mengembangkan metode fisiologis melawan ketegangan dan kecemasan. Teknik ini disebutnya relaksasi progresif yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan otot. Jacobson berpendapat bahwa semua bentuk ketegangan termasuk ketegangan mental didasarkan pada kontraksi otot. Jika seseorang dapat diajarkan untuk merelaksasikan otot mereka, maka mereka benar-benar relaks. Latihan relaksasi dapat digunakan untuk memasuki kondisi tidur karena dengan mengendorkan otot secara sengaja akan membentuk suasana tenang dan santai. Suasana ini diperlukan untuk mencapai kondisi gelombang alpha 53 yaitu suatu keadaan yang diperlukan seseorang untuk memasuki fase tidur awal. 5.3. Tingkat Insomnia Sesudah Relaksasi Progresif Hasil penelitian menunjukkan tingkatinsomniarespondensesudah terapi relaksasi paling banyak kategori ringan sejumlah15 orang (75%). Dikatakan terpenuhi kebutuhan istirahat tidurnya bila seseorang mampu untuk tidur nyenyak baik secara kualitas maupun secara kuantitas disebut juga tidur paradoks. Ciri-cirinya adalah tidur menyegarkan, tidur tanpa mimpi, terjadi penurunan tonus vaskuler perifer, penurunan kecepatan pernapasan, penurunan tekanan darah 10-30% sehingga mampu mendorong, menopang, dan mempertahankan tidur (Marta, 2007). Dasar teori relaksasi adalah sebagai berikut: pada sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, jari-jari, dan sebagainya. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif, proses kardiovaskuler, gairah seksual, dan sebagainya(Asmadi. 2008). Sistem saraf otonom terdiri dari sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Sistem saraf simpatis bekerja meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya detak jantung dan pernafasan, menurunkan temperatur kulit dan daya hantar kulit, serta akan menghambat proses digestif dan seksual. 54 Sistem saraf parasimpatis menstimulasi turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh sistem saraf simpatis (Asmadi. 2008). Selama sistem-sistem tersebut befungsi normal dalam keseimbangan, bertambahnya akfivitas Sistem yang satu akan menghambat atau menaikan efek sistem yang lain. Pada waktu individu mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan pada waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis, dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan cara resiprok, sehingga timbul counter conditioning dan penghilangan. Apabila individu melakukan relaksasi ketika ia mengalami ketegangan atau kecemasan, maka reaksi-reaksi fisiologis yang dirasakan individu akan berkurang, sehingga akan merasa rileks. Apabila kondisi fisiknya sudah rileks, maka kondisi psikisnya juga tenang (Yundini, 2006). 5.4. Pengaruh Relaksasi Progresif terhadap Penurunan Insomnia Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh latihan relaksasi progresif terhadappenurunan insomnia klien.Dokter Archibald mengemukakan bahwa relaksasi penting sebagai bahan untuk membangun penenang alamiah didalam otak, untuk menolak kekhawatiran atau kemungkinan panic, mencegah penyakit stres, meningkatkan kebutuhan istirahat tidur. Relaksasi sebagai pengobatan telah ada sekitar ribuan tahun yang lalu kadang-kadang digunakan untuk mengobati penyakit. Tetapi belum lama ini relaksasi diabaikan oleh ilmu kedokteran sekarang ini telah diakui sebagai 55 sumber yang kuat untuk mengobati pikiran dan tubuh yang rusak karena stres sehingga kebutuhan istirahat tidur terganggu. Relaksasi itu baik untuk segala sesuatu dan tidak ada pengecualian (Hart, 2008). Hasil ini sesuai pendapat dari Pratiwi (2006), usaha untuk mencegah penyakit adalah dengan mengelola stresor yang datang, pengelolaan tersebut berhubungan dengan bagaimana individu memelihara kesehatannya. Pemeliharaan kesehatan merupakan fungsi otak utama, bagian tengah otak ketika ada stressor akan menstimulasi proses biokimia otak dan respon relaksasi adalah usaha tubuh untuk mengembalikan dalam keadaan seimbang. Teknik relaksasi akan mengembalikan proses mental, fisik dan emosi serta menurunkan gangguan insomnia. 56 BAB VI PENUTUP Dalambabiniakandibahasmengenaikesimpulandan saran berdasarkanhasilpenelitiandanpembahasan yang diperoleh. 6.1. Simpulan 1. Tingkat insomnia responden sebelum dilakukan latihan relaksasi progresif terbanyak adalah insomnia berat sejumlah 18 orang (90 %) 2. Tingkat insomnia responden sesudah dilakukan latihan relaksasi progresif terbanyak adalah insomnia ringan sejumlah 15 orang (75 %) 3. Ada pengaruh latihan relaksasi progresif terhadap penurunan insomnia dengan p value 0,000 6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang perlu direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan topik penelitian ini : 6.2.1. Bagi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Pemberian latihan relaksasi progresif dijadikan alternatif pemilihan tindakan keperawatan pada klien dengan insomnia dan diberlakukan secara institusional dalam bentuk prosedur kerja tetap, untuk itu perlu diadakan pelatihan tentang relaksasi progresif atau pengiriman 57 perawat dalam rangka mengikuti pelatihan tentang relaksasi progresif untuk semua perawat. 6.2.2. Bagi profesi keperawatan Kepada rekan praktisi keperawatan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta jangan ragu untuk mulai mengembangkan praktek klinik keperawatan profesional dengan lebih mengutamakan intervensi keperawatan mandiri yang dalam hal ini mampu memberikan relaksasi progresif sebagai alternatif tindakan keperawatan pada klien yang mengalami gangguan istirahat tidur. 6.2.3. Bagi penelitian yang akan datang Akan lebih baik jika diteliti pada pasien bedah dan penyakit dalam dengan jumlah sampel yang lebih banyak, dengan variabel lain yang mempengaruhi insomnia, tempat penelitian yang berbeda dan karakteristik responden yang lain. 6.2.4 Bagi Pasien Pasien dapat melaksanakan latihan relaksasi progresif sebelum tidur untuk mengembalikan proses mental,fisik,emosi dan menurunkan gangguan insomnia. 58 DAFTAR PUSTAKA Bastman. 2005. Arti Tidur Dalam Kehidupan Sehari–hari, dalam Kumpulan Makalah Insomnia. Jakarta:IDAAJI Davis, Marta(2007)The Relaxation & Stress Reduction Workbook Bahasa Indonesia ; Achiryani S Hamid dan Budi Anna Keliat, Jakarta ; EGC. Depkes RI, (2009), Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Erry(2004)Apakah Waktu tidur Anda Telah Cukup? Avaliable from: http://www.hanyawanita.com/health_sex/health/artikel2.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014. Hakim Thursan (2004)Mengatasi Gangguan Mental dan Fisik. Jakarta : Puspa Suara. Hasibuan, (2008), Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : PT. Bumi Aksara. Hastono (2007)Analisa Data Kesehatan. Jakarta : FKM. UI Iwan(2009)Skala Insomnia (KSPBJ Insomnia Rating http://www.sleepnet.com. Diakses 4 Desember 2014; 10.00 WIB Scale). Liya Rosdiana Sholehah (2011) Penanganan Insomnia, Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Mija. (2005)Diagnosa Keperawatan. Alih Bahasa Indonesia: Asih Yasmin, Jakarta : EGC. Neila (2012) Langkah-langkah relaksasi otot http://www.psikologizone.com/langkah-langkah-relaksasi-ototprogresif/06511533 progresif. Prihardjo R., (2006)Perawatan Nyeri ; Pemenuhan Aktivitas Istirahat Pasien. Jakarta : EGC Sri Sugiwati. (2011)Gangguan Pola Tidur 2-11 hari pasca Operasi (Jurnal Keperawatan Indonesia vol 7). Jakarta : FKUI. Sugiyono (2014)Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta 59 WHO. (2008)Mental Disorder in Primary Care ; Sleep Problem, Devision of Mental Health and Prevention of Substance Abuse Yundini(2006)Gangguan Tidur Psikosomatis. Avaliable from:http://www.mail archive.com/[email protected]/msg00328html. (diakses 15 Desember 2014)